II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunitas Chironomid Makroavertebrata benthik atau sering kita sebut benthos adalah hewan yang tidak bertulang belakang yang memiliki ukuran tubuh lebih besar dari 0,5 mm. Menurut Odum (1971) benthos adalah organisme yang hidup di dasar atau permukaan sedimen dasar perairan, baik yang hidup pada substrat lumpur, pasir, batu, kerikil, maupun sampah yang berada di dasar danau, kolam, dan sungai. Zoobenthos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang (Odum 1971). Menurut Goldman (1983) zoobenthos adalah organisme yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya pada sedimen sebagai habitat hidupnya. Hewan yang hidup di sedimen dan tumbuhan besar di danau biasanya sangat beragam. Hewan benthik memiliki peranan penting dalam perairan dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan. Perhatian utama mengenai studi hewan benthik adalah pada tahapan belum matang gonad dari serangga dan merupakan yang paling dominan pada habitat ini (Wetzel & Likens 1991). Larva serangga air merupakan organisme yang sangat banyak ditemukan pada perairan. Beberapa larva serangga air termasuk chironomid hidup meliang pada sedimen.
Chironomid yang paling mendominasi komponen makroavertebrata
sebagai benthos adalah dari ordo Diptera. Larva chironomid yang melimpah pada perairan tergenang biasanya tidak terlalu terpengaruh terhadap perubahan suhu yang kecil, namun kondisi oksigen yang sedikit sangat berpengaruh terhadap larva chironomid, karena dapat mengganggu proses osmoregulasi organisme tersebut. Chironomid atau biasa disebut sebagai midge adalah serangga air yang merupakan family dari Chironomidae dan merupakan hewan yang berada tersebar hampir di seluruh dunia dengan menempati habitat yang berbeda ekosistem perairan (Frouz et al. 2003).
pada setiap
Larva chironomid biasanya ditemukan
paling banyak pada perairan tawar. Hewan ini berperan penting pada ekosistem perairan karena termasuk dalam salah satu rantai makanan atau trofik level pada suatu ekosistem. Biasanya hewan ini merupakan makanan bagi makroavertebrata yang lebih besar dan ikan (Epler 1995; Frouz et al.2003; Zilli et al.2008). Biasanya
setelah proses kawin organisme betina meletakkan telur di permukaan air yang kemudian tenggelam ke dasar perairan selanjutnya menetas dan berkembang menjadi larva (Ciborowski
2002).
Larva chironomid merupakan salah satu
organisme yang menjadi indikator perairan. Larva dari salah satu jenis chironomid sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan dan bentuk polusi, sementara chironomid jenis lainnya merupakan jenis yang toleran terhadap kondisi perairan. Larva chironomid pada masing-masing habitat memiliki pola adaptasi yang berbeda pula khususnya terhadap suhu dan oksigen (Donato 2008; Frouz 2003; Walshe 1947). Perubahan-perubahan yang terjadi akibat adanya perubahan kondisi lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap proses kolonisasi chironomid di substrat buatan. Dinamika ini dapat dilihat dari adanya selang kelas panjang yang terdistribusi normal membentuk suatu kohort.Kohort merupakan gambaran mengenai organisme yang memiliki umur yang sama dan berada pada kondisi lingkungan perairan yang sama (Battacharya 1967 in Spare & Venema 1999). Penentuan instar larva chironomid dapat ditentukan dengan pengelompokan data panjang total dan lebar kepala chironomid ke dalam kelompok tertentu yang membentuk kelompok sebagai tahapan instar larva chironomid (Zilli et al. 2008). Adanya kelompok kohort dan perbedaan instar menunjukkan bahwa larva chironomid yang mengalami kolonisasi pada substrat buatan terdiri dari beberapa kohort dengan kelompok instar tertentu.
2.2. Substrat Buatan Substrat merupakan tempat tinggal tumbuhan dan hewan yang hidup di dasar perairan atau di permukaan benda yang ada di kolom perairan (Odum 1971). Jenis substrat di perairan sangat mempengaruhi penyebaran, kepadatan, dan komposisi makroavertebrata. Cairns et al. (1975) mengatakan bahwa dalam memperoleh data kuantitatif organisme dari habitat asli secara langsung tidak hanya sulit tapi seringkali tidak memungkinkan. Substrat buatan merupakan suatu alat yang terbuat dari bahan alami maupun bahan buatan dengan berbagai macam variasi dan komposisi yang diletakkan di suatu perairan dengan waktu pemaparan dan kedalaman
sudah
ditentukan
untuk
melihat
proses
kolonisasi
komunitas
makroavertebrata. Kegunaan substrat buatan adalah untuk mendapatkan sampel populasi organisme benthos yang ada di perairan (Klemm et al. in Saliu & Ovuorie 2006). Sedangkan menurut Phongsuwan et al. (1997) substrat buatan merupakan suatu alat yang digunakan sebagai tempat atau habitat suatu organisme. Kegunaan substrat buatan adalah untuk mendapatkan sampel populasi hewan benthik avertebrata mengingat bahwa habitat organisme tidak memungkinkan untuk suatu alat sampling kuantitatif seperti grabs, dredges, nets, dan alat sejenisnya yang digunakan pada habitat tersebut (Rosenberg & Resh 1982 in Saliu & Ovuorie 2006). Substrat buatan untuk pengambilan sampel makroavertebrata juga diyakini memberikan nilai keragaman yang lebih rendah dikarenakan substrat buatan memiliki bentuk habitat yang seragam untuk proses kolonisasi.Selain itu, penggunaan substrat buatan dapat memberikan informasi mengenai waktu awal terjadinya kolonisasi organisme pada substrat tersebut. Keuntungan utama dalam penggunaan substrat buatan untuk mendapatkan data makroavertebrata adalah untuk meminimalkan bentuk variasi fisik seperti jenis substrat, kedalaman, dan penetrasi cahaya. Alat ini juga dapat digunakan karena tidak mengganggu keberadaan organisme asli di kawasan tersebut. Sudarso et al. (2002) menyatakan bahwa substrat buatan baik digunakan untuk mendapatkan data mengenai populasi makroavertebrata ketika alat konvensional tidak efisien dan tidak efektif untuk digunakan khususnya pada perairan yang memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Sifat badan air memiliki kedalaman yang besar dan keruh 2. Sifat substrat yang tidak stabil berupa pasir dan lumpur 3. Sifat dasar perairan yang berupa bebatuan besar dan keras Melalui substrat buatan, habitat yang tidak cocok untuk organisme benthik dapat diatasi dengan menyeragamkan bentuk dasar dari habitat yang dapat diletakkan pada area manapun sesuai kondisi yang diinginkan. Asumsi mengenai hal ini adalah komposisi dari organisme yang mengalami kolonisasi di substrat buatan dapat digunakan untuk menduga dampak dari kegiatan antropogenik dan merupakan hal yang sama saat menggunakan alat grab (Weber 1973; Hellawell 1978 in Saliu & Ovuorie 2006).
Proses kolonisasi organisme yang ada dalam substsrat buatan sangat beragam dari segi waktu dan tempat. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses kolonisasi organisme pada substrat buatan adalah musim, masukan bahan organik, sedimentasi, jenis partikulat, catatan mengenai kerusakan habitat yang pernah terjadi, dan jarak ke sumber pada subtsrat buatan. Perbedaan musim memberikan gambaran mengenai perbedaan mobilitas/gerak organisme tersebut berkenaan dengan pertumbuhan, siklus hidup organisme, dan reproduksi dari organisme benthik tiap tahunnya. Selain itu jumlah jenis dan individu yang mengalami kolonisasi pada substrat buatan juga berbeda berdasarkan perbedaan musim dan jenis taksa individu dari siklus hidup dan pola tahunan organisme tersebut. Karakteristik dari lingkungan fisik dan biologi dari tempat di mana substrat buatan juga sangat berpengaruh terhadap jumlah individu yang mengalami kolonisasi.
2.3. Bahan Organik Basmi (1988) mengatakan bahwa bahan organik merupakan hal yang memainkan peranan penting terhadap struktur dan fungsi ekosistem perairan. Bahan organik meliputi bentuk yang terlarut atau partikulat yang dapat dijumpai pada setiap jenis perairan, baik di laut maupun di air tawar. Bahan organik ini biasanya berasal dari sisa-sisa tanaman yang sudah mengalami dekomposisi dan hewanhewan akuatik yang sudah mati. Bahan organik merupakan faktor penting dalam proses dekomposisi. Sumber bahan organik bisa berasal dari perairan itu sendiri (autochthonous) maupun disuplai dari ekosistem lain (allochthonous). Tanaman, hewan, dan mikroorganisme yang telah mati selanjutnya akan mengalami dekomposisi dan mengalami proses sintesis. Spesies dan organisme yang sudah menjadi bahan organik akan mengalami sintesis dan degradasi yang kemudian menjadi bahan yang larut ke dalam perairan dan ada yang dalam bentuk partikulat. Bahan organik memerlukan oksigen dalam penguraiannya, akibat proses perombakan
tersebut
bahkanmencapai nol.
kandungan
oksigen
terlarut
dapat
menjadi
rendah
Kadar oksigen terlarut yang rendah merupakan indikator
penting bagi adanya masukan bahan organik. Kualitas perairan akan berubah jika masukan bahan organik berlebih. Seiring dengan berubahnya kondisi lingkungan perairan tersebut akan mempengaruhi kelimpahan dan penyebaran larva chironomid
yang ada di ekosistem tersebut (Morgan & Dougherty 1991).
2.4. Keadaan Umum Danau Lido Danau Lido terletak di Desa Watesjaya, Kecamatan Cigombong, 25 km dari Kota Bogor ke arah Sukabumi. Danau Lido juga dikenal dengan sebutan Situ Lido. Danau Lido merupakan danau yang relatif kecil dengan luas 21 hektar dan merupakan danau buatan dengan pembendungan sungai Ciletuk untuk pembangunan jalan raya Bogor-Sukabumi (Nancy 2007).
Danau Lido sendiri memiliki jenis
substrat berpasir dan berlumpur dengan daerah pinggiran danau dikelilingi tumbuhan air dan pepohonan. Sumber utama air Danau Lido adalah sungai Ciletuk dan sumber lainnya adalah dari air permukaan dan air dalam tanah. Danau Lido pada awalnya dibuat untuk mengairi areal persawahan. Namun, saat ini Danau Lido menjadi objek wisata, irigasi, dan kegiatan perikanan dengan adanya karamba jaring apung.
2.5. Parameter Fisika dan Kimia Perairan 2.5.1. Kedalaman Kedalaman merupakan salah satu parameter fisika, dimana semakin dalam perairan maka intensitas cahaya matahari yang masuk semakin berkurang. Semakin besar kedalaman, tekanan air akan semakin besar. Tekanan pada air berpengaruh terhadap proses osmosis dalam tubuh organisme sehingga organisme akan berusaha agar tekanan osmosis lingkungan sesuai dengan keadaan tubuh dan proses osmoregulasi dalam tubuh organisme.
Hal ini berpengaruh terhadap pola
penyebaran organisme khususnya larva chironomid pada kolom perairan dengan kedalaman yang berbeda (Welch 1952). Suhu juga mengalami stratifikasi pada kedalaman yang berbeda berkenaan dengan panas yang diterima pada setiap kolom perairan. Hal ini disebabkan oleh semakin besarnya gaya yang bekerja pada lapisan yang lebih dalam. Kedalaman merupakan wadah penyebaran atau faktor fisik yang berhubungan dengan banyaknya air yang masuk ke dalam suatu sistem perairan dan berpengaruh terhadap penyebaran organisme perairan(Welch 1952).
2.5.2. Kecerahan Parameter kecerahan berbanding terbalik dengan parameter kekeruhan. Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual dengan alat bantu yang disebut “Secchi disk”. Kecerahan dapat dijadikan acuan untuk menduga apakah perairan tersebut terkontaminasi bahan berbahaya atau tidak dan menduga tingkat kesuburan. Perairan yang tercemar atau subur disebabkan oleh kandungan nutrien yang sangat tinggi yang dapat menyebabkan kecerahan menjadi kecil. Hasil pengukuran dipengaruhi oleh keadaan cuaca, kekeruhan air, dan waktu pengamatan.
Kecerahan ini mempengaruhi aktivitas fotosintesis pada perairan
tersebut (Effendi, 2003). 2.5.3. Suhu Suhu merupakan parameter penting dalam perairan dan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan di perairan.
Suhu suatu
perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berperan terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air.
Suhu juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi
ekosistem perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003). Pengaruh suhu secara langsung menentukan kehadiran spesies akuatik, mempengaruhi pemijahan, penetasan, aktivitas, dan pertumbuhan organisme. Sedangkan secara tidak langsung dapat menyebabkan perubahan kesetimbangan kimia.
Suhu juga merupakan fungsi dari kelarutan gas-gas dalam air dimana
kelarutan akan meningkat pada saat temperatur rendah. langsung terjadi pada keberadaan unsur hara.
Pengaruh secara tidak
Hal ini dikaitkan dengan laju
metabolisme organisme air, dimana pada suhu yang tinggi laju metabolisme akan meningkat.
Proses metabolisme ini biasanya merupakan pemanfaatan hasil
fotosintesis yang akan mempengaruhi proses regenerasi unsur hara. Kisaran suhu yang optimal bagi biota di perairan adalah kurang dari 33ºC (Basmi 2000). Kemampuan adaptasi larva chironomid pada perubahan suhu sangat bergantung dari sifat fisiologis dari setiap jenis spesies berkaitan dengan habitat asli larva
chironomid dapat hidup (Walshe 1947). 2.5.4. Oksigen Terlarut Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut yaitu jumlah mg/l gas oksigen yang terlarut dalam air. Kadar oksigen yang terlarut bergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian, serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut akan semakin kecil. Penggunaan oksigen sangat intensif pada bagian dasar perairan, di mana bahan organik terakumulasi pada bagian dasar perairan sehingga proses dekomposisi oleh bakteri pada bagian dasar ini sangat tinggi.
Dekomposisi bahan organik dapat
mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Semakin tinggi tekanan air, kelarutan oksigen akan semakin rendah. Sumber oksigen yang terlarut di suatu perairan dapat terjadi akibat difusi oksigen dari atmosfer dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air. Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air dapat terjadi secara langsung pada kondisi air diam. Konsumsi oksigen digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh larva chironomid.
Proses metabolisme dan
konsumsi oksigen pada setiap jenis larva chironomid berbeda-beda berkaitan dengan kemampuan adaptasi fisiologis tiap jenis larva pada kondisi lingkungan perairan. Lencioni et al. (2008) mengatakan bahwa ada hubungan antara massa tubuh dengan laju konsumsi oksigen pada larva chironomid. 2.5.5. BOD Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biokimia adalah banyaknya jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik.
Dekomposisi bahan organik pada dasarnya terjadi
melalui dua tahap. Pada tahap pertama, bahan-bahan organik diuraikan menjadi bahan anorganik.
Pada tahap kedua, bahan anorganik yang tidak stabil seperti
amonia mengalami oksidasi menjadi nitrit dan nitrat yang dikenal sebagai proses nitrifikasi. Pada proses dekomposisi bahan organik, mikroba memanfaatkan bahan organik sebagai sumber makanan dari suatu rangkaian reaksi biokimia yang kompleks. BOD hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis. Bahan organik merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan limbah domestik dan industri. Kelarutan oksigen pada
suhu 20˚C adalah sekitar 9 mg/l. Oleh karena itu, pada penentuan nilai BOD perairan yang tercemar bahan organik dalam jumlah besar perlu dilakukan pengenceran dan diberikan pasokan oksigen dengan menggunakan aerator. Pada perairan alami, yang berperan sebagai sumber bahan organik adalah pembusukan tanaman.
Perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5-7,0 mg/l
(Jeffries & Mills 1996 in Effendi 2003). Perairan yang memiliki nilai BOD >10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran. 2.5.6. pH Derajat keasaman (pH) merupakan fungsi dari kandungan CO2 yang terlarut dalam air sedangkan kadar CO2 akan berkurang oleh kegiatan fotosintesis dan akan bertambah karena respirasi. pH merupakan tingkat keasaman dari suatu perairan. Nilai pH ideal untuk perairan adalah 6,5-8,5, sedangkan pH air yang digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan adalah 6-9 (PPRI No. 82 tahun 2001). Organisme perairan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam bertoleransi dengan pH perairan. Kematian lebih sering diakibatkan karena pH yang rendah daripada pH yang tinggi. Batas toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation, jenis dan stadia organisme (Pescod 1973 in Effendi 2003). Derajat keasaman (pH) normal memiliki nilai 7 sementara bila nilai pH > 7 menunjukkan zat tersebut memiliki sifat basa sedangkan nilai pH < 7 menunjukan keasaman. pH=0 menunjukan derajat keasaman tertinggi, dan pH 14 menunjukan derajat kebasaan tertinggi. Umumnya indikator sederhana yang digunakan adalah kertas lakmus yang berubah menjadi merah bila keasamannya tinggi dan biru bila keasamannya rendah. Selain mengunakan kertas lakmus, indikator asam basa dapat diukur dengan pH meter yang bekerja berdasarkan prinsip elektrolit / konduktivitas suatu larutan.Faktor antropogenik dan kegiatan pertanian dapat meningkatkan kandungan nutrient dan berpengaruh pada penurunan kondisi pH perairan (Morgan & Dougherty 1991). 2.5.7. COD Chemical
Oxygen
Demand
(COD)
atau
kebutuhan
oksigen
kimia
menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan
organik secara kimiawi, baik yang didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar dioksidasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Pengukuran COD didasarkan pada kenyataan bahwa hampir semua bahan organik dapat dioksidasi menjadi air dan karbondioksida dengan bantuan oksidator kuat. Keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga dan industri.
Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak
diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan tidak tercemar biasanya <20 mg/l, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat >200
mg/l
dan
pada
limbah
industri
dapat
mencapai
60.000
mg/l
(UNESCO/WHO/UNEP 1992 in Effendi 2003). 2.5.8. TSS dan TDS Total Suspended Solid atau yang sering disebut dengan padatan tersuspensi total adalah bahan-bahan tersuspensi yang tertahan pada kertas saring milliopore dengan diameter pori 0.45µm. Padatan tersuspensi total ini terdiri oleh lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh pengikisan yang terjadi pada tanah yang terbawa ke badan perairan. Diameter padatan tersuspensi adalah >1 µm. Total Dissolved Solid atau yang biasanya disebut padatan terlarut total adalah bahan-bahan terlarut yang memiliki ukuran diameter < 10-6 mm dan koloid yang memiliki ukuran diameter 10-6 mm sampai 10-3 mm yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 µm (Rao 1992 in Effendi 2003).
Nilai TDS perairan sangat dipengaruhi oleh
pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri). Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika berlebihan, terutama TSS, dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis perairan. Rasio antara padatan terlarut dan kedalaman rata-rata perairan merupakan salah satu cara untuk menilai produktivitas perairan.