13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya Kemiskinan Berbagai pendapat dan sudut pandang tentang kemiskinan telah banyak dikemukakan oleh para ahli.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), 2007,
lembaga resmi pemerintah yang mengeluarkan data makro jumlah penduduk miskin (angka kemiskinan) di Indonesia, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (basic need approach). Indikator yang digunakan adalah Head Count Index (HCI) yaitu jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Sumber data yang digunakan untuk menghitung garis kemiskinan tersebut adalah data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), khususnya modul konsumsi dan pendapatan rumahtangga dan Susenas KOR. Selain itu, digunakan pula hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok non makanan.
Data makro berupa perkiraan penduduk miskin ini hanya dapat
disajikan sampai tingkat provinsi/kabupaten. Salah satu sudut pandang yang umum dikemukakan misalnya, dengan mengaitkan kemiskinan dengan tingkat pendapatan. Ditinjau dari sisi tingkat pendapatan, kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Sementara itu, berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu kemiskinan natural (alamiah), kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural (Kartasasmita, 1996 dalam Ahmad, 2006). Seseorang dikatakan miskin secara absolut jika penghasilannya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, baik berupa makanan maupun non makanan. Kategori miskin tidaknya seseorang disini, ditentukan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic need). Kebutuhan dasar tersebut dikonversikan dalam nilai rupiah untuk membentuk suatu batas yang disebut dengan garis kemiskinan. Kemiskinan relatif melihat kondisi miskin dari sisi adanya ketimpangan distribusi pendapatan akibat pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Standar minimum disusun
14
berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada suatu waktu tertentu. Seluruh penduduk diurutkan menurut tingkat pendapatan/pengeluaran. Dari tingkatan tersebut perhatian difokuskan pada golongan penduduk termiskin, misalnya 20 persen atau 40 persen tingkat pendapatan/pengeluaran terendah. Kelompok inilah yang dimaksud dengan penduduk relatif miskin (Badan Pusat Statistik, 2007). Kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan karena dari asalnya memang sudah miskin. Kelompok masyarakat ini miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai, baik sumberdaya alam, maupun sumberdaya manusia, sehingga mereka tidak dapat ikut serta secara aktif dalam pembangunan. Kalaupun ada yang ikut serta dalam pembangunan, pada umumnya kompensasi yang mereka terima sangat rendah. Kemiskinan natural seperti ini, pada umumnya selalu ada dalam setiap negara yang sedang membangun dan oleh sebab itu salah satu prioritas pembangunan yang dilaksanakan adalah untuk menghilangkan kemiskinan natural ini. Sungguh pun demikian, karena kemampuan dan kepemilikan sumberdaya antar kelompok masyarakat sangat beragam, maka peran serta masyarakat dalam pembangunan juga tidak merata. Perbedaan ini pada akhirnya telah menyebabkan ketimpangan dalam perolehan pendapatan antar satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain. Kemiskinan yang disebabkan oleh perbedaan perolehan hasil pembangunan ini disebut kemiskinan struktural. Penjabaran konsep kemiskinan struktural seperti yang tersebut di atas antara lain adalah pendapat bahwa penduduk miskin selain tidak bisa mencukupi pangan dan sandang, juga tidak sanggup mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang memadai, serta terkucil dalam pergaulan sosial di lingkungannya. Pendapat lainnya adalah bahwa kemiskinan terkait dengan faktor pemicunya, yaitu kemiskinan yang timbul karena adanya ketidakadilan dalam pemilikan faktor produksi, kemiskinan yang terkait dengan sikap, budaya hidup dan lingkungan mencari nafkah yang terbatas atau ketidakberdayaan terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintah sehingga sekelompok masyarakat ini berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (BKPRI dan SMERU, 2001 dalam Ahmad, 2006).
15
Sementara itu, kemiskinan kultural mengacu kepada sikap seseorang atau masyarakat yang karena gaya hidup, kebiasaan dan budayanya, mereka sudah merasa berkecukupan dan sama sekali tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat ini tidak mudah diajak berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan, sulit melakukan perubahan, menolak mengikuti perkembangan dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya. Akibatnya, penghasilan mereka tergolong rendah, dan jika menggunakan garis kemiskinan absolut, mereka bisa dikategorikan sebagai penduduk miskin, walaupun mereka merasa tidak miskin dan tidak mau dikatakan miskin. Selanjutnya, ditinjau dari sudut sosiologi, menurut Soemardjan (1977), berdasarkan penyebabnya terdapat beberapa pola kemiskinan.
Yang pertama
adalah kemiskinan individual. Kemiskinan ini terjadi karena adanya kekurangankekurangan yang disandang oleh seseorang individu mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk megentaskan dirinya dari lembah kemiskinan.
Mungkin
individu tersebut sakit-sakitan sehingga tidak dapat bekerja yang memberi penghasilan. Mungkin ia tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang wajar, tidak mempunyai modal finansial atau pun modal ketrampilan untuk berusaha.
Dapat pula individu tersebut
tidak mempunyai jiwa usaha atau
semangat juang untuk maju di dalam kehidupannya. Individu demikian itu dapat menderita hidup miskin dalam lingkungan yang kaya. Namun bagaimanapun, kalau individu tersebut dikaruniai jiwa usaha yang kuat atau semangat juang yang tinggi, niscaya ia akan menemukan jalan untuk memperbaiki taraf hidupnya. Yang kedua adalah kemiskinan relatif, merupakan pengertian sosiologis yang di atas disebut dengan socio-economic-status atau disingkat SES (biasanya untuk suatu keluarga atau rumahtangga) diadakan perbandingan antara taraf kekayaan materil dari keluarga-keluarga atau rumahtangga-rumahtangga di dalam suatu komunitas teritorial. Dengan perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat mengenai mereka yang tergolong kaya dan relatif miskin di dalam komunitas itu. Ukuran yang dipakai adalah ukuran setempat (lokal). Dengan demikian suatu keluarga yang di suatu daerah komunitas dianggap relatif miskin dapat saja termasuk golongan kaya diukur dengan kriteria di tempat lain yang secara keseluruhan dapat dianggap komunitas atau daerah yang lebih miskin.
16
Yang ketiga adalah kemiskinan struktural.
Kemiskinan ini dinamakan
struktural karena disandang oleh suatu golongan yang built in atau menjadi bagian yang seolah-olah tetap dalam struktur suatu masyarakat.
Seperti yang
digambarkan mengenai kemiskinan individual, maka di dalam konsep kemiskinan struktural ada suatu golongan sosial yang menderita kekurangan-kekurangan fasilitas, modal, sikap mental atau jiwa usaha yang diperlukan untuk melepaskan diri dari ikatan kemiskinan. Contoh dari golongan yang menderita kemiskinan struktural itu misalnya golongan pegawai negeri sipil kecil, petani yang tidak memiliki tanah, nelayan yang tidak memiliki perahu, buruh tanpa ketrampilan khusus, pemulung sampah dan sebagainya.
Di dalam tiap-tiap golongan itu
banyak terdapat orang-orang yang tidak mungkin hidup wajar hanya dari penghasilan kerjanya, akibatnya mereka harus pinjam dan selama hidup terbelit utang yang tak kunjung lunas. Yang keempat adalah kemiskinan budaya.
Yang dimaksudkan dengan
kemiskinan budaya di sini adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat di tengah-tengah lingkungan alam yang mengandung cukup banyak bahan yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki taraf hidupnya. Sebabnya kemiskinan itu oleh karena kebudayaan masyarakat itu tidak mengandung ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan sosial yang diperlukan untuk menggali kekayaan alam di lingkungannya dan menggunakannya untuk keperluan manusia dan masyarakat.
Kalau ditinjau secara objektif, maka sebenarnya
masyarakat di Indonesia buat sebagian besar hidup dalam kimiskinan budaya seperti didefinisikan di sini. Yang kelima adalah budaya kemiskinan.
Istilah kemiskinan budaya
adakalanya dipakai secara terbalik menjadi budaya kemiskinan.
Yang
dimaksudkan dengan budaya kemiskinan tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin yang disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya.
Dengan perkataan lain, kemiskinan yang diderita
masyarakat itu dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin diubah, karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaikan diri pada kemiskinan itu, agar tidak merasa keresahan jiwa atau frustasi secara berkepanjangan. Dalam rangka
17
budaya kemiskinan ini manusia dan masyarakat menyerah kepada nasib dan bersikap tidak perlu menggunakan sumberdaya lingkungannya untuk mengubah nasib itu. Selanjutnya, dari kajian tentang profil kemiskinan masyarakat, terungkap bahwa masalah kemiskinan bukan saja masalah welfare, tetapi juga mengandung enam masalah lainnya (Tjokrowinoto, 1993 dalam Ahmad, 2006).
Pertama,
masalah kemiskinan adalah masalah kerentanan (vulnerability). Pembangunan infrastruktur ekonomi dan pertanian bisa saja meningkatkan pendapatan petani dalam besaran yang memadai, akan tetapi jika terjadi kekeringan musim selama dua tahun berturut-turut misalnya, akan dapat menurunkan tingkat hidup mereka sampai titik terendah. Kedua, kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja, karena hubungan produksi di dalam masyarakat tidak memberi peluang bagi mereka untuk berpartisipasi dalam proses produksi, atau mereka terperangkap dalam hubungan produksi yang eksploitatif yang menuntut kerja keras dengan jam kerja yang panjang, tetapi dengan imbalan yang rendah. Hal ini disebabkan oleh posisi tawar mereka dalam struktur hubungan produksi amat lemah. Kemiskinan dengan demikian juga berarti adanya ketergantungan kepada pemilik tanah, rentenir, pimpinan proyek, elit desa dan lain sebagainya. Ketiga, kemiskinan adalah masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi emosional dan sosial menghadapi elit desa dan para birokrat yang menentukan keputusan yang menyangkut dirinya secara sepihak tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk mengaktualisasikan diri, ketidakberdayaan menghadapi penyakit, kekumuhan, dan kekotoran. Keempat, kemiskinan juga berarti menghabiskan semua atau sebagian besar penghasilan mereka untuk konsumsi pangan dalam kuantitas dan kualitas yang terbatas, sehingga konsumsi gizi mereka menjadi amat rendah, yang pada akhirnya mengakibatkan produktivitas (dan kadang-kadang juga etos kerja) yang rendah. Ketahanan fisik mereka juga menjadi rendah. Kelima, kemiskinan juga ditandai oleh tingginya rasio ketergantungan (dependency ratio), karena besarnya jumlah anggota keluarga dan beberapa diantaranya masih balita. Hal ini akan berpengaruh pada rendahnya konsumsi
18
yang akan mengganggu tingkat kecerdasan mereka, sehingga di dalam kompetisi merebut peluang dan sumberdaya dalam masyarakat, anak-anak kaum miskin tersebut akan berada pada pihak yang lemah. Keenam, kemiskinan juga terefleksi dalam budaya kemiskinan yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, pembangunan fisik tidak secara otomatis dapat menghapus kemiskinan budaya.
Budaya
kemiskinan yang diwariskan secara turun menurun cenderung menghambat motivasi mereka untuk melakukan mobilitas keatas, yang pada akhirnya menghambat kemajuan mereka. Karena banyak dipengaruhi oleh banyak dimensi dalam kehidupan, maka kemiskinan yang terjadi di Indonesia menjadi berwajah majemuk dan sangat dinamis perubahannya dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat lain. Karena itu agar bisa lebih fleksibel dalam memahami pengertian tentang kemiskinan pada suatu periode dan pada suatu lokasi tertentu, berikut ini dikemukakan uraian mengenai dimensi kemiskinan. Kemiskinan tidak saja berhubungan dengan ekonomi, tetapi juga sangat terkait dengan kesejahteraan sosial, budaya dan politik.
Untuk mengetahui
kemiskinan secara ekonomi, dapat diketahui dengan cara membandingkan kemampuan seseorang dengan garis kemiskinan yang sudah ditentukan. Tetapi untuk mengetahui kemiskinan yang terkait dengan kesejahteraan sosial, budaya dan politik, tentu lebih sulit, karena ukurannya sangat subjektif dan kualitatif. Berikut ini adalah penjelasan tentang dimensi-dimensi apa saja yang menyertai kemiskinan itu (Ellis, 1984 dalam Ahmad, 2006). Pertama, yang paling jelas adalah bahwa kemiskinan berdimensi ekonomi atau materi. Dimensi ini menjelma dalam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya materi, seperti pangan, sandang dan perumahan.
Dimensi ini dapat
diukur dalam rupiah, meskipun harganya selalu berubah-ubah tergantung dari tingkat inflasi rupiah itu sendiri. Kedua, kemiskinan berdimensi sosial dan budaya. Ukuran kuantitatif kurang dapat dipergunakan untuk memahami dimensi ini, sehingga ukurannya sangat bersifat kualitatif. kantong-kantong
Lapisan yang secara ekonomi miskin akan membentuk kebudayaan
yang
disebut
budaya
kemiskinan
demi
19
kelangsungan hidup mereka. Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, ketidakberdayaan dan lain sebagainya. Untuk itu, serangan terhadap kemiskinan sama artinya pula dengan pengikisan budaya ini. Apabila budaya ini tidak dihilangkan, maka kemiskinan juga akan sulit ditanggulangi. Ketiga, kemiskinan berdimensi struktural atau politik, artinya orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakikatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politis. Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak memiliki kekuatan politik, sehingga menjadi struktur sosial yang paling bawah. Ada asumsi yang menegaskan bahwa orang yang miskin secara struktural dan politis akan miskin secara ekonomi. Untuk itu, langkah pengentasan kemiskinan yang efektif harus pula mengatasi hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan politis. Selanjutnya, untuk melengkapi data makro yang menentukan jumlah penduduk miskin berdasarkan garis kemiskinan, BPS pernah mencoba melakukan studi untuk menentukan kriteria rumahtangga yang mampu mencirikan kemiskinan pendekatan kebutuhan dasar pada tahun 2000. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa terdapat delapan kriteria sebagai berikut yang mencirikan kemiskinan. Luas lantai per kapita lebih rendah atau sama dengan delapan meter persegi, Jenis lantai tanah, ketidaktersediaan fasilitas air minum atau air bersih, jamban, tidak memiliki asset, tingkat pendapatan lebih kecil atau sama dengan 350.000 rupiah, pengeluaran untuk makanan lebih besar atau sama dengan 80 persen dan konsumsi lauk-pauk tidak bervariasi. Rumahtangga dikatakan miskin bila memiliki minimal lima ciri tersebut.
Namun dalam perkembangannya
diketahui kriteria ini baru merupakan syarat perlu yang mencirikan kemiskinan. Ada hal lain yang disebut spesifik lokal yang merupakan ciri-ciri khusus yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang lainnya. BPS dalam setiap tahun melakukan survei yang bertujuan melihat kondisi sosial ekonomi penduduk Indonesia yang dikenal dengan Susenas kor.
Dari
survei ini dapat dilihat keadaan sosial demografi penduduk, kondisi kesehatan, pendidikan, kegiatan penduduk seperti bekerja, sekolah, mengurus rumahtangga, dan lainnya, keadaan ketenagakerjaan seperti penduduk yang mencari pekerjaan,
20
jumlah jam kerja, lapangan usaha pekerjaan, jenis pekerjaan, status dalam pekerjaan, pendapatan. Selain itu, survei ini juga dapat memberikan gambaran status gizi dan kesehatan anak usia dibawah lima tahun dan ibu atau perempuan usia subur, pengeluaran rumahtangga baik pengeluaran makanan dan bukan makanan, kondisi fisik dan fasilitas tempat tinggal, serta keterangan sosialekonomi lainnya seperti keterlibatan dalam kegiatan sosial dan sebagainya. Analisis yang bersumber dari survei ini baru mencangkup analisis keadaan di masing-masing propinsi, di wilayah perkotaan atau di wilayah perdesaan, yang lebih jauh lagi ditinjau menurut kabupaten/kota. Analisis kemiskinan berdasarkan jenis suku bangsa kepala rumahtangga secara umum belum pernah dilakukan. Padahal sampai dengan tahun 2004, variabel sukubangsa kepala rumahtangga dicakup dalam survei ini.
Studi ini mencoba untuk memanfaatkan variabel
tersebut untuk menganalisis kemiskinan ditambah data primer untuk menggali lebih dalam lagi orientasi nilai-budaya pada penduduk miskin Betawi dan penduduk miskin pendatang, terutama yang berkaitan dengan keinginan mereka untuk dapat keluar dari kemiskinan. 2.2. Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) dan Perlindungan Sosial Ekonomi Untuk mendapatkan data kemiskinan mikro yang dapat menunjukkan siapa dan dimana orang miskin itu tinggal, BPS pernah melakukan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk pada tahun 2005 (PSE05).
Hasil pendataan itu berupa
direktori rumahtangga penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), salah satu program pemerintah dalam mengurangi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap penduduk miskin dan mendekati miskin.
Hasil
pendataan juga digunakan sebagai target dalam program bantuan pemerintah berupa beras bagi masyarakat miskin paling raskin (rawan pangan) yang dijual dengan harga seribu rupiah per kilogram sebanyak maksimum dua puluh kilogram per keluarga (raskin). Metode yang reliabel pada saat itu untuk mendapatkan data mikro ini didasari pada pendekatan karakteristik rumahtangga, bukan dengan pendekatan kebutuhan dasar (non-moneter approach). Indikator yang digunakan meliputi empat belas variabel, yaitu luas lantai per kapita, jenis lantai, jenis dinding,
21
fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan, bahan bakar, membeli daging/ayam/susu, frekuensi makan, membeli pakaian baru, kemampuan berobat, lapangan usaha kepala rumahtangga, pendidikan kepala rumahtangga dan aset yang dimiliki rumahtangga. Setiap variabel diberi skor yang diberikan bobot berdasarkan pengaruh setiap variabel terhadap kemiskinan. Oleh sebab itu, jumlah dan besarnya bobot berbeda di setiap kabupaten/kota. Dari bobot masing-masing variabel terpilih tersebut, selanjutnya dihitung skor rumahtangga yang disebut dengan indeks rumahtangga penerima BLT (IRM) dengan nilai antara nol dan satu. Semakin tinggi nilai IRM maka semakin miskin rumahtangga tersebut. PSE05 ini kemudian pada tahun 2008 dilakukan pemutakhiran data (sekaligus penyempurnaan metode) dengan kegiatan yang dikenal dengan Pendataan Program Perlindungan Sosial 2008 (PPLS 2008). Hasil pendataan PPLS 2008 digunakan untuk target penerima BLT, raskin, program yang dibuat pemerintah untuk menjamin kebutuhan kesehatan bagi masyarakat kurang/tidak mampu (jamkesmas), PKH, BOS, reforma agraria. Pemutakhiran dilakukan setiap tiga tahun sekali sehingga pada tahun 2011 pendataan (PPLS 2011) akan kembali dilakukan. 2.3. Keterkaitan Pembangunan Kota dan Desa Migrasi desa-kota merupakan bagian dari proses perkembangan ekonomi dan perubahan sosial. Arus gerak penduduk dari desa ke kota, khususnya di Indonesia, meningkat dengan pesat pada dua dekade terakhir ini antara lain disebabkan oleh perbaikan sarana transportasi antara desa-kota, meningkatnya jasa angkutan umum yang menembus ke desa-desa terpencil, meningkatmya pendapatan masyarakat sehingga mampu membayar ongkos perjalanan dan membeli mobil pribadi (Hugo, 1992 dalam Rusli, Wahyuni, et. all, 2004). Disamping itu perbaikan dalam sarana komunikasi di wilayah Indonesia memungkinkan masyarakat desa memperoleh beragam informasi dari kota secara cepat pula. Kemudahan melakukan perjalanan dan akses terhadap informasi telah mengurangi kesenjangan antara desa dan kota. Baik dalam hal arus manusia, barang-barang modal dan ide-ide. Masyarakat desa dengan mudahnya merespon
22
adanya peluang kerja yang lebih baik di kota dengan cara melakukan migrasi ke kota, baik secara permanen maupun non-permanen. Dengan makin berkurangnya perbedaan antara desa-kota, misalkan dalam hal gaya hidup, karakteristik ekonomi, sosial dan demografi, ragam fasilitas yang tersedia, dan kemampuan mobilitas individu. Hugo (1992) dalam Rusli, Wahyuni, et al, (2004) berpendapat bahwa antara desa dan kota bukan lagi suatu dikotomi tetapi suatu kontinum, dan bahkan perbedaan desa dan kota tersebut sudah makin menjadi samar akhir-akhir ini. Pada sisi lain dapat kita lihat bahwa sejak dulu hingga kini, peradaban manusia selalu menunjukkan adanya perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat yang lainnya. Perpindahan tersebut awalnya menempuh jarak yang relatif dekat, namun seiring dengan perjalanan waktu, jarak yang ditempuh semakin jauh. Semua itu terjadi berdasarkan motivasi dan tujuan tertentu. Perpindahan penduduk atau migrasi terjadi dari satu lokasi pemukiman ke lokasi pemukiman, baik secara permanent maupun semi permanent. Menurut Lee (1966) yang dikutip kembali oleh Ismani (1991), terdapat empat faktor yang menimbulkan perpindahan penduduk, yaitu: (1) faktor-faktor yang berkaitan dengan daerah asal; (2) faktor-faktor yang berkaitan dengan daerah tujuan; (3) faktor-faktor lain yang berpengaruh, seperti kebiasaan merantau; (4) faktor-faktor pribadi. Faktor-faktor yang berkaitan dengan daerah asal biasanya berupa kekurangan-kekurangan yang dirasakan tidak memberikan harapan yang lebih baik pada masa yang akan datang. Misalnya, sikap ingin merubah nasib yang dilakukan oleh petani yang memiliki lahan sempit karena hasil pengolahan lahan tersebut tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Sikap yang sama juga dapat terjadi pada seseorang yang bekerja pada berbagai bidang lainnya, ketika keadaan bidang pekerjaan di tempat asal sudah jenuh. Dengan demikian pada umumnya faktorfaktor tersebut berkaitan dengan usaha mencari nafkah. Faktor-faktor
yang berkaitan
dengan
daerah
tujuan
menyangkut
kesempatan dan harapan yang dianggap lebih cerah. Anggapan keadaan yang lebih baik pada daerah tujuan menjadi daya tarik yang cukup kuat untuk pindah meskipun pada kenyataannya, hidup mereka selanjutnya mengecewakan.
23
Faktor-faktor lain yang berpengaruh dapat berupa lancarnya komunikasi dan transportasi, integrasi nasional, kebiasaan untuk merantau, dan sebagainya. Kebiasaan merantau sering dimiliki oleh beberapa etnik bangsa di Indonesia, misalnya etnik Minangkabau.
Mereka tidak segan meninggalkan kampung
halamannya, bahkan sebagian pemuda merasa malu bila tetap berada di kampung halamannya. Demikian halnya dengan suku Batak, kebiasaan meninggalkan kampung halaman sudah merupakan kebiasaan sejak dulu. Bahkan menjadi suatu kebanggaan kalau anggota marga (clan) maupun kerabatnya (subclan) yang merantau tersebut berhasil dalam hidupnya dan hal ini menjadi inspirasi bagi yang lain untuk bermigrasi pula. Untuk suku bangsa lain seperti Banjar, Ambon, Bugis, Jawa dan sebagainya, kebiasaan merantau semakin hari semakin meresap di kalangan mereka (Naim, 1976 dalam Ismani, 1991). Sementara itu, faktor-faktor kepribadian sangat dominan pengaruhnya untuk menimbulkan perpindahan penduduk. menanggung
Termasuk dalam hal ini adalah keberaniaan seseorang untuk resiko,
kemampuan
dalam
berbagai
bidang,
kemampuan
menyesuaikan diri dengan kehidupan di daerah baru dan ketrampilan serta keahlian. Selanjutnya, migrasi dari desa ke kota disebut urbanisasi. Gejala urbanisasi banyak terjadi di berbagai tempat di seluruh dunia.
Terlebih lagi negara
berkembang seperti Indonesia, arus urbanisasi semakian hari semakin meningkat. Keadaan urbanisasi di sini tidak bisa dipisahkan dari pola pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia. Orientasi pembangunan yang bias urban telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan antar sektor dan antar lokasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa urbanisasi itu timbul karena ketimpangan keruangan (spatial imbalance), termasuk didalamnya ketimpangan penduduk dan ekonomi (Bintarto, 1984 dalam Ismani, 1991).
Namun seperti yang telah
dikemukakan di atas, perbedaan desa dan kota tersebut sudah makin menjadi samar akhir-akhir ini. Menurut Ismani (1979) dalam Ismani (1991), penduduk yang melakukan urbanisasi umumnya memiliki keluarga atau teman dekat yang sudah tinggal di kota dan bersedia membantu mereka untuk memberikan informasi ataupun pertolongan lainnya. Para pendatang baru itu ditampung dan dibantu mendapatkan
24
pekerjaan sehingga akhirnya mampu berdiri sendiri. Mereka yang datang itu makin banyak jumlahnya dan membina pemukiman sendiri dalam kelompok mereka.
Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai di kota-kota besar yang
penghuninya berasal dari desa yang sama atau kelompok etnik yang sama. Selain penduduk yang melakukan urbanisasi untuk menetap di kota, terdapat pula yang hanya sementara (musiman) saja menetap. Mereka yang melakukan hal ini biasanya bertujuan mencari nafkah sambil menunggu waktu senggang, saat pekerjaan pada bidang pertanian di pedesaan sudah selesai. Pada saat pekerjaan di bidang pertanian memerlukan tenaga mereka, mereka akan pulang kampung (mudik).
Di kota, mereka mengandalkan fisiknya dalam
berusaha mendapatkan pekerjaan apa saja di sektor informal. Sementara itu, terdapat pula pola urbanisasi dimana para pelakunya menetap di kota dalam waktu relatif lama. Mereka mencari nafkah di kota dan hasilnya dikirim ke desa. Arus urbanisasi yang terus menerus dan semakin deras baik bagi lingkungan fisik maupun non fisik. Para pendatang cenderung mencari pemukiman yang sesuai dengan tingkat ekonominya. Sebagian besar mereka termasuk golongan ekonomi lemah sehingga mereka tinggal di kampung-kampung yang terdapat di perkotaan yang kemudian menjadi pemukiman kumuh (slum area). Sementara itu, dengan keterbatasan kemampuan mereka, umumnya mereka bekerja di sektor informal, karena sektor ini tidak membutuhkan kualifikasi pendidikan maupun ketrampilan tertentu. Hampir semua dari mereka memasuki sektor ini yang seiring dengan waktu keadaannya semakin jenuh. Persaingan diantara mereka untuk mendapatkan pekerjaan semakin ketat karena jumlah mereka yang berlebih. Sebagian dari mereka yang beruntung mendapat pekerjaan meski penghasilannya rendah.
Namun sebagian lagi tidak mendapat pekerjaan dan menjadi
pengangguran. Dari situasi yang demikianlah dapat timbul kriminalitas. 2.4. Sejarah Penduduk asli (Etnik Betawi) vis-a-vis Penduduk Pendatang di DKI Jakarta a. Identifikasi Jakarta merupakan ibu kota Indonesia merupakan kota terbesar dan paling padat penduduknya di Indonesia, memiliki sejarah yang panjang. Dahulu kota ini berasal dari sebuah perkampungan kecil (bernama Kalapa, juga merupakan
25
sebuah bandar) dari kerajaan Hindu Tarumanagara, dengan rajanya Purnawarman. Kerajaan Tarumanagara memudar pada abad ke-7 M. Pada saat itu terjadi vacuum kekuasaan politik di Kalapa. Pada masa vacuum itu, muncul kekuasaan Budha Sriwijaya sebagai periode interrugnum di Kalapa. Kemudian, pada abad ke-12 daerah Kalapa mulai menjadi bagian kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Pada saat itu, kerajaan pajajaran mendirikan kantor administrasi pelabuhan di Kalapa yang kemudian berfungsi sebagai pelabuhan kecil yang bernama Sunda Kalapa. Pelabuhan ini sudah banyak dikunjungi oleh para pedagang dan pelaut dari Sumatera, Malaka, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura. Pada saat itu, pelabuhan Sunda Kalapa merupakan pelabuhan paling ramai dibandingkan pelabuhan lain yang dikontrol kerajaan Pajajaran, seperti sejumlah pelabuhan di Cimanuk, Tengaran (Tanggerang). Pada masa-masa berikutnya, kota pelabuhan ini menjadi tujuan untuk menetap bagi kelompok etnik dari bagian nusantara lainnya, juga warga bangsa-bangsa dari belahan dunia lain. Beberapa waktu setelah itu, yaitu sekitar tahun 1522, Portugis mengadakan perjanjian dengan penguasa Pajajaran untuk bisa membuat kastil di daerah Sunda Kalapa. Kemudian daerah Sunda Kelapa direbut dan dikuasai oleh Portugis. Namun berhasil direbut kembali oleh Fatahillah atau Raden Patah dari kerajaan Islam Demak, pada tanggal 22 Juni 1527. Bersamaan dengan hal tersebut, nama daerah Sunda Kalapa diganti menjadi Jayakarta oleh Fatahillah yang artinya kemenangan yang sempurna. Kemenangan bagi kota Jayakarta ternyata tidak mencapai satu abad. Tercatat bahwa pada tahun 1619 Belanda dengan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), dibawah kepemimpinan Jan Pieterszon Coen berhasil merebut Jayakarta yang kemudian mendudukinya.
Pada tahun yang sama di wilayah
tersebut mulai dibangun sebuah kota yang diberi nama Batavia, berfungsi sebagai sebuah benteng dan pos dagang, yang pada perkembangan selanjutnya kota ini menjadi pelabuhan utama VOC dan ibukota Hindia Belanda. Orang Belanda menghancurkan permukiman kaum pribumi dan menjadikan Batavia sebagai jiplakan kampung halaman mereka di Belanda waktu itu, lengkap dengan kanal, jembatan tarik, rumah kanal, kanopi susun, jalanan yang dikeraskan dengan batubatu dan sebagainya. Untuk membangun kota Batavia, Belanda mendatangkan
26
budak dari Arakan (Burma), Andaman dan Malabar (India), juga dari beberapa daerah di Indonesia seperti Bali. Pada era Gubernur General Van der Varra (1761-1765) terjadi pendatangan budak dalam jumlah besar. Budak-budak ini dipekerjakan di perkebunan, penebangan hutan dan buruh bangunan. Setelah perusahaan yang mendatangkan budak tidak berfungsi lagi, maka para budak mencari pekerjaan bebas dan berdiam di pemukiman yang ditentukan pemerintah Hindia Belanda. Para budak ini, yang mayoritas adalah non muslim (umumnya para budak telah dikristenkan), tidak kawin-mawin dengan penduduk asli setempat, kecuali mereka yang ditempatkan di daerah Kreol. Sebagai catatan, budak-budak kristen yang dimerdekakan disebut Mardijker (orang merdeka). Mereka kemudian berbahasa Betawi (sebelumnya berbahasa Portugis Kreol), tetapi tetap mempertahankan identitas kulturalnya, seperti agama dan pemberian nama anak (umumnya nama-nama khas kristen Belanda). Periode selanjutnya, Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942 dan menduduki berbagai wilayah dan kota-kota di Indonesia termasuk Batavia. Namun dengan perjuangan yang berat, rakyat Indonesia berhasil membebaskan negaranya dari penjajah dan menyatakan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta dan sejak itu nama Jakarta (singkatan dari Jayakarta) dipakai secara populer menggantikan nama-nama sebelumnya. Selama berabad-abad lamanya wilayah yang saat ini disebut Jakarta menjadi tempat berkumpulnya berbagai bangsa dan suku bangsa dengan bermacammacam adat istiadat, bahasa dan budaya daerahnya masing-masing.
Namun,
siapakah kiranya yang dapat disebut sebagai penduduk asli Jakarta?
Pada
awalnya para pendatang (Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar dan Sunda) ini masih menyandang budaya asalnya masing-masing.
Kemudian terjadi proses
asimilasi dari unsur-unsur beragam budaya dari kelompok-kelompok tertentu yang sudah hadir di Jakarta. Berbaurnya migran dari berbagai suku bangsa di seluruh tanah air dengan penduduk yang sudah ada di Kalapa pada saat itu, juga dengan bangsa-bangsa lain seperti Cina, Arab, Turki, Persia, Portugis, Inggris dan Belanda, mengakibatkan terjadinya perkawinan diantara mereka, sehingga terjadilah perpaduan adat istiadat, budaya dan falsafah hidup hingga melahirkan
27
suatu corak budaya dan tatacara yang baru. Dengan demikian sejak abad ke-19 nampak suatu proto type etnik Betawi yang kemudian melembaga
dan
melahirkan etnik Betawi. Menurut Grinjs dan Nas, 2000, yang diterjemahkan pada tahun 2007, pandangan dominan yang lazim adalah Betawi merupakan keturunan budak atau bangsa Asia kelas rendah yang banyak terdapat di Batavia (pandangan ini ditinjau dari sudut demografi oleh Lance Castle pada tahun 1967). Karena kebijakan pemisahan etnik VOC, diperlukan hampir dua abad sebelum Betawi tampil sebagai kelompok etnik tersendiri yang lahir dari kawin campur berbagai keturunan, termasuk Cina, Bali, Jawa, Sunda dan orang-orang dari berbagai latar belakang etnik lainnya. Kehadiran etnik ini, menurut Castle dalam Shahab, 2004, baru tercatat pada Sensus Penduduk tahun 1930. Bersumber dari catatan kependudukan yang dikumpulkannya, secara demografi dapat disimpulkan etnik ini muncul antara tahun 1815 hingga 1893. Pandangan lain berpendapat bahwa proses asimilasi pembentukan komunitas baru sudah berlangsung setidaknya sejak abad ke-10 M. Dari sudut pandang linguistik, menurut Nothofer (pakar linguistik Melayu) dalam Saidi, 2004, bahwa dialek Melayu yang kini dipakai masyarakat Jakarta (juga beberapa tempat lainnya seperti Bangka, Palembang, Pontianak, Serawak), merupakan variasi bahasa Melayu Purba (Polinesia) yang berasal dari Kalimantan Barat, yang menyebar lebih dari seribu tahun yang silam. Migran dari Kalimantan Barat ke Kalapa pada masa itu diperkirakan jumlahnya lebih besar dari penduduk setempat yang berbahasa Sunda Kuno. Proses asimilasi penduduk awal yang berbahasa Sunda Kuno dengan pendatang dari Kalimantan Barat yang berbahasa Melayu Polinesia ini membentuk suatu etnik baru dan terus berlangsung bercampur dengan unsur budaya yang beragam dari para pendatang pada periode berikutnya. Hingga abad ke-19 etnik baru tersebut dikenal dengan Melayu Jawa. Menurut Saidi (2004), Betawi merupakan masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang datang dari berbagai penjuru dunia dan suku bangsa di Indonesia (Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar dan Sunda).
Berbagai suku
bangsa ini telah banyak kehilangan ciri asli nenek moyang mereka yang melalui pergaulan perdagangan dan perkawinan campur telah menjadi satu etnik khusus
28
yaitu Betawi (Koentjaraningrat, 1997). Etnik ini dikenal sebagai masyarakat yang “meltingpot”. Dalam sebuah karangan pada abad ke-19 yang berjudul Kawantonan Ing Nagari Batawi yang ditulis oleh Raden Arya Sastradarma, pada tahun 1865 ia melihat kelompok etnik Melayu Jawa menyebut dirinya sebagai ”orang Betawi”, bercampur dengan sebutan ”orang Selam”. Penyebutan diri sebagai orang Selam tampaknya tidak banyak dipakai oleh orang Betawi pada abad ke-20. Orang Arab lebih suka menyebut orang Betawi sebagai orang Melayu. Ada sebutan yang tidak populer untuk kelompok etnik ini pada sekitar abad ke-13, yaitu orang Semanan (berasal dari bahasa iban Senganan yang artinya orang yang baru masuk Islam).
Dalam kitab Sanghyang Siksakhanda yang
merupakan pedoman etik bagi orang Pajajaran dan taklukannya, diuraikan ketika pesisir utara Jawa mulai dari Cirebon, Kerawang, Bekasi terkena pengaruh Islam yang disebarkan oleh orang-orang Pasai, maka tidak sedikit orang-orang Melayu Jawa yang memeluk Islam. Penguasa Pajajaran menyebut mereka sebagai kaum langgara, berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya orang yang telah berubah atau beralih. Tempat berkumpul mereka disebut langgar (sampai saat ini orang Betawi masih menyebut langgar sebagai padanan musholah). Kaum langgara ini yang disebut Semanan. Dalam perkembangannya masyarakat Betawi tinggal menyebar di Batavia. Berdasarkan
daerah
penyebarannya
serta
kehidupan
budaya
yang
mempengaruhinya, masyarakat Betawi dibagi dua kelompok (Ramto, 1986 dalam Nilamsari, 2005), yaitu masyarakat Betawi Tengah dan masyarakat Betawi Pinggiran. Masyarakat Betawi Tengah meliputi wilayah yang dulu disebut ”Gemente Batavia” minus Tanjung Priok dan sekitarnya, atau pada keadaan saat ini meliputi radius kurang lebih tujuh kilometer dari monas. Mereka banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari budayanya yang mencerminkan budaya Islam dan Melayu, seperti samrah, zapin dan rebana. Kelompok ini pada masa lalu mendapat kesempatan untuk maju, lebih jika dibandingkan Betawi pinggiran sehingga mencapai kedudukan The Rulling Class.
29
Masyarakat Betawi Pinggiran terbagi dua yaitu pinggiran bagian Utara dan pinggiran bagian Selatan.
Masyarakat Betawi pinggiran bagian Utara pada
keadaan saat ini meliputi Jakarta Utara, Jakarta Barat dan Tangerang. Mereka banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Cina, dapat dilihat dari corak keseniannya antara lain gambang kromong cokek dan lenong. Sementara itu, masyarakat Betawi pinggiran bagian Selatan, yang pada keadaan saat ini meliputi wilayah Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Bogor dan Bekasi yang. Mereka sangat kuat dipengaruhi kebudayaan Jawa dan Sunda tanpa menghilangkan unsur kebudayaa Betawi-Melayu itu sendiri. Kelompok ini memiliki keanekaragaman seni yang lebih kuat dibandingkan kelompok masyarakat Betawi lainnya, seperti kesenian topeng Betawi, tanjidor, rebana, wayang kulit, wayang wong, dan juga memiliki sebagian besar kesenian dari masyarakat Betawi bagian tengah maupun Utara. Namun seiring dengan perjalanan waktu, tidak ada lagi istilah Betawi Tengah maupun Betawi Pinggiran. Mereka lama kelamaan berbaur menjadi satu hingga yang ada hanya istilah Betawi (Shahab, 2004). b. Penduduk Jakarta dihuni orang Indonesia dari seluruh Nusantara dan orang asing dari Asia maupun Barat, namun mayoritas terbesar penduduk kota ini berasal dari Jawa (menurut pendataan Sensus Penduduk 2000, jumlahnya sekitar 35,16 persen). Tetapi ini tidak lantas berarti bahwa Jakarta bisa digolongkan sebagai kota sebuah tipikal Jawa. Hingga tahun 1942, kehidupan urban Jakarta (yang pada saat itu disebut Batavia) didominasi komunitas Betawi, Sunda,Cina, Jawa, dan Eropa.
Menurut Castle (1967) dalam Nilamsari (2005), hasil pendataan
sensus tahun 1930, jumlah penduduk dari masing-masing komunitas tersebut yaitu sekitar 418.900 jiwa, 150.300 jiwa, 88.200 jiwa, 59.700 jiwa, dan 37,200 jiwa. Penduduk Betawi merupakan kelompok yang paling banyak jumlahnya, walaupun mereka hanya memainkan peran marginal dalam pengembangan masyarakat modern. Sayangnya, sensus 1930 adalah sumber terakhir sebelum sensus tahun 2000 yang memberikan data resmi terperinci tentang komposisi etnik penduduk Jakarta. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia pada saat itu memilih kebijaksanaan untuk tidak menyusun statistik berdasarkan afiliasi etnik.
Hanya afiliasi
30
kebangsaan dan agama yang terus dicatat. Menurut sensus tahun 2000 tersebut, jumlah penduduk Betawi mencapai 2.301.587 jiwa atau tidak sampai sepertiga dari total penduduk Jakarta (sekitar 27,6 persen), sisanya merupakan penduduk pendatang. Keadaan ini menunjukkan bahwa kini Betawi terasa terpinggirkan di tempat asal mereka sendiri. 2.5. Budaya Penduduk Betawi vis-a-vis Penduduk Pendatang di Jakarta Mengenai orang Betawi, hampir semua beragama Islam. Menurut Van der Aa (dalam Koentjaraningrat, 1997) orientasi ke agama Islam amat kuat dalam kehidupan sehari-hari etnik Betawi.
Kuatnya pengaruh agama Islam
menyebabkan mereka memilih belajar mengaji, masuk pesantren atau madrasah. Mereka tidak mau memasuki pendidikan sekolah umum karena sekolah dikaitkan dengan cara hidup orang Kristen (Belanda) atau orang Cina (Koentjaraningrat, 1997).
Pendapat ini diperkuat oleh hasil penelitian Andonis (1989) dalam
Nilawati (2005) di Kebagusan, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang menyimpulkan bahwa orang tua Betawi asli tidak memandang perlu menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Yang terpenting bagi mereka adalah dapat membaca dan menulis terutama yang berkaitan dengan Al Qur‟an. menyebabkan
mengapa
orang
Betawi
generasi
tua
Hal ini pula yang kebanyakan
hanya
berpendidikan Sekolah Dasar. Sementara itu menurut Aziz (2002) dalam Nilawati (2005), penarikan diri (aloof) yang relatif total terhadap segala yang berbau asing, khususnya Belanda merupakan salah satu cara pengukuhan indentitas sebagai orang Selam. Pilihan kerja yang dilakukan etnik Betawi apabila tidak bertani adalah bekerja di sektor informal (koentjaraningrat, 1997). Wanita Betawi lebih suka berjualan kue atau menerima cucian yang dikerjakan sendiri di rumah. Pengangguran di kalangan masyarakat Betawi tidak mendorong mereka menjadi pengemis karena sistem sosial kekeluargaan Betawi mengakomodasi anggota keluarga yang menganggur. Implementasi sistem extended family di keluarga Betawi begitu luas dan nyata. Penganggur dibantu meskipun dengan perasaan tidak senang. Mereka ini umumnya mempunyai sikap ”fatalistik”, terkesan dan manja karena ditopang oleh kerabat yang tinggal dekat dengannya. Akibatnya mereka tidak tahan ”ngele” atau susah (Koentjaraningrat, 1997). Adapun sistem
31
nilai yang berlaku di kalangan etnik Betawi antara lain: (1) rasa solidaritas yang tinggi nilai ini berhubungan dengan nilai gotong royong yang berlaku di kalangan petani; (2) kurang memiliki rasa cemburu dalam arti positif, sehingga kurang memacu diri untuk bekerja keras mengejar ketinggalan terhadap lingkungan yang telah maju pesat; (3) pasrah terhadap nasib dan hidupnya merasa aman dan terjamin dalam lingkungan kerabat dekat; (4) cenderung untuk mengambil keputusan yang merugikan masa depannya sendiri, karena tidak tahan terhadap kesulitan-kesulitan sementara (terutama dalam ekonomi) maka jalan keluarnya adalah menjual lahan yang merupakan faktor produksi terpenting bagi keluarga dan menggunakan hasil penjualan tersebut untuk kepentingan yang tidak produktif. Selanjutnya, menurut Geertz, 1963, yang diterjemahkan oleh Zainuddin, 1981, secara garis besar susunan kemasyarakatan kota-kota metropolitan di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Palembang dan Ujung Pandang terdiri dari masyarakat diplomat asing dan masyarakat dagang, wakil untuk sementara waktu dari kantor-kantor di negaranya.
Kemudian terdapat
pedagang asing, terutama orang Cina, India dan Arab yang bergerak dalam bidang perdagangan yang lebih menengah. Selebihnya adalah penduduk Indonesia yang tinggal di kota tersebut. Penduduk Indonesia yang tinggal di kota-kota metropolitan mempunyai struktur kelas yang masih sulit untuk dipahami, namun setidaknya ada dua dimensi yang memberi kerangka dasar secara kasar, yang pertama berdasarkan struktur sosial dan yang kedua berdasarkan kebudayaan. Dimensi struktur sosial mencakup jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan. Sementara dimensi kebudayaan mencakup pola kebudayaan super-kultur metropolitan Indonesia dan berbagai cara hidup tradisional. Kedua dimensi ini saling mempengaruhi dalam bentuk yang amat rumit sehingga menghasilkan suatu penduduk kota yang amat beragam. Karena kebanyakan penduduk kota sekarang ini merupakan pendatang baru atau para pendatang generasi kedua, maka pada umumnya mereka itu bicultural (berbudaya rangkap). Mereka tetap mempertahankan beberapa aspek dari kebudayaan daerah mereka yang asli untuk beberapa segi dari kehidupan mereka, namun ikut serta dalam super-kultur metropolitan untuk hal-hal yang lain.
32
Super-kultur metropolitan Indonesia masih dalam proses pembentukan, baru berusia dua atau tiga generasi. Isi super-kultur yang paling maju terdapat dalam bidang ideologi politik, gaya artistik dan kebudayaan material. Sementara itu, ciri khas super-kultur itu yang paling menonjol adalah penggunaan bahasa Indonesia setiap hari, dan hal-hal yang langsung berhubungan dengan bahasa itu adalah sastra Indonesia baru, lagu populer, film dan tulisan-tulisan tentang sejarah, politik, perkembangan ekonomi dan kemajuan bangsa. Ciri-ciri yang dapat dilihat dari para pendukung super-kultur metropolitan Indonesia misalnya, berpendidikan universitas, mampu berbahasa asing, pernah ke luar negeri dan memiliki materi ukuran barat, seperti mobil. Sebagaimana halnya dengan setiap ukuran kebudayaan, hanya golongan elite intelek dan politik dan orang-orang kaya yang tinggal di kota-kota besarlah yang menjadi pendukung super-kultur metropolitan itu sepenuhnya Mereka terdiri dari pegawai-pegawai tinggi pemerintah, para tenaga ahli, para pemimpin partai politik, perwira tinggi militer dan para pengusaha yang berhasil. Kalau status sosial seseorang menurun maka neraca budaya rangkap cenderung lebih berat kepada kebudayaan daerah asalnya. Dibawah kelompok-kelompok elite kota, terdapat suatu kelas menengah kota. Mereka terdiri dari para pegawai menengah seperti tenaga kesehatan, guruguru sekolah dan perwira menengah di kalangan angkatan bersenjata dan kepolisian. Mereka cenderung ingin mencapai super-kultur metropolitan. Bagian menengah pekotaan lainnya yaitu buruh ahli seperti tukang jahit, tukang batu, tukang besi juga pedagang pasar atau toko kecil yang berhasil.
Selain itu
kelompok ini juga mencakup ahli listrik, pekerja jalan, sopir truk atau montir mobil.
Beberapa anggota kelas menengah kota adalah pendatang baru yang
berasal dari kota kecil atau desa.
Sementara yang lainnya adalah keturunan
keluarga-keluarga yang telah lama tinggal di kota itu. Kelompok terakhir adalah golongan proletar kota, yang jumlahnya lebih besar. Mereka terdiri dari para buruh, pembantu rumahtangga, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Mereka umumnya tidak mempunyai keahlian tertentu dan berpendidikan rendah bahkan tidak pernah bersekolah. Seiring dengan waktu, jumlah mereka semakin memadati kota-kota besar. Secara sosial dan kebudayaan, mereka tampaknya berada dalam keadaan yang amat berbeda dengan dunia kaum
33
pegawai dan para pekerja ahli. Sedikit sekali dari mereka yang ingin ikut serta dalam super-kultur metropolitan.
Kepatuhan sosial dan identitas kebudayaan
adalah terhadap desa tempat asal atau kebudayaan daerah asalnya, walaupun beberapa diatara mereka telah lama tinggal di kota karena nenek-moyang mereka telah bergenerasi-generasi lamanya tinggal di kota sebagai pedagang kecil. Secara logis para anggota dari kelas sosial terendah itu biasanya pindah ke kota dari desa-desa sekeliling kota itu (berbeda dengan pegawai-pegawai yang barangkali lahir beberapa ribu mil jauhnya dari tempat itu). Mereka selalu pulang mudik ke desanya.
Kebanyakan anggota kelompok ini, sekurang-kurangnya
generasi pertamanya, tinggal dalam suatu lingkungan yang umumnya terdiri dari kelompok suku bangsa dan bahasa yang sama, terus berbicara dengan mempergunakan bahasa daerah aslinya di rumah dan tetap mempertahankan pola kebudayaan daerah asal mereka dengan beberapa variasi kota. 2.6. Nilai Budaya dan Tipologi Budaya Menurut Koentjaraningrat (1993), sistem nilai budaya (cultural value system) merupakan bagian dari adat-istiadat dengan tingkat yang paling abstrak. Terdiri dari konsepsi-konsepsi dalam pikiran sebagian besar suatu warga masyarakat tentang hal-hal yang harus mereka anggap paling bernilai dalam hidup. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tingkah laku manusia.
Sistem-sistem tata kelakuan manusia yang lebih
konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, juga berpedoman pada sistem nilai-budaya itu. Sementara itu, sikap mental adalah suatu disposisi atau keadaan mental dalam jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya (baik lingkungan manusia atau masyarakatnya, baik lingkungan alamiahnya, maupun lingkungan fisiknya). Sikap mental dapat dipengaruhi oleh nilai budaya, dan sering juga bersumber kepada sistem nilai budaya. Grondona, 1999, dalam Harrison dan Hutington (2006) mengemukakan bahwa dari beragam studi kasus yang telah dianalisis oleh Hutington, ia berusaha membuat tipologi budaya dimana dua tipe ideal sistem saling berhadapan, yaitu yang secara total memihak pembangunan ekonomi dan yang menentang habishabisan. Tipologi tersebut mencakup dua puluh faktor yang dipandang sangat berbeda dalam budaya yang memihak dan menolak pembangunan. Tipologi ini
34
sebenarnya ditujukan untuk negara Argentina dan Amerika Latin.
Namun,
tipologi tersebut masih cukup relevan dalam penggunaan yang lebih luas seperti sebagai alat analisis dengan memilih bagian dari tipologi tersebut yang paling sesuai. 1.
Agama Grondona mengemukakan bahwa menurut Max Weber, terdapat dua aliran
agama sebagai contoh, yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi. Yang pertama, aliran agama yang menunjukkan keberpihakan terhadap kaum miskin dibandingkan dengan kaum kaya.
Sementara yang kedua adalah yang
menunjukkan keberpihakan kepada kaum kaya dibandingkan kaum miskin. Bila aliran pertama yang dominan dalam suatu negara, maka pembangunan ekonomi akan sulit.
Menurutnya, kaum miskin akan merasa
dibenarkan dengan kemiskinan mereka dan yang kaya akan merasa tidak nyaman karena mereka melihat diri sendiri sebagai pendosa. Sebaliknya, bila aliran kedua yang dominan, maka hal ini akan menunjang pembangunan ekonomi. Kaum kaya akan merayakan kesuksesan mereka sebagai bukti berkah Tuhan, dan kaum miskin akan melihat keadaan mereka sebagai hukuman Tuhan. Baik pihak yang kaya maupun pihak yang miskin mempunyai dorongan yang kuat untuk memperbaiki kondisi mereka melalui pengumpulan kekayaan dan investasi. Dalam konteks tipologi ini, aliran pertama menyokong nilai-nilai yang menolak pembangunan ekonomi, sedangkan aliran kedua menyokong nilai yang memihak pembangunan. 2.
Kepercayaan dalam individu Mesin utama pembangunan ekonomi adalah kerja dan kreativitas individu-
individu. Sikap seperti ini memungkinkan untuk ditemukannya penemuan baru, namun hal ini dapat terwujud bila terdapat suatu iklim kebebasan.
Dengan
demikian, masing-masing individu dapat memegang kendali atas diri mereka. Bila masing-masing individu merasa ada yang bertanggung jawab atas diri mereka, maka mereka cenderung mengurangi upaya mereka dalam berusaha. Dalam kasus lain, bila masing-masing individu diarahkan untuk memikirkan ataupun mempercayai sesuatu, maka konsekuensinya adalah hilangnya motivasi
35
dan kreativitas.
Selain itu, hal tersebut konsekuensinya adalah pilihan sikap
antara kepatuhan atau pembangkangan. 3.
Tatanan moral Tingkat dasar moralitas pada masing-masing individu dapat digolongkan
tiga tingkat dasar.
Pertama, tingkat moralitas yang tertinggi yaitu sikap
mengutamakan kepentingan orang lain dan meniadakan kepentingan sendiri. Kedua, tingkat moralitas pertengahan atau seperti yang diistilahkan Raymon Aron dengan ”egoisme yang masuk akal”. Masing-masing individu bertindak masuk akal mencari kesejahteraannya sendiri dalam batasan-batasan tanggungjawab sosial dan hukum. Sementara, tingkat moralitas yang terendah yaitu sikap yang tidak menghormati hak-hak orang lain dan hukum, licik dengan kemunafikan dimana-mana (imoralitas). Dalam budaya yang memihak pembangunan, terdapat banyak kesesuaian yang lebih fleksibel pada hukum dan norma sehingga dapat diwujudkan. Dengan demikian, hukum moral dan realitas dapat berjalan seiring. Sebaliknya, dalam budaya yang menolak pembangunan, terdapat dua dunia yang tidak berhubungan sama sekali, seperti pada tingkat moralitas tertinggi dan terendah yang telah dijelaskan. 4. Dua konsep kekayaan Dalam masyarakat yang menolak pembangunan, kekayaan dilihat dari sudut pandang apa yang ada, sementara yang memihak pembangunan memandang hal itu dari sisi apa yang belum ada. Di negara-negara yang masih tertinggal, kekayaan yang pokok terletak pada tanah dan apa yang diperoleh dari tanah itu. Di negara maju, kekayaan pokok terletak pada proses inovasi yang menjanjikan. 5.
Dua pandangan tentang persaingan Kebutuhan bersaing untuk mencapai kekayaan dan keunggulan mencirikan
masyarakat yang memihak pembangunan, tidak hanya bidang ekonomi namun juga dalam berbagai hal dalam kehidupan masyarakat. Pada masyarakat yang menolak pembangunan, persaingan dianggap memiliki nilai-nilai yang negatif, yang mencerminkan pengesahan kedengkian. Sekalipun masyarakat ini mencela persaingan dan menghargai kerjasama, namun kenyataannya kerja sama justru sering terjadi dalam masyarakat kompetitif. Sesungguhnya, persaingan adalah
36
bentuk kerja sama yang menguntungkan kedua pesaing karena mereka dipaksa untuk melakukan yang terbaik. Persaingan membantu perkembangan demokrasi, kapitalisme dan perbedaan pendapat. 6.
Dua gagasan keadilan Dalam masyarakat yang menolak pembangunan,
keadilan distributif
hanya mementingkan generasi saat ini. Kecenderungan mengutamakan masa kini juga tercermin dalam sikap yang cenderung mengkonsumsi ketimbang menabung. Sebaliknya, masyarakat yang memihak pembangunan akan mendefinisikan keadilan distributif sebagai sesuatu yang melibatkan kepentingan generasi yang akan datang. Kecenderungan mengutamakan masa yang akan datang tercermin dalam sikap yang cenderung menabung dibandingkan mengkonsumsi. 7.
Nilai kerja Kerja tidak terlalu dihargai dalam masyarakat yang menolak kemakmuran.
Hal ini merupakan refleksi aliran filsafat yang sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Pengusaha dan pekerja rendahan mempunyai nilai martabat yang lebih rendah. Nilai martabat yang dianggap tinggi adalah intelektual, seniman, politisi, pemimpin agama, dan pemimpin militer. Nilai tersebut kemudian direformasi dengan membalikkan sistem skala martabat sehingga mengabadikan etika kerja. Seperti yang diteliti Max Weber, juga interpretasi Calvinis, sistem nilai terbalik yang sama inilah yang sangat bisa menjelaskan kemakmuran Eropa Barat dan Amerika Utara dan Asia Timur dan kemiskinan relatif Amerika Latin dan wilayah dunia ketiga lainnya. 8.
Peranan kepercayaan yang menyimpang dari ajaran gereja Martin Luther dalam tesisnya mengenai interpretasi bebas dari injil
menentang dogmatis yang menganggap kejahatan yang tak termaafkan bukanlah dosa melainkan kepercayaan yang menyimpang dari ajaran gereja.
Namun
pemikiran yang menggugat ajaran lama itulah salah satu yang menghasilkan inovasi. Sementara inovasi adalah mesin penggerak ekonomi. 9.
Mendidik bukanlah mencuci otak Dalam sistem nilai yang memihak pembangunan, bentuk pendidikan yang
dimaksud adalah yang membantu individu menemukan kebenarannya sendiri, bukan pendidikan yang mendikte apa itu kebenaran. Sementara dalam sistem-
37
sistem nilai yang resisten terhadap pembangunan, pendidikan merupakan proses yang menyebarkan dogma, menghasilkan para konformis dan pengikut. 10. Makna asas manfaat Dunia yang berkembang menjauhkan diri dari teori yang tidak dapat diuji dan lebih menyukai untuk mengikuti yang secara praktis dapat diuji dan berguna. Kondisi lainnya, tradisi intelektual di Amerika Latin lebih memusatkan perhatian kepada visi alam semesta yang hebat. Kondisi-kondisi tersebut tidak menguntungkan dalam pembangunan. 11. Kebaikan-kebaikan kecil Masyarakat yang maju
menghargai serangkaian kebaikan kecil seperti
sebuah pekerjaan dituntaskan dengan baik, kerapian, kesantunan, maupun ketepatan waktu.
Semua itu menunjang efisiensi dan keharmonisan dalam
hubungan manusia. Hal ini dianggap tidak penting dalam budaya yang resisten. Sebagian dari mereka menekankan keinginan-keinginan individu, sementara yang lain menganggap yang lebih penting adalah kebajikan tradisional yang besar seperti halnya cinta, keadilan, keberanian dan keluhuran budi. Meski demikian, kebajikan kecil merupakan ciri masyarakat dimana orang lebih menghargai kebutuhan orang lain. 12. Fokus waktu Waktu dapat dibagi menjadi empat kategori, masa lampau, sekarang, masa depan yang dekat, dan masa depan yang jauh atau alam baka. Fokus waktu dari masyarakat maju adalah masa depan yang berada dalam jangkauan, karena hal ini dapat dikendalikan atau direncanakan. Sementara itu, ciri-ciri budaya tradisional merupakan pengagung masa lalu. Selain itu, budaya tradisional memusatkan perhatian pada masa datang yang jauh, atau kehidupan di alam baka. 13. Rasionalitas Masyarakat maju dicirikan dengan penekanannya pada rasionalitas. Orang yang rasional memperoleh kepuasan saat memperoleh berbagai pencapaian kecil yang merupakan bagian dari kemajuan.
Sebaliknya, budaya pramodern
menekankan pada proyek-proyek mahabesar seperti piramid, bendungan aswan dan revolusi-revolusi.
38
14. Kewenangan Dalam masyarakat yang rasional, kekuasaan terletak pada hukum. Ketika supremasi hukum ditegakkan, masyarakat berfungsi sesuai rasionalitas yang dihubungkan dengan hukum alam yang logis dan permanen. Sementara dalam masyarakat yang resisten, kewenangan pemimpin serupa dengan Tuhan. Masyarakat mencoba untuk menduga keinginan yang sewenang-wenang dari mereka yang berkuasa.
Dengan demikian terjadi ketidakstabilan dalam
masyarakat. 15. Pandangan dunia Dalam budaya yang memihak pembangunan, dunia terlihat seperti panggung aksi yang memberi kesempatan bagi manusia untuk melakukan sesuatu agar dapat mengubahnya menjadi lebih baik.
Dalam budaya yang menolak
pembangunan, dunia dirasakan sebagai sebuah entitas besar dengan kekuatankekuatan yang tidak bisa dilawan. Kekuatan ini melahirkan nama: Tuhan, setan, konspirasi internasional yang kuat, kapitalisme, imperialisme, marxisme, zionisme.
Masyarakat dalam budaya ini cenderung memikirkan bagaimana
menyelamatkan diri sendiri, sering melalui perang suci yang penuh khayalan. Mereka cenderung terombang-ambing antara fanatisme dan sinisme. 16. Pandangan hidup Dalam budaya yang maju, kehidupan dipandang sesuatu yang akan diwujudkan oleh masing-masing individu (protagonis). Sebaliknya dalam budaya yang resisten, kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang terjadi pada masingmasing individu. Mereka pasrah menerima hal itu. 17. Keselamatan dari atau di dunia Dalam konsep yang menolak pembangunan, tujuan yang ingin dicapai adalah menyelamatkan seseorang dari dunia. Menurut tradisi katolik dunia adalah “kefanaan”. Untuk menyelamatkan seseorang darinya adalah dengan menahan godaan demi pencarian di dunia lain, alam baka. Tapi bagi orang protestan, keselamatan di dunia lain tergantung pada kesuksesan usaha-usaha individu untuk mengubah dunia.
39
18. Dua khayalan Baik budaya yang cenderung memihak maupun menolak kemajuan memiliki angan-angan. Dalam budaya progresif, dunia bergerak maju secara perlahan mencapai angan-angan melalui kreativitas dan usaha individu. Dalam budaya yang resisten, individu mencari khayalan awal yang berada di luar jangkauan. 19. Sifat dasar optimisme Dalam budaya yang resisten, si optimis adalah orang yang berharap bahwa kemujuran, dewa-dewa ataupun pihak penguasa, memihak kepadanya. Sementara dalam budaya yang memihak pembangunan, si optimis adalah orang yang berkeputusan untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk menjamin datangnya takdir yang menyenangkan. Mereka yakin bahwa apa yang dilakukan akan menimbulkan perbedaan. 20. Dua visi demokrasi Budaya yang menolak pembangunan masih memegang tradisi warisan berupa visi demokrasi absolutisme. Raja memegang kekuasaan yang absolute dalam mengatur masyarakat.
Sementara visi demokrasi dalam budaya maju
menganut demokrasi konstitusional yang liberal. Kekuasaan politik menyebar di antara sektor-sektor yang berbeda dan hukum adalah kekuasaan tertinggi. 2.7. Beberapa Hasil Penelitian yang Berkaitan dengan Penduduk Betawi dan Penduduk Pendatang 2.7.1. Pola Hubungan Sosial Antara Orang Betawi dengan Pendatang1 Studi mengenai “Pola Hubungan Sosial antara orang Betawi dengan Pendatang“
merupakan studi kasus di Kampung Pulo Kalibata, Kelurahan
Kalibata, Jakarta Selatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan
keagamaan, baik yang merupakan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan pada hari-hari tertentu, orang Betawi dan pendatang tetap mempertahankan kebiasaankebiasaan mereka masing-masing.
Keikutsertaan pendatang dalam kegiatan
keagamaan sebagian besar hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja. Sementara itu, orang Betawi tetap melakukan kegiatan keagamaan menurut
40
kebiasaan mereka tanpa menghiraukan ikut atau tidaknya pendatang dalam kegiatan tersebut.
Demikian juga halnya dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Hubungan yang “erat” hanya terjadi pada masing-masing kelompok, yaitu antar Betawi atau pendatang saja, baik untuk ngobrol maupun untuk suatu keperluan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pola hubungan sosial seperti tersebut di atas adalah pendidikan, pekerjaan, perkawinan campuran, lokasi tempat tinggal dan umur. Melihat pola hubungan tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa walaupun orang Betawi dan pendatang mempunyai latar belakang sosial, ekonomi serta budaya yang berbeda, tetapi terdapat prinsip saling menghormati pendirian dan kebiasaan masing-masing.
Hal ini
sebenarnya
membuka kemungkinan bagi masing-masing pihak untuk saling belajar, apabila terdapat/diciptakan pranata-pranata sosial yang efektif yang dapat mengatur kehidupan masyarakat dimana Betawi dan pendatang itu berbeda. Studi di atas menunjukkan bahwa penduduk Betawi pada dasarnya menghormati penduduk pendatang, selain itu masing-masing nampaknya mau saling belajar untuk suatu hal yang dianggap lebih baik. Bila dikaitkan dengan studi pada penelitian ini (analisis kemiskinan ditinjau dari aspek sosial ekonomi dan budaya) pola hubungan sosial tersebut seharusnya menghasilkan kondisi dimana tidak satu pun pihak yang merasa atau pun memang terpiggirkan dari pihak yang lain karena masing-masing berupaya untuk mencapai keadaan yang lebih baik. 2.7.2. Dampak Perkembangan Kota Jakarta terhadap Kesejahteraan Penduduk Asli dan Pendatang serta Perubahan Fungsi Kawasan Condet2 Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
perkembangan
kota
Jakarta
memberikan pengaruh dan dampak terhadap permintaan lahan pemukiman maupun usaha.
Terbatasnya lahan tersebut, khususnya di pusat kota,
menyebabkan kawasasn Condet menjadi sasaran bagi penduduk. Kedatangan 1
2
Sri Damayani Mulyandari Sardjono, Pola Hubungan Sosial antara Orang Betawi dengan Pendatang-Studi di Kampung Pulo Kalibata, Kelurahan Kalibata Jakarta Selatan, skripsi sarjana (Jakarta: Universitas Indonesia, 1984). Wati Nilamsari, “Pengaruh Perubahan Penguasaan dan Penggunaan Lahan terhadap Pola Usaha Ekonomi Rumahtangga Etnik Betawi di Condet (Kasus di Kelurahan Condet Balekambang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur)”, tesis pascasarjana (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2005).
41
penduduk dari luar tersebut menimbulkan perubahan fisik maupun pergeseran dalam nilai-nilai kehidupan masyarakat Condet dan akhirnya memberikan dampak terhadap tingkat kesejahteraan (kualitas sosial ekonomi) penduduk asli, pendatang dan perubahan fungsi Kawasan Condet yang sangat besar. Daya tarik Condet sebagai kawasan pemukiman dikarenakan letaknya yang berekatan dengan pusat kegiatan bisnis dan memiliki aksesibilitas yang tinggi terhadap wilayah Kota Jakarta serta lingkungan yang relatif nyaman. Berdasarkan letak lokasi tersebut dampak perkembangan Kota Jakarta terhadap kawasan Condet sangat besar.
Pertumbuhan kawasan terbangun menyebabkan
terganggunya fungsi kawasan Condet sebagai cagar budaya dan konservasi. Hal ini terlihat dari adanya penurunan jumlah, lahan pertanian, pergeseran mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian dan semakin meningkatkan permintaan lahan pemukiman yang mengakibatkan terjadinya peralihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan bangunan. Selain itu, akibat adanya pembangunan pemukiman yang baru adalah masalah integrasi masyarakat Condet, yakni bagaimana kelompok baru tersebut dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya. Dan faktor peralihan peruntukkan lahan khususnya dalam perkembangan pemukiman dapat berpengaruh terhadap perubahan lingkungan sosial penduduk Condet. Sementara itu, pengertian dari cagar budaya Condet itu sendiri adalah usaha perlindungan terhadap keseluruhan yang kompleks menyangkut semua aktivitas kegiatan penduduk asli, termasuk perlindungan akan kondisi alamnya sehingga adanya
pengembangan
dan
pembangunan
pemukiman-pemukiman
baru
merupakan ancaman dalam pelestarian Condet sebagai cagar budaya khususnya konservasi buah-buahan. Secara spesifik, sesuai dengan tujuan penelitian dapat disimpulkan bahwa karakteristik sosial ekonomi yang berbeda nyata antara penduduk asli dengan pendatang adalah jumlah anak, alokasi waktu kepala keluarga untuk mencari nafkah dan kegiatan rumahtangga, pendapatan kepala keluarga, pendapatan istri, pendapatan anak, pengeluaran perbulan untuk konsumsi, transportasi, listrik, jajan, telepon dan biaya pendidikan.
Faktor sosial ekonomi yang dominan
menentukan perbedaan penduduk asli dan pendatang adalah besarnya pendapatan
42
per bulan dari kepala keluarga dan anak, biaya pendidikan per bulan, jumlah anak dan luas lahan. Dari karakteristik sosial ekonomi yang dominan juga dapat diperoleh tingkat kesejahteraan penduduk pendatang lebih tinggi dibandingkan penduduk asli. Hal ini juga ditunjukkan dari hasil pengujian dua rata-rata dimana variable total pendapatan/bulan, kelurahan (Camping Tengah, Balekambang dan Batu Ampar) sudah melebihi proporsi luas bangunan yang diperbolehkan, yaitu sebesar 20 dari luas lahan pertanian. Prospek kawasan Condet sebagai kawasan konservasi yang salah satunya sebagai daerah resapan air untuk wilayah DKI Jakarta dan luas lahan pertanian untuk tanaman khas Betawi (bukan salak dan dukuh) kurang baik dengan meningkatnya luas lahan pemukiman seiring menurunnya luas lahan perkebunan dan jalar hijau dari tahun 1976 sebesar 81 persen dari dan tahun 1998 hanya tinggal 19 persen dari luas total condet. Prospek Kawasan Condet sebagai Cagar Budaya mulai menurun dilihat dari perubahan kondisi perumahan dalam bentuk arsitekturnya maupun status kepemilikannya, keterbukaan masyarakat Condet terhadap perubahan yang terjadi dan persepsi masyarakat terhadap perubahan sosial budaya yang mempunyai dampak terhadap pelestarian kawasan Condet sebagai Cagar Budaya. Jumlah bangunan pada tahun 1998 yang memiliki arsitektur tradisional (45,33 persen) lebih kecil dibandingkan arsitektur moderen (54,67 persen). Berdasarkan status kepemilikan lahan dari 59,33 persen yang berstatus milik pribadi 28 persen merupakan milik pendatang.
Hal ini menunjukkan adanya pengalihan
kepemilikan lahan yang dapat menyebabkan tergesernya penduduk asli dari lahan mereka sendiri. Untuk melihat perubahan sosial budaya masyarakat Condet dengan mengkaji keterbukaan masyarakat Condet dalam menerima unsur-unsur baru dari suatu komunitas, dimana mudahnya adaptasi bagi penduduk pendatang dalam sikap
hidup,
maupun
dalam
kegiatan-kegiatannya
dan
hubungan
kemasyarakatan/pergaulan penduduk asli yang sangat terbuka mempengaruhi pola kehidupan maupun aktivitas dari penduduk asli.
43
Dapat dikatakan telah terjadi integrasi yang baik antara penduduk asli dan pendatang.
Kondisi ini merupakan peluang besar terjadinya percampuran
kebudayaan (97,33 persen) diantara kedua penduduk. Dan terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya Betawi yang selama ini dikenal sebagai masyarakat yang dekat dengan orangtua/saudara. Sementara itu kegiatan kesenian Betawi yang ada di daerah Condet selama setahun terakhir ini hanya sebesar 4,67 persen. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan prospek Condet sebagai cagar budaya Betawi semakin menurun. Hal penting yang berkaitan dengan studi dalam penelitian ini adalah diketahui bahwa terdapat faktor sosial ekonomi yang dominan menentukan perbedaan penduduk asli dan pendatang di kawasan Condet.
Faktor sosial
ekonomi tersebut dalam cakupan yang lebih luas (DKI Jakarta) akan dilihat dalam penelitian ini sebagai informasi untuk lebih memahami persoalan kemiskinan pada penduduk Betawi vis-a-vis pendatang. 2.7.3. Analisis Tingkat Kesejahteraan Etnik Betawi di Daerah Pinggiran Jakarta (Kasus di Desa Rawapanjang Kecamatan Rawapanjang, Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat)3 Pembangunan wilayah DKI Jakarta telah menyebabkan berbagai implikasi terhadap banyak hal, baik politik, ekonomi, sosial, tata ruang, lingkungan maupun terhadap penduduk asli Jakarta yang dikenai sebagai orang Betawi. Terhadap penduduk asli
(orang Betawi) perkembangan ibu kota telah menyebabkan
golongan ini terpaksa maupun sukarela pindah ke daerah-daerah pinggiran Jakarta. Orang Betawi saat ini sebagian besar berdomisili di kawasan Bogor, Tangerang dan Bekasi. Sehubungan dengan perpindahan orang Betawi ke daerah pinggiran Jakarta, belum banyak studi tentang keberadaan mereka setelah pindah atau keberadaan mereka di tempat yang baru, terutama tentang kesejahteraannya. Oleh karena itu studi ini bertujuan untuk melihat kesejahteraan orang Betawi yang berdomisili di
3
Sari Rahmadona, Analisis Tingkat Kesejahteraan Etnik Betawi di Daerah Pinggiran Jakarta (Kasus di Desa Rawapanjang Kecamatan Rawapanjang, Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat), Skripsi (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2004).
44
daerah pinggiran dan kemudian membandingkannya dengan tingkat kesejahteraan mereka sebelum pindah (masih berdomisili di Jakarta). Studi ini mengkaji kesejahteraan dari sudut pandang subjektif. Berdasarkan pandangan objektif, kondisi kesejahteraan orang Betawi diketahui dengan menggunakan berbagai indikator yang meliputi tingkat konsumsi pangan, tingkat daya beli pakaian, kualitas bangunan tempat tinggal, tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan.
Sedangkan dari sudut pandang subjektif, kesejahteraan
diungkapkan berdasarkan penilaian subjektif masing-masing responden terhadap kesejahteraan yang dialaminya atau dirasakannya. Studi tentang kesejahteraan orang Betawi ini dibatasi dengan hanya menggali beberapa bidang kehidupan saja, yaitu bidang pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan bidang kesehatan. Studi ini dilakukan di Desa Rawapanjang Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, dengan pertimbangan lokasi ini merupakan daerah pinggiran (yang terletak sebelah Selatan wilayah DKI Jakarta). Disamping itu sebagian besar orang Betawi yang ada di wilayah ini merupakan orang Betawi pindahan (migran) yang berasal dari DKI Jakarta. Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode kuantitatif yang diperkuat data kualitatif. Populasi studi ini mencakup semua rumahtangga etnik Betawi yang berstatus sebagai pendatang di wilayah penelitian. Responden untuk survei diambil secara acak sistematis. Mayoritas responden berasal dari Jakarta (46,67 persen). Alasan utama responden pindah dan memilih Desa Rawapanjang sebagai tempat tinggal barunya adalah karena harga tanah/harga rumah lebih murah, dibanding bila membeli tanah atau rumah di Jakarta. Sebagian besar pekerjaan responden adalah buruh (50 persen). Hal ini tidak mengherankan karena ditinjau dari tingkat pendidikannya sebagian besar responden hanyalah tamatan Sekolah Dasar (SD). Profesi 50 persen responden lain juga tidak berbeda jauh dengan buruh, misalnya tukang bengkel, satpam, sopir, pedagang kaki lima dan sejenisnya. Tingkat kesejahteraan rumahtangga etnik Betawi yang berdomisili di daerah pinggiran tergolong rendah. Berdasarkan ukuran objektif 63,33 persen
45
tidak sejahtera. Bahkan berdasarkan pandangan subjektif responden mengenai kesejahteraan lebih banyak lagi yang belum sejahtera, yaitu delapan puluh persen. Terdapat lima puluh persen rumahtangga etnik Betawi yang tingkat kesejahteraannya sangat buruk.
Dikatakan sangat buruk karena dari dua
pendekatan yang dilakukan dalam studi ini (untuk mengetahui tingkat kesejahteraan), tidak ada dari satu pendekatan manapun golongan ini dapat dikatakan sejahtera. Dari ukuran objektif kondisi kesejahteraannya di bawah ratarata, secara subjektif pun tidak merasa sejahtera. Golongan inilah yang paling parah kondisi kehidupannya. Dari lima bidang kehidupan yang dianalisis dalam studi ini, khusus di bidang pakaian (sandang) tingkat kesejahteraan rumahtangga responden paling baik.
Sebaliknya, di bidang makanan (pangan) kesejahteraan rumahtangga
responden paling buruk. Terbukti berdasarkan indikator objektif dan pandangan subjektif enam puluh persen responden belum sejahtera. Selanjutnya, 66,67 persen responden pendapatannya lebih kecil pengeluarannya untuk pangan.
dari
Bila dilihat dari kepemilikan tabungan pun
mayoritas responden 76,67 persen belum sejahtera. Terjadi peningkatan kesejahteraan Orang Betawi antara keadaan sebelum pindah (masih menetap di Jakarta) dengan setelah pindah (berdomisili di daerah pinggiran), baik dilihat berdasarkan ukuran objektif maupun pandangan subjektif. Berdasarkan ukuran objektif jumlah rumahtangga yang tergolong sejahtera mengalami peningkatan sebesar 26,67 persen. Berdasarkan pandangan subjektif, sebagian besar (66,67 persen) merasa lebih sejahtera sekarang. Studi ini menambah referensi bahwa memang terdapat fenomena penduduk Betawi yang pindah ke daerah pinggiran Jakarta.
46
2.7.4. Akar Penyebab Kemiskinan menurut Rumah Tangga Miskin dan Strategi Penanggulangannya (Kasus di Kota Ambon, Provinsi Maluku, dan di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo )4 Studi kasus di Kota Ambon (Maluku) dan Kabupaten Boalemo (Gorontalo) menunjukkan bahwa akar penyebab kemiskinan menurut rumah tangga miskin pada tipologi kemiskinan perkotaan dan perdesaan, yaitu kurang produktifnya rumah tangga miskin, kurang normatifnya perilaku elitis, lemahnya kepribadian rumah tangga miskin, memudarnya sistem nilai budaya, kuatnya kepentingan elitis, ketimpangan infrastruktur, persaingan yang tidak adil, dan deprivasi kapabilitas aset produksi. Sementara itu, akar penyebab kemiskinan yang paling menentukan, yaitu kurang produktifnya perilaku rumah tangga miskin tercermin dari rendahnya tingkat kognitif, sikap mental, dan ketrampilan dalam menanggulangi kemiskinan dan pemiskinan; sedangkan kurang normatifnya perilaku elitis dan dicermati dari membiasnya pola pikir, pola sikap, dan pola tindak pada elitis dalam menanggulangi kemiskinan. Tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin berbeda secara nyata menurut tipologi kemiskinan perkotaan dan perdesaan.
Tingkat kesejahteraan rumah
tangga miskin menurut tipologi kemiskinan perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Selain itu, tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin berbeda secara nyata menurut tipologi berdasarkan kondisi sosio-ekologis berbasis mata pencaharian utama.
Tingkat kesejahteraan nelayan lebih tinggi dibandingkan
pekerja sektor informal, petani dataran rendah dan dataran tinggi. Strategi utama penanggulangan kemiskinan dan pemiskinan, yaitu: pelembagaan tata kelola kepemerintahan yang baik (good governence), peningkatan kapabilitas, revitalisasi modal sosial, advokasi kebijakan publik, keterjaminan sosial, pemberdayaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan redistribusi aset produksi.
4
Eddy Chiljon Papilaya, “Akar Penyebab Kemiskinan menurut Rumah Tangga Miskin dan Strategi Penanggulangannya (Kasus di Kota Ambon, Provinsi Maluku, dan di Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo)”, desertasi pascasarjana (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2006).
47
Peran-peran strategis yang dapat dilakukan oleh seluruh stakeholder pembangunan dalam menanggulangi kemiskinan dan pemiskinan, adalah sebagai berikut.
Pertama,
komponen
masyarakat
sipil,
khususnya
penyuluh
pembangunan, sebagai: inovator, advokator, lobitor, negosiator, dan organizer, motivator, dan fasilitator. Kedua, pemerintah yang berperan sebagai: fasilitator, akselerator, regulator, protektor, dirigent. Ketiga, pelaku sektor swasta atau dunia usaha sebagai penghela/pendorong kemitraan, investor, stimulator upah yang manusiawi dan implementor budaya tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat (corporate social responsibility). 2.8. Motivasi Wirausaha Motif berprestasi kewirausahaan (Teori David McClelland, 19615): seorang wirausaha melakukan kegiatan usaha didorong oleh kebutuhan untuk berprestasi, berhubungan dengan orang lain dan untuk mendapatkan kekuasaan baik secara finansial maupun secara sosial. Wirausaha melakukan kegiatan usaha dimotivasi oleh: a. motif berprestasi (need for achievement), orang melakukan kegiatan kewirausahaan didorong oleh keingginan mendapatkan prestasi dan pengakuan dari keluarga maupun masyarakat; b. motif berafiliasi (need for affiliation), orang melakukan kegiatan kewirausahaan didorong oleh keinginan untuk berhubungan dengan orang lain secara sosial kemasyarakatan; c. motif kekuasaan (need for power), orang melakukan kegiatan kewirausahaan didorong oleh keingginan mendapatkan kekuasaan atas sumberdaya yang ada. Peningkatan kekayaan, pengusahaan pasar sering menjadi pendorong utama wirausaha melakukan kegiatan usaha.
5
dalam http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:QpZLzOupnoJ:indofolder.info/%3Fs%3Dteori%2Bneed%2Bfor%2Bachievement+need+for+achievement+ motivasi+wirausaha&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefoxa&source=www.google.co.id, diakses 27 Juli 2011