3
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Pupuk Menurut Leiwakabessy dan Sutandi (2004), pupuk adalah bahan untuk
diberikan kepada tanaman baik langsung maupun tidak langsung guna mendorong pertumbuhan tanaman, meningkatkan produksi atau memperbaiki kualitasnya, sebagai akibat perbaikan nutrisi tanaman sedangkan pemupukan artinya pemberian pupuk kepada tanaman atau kepada tanah dan substrat lainnya. Penggolongan pupuk umumnya didasarkan pada asal, senyawa, bentuk, cara penggunaan, jumlah unsur hara yang dikandung, dan jumlah unsur hara yang dibutuhkan tanaman. 2.1.1. Klasifikasi Berdasarkan Asal 1) Pupuk alam, yakni pupuk yang terbentuk di alam dan dipakai tanpa atau dengan sedikit proses, di antaranya berupa pupuk kandang, pupuk hijau, gambut, serasah, lumpur, tinja, abu, kapur, batuan, fosfat, dan sebagainya. 2) Pupuk buatan, yakni pupuk yang diproduksi dengan teknologi khusus di pabrik, melalui perubahan-perubahan kimia dari pupuk alam atau dari bahan dasar sederhana (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). 2.2.2. Klasifikasi Berdasarkan Tipe Senyawa Kimia 1) Pupuk organik, yaitu pupuk yang mengandung satu atau lebih senyawa organik tetapi dalam tanah segera diubah menjadi senyawa anorganik melalui proses amonifikasi (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). 2) Pupuk anorganik atau mineral, merupakan pupuk yang dibuat di pabrik secara kimia dan mengandung satu atau lebih senyawa anorganik (Kasno, 2009). 2.2.3. Klasifikasi Berdasarkan Bentuk 1) Pupuk padat, yakni pupuk yang umumnya mempunyai kelarutan beragam mulai yang mudah larut air sampai yang sukar larut air. 2) Pupuk cair, yakni pupuk yang berupa cairan yang cara penggunaannya dilarutkan terlebih dahulu dengan air. Umumnya, pupuk ini disemprotkan ke daun. Karena mengandung banyak hara, baik makro maupun mikro, harga pupuk ini relatif mahal. (Yuwomo, 2010).
4
2.2.4. Klasifikasi Berdasarkan Cara Penggunaan 1) Pupuk daun, yakni pupuk yang cara pemupukan dilarutkan terlebih dahulu dalam air, kemudian disemprotkan pada permukaan daun. 2) Pupuk akar atau pupuk tanah, yakni pupuk yang diberikan ke dalam tanah di sekitar akar agar diserap oleh akar tanaman (Yuwomo, 2010). 2.2.5. Klasifikasi Berdasarkan Jumlah Unsur Hara yang Dikandung Pupuk 1) Pupuk Tunggal, yaitu pupuk yang hanya mengandung satu macam unsur pupuk (N, P, K). 2) Pupuk majemuk, yakni pupuk yang mengandung beberapa unsur pupuk. Pupuk majemuk dibuat melalui proses dekomposisi kimia di pabrik atau dicampur.
Komposisi dan kadar dari pupuk majemuk dibuat berdasarkan
kebutuhan (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). 2.2.6. Klasifikasi Berdasarkan Jumlah Unsur Hara yang Dibutuhkan Tanaman 1) Pupuk makro, yakni pupuk yang mengandung hara makro saja, misalnya NPK. 2) Pupuk mikro, yakni pupuk yang hanya mengandung hara mikro saja, misalnya mikrovet, mikroplek, dan metalik. 3) Campuran makro dan mikro, misalnya pupuk gandasil, bayfolan, dan rustika (Yuwomo, 2010).
2.2. Urin Kambing Kacang sebagai Pupuk Organik Pangan organik makin diminati sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat
akan kelestarian
lingkungan.
Sejalan dengan
meningkatnya
permintaan bahan pangan organik maka kebutuhan akan pupuk organik makin bertambah pula. Salah satu alternatif dalam menyediakan pupuk organik adalah dengan memanfaatkan limbah ternak, baik diolah terlebih dahulu maupun langsung digunakan pada tanaman. Ternak yang berpotensi dalam menghasilkan pupuk organik adalah kambing Kacang. Petani umumnya memelihara kambing sebagai usaha sampingan. Menurut Devendra dan Burn (1994), kambing Kacang (Capra aegagrus Hiras) merupakan kambing yang tahan derita, lincah, dan mampu beradaptasi
5
dengan baik dan tersebar luas di wilayah Indonesia.
Kambing Kacang pada
umumnya berwarna hitam, kadang-kadang dengan beberapa bercak putih. Tanduknya berbentuk pedang lengkung, melengkung ke atas dan ke belakang, dan tumbuh dengan baik pada kedua jenis kelamin. Umumnya memiliki telinga pendek dan tegak, janggut selalu terdapat pada hewan jantan namun jarang terdapat pada hewan betina. Lehernya pendek dan punggungnya melengkung sedikit lebih tinggi daripada bahunya serta mempunyai bulu surai yang panjang dan kasar.
Kegunaan utama dari kambing Kacang adalah sebagai penghasil
daging. Menurut Ensminger (2001), pakan yang diberikan untuk ternak kambing harus dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan bereproduksi. Kebutuhan nutrisi yang diperlukan kambing ialah energi, protein, mineral, vitamin, dan air. Jumlah pakan yang diberikan tergantung pada ukuran tubuh, kondisi kambing (masa pertumbuhan, bunting, dan laktasi), dan jenis kelamin. Kajian
mengenai
limbah kambing berupa urin dilakukan untuk
mengetahui kandungan hara yang terkandung di dalamnya melalui analisis di laboratorium.
Tabel 1 berikut ini menunjukkan unsur hara yang terkandung
dalam pupuk urin dan kompos cair dari limbah kambing. Tabel 1. Kandungan Unsur Hara Pupuk Urin dan Kompos Cair dari Limbah Kambing Kandungan hara Jenis Bahan N P K C-organik (%) (ppm) (ppm) (ppm) Tanpa perlakuan 0.34 94 759 3390 Urin Dengan perlakuan 0.89 89 1770 3773 Kompos Tanpa perlakuan 0.27 69 422 2811 cair Dengan perlakuan 1.22 84 962 3414 Keterangan Perlakuan pada urin : fermentasi 7 hari, pemutaran 6 jam Perlakuan pada feses : fermentasi 7 jam Sumber: Lundra (2008)
Konsentrasi amonia dalam rumen tergantung pada kelarutan dan jumlah protein pakan. Protein pakan yang didegradasi menjadi asam amino akan mengalami proses perubahan menjadi asam organik, CO2 dan NH3. Senyawa NH3 yang dihasilkan dapat diubah menjadi protein mikroba kemudian mengalir ke abomasum, usus halus, dan hati. Senyawa NH3 yang masuk ke dalam hati diubah
6
menjadi urea, urea yang dihasilkan sebagian akan masuk kembali ke dalam rumen melalui saliva ataupun dinding rumen dan sebagian lagi akan diekresikan melalui urin.
2.3. Pupuk Daun sebagai Pupuk Buatan Pupuk buatan merupakan pupuk yang dibuat di pabrik secara kimia dan dapat berupa senyawa organik maupun anorganik. Pupuk anorganik dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah hara yang menyusunnya, yaitu pupuk tunggal dan pupuk majemuk. Pupuk tunggal merupakan pupuk yang mengandung hanya satu unsur hara sedangkan pupuk majemuk merupakan pupuk yang mengandung lebih dari satu unsur hara (Kasno, 2009). Pupuk daun adalah pupuk majemuk yang dapat diberikan melalui daun karena daun merupakan salah satu organ tanaman yang dapat menyerap unsur hara. Pemupukan lewat daun dapat dilakukan pada beberapa jenis pupuk yang larut dalam air.
Lingga dan Marsono (2004) menyatakan, pupuk daun ada dua
bentuk yaitu: cair dan padat. Keuntungan dari pemupukan melalui daun di antaranya dapat memberikan hara sesuai kebutuhan tanaman, penyerapan hara pupuk yang diberikan berjalan lebih cepat dibandingkan pupuk yang diberikan melalui akar. Kelarutan pupuk daun lebih baik dibanding pupuk akar, pemberiannya dapat lebih merata, kepekatannya dapat diatur sesuai pertumbuhan tanaman, dapat menghindari hilangnya unsur hara akibat pencucian dan volatilisasi sebelum dapat diserap oleh akar atau mengalami fiksasi dalam tanah yang berakibat tidak dapat lagi diserap oleh tanaman, serta dapat menjaga struktur tanah tetap remah atau gembur. Penggunaan pupuk daun juga memiliki kekurangan, di antaranya adalah tidak semua pupuk daun dapat digunakan untuk tanaman yang langsung dikonsumsi, jumlah unsur yang diberikan terbatas, laju penetrasi rendah (terutama pada daun dengan kutikula tebal), adanya aliran permukaan pada permukaan hidrofobik, larutan pupuk yang disemprotkan cepat kering dan konsentrasi atau dosis yang terlalu tinggi dapat menyebabkan keracunan. oleh air, terutama oleh air hujan.
Pupuk daun juga mudah tercuci
7
Pemupukan lewat daun sangat menguntungkan bila tanaman dihadapkan pada kondisi: ketersediaan hara di tanah sangat rendah, topsoil kering, dan terjadi penurunan aktivitas akar selama fase reproduktif. Dosis dan waktu penyemprotan adalah hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pupuk daun. Dosis yang tepat untuk setiap tanaman berbeda sesuai dengan jenis dan usia tanaman. Pemberian pupuk daun yang tepat adalah antara jam 7-9 pagi atau 3-5 sore dengan catatan tidak terjadi hujan. Pemberian pupuk daun sebaiknya tidak diberikan pada malam hari, panas terik, atau menjelang hujan. Pupuk daun sebaiknya diberikan pada saat ada cahaya matahari karena cahaya secara langsung merangsang penyerapan hara melalui daun (Lingga dan Marsono, 2004).
2.4. Unsur Hara Pupuk 2.4.1. Unsur Makro Unsur hara makro adalah unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak. Ada enam unsur hara makro, yaitu nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), dan sulfur (S). a.
Nitrogen Sebagian besar nitrogen (N) tanah berada dalam bentuk N organik maka
pelapukan N organik merupakan proses menjadikan N tersedia bagi tanaman. Senyawa N dibebaskan dalam bentuk amonium, dan bila keadaan baik amonium dioksidasikan menjadi nitrit kemudian nitrat (Soepardi, 1983). Senyawa N digunakan tanaman untuk membentuk asam amino yang akan diubah menjadi protein dan membentuk klorofil serta berperan dalam memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N akan berwarna lebih hijau. Gejala kekurangan N akan menyebabkan tanaman menjadi kerdil, pertumbuhan tanaman terbatas, daun-daun menguning, dan gugur. Gejala kelebihan N menyebabkan keterlambatan kematangan tanaman yang diakibatkan terlalu banyaknya pertumbuhan vegetatif, batang lemah dan mudah roboh serta mengurangi daya tahan tanaman terhadap penyakit (Hardjowigeno, 2003). b.
Fosfor (P) Mobilitas hara P dalam tanah sangat rendah karena reaksi dengan
komponen tanah maupun dengan ion–ion logam dalam tanah seperti Ca, Al, Fe,
8
dan lain–lain membentuk senyawa yang kurang larut dengan tingkat kelarutan berbeda–beda. Reaksi tanah (pH) memegang peranan sangat penting dalam mobilitas unsur ini (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Unsur P berperan dalam proses pemecahan karbohidrat untuk energi, Penyimpanan dan peredarannya ke seluruh tanaman dalam bentuk ADP dan ATP, merangsang pembelahan sel melalui peranan nukleoprotein yang ada dalam inti sel, menentukan pertumbuhan akar seta mempercepat kematangan dan produksi buah dan biji (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004).
Gejala defisiensi unsur P
mengakibatkan pertumbuhan terhambat (kerdil) karena pembelahan sel terganggu dan daun menjadi ungu atau coklat mulai dari ujung daun (Hardjowigeno, 2003). c.
Kalium (K) Kalium merupakan unsur kedua terbanyak setelah nitrogen dalam
tanaman.
Unsur K diserap dalam bentuk kation K monovalensi.
Unsur K
berperan dalam pembelahan sel, pembukaan stomata, fotosintesis (pembentukan karbohidrat), translokasi gula, reduksi nitrat dan selanjutnya sintesis protein serta dalam aktivitas enzim. Unsur K juga merupakan unsur logam yang paling banyak terdapat dalam cairan sel sehingga dapat mengatur keseimbangan garam–garam atau mengatur tekanan osmotik dalam sel tanaman sehingga memungkinkan pergerakan air ke dalam akar. Tanaman yang kekurangan unsur K akan kurang tahan kekeringan dibandingkan dengan yang cukup K, lebih peka terhadap penyakit dan kualitas produksi biasanya rendah baik daun, buah, maupun biji (Soepardi, 1983). Unsur K mudah bergerak (mobile) di dalam tanaman sehingga gejala defisiensi unsur K pada daun terutama terlihat pada daun tua, karena daundaun muda yang masih tumbuh dengan aktif menghisap K dari daun–daun tua. Selain itu gejala defisiensi unsur K menyebabkan pinggir–pinggir daun berwarna coklat, mulai dari daun tua (Hardjowigeno, 2003). d.
Kalsium (Ca) Kalsium merupakan bagian dari setiap sel tanaman. Sebagian besar
terdapat dalam bentuk kalsium pektat di dalam dan di sepanjang dinding sel tanaman. Penyebaran unsur Ca di dalam tanaman tidak merata, bagian produktif yaitu bunga dan biji mengandung sedikit unsur Ca sedangkan daun berkadar tinggi. Peranan unsur Ca dalam tanaman di samping sebagai penguat dinding sel,
9
juga mendorong perkembangan akar, memperbaiki vigor tanaman dan kekuatan daun, merangsang proses pemanjangan sel, sintesis protein dan mitosis. Kekurangan unsur Ca menunjukkan gejala pembengkokan daun–daun muda dan akar muda, akar memendek, membengkak dan menyatu (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). e.
Magnesium (Mg) Magnesium diambil tanaman dalam bentuk ion Mg
2+
, terutama berperan
sebagai penyusun klorofil. Secara umum rata-rata menyusun 0,2% bagian tanaman. Sebagian besar terdapat di daun tetapi sering dijumpai dalam proporsi cukup banyak pada bagian bebijian padi, jagung, sorghum, kedelai, dan kacang tanah. Kekurangan unsur Mg dapat menyebabkan pucuk bagian di antara jari-jari daun tampak tidak berwarna. Kondisi ini akan tampak pertama kali di bagian bawah daun, kemudian meningkat ke bagian atas.
Sementara itu daun akan
berbentuk tipis, tampak mengering dan melengkung ke atas (Hadisuwito, 2007). f.
Sulfur (S) Seperti pada unsur P dan K, sulfur (S) juga berperan dalam proses sintesis
protein, memperkeras protoplasma untuk daya tahan terhadap kekeringan dan hawa dingin, menyusun asam amino sistein dan metionin, serta penyusun koenzim A dan vitamin-vitamin tertentu.
Sulfur juga berfungsi memperlancar kinerja
unsur lain dan memproduksi energi (Budiana, 2007).
2.4.2. Unsur Mikro Unsur mikro dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit. Namun unsur ini harus selalu tersedia di dalam jaringan tanaman. Unsur-unsur mikro itu adalah besi (Fe), tembaga (Cu), boron (B), mangan (Mn), molybdenum (Mo), klor (Cl), dan seng (Zn). Bila tanaman kekurangan salah satu unsur mikro maka pertumbuhannya akan terganggu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa unsur mikro merupakan unsur esensial bagi tanaman (Budiana, 2007). a.
Boron (B) Boron (B) berperan penting dalam pertumbuhan tanaman untuk
mengangkut karbohidrat dari daun ke bagian jaringan lain. Boron juga berperan dalam pembelahan sel sehingga bagian-bagian tanaman dapat tumbuh aktif. Pada
10
fase generatif, Boron sangat mempengaruhi perkembangan serbuk sari (Budiana, 2007). b.
Tembaga (Cu) Tembaga diambil tanaman dalam bentuk ion kupri Cu 2+ dan molekul
kompleks organik. Bentuk–bentuk ini dapat diambil melalui daun sehingga untuk mengatasi kekurangan Cu biasanya dilakukan penyemprotan pada daun. Tembaga berfungsi sebagai aktivator untuk berbagai enzim dan photosynthetic electron
transport
serta
dalam
pembentukan
nodul
(tidak
langsung)
sistem
enzim
arginase
(Leiwakabessy, Wahjudin, dan Suwarno, 2003) . c.
Mangan (Mn) Mangan
merupakan
komponen
dari
phototransferase, berperan dalam menggantikan unsur Mg dalam banyak enzim glikolisis (metabolisme gula), dan dalam fotosintesis khusus dalam revolusi oksigen, transport electron, dan sebagainya.
Defisiensi unsur Mn umumnya
ditemukan pada tanah–tanah dengan kandungan bahan organik dan pH tinggi, tanah–tanah yang sangat tercuci kemudian dikapur, dan tanah–tanah yang selalu tergenang air kemudian dikeringkan (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). d.
Seng (Zn) Reaksi Zn dengan senyawa organik menghasilkan senyawa kompleks yang
stabil antara lain dengan karboksilat dan fenolat. Namun bentuk ini masih dinilai lebih baik dibandingkan dengan pengikatan oleh tanah mineral, karena dapat dimanfaatkan tanaman. Oleh karena itu penambahan bahan organik ke tanah dapat meningkatkan ketersediaan unsur Zn di tanah, selain penambahan dari bahan organik sendiri.
Defisiensi Zn terjadi pada tanah yang dipupuk berat
dengan P. Pada tanah yang kekurangan Zn penyerapan unsur P tidak dapat dikendalikan tanaman sehingga pada dosis P yang tinggi akan terjadi keracunan P dengan gejala seperti kekurangan Zn (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). e.
Besi (Fe) Besi merupakan hara mikro yang cukup banyak terdapat dalam kerak bumi
dalam bentuk Fe (III) –oksida, –silikat, –sulfida, dan karbonat. Kehadiran bentukbentuk tersebut ditentukan oleh keadaan lingkungannya. Pada kondisi oksidatif, bentuk Fe(III) yang terutama dijumpai karena bentuk FeO dan Fe(II) diubah ke
11
dalam bentuk tersebut. Sebaliknya dalam keadaan reduktif, akibat tergenang atau pengaruh bahan organik, Fe(III) akan diubah menjadi Fe(II). Tanaman mengambil besi dalam bentuk Fe2+, Fe3+ , dan Fe-khelat seperti NaFe dan EDTA. Peranan Fe dalam tanaman banyak antara lain mempertahankan klorofil dalam daun, metabolisme RNA dari kloroplas, merupakan bagian penting dari haemoglobin, sitokrom dan komponen-komponen lain dari sistem respirasi enzim, dan berperan melalui sejenis protein yaitu ferredoxin (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). f.
Molybdenum (Mo) Bagi tanaman, unsur ini membantu mengikat nitrogen dari udara bebas.
Hal ini karena unsur Mo menjadi komponen pembentuk enzim pada bintil akar (Budiana, 2007). g.
Klor (Cl) Klor dibutuhkan tanaman pada fase vegetatif maupun fase generatif. Klor
sangat
penting
untuk
mengeluarkan
oksigen
dari
hasil
fotosintesis
(Budiana, 2007).
2.5.
Caisim (Brassica juncea L) Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1998), Brassica juncea L dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi
: Spermathophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Crassicales
Famili
: Cruciferae
Genus
: Brassica
Spesies
: Brassica juncea Brassica juncea tampaknya berasal dari wilayah tengah Asia, dekat kaki
pegunungan Himalaya. Brassica juncea adalah tanaman setahun yang menyerbuk sendiri, umumnya tahan terhadap suhu rendah, dan dikenal luas sebagai sawi India, sawi coklat atau sawi kuning. Klasifikasi anggota Brassica juncea amat membingungkan karena terdapat berbagai bentuk yang berbeda. Brassica juncea
12
memiliki beberapa varietas dan banyak bentuk dan hasil seleksi terutama di Asia Tenggara (Williams et al., 1993). Ada dua tipe penting pada Brassica juncea dari banyak varietas dan bentuk dan hasil seleksi, terutama yang berada di daerah Asia Tenggara. Yang pertama Brassica juncea var. sareptana yang diusahakan sebagai pertanaman musim dingin di Hongkong. Adapun tipe lain yaitu Brassica juncea var. ruqosa merupakan sayuran daun yang tumbuh cepat (60-90 cm) dengan daun-daun berlilin. Banyak kultivar tersedia di Asia Tenggara (Taiwan, Hongkong, Singapura) dan sayuran ini diusahakan sangat luas di bagian-bagian ini (Williams et al., 1993). Brassica juncea dapat tumbuh baik di tempat yang berudara panas maupun berudara dingin sehingga dapat diusahakan di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah namun akan lebih baik jika ditanam di dataran tinggi. Daerah penanaman yang cocok adalah pada ketinggian 5-1200 mdpl, namun biasanya Brassica juncea dibudidayakan di daerah berketinggian 100–300 mdpl. Tanaman ini tergolong tahan terhadap air hujan sehingga dapat ditanam sepanjang tahun. Selama pertumbuhannya tanaman ini memerlukan hawa yang sejuk maka akan lebih cepat tumbuh apabila ditanam dalam suasana lembab. Tanaman ini juga tidak cocok pada air yang menggenang, sehingga tanaman ini cocok bila ditanam pada akhir musim penghujan. Brassica juncea sangat cocok ditanam pada tanah gembur yang bertekstur lempung dan banyak mengandung humus, subur, serta pembuangan airnya baik. Derajat kemasaman optimum untuk pertumbuhan Brassica juncea berkisar antara 6-7 (Haryanto, 2003). Penyakit yang menyerang tanaman ini adalah busuk basah Erwina yang dapat menjadi parah jika tanaman terluka pada waktu kegiatan budidaya. Penyakit akar pekuk dapat menjadi sangat parah dan menyebabkan pertumbuhan kerdil yang nyata, tetapi penyakit bercak daun Alternaria biasanya tidak menjadi masalah. Penyakit rebah semai (Phythium spp) akan merusak jika tanaman terlalu banyak diairi. Tanaman ini merupakan tanaman yang cepat tumbuh, oleh karena itu pemeliharaan bedengan benih yang bersih merupakan satu-satunya persyaratan untuk mengendalikan gulma (Williams et al., 1993).
13
2.6.
Latosol Darmaga Menurut Dudal dan Soepraptoharjdo (1957), Latosol adalah tanah yang
berkembang dari bahan induk tufa vulkan dan turunannya. Di Indonesia, Latosol umumnya berada pada ketinggian 0-900 mdpl, di sekeliling kipas volkan dan kerucut volkan. Area Latosol umumnya beriklim basah dan tropikal, curah hujan antara 2500-7000 mm/tahun, mengalami proses pencucian dan pelapukan lanjut, perbedaan horizon tidak jelas, dengan kandungan mineral primer dan hara rendah, pH rendah 4.5-5.5, kandungan bahan organiknya relatif rendah, konsistensinya lemah dan stabilitas agregatnya tinggi, serta terjadi akumulasi seskuioksida dan pencucian silika. Warna tanah merah, coklat kemerah-merahan atau kekuningkuningan atau kuning tergantung dari komposisi bahan induk, umur tanah, iklim, dan elevasi Latosol memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia. Tanah ini di antaranya dijumpai di daerah Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Daerah
Darmaga memiliki ketinggian 220 mdpl dan memiliki curah hujan 3552 mm/tahun.
Latosol coklat kemerahan Darmaga Bogor termasuk ke dalam order
Inceptisols menurut sistem klasifikasi USDA dan terletak pada zona fisiografi Bogor bagian barat, dengan bahan induk vulkanik kuarter berasal dari Gunung Salak (Yogaswara, 1977). Soepardi (1983) menyebutkan bahwa Latosol terbentuk di bawah kondisi iklim dengan curah hujan dan suhu yang tinggi di daerah tropik dan semi tropik, gaya-gaya hancuran bekerja lebih cepat dan yang besar pengaruhnya lebih ekstrem dari pada di daerah sedang. Di banyak tempat di daerah tropik, musim basah dan kering yang silih berganti sangat mengintensifkan kegiatan kimia, terutama dari bahan organik. Proses yang berperan dalam pembentukan latosol disebut latosolisasi yaitu proses penimbunan Fe dan pencucian Si. Beberapa Latosol bereaksi sedang bahkan hingga sangat masam tetapi tidak semasam liat silikat dengan presentase kejenuhan basa seperti Latosol. Tanah-tanah itu biasanya memberikan respon baik terhadap pemupukan dan pengapuran.