II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem dan Model Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. (Eriyatno 1999). Berdasarkan definisi ini tergambarkan bahwa dalam sistem terdapat elemen-elemen / unsur-unsur, ada hubungan keterkaitan dan ada tujuantujuan. Usaha untuk menggambarkan, menganalisis, menyederhanakan atau menunjukkan sistem dapat ditunjukkan oleh model berdasarkan pada teori. Model yang baik harus dapat menggambarkan sifat penting dari sistem yang dimodelkan. Model merupakan pengganti dari suatu sistem yang nyata. Model digunakan bila bekerja dengan pengganti tersebut lebih mudah dibandingkan dengan sistem aktual. Contoh model adalah: cetak biru arsitekur suatu gedung, grafik pekerjaan analisis ekonomi (Ford 1999). Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual.
Model memperlihatkan hubungan-
hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik (sebab akibat).
Karena model merupakan abstraksi dari suatu realitas, maka pada
wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap bila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas itu sendiri (Marimin 2005). Salah satu dasar utama dalam pengembangan model adalah guna menemukan peubah-peubah yang penting dan tepat. Klasifikasi dari jenis-jenis model adalah model fisik (model skala), model diagramatik (model konseptual) dan model matematik. Model fisik atau model skala, merupakan perwakilan fisik dari bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Misalnya maket suatu bangunan. Model diagramatik atau model konseptual dapat mewakili situasi dinamik (keadaan yang berubah menurut waktu). Contoh dari model ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi dan diagram alir. Model matematik, dapat berupa persamaan atau formula (rumus). Persamaan merupakan bahasa universal yang menggunakan suatu logika simbolis (Eriyatno 1999).
Model matematik melibatkan fungsi dan angka dalam menggambarkan sistem, model ini sering disebut dengan model komputer atau model numerik. Di lain pihak bila solusi analitis yang akan diperoleh dapat digambarkan dengan kombinasi dari berbagai fungsi matematis dasar, model ini disebut dengan model analitis. Model matematis ini dapat dikelompokan dalam dua bagian yaitu model statis dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu. Model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model (Eriyatno 1999). Penyelesaian suatu permasalahan yang mempunyai tiga karakter yaitu kompleks, dinamik, dan probabilistik disarankan untuk menggunakan pendekatan sistem. Kompleks mengandung arti interaksi antar elemen cukup rumit. Sedangkan dinamik berarti faktornya berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan. Sementara probabilistik adalah diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Penelitian dengan pendekatan sistem meliputi delapan unsur yaitu: (1) metodologi
untuk
perencanaan
dan
pengelolaan,
(2)
suatu
tim
yang
multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang nonkuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimisasi, dan (8) aplikasi komputer. Metode dengan pendekatan sistem pada prinsipnya melalui enam tahap yaitu: analisis kebutuhan,
formulasi permasalahan,
identifikasi sistem, pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realisasi fisik, sosial & politik, dan penentuan kelayakan secara ekonomi dan finansial. Keenam langkah ini umumnya dilakukan dalam suatu kesatuan yang disebut dengan analisis sistem (Djojomartono 1993). Sistem dinamis untuk perkotaan pertama kali dianalisis oleh Forrester tahun 1969 dengan bukunya berjudul Urban Dynamics. Hal ini merupakan pendekatan sistem pertama yang menganalisis masalah perkotaan yang kompleks dan berbeda dengan sistem dinamis yang menganalisis sistem fisik.
Terdapat hal yang
bertentangan dengan intuisi atau rasional perihal sistem sosial. Pertama, sistem sosial tidak sensitif terhadap perubahan kebijakan. Kedua, sistem sosial memberikan pengaruh yang kecil dalam mengubah perilaku. Ketiga, sistem sosial menunjukkan konflik antara akibat perubahan kebijakan dalam jangka panjang
dan jangka pendek (Forrester 1995). Berdasarkan kajian pustaka tersebut, dapat dijelaskan bahwa model merupakan representasi dari sistem yang kompleks. Aspek penataan ruang, pembangunan wilayah dan masalah perkotaan dapat dianalisis dengan pendekatan sistem. Aspek penataan ruang dapat dikategorikan sistem sosial, sehingga pendekatannya menggunakan metode soft system bukan sistem fisik atau hard system. Salah satu tool untuk analisis pada soft system ini adalah analisis prospektif (Godet 1999).
2.2. Analisis Prospektif dan Kaitannya dengan Strategi Analisis prospektif adalah suatu cara atau pendekatan untuk menganalisis beragam kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan, berdasarkan situasi saat ini. Analisis prospektif tidak sama dengan peramalan karena situasi saat ini tidak dapat digunakan untuk meramal masa depan. La prospective berasal dari Bahasa Perancis yang bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi a preactive and proactive approach atau bila diterjemahkan dalam satu kata yang sepadan adalah foresight karena kata proactivity jarang digunakan (Godet 1999). Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “tinjauan ke masa depan”. Pendekatan prospektif menekankan pada proses-proses evolusi jangka panjang, sehingga dimensi waktu menjadi salah satu unsurnya. Analisis prospektif ini adalah salah satu dari metoda dengan pendekatan sistem atau pendekatan holistik. Tujuan dari analisis prospektif adalah : (1) untuk mendefinisikan tujuan pembangunan jangka panjang dari sistem yang dipelajari, (2) untuk menentukan strategi yang akan diikuti agar sistem mencapai tujuan. Strategi berupa rangkaian keputusan yang penting untuk mencapai tujuan dan dugaan untuk memperkirakan interaksi yang mungkin sebagai akibat dari setiap keputusan; dan (3) untuk menterjemahkan strategi kedalam perencanaan, tujuan umum dan strategi yang muncul dari analisis prospektif yang berguna untuk menentukan prioritas dalam proses perencanaan (Treyer 2003) Analisis prospektif
dapat digunakan untuk mempersiapkan tindakan
strategis dan melihat apakah perubahan dibutuhkan di masa depan. Terdapat tiga
langkah
yang
harus
dilakukan
dalam
analisis
prospektif,
yaitu:
(1)
mengidentifikasi faktor penentu di masa depan, (2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama, serta (3) mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan.
Lingkungan, ekonomi, teknologi, sosial, politik
Desain organisasi
Pembatasan sistem Konstruksi dasar Variabel kunci
Cara analisis: − Kecenderungan − Perubahan − Pelaku-pelaku
Hipotesa dasar pada evolusi variabel dan strategi pelaku
Merinci skenario
Memilih kemungkinan di masa depan
Skenario − Pembangunan − Citra
Strategi tindak Memilih strategi tindak
Gambar 2 Tahapan dari Analisis Prospektif (Hatem 1993)
Gambar 2 di atas menggambarkan tahapan analisis prospektif yang dikemukakan oleh Hatem (1993). Tampak bahwa terdapat tiga langkah utama
dalam tahapan analisis prospektif yaitu membangun dasar, merinci skenario dan memilih strategi tindak.
Selanjutnya secara lebih eksplisit adalah penjelasan
mengenai tahapan dalam pembangunan skenario yang diungkapkan oleh Godet et al (1999). Skema dari tahapan ini digambarkan pada Gambar 3 berikut. Workshop Prospektif
Analisis Struktural Metode Micmac
Analisis dari strategi pelaku Metode Mactor
Analisis morfologi Metode Morphol
Pertanyaan Pakar Metode Smic-Prob-Expert
Masalah dirumuskan Sistem diperiksa
Mencari variabel kunci (internal –eksternal) retrospective, tren, pelaku kunci
Arah dan tujuan strategis Posisi pelaku Keseimbangan kekuatan Pemusatan dan pencaran
Memindai kemungkinan Preferensi dan kekecualian Kriteria pemilihan
Pertanyaan kunci di masa depan Gugusan kemungkinan dari hipotesis
Skenario Rute Citra Ramalan
Lima tujuan dari metode Relevansi Koheren Hal yang masuk akal Kepentingan Transparansi
Gambar 3 Tahapan pembangunan skenario (Godet et al. 1999)
2.3. Tata Ruang dan Pembangunan Wilayah
2.3.1. Konsep Analisis Keruangan Ruang (space) dalam ilmu geografi di definisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia
(Jayadinata 1992).
Analisis keruangan atau spatial analysis
mempelajari perbedaan lokasi dalam hal sifat-sifat pentingnya. Dalam analisis ini data yang digunakan disebut data spasial yang pemanfaatannya meliputi data titik (point data) dan data bidang (areal data). Analisis spasial merupakan metode kuantitatif untuk melihat keragaman sesuatu secara spasial.
Sistem informasi
geografis merupakan sistem automatisasi untuk menangani data spasial. Sistem ini dapat merangkum intelegensi informasi secara geografis (keruangan). Dalam sistem informasi geografis, objek yang ada dalam ruang geografis ditunjukan oleh dua jenis informasi. Pertama, berkaitan dengan lokasi yang disebut dengan data spasial,
dan yang kedua berkaitan dengan identitas dari karakter dari objek
tersebut yang disebut dengan data atribut (Unwin 1981). Data spasial merupakan penggambaran objek dalam ruang. Objek dalam ruang tersebut diklasifikasikan ke dalam empat jenis yaitu titik, garis, area dan permukaan. Data atribut dapat ditunjukan dengan nominal, ordinal, interval dan skala rasio. Gambar 4 berikut ini menggambarkan jenis data spasial. Informasi geografis tentang lingkungan disajikan dalam bentuk peta, analog dan digital. Peta analog merupakan penggambaran secara nyata dari kondisi dunia. Kualitas fisik dari garis dan area (panjang, tebal, warna dan sebagainya) digunakan untuk menggambarkan kondisi feature dari alam. Lokasi absolut dari ruang didefinisikan dalam sistem koordinat (x,y) yang tidak berkaitan dengan objek yang dipetakan. Dalam pembuatan peta, perlu diperhatikan unsur-unsur skala, proyeksi dan simbol. Dalam peta analog ketiga unsur ini sudah tetap. Hal ini berbeda dengan peta digital yang tidak tetap, sehingga proyeksi, skala dan simbol dengan mudah diubah sesuai dengan kebutuhan.
Hal ini dimungkinkan dengan manipulasi
matematis. Sebagai ilustrasi untuk melihat perbedaan peta analog dan digital adalah pada informasi jalan. Dalam versi analog, jalan ini digambarkan dengan
skala dan proyeksi yang sudah tetap, simbol yang digunakan adalah garis merah yang lebarnya menggambarkan lebar jalan.
Perubahan peta hanya dapat
dilakukan dengan survey dan pencetakan peta ulang. Dalam bentuk digital jalan tersebut digambarkan oleh suatu seri koordinat, dan data atribut tentang nama jalan, lebar dan sebagainya (Martin 1991).
Kelas Objek
TITIK
DIMENSI Contoh
GARIS
0
AREA
1
2
Ruas Jalan
Titik Patok
+
PERMUKAAN
Kavling lahan
3 Penampakan fisik wilayah
Plot 25
B2120
Titik 6188 DAS 3A
Gambar 4 Jenis data spasial dalam analisis keruangan (Martin 1991) Dalam pemodelan spasial, terdapat dua kategori struktur data dari area yaitu vektor dan raster.
Vektor merupakan struktur data yang berdasarkan pada
koordinat, sedangkan raster merupakan struktur data yang berdasarkan pada sel. Gambar 5 berikut ini adalah penggambaran dari suatu bentuk tidak beraturan dalam bentuk raster dan vektor.
vektor
raster
Gambar 5 Dua bentuk tidak beraturan dalam bentuk raster dan vektor (Martin 1991)
Sistem informasi geografis (SIG) merupakan informasi yang berhubungan dengan lokasi-lokasi tertentu.
Secara harfiah sistem informasi geografis
mengandung tiga kata yaitu sistem, informasi dan geografis. Sistem mengandung arti suatu lingkungan tempat data untuk dikelola dan ditanyai. Informasi, berarti ada kemungkinan untuk menggunakan sistem untuk menanyakan pertanyaan data basis geografis, dan memperoleh informasi dunia geografis. Geografis berarti sistem yang digunakan berkaitan erat dengan ukuran dan skala geografis, dan merujuk pada sistem koordinat dari lokasi dari permukaan bumi. Hampir semua penelitian atau penyajian informasi yang bersifat keruangan (spasial) menggunakan teknik sistem informasi geografis. Penentuan lokasi yang terbaik untuk suatu kegiatan tertentu, penentuan persebaran atau distribusi suatu unit kegiatan, dan penentuan pola jaringan adalah merupakan cotoh penggunaan atau aplikasi dari SIG. Von Thunnen adalah ilmuwan pertama pada tahun 1926 mengamati dan membuat konsep tentang wilayah pertanian di Jerman dalam aspek keruangan. Aspek yang menjadi perhatiannya adalah pola keruangan (persebaran) dari komoditas pertanian
dan lokasi pasar,
sehingga diperoleh model umum
penggunaan lahan di wilayah pedesaan yang menggambarkan wilayah-wilayah penghasil produk pertanian yang mengelilingi pasar. Model ini menggambarkan pola spasial yang paling efisien dari berbagai jenis komoditas pertanian dan penggunaan lahan. Von Thunen mengemukakan bahwa harga sewa lahan hanya bergantung pada faktor jarak (Nugroho & Dahuri 2004). Struktur spasial suatu wilayah secara teoritis dapat dibagi menjadi tiga tipe. Tipe pertama adalah adalah pengelompokan dari lokasi jasa atau industri tertier termasuk administrasi, keuangan, perdagangan eceran dan grosir serta jasa sejenis, yang cenderung memusat dalam menjadai kelompok-kelompok
homogen dan
menyebar secara merata di bentang alam yang memberikan akses terhadap populasi pasar yang terluas.
Tipe kedua, merupakan persebaran lokasi dari
industri yang terspesialisasi seperti manufaktur, pertambangan dan rekreasi, yang cenderung menjadi mengelompok atau aglomerasi berdasar pada lokasi-lokasi sumberdaya fisik seperti timah, dan kondisi fisik seperti sungai dan pantai. Tipe ketiga berupa pola dari rantai transportasi, seperti jalan dan kereta api yang
mengakibatkan pertumbuhan pemukiman secara linier (Glasson 1974, Nugroho & Dahuri 2004).
2.3.2. Penataan Ruang dan Regulasi Tata Ruang Menurut Sandy (1999), penggunaan ruang adalah sama dengan penggunaan tanah. Istilah penataan ruang sama dengan penataan penggunaan tanah, tata ruang adalah sama dengan tata guna tanah. Tetapi ruang tidak bisa dilekati dengan hak, tanah yang dapat dilekati oleh hak, jadi terdapat hak atas tanah. Sedangkan menurut UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataaan Ruang, yang dimaksud dengan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. Sedangkan penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang. Dalam aplikasinya Djoekardi & Ardiputra (2003) mengungkapkan awal penyusunan Undang-undang Penataan Ruang.
Terdapat dua kelompok yang
mengusulkan rancangan undang-undang. Kelompok pertama adalah Direktorat Jenderal Agraria, Departeman Dalam Negeri yang mengusulkan rancangan undang-undang tata guna tanah. Kelompok kedua adalah Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum yang mengusulkan rancangan undang-undang bina kota.
Kedua kelompok ini dianggap sama-sama
mengusulkan masalah tata ruang.
Sehingga, untuk mengakomodasi kedua
kelompok ini, ditetapkan menjadi undang-undang penataan ruang.
Substansi
penataan ruang pun diperjelas. Sebelumnya, penataan ruang dianggap sama dengan perencanaan tata ruang. Berdasarkan undang-undang tersebut, penataan ruang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfataan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Soefaat (2003) mengungkapkan lembaga penataan ruang yang pertama di Indonesia adalah Balai Tata Ruangan dan Pembangunan (BTRP) yang didirikan pada tahun 1947. Lembaga penataan ruang kemudian berubah menjadi Jawatan Tata Kota dan Daerah (1960an), kemudian menjadi Jawatan Tata Ruang Kota dan Daerah kemudian mejadi Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah. Kemudian tahun 1994 menjadi Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Perdesaan (BTPP). Pada tahun 2003 menjadi Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum. Secara umum, terdapat tiga undang-undang yang menjadi payung dalam mengatur tata-ruang di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Banyak pihak yang berpendapat bahwa undang-undang pokok-pokok agraria ini sudah saatnya direvisi. Salah satu yang telah melakukan kajian adalah Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) yang telah melakukan diskusi pertanahan nasional dalam rangka pembahasan RUU Pertanahan Nasional.
Undang-undang pokok-pokok agraria ini memberikan
kewenangan yang besar kepada negara (pemerintah) yang dapat disalahgunakan; adanya hak ulayat tidak mendapat kepastian hukum, hak atas tanah amat dibatasi pada hak hak perseorangan. Perusahaan dan kelompok masyarakat tidak berhak memiliki tanah.
Demikian pula dengan adanya paradigma baru pada
pemerintahan Indonesia, yaitu pengalihan kewenangan kepada daerah dengan UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka dibutuhkan perubahan peraturan, kebijakan dan administrasi pertanahan, termasuk penyelarasan UUPA. Hal yang sama terjadi pada UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang yang kurang relevan dengan kondisi pemerintahan Indonesia saat ini dengan adanya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan terhadap daerah (Renyansih & Budisantoso 2003). Menurut Haeruman (2004) pendekatan konvensional penataan ruang yang dianut
selama
ini
cenderung
memandang
masyarakat
sebagai
objek
pembangunan/perencanaan dibanding sebagai subjek pembangunan/perencanaan, padahal kegiatan penataan ruang tersebut sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Rencana tata ruang merupakan dokumen pelaksanaan pembangunan
yang harus dipatuhi oleh semua pihak termasuk masyarakat setempat. Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang telah dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka materi kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi: (1) Kerangka sistem perencanaan; (2) Prinsip, tujuan, kebijakan strategis; (3) Panduan penataan ruang kabupaten/kota; (4) Institusi, program dan prosedur untuk menyiapkan dan melaksanakan rencana tata ruang dan kebijakan penataan ruang; (5) Peraturan, ketentuan dan standar pengelolaan SDA; (6) Strategi sektoral penataan ruang (seperti kawasan lindung, hutan, pertambangan); (7) Indikator untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan penataan ruang. 2.4. Penggunaan Lahan dan Pemodelan Perubahannya
2.4.1. Penggunaan Lahan Istilah penggunaan lahan atau land use sering diikuti dengan istilah land cover atau tutupan lahan.
Terdapat perbedaan yang prinsip dalam kedua
peristilahan tersebut. Land cover atau tutupan lahan merupakan keadaan biofisik dari permukaan bumi dan lapisan di bawahnya. Land cover menjelaskan keadaan fisik permukaan bumi sebagai lahan pertanian, gunung atau hutan. Land cover adalah atribut dari permukaan dan bawah permukaan lahan yang mengandung biota, tanah, topografi, air tanah dan permukaan, serta struktur manusia. Sedangkan land use adalah tujuan manusia dalam mengeksploitasi land cover (Lambin et al. 2003). Land use atau penggunaan lahan menggambarkan sifat biofisik dari lahan yang menggambarkan fungsi atau tujuan dari lahan tersebut digunakan oleh manusia dan dapat dijelaskan sebagai aktivitas manusia yang secara langsung berkaitan dengan lahan, penggunaan dari sumberdaya tersebut atau memberikan dampak terhadapnya (Briassoulis 2000). Penggunaan lahan disebut pula sebagai penggunaan tanah, yang menurut Sandy (1999) merupakan terminologi yang sama dengan penggunaan ruang. Demikian pula dengan tata guna tanah sama dengan tata ruang.
Briassoulis (2000) menyebutkan bahwa selama 300 tahun terakhir perubahan penggunaan lahan secara global, telah secara signifikan mencemaskan, dan penyebab utamanya adalah manusia. Sejak tahun 1700 an jumlah populasi manusia selalu meningkat mencapai lima milyar pada tahun 2000 an. Terdapat penurunan luas hutan satu milyar hektar selama 300 tahun dan areal untuk pertanian bertambah satu milyar hektar lebih. Keadaan perubahan penggunaan lahan secara global hampir mirip dengan keadaan di Indonesia. Data perubahan penggunaan lahan di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Penggunaan Lahan di Indonesia Tahun 1993-1997 (000 Ha)
No
Penggunaan Lahan
1993
(1)
(2)
(3)
1
Permukiman
2
Lahan kering & padang rumput
3
Tambak & kolam
4
Lahan kosong
5
Perkebunan
6
Sawah
7
1994
Tahun 1995
1996
1997
Rata-rata perubahan per tahun
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
5.142
5.005
5.155
5.291
5.331
47
13.789
13.137
13.257
13.515
13.664
-31
483
606
604
622
635
38
7.160
6.920
6.967
7.335
7.577
104
20.778
22.552
23.390
23.934
24.149
843
8.499
8.439
8.484
8.519
8.490
-2
Hutan lindung
29
29
29
34
29
0,003
8
Hutan suaka & hutan wisata
19
19
19
19
19
-0.021
9
Hutan produksi
62
62
62
58
62
-0,032
10
Hutan produksi yang dapat dikonversi
19
19
19
8
36
4
55.985
56.893
57.448
51.113
59.998
1.003
TOTAL *
Keterangan: * artinya total luas lahan yang digunakan di Indonesia sampai tahun tersebut, data ini tidak termasuk Maluku dan Irian Jaya. Sumber: Statistik Indonesia 1994, 1995, 1996, 1997, 1998; Badan Pusat Statistik. [http://www.bktrn.bappenas.go.id/produk/buletin/buletin4/bulletin4.shtml] Dari data tersebut dapat dilihat bahwa total lahan di Indonesia pada tahun 1996 adalah 60 juta hektar. Data ini tidak termasuk Maluku dan Propinsi Papua. Secara umum lahan yang bertambah luasnya adalah permukiman, tambak, lahan kosong, dan perkebunan. Lahan yang berkurang arealnya adalah sawah dan hutan.
Luas perubahan rata-rata secara total adalah sejuta hektar per tahun. Hal ini mengggambarkan tingkat perubahan ruang yang cukup tinggi yaitu sekitar 1,7%. Kedua contoh di atas merupakan tujuan dari analisis penggunaan lahan yang berupa deskripsi. Deskripsi ini dapat ditunjukkan dalam bentuk grafik atau tabel. Secara umum Briassoulis (2000) menunjukkan bahwa analisis perubahan penggunaan lahan mempunyai tujuan-tujuan yang berbeda. Tujuan dari analisis untuk perubahan penggunaan lahan adalah dalam bentuk: deskripsi atau penjelasan, explanation (eksplanasi), prediksi, impact assessment (kajian dampak), prescription (resep) dan evaluasi. Selanjutnya penyebab dari perubahan penggunaan lahan adalah adanya faktor-faktor (driving factors) seperti: faktor demografi (tekanan penduduk), faktor ekonomi (pertumbuhan ekonomi), teknologi, policy (kebijakan), institusi, budaya dan biofisik. Analisis perubahan penggunaan lahan mencari penyebab (driver) perubahan land use dan dampak (lingkungan dan sosio ekonomi) dari perubahan land use. Penyebab dari perubahan penggunaan adalah lima alasan yaitu kelangkaan sumberdaya; perubahan kesempatan akibat pasar; intervensi kebijakan dari luar; hilangnya kapasitas adaptasi dan meningkatnya kerentanan; perubahan dalam organisasi sosial dalam akses sumberdaya dan dalam tingkah laku (Lambin et al. 2003).
2.4.2. Model Perubahan Penggunaan Lahan Secara umum Briassoulis (2000) menggambarkan klasifikasi pemodelan untuk analisis penggunaan lahan dan perubahannya.
Model-model ini
dikelompokkan ke dalam lima kelompok besar yaitu model statistik dan ekonometrik, model interaksi spasial, model optimisasi, model terpadu (intergrated model) dan pendekatan model lainnya.
Tabel 2 berikut ini
menujukkan pengelompokan model-model perubahan penggunaan lahan.
Tabel 2 Klasifikasi Model Perubahan Penggunaan Lahan (Briassoulis 2000) Kategori Modeling Model Statistik dan Ekonometrik
Model Interaksi Spasial Model Optimisasi
Model Terpadu (Integrated Models)
Model Pendekatan Lainnya
Model Contoh Penggunaannya Model Regresi Linier Model Ekonometrik (EMPIRIC) Model Multinomial Logit Model Analisis Korelasi Canonical Model Potensial Model Intervening Opportunities Model Gravity/ Interaksi Spasial Model Program Linier- single & multiobjective Program Dinamik Pemograman Tujuan, Pemograman Hirarki, Problem Linier dan Kuadratik, Model Non Linier Program Model Utility-Maximization Model Pengambilan Keputusan Multi Objective/ Multi Kriteria Model Tipe Ekonometrik Terpadu Model Gravity-Interaksi Spasial Based dan Tipe Lowry Terpadu Model Simulasi : ¾ Model Simulasi Level Urban/Metropolitan ¾ Model Simulasi Level Regional, contoh CLUE (Conversion Landuse Change and Its Effect) ¾ Model Simulasi Level Global Pendekatan Pemodelan Berorientasi Ilmu Pengetahuan Alam Pemodelan Perubahan Landuse Markov Pemodelan Perubahan landuse Berbasis GIS
2.4.2.1. Conversion of Land Use and its Effect (CLUE) Conversion of Land Use and its Effect atau CLUE (Veldkamp et al. 2001) merupakan pendekatan empiris yang dilakukan dengan studi kasus antara lain di Atlantic Zone (Costa Rica), China, Ekuador, Honduras dan Pulau Jawa. Model ini merupakan model terpadu, secara spasial nyata, dinamis dan berdasarkan pada sosial ekonomi dan lingkungan. Terdapat dua tahap dalam pemodelan dengan CLUE; yaitu yang pertama adalah analisis pola penggunaan lahan eksisting dan lampau untuk menentukan variabel paling penting dari aspek biogeofisik dan sosial ekonomi; yang kedua adalah menggunakan hasil tahap pertama menentukan skenario untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan. Model CLUE ini terdiri dari modul permintaan (demand module) dan modul alokasi (allocation module). Pada modul permintaan terdapat permintaan nasional untuk komoditas pertanian yang ditentukan berdasarkan jumlah penduduk (pertumbuhan penduduk), pola konsumsi, perkembangan ekspor-impor dan
produktivitas. Perubahan permintaan nasional tahunan mengakibatkan perubahan penggunaan lahan propinsi (level grid).
Perubahan di wilayah propinsi
di
modelkan dalam suatu modul alokasi multi skala. Kerangka pikir dari model CLUE disajikan pada Gambar 6.
Level nasional
Permintaan untuk komoditas pertanian
konsumsi Ekspor/ impor
produktivitas
Pertumbuhan penduduk
Level grid
Perubahan penggunaan lahan
Kondisi biofisik dan sosio-ekonomi
Gambar 6 Struktur Umum dari Model CLUE (Veldkamp et al. 2001)
Verburg, Veldkamp dan Bouma (1999) mengaplikasikan model CLUE untuk mensimulasikan kondisi tekanan penduduk terhadap perubahan penggunaan lahan di Pulau Jawa.
Adanya tekanan penduduk di Pulau Jawa telah
menyebabkan ekspansi dan intensifikasi lahan pertanian di Pulau Jawa. Hal ini berlanjut dengan semakin banyak juga pengubahan lahan pertanian menjadi areal
permukiman dan industri. Data yang digunakan dalam pemodelan ini adalah dengan mengagregasikan enam jenis penggunaan lahan.
Keenam jenis
penggunaan lahan adalah ladang berpindah (shifting cultivation), sawah (paddy field), kebun dan tegalan (dry agriculture), permukiman dan industri (housing dan surroundings) dan perkebunan (estate) dan lainnya (others).
Hasil pemodelan
ditunjukkan pada Gambar 7 berikut. Gambar 6.
Hasil Simulasi dari Perubahan Penggunaan Lahan di Jawa pada tahun 1994-2010 (Verburg et.al, 1999)
Gambar 7 Hasil Pemodelan dengan CLUE di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp dan Bouma 1999) Kelas penggunaan lahan dan variabel yang digunakan dalam menjelaskan persebaran penggunaan lahan di Jawa disajikan pada Tabel 3 berikut. Dari hasil simulasi tampak ada 4 kategori hasil yaitu penurunan tinggi (strong decrease), penurunan sedang (slight decrese), hampir tidak ada perubahan (little change) dan peningkatan (increase).
Pada jenis ladang berpindah tampak bahwa terdapat
penurunan tinggi di bagian barat Pulau Jawa.
Untuk areal tanaman pangan
perubahannya relatif lebih banyak. Keempat kategori hampir terdapat di seluruh pulau.
Pada areal persawahan penurunan areal diperkirakan lebih banyak di
bagian utara dan penurunan yang terjadi tinggi dan sedang. Penggunaan lahan untuk pemukiman meningkat di sebagian besar wilayah pulau terutama bagian barat.
Pada lahan perkebunan terdapat baik penurunan maupun peningkatan,
tetapi peningkatan yang terjadi lebih banyak.
Tabel 3 Kelas penggunaan lahan dan variabel yang digunakan dalam pemodelan CLUE di Pulau Jawa (Verburg, Veldkamp dan Bouma1999) Variabel
Deskripsi
Sumber
Penggunaan lahan Perladangan berpindah
Lahan pertanian merupakan hasil penebangan hutan rakyat, atau hutan alam, kemudian ditanami dengan tanaman pangan tahunan Lahan sawah beririgasi dan sawah tadah hujan Kebun dan lahan pekarangan biasanya ditanami palawija Lahan untuk pemukiman dan sarana serta prasarana Perkebunan rakyat dan negara, meliputi karet, kelapa sawit, teh, kopi, tebu, kelapa, tembakau, kapas, coklat dan rempah-rempah Hutan dan lainnya yang meliputi padang rumput, rawa, kolam, lahan yang diberakan, danau dan jalan.
BPS (1979, 1994)
Kepadatan penduduk
Kepadatan total populasi (jiwa per km2)
BPS (1971, 1980, 1990,1995)
Kepadatan penduduk pedesaan
Kepadatan populasi yang diklasifikasikan sebagai pedesaan (jiwa per km2) Fraksi dari total populasi yang diklasifikasikan sebagai pedesaan Kepadatan penduduk berumur di atas 10 tahun yang bekerja Kepadatan penduduk berumur di atas 10 tahun yang bekerja di bidang pertanian Fraksi dari total tenaga kerja yang bekerja di bidang pertanian
Sawah Kebun dan tegalan Permukiman dan industri Perkebunan
Hutan dan lainnya Demografi
Fraksi populasi pedesaan Kapadatan tenaga kerja Kepadatan tenaga kerja di bidang pertanian Fraksi tenaga kerja di bidang pertanian Ekonomi dan infrastruktur Produk domestik regional bruto
Produk domestik bruto pada harga yang berlaku (juta rupiah) Jarak langsung ke kota terdekat (m) Jarak langsung ke sungai utama terdekat (m) Jarak langsung ke jalan utama terdekat (m)
BPS (1996)
Persen waktu tidak berawan Perbedaan antara presipitasi bulan terbasah dan bulan terkering (mm) Rata-rata presipitasi tahunan (mm) Rata-rata temperatur tahunan (0C) Jumlah bulan dengan presipitasi lebih dari 50 mm (bulan) Zonasi agroklimatik berdasarkan presipitasi musiman
Cramer (data lapangan)
Rata-rata ketinggialn (altitude) Kisaran ketinggian (altitude) Rata-rata slope (kemiringan) Unit geologi Tanah
Rata-rata elevasi (m dpl) Kisaran ketinggian dalam grid berdasarkan 1 km DEM Rata-rata slope (berdasarkan 1km DEM) Klasifikasi berdasarkan batuan induk
USGS (1996) USGS (1996) USGS (1996) CSAR/FAO (1959)
Kelas kesuburan tanah Kelas drainase tanah Kelas permeabilitas tanah Tekstur tanah
Kesuburan tanah (rendah, sedang, tinggi) Kelas drainase tanah (baik, sedang, buruk) Permeabilitas tanah (cepat, sedang, lambat) Tekstur tanah (kasar, sedang, halus)
PPT (1966) PPT (1966) PPT (1966) PPT (1966)
Jarak ke kota terdekat Jarak ke sungai terdekat Jarak ke jalan terdekat Iklim Cahaya matahari Kisaran presipitasi Total presipitasi Rata-rata temperatur Jumlah bulan basah Zona aroklimatik Geomorfologi
Peta topografi ESRI (1993) ESRI (1993)
(data lapangan) (data lapangan) (data lapangan) Oldeman (1975)
2.4.2.2. Conversion of Land Use & its Effect at Small regional extent (CLUE-S) Verburg et al. (2002) mengembangkan pemodelan spasial untuk perubahan penggunaan lahan pada areal lebih kecil dari nasional atau propinsi. Model ini dinamakan Conversion of Land Use and Its Effect at Small regional extent atau CLUE-S. Pada pemodelan dengan CLUE-S ini beberapa konsep digunakan berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan yaitu konektivitas, stabilitas dan resilience. Konektivitas merupakan suatu istilah yang menentukan/ menjelaskan bahwa lokasi-lokasi mempunyai hubungan spasial misalnya suatu jarak tertentu satu sama lain. Stabilitas merupakan karakter suatu jenis penggunaan lahan tertentu untuk terkonversi. Resilience atau daya lenting merupakan kapasitas menyangga dari suatu ekosistem atau masyarakat dalam menerima gangguan. Model CLUE-S ini merupakan gabungan dari pemodelan empiris, analisis spasial dan model dinamis. Analisis spasial menggunakan teknik overlaying dari sistem informasi geografis atau geographic information system (GIS). Hubungan antara penggunaan lahan dan faktor-faktornya menggunakan regressi logistik. Model CLUE-S ini telah diterapkan di DAS Selangor (Malaysia), Pulau Sibuyan (Filipina),
dan Propinsi Bac Kan (Vietnam) selain itu juga telah
dilakukan untuk menggambarkan faktor aksesibilitas sebagai driver dari perubahan penggunaan lahan di Kabupaten San Mariano (Filipina). Keuntungan penggunaan model ini adalah pertimbangan secara eksplisit untuk memfungsikan sistem land use secara keseluruhan. Pemodelan dengan CLUE-S di DAS Selangor. Pemodelan perubahan penggunaan lahan dengan model CLUE-S untuk wilayah perkotaan di DAS Selangor, Malaysia
dilakukan oleh Engelsman (2002).
penggunaan lahan yang dipakai yaitu : hutan,
Terdapat 8 jenis
perkebunan kelapa sawit,
perkebunan karet, perkebunan campuran, semak & padang rumput, lahan pertambangan, lahan urban dan wilayah perairan. Sedangkan driving factorsnya adalah : altitude (meter di atas permukaan laut), jarak ke jalan (jarak dalam meter dari pusat pixel ke jalan terdekat pada tahun 1999), jarak ke laut (jarak dalam meter dari pusat pixel ke sungai terdekat pada tahun 1999), jarak ke pusat permukiman (jarak dalam meter dari tengah pixel ke pusat dari urban terdekat pada tahun 1999), jarak ke pusat hutan (jarak dalam meter dari tengah pixel ke
pusat hutan terdekat pada tahun 1999), tanah alluvial (tanah muda bertekstur halus), fluvisol (tanah bersifat fluvic), lapisan tanah, tanah dangkal (tanah yang bersifat erosif dan slope yang curam), kelas kesesuaian ahan, kepadatan penduduk (penduduk per km2), tenaga kerja sektor pertanian. Hasil dari pemodelan ini menggambarkan bahwa permintaan untuk wilayah urban meningkat dari tahun 1999 sampai 2014. Hasil simulasi menunjukkan persebaran wilayah urban akan menyebar dari selatan sampai ke utara sampai perbatasan Kuala Lumpur.
Perkembangan ini seperti suatu koridor yang
membentang sepanjang jalan utama sampai ke bagian barat Semenanjung Malaysia. Hal ini tergambar dari hasil perhitungan bahwa driving factor yang paling kuat adalah jarak terhadap pusat pemukiman dan jarak terhadap jalan. Sebagai kesimpulan adalah bahwa Model CLUE-S ini telah berhasil diaplikasikan di DAS Selangor. Aplikasi CLUE-S di Pulau Sibuyan (Filipina). Tujuan penelitian aplikasi CLUE-S di Pulau Sibuyan adalah untuk mengaplikasikan program ini secara realistis dan untuk menganalisis kinerjanya. Data dengan menggunakan ukuran sel 250 m2,
pada time-frame 15 tahun yaitu dari 1997 sampai 2012. Kelas
penggunaan lahan adalah hutan, kelapa, rumput, padi dan lainnya yang merupakan hasil reklasifikasi (pengklasifikasian ulang). Tabel 4 berikut ini menunjukkan hasil pengklasifikasian ulang penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina (Soepbroer 2001). Pengklasifikasian ulang dilakukan dari 15 kelas penggunaan lahan menjadi lima kelas penggunaan lahan. Penetapan angka stabilitas pada pemodelan ini adalah sebagai berikut : hutan dengan nilai 1; kelapa dengan nilai 0.8; rumput atau padi dengan nilai 0.2 dan lainnya dengan nilai 1. Faktor penentu (driving factors) pada penelitian perubahan penggunaan lahan di Sibuyan Filipina dengan menggunakan CLUE-S disajikan pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 4 Pengklasifikasian ulang penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina (Soepboer 2001) Kelas awal
Klasifikasi baru
Area (ha)
% total area
Pantai Sungai Mangrove Area terbangun
Lainnya
29518.75
4
Kelapa, mono-crop 100% Kelapa/ semak 100% Kelapa/ semak 90%
Kelapa
7237.5
16
Hutan 100% Hutan 90% Hutan 80%
Hutan
5243.75
65
Rumput
1400
12
Padi
1762.5
3
Rumput 100% Rumput 95% Rumput 90% Padi non- irigasi Padi irigasi
Tabel 5 Faktor driver pada penelitian perubahan penggunaan lahan di Pulau Sibuyan, Filipina (Soepboer 2001) Driver Kepadatan penduduk Geologi
Erosi Elevasi Slope Aspect Jarak ke jalan Jarak ke kota Jarak ke arus Jarak ke laut
Penjelasan Menggunakan fungsi focal dari 5 sel (jiwa/ km2) Batuan diorit Batuan ultramafik Batuan metamorfik Sedimen Tidak ada erosi Erosi kecil Erosi sedang Digital elevation model/ DEM (m) Diturunkan dari DEM (derajat) Diturunkan dari DEM (derajat) (m) (m) (m) (m)
Hasil pemodelan dengan CLUE-S di Pulau Sibuyan ini memberikan gambaran yang baik untuk sistem yang kompleks di wilayah yang relatif lebih kecil. Hasil pemodelan spasial menggambarkan adanya pembangunan sepanjang kaki pegunungan. Di bagian utara padang rumput dan perkebunan kelapa akan berkembang ke bagian barat. Pertanaman padi terkonsentrasi di tiga lokasi yaitu di bagian utara pulau, sepanjang pantai utara dan disepanjang pantai barat.
Aplikasi
CLUE-S
untuk
Pemodelan
Aksesibilitas.
Aksesibilitas
merupakan salah satu penyebab dari terjadinya perubahan penggunaan lahan. Pada penelitian ini, Witte (2003) melakukannya dengan mengaplikasikan CLUE-S model. Klasifikasi dari jaringan jalan sebagai unsur dari aksesibilitas adalah satu level untuk jalan negara, propinsi, kabupaten, kecamatan dan setapak; dua level untuk seluruh musim dan musim kemarau; tiga level untuk jalan kaki atau kerbau atau sepeda motor, roda enam, dan seluruh jenis kendaraan. Pengukuran yang dilakukan merupakan kombinasi dari pengukuran berdasarkan infrastruktur dan pengukuran berdasarkan aktivitas. Digunakan pula pengukuran origin dan destination untuk mengkaji aksesibilitas yang eksplisit secara spasial. Penelitian ini memberikan hasil bahwa 3 tipe
aksesibilitas
berdasarkan waktu tempuh memberikan dampak terbesar terhadap perubahan penggunaan lahan, yaitu waktu tempuh ke pasar, untuk kegiatan membeli dan menjual hasil pertanian ke pasar; waktu tempuh ke jalan terdekat, untuk menggunakan mode transportasi tercepat; waktu tempuh ke kota terdekat, terdapat kenyataan bahwa lebih banyak penduduk tinggal di kota dari pada di ladang atau di kebunnya. Dari ketiga contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa model perubahan penggunaan lahan telah berhasil digunakan dalam menganalis perubahan penggunaan ruang untuk berbagai aspek spasial. Aspek yang telah dilakukan misalnya perubahan wilayah perkotaan yang terjadi di daerah aliran sungai Selangor (Engelsman 2001).
Wilayah pertanian di Pulau Sibuyan
(Filipina) berhasil dianalisis perubahan perubahan areal pertanian (Soepboer 2001). Aspek aksesibitas berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan telah pula berhasil dibuat modelnya di wilayah lembah Cagayan, Filipina (Witte 2003).
Perbedaan antara pemodelan dengan menggunakan CLUE dan CLUE-S adalah dalam aspek skala dan representasi data disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8 tersebut terlihat bahwa CLUE diaplikasikan untuk skala luas (nasional atau benua) dengan resolusi kasar (lebih besar dari 1 km x 1 km), data penggunaan lahan diperoleh dengan sensus atau survey. Jenis penggunaan lahan ditetapkan dengan persentase. Sedangkan, CLUE-S, diaplikasikan untuk wilayah lebih kecil dalam skala lokal atau regional. Data yang diperlukan dengan resolusi halus (kurang dari 1 km x 1 km). Data penggunaan lahan diperoleh dari pengideraan jauh (remote sensing) atau citra. CLUE
− − −
CLUE-S
− − −
Skala wilayah nasional sampai benua Data dengan resolusi kasar (> 1x1 km) Data land use diperoleh dari sensus atau survey
Skala wilayah lokal dan regional Data dengan resolusi halus (< 1x1 km) Data land use diperoleh dari peta atau citra penginderaan jauh
Representasi data: 2 Informasi dari sub-pixel dari land use
Representasi data :1 Land use dominan
Persentase dari land use dalam sel grid Land use yang dominan dalam sel
CLUE
CLUE-S
Gambar 8 Perbedaan Skala Aplikasi dan Struktur Data dari CLUE dan CLUE-S (Verburg et al. 2002)
2.5. Pembangunan Wilayah yang Berkelanjutan
2.5.1. Pembangunan Berkelanjutan Istilah berkelanjutan merupakan penterjemahan dari kata sustainable yang berasal dari terminologi sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Istilah pembangunan berkelanjutan dipopulerkan oleh World Commission on Environment Development pada tahun 1987. Pada awalnya merupakan laporan dengan judul Our Common Future dikenal sebagai Brundtland Report, yang menyatakan masalah lingkungan global merupakan akibat dari kemiskinan di Selatan dan pola konsumsi serta produksi yang tidak sustainainable di Utara. Laporan ini berisi strategi untuk memperhatikan aspek lingkungan pada pembangunan dan dikenal dengan istilah sustainable development. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu konsep upaya pemenuhan kebutuhan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan sumberdaya tanpa mengurangi potensi generasi yang akan datang untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Oleh karena itu konsep pembangunan berkelanjutan adalah pertukaran (trade off) antara generasi kini dengan generasi mendatang dalam pemanfaatan sumberdaya guna peningkatan kesejahteraan (Bell & Morse 2003). Munasinghe (1993) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga tujuan yang harus dapat dicapai yaitu tujuan sosial, ekonomi dan ekologi.
Bila digambarkan dengan diagram maka pembangunan berkelanjutan
merupakan suatu segitiga sama sisi dengan setiap sisi memiliki tujuan-tujuan tersebut. Gambar 9 menunjukkan adanya pembangunan yang berkelanjutan, yaitu tujuan ekonomi adalah adanya efisiensi dan pertumbuhan, tujuan ekologis dalam pengelolaan sumberdaya alam dan tujuan sosial yaitu adanya pemerataan sosial dan pengentasan kemiskinan. Berdasarkan diagram pembangunan berkelanjutan tampak bahwa untuk mencapai tujuan ekonomi dan tujuan sosial secara bersamaan perlu adanya pendistribuan ulang pendapatan dengan cara membangun lapangan pekerjaan dan dengan adanya bantuan atau subsidi. Sementara untuk mencapai tujuan ekonomi dan ekologi secara bersamaan adalah dengan dilakukan pengkajian atau valuasi lingkungan juga dengan menginternalisasikan biaya lingkungan.
Tujuan Ekonomi Efisiensi/ pertumbuhan - Pengkajian lingkungan - Valuasi - Internalisasi
- Redistribusi pendapatan - Employment - Bantuan
Tujuan Sosial Pengentasan kemiskinan/ Persamaan
- Partisipasi - Konsultasi - Pluralism
Tujuan Ekologi Sumberdaya alam
Gambar 9 Trade off diantara tiga tujuan utama dari sustainable development (Munasinghe 1993)
Bila Munashinge menentukan tiga tujuan yaitu ekonomi, ekologi dan sosial, Commission on Sustainable Development (CSD) menentukan empat dimensi untuk mengkaji tingkat keberlanjutan suatu pembangunan. Menurut CSD (2001) empat dimensi tersebut adalah dimensi ekonomi, lingkungan, sosial dan institusional dalam menentukan indikator keberlanjutan suatu pembangunan. Dalam pengkajiannya setiap dimensi memiliki tema, yang terdiri dari sub tema, yang dijabarkan lebih detail dalam indikator.
2.5.2. Metode-metode Analisis Keberlanjutan Beberapa metode telah dikembangkan untuk menganalisis keberlanjutan antara lain Sustainable Development Indicators (SDI); Ecological Footprint (EF); Environmental Sustainability Index (ESI) dan Wellbeing Index (WI)
2.5.2.1. Sustainable Development Indicators Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa menurut CSD (2001) terdapat empat dimensi yaitu dimensi ekonomi, lingkungan, sosial dan institusional dalam menentukan indikator keberlanjutan suatu pembangunan. Dalam pengkajiannya
setiap dimensi memiliki tema, yang terdiri dari sub tema, yang dijabarkan lebih detail dalam indikator. Tabel Lampiran 1 berikut menyajikan kerangka kerja CSD untuk tema dan indikator keberlanjutan.
2.5.2.2. Ecological Footprint (EF) Ecological footprint adalah jumlah total dari luas permukaan bumi yang diperlukan untuk mendukung tingkat konsumsi dari wilayah tersebut dan menyerap produk limbahnya. Dengan diketahuinya ecological footprint suatu wilayah maka dapat diperkirakan tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah tersebut. EF mengukur seberapa area bioproduktif (baik lahan maupun air) dari suatu populasi dibutuhkan agar menghasilkan secara berkelanjutan seluruh sumberdaya yang dikonsumsi dan menyerap limbah yang timbul. EF merupakan alat untuk mengukur dan menganalisis konsumsi sumber daya dan output limbah dalam konteks kapasitas memperbaharui dan regenerasi dari alam (biokapasitas). Hal ini menggambarkan pengkajian kuantitatif dari area produktif secara biologis (jumlah alam) yang dibutuhkan untuk menghasilkan sumberdaya (pangan, energi, dan materi) dan untuk menyerap limbah individu, kota, wilayah atau negara (Venetoulis, Chazan, Gaudet 2004). Biokapasitas (BC) mengukur suplai bioproduktif yaitu produksi biologis dari area, yang merupakan agregasi dari beragam ekosistem. EF dan BC biasanya disajikan bersama-sama, seperti dalam Footprint of Nations dan Living Planet Report. Area bioproduktif merupakan area dengan produksi biologis sekitar 16% dari permukaan bumi (Lewan 2000). Perhitungan EF saat ini diukur dengan global hektar. Satu global hektar adalah satu hektar dari ruang produktif secara biologis berdasarkan rata-rata produktivitas dunia. Hasil pengukuran terbaru (tahun 2001), biosfer memiliki 11.3 milyar hektar area produktif secara biologis (Global Footprint Network 2004). Menurut Wackernagel dan Rees (1996) metode perhitungan EF suatu negara melalui tiga tahapan. Ketiga tahap tersebut adalah tahap pertama menduga ratarata konsumsi tahunan per orang dari item tertentu berdasarkan data agregat regional atau nasional dengan membagi konsumsi total dengan ukuran populasi,
yaitu : konsumsi = produksi + impor – ekspor. Tahap kedua adalah dengan menduga area lahan layak per kapita (aa) untuk produksi setiap konsumsi utama item ‘i’, dengan cara membagi rata-rata konsumsi tahunan item (c) tersebut [c dalam kg/kapita] dengan produktivitas tahunan rata-rata (p), [p dalam kg/ha], yaitu : aai = ci / pi . Tahap ketiga adalah menghitung total ecological footprint dari rata-rata orang (footprint percapita) atau “ef” dengan menjumlahkan seluruh area ekosistem yang memadai (aai) dari seluruh item yang telah dibeli selama setahun (konsumsi barang dan jasa), yaitu : ef = Σ aai. Akhirnya diperoleh EF dari populasi (Efp) dengan mengkalikan rata-rata footprint per kapita dengan ukuran populasi (N), yaitu: Efp = N (ef). Hasil penghitungan ecological footprint untuk dunia dan Indonesia pada tahun 2001 adalah seperti pada tabel 6 berikut ini (Wackernagel, Monfreda dan Moran 2004). Tabel 6 Ecological Footprint Dunia dan Indonesia tahun 2001 (Wackernagel, Monfreda dan Moran 2004)
Negara
Population
(millions)
Total Ecological Footprint
Total food & fiber Footprint
Total energy Footprint
Built-up land
Biocapacity
Ecological Deficit *
(global ha/person)
(global ha/person)
(global ha/person)
(global ha/person)
(global ha/person)
(global ha/person)
Dunia
6,148.1
2.2
0.9
1.2
0.07
1.8
0.4
Indonesia
214.4
1.2
0.7
0.4
0.05
1.0
0.2
EF dunia adalah 2,2 global hektar per orang. Satu global hektar artinya satu hektar produktivitas biologis sama dengan rata-rata secara global. Secara global terdapat defisit sumberdaya alam sebesar 0,4 global hektar per orang. Hal ini merupakan selisih dari total ecological footprint sejumlah 2,2 global ha/ orang dengan biocapacity yang hanya 1,8 global ha/ orang. Nilai EF Indonesia masih jauh dibawah dunia, yaitu 1,2 global ha/ orang tetapi biocapacitynyapun masih dibawah nilai dunia yaitu hanya 1,0 global ha/ orang. Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia meskipun menggunakan atau mengeksploitasi sumberdaya alam lebih rendah daripada negara-negara lain, tetapi
suplai bioproduktif atau cadangan sumberdaya pun relatif lebih sedikit. Hal ini disebabkan oleh penggunaan sumberdaya alam relatif lebih rendah dibandingkan negara lain sehingga jumlah cadangan sumberdaya alam masih relatif lebih banyak.
Tetapi hal ini dapat berubah bila penggunaan sumberdaya alam
dilakukan secara tidak seksama.
2.5.2.3. Environmental Sustainability Index (ESI) Environmental Sustainability Index (ESI) menekankan pada aspek lebih luas, berorientasi kebijakan dan jangka waktu lebih pendek. ESI menyediakan alat dari anugerah sumberdaya alam milik masyarakat dan sejarah lingkungan, aliran dan cadangan polusi, laju ekstrasi sumberdaya sebagimana mekanisme kelembagaan dan kemampuan untuk merubah polusi masa datang dan perjalanan penggunaan sumberdaya (Yale Center for Environmental Law & Policy 2005). ESI mengukur dampak dan respons serta kerentanan manusia terhadap perubahan lingkungan. ESI ini mempunyai lima komponen inti yaitu environmental system (sistem lingkungan), reducing environmental stress (mengurangi tekanan lingkungan), reducing human vulnerability (mengurangi kerentanan manusia), social and institutional capacity (kapasitas sosial dan kelembagaan) dan global stewardship (penanganan global). Suatu negara secara lingkungan berkelanjutan bila sistem lingkungan vital terjaga pada level yang sehat; tekanan antropogenik cukup rendah; masyarakat dan sistem sosial tidak rentan terhadap gangguan lingkungan; lembaga dan pola sosial serta jaringan di negara tersebut mempunyai respon yang efektif terhadap tantangan lingkungan; negara tersebut bekerja sama dengan negara lain untuk mengelola masalah lingkungan. Hasil analisis keberlanjutan berdasarkan ESI (2005) memberikan gambaran bahwa Indonesia mempunyai indeks 48,8 dengan peringkat 75. Hal ini memberikan gambaran bahwa ketertinggalan Indonesia dalam memperhatikan keberlanjutan lingkungan. ESI atau indeks keberlanjutan lingkungan memberikan gambaran suatu negara dalam lima aspek yaitu sistem lingkungan, pengurangan tekanan lingkungan, pengurangan kerentanan manusia, kapasitas sosial dan kelembagaan, serta kerjasama global.
Aspek dengan nilai lebih tinggi untuk
Indonesia adalah aspek kerjasama global dan pengurangan tekanan yang berindeks 59, sementara yang terendah adalah sistem lingkungan yaitu 33. Hal ini menggambarkan bahwa usaha Indonesia dengan kerjasama global dan usaha untuk mengurang tekanan lingkungan lebih tinggi dibandingkan dengan pengelolaan sistem lingkungan dan kapasitas sosial dan kelembagaan (Gambar 10).
Gambar 10 Nilai Environmental Sustainability Index Indonesia (Yale Center for Environmental Law & Policy 2005) 2.5.2.4.Wellbeing Index (Indeks Kesejahteraan) Konsep wellbeing index merupakan penjabaran dari konsep sustainable development yang merupakan indikator dari tingkat kesejahteraan manusia tanpa mengabaikan keberadaan ekosistem. Berdasarkan definisinya maka human wellbeing adalah keadaan dari seluruh anggota masyarakat dalam menentukan dan memenuhi kebutuhannya serta memiliki banyak pilihan untuk menggunakan potensinya. Ecosystem wellbeing adalah keadaan dari ekosistem dalam menjaga keragaman dan kualitasnya; mempartahankan kapasitasnya dalam mendukung masyarakat; dan menggunakan potensi untuk menyesuaikan terhadap perubahan di masa mendatang (Prescott-Allen 2001). Pengkajian kesejahteraan (wellbeing assessment) adalah metode untuk mengkaji keberlanjutan dari manusia dan ekosistem dengan bobot yang sama. Pengkajian kesejahteraan dikembangkan dan diuji oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dan IDRC (the International Development Research Centre). Kajian ini menggunakan cara yang sistematis melalui penggabungan 4 indeks yaitu Human Wellbeing Index (HWI),
Ecosystem Wellbeing Index (EWI), Wellbeing Index (WI), dan Wellbeing/Stress Index (WSI) atau rasio human wellbeing terhadap stres ekosistem. Pengkajian kesejahteraan berbeda dengan metode-metode lain yang mengkaji keberlanjutan. Perbedaan tersebut yaitu adanya dua fokus yang meliputi kesejahteraan manusia dan ekosistem,
dan adanya grafik/ gambaran dari
penggabungan nilai HWI, EWI, WI dan WSI. Grafik ini disebut dengan barometer keberlanjutan yang merupakan skala keragaan (performance) yang dibuat untuk mengukur kesejahteraan manusia dan ekosistem secara bersama. Konsep wellbeing of nations ini menyamakan pembangunan yang berkelanjutan seperti kehidupan yang baik, dan kehidupan yang baik ini berada pada level tertinggi dari kesejahteraan manusia dan ekosistem (Prescott-Allen 2001).
Level yang tinggi dari kesejahteraan manusia diperlukan karena tak
seorangpun yang ingin berada di level kehidupan yang rendah. Kesejahteraan ekosistem
diperlukan
karena
ekosistem
mendukung
kehidupan
dan
memungkinkan manusia hidup di level yang sesuai dengan standar kehidupan. Keadaan ini dapat diilustrasikan dengan metafora sebuah telur.
Ekosistem
diibaratkan putih telur dari suatu telur yang melindungi kuning telur yang merupakan metafora dari manusia. Sebuah telur berkualitas baik bila baik putih dan kuning telur dalam kondisi baik, hal yang sama dimetaforakan kedalam masyarakat yang berkelanjutan bila manusia dan ekosistemnya dalam kondisi yang baik (Gambar 11).
Gambar 11 Keberlanjutan yang dimetaforakan dengan sebuah telur (PrescottAllen 2001)
Pengkajian ketiga berkaitan dengan keberlanjutan Indonesia yang telah dipublikasikan
adalah
Wellbeing
Index
(Indeks
Kesejahteraan).
Hasil
pemeringkatan Indeks Kesejahteraan Negara-negara yang dilakukan pada tahun 2004 oleh IUCN (The World Conservation Union) dan IDRC (the International Development Research Centre), menunjukkan bahwa peringkat pertama berada pada negara Swedia dan peringkat terakhir adalah Irak, sementara Indonesia berada di peringkat tengah yaitu di posisi ke 87 dari 180 negara (Tabel 7). Tabel 7 Nilai dan Peringkat Wellbeing Index Indonesia (Prescott-Allen 2001) Peringkat 1 87 180
Negara
WI
Swedia Indonesia Iraq
64.0 42.0 25.0
HWI
EWI
79 36 19
49 48 31
100 Good 23 80
80
42 80
Austria 1.38
Belgium 1.04 H U M A N
Fair
Estonia 0.94
60 Medium
W E L L B E I N G
34 62
46 62
Latvia 1.15
Mexico 0.57 21 45
40
36 45
China 0.50
28 36
Bad
Poor
Brazil 0.70 48 36
Indonesia 0.69
Poor 20 Bad
0
20
Medium 40
Fair 60
Good 80
100
ECOSYSTEM WELLBEING
Gambar 12 Barometer keberlanjutan dari beberapa negara termasuk Indonesia (Prescott-Allen 2001) Pada Gambar 12 berikut tampak bahwa Indonesia berada di area berwarna pink, yang menggambarkan kesejahteraan ekosistem berada di area yang sedang (medium) tetapi kesejahteraan manusia berada di area miskin (poor).
Tabel 8
Kekuatan dan Kelemahan Metode-metode Pengkajian Keberlanjutan (CSD 2001, Wackernagel & Ress 1996, Bell & Morse 2003, PrescottAllen 2001)
Indikator
SDI 58 indikator
EF
WI
68 indikator
87 indikator
4 aspek 1 aspek (lingkungan, (lingkungan) ekonomi, sosial, kelembagaan)
3 aspek
3 aspek
Kekuatan
komprehensif
Komunikatif, karena angka/ hasilnya dapat secara langsung menggambarkan kondisi cadangan sumberdaya alam
Lebih menunjukan bagaimana masyarakat harus bertindak agar dapat menuju ke tingkat yang lebih berkelanjutan
Adanya barometer keberlanjutan yang berupa grafik berwarna, lebih komunikatif.
Kelemahan
Rumit, dan memerlukan pengolahan data
Kurang dapat menggambarkan aspek lain selain lingkungan
Karena merupakan indeks, tidak menggambarkan kondisi secara utuh
Beberapa indikator penting tidak dimasukkan dalam perhitungan
Lingkup
1 indikator
ESI
Catatan: SDI : Sustainable Development Indicator EF : Ecological Footprint ESI : Environmental Sustainability Index WI : Wellbeing Index
(sosial, (lingkungan, sosial dan ekonomi dan lingkungan) institutional)