II.TINJAUAN PUSAKA 2.1 ENZIM Enzim merupakan protein. Enzim biasa disebut sebagai biokatalisator karena dihasilkan dari jaringan hidup dan memiliki fungsi untuk meningkatkan laju reaksi yang terjadi di dalam jaringan (Montgomery et al. 1993). Sebagai biokatalisator dalam meningkatkan laju reaksi, enzim dapat mempercepat laju reaksi kimiawi hingga 1010-1020 kali lebih cepat dibandingkan reaksi kimiawi tanpa menggunakan enzim (Muchtadi et al. 1990).
2.1.1 Sumber Produksi Enzim Enzim dapat diproduksi melalui tiga sumber utama, yaitu hewan, tanaman, dan mikroorganisme. Sumber dan jenis enzim yang diproduksi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sumber utama produksi enzim era pra-1960 Sumber
Enzim
Mikroorganisme Kamir : Saccharomyses cerevisiae
Invertase
Saccharomyces fragilis
Lactase
Bakteri : Bacillus subtilis
Amilase, protease
Micrococcus lysodeikticus
Katalase
Kapang : Aspergillus flavus
Amilase
Aspergillus niger
Glukosidase, katalase, selulase, lipase, pektinase
Aspergillus oryzae
Protease
Aspergillus notatum
Glukosa oksidase
Tanaman Jelai / gandum (Hordeum vulgare)
Amilase (diastase)
Pepaya (Carica papaya)
Protease (papain)
Pineapple (Ananas commosus)
Protease (bromelin)
Hewan Pankreas sapi (Bos sp.)
Trypsin, erepsin, amilase
Ekstrak lambung babi dan sapi ternak (Sus
Pepsin, lipase
scrofa dan Bos sp.) Lambung anak sapi (Bos sp.)
Rennin
(Dordick 1991)
3
Mikroorganisme untuk produksi enzim dikembangkan lebih luas karena memiliki kelebihan dibandingkan sumber lainnya. Kelebihan mikroorganisme sebagai sumber produksi enzim diantaranya : (1) scaling up produksi enzimnya tidak membutuhkan ruang yang besar, (2) sel-sel mikroorganisme lebih mudah diternakkan dalam lingkungan yang telah terkontrol, (3) waktu pengembangbiakan sel mikroorganisme relatif lebih singkat sehingga produksi enzim lebih cepat (Suhartono 2000).
2.1.1.1 Aspergillus ustus Salah satu jenis mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim adalah Aspergillus ustus. Aspergillus ustus merupakan spesies yang bervariasi (Houbraken et al., 2007) berupa kapang berfilamen yang sangat umum ditemukan pada makanan, tanah, dan udara (Samson et al., 2004). Aspergillus ustus memiliki penampakkan warna koloni yang bervariasi mulai dari cokelat lumpur hingga abu-abu. National Center for Biotechnology Information (NCBI) (2012) menggolongkan Aspergillus ustus sebagai berikut : Domain
: Eukarya
Kingdom
: Fungi
Filum
: Ascomycota
Kelas
: Eurotiomycetes
Ordo
: Eurotiales
Famili
: Trichocomaceae
Genus
: Aspergillus
Species
: Aspergillus ustus
Menurut Machida dan Gomi (2012), Aspergillus ustus termasuk ke dalam bagian Usti bersama enam spesies lainnya (A. puniceus, A. granolosus, A. keveii, A. pseudodeflectus, A. calidoustus, A. insuetus). Pada agar ekstrak malt, koloni Aspergillus ustus terlihat semi padat, seperti kapas (cottony), berwarna abu-abu kecokelatan, terdapat warna putih di pinggir koloni, dengan pigmen warna kuning yang menyebar (Paterson 2004). Gambar 1. memperlihatkan penampakkan koloni, konidiofor, dan konidia Aspergillus ustus.
a
b
c
Gambar 1. (a) koloni Aspergillus ustus; (b) konidiofor Aspergillus ustus; (c) konida Aspergillus ustus (Paterson 2004)
4
Paterson (2004) menambahkan, secara mikroskopis penampakkan Aspergillus ustus terlihat halus, berwarna cokelat, konidiofor berdinding tebal (panjang 250 µm dan lebar 50 µm), konidianya seperti globula (bulat) berdiameter 4-5 µm dengan dinding yang terlihat kasar berwarna cokelat. Penelitian Andriani et al. (2011) menunjukkan bahwa Aspergillus ustus memiliki potensi menghasilkan enzim pektinase. Pada screening aktivitas pektinolitik, isolat Aspergillus ustus pada media yang mengandung pektin menunjukkan zona bening (clear zone). Hal ini berarti selama masa pertumbuhan Aspergillus ustus, terjadi degradasi komponen pektin pada media pertumbuhannya. Selain screening aktivitas pektinolitik, fermentasi pada media cair (submerged fermentation) juga membuktikan bahwa Aspergillus ustus mampu menghasilkan enzim pektinase dengan aktivitas sebesar 1.32 U/mL.
2.1.2 Metode Produksi Enzim oleh Mikroorganisme Terdapat dua metode yang sering digunakan untuk memproduksi enzim yang bersumber dari mikroorganisme, yaitu metode fermentasi cair (submerged fermentation) dan fermentasi semi padat (solid-state fermentation). Fermentasi cair (submerged fermentation) adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi dalam fase cair. Sebaliknya, fermentasi semi padat adalah proses fermentasi yang substratnya tidak larut, serta sedikit atau tidak mengandung air bebas (Sabu et al. 2006). Menurut Rashid et al. (2011), produksi enzim dengan fermentasi semi padat dilakukan untuk memanfaatkan biomassa yang jumlahnya banyak untuk menghasilkan produk terutama enzim dengan lebih efisien. Fermentasi semi padat (solid-state fermentation) merupakan suatu metode biakan alternatif yang telah banyak digunakan untuk memproduksi produk-produk industri seperti enzim, pigmen, antibiotik, dan lain-lain (Praveen dan Savitha 2012). Metode fermentasi semi padat memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode fermentasi cair, diantaranya : (1) kontrol prosesnya lebih baik, (2) substrat yang dimanfaatkan lebih banyak, (3) kemungkinan terjadinya kontaminasi lebih rendah, (4) pengolahan hilirnya lebih mudah (Praveen dan Savitha 2012), (5) rendemen metabolit sekunder atau enzim lebih banyak (Gonzales 2012).
2.1.3 Aplikasi Enzim Aplikasi atau penggunaan enzim sangat luas meliputi berbagai macam bidang kehidupan diantaranya pada industri pangan, medis (diagnostik), kimia, dan industri farmasi (Dordick 1991). Salah satu bidang yang banyak memanfaatkan enzim yaitu industri pangan. Pada industri pangan, enzim biasa digunakan untuk tujuan tertentu seperti mengontrol tekstur atau penampakkan produk pangan, meningkatkan nilai gizi produk pangan, dan menciptakan flavour serta aroma produk pangan yang diinginkan.
5
2.2 PEKTIN 2.2.1 Pengertian dan Struktur Pektin Pektin merupakan kompleks heteropolisakarida yang terkandung dalam dinding sel primer dan lamela tengah tanaman tingkat tinggi (Heerd et al. 2012). Komponen utama penyusun pektin adalah asam galakturonat yang merupakan turunan dari galaktosa (Willats et al. 2001). Secara strukural, pektin digambarkan melalui dua daerah, yaitu daerah “halus (smooth)” dan daerah
“berambut
(hairy)”.
Daerah
halus
merupakan
daerah
yang
dibentuk
oleh
homogalacturonans (HGs), sedangkan daerah berbulu merupakan daerah yang dibentuk oleh rhamnogalacturonans tipe I (RGs-I) (Koubala et al. 2012). Pektin tersusun atas asam Dgalakturonat yang dihubungkan dengan ikatan α-(1,4)-glukosida. Gambar struktur kimia pektin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Pektin (Chayati dan Andian 2009)
Secara umum, senyawa pektin dikelompokkan menjadi tiga senyawa, yaitu substansi pektat, asam pektinat, dan protopektin. Nussinovitch et al. (1997) menjelaskan definisi ketiga kelompok dari senyawa pektin tersebut seperti penjelasan di bawah ini: 1. Substansi pektat merupakan kelompok zat turunan karbohidrat kompleks berbentuk koloid yang
dihasilkan
dari
tumbuh-tumbuhan
dan
sebagian
besar
mengandung
asam
anhidrogalakturonat dalam suatu kombinasi turunannya menyerupai rantai. Gugus karboksil asam-asam poligalakturonat dapat teresterifikasi sebagian dengan gugus metil dan sebagian atau seluruhnya dapat dinetralkan oleh satu atau lebih jenis basa
6
2. Asam pektinat adalah istilah yang digunakan bagi asam poligalakturonat yang mengandung gugus metil ester dalam jumlah yang cukup banyak. Asam pektinat dalam keadaan yang sesuai mampu membentuk gel dengan ion-ion logam 3. Protopektin adalah zat pektat yang tidak larut dalam air dan jika dihidrolisis menghasilkan asam pektinat atau pektin.
2.2.2 Aplikasi Pektin Pektin telah banyak digunakan, baik pada
industri pangan, maupun non-pangan.
Penggunaan pektin pada industri pangan diantaranya sebagai bahan pembentuk gel dan penstabil pada sari buah, jelly, jam, dan marmalade, selain itu pektin juga berperan sebagai penstabil pada minuman susu asam dan yoghurt (Willats et al. 2006). Pada bidang farmasi, pektin berguna sebagai obat diare, menurunkan tingkat kolestrol darah, anemia, dan juga digunakan sebagai bahan kapsul obat-obatan (Christensen dan Towle 1973).
2.2.3 Ekstraksi Pektin Ekstraksi pektin bertujuan untuk mengeluarkan pektin dari jaringan dengan cara memanaskan bahan dalam larutan asam encer yang panas. Hal ini mengakibatkan terlarutnya substansi pektat dan asam pektinat (pektin) serta protopektin yang tidak larut akan terhidrolisis menjadi pektin yang larut (Widodo et al. 2012). Terdapat tiga tahap utama dalam melakukan ekstraksi pektin, yaitu ekstraksi, pengendapan, dan pengeringan pektin. Secara umum, ekstraksi dilakukan dengan menggunakan asam sebagai pelarut, baik asam mineral, maupun asam organik. Tahap ekstraksi dimulai dengan memanaskan bahan bersama dengan pelarutnya pada suhu dan waktu (lama ekstraksi) tertentu. Menurut Christensen dan Towle (1973), ekstraksi pektin dari sayur-sayuran sebaiknya dilakukan pada pH 1.5-3.0 dengan suhu pemanasan antara 60-100o C selama kurang dari satu jam, sedangkan ekstraksi pektin terbaik dari kulit Jeruk adalah pada suhu 95o C selama 45 menit dengan menggunakan pelarut asam klorida atau asam sulfat (Cruess 1958). Pengendapan dilakukan terhadap filtrat hasil ekstraksi, endapan tersebut akan mengalami penggumpalan dengan penambahan alkohol. Penambahan zat pendehidrasi seperti alkohol dapat mengurangi stabilitas dispersi pektin karena efek dehidrasi mengganggu keseimbangan antara pektin dan air sehingga pektin akan menggumpal. Hasil penggumpalan pektin inilah yang kemudian dikeringkan. Pengeringan dilakukan untuk mendapatkan pektin dalam bentuk kering sehingga penyimpanannya lebih mudah. Pengeringan pektin dapat dilakukan dengan menggunakan oven atau sinar matahari.
7
2.3 PEKTINASE 2.3.1 Pengertian dan Struktur Pektinase Pektinase adalah nama umum dari kelompok enzim yang mengatalisis hidrolisis ikatan glikosidik pada polimer pektat (Rangarajan 2010) atau enzim yang berperan dalam degradasi substansi pektin (Heerd et al. 2012). Menurut Oyeleke (2012), pektinase merupakan enzim komersial yang dapat merusak pektin (substrat polisakarida) dengan cara memecah asam poligalakturonat menjadi asam monogalakturonat melalui pelepasan ikatan glikosidik. Pedrolli et al. (2009) menjelaskan selain mengatalisis degradasi zat pektat (pektin) melalui depolimerisasi (hidrolase dan liase), pektinase juga dapat merombak zat pektat (pektin) tersebut melalui reaksi diesterifikasi (esterase). Berdasarkan titik pemotongannya, pektinase dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu pektin esterase, poligalakturonase, dan pektin liase (Gambar 3).
Gambar 3. Tipe pektinase berdasarkan titik pemotongannya (Pedrolli et al. 2009) Keterangan : (a) R = H untuk Poligalakturonase (PG) dan CH3 untuk Polimetilgalakturonase (PMG); (b) Pektinesterase (PE); (c) R = H untuk Pektat Liase (PGL) dan CH3 untuk Pektin Liase (PL). Pektin esterase terbagi menjadi dua yaitu pektin metil esterase dan pektin asetil esterase. Pektin metil esterase mengatalisis esterifikasi gugus fungsi metoksil sehingga menghasilkan asam pektat dan metanol, sedangkan pektin asetil esterase menghidrolisis asetil ester membentuk asam pektat dan asetat. Poligalakturonase terbagi menjadi dua yaitu polimetilgalakturonase dan poligalakturonase. Polimetilgalakturonase memotong ikatan α-1,4-glikosidik membentuk 6-metilD-galakturonat, sedangkan poligalakturonase menghidrolisis ikatan α-1,4-glikosidik membentuk
8
D-galakturonat. Pektin liase terbagi menjadi dua yaitu pektat liase dan pektin liase. Pektat liase memotong ikatan glikosidik dari asam poligalakturonat membentuk 4,5-D-galakturonat melalui reaksi transeliminasi, sedangkan pektin liase memotong ikatan glikosidik dari pektin terutama pektin teresterifikasi tinggi membentuk metil oligogalakturonat (Pedrolli et al. 2009).
2.3.2 Aplikasi Enzim Pektinase Aplikasi enzim pektinase sangat luas, mencakup industri pangan dan non-pangan, pektinase dapat digunakan pada proses ekstraksi dan klarifikasi jus buah dan wine, ekstraksi minyak, flavour, dan pigmen dari tanaman, digunakan untuk pengolahan serat selulosa untuk pembuatan linen, goni (jute), dan tali rami (hemp), sebagai salah satu bahan yang dapat diterapkan dalam produksi oligogalakturonida sebagai komponen pangan fungsional, dan membantu proses fermentasi teh dan kopi (Phutela et al. 2005). Pektinase berguna terhadap pemecahan substansi pektin. Pemecahan substansi pektin oleh pektinase akan menurunkan viskositas sari buah yang kaya akan pektin kasar, memperpendek waktu penekanan (press-time), dan meningkatkan laju alir sari buah (juice flow) (Heerd et al. 2012), selain itu pektinase dapat juga digunakan untuk melunakkan dinding sel dan mampu meningkatkan rendemen ektrak jus dari buah sehingga enzim pektinase menjadi salah satu enzim yang penting pada industri pangan (Oyeleke 2012).
2.4 LIMBAH PERTANIAN 2.4.1 Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Pertanian Limbah pertanian di Indonesia sangat berlimpah. Hal ini tentu saja terjadi karena Indonesia merupakan negara tropis yang lahan pertaniannya subur, banyak ditanami berbagai jenis tanaman,
dan menghasilkan produk pertanian yang jumlahnya melimpah. Contoh limbah
pertanian yang jumlahnya sangat banyak dan pemanfaatannya masih minimal adalah kulit buahbuahan, kulit padi (gabah), daun teh tua, dan lain sebagainya. Penanganan limbah pertanian bertujuan untuk mengubah bentuk limbah tersebut menjadi sesuatu yang berpotensi rendah menimbulkan bahaya, mengurangi jumlahnya, hingga pada tujuan untuk meningkatkan nilai tambah dari limbah tersebut jika dalam limbah tersebut memang memiliki potensi untuk dimanfaatkan atau digunakan. Penanganan limbah dengan konsep produksi bersih dilakukan dengan cara meminimalkan dampak negatif, memanfaatkan kembali limbah melalui praktik-praktik keterpaduan dan efisiensi pada penggunaan input bahan baku, energi, dan air, atau mendaur ulang limbah sedemikian rupa sehingga meningkatkan nilai tambah. (BPBPI 2012). Kemajuan bioteknologi berdampak juga terhadap penanganan dan pemanfaatan limbah pertanian. Bioteknologi adalah teknik penggunaan organisme hidup atau substansi dari organisme untuk membuat atau memodifikasi produk, meningkatkan kemampuan tanaman dan hewan ataupun memanfaatkan mikroorganisme untuk tujuan tertentu yang spesifik (Persley 1994). Limbah pertanian dipercaya memiliki potensi sebagai sumber karbon bagi mikroorganisme
9
tertentu untuk menghasilkan enzim. Oleh karena itu, dengan bioteknologi diharapkan permasalahan limbah ini dapat diatasi dengan baik.
2.4.2 Jeruk Siam (Citrus nobilis) dan Jeruk Medan (Citrus sinensis L.) Penamaan Siam pada jeruk Siam berasal dari daerah asal jeruk tersebut yaitu Siam (Muangthai, China). Penyebaran jeruk Siam di Indonesia tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana dimulai, namun Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang diketahui membudidayakan jeruk Siam sejak lama yaitu dimulai sekitar tahun 1940 (Tim Penulis PS 1999). Secara sistematis, Tim penulis PS (1999) dan Pracaya (1999) mengklasifikasi jeruk Siam sebagai berikut: Filum
: Spermatophyta (tanaman berbiji)
Subfilum : Angiospermae (biji di dalam buah) Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Rutales
Famili
: Rutaceae
Subfamili : Aurantioidae Tribe
: Citriae
Subtribe : Citrinae Genus
: Citrus
Subgenus : Eucitrus, Papeda Species
: Citrus nobilis
Varietas
: Citrus nobilis LOUR var. microcarpa Hassk
Jeruk Siam memiliki ciri khas yaitu kulit buahnya tipis (sekitar 2 mm), permukaannya halus, licin, mengkilap, dan menempel lekat pada daging buahnya (Gambar 4). Dasar buah jeruk Siam berleher pendek dengan puncak berlekuk, tangkai buahnya pendek dengan panjang sekitar 3 cm dan berdiameter 2.6 mm. Biji jeruk Siam berbentuk ovoid, warnanya putih kekuningan dengan ukuran sekitar 0.9 cm x 0.6 cm.
Gambar 4. Jeruk Siam (Citrus nobilis var. microcarpa) (Anonim 2012)
10
Pemanenan jeruk Siam biasanya dilakukan pada bulan Mei-Agustus dengan rata-rata satu pohon mampu menghasilkan 7.3 kg buah (Tim Penulis PS 1999). Permintaan pasar terhadap jeruk Siam cukup tinggi, terbukti dari penguasaan pasar jeruk sebesar 60% oleh jeruk Siam. Hal ini terjadi karena jeruk Siam memang memiliki kelebihan dibanding jeruk lain sehingga masyarakat lebih menyukai jeruk ini. Kelebihan jeruk Siam dibanding jeruk yang lain adalah memiliki daging buah yang lunak, rasa yang manis, dan aroma yang harum. Jeruk Medan merupakan salah satu produk agroindustri yang berasal dari Sumatera Utara. Jeruk Medan mempunyai nama ilmiah Citrus sinesis L. Buah jeruk Medan berukuran sedang, berbentuk bulat, bulat lonjong, atau bulat rata (papak) dengan panjang garis tengah sebesar 4-12 cm. Kulit buah yang masak berwarna orange, kuning atau hijau kekuningan, berbau sedikit harum, agak halus, tidak berbulu, kusam, dan sedikit mengkilap. Tebal kulit buah jeruk Medan sebesar 0.3-0.5 cm, dari tepi berwarna kuning atau orange tua dan makin ke dalam berwarna putih kekuningan sampai putih, berdaging, dan kuat melekat pada dinding buah (Purba 2011). Gambar buah Jeruk Medan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Jeruk Medan (BAPLUH-KP 2012) Menurut data Departemen Pertanian (2012), luas panen dan produksi buah jeruk di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat yaitu masing-masing 17.9% dan 22.4% dalam kurun waktu tujuh tahun (1998- 2005). Pada tahun 2005, luas panen jeruk telah mencapai 67,883 ha dengan total produksi sebesar 2,214,019 ton, hal ini sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil utama jeruk dunia diperingkat ke-10. Produktivitas usaha tani jeruk cukup tinggi, yaitu berkisar 17-25 ton per ha dari potensi 25-40 ton per ha. Dari data tersebut jika diasumsikan limbah (kulit) jeruk adalah 20% dari setiap buah yang dihasilkan maka jumlah limbah (kulit) Jeruk yang dihasilkan cukup besar per tahunnya yaitu sekitar 5-8 ton per ha, hal ini tentu saja akan menimbulkan masalah jika limbah-limbah tersebut tidak ditangani.
2.4.3 Teh (Camellia sinensis L.) Tanaman teh (Camellia sinensis L.) umumnya ditanam di perkebunan, dipanen secara manual, dan dapat tumbuh pada ketinggian 200 – 2,300 m dpl. Teh berasal dari kawasan India bagian Utara dan Cina Selatan. Terdapat dua kelompok varietas teh yang terkenal, yaitu varietas assamica yang berasal dari Assam dan varietas sinensis yang berasal dari Cina (Gambar 6). Varietas sinensis memiliki ciri yaitu ukuran daunnya lebih kecil dan ujungnya agak tumpul, sedangkan Varietas assamica ukuran daunnya agak besar dengan ujung yang runcing (Anonim
11
2005). Ciri lain dari varietas sinensis adalah tumbuhnya lambat, jarak cabang dengan permukaan tanah sangat dekat, daunnya berwarna hijau muda, sedangkan verietas assamica tumbuh cepat, cabang agak jauh dari permukaan tanah, daunnya berwarna hijau mengilap, struktur batang yang lebih kokoh dan kuat (Andrianis 2012). Varietas tanaman teh yang banyak ditanam di Indonesia yaitu C. sinensis var. assamica (PPTK 2011).
Gambar 6. (a) Camellia sinensis var. sinensis (Anonim 2009); (b) Camellia sinensis var. assamica (Anonim 2011) Perbanyakan tanaman teh adalah dengan biji, setek, sambungan atau cangkokan.Tanaman teh biasanya tumbuh berupa pohon kecil yang tampak seperti perdu akibat seringnya pemangkasan. Tanaman teh yang tidak dipangkas akan tumbuh kecil dan ramping setinggi 5 - 10 m dengan bentuk tajuk seperti kerucut. Ciri umum tanaman teh adalah memiliki batang tegak, berkayu, bercabang-cabang, ujung ranting dan daun muda berambut halus. Ciri lainnya adalah memiliki daun tunggal, bertangkai pendek, letak berseling, helai daun kaku seperti kulit tipis, bentuknya elips memanjang, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi halus, pertulangan menyirip, panjang 6 - 18 cm, lebar 2 - 6 cm, berwarna hijau, dan permukaannya mengilap. Bagian tanaman teh yang lain yaitu bunga, terletak di ketiak daun, tunggal atau beberapa bunga bergabung menjadi satu, berkelamin dua, garis tengah 3 - 4 cm, warnanya putih cerah dengan kepala sari berwarna kuning, dan berbau harum. Ciri terakhir adalah buah berbentuk kotak, berdinding tebal, buah muda berwarna hijau sedangkan buah tua berwarna cokelat kehitaman, memiliki biji yang keras sejumlah 1 - 3 biji (Anonim 2005). Tjitrosoepomo (1989) menggolongkan tanaman teh sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Familia
: Camelliaceae (Theaceae)
Genus
: Camellia
Spesies
: Camellia sinensis
Varietas
: assamica, sinensis
Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2012), luas area tanaman teh di Indonesia pada tahun 2010 adalah 124,573 ha dengan total produksi 150,342 ton.
12
Tingkat produktivitas teh di Indonesia saat ini sebesar 1,516 kg per ha per tahun. Seperti yang diketahui, produk minuman teh hanya menggunakan pucuk tanaman teh atau daun muda untuk produksinya sehingga daun teh tua masih kurang pemanfaataannya. Dengan produktivitas tanaman teh di Indonesia yang cukup besar tersebut maka pemanfaatan daun teh tua juga perlu ditingkatkan.
2.4.4 Durian (Durio zibethinus Murr) Tanaman durian berasal dari hutan Malaysia , Sumatera, dan Kalimantan yang berupa tanaman liar. Penyebaran durian ke arah Barat adalah ke Thailand, Birma, India, dan Pakistan. Buah durian sudah dikenal di Asia Tenggara sejak abad 7 M. Nama lain durian adalah Duren (Jawa, Gayo), Duriang (Manado), Dulian (Toraja), Rulen (Seram Timur) (Wijaya 2012). Plantamor (2012) menggolongkan durian sebagai berikut : Kindom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi
: Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua/ dikotil)
Sub Kelas
: Dilleniidae
Ordo
: Malvales
Famili
: Bombaceae
Genus
: Durio
Species
: Durio zibethinus Murr
Durian merupakan tanaman pohon asli nusantara. Pusat keragaman durian yaitu di Pulau Kalimantan. Kata “Durian” mengacu pada kulit buahnya yang berduri sehingga diberi nama duri dengan akhiran-an. Di Indonesia (Gambar 7), durian pada awalnya merupakan tanaman hutan, namun karena rasanya yang disukai kemudian durian dikembangkan menjadi tanaman pekarangan, selanjutnya dikebunkan. Seiring dengan perkembangan teknologi dan budi daya pertanian, durian di Indonesia mulai dibudidayakan secara intensif sehingga kualitasnya meningkat. Hal ini menjadi penting karena Indonesia memiliki varietas durian yang sangat beragam (Sobir & Napitupulu 2012). Ciri-ciri tanaman durian adalah berbentuk pohon, berumur panjang, tinggi 27 - 40 m. Akar tunggang. Batang berkayu, silindris, tegak, kulit pecah-pecah, permukaan kasar, percabangan simpodial, bercabang banyak, dan arah mendatar. Daun tunggal, bertangkai pendek, tersusun berseling (alternate), permukaan atas berwarna hijau tua - bawah cokelat kekuningan, bentuk jorong hingga lanset, panjang 6.5 - 25 cm, lebar 3 - 5 cm, ujung runcing, pangkal membulat (rotundatus), tepi rata, pertulangan menyirip (pinnate), permukaan atas mengkilat (nitidus), permukaan bawah buram (opacus), tidak pernah meluruh, dan bagian bawah berlapis bulu halus
13
berwarna cokelat kemerahan. Bunga muncul di batang atau cabang yang sudah besar, bertangkai, kelopak berbentuk lonceng (campanulatus) - berwarna putih hingga cokelat keemasan, berbunga sekitar bulan Januari. Buah bulat atau lonjong, panjang 15 - 30 cm, kulit dipenuhi duri-duri tajam, warna coklat keemasan atau kuning, bentuk biji lonjong, 2 - 6 cm - berwarna cokelat, berbuah setelah berumur 5 - 12 tahun. Perbanyakannya secara generatif (biji) (Plantamor 2012).
Gambar 7. Durian (MNN 2012) Bobot total buah durian terdiri dari tiga bagian, yaitu daging buah sebesar 20-35%, biji sebesar 5-15%, dan kulit sebesar 60-75% dari bobot total buah. Bagian dari durian yang banyak dimanfaatkan terutama untuk konsumsi masyarakat adalah daging buah. Hal ini berarti, bagian durian lainnya yang memiliki persentasi bobot yang sangat besar (kulit buah) terbuang sia-sia begitu saja sebagai limbah. Limbah durian yang jumlahnya sangat besar dan tidak termanfaatkan ini akan menimbulkan masalah bagi manusia, terutama masalah lingkungan (Hutapea 2010).
14