iii
Daftar Isi
Daftar Isi Halaman
BAB - I : PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan 1.1 Birokrasi melanjutkan akar permasalahan yang akut 1.2 Permasalahan birokrasi dengan aparaturnya 1.3 Persinggungan dalam aspek-aspek permasalahan birokrasi 1.4 Prioritas pembaruan sistem kepegawaian dan penggajian serta dukungan penegakan hukum 2. Identifikasi Permasalahan 2.1 Sistem Kepegawaian 2.2 Sistem Penggajian 2.3 Penegakan Hukum 3. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 3.1 Tujuan Penulisan 3.2 Kegunaan Penulisan 4. Metode Penulisan 5. Model Permasalahan
I-1 I-1 I-4 I-8 I-9 I-17 I-17 I-18 I-19 I-19 I-19 I-19 I-20 I-21
Halaman
BAB - II : KERANGKA KONSEPTUAL 1. Konsep Birokrasi & Aparatur Negara 1.1 Definisi Birokrasi 1.2 Perkembangan Birokrasi di Indonesia 1.3 Definisi Aparatur Negara 2. Konsep Penggajian (Kompensasi) 2.1 Definisi Penggajian (Kompensasi) 2.2 Unsur-unsur Penggajian (Kompensasi) 2.3 Pendekatan dalam Penyusunan Sistem Penggajian 3. Konsep Pembaruan (Restrukturisasi) 4. Sistem Merit dalam Berbagai Teori 4.1 Konsep Kinerja 4.2 Definisi Beban Kerja dan Analisis Jabatan 4.3 Konsep Carrot & Stick atau Kecukupan dan Hukuman
II-1 II-5 II-1 II-8 II-13 II-13 II-16 II-18 II-19 II-26 II-26 II-33 II-46
Pembaruan Birokrasi
iv
Daftar Isi
Halaman
BAB - III : PERMASALAHAN PENELITIAN
1. Permasalahan Korupsi di Birokrasi 2. Restrukturisasi Sistem Kepegawaian 2.1 Permasalahan Manajemen Kepegawaian 2.2 Permasalahan antara Jabatan Karir dengan Jabatan Politik 3. Restrukturisasi Sistem Penggajian 3.1 Peningkatan Gaji sebagai Prioritas Perbaikan Kesejahteraan Aparatur Negara 3.2 Peningkatan Gaji sebagai Potensi dan Alat Pendukung Pemberantasan Korupsi 3.3 Pandangan Kritis tentang Peningkatan Gaji Tidak Berbanding Lurus dengan Penguatan Kinerja Aparatur Negara 3.4 Analisis Kebijakan tentang Gaji Aparatur Negara (Evaluasi PP No.11 Tahun 2003)
III-1 III-5 III-5 III-9 III-10 III-10 III-15 III-16 III-18
Halaman
BAB - IV : PEMBAHASAN PERMASALAHAN 1. Pilihan Restrukturisasi Sistem Kepegawaian 1.1 Penyusunan sistem kinerja yang efisien dan efektif 2. Pilihan Restrukturisasi Sistem Penggajian 2.1 Alternatif Restrukturisasi Sistem Penggajian 2.2 Alternatif Moderat-Realistis (Kenaikan Gaji) 2.3 Alternatif Ideal (Rasionalisasi & Kompensasi) 2.4 Peningkatan Gaji dan Target Pemberantasan Korupsi 3. Pilihan Pembiayaan untuk Restrukturisasi Sistem Penggajian dan Rasionalisasi 4. Penerapan Hukum (Law Enforcement) terhadap Perilaku Penyimpangan Aparatur Negara 5. Pencapaian Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance)
IV-1 IV-1 IV-6 IV-6 IV-11 IV-19 IV-24 IV-26 IV-30 IV-35
Pembaruan Birokrasi
v
Daftar Isi
DAFTAR KOTAK & TABEL
Halaman
Kotak Kotak 1.1 Kotak 1.2 Kotak 1.3 Kotak 1.4 Kotak 1.5 Kotak 2.1 Kotak 4.1 Kotak 4.2
Program Pengawasan Aparatur Negara yang I-4 masih belum terasa dampak kinerjanya Keterangan Jumlah Pegawai Negeri Sipil I-11 Keterangan Perbandingan Penggajian PNS I-14 dengan Pegawai Swasta Keterangan Beberapa Hasil Riset tentang I-15 Rendahnya Kinerja Birokrasi Peringkat dan Laporan Tindak Korupsi di I-15 Indonesia Pertimbangan dalam meningkatkan gaji antara II-25 sektor swasta dengan pemerintahan Perkiraan Kantor Menpan tentang PNS yang IV-21 tidak produktif Kisah koruptor Cina disuntik Mati IV-35
Tabel Tabel 1.1
Data Pegawai Negeri Sipil Dirinci Menurut Jenis Kepegawaian dan Golongan Keadaan Desember 2003 Tabel 3.1 Beberapa Tim Pemberantasan Korupsi dan Hasil Penanganannya Tabel 4.1 Klasifikasi Jabatan PNS Tabel 4.2 Penggajian PT. Jasa Marga (pada tingkat jabatan tertentu) Tabel 4.3 Perbandingan Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PGPS) Tabel 4.4 Usulan Peningkatan Gaji (Moderat-Realistis) (Berdasarkan Golongan) Tabel 4.5 Usulan Peningkatan Gaji (Moderat-Realistis) (Pusat dan Daerah) Tabel 4.6 Kenaikan Gaji PNS (Menurut Jabatan) Tabel 4.7 Jumlah Personil TNI dan Polri dan Peningkatan Penggajian Tabel 4.8 Penggelapan Pajak Tahun 2003 Tabel 4.9 Potensi Perikanan Indonesia Tabel 4.10 Jumlah uang yang disia-siakan setiap tahunnya Tabel 4.11 Produk Peraturan yang berkaitan dengan Perilaku Penyimpangan Aparatur Negara
I-10 III-3 IV-5 IV-9 IV-11 IV-16 IV-17 IV-18 IV-19 IV-28 IV-29 IV-30 IV-31
Pembaruan Birokrasi
vi
Daftar Isi
Bab – I Pendahuluan “Pembaruan birokrasi harus mampu menciptakan efek yang mendorong perubahan pada semua bidang lainnya.”
1. Latar Belakang Permasalahan 1.1. Birokrasi melanjutkan akar permasalahan yang akut Catatan panjang sejarah bangsa ini tidak pernah tertinggal dengan tema diskusi yang selalu hangat dibicarakan dari zaman ke zaman yakni upaya memperbarui birokrasi i . Perubahan birokrasi dibentuk melalui proses sejarah yang panjang sejak masa kerajaan. Sampai bangsa ini berada dalam status “terjajah” oleh bangsa lain, birokrasi memainkan perannya sebagai mesin pelaksana pemerintahan ala penjajah, baik periode jajahan Belanda hingga pendudukan Jepang. Di zaman kolonial Belanda upaya memperbarui birokrasi dilakukan secara pragmatis yakni membuat sistem birokrasi modern yang legal rasional (dikenal dengan istilah beambtenstaat ii ). Hanya saja sistem ini diperuntukkan bagi hubungan pemerintah kolonial dengan aparatur birokrasinya (disebut pangreh praja iii ). Sedangkan struktur birokrasinya – khususnya yang mengatur hubungan pangreh praja dengan masyarakat pribumi– masih menerapkan sistem patrimonial iv . Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
vii
Budaya ini diyakini sebagai tradisi yang membuat birokrasi tidak mampu menjawab kebutuhan obyektif dan tantangan masa depan bangsa. Setelah masa penjajahan usai dan memasuki babak awal kemerdekaan, birokrasi menjadi aset penting dalam pembentukan karakter bangsa yang baru merdeka. Kemudian terus berlanjut sampai bangsa ini masuk ke dalam babak pembangunan yang diklaim sebagai orde baru, yang merevisi orde lama. Masa orde baru terbilang yang paling awet menata perkembangan birokrasi – lebih kurang 30 tahun– dengan ”berhasil” menciptakan ”mesin politik” yang handal dalam menyokong stabilitas pembangunan. Masa ini mencatat karakter tersendiri bagi sosok birokrasi Indonesia dengan masih mewariskan nilai-nilai tradisional peninggalan masa lampau yang melekat dan menjadi praktik kebiasaan dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.v Orde baru menata birokrasi yang disesuaikan dengan pilihan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Dominasi patrimonial dalam tubuh birokrasi menimbulkan fenomena besarnya kekuasaan birokrasi terhadap lembaga-lembaga negara dan infrastruktur politik dan ekonomi lainnya yang dikenal sebagai model bureaucratic polity vi (diartikan sebagai ”masyarakat politik birokratik” atau ”negara birokratis”). Upaya modernisasi birokrasi dilakukan dengan memposisikan kaum teknokratvii di panggung politik dan birokrasi. Tetapi sesuai dengan fungsinya sebagai teknokrat, persepsi mereka tentang modernisasi juga sangat bersifat teknokratis. Persepsi ini melahirkan implikasi yang sangat luas terhadap konsentrasi kekuasaan di tangan birokrasi apalagi ditunjang dengan lingkungan budaya patrimonialistik. Gaya kerja birokrasi terpola dari keinginan
Pembaruan Birokrasi
viii
Daftar Isi
kekuasaan dan menjadikan birokrasi teralienasi dalam kondisi obyektifnya di tengah-tengah masyarakat hingga menjadi elitis. Permasalahan akut di tubuh birokrasi terletak pada tradisi dari akar historis pembentukannya. Meskipun birokrasi dijadikan kekuatan utama dalam fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan modern, sifat aristokratik atau patrimonialistik (kultur pangreh praja) yang menganggap diri aparatur sebagai ‘raja’ masih melekat. viii Keinginan menjadikan birokrasi yang berkarakteristik modern dan legal rasional ternyata masih memadukan tradisi aristokrat yang berakar dalam sejarah. Kesan aristokrat ini ditunjukkan dengan sikap yang berorientasi ke atas, loyalitas ritual yang seringkali bersifat pribadi, pengadaan upacaraupacara untuk mengukuhkan kesetiaan, corak hubungan patronclient yang mewarnai hubungan atasan-bawahan, kesadaran prestise dan status yang amat kuat, budaya panutan yang membayangi konsep partisipasi modern, pengaruh mistik dalam pengambilan keputusan, dan sebagainya.ix Sifat ini berlanjut pada hal pelaksanaan tugas, pengangkatan jabatan, dan penjenjangan karir ataupun posisi aparatur yang sepenuhnya tergantung kepada hubungan pribadi aparatur dengan atasannya yang dianggap ‘raja’. Hingga masa yang diklaim sebagai “orde reformasi” (1998), birokrasi masih menyisakan berbagai permasalahan masa lalu yang akut dan tidak kunjung selesai. Walaupun upaya pembaruan selalu disebut-sebut terhadap mesin kerja pemerintah ini, tidak sedikit masalah yang hingga ini lebih dianggap ”pepesan kosong” dari kebijakan pemerintah (Lihat Kotak 1.1). Untuk memulai programprogram pembaruan kiranya sangat penting menilik kembali akar permasalahan yang sudah akut tersebut.
Pembaruan Birokrasi
ix
Daftar Isi
Kotak .1.1 Salah satu program pembangunan nasional (UU No. 25 Tahun 2000) yang masih belum terasa dampak kinerjanya yakni Program Pengawasan Aparatur Negara. Indikator kinerja dari program ini tertuang dalam matriks kebijakan bidang politik, yaitu : 1. Menurunnya persentase korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terjadi di lingkungan aparatur negara, 2. Menurunnya jumlah keseluruhan uang/kekayaan negara yang terindikasi Tindak Pidana Korupsi (TPK), 3. Meningkatnya penyelesaian tindak lanjut kasus-kasus yang berindikasi KKN, 4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam menginformasikan tentang kinerja dan tindakan KKN di lingkungan aparatur negara, 5. Menurunnya persentase jumlah PNS yang terlibat KKN, 6. Meningkatnya persentase instansi pemerintah yang melaksanakan akuntabilitas kinerjanya (akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, AKIP), 7. Meningkatnya persentase instansi pemerintah pusat dan daerah yang dinilai akuntabel, 8. Meningkatnya jumlah daftar kekayaan pejabat negara dan pejabat pemerintah yang diperiksa.
1.2. Permasalahan birokasi dengan aparaturnya Sejumlah catatan permasalahan yang berkembang dari akar permasalahannya adalah masalah yang tidak jauh berbeda hingga kini. Kultur birokrasi yang dianggap negatif masih berdiam di semua jenis organisasi birokrasi, antara lain di instansi yang menjalankan fungsi pelayanan, fungi pembuatan kebijakan, fungsi pengaturan, dan fungsi penegakan kebijakan. Bukan saja instansi di lingkup pusat tetapi juga di daerah propinsi, kabupaten dan kota. Bahkan dengan penerapan otonomi daerah, kecenderungan penyimpangan banyak terjadi di lingkup pemerintah daerah.
Pembaruan Birokrasi
x
Daftar Isi
Sudah terlalu banyak masukan baik berupa saran atau kritik terhadap pembaruan birokrasi khususnya di masa orde baru berlangsung. Sebagian kecil telah mengalami perbaikan, namun sebagian yang jauh lebih besar masih bertahan hingga saat ini. Bahkan buruknya birokrasi diakui oleh kepala pemerintahan itu sendiri seperti yang pernah diungkap ke publik oleh Presiden Megawati (11/02/2004) hingga dirasakan membuat keresahan dalam penyelenggaraan pemerintahnya. Efek resah bisa terjadi karena banyak pejabat tidak mau turun ke lapangan. Para pejabat hanya mau melaporkan hal-hal yang baik-baik saja dan sebaliknya menutup-nutupi hal buruk. Fakta ini mengundang pertanyaan besar apakah betul pembaruan birokrasi adalah salah satu kunci permasalahan besar bangsa. Butuh penjelasan yang panjang atas hal tersebut karena sesungguhnya hampir semua proses kehidupan manusia harus bersentuhan dengan sejumlah ‘loket’ birokrasi. Berbagai masalah yang sering tersampaikan di media massa maupun dalam ruang-ruang diskusi perlu diidentifikasi agar memudahkan memilih prioritas dalam program-program pembaruannya. Dari catatan permasalahan yang ada secara garis besarnya bisa dikelompokkan dalam tiga bagian, yakni yang menyangkut aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (manajemen), dan sumber daya manusia (aparatur).x Aspek Kelembagaan/Organisasi. Dalam aspek ini masalah yang menjadi sorotan publik dan kalangan birokrasi meliputi: (1) Struktur dan fungsi birokrasi yang tumpang tindih. Kondisi ini menandakan tugas pokok, fungsi, dan kewenangan pemerintahan terjadi penumpukan (overlapping), tidak Pembaruan Birokrasi
xi
Daftar Isi
(2)
(3)
(4)
(5)
terkoordinasi (crossing) di beberapa instansi dan struktur mengalami kegemukan (obese); Tidaknya adanya pembatasan jabatan politik dan jabatan birokrasi. Salah satu hal yang mendasari hal ini yakni adanya ambiguitas birokrasi dan celah hukum dalam pengaturan jabatan karir yang berstatus PNS dan yang berdasarkan pertimbangan politik. Rendahnya kualitas pelayanan unit-unit pemerintahan. Kualitas pelayanan yang rendah terjadi pada pelayanan terhadap masyarakat atau publik (pelayanan eksternal) maupun pelayanan antarinstansi (pelayanan internal). Kinerja aparatur dalam soal pelayanan menjadi sorotan dan mempunyai penilaian yang rendah. Rendahnya kualitas pelayanan terhadap publik menandakan tidak jelasnya fungsifungsi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah terhadap masyarakat; Proses politik yang tidak transparan dan akuntabel dalam pembuatan kebijakan yang menyentuh aspek kelembagaan. Proses politik yang demikian akan menghasilkan keputusan politik yang tidak sejalan dengan langkah-langkah pembaruan birokrasi; Kurangnya prioritas pendanaan untuk melakukan pembaruan bidang kelembagaan. Banyaknya langkah pembaruan yang perlu diprioritaskan membutuhkan persiapan dana yang besar dan pertimbangan yang matang dalam soal pendanaannya khususnya yang menyangkut restrukturisasi sistem kepegawaian dan sistem penggajian.
Aspek Ketatalaksanaan/Manajemen. Aspek ini menyumbang permasalahan antara lain:
Pembaruan Birokrasi
xii
(1)
(2)
(3)
(4)
(5) (6)
Daftar Isi
Rekrutmen tidak sesuai dengan prosedur dan kebutuhan. Hal ini ditunjukkan karena tidak adanya semacam kelayakan dan kepatutan kebutuhan pegawai di unit-unit kerja; Indikator kinerja yang tidak terukur dan pelaksanaan tugas tidak berorientasi kinerja. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya pengumuman kinerja untuk setiap unit kerja sehingga tidak ada umpan balik untuk perbaikan kinerja; Kurangnya pengawasan dan pengendalian antarpegawai di internal unit kerja atau dari unit kerja yang menjalankan tugas pengawasan dan pengendalian. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya/tidak diterapkannya mekanisme ganjaran dan hukuman; Tidak atau kurang memanfaatkan teknologi informasi. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya informasi yang memadai atau tidak dipergunakan sebagaimana mestinya; Adanya ego yang kuat antar unit kerja kuat dan menjadikan kendala dalam membentuk sinergi; Adanya tindak korupsi, kolusi dan nepotisme dalam manajemen birokrasi. Korupsi menjadi praktik rutin di tubuh birokrasi.
Aspek Sumber Daya Manusia (Aparatur). Aspek ini menyoroti permasalahan yang berfokus pada: (1) Kesenjangan kesejahteraan aparatur. Hal ini berpotensi selalu muncul dan berkembang karena manusia akan memiliki resistensi terhadap kenyataan atas faktor penggajian yang tidak sesuai dengan kebutuhannya atau terpenuhinya kebutuhan hidup layak (hidup minimum) dari jumlah minimal anggota keluarganya. Disamping itu tugas dan beban kerja menuntut konsentrasi dan penyelesaian secara cepat dan baik.
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xiii
(2)
Sistem rekrutmen dan karir yang tidak jelas. Hal ini diperlukan perbaikan terhadap sistem rekrutmen dan penjenjangannya yang cenderung mengabaikan kualifikasi atas dasar sistem merit (kepantasan/kepatutan). Akibat hal ini bisa menyebabkan etos kerja, profesionalitas, dan integritas rendah;
(3)
Disiplin dan pelanggaran. Hal ini dipandang sering terjadi karena tidak adanya code of conduct yang mampu meningkatkan disiplin dan mengurangi pelanggaran;
1.3. Persinggungan dalam aspek-aspek permasalahan birokrasi Banyaknya permasalahan yang menggayuti birokrasi perlu dijadikan keseriusan dalam penanganannya. Pembaruannya perlu dilakukan secara sistematis agar menghasilkan dampak yang signifikan dan mampu mengendalikan efek krisis dari penanganannya. Dari sekian permasalahan ada beberapa masalah yang menjadi persinggungan (irisan) dari tiga kelompok aspek permasalahan di atas. Dari aspek kelembagaan, bobot lebih masalah terurai dalam persoalan stuktur dan fungsi birokrasi yang tumpang tindih menimbulkan ekses kinerja lembaga rendah. Aspek ketatalaksanaan memberi bobot masalah dari kelanjutan permasalahan di aspek kelembagaan yakni berhubungan dengan kinerja yang membutukan rencana kerja/tugas dan indikator kerja yang jelas dan perlunya sistem reward & punishment atau carrot & stick, dan potensi ”KKN” (korupsi, kolusi, nepotisme) dalam manajemen birokrasi dapat dicegah. Sedangkan aspek SDM berbobot pada sistem kesejahteraan yang selaras dengan sistem Pembaruan Birokrasi
xiv
Daftar Isi
rekrutmen dan karir hingga bisa meningkatkan profesionalitas dengan mengantisipasi kemungkinan pelanggaran serta memberikan kedisiplinan atau hukuman bagi pelaku pelanggaran. Bobot masalah dari ketiga aspek tersebut bermuara kepada gugus permasalahan yang menyangkut (1) kepegawaian secara sistem (tugas pokok, fungsi, wewenang dan kinerja pegawai, dan tindak “KKN”) dan (2) penggajian secara sistem (kesejahteraan, karir, profesionalitas dan potensi “KKN”).
1.4. Prioritas pembaruan sistem kepegawaian dan penggajian serta dukungan penegakan hukum Dari berbagai diskursus yang berkembang, nampaknya belum sepenuhnya mengarah pada upaya menuntaskan persoalan mendasar mengenai berbagai permasalahan internal dan eksternal aparatur negara. Justru yang semakin berkembang lebih banyak ‘gugatan’ dan ‘keluhan’ baik dari PNS sendiri tentang kesejahteraannya maupun dari publik tentang pelayanannya. Permasalahan birokrasi dan aparaturnya tidak dapat dilepaskan dari sistem kepegawaian dan penggajian. Sistem kepegawaian dimaksud adalah segala hal yang menyangkut manajemen kepegawaian dan berimplikasi pada terbentuknya kinerja yang efisien dan efektif dan anti tindak korupsi. xi Sedangkan sistem penggajian menyangkut komponen kesejahteraan pegawai sebagai faktor yang berimplikasi pada terciptanya kinerja yang baik dan mampu menghindari potensi korupsi. Dalam sistem kepegawaian dan penggajian, hal yang harus dicermati adalah kenyataan jumlah aparatur negara (khususnya pegawai negeri sipil) (Lihat Tabel 1.1) (Lihat Kotak 1.2) tidak sebanding Pembaruan Birokrasi
xv
Daftar Isi
dengan kualitas kinerja yang dilakukannya, baik kinerja internal antarinstansi pemerintahan (negara) maupun terhadap publik. Tabel 1.1:
Data Pegawai Negeri Sipil Dirinci Menurut Jenis Kepegawaian dan Golongan Keadaan Desember 2003 Golongan
No.
Jenis Kepegawaian
Jumlah I
1
PNS Pusat a. PNS Pusat b. PNS Pusat Dpb pada Instansi lain c. PNS Pusat Dpk pada Instansi lain
2
II
%
23.082
2,7
288.164
34,3
455.607
54,2
73.154
8,7
840.007
23,0
22.272
2,73 279.746 34,25
443.142
54,26
71.575
8,76
816.735
23,06
66
4,67
%
IV
%
554
39,24
613
43,41
179
12,68
1.412
0,04
78
2,17
879
24,48
1.592
44,35
1.041
29,00
3.590
0,10
d. PNS Pusat Dpb pada BUMN/Badan lain
450
9,85
2.197
48,11
1.778
38,93
142
3,11
4.567
0,13
e. PNS Pusat Dpk pada BUMN/Badan lain
216
1,58
4.788
34,94
8.482
61,90
217
1,58
13.703
0,39
6.964
2,2
90.553
29,1
186.459
59,9
27.071
8,7
311.047
8,5
2,25
90.080 29,19
PNS Daerah Propinsi a. PNS Daerah Propinsi
6.928
184.535
59,80
27.024
8,76
308.567
8,71
0,00
11
23,40
21
44,68
15
31,91
47
0,00
28
1,32
401
18,87
1.689
79,48
7
0,33
2.125
0,06
d. PNS Daerah Propinsi Dpb pd Instansi lain
3
7,32
15
36,59
18
43,90
5
12,20
41
0,00
e. PNS Daerah Propinsi Dpk pd Instansi lain
5
1,95
43
16,73
191
74,32
18
7,00
257
0,01
0,00
3
37,50
4
50,00
1
12,50
8
0,00
1
50,00
1
50,00
2
0,00
602.293
24,1
59,6
348.649
14,0
b. PNS Pusat Dpb pada Pemda Propinsi c. PNS Pusat Dpk pada Pemda Propinsi
f. PNS Daerah Prop Dpb pd BUMD/Badan lain g. PNS Daerah Prop Dpk pd BUMD/Badan lain 3
III
%
%
PNS Daerah Kab/Kota a. PNS Daerah Kabupaten/Kota
0,00 2,4
2.496.951
68,4
58.585
2,35 599.099 24,07 1.482.996 59,59 348.092 13,99 2.488.772
70,27
0,00
75
42,86
85
48,57
15
8,57
175
0,00
0,11
2.854
40,57
3.706
52,69
466
6,62
7.034
0,20
0,00
5
18,52
19
70,37
3
11,11
27
0,00
b. PNS Pusat Dpb pada Pemda Kab/Kota c. PNS Pusat Dpk pada Pemda Kab/Kota
8
d. PNS Daerah Kab/Kota Dpb pd Instansi lain e. PNS Daerah Kab/Kota Dpk pd Instansi lain
0,00
58.790
1.487.219
3
1,02
35
11,95
199
67,92
56
19,11
293
0,01
f. PNS Daerah Kab/Kota Dpb pd BUMD/Bdn lain
33
7,43
210
47,30
189
42,57
12
2,70
444
0,01
g. PNS Daerah Kab/Kota Dpk pd BUMD/Bdn lain
1
2,17
15
32,61
25
54,35
5
10,87
46
0,00
160
100,00
0,00
160
0,00
88.836
2,4
12,3
3.648.005
100,0
h. Titipan/Mengungsi/Lainnya Jumlah
0,00 981.010
26,9
0,00 2.129.285
58,4
448.874
Pembaruan Birokrasi
xvi
Daftar Isi
Kotak 1.2 Jumlah Pegawai Negeri Sipil pada 1 Juli 2002 sebanyak 3.832.086 dan hasil PUPNS, keadaan Desember 2003 sebanyak 3.648.005. Jumlah ini telah mengalami proses pendataan ulang yang berlangsung sejak 1 Juli 2003. Sebelum PUPNS berlangsung, BKN melakukan rekonsiliasi data yang ada di BKN Pusat dengan di instansi pusat dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) seluruh Indonesia. Saat rekonsiliasi, data menunjukkan jumlah PNS 3.795.685. Jumlah tersebut jauh lebih besar dari yang pernah dipublikasikan sebesar 4 juta orang. Dari rekonsiliasi saja terdapat 109.291 PNS yang status kepegawaiannya tidak jelas.
Dilihat dari segi jumlahnya, aparatur birokrasi berjumlah 1,8% dari jumlah penduduk lebih kurang 200 juta atau berbanding 1:55. Meski tidak membuat perbandingan jumlah pegawai di daerah (propinsi dan kabupaten/kota), ukuran 1,8% seharusnya mampu mendongkrak kinerja yang efisien dan efektif. Kenyataannya justru ironis, banyaknya gedung departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) serta gedung-gedung pemerintah lainnya bukanlah pertanda berbobotnya aktivitas di dalamnya. Seringkali bisa diamati aparatur yang tidak bekerja atau bekerja sangat lamban. Fakta ini hampir pasti dijumpai kesehariannya manakala berkunjung ke gedung-gedung tersebut. Dengan banyaknya gedung berikut fasilitas pemerintahan lainnya apakah sebanding dengan beban kerja dan kualitas kinerjanya. Pembaruan sistem kepegawaian yang baik membutuhkan proses audit terhadap struktur organisasi, jumlah personalia, hubungan kerja, rentang kendali, dan sistem pengambilan keputusan dan sebagainya. Hasil audit akan sangat mendukung dalam menciptakan manajemen kepegawaian yang berdampak pada kinerja individu (good individual performance) dan kinerja Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xvii
lembaga yang baik (good institutional performance). Membentuk kinerja yang baik didukung oleh analisis beban kerja dan kemampuan kerja yang dituangkan dalam perangkat fungsi. Fungsi inilah yang menjadi dasar menentukan struktur berikut komposisi personalianya yang efisien dan efektif. Strategi pembentukan seperti ini dengan sendirinya mampu menciptakan hubungan kerja, rentang kendali dan sistem pengambilan keputusan yang efisien dan efektif. Sistem pengawasan yang ada di setiap unit pun memiliki jarak dan daya pantau yang terkendali sehingga potensi penyimpangan dan tindak korupsi bisa dihindari. Sedangkan dalam perbaikan sistem penggajian, faktor internal dalam masalah birokrasi juga harus dipahami sebagai suatu yang persistent melekat menjadi kultur kehidupan, misalnya kebiasaan hanya akan bekerja dengan baik jika diberikan sejumlah materi (stimulus) atau orientasi pencapaian utamanya adalah jabatan ketimbang prestasi dan dedikasi. Pada sisi lainnya semua ini bisa beralasan sebagai upaya mencari tambahan gaji dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok yang tidak terjangkau dengan gaji pokok dan tunjangan. Gaji (penggajian) rendah seringkali menjadi alasan yang di’vonis mati’ dari kinerja aparatur yang rendah. Klaim semacam ini menjadi perolokan di kalangan aparatur, seolah sebagai persamaan nasib ‘tidak berdayanya’ diri aparatur dalam hal kesejahteraan. Persepsi seperti ini membuat setiap aparatur cenderung bersikap permisif terhadap kemungkinan setiap aparatur untuk ‘kreatif’ menelusuri berbagai jalan yang bisa menghasilkan keuntungan dan menopang kelayakan hidupnya termasuk kemungkinan melakukan tindak korupsi. Alasan pemberikan ‘sangsi’ atau “stick” atas berbagai pelanggaran yang diperbuat aparatur atau akibat ketidakprofesionalannya, tidak jarang terkalahkan oleh fakta klasik tidak adanya “reward” atau “carrot” yang layak. Pembaruan Birokrasi
xviii
Daftar Isi
Perbaikan sistem penggajian harus dijadikan sebagai faktor pengungkit yang bisa memberi efek perbaikan sistem kepegawaian secara menyeluruh. Atas alasan tersebut langkah perbaikan sistem penggajian harus dilandasi dengan pertimbangan: a. sebagai upaya perbaikan kesejahteraan yang digunakan untuk kesejahteraan bidang ekonomi (materil), rohani (spirituil), sosial dan pendidikan; b. sebagai upaya menghargai usaha bekerja manusia atas dasar keahlian (skill) yang tinggi dalam rangka memberikan kinerja yang terbaik; c. sebagai upaya memberikan batasan standar terhadap keinginan manusia yang ingin mencari keuntungan maksimal melalui tindakan korupsi. d. sebagai upaya mendorong pengembangan sistem kepegawaian yang profesional, akuntabel, dan anti korupsi. Kesejahteraan adalah ukuran kehidupan yang sangat nyata, mudah diukur dan dibandingkan. Gaji dan tunjangan (kompensasi) adalah komponen ukurannya. Kenyataan rendahnya penggajian (gaji dan tunjangan) pegawai negeri dengan pegawai swasta pada beberapa level tertentu menjadi permasalahan kinerja aparatur yang rendah (Lihat Kotak 1.3).
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xix
Kotak 1.3 Perbandingan penggajian (gaji dan tunjangan) antara pegawai negeri (sipil) dengan swasta dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan BKN. Hasil penelitian (BKN, 2001) menjelaskan bahwa standar gaji sebagaimana diatur dalam PP No.26 Tahun 2001 (gaji terendah yang diterima PNS Rp.500.000,dan tertinggi Rp.1.500.000,-, jumlah ini tidak jauh berbeda sedikit dari PP No.11 Tahun 2003 dengan gaji terendah yang diterima PNS Rp.575.000,- dan tertinggi Rp.1.800.000,-) dipandang masih memunculkan keluhan PNS tentang kompensasi yang mereka terima dengan alasan: pertama, jika dibandingkan dengan swasta, gaji PNS baru 20-30 persen, dengan gaji seperti itu tidak mungkin PNS dapat meningkatkan produktivitas dan mengembangkan birokrasi yang profesional. Kedua, sistem penggajian PNS tidak membedakan orang berdasarkan kompetensi, profesi dan tanggung jawabnya. Lihat Restrukturisasi Sistem Kompensasi Pegawai Negeri Sipil, BKN, hal.3, 2001.
Sejumlah pertimbangan yang menguatkan perlunya diberikan standar yang sama antara pegawai swasta dan negeri atau yang melemahkan memang patut dicermatkan. Pertimbangan yang menguatkan tersebut yakni: a. Esensi dari fungsi birokrasi yang mengelola sektor publik (pemerintahan) sebagai sektor vital kehidupan manusia. b. Kecenderungan politisasi terhadap birokrasi oleh kepentingan politik penguasa. c. Kecenderungan untuk membebaskan diri dari tindakan korupsi. Sedangkan faktor yang melemahkannya dari pertimbangan meningkatkan gaji pegawai negeri yaitu : a. Asumsi bahwa kualitas kinerja birokrasi berpredikat buruk terhadap publik (Lihat Kotak 1.4) xii; b. Asumsi bahwa birokrasi akan selalu melakukan korupsi betapapun tingginya gaji dinaikkan (Lihat Kotak 1.5)xiii;
Pembaruan Birokrasi
xx
Daftar Isi
c. Birokrasi memiliki dimensi yang berbeda antara lain, (1) keuangannya bersumber dari anggaran negara (sebagian besarnya dari pajak) berbeda dengan swasta yang bersumber dari modal perusahaan, (2) organisasinya bertujuan memberikan pelayanan (baik kepada publik maupun antarinstansi) berbeda dengan swasta yang mencari profit perusahaan, (3) stuktur dan fungsinya relatif sama berbeda dengan swasta yang beragam karena disesuaikan dengan jenis usahanya.
Kotak 1.4 Kualitas kinerja birokrasi yang dinilai rendah banyak dilansir dalam berbagai hasil riset. Berikut beberapa hasil riset tersebut : - Hasil survai Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menunjukkan kualitas birokrasi tetap berada dalam skors terburuk bersama dengan Vietnam dan India. Jika dibandingkan dengan Indonesia, pada awalnya Vietnam dan India termasuk yang terlambat menjalankan agenda pembangunan dan banyak mengambil keunggulan dari Indonesia. - Institute for Management Development (IMD) dalam The World Competitiveness Yearbook mengolongkan indeks competitiveness birokrasi Indonesia di kelompok terendah. Penilaian tersebut didasarkan pada empat faktor utama, yaitu: kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi usaha dan infrastruktur. - Penelitian PSKK-UGM Tahun 2002 menunjukkan kinerja aparatur yang rendah dan berdampak pada kekecewan publik yang terhadap birokrasi.
Kotak 1.5 Asumsi masih akan berlangsungnya korupsi di birokrasi meski gaji aparatur dinaikkan sangat tinggi, didasarkan pengalaman buruk akibat tindak korupsi pejabat birokrasi dan pejabat politiknya. Bahkan dengan kebijakan desentralisasi semakin memperluas korupsi di daerah yang disebut sebagai ‘desentralisasi korupsi’. Riset membuktikan bahwa Indonesia berada pada tingkatan papan atas peringkat korupsi di dunia: bersambung…
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xxi sambungan…
-
-
-
-
-
Skor korupsi di Asia yang dilansir asiarisk.com menunjukkan di tahun 2001 posisi Indonesia semakin terpuruk setelah Vietnam yang berada posisi pertama terburuk. Transparency International, Oktober 2003 melansir Indeks Prestasi Korupsi dan menempatkan Indonesia pada peringkat ke-6 sebagai negara paling korup (urutan ke-96) dari 133 negara yang disurvei. Di Asia, Indonesia peringkat ke-3 terkorup, posisi ini lebih baik dari Myanmar dan Bangladesh. (Republika, 8 Oktober 2003) Hasil survei terhadap para pebisnis asing yang memiliki perusahaan di 13 negara Asia yang dikeluarkan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menyatakan bahwa Indonesia masih berada di urutan teratas sebagai negara paling korup di Asia. (Kompas, 29 Oktober 2003) Laporan BPK pada akhir Maret 2003 mengungkapkan dugaan adanya penyimpangan sebesar Rp.456,4 triliun dalam tahun anggaran 2001 dan 2002. BPK juga menyebutkan, penyimpangan ketaatan dan ketertiban dalam pengelolaan kekayaan negara secara kumulatif mencapai Rp. 24,648 triliun atau 31 persen dari jumlah total dana anggaran yang diperiksa, yakni Rp.79,275 triliun. (Kompas, 29 Oktober 2003). Laporan survei World Economic Forum (WEF) 2003 menempatkan indeks pertumbuhan daya saing Indonesia 2003-2004 berada pada posisi 73 dari 102 negara responden. Rendahnya pertumbuhan daya saing Indonesia tersebut banyak dipengaruhi oleh tingkat korupsi yang cukup tinggi terjadi di Indonesia dan birokrasi yang tidak efisien.
Sejumlah pertimbangan yang melandasi perbaikan sistem penggajian (meningkatkan kesejahteraan aparatur) tersebut harus dapat merombak sistem sebelumya yang dipandang ‘bermasalah’ khususnya mulai dari proses rekrutmen dan seleksi calon aparatur. Pegawai yang lulus seleksi harus membuat perjanjian kerja dengan bersedia bekerja baik dan digaji dengan standar keahlian yang menyesuaikan dengan beban kerjanya. Unsur lain yang harus masuk dalam penggajian adalah faktor harapan (expectation) akan masa depan pegawai yang lebih baik (lihat Bab-2).
Pembaruan Birokrasi
xxii
Daftar Isi
Perbaikan yang demikian ini diyakini akan memudahkan penanggulangan tindak korupsi berlanjut. Tindakan pemberian stick atau penghukuman keras terhadap pelaku tindak korupsi bisa lebih mudah apalagi sistem penegakan hukum terhadap pelaku korupsi bisa berjalan sebagaimana mestinya. Gagasan tersebut saatnya direalisasikan untuk membersihkan citra negatif pengabdian aparatur, dan saatnya pula mulai melangkah secara pasti untuk membentuk sosok aparatur yang bersih, meningkatkan kinerja aparatur berdasarkan prinsip profesionalitas dan akuntabilitas melalui upaya sistemik dan komprehensif. Selaras dengan semua upaya tersebut, tata pemerintahan yang baik akan tercapai dari upaya pembaruan birokrasi. Karenanya, tulisan ini mencoba mencari jalan keluar terhadap permasalahan sistem kepegawaian dan penggajian birokrasi. Gagasan dalam tulisan ini memulai dari hal yang sangat berdekatan dengan klaim “tidak berdayanya” aparatur di bidang kesejahteraan guna membentuk sosok ideal aparatur negara.
2. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut : 2.1 Sistem Kepegawaian 1.) Perlunya disusun strategi jalan keluar terhadap sekelumit permasalahan birokrasi, khususnya struktur dan fungsi yang tumpang tindih dan gemuk, dan kinerja aparatur yang buruk dengan langkah pendekatan fungsionalisme-struktural (structure follows strategy), analisis beban kerja, dan relokasi aparatur berdasarkan penilaian kualitas kinerja. Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xxiii
2.) Perlunya perbaikan manajemen kepegawaian yang baik dengan kriteria : 2.1 Penyusunan sistem kinerja yang efisien dan efektif, transparan, dan akuntabel; 2.2 Penyusunan klasifikasi jabatan berdasarkan analisis beban kerja; 2.3 Pemisahan tugas dan wewenang antara jabatan karir dengan jabatan politik. 2.4 Dapat mengendalikan tindak korupsi, kolusi dan nepotisme. 2.2 Sistem Penggajian 1.) Perlunya disusun strategi jalan keluar terhadap permasalahan penggajian melalui pendekatan analisis beban kerja dan kualitas kerja. 2.) Perlunya disusun perhitungan anggaran biaya untuk relokasi aparatur berdasarkan penilaian kualitas kinerja dalam rangka pembentukan aparatur yang profesional. 3.) Perlunya diusulkan sistem penggajian yang baik dengan kriteria : 3.1 Dapat menunjang peningkatan kesejahteraan aparatur dalam memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya secara layak; 3.2 Dapat memberikan dampak peningkatan profesionalitas yang ditunjukkan dengan kualitas kinerja yang baik (good performance); 3.3 Dapat memberikan dampak pengembangan masa depan yang baik melalui penjenjangan karir yang didasarkan atas pertimbangan prestasi kerja; 3.4 Dapat mencegah berkembangnya potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pembaruan Birokrasi
xxiv
Daftar Isi
2.3 Penegakan Hukum Diperlukannya konvergensi antara pembaruan sistem kepegawaian dan penggajian dengan sistem penerapan hukum yang tegas terhadap pelaku tindak korupsi dan jenis penyimpangan lainnya yang dilakukan aparatur negara.
3. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 3.1 Tujuan penulisan ini adalah : 1. Melakukan identifikasi berbagai faktor yang berkaitan dengan sistem kepegawaian dan sistem penggajian; 2. Membuat usulan skema kenaikan penggajian berdasarkan faktor-faktor yang telah diidentifikasi menyangkut sistem kepegawaian dan sistem penggajian.
3.2 Kegunaan penulisan ini adalah : 1. Bagi internal Korpri, (1) secara umum penulisan ini berguna untuk bahan pertimbangan penyusunan agenda kerja Korpri terutama yang menyangkut peran dan keterlibatan Korpri dalam proses pembaruan birokrasi; (2) secara khusus digunakan dalam analisis perbaikan sistem kepegawaian dan sistem penggajian pegawai negeri. 2. Bagi Pemerintah, sebagai bahan pertimbangan menyusun kebijakan peningkatan sistem penggajian pegawai negeri berdasarkan sistem merit, dalam rangka mencapai amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang PokokPembaruan Birokrasi
xxv
Daftar Isi
Pokok Kepegawaian, sebagaimana termuat dalam bab II pasal 7 : (1) Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya. Yang dimaksud sebagai adil dan layak adalah bahwa gaji PNS harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga PNS dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Pengaturan gaji PNS yang adil dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan baik antarPNS maupun antarPNS dengan swasta. (2) Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya (3) Gaji Pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 3. Bagi lembaga/instansi pemerintahan, sebagai bahan pertimbangan dalam koordinasi penyusunan rencana kerja khususnya terhadap hal-hal yang menyangkut perbaikan sistem kepegawaian dan penggajian.
4. Metode Penulisan Metode penulisan yang digunakan : 1. untuk kajian latar belakang permasalahan menggunakan metode deskriptif, yaitu merinci dan memaparkan berbagai data yang berkaitan dengan tema tulisan. Tulisan ini tidak melakukan penelitian baru, tetapi mengolah berbagai data dari penelitian yang telah berlangsung yang berkaitan dengan pembaruan Pembaruan Birokrasi
xxvi
Daftar Isi
birokrasi secara umum dan restrukturisasi sistem kepegawaian dan sistem penggajian secara khusus. 2. untuk permasalahan penelitian dan pembahasan penelitian menggunakan metode analisis. Yang menyangkut variabelvariabel dari pembaruan birokrasi digunakan analisis peristiwa (faktual).
5. Model Permasalahan
Penggajian
Sistem Birokrasi Kepegawaian
Penegakan Hukum
DAMPAK
5 Korupsi Menurun 5 Daya Saing Bangsa Meningkat 5 Indeks Pembangunan Manusia Meningkat Pembaruan Birokrasi
xxvii
Daftar Isi
Bab – III Permasalahan Penelitian “Pembaruan adalah menciptakan organisasi dan sistem pemerintahan yang terus menerus berinovasi, dan secara kontinu memperbaiki kualitas tanpa mendapat tekanan dari pihak luar.”
1. Permasalahan Korupsi di Birokrasi Korupsi menjadi praktik rutin di tubuh birokrasi. Korupsi memang bukan permulaan masalah, tetapi menjadi yang utama dari sekian banyak bobot permasalahan di tubuh birokrasi dan menjadi penyakit di setiap bidang kehidupan. Manusia yang akal pikiran dan kesadaran jiwanya sudah terkorupsi (corrupted mind) tentu akan membentuk ‘sistem yang korup’. Sejak awal tahun 1993 korupsi di Indonesia nyata-nyata telah menggerogoti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) lebih dari 30% setiap tahunnya (dikemukakan pakar ekonomi Sumitro Djojohadikusumo tahun 1996). Korupsi juga terbukti memperluas jurang kaya dan miskin serta menghambat pemerataan distribusi hasil-hasil pembangunan. Korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi, merusak tatanan masyarakat serta merusak kehidupan negara (dikemukakan mantan Jaksa Agung Singgih tahun 1997). Pembaruan Birokrasi
xxviii
Daftar Isi
Korupsi dan kolusi berhasil melemahkan daya saing Indonesia melalui high cost economy (Wibisono:1997). Korupsi menyebabkan black economy yang membelit perekonomian sehingga biaya perunit produk lebih mahal dari negara lain, dan pada akhirnya kemampuan barang dan jasa terkalahkan dengan negara lain yang memiliki kemampuan cost effective. High cost akan mengakibatkan pabrik kita menjual barang di pasar domestik lebih tinggi, karena pungutan pelbagai oknum aparat birokrasi untuk membiayai kepentingan pribadi maupun perayaan pada hari peringatan tertentu yang membutuhkan biaya ekstra, dan biaya itu akan tatap terpantau dari harga jual di pasar domestik. Bahkan lebih jauh dari pandangan para tokoh di atas, Dr. Moh. Hatta di penghujung tahun 1950-an mengatakan korupsi sudah menjadi budaya di Indonesiaxiv. Struktur yang dominan dalam mengakomodasi praktik korupsi dan berbagai turunan wujudnya itu adalah birokrasi. Birokrasi potensial menjadi sarang praktik korupsi dan endemik yang berkembang sebagai komoditas seperti dalam perizinan. Korupsi ini akan semakin bertahan manakala birokrasi semakin besar dan membengkak, karena pemerintah akan membuat banyak sekali bentuk perizinan. Melalui berbagai aturan yang secara sadar diciptakan oleh pihak yang ingin mengeruk keuntungan uang negara, ‘sistem yang korup’ berhasil membuat ‘lubang-lubang’ keuntungan dan didukung dengan serangkai persepsi bahwa tindakan yang dianggap korupsi bukanlah sesuatu yang ‘terlarang’ dan melanggar hukum. Sebagai penyumbang potensi tertinggi korupsi, sangat pantas bahwa kebutuhan untuk memangkas jalur dan prosedur di birokrasi telah menuntut agenda “deregulasi” yang diminta banyak pihak. Bahkan yang lebih pentingnya terletak pada langkah Pembaruan Birokrasi
xxix
Daftar Isi
pemberantasan korupsi di semua bidang. (Lihat prestasi korupsi Indonesia yang dilansir berbagai lembaga dari dalam dan luar negeri pada Bab-I). Produk peraturan perundangan dengan berbagai tim-tim pemberantasan korupsinya ternyata belum mampu menciptakan sistem yang membuat setiap pihak ‘takut’ melakukan korupsi dan membuat jera para pelakunya. Berikut beberapa tim pemberantasan korupsi dan hasil tindakannya yang menghiasi sejarah penanganan korupsi di tanah air. (Lihat Tabel 3.1)
Tabel 3.1 Beberapa Tim Pemberantasan Korupsi dan Hasil Penanganannya Nama Tim & Legitimasinya Tim Pemberantasan Korupsi (Keppres 228/1967) Komisi Empat (Keppres 12/1970)
Komite Antikorupsi
Anggota
Hasil
Diketuai Jaksa Agung Sugih Arto dengan anggota kalangan pejabat dan ahli. Wilopo, IJ Kasimo, Anwar Tjokroaminoto, Prof Johannes. Kabakin Sutopo Juwono sebagai sekretaris. Angkatan 66, seperti Akbar Tandjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dan Sjahrir.
Tidak ada catatan, karena hanya membantu pemerintah. Bertugas selama lima bulan, menemukan penyimpangan di Pertamina, Bulog, dan penebangan hutan. Hanya bekerja dua bulan, dibubarkan tanggal 15 Agustus 1970. bersambung….
Pembaruan Birokrasi
xxx
Daftar Isi
sambungan... Nama Tim & Legitimasinya Operasi Penertiban (Opstib, Inpres 9/1977)
Tim Pemberantasan Korupsi (1982)
Anggota
Hasil
MenPAN, Pangkopkamtib dan Jaksa Agung, dibantu pejabat di daerah dan Kapolri.
Selama Juli 1977-Maret 1981 menangani 1.127 kasus yang melibatkan 8.026 orang. Perkara yang menarik, seperti korupsi Mabes Polri, kasus Pluit, dan kasus Arthaloka. Keppresnya tak pernah keluar.
MenPAN, Pangkopkamtib, Ketua MA, Menkeh, dan Kapolri Diketuai Adi Andojo Soetjipto, anggota 24 orang dari jaksa, polisi, dan masyarakat.
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Berdasar UU 31/1999 dan PP 19/2000) (Diolah dari berbagai sumber)
Mengungkapkan kasus sulit yang ditangani kejaksaan.
Sisi lain dari potensi penyebab korupsi adalah sistem penggajian yang tidak menerapkan prinsip gaji yang layak bagi aparatur untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Meskipun jaminan antikorupsi terletak pada penegakan hukum secara radikal, faktor perbaikan sistem penggajian itu sendiri harus segera diperhatikan agar mempunyai alasan rasional dalam pemberantasan pelaku korupsi. Penghukuman tanpa pandang bulu adalah harapan yang dinantinanti dalam pemberantasan korupsi. Akan tetapi berkaca dari pengalaman sederet tokoh yang berada dalam tim pemberantasan korupsi tidak berbuntut pada penurunan tingkat korupsi. Kunci Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xxxi
sukses juga terletak pada faktor dibutuhkannya kepemimpinan yang kuat dengan visi pemberantasan korupsi yang mampu mengambil pilihan kebijakan yang tegas serta radikal dalam menangani program pemberantasan korupsi. Contoh ini bisa dilihat dari yang dilakukan pemerintah RRC dalam memberantas budaya korupsi di negaranya, melalui Perdana Menteri Zhu Rongji yang keras kepada koruptor. Indonesia saatnya memiliki pemimpin yang radikal dalam memberantas korupsi yang sudah berurat akar dan dukungan kolektif tim-tim yang bergerak dalam pemberantasan korupsi.
2. Restrukturisasi Sistem Kepegawaian 2.1. Permasalahan Manajemen Kepegawaian Permasalahan dalam manajemen kepegawaian adalah belum adanya sistem kinerja yang efisien dan efektif yang didasarkan atas sistem merit yang mempertimbangkan faktor analisis beban kerja dan analisis jabatan. Permasalahan ini nampak pada buruknya pelayanan yang dilakukan aparatur dalam banyak bidang pelayanan. Buruknya pelayanan yang dilakukan aparatur, baik pelayanan terhadap masyarakat atau publik (pelayanan eksternal) maupun pelayanan antarinstansi (pelayanan internal). Kinerja aparatur dalam soal pelayanan menjadi sorotan dan mempunyai penilaian yang terbilang buruk. Masalah pelayanan terhadap publik adalah satu bagian dari tugas yang diemban birokrasi namun selalu menjadi keluhan dan kekecewaan masyarakat. Semua bentuk aktivitas publik yang memerlukan pengurusan birokrasi harus melalui liku-liku ruang dan meja dengan waktu yang sulit diperkirakan bisa selesai dengan Pembaruan Birokrasi
xxxii
Daftar Isi
tepat waktu dan pada waktunya. Bentuk pelayanan yang berekses keluhan terjadi misalnya dalam urusan kependudukan (seperti: pembuatan Kartu Tanda Penduduk, Akta Kelahiran, dan Kartu Keluarga), urusan utilitas dasar (seperti: listrik, air minum dan telekomunikasi), urusan lisensi (seperti: Ijin Mendirikan Bangunan, Sertifikasi Tanah, Surat Ijin Usaha), dan lain sebagainya. Dalam pelayanan publik, prinsip konsumen sebagai ‘raja’ yang harus dilayani dengan baik belum berlaku. Masyarakat sebagai konsumen justru seringkali menghadapi perilaku birokrasi yang ingin dilayani. Bahkan masyarakat sampai harus mengeluarkan dana lebih untuk menuruti perilaku penyimpangan birokrasi. Bentuk-bentuk pungutan pun tidak terelakkan terjadi, mulai dari yang tidak resmi, dianggap seolah-seolah resmi sampai yang tertuang dalam ketentuan resmi. Masyarakat diharuskan seolaholah memahami bahwa tugas-tugas pelayanan tidaklah gratis, mereka beranggapan uang-uang yang dipungutnya seolah-olah sebagai ‘transaksi jual-beli’. Aparatur cenderung menganggap uang tersebut sebagai ‘hasil penjualan’ untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sektor pelayanan publik memang berhadapan langsung dengan kebutuhan masyarakat. Kenyataan seringkali membuktikan bahwa masyarakat dibuat tidak berdaya mengeluarkan dana-dana ekstra agar urusannya bisa selesai dengan cepat. Masyarakat seharusnya diposisikan sebagai pelanggan karena rutinitas kebutuhan masyarakat berlangsung setiap waktu. Tetapi yang terjadi masyarakat tidak pernah punya pengetahuan bagaimana sebenarnya proses pelayanan berjalan sampai perlu mengeluarkan dana-dana tambahan padahal aparatur telah dibiayai negara untuk menjalankan tugas-tugas tersebut. Di sinilah standar pelayanan publik perlu disusun agar masyarakat dapat mengukur kinerja Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xxxiii
aparatur dan memberikan perbaikan atas segala proses pelayanan yang terjadi. Hubungan pelayanan dengan berbagai pungutan tidak dipungkiri berdampak pada peningkatan pelayanan birokrasi. Aparatur merasakan adanya motivasi untuk bekerja cepat melaksanakan tugas-tugas layanannya jika diberikan sejumlah uang. Di sejumlah masyarakat proses pemberian uang sebagai faktor stimulus telah dianggap sebagai kebiasaan yang patut dimaklumi. Alasan aparatur bahwa tindakan pemungutan biaya sebagai penambah kocek dari gajinya yang dibawah standar kehidupan layak, di mata sejumlah masyarakat memang tidak menjadi permasalahan. Hanya saja tidak semua kebanyakan masyarakat bisa memaklumi praktik-praktik yang membudaya tersebut. Masyarakat yang belum bekerja atau bekerja dengan berpenghasilan dibawah standar kehidupan layak patut juga mempertanyakan suatu kondisi kehidupan yang sama dialami oleh si aparatur tersebut. Persoalannya kemana alur uang tersebut berputar, berapa persentase pembagian untuk semua personil aparatur yang bekerja melaksanakan tugas-tugas pelayanan. Pungutan memang kerap terjadi pada kondisi yang membutuhkan jasa pelayanan. Aparatur secara sepihak menetapkan sejumlah aturan main agar jasa pelayanan bisa berjalan. Tindakan ini memungkinkan berlangsung di semua lini jika standar layanan dan pengawasan pelayanan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tindakan lain yang sama negatifnya adalah suap. Berbeda dengan pungutan yang datang dari pihak aparatur, suap dimulai dari pihak yang membutuhkan jasa pelayanan kepada aparatur yang bertugas menjalankan fungsi pelayanannya. Tujuannya sama agar kebutuhan yang diharapkannya bisa terlaksana dengan baik. Suap terjadi karena dipicu dari pemahaman awal, “bahwa tidak ada pelayanan yang baik tanpa suap”. Pungutan dan suap adalah tindakan negatif Pembaruan Birokrasi
xxxiv
Daftar Isi
yang serupa karena sama-sama mempunyai keinginan memperlancar kebutuhannya masing-masing. Semua ini telah berjalan secara sistemik. Fungsi pelayanan juga bukan saja untuk masyarakat sebagai pelanggan eksternal, pelayanan antarinstansi juga harus berjalan dengan baik. Aparatur akan saling membutuhkan koordinasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai pelanggan internal. Koordinasi data dibutuhkan dalam hal layanan penyediaan informasi. Kelengkapan data adalah indikasi dari kinerja aparatur yang baik dan menunjukkan birokrasi yang baik. Namun seringkali antarinstansi menjadi tidak terkoordinasi jika masing-masing instansi tidak menyediakan sistem informasi yang bisa diakses oleh aparatur maupun oleh publik. Tidak dipungkiri kenyataan bahwa informasi (data) bisa dijadikan bahan transaksi yang diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan sampingan. Padahal data tersebut dikelola dan disediakan dengan dana publik, dan aparatur bekerja dengan dana publik. Karena itu jangankan untuk publik, antarinstansi pun bukan pada tempatnya untuk saling mencari keuntungan dari data publik. Ketidakpuasan dari masyarakat akibat pelayanan buruk birokrasi akan tertuju kepada citra buruk pemerintah. Apapun yang menjadi pekerjaan birokrasi adalah tindakan konkret dari rencana kebijakan pemerintah. Tindakannya merupakan perwujudan visi yang ditetapkan pemerintah baik dalam skup nasional maupun daerah. Ketidakpuasan akan berakibat tuntutan perbaikan pelayanan. Reaksi publik seperti ini adalah wajar dan sepatutnya karena kegiatan pemerintah dibiayai dari dana publik.
2.2. Permasalahan antara Jabatan Karir dan Jabatan Politik Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xxxv
Warisan permasalahan yang masih membuat birokrasi tidak netral adalah intervensi kekuasaan politik. Kondisi pemerintahan yang terbentuk dari dukungan banyak parpol bukan saja harus menyesuaikan pimpinan kabinet oleh koalisi perwakilan parpol tetapi juga melakukan tindakan seperti penggantian pejabat eselon satu di lingkungannya dengan orang-orang dari golongan partainya tersebut. Kondisi demikian diatas disebabkan belum dilakukannya pembaruan undang-undang yang terkait dengan konstelasi birokrasi, padahal pembaruan pada sistem politik sangat berpengaruh terhadap kondisi birokrasi. Dalam hal ini yang perlu dilakukan pertama kali adalah perubahan kelembagaan baik tatanan struktur maupun kultur. Definisi lembaga perlu diarahkan sebagai susunan tatanan dari suatu tatanan dan adanya kultur dari tatanan tersebut. Jadi jika akan merubah struktur perlu direncanakan kultur apa yang dibentuk. Kultur meliputi pengembangan nilai, struktur, dan prosedurnya. Persoalan yang ditekankan saat itu dimana peran parpol mempunyai arti sangat penting dalam memimpin birokrasi pemerintah yakni tentang penegasan jabatan baik sebagai jabatan politik maupun jabatan karir. Setiap lembaga departemen pemerintah baik dipusat dan di daerah yang dipimpin oleh pejabat politik harus dibedakan antara pejabat politik dan pejabat karier birokrasi. Lembaga pemerintah bisa dibedakan antara lembaga Departemen yang dipimpin Menteri sebagai pejabat politik, dan lembaga Non Departemen yang dipimpin oleh bukan Menteri dan bukan pejabat politik. Seharusnya pejabat yang memimpin Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) adalah pejabat profesional dari birokrasi
Pembaruan Birokrasi
xxxvi
Daftar Isi
karier, bukan dijabat oleh pejabat politik dan dirangkap oleh Menteri. Pejabat politik adalah pejabat yang dipilih oleh rakyat langsung maupun tidak, atau diajukan oleh wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat. Dengan demikian posisinya adalah sebagai wakil rakyat dalam mengambil kebijakan publik dan mengontrol birokrasi pemerintah. Pejabat birokrasi adalah pejabat yang diangkat untuk melaksanakan kebijakan publik tersebut. Jika mekanisme kontrol dan pelaksanaan kebijakan publik bisa berjalan antara kedua jabatan itu maka pertangung jawaban publik tidak mungkin tidak mesti bisa dilaksanakan.
3. Restrukturisasi Sistem Penggajian 3.1. Peningkatan Gaji sebagai Kesejahteraan Aparatur Negara
Prioritas
Perbaikan
Kesejahteraan pegawai terkait erat dengan gaji pegawai, jaminan sosial, serta fasilitas natura yang dinilai sangat jauh dari memuaskan. Hal tersebut juga turut mendasari pelayanan publik yang selama ini dilaksanakan tidak sesuai dengan harapan dan tuntutan masyarakat, prestasi kerja yang rendah serta lebih parah lagi telah menjadi sumber penyelewengan dan korupsi. Apalagi jika kondisi seperti itu terjadi dalam suatu sistem pemerintahan yang otoriter yang memberikan wewenang pemerintah untuk melakukan intervensi dalam setiap proses kegiatan pembangunan mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaannya. Pada dasarnya manusia bakal resisten terhadap renumerasi yang sangat tidak memenuhi kebutuhan minimum atau kehidupan yang Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xxxvii
layak. Menjadi pegawai negeri merupakan suatu pilihan profesi karir, sehingga suatu hal yang wajar untuk menuntut standar gaji yang layak untuk memenuhi kompensasi beban tugas, tanggung jawab, kualifikasi, prestasi kerja, periode waktu jabatan serta tingkat biaya hidup yang cukup tinggi. Pendapat lain juga mengemukakan bahwa gaji yang rendah seringkali bukan penghematan, tetapi merupakan tambahan beban karena produktivitas kerja rendah. Adalah kenyataan bahwa dalam pemerintahan banyak pekerjaan dilakukan oleh banyak orang yang memiliki produktivitas rendah. Padahal pekerjaan tersebut sebenarnya dapat dilakukan oleh jumlah tenaga yang jauh lebih sedikit namun memiliki kemampuan dan kualifikasi yang memadai dan mendapat gaji yang cukup. Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa sistem gaji pegawai negeri saat ini tidak mempertimbangkan prestasi kerja. Sistem penggajian tidak mempertimbangkan pegawai yang berprestasi, memiliki produktivitas tinggi, serta disiplin yang tinggi. Saat ini PNS level struktural yang sama, pegawai yang memiliki produktivitas tinggi dan yang tidak, memiliki nilai gaji yang sama. Hal seperti ini dalam jangka waktu yang panjang dapat menurunkan semangat, etos, dan disiplin kerja. Bahkan bagi pegawai tertentu dapat menjadi sumber pengungkit untuk melakukan tindakan-tindakan penyelewengan dan korupsi. Sudah menjadi suatu pola berpikir yang umum agar dapat mengambil setiap kesempatan melakukan tindakan yang tidak terlalu ‘jujur’, asal dilakukan dengan hati-hati, tidak terlalu besar dan mencolok, serta asal dapat ‘dipertanggungjawabkan’ secara semu kepada badan pengawas. Alasan yang digunakan adalah tidak mungkin bagi pegawai negeri untuk dapat memenuhi standar kehidupan yang layak dengan gaji kecil dan tidak adil. Pembaruan Birokrasi
xxxviii
Daftar Isi
Secara yuridis masalah penggajian diatur dalam UU 43 Tahun 1999 Pasal 7, yaitu: (4) Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya (5) Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya (6) Gaji Pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan terhadap pasal dalam UU tersebut menyatakan: (1) Yang dimaksud sebagai adil dan layak adalah bahwa gaji PNS harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga PNS dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya hanya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. (2) Pengaturan gaji PNS yang adil dimaksudkan untuk mencegah kesenjangan baik antarPNS maupun antarPNS dengan swasta. Rumusan dalam UU tersebut terbilang ideal seandainya secara empirik bisa terlaksana dan tertuang langsung dalam isi undangundangnya. Untuk menjabarkan pengaturan gaji yang layak dan ideal tersebut, UU mendelegasikannya kedalam peraturan pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dalam PP No.11 Tahun 2003. Sebelum kita mencoba memberikan penilaian terhadap PP paling akhir tersebut, ada sejumlah pertanyaan yang terkandung dalam UU yang perlu kita jadikan wacana terhadap permasalahan gaji PNS: (1) Dalam ayat 1 Ps.7 UU 43 Tahun 1999, disebutkan Pegawai Negeri mendapatkan gaji yang adil dan layak disesuaikan Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xxxix
dengan beban kerja dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini perlu kita simak pertanyaan (i) bahwa gaji yang layak dan ideal dimaksud tersebut belum terealisasi dan belum mempunyai kemampuan prediktif pada tahun keberapa amanat dalam UU tersebut bisa terealisasi? (ii) karena gaji dimaksud harus disesuaikan dengan beban kerja dan tanggung jawabnya, lantas rumusan seperti apa yang menjelaskan indikator beban kerja dan tanggung jawab pekerjaannya ? (2) Dalam ayat 2 Ps.7 UU 43 Th.1999, disebutkan gaji yang diberikan kepada PNS diharapkan menjadi pemacu produktivitas, kreativitas & menjamin kesejahteraan. Dalam hal ini, (i) seperti apa rumusan produktivitas dimaksud? (ii) apa yang dimaksud dengan menjamin kesejahteraan, dan standar ukuran apa yang digunakan dalam jaminan kesejahteraan? (3) Dalam penjelasan Ps.7 UU 43 Th.1999, disebutkan gaji yang adil dan layak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehingga memusatkan perhatian, pikiran dan tenaga hanya untuk tugas yang dipercayakan kepada PNS. Dalam hal ini, bagaimana rumusan terpenuhinya kebutuhan hidup keluarga sehingga konsentrasi pekerjaan tetap terjaga? (4) Penjelasan Ps.7 UU 43 Th.1999 juga menyebutkan pengaturan gaji PNS yang adil harus mencegah kesenjangan kesejahteraan, baik antar-PNS maupun PNS dengan Pegawai Swasta. Atas hal ini perlu kita simak pertanyaan (i) bagaimana dapat mengatasi kesenjangan jika rumusan gaji tidak membuat skala perbandingan gaji yang adil antara gaji yang terendah dengan gaji yang tertinggi dalam hubungannya terhadap faktor beban kerja, tanggung jawab, serta masa pengabdian. (ii) dalam mencegah kesenjangan kesejahteraan dengan pegawai swasta, mungkinkah membuat standar yang persis sama karena antara instansi pemerintah dengan swasta memiliki perbedaan dalam (a) misi dan tujuan. (ii) output yang dicapai, (iii) outcomes Pembaruan Birokrasi
xl
Daftar Isi
yang dihasilkan, (iv) karakteristik/jenis pekerjaan yang didasarkan atas berbagai tipe/jenis badan usaha/lembaga swasta. Hal lainnya yang masih terkait dengan perbaikan kebijakan tentang gaji PNS adalah : (1) Banyak pihak yang menyorot diperlukannya kenaikan gaji PNS dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara layak hingga dapat menjaga konsentrasi pelaksanaan tugas dengan baik adalah hal sangat penting. Bukan itu saja, sisi yang sangat pentingnya justru untuk mengatasi penyimpangan dalam perbuatan korupsi. Sementara itu pula, beberapa instansi dalam naungan pemerintah pusat berinisiatif untuk menangani problem penggajian di lingkungan kerjanya masing-masing tersebut. Masalah ini haruslah bisa ditangani secara unified dengan kesatuan pandangan instansi yang terlibat dalam perbaikan kebijakan tentang gaji, sehingga tidak menjadi suatu kesenjangan dan penanganannya bisa berjalan secara komprehensif. (2) Pandangan dari beberapa kalangan tentang tidak efisien dan efektif realisasi pos APBN yang menyangkut Belanja Pegawai, Belanja Barang, Pembangunan dan Pos APBD yang berkaitan dengan Belanja Pegawai, Barang, perlu dipantau dan dievaluasi sehingga dampak ketidakefisien dan ketidakefektifan bisa dialihkan untuk perbaikan gaji secara merata. Terkait hal ini juga, pelaksanaan tupoksi di masing-masing instansi harus selaras dengan kapasitas kelembagaannya yang memperhitungkan prinsip efisien dan efektif. Sehingga danadana proyek yang tidak efisen-efektif dan tidak berdampak pada pengembangan kapasitas kelembagaan dapat dialihkan untuk membantu program perbaikan penggajian PNS yang secara menyeluruh melalui penyesuaian APBN. Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
3.2
xli
Peningkatan Gaji sebagai Potensi dan Alat Pendukung Pemberantasan Korupsi
Jika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, maka aparatur negara (PNS) sebagai manusia biasa yang memiliki kebutuhan materi untuk kelangsungan hidupnya yang jika tidak terpenuhi maka akan melakukan usaha lain untuk menutupinya. Hukum permintaan dan penawaran (supply and demand) akan berlaku pada PNS, karena gajinya yang hanya cukup untuk beberapa pekan maka kewenangan yang dimilikinya akan dimanfaatkan untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan sekaligus berusaha untuk memperkaya diri dengan menjadi rent-seeker. Kenyataan tersebut sejalan dengan, rumusan salah satu kategori situasi paling penting dalam menciptakan rangsangan korupsi, sebagaimana dikemukakan oleh Susan Rose-Ackerman, yaitu: para pejabat sektor publik mungkin mendapatkan insentif yang kecil untuk melakukan pekerjaannya secara baik dan karenanya sogokan dijadikan sebagai pendapatan bonus, dan pemerintah memberikan kemudahan keuangan maupun fasilitas yang sangat besar pada pengusaha melalui proteksi, pelelangan, privatisasi, dan pemberian konsensi. Kondisi tersebut bertemu dan klop dengan kenyataan lain di sektor swasta, yaitu: perusahaan swasta dan individu berupaya mengurangi biaya yang dibebankan pada mereka oleh pemerintah (pajak, bea dan cukai) dengan melakukan sogokan, dan sogokan dapat mengganti bentuk hukum -seperti dalam pelanggaran lalulintas- dan mempengaruhi kebijakan politik dan jual beli suara untuk memperoleh jabatan. Ketemulah persekongkolan korupsi, Pembaruan Birokrasi
xlii
Daftar Isi
kolusi dan nepotisme di mana aparat birokrasi meruapakan salah satu aktor penting kalau tidak dapat dikatakan sebagai aktor utama. Jika hal tersdebut terus terjadi akan menjadi bom waktu di mana gaji yang kecil akan memicu PNS ber-”KKN” yang menyebabkan rusaknya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada gilirannya adalah hancurnya bangsa itu sendiri.
3.3
Pandangan Kritis tentang Peningkatan Gaji Tidak Berbanding Lurus dengan Penguatan Kinerja Aparatur Negara
Dalam mengusulkan perbaikan gaji yang ideal dan layak sebagaimana yang dikuatkan UU No.43 Tahun 1999 perlu diimbangi dengan sikap adil yakni perlu melakukan evaluasi internal di tubuh birokrasi. Dalam urusan menyusun formula penggajian yang kini menggunakan ruang gaji, kita harus waspada sebagaimana pendapat sementara pihak bahwa peningkatan gaji itu tidak berbanding lurus dengan penguatan kinerja atau bersihnya perilaku birokrasi, terutama dalam sebuah sistem birokrasi yang sejak awal sudah disfungsional. Studi Bank Dunia juga membantah mitos kesejahteraan. Deon Filmer (Bank Dunia) dan David L. Lindauer (Wellesley College) dalam kertas kerjanya berjudul ‘Does Indonesia Have a Low Pay Civil Service’ menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan pegawai negeri 42% lebih tinggi dibanding swasta meski saat itu tingkat produktifitasnya kalah ketimbang kaum buruh. Hingga pada tingkat SMA, pendapatan pegawai negeri masih lebih baik dibandingkan dengan pegawai swasta.xv Pandangan ini juga bisa memperlihatkan bahwa unsur peningkatan penghasilan masih kalah oleh faktor raihan kepuasan pribadi dan promosi jabatan yang membuat Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xliii
birokrasi mengoptimalkan kinerjanya. Ini bisa berarti bahwa budaya kerja yang bersifat feodalistik masih kentara dan melampaui unsur rasional ekonomis yang bisa memotivasi birokrasi agar mau meningkatan kualitas kerjanya. Fenomena tersebut seperti menunjukkan bahwa tahap-tahap perkembangan pemenuhan kebutuhan seperti dalam persepktif Abraham Maslow di Indonesia bersifat tidak linear sehingga perbaikan kompensasi saja tidak cukup tetapi harus juga dibuat disinsentif bagi yang melanggar, tidak produktif dan tidak efisien. Pandangan kritis di atas masuk akal jika saja restrukturisasi penggajian tidak mempertimbangkan aspek keadilan internal (Internal Equity) dan eksternal (External Equity). Restrukturisasi penggajian harus mengikuti kedua aspek keadilan tersebut. Internal Equity berarti dalam arti setiap pekerjaan dengan bobot yang sama akan diberikan gaji yang sama (equal pay for equal work) sedangkan pekerjaan yang lebih membutuhkan pengetahuan, keterampilan, keahlian dan tanggung jawab yang lebih tinggi, maka harus mendapatkan bayaran yang lebih tinggi. Sedangkan External Equity didasarkan atas kecenderungan akan adanya kesetaraan kualifikasi/kesamaan gaji pada setiap orang yang melakukan pekerjaan tertentu disetiap organisasi manapun yang sejenis. Disamping prinsip equity yang dimaksud diatas, penguatan kinerja akan menguat jika dalam perbaikan penggajian juga harus memenuhi prinsip-prinsip lainnya yang meliputi : a. Dapat menarik Sumber Daya Manusia yang berkualitas untuk bergabung dengan organisasi dan sekaligus mampu mempertahankan pekerja berkualitas yang sudah ada dalam organisasi. b. Menyediakan reward terhadap pegawai yang perilakunya sesuai dengan yang diinginkan oleh organisasi (desired behaviour), Pembaruan Birokrasi
xliv
c. d. e. f.
Daftar Isi
seperti prestasi kerja, patuh, disiplin, berpengalaman, bertanggung jawab, dan lain sebagainya. Memudahkan pelaksanaan pengawasan terhadap pengeluaran dalam suatu organisasi. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dapat dimengerti oleh pegawai maupun petugas pembayar gaji dengan mudah, dan; Dapat diadministrasikan secara efisien.
3.4. Analisis Kebijakan tentang Gaji Aparatur Negara (Evaluasi PP No.11 Tahun 2003) Persoalan selanjutnya yang agak krusial adalah menentukan berapa gaji yang layak untuk aparatur negara (PNS)? Tentu saja hal ini sangat mungkin diperdebatkan, namun melihat realitas kemampuan pemerintah yang ada saat ini maka kenaikan tersebut tentunya tidak serta merta menyejajarkan gaji aparatur negara (PNS) dengan perusahaan swasta dan BUMN besar tetapi memberikan alternatif moderat-realistis sehingga dapat diimplementasikan. Gaji yang diterima PNS berdasarkan PP No. 11/2003 ternyata belum cukup memadai untuk memberikan kehidupan yang “sangat layak” sehingga fokus perhatian PNS tidak terpecah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Puslitbang BKN (2000) yang menyatakan bahwa gaji dan sejumlah kompensasi yang diterima jauh dari mencukupi jika dibanding dengan kebutuhan hidup minimum satu keluarga (suami, isteri, dan dua anak). (lihat Bab-1) PP No.11 Tahun 2003 tentang Peraturan Gaji PNS merupakan upaya perbaikan paling akhir dari beberapa kali perubahan dalam rangka memenuhi kriteria gaji yang layak dan ideal sebagaimana Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xlv
tertuang dalam UU No.43 Tahun 1999. PP yang terdiri atas dua pasal dan satu lampiran ini tidak mencabut PP-PP sebelumnya melainkan hanya mengubah lampiran II PP Nomor 7 Tahun 1977 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP Nomor 26 Tahun 2001. Dalam analisis wacana seputar kebijakan PP No.11 Tahun 2003 versi BKNxvi, menyebutkan bahwa Pemerintah dalam mengimplementasikan PP No.11 Tahun 2003 masih harus menggunakan PP No.7 Tahun 1977 dan PP Nomor 26 Tahun 2001. Hal tersebut berbeda dengan pola perbaikan gaji terhadap peraturan gaji TNI yang paling akhir yakni PP No.28 Tahun 2001. Perbedaannya terletak pada pernyataan tidak diberlakukannya PP sebelumnya yakni PP No.18 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Anggota Angkatan ABRI sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP No.7 Tahun 1997. Terhadap masalah daftar gaji dalam kaitannya dengan padanan pendidikan dan golongan ruang, BKN menilai bahwa PP No.11 Tahun 2003 dalam menyusun penentuan golongan ruang tidak didasarkan pada suatu rumus tertentu melainkan dengan asumsi: (a) Jenjang pendidikan terendah adalah Sekolah Dasar (bernomor urut 1) dan tertinggi doktor (S3), Spesialis II (bernomor urut 7), (b) Jenjang golongan ruang I/a (bernomor urut 1) dan tertinggi IV/e (bernomor urut 17). Dalam rekomendasi analisis tersebut BKN menyatakan perlunya peraturan gaji PNS yang integrated dengan membuat: (1) perbandingan gaji terendah-tertinggi minimal 1:10 agar terjadi keadilan antara PNS yang telah mengabdi 32 tahun dengan yang pemula, dan untuk menumbuhkan motivasi pegawai untuk berprestasi dan meningkatkan pangkat, serta untuk memacu produktivitas PNS. (2) Gaji pokok PNS harus lebih besar
Pembaruan Birokrasi
xlvi
Daftar Isi
jumlahnya dari tunjangan agar PNS yang telah mencapai pangkat puncak tidak cemas menghadapi pensiun.
Pembaruan Birokrasi
xlvii
Daftar Isi
Bab – IV Pembahasan Permasalahan Tidak ada resep yang pasti bisa dipakai untuk pembaruan. Yang dibutuhkan dalam pembaruan adalah strategi.
1. Pilihan Restrukturisasi Sistem Kepegawaian 1.1. Penyusunan Sistem Kinerja yang Efisien dan Efektif Restrukturisasi sistem kepegawaian adalah perbaikan dalam manajemen aparatur negara (pegawai negeri sipil). Sesuai dengan kandungan undang-undang kepegawaian (No. 43 Tahun 1999), restrukturisasi meliputi usaha-usaha perbaikan dalam aspek perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan, dan pemberhentian aparatur. Pilihan restrukturisasi ini secara umum merupakan peningkatan kualitas sumber daya aparatur dan selanjutnya akan berkaitan erat dengan restrukturisasi sistem kompensasi (penggajian) sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan kata kunci dalam meraih tujuan manajemen PNS. Perbaikan manajemen kepegawaian dimaksud didasari atas kriteria: (i) sistem kinerja yang efisien dan efektif, transparan, dan akuntabel; (ii) klasifikasi jabatan berdasarkan analisis beban kerja; (iii) pemisahan tugas dan wewenang antara jabatan karir dengan Pembaruan Birokrasi
xlviii
Daftar Isi
jabatan politik; dan (iv) dapat mengendalikan tindak korupsi, kolusi dan nepotisme. Restrukturisasi sistem kepegawaian akan memperbaiki aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, dan manusianya. Untuk itu struktur birokrasi harus dirubah mengikuti strategi pembaruan yang akan mencapai serangkaian target pembaruan berupa tercapainya efisiensi dan efektifitas organisasi. Target ini akan berhubungan langsung pada indikator pencapaian berupa menurunnya tingkat korupsi di birokrasi, daya saing bangsa meningkat karena dukungan nyata birokrasi, indeks pembangunan manusia tinggi dan indikator kesejahteraan bangsa terpenuhi. Untuk mencapai target pembaruan ini, restrukturisasi harus mengikuti sejumlah langkah audit terhadap struktur organisasi, jumlah personalia, garis-garis komunikasi, rentang kendali, dan prosedur pengambilan keputusan. Program audit ini harus berkala dilakukan untuk memonitor dan mengevaluasi perkembangan restrukturisasi. Minimalnya, setiap menjelang akhir kepemimpinan nasional proses audit harus berjalan. Proses audit harus dilakukan secara teliti oleh para ahli organisasi dan manajemen melalui metode interview kepada para pimpinan di berbagai jenjang terhadap yang sudah dilakukannya dan rencana selanjutnya yang bisa memberikan penyempurnaan terhadap proses restrukturisasi. Pendekatan yang bisa digunakan dalam proses audit ini adalah prosedur fungsionalisme-struktural atau structure follows strategy. Strategi adalah rujukan dalam menyusun kotak-kotak dan garis komunikasi organisasi. Penyusunan struktur bukan aatas dasar akomodasi kepentingan tetapi pencapaian visi dan misi. Yakni untuk mencapai serangkaian target pembaruan birokrasi.
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xlix
Proses audit juga harus mempertimbangkan analisis beban kerja dan analisis jabatan. Analisis terhadap beban kerja dilakukan untuk mengetahui standar kelayakan jumlah atau kuantitas aparatur pada suatu instansi. Sedangkan analisis jabatan akan menilai jenis atau kualitas aparatur yang menduduki suatu jabatan. Kedua hasil analisis ini akan dijadikan pedoman dalam membuat standar beban kerja dan standar jabatan. Sejumlah pendekatan di atas akan membantu dalam pendekatan lainnya yakni yang disebut relokasi aparatur. Pendekatan ini adalah bagian dari rasionalisasi aparatur yang didasarkan atas penilaian kualitas kinerja melalui hasil analisis beban kerja dan analisis jabatan. Relokasi adalah proses pengujian dari dua sisi keadilan, keadilan internal (internal equity) dan ekternal (eksternal equity). Keadilan interna akan mengetahui sampai sejauh mana seorang aparatur memahami penempatan dirinya berdasarkan kemampuannya. Sedangkan keadilan eksternal akan mengetahui perbandingan kemampuan dengan organisasi lain di luar birokrasi yang menyelenggarakan misi dan fungsi sejenis, serta sebagai alat ukur menjawab pemenuhan target pembaruan. Setelah melakukan proses pengujian tersebut, relokasi akan membuat sejumlah alokasi penempatan baru sesuai hasil pengujian. Beberapa kemungkinan pilihan penempatan dalam proses relokasi adalah: (i) aparatur dengan standar penilaian baik akan bertahan pada posisi sebelumnya; (ii) aparatur dengan standar penilaian baik akan melakukan proses perpindahan posisi/jabatan/organisasi; (iii) aparatur dengan standar penilaian kurang/tidak baik akan bertahan pada posisi sebelumnya dengan persyaratan mengikuti sejumlah prosedur (seperti: re-training); (iv) aparatur dengan standar penilaian kurang/tidak baik akan melakukan proses perpindahan posisi/jabatan/organisasi dengan sejumlah persyaratan; dan Pembaruan Birokrasi
l
Daftar Isi
kemungkinan yang terakhir (v) pemberian rekomendasi untuk pensiun muda dengan sejumlah prosedur. Pendekatan relokasi dilakukan dengan pertimbangan: (i) kuantitas aparatur di Indonesia masih dianggap layak untuk melakukan pelayanan publiknya kepada penduduk Indonesia. Dalam hal ini jumlah aparatur /pegawai negeri kurang dari 1,8% dari jumlah penduduk Indonesia; (ii) persentase terbesar pegawai negeri didominasi oleh guru dari TK sampai SLTA (sebesar 37%). Hal ini juga memiliki masalah bahwa pada daerah tertentu masih banyak daerah yang kekurangan tenaga guru dan di daerah tertentu juga kelebihan guru terjadi; (iii) relokasi berfungsi sebagai pemberdayaan, jadi dampak yang diinginkan dari relokasi adalah terberdayakannya aparatur baik secara skill maupun moral. Relokasi bukanlah pemecatan atau perumahan pegawai yang bisa berimbas pada krisis sosial akan tetapi memberikan pilihan sadar akan perbaikan nasib bangsa secara keseluruhan, (iv) pilihan relokasi menargetkan pada faktor rewarding yang akan mendatangkan keuntungan jauh lebih besar dibanding biaya yang harus dikeluarkan untuk perbaikan kualitas aparatur sampai rencana pensiun muda aparatur.
Pembaruan Birokrasi
li
Daftar Isi
Tabel 4.1 Klasifikasi Jabatan PNS No.
Jabatan Jumlah Seluruhnya
Jumlah Total 3.832.086
Pendidikan 1.486.087 1. Guru Besar 145 2. Guru Besar Madya 191 3. Lektor Kepala 859 4. Lektor Kepala Madya 2.370 5. Lektor 6.546 6. Lektor Madya 8.793 7. Lektor Muda 13.113 8. Asisten Ahli 10.408 9. Asisten Ahli Madya 16.549 10. Guru TK 26.685 11. Guru SD 1.015.357 12. Guru SLTP 245.599 13. Guru SLTA 139.472 Penelitian 3.982 B. 1. Ahli Peneliti 123 2. Peneliti 854 3. Ajun Peneliti 1.577 4. Asisten Peneliti 1.428 Struktural 174.453 C. 1. Eselon I 324 2. Eselon II 1.900 3. Eselon III 11.669 4. Eselon IV 59.048 5. Eselon V 101.512 Kesehatan (Medis/Paramedis) 292.057 D. Fungsional Lainnya 1.875.507 E. *) Sumber: Badan Kepegawaian Negara (BKN), menggunakan data tertanggal 1 Juli 2002 A.
Pembaruan Birokrasi
lii
Daftar Isi
2. Pilihan Restrukturisasi Sistem Penggajian 2.1
Alternatif Restrukturisasi Sistem Penggajian
Restrukturisasi sistem penggajian adalah upaya perbaikan dalam dimensi kesejahteraan untuk mencapai target pembaruan birokrasi. Sesuai dengan kandungan undang-undang kepegawaian (No. 43 Tahun 1999), restrukturisasi meliputi kriteria : (i) dapat menunjang peningkatan kesejahteraan aparatur dalam memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya secara layak; (ii) dapat memberikan dampak peningkatan profesionalitas yang ditunjukkan dengan kualitas kinerja yang baik (good performance); (iii) dapat memberikan dampak pengembangan masa depan yang baik melalui penjenjangan karir yang didasarkan atas pertimbangan prestasi kerja; dan (iv) dapat mencegah berkembangnya potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Restrukturisasi sistem penggajian adalah satu paket dari restrukturisasi sistem kepegawaian. Secara umum sejalan dengan peningkatan kualitas sumber daya aparatur sesuai kriteria yang diharapkan tersebut. Restrukturisasi ini bukanlah sekedar mengupas peningkatan penggajian dalam perspektif anggaran saja. Faktor-faktor yang sama yang juga harus diperhatikan untuk merealisasikan gagasan ini adalah keadilan internal dan keadilan ekternal. Kedua faktor tersebut dijadikan sebagai indikator atau parameter dalam mengukur keberhasilan membentuk aparatur yang bersih (bebas korupsi), profesional (kompeten, efisien, efektif) dan bertanggung jawab (akuntabel). Jika kedua faktor tersebut tidak mencapai parameter kinerja tertentu, gagasan peningkatan gaji dan
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
liii
pembaruan birokrasi akan menjadi kebijakan yang gagal atau menimbulkan permasalahan baru yang lebih hebat. Program restrukturisasi ini akan memperbaiki aspek kelembagaan, ketatalaksanaan dan manusianya, mencakup lingkup pusat maupun di daerah. Perbaikan sistem penggajian ini menggunakan pendekatan yang sama seperti yang digunakan dalam perbaikan sistem kepegawaian. Pendekatan structural follows strategy, analisis beban kerja dan jabatan, dan pendekatan relokasi. Restrukturisasi sistem penggajian ini akan banyak tergantung dari sejumlah langkah audit yang dilakukan dalam restrukturisasi sistem kepegawaian. Proses pengujian terhadap faktor keadilan internal dan eksternal juga menjadi kunci dalam menentukan kelayakan suatu penggajian (sistem merit). Kelayakan suatu penggajian juga didasarkan atas standar hidup dinamis, bukan sekedar standar hidup minimum. Sejumlah faktor ini yang akan menjadi alasan formal untuk menyesuaikan standar penggajian sektor pemerintah dengan yang berlaku pada sektor BUMN atau swasta. Kelayakan penggajian yang menggunakan sistem merit yang cenderung diterapkan di sektor swasta, bisa diturunkan ke dalam komponen-komponen sebagai berikutxvii: a. Merit Potensi, yaitu imbalan berupa besaran uang yang diberikan kepada pegawai berupa gaji yang diberikan berdasarkan penghargaan atas potensi, jabatan dan prestasi kinerja maupun pengalaman/masa kerja pegawai. b. Merit Jabatan, yaitu imbalan berupa besaran uang yang diberikan kepada pegawai sebagai penghargaan terhadap potensi pegawai berdasarkan tingkat pendidikan dan/atau pengalaman kerja. Pembaruan Birokrasi
liv
Daftar Isi
c. Merit Prestasi, yaitu imbalan berupa besaran uang yang diberikan kepada pegawai berdasarkan hasil penilaian prestasi kerja pegawai selama satu bulan takwim. d. Merit Resiko, yaitu imbalan berupa besaran uang yang diberikan kepada pegawai yang menduduki jabatan tertentu yang karena sifat pekerjaannya dapat menimbulkan resiko mengganti kerugian kepada perusahaan. e. Merit Shift, yaitu imbalan berupa besaran uang yang diberikan kepada pegawai yang bekerja berdasarkan rotasi kerja. f. Merit Keluarga, yaitu imbalan berupa uang secara lumpsum kepada setiap pegawai untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, meliputi kebutuhan perumahan, dan lain-lain. g. Merit Transport, yaitu pemberian biaya transportasi berupa uang secara lumpsum kepada karyawan. Jika dibandingkan dengan gaji pengawai swasta, gaji PNS baru 20-30 persen, sehingga tidak mungkin dapat ditingkatkan produktivitas dan dikembangkan birokrasi yang profesional dan sistem penggajian yang diterapkan tidak membedakan orang berdasarkan kompetensi, profesi, dan tanggung jawabnya (Effendi, 2000). Sistem gaji lama yang ada pada PGPS perlu dirubah karena tidak berdasarkan sistem merit. (lihat perbandingan penggajian pada Jasa Marga, Tabel 4.2). Atas dasar itulah perbaikan sistem penggajian dimaksud harus maknai sebagai serangkaian metode, prosedur, atau teknik yang disatukan oleh interaksi yang teratur sehingga membentuk suatu kesatuan yang terpadu tentang gaji.
Pembaruan Birokrasi
lv
Daftar Isi
Tabel 4.2 Penggajian PT. Jasa Marga (pada tingkat jabatan tertentu) JABATAN (Beberapa abatan yang setara dengan departemen/LPND) Kepala Biro Kepala Bagian Kepala Seksi/Sub Bagian Staf Rencana Staf Tata Usaha Pengemudi
Jumlah*) 9.140.170.0 6.958.390.0 4.376.170.0 3.616.020.0 1.878.340.0 1.131.689.0
*)
Tidak memperhitungkan beberapa komponen penerimaan dan pengeluaran, seperti dana pensiun, lembur, tunjangan kesehatan, tunjangan lain-lain, tunjangan pajak penghasilan, dan tunjangan khusus. Beberapa komponen pengeluaran diantaranya merit prestasi, dana pensiun, jamsostek iuran SKJM, iuran Dharma Wanita, kompensasi, iuran PNS, Lembur, Kesehatan, lain-lain dan pajak penghasilan. (Diolah dari Hasil Kajian Bappenas, 2003)
Selain itu, pendekatan yang relatif pas sebagai alternatif penerapan sistem penggajian PNS yaitu kombinasi antara pendekatan kebutuhan pegawai dan pendekatan bobot jabatan (usulan dari hasil kajian Kementerian PAN). Melalui sistem ini, gaji pokok terendah ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak pegawai dan keluarganya (standarnya bisa membandingkan data BPS tentang besarnya rata-rata konsumsi rumah tangga Rp 1.694.493; riset BKN tentang gaji guru dan keluarganya di beberapa daerah rata-rata diatas Rp 1.500.000; atau standar gaji BUMN/Swasta ). Gaji pokok tertinggi, sesuai dengan prinsip penggajian yang efektif, bisa ditetapkan paling tidak 12 kali gaji pokok terendah.
Pembaruan Birokrasi
lvi
Daftar Isi
Selain gaji pokok juga diberikan berbagai tunjangan seperti: tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan rumah, serta kompensasi bagi pegawai yang ditempatkan di daerah terpencil, daerah kerusuhan, serta pegawai yang lingkungan kerjanya berbahaya dan/atau jam kerjanya diluar jam kerja normal. Besar tunjangan secara keseluruhan tidak melebihi perhitungan 20% dari besarnya gaji pokok. Apabila gaji terendah (berdasarkan perbandingan dari data riset) ditetapkan Rp 1,5 juta, maka gaji pokok tertinggi menjadi Rp 18 juta. Apabila ditambah dengan tunjangan yang besarnya maksimum 20% dari gaji pokok, maka penghasilan tertinggi dapat mencapai Rp 21,6 juta. Model ini tidak menetapkan struktur gaji berdasarkan pangkat sebagaimana saat ini tetapi berdasarkan bobot jabatan yang dihitung berdasarkan kriteria tertentu seperti: tingkat kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas suatu jabatan, tanggung jawab, resiko, kondisi lingkungan kerja, dan lain-lain. Secara garis besar, besaran gaji dikelompokkan menjadi : - Kelompok jabatan manajerial (tingkat I s.d. tingkat IV) - Kelompok profesional (4 jenjang) - Kelompok teknisi (4 jenjang) - Kelompok operator dan lain-lain (4 jenjang) Dari kelompok diatas yang menjadi kelompok terendah dengan besaran gaji Rp 1,5 juta adalah kelompok operator (umum), dan kelompok tertinggi (manajerial tingkat tertinggi) mendapatkan 21,6 juta (dengan perhitungan tunjangan).
Pembaruan Birokrasi
lvii
Daftar Isi
2.2. Alternatif Moderat-Realistis (Kenaikan Gaji) Kenaikan gaji PNS merupakan keharusan namun kenaikan yang yang dilakukan menggunakan alternatif moderat yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dinamis PNS dengan seorang isteri/suami dan dua orang anak. Selanjutnya untuk menumbuhkan motivasi dan mewujudkan proporsionalitas secara bertahap, maka pilihan kenaikan dibedakan sesuai dengan lama kerja dengan perbandingan gaji terendah dan tertinggi lebih mendekati perbandingan proporsional-moderat. (Tabel 4.3) Tabel 4.3 Perbandingan Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PGPS) Tahun PGP PGP Tahun 1948
PGPS & Prinsip-Prinsip Penggajian PP No.21 Tahun 1998 - Hanya ada satu macam pegawai; - Golongan dan ruang berdasarkan pendidikan; - Struktur gaji berdasarkan gaji pokok, tunjangantunjangan, ujian jabatan, dan akte; - Tunjangan-tunjangan terdiri dari: tanggung jawab keuangan, perwakilan, jabatan, akte, keluarga, kemahalan, jabatan yang berbahaya, dan lainnya. - Tunjangan keluarga terdiri dari tunjangan anak (termasuk anak angkat), orangtua yang berumur 55 tahun ke aras (termasuk orang tua angkat, tiri, dan mertua), dan orang cacat yang seturunan langsung ke atas atau ke bawah yang tidak bisa mencari nafkah sendiri; - Besaran gaji pokok ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan gaji pokok terendah sebesar Rp. 45 perbulan. Sedangkan pegawai yang telah berkeluarga dan mempunyai anak dua atau lebih, gaji pokok ditambah tunjangan keluarga serendahrendahnya Rp. 65 perbulan; - Gaji pokok menganut sistem horisontal, dalam arti tingginya gaji ditentukan oleh masa kerja, dan masa
Pembaruan Birokrasi
lviii Tahun PGP
PGPN 1961
PGPN 1967
PGPS 1977
PGPS 1985
Daftar Isi
PGPS & Prinsip-Prinsip Penggajian kerja dalam pangkat; - Pegawai yang memiliki kecakapan luar biasa atau bekerja rajin sekali dan patut dijadikan teladan diberi penghargaan berupa bonus satu bulan gaji poko atau kenaikan gaji istimewa PP No. 200 Tahun 1961 - Struktur gaji meliputi gaji pokok (terendah Rp.200 dan tertinggi Rp.4.000 atau perbandingan 1:20); - Tunjangan-tunjangan terdiri dari: untuk keluarga meliputi 25 persen dari gaji pokok dan anak 10 persen dari gaji pokok, tunjangan kemahalan umum, jabatan, kemahalan setempat, dan tunjangan lainnya sebagai kompensasi atas resiko pekerjaan. - Prinsip-prinsip lainnya seperti tertuang dalam PGP 1948 PP No.12 Tahun 1967 - struktur gaji meliputi: gaji pokok (terendah Rp.400 dan tertinggi Rp.10.000 atau perbandingan 1:12); - Tunjangan-tunjangan terdiri dari: untuk keluarga meliputi: istri 5 persen dari gaji pokok dan anak 2 persen dari gaji pokok, tunjangan kemahalan daerah, pelaksana, jabatan. PP No.7 Tahun 1977 - jumlah dan perbandingan gaji pokok, (terendah Rp.12.000 dan tertinggi Rp.120.000 atau perbandingan 1:10) - Prinsip-prinsip lainnya seperti tertuang dalam PGPS 1967 Keppres No.15 Tahun 1977 tentang Tunjangan Jabatan Struktural Tunjangan jabatan struktural terendah Rp.10.000 dan tertinggi Rp.120.000 PP No.15 Tahun 1958 - jumlah dan perbandingan gaji pokok, (terendah Rp.33.200 dan tertinggi Rp.265.000 atau perbandingan 1:8); - Prinsip-prinsip lainnya seperti tertuang dalam PGPS sebelumnya. Keppres No.29 Tahun 1985 tentang Perubahan Keppres No.9 Tahun 1977 Tunjangan Jabatan Struktural
Pembaruan Birokrasi
lix
Daftar Isi
Tahun PGP
PGPS 1992
PGPS 1993
PGPS 1997
PGPS & Prinsip-Prinsip Penggajian Tunjangan jabatan struktural terendah Rp.14.000 dan tertinggi Rp.166.000 PP No.51 Tahun 1992 - jumlah dan perbandingan gaji pokok, (terendah Rp.51.000 dan tertinggi Rp.399.200 atau perbandingan 1:7); - Prinsip-prinsip lainnya seperti tertuang dalam PGPS sebelumnya. PP No.15 Tahun 1993 jumlah dan perbandingan gaji pokok, (terendah Rp.78.000 dan tertinggi Rp.537.600 atau perbandingan 1:6); Keppres No.62 Tahun 1993 tentang Tunjangan Jabatan Struktural Tunjangan jabatan struktural terendah Rp.50.000 dan tertinggi Rp.500.000 PP No.6 Tahun 1997 - jumlah dan perbandingan gaji pokok, (terendah Rp.135.000 dan tertinggi Rp.722.500 atau perbandingan 1:5); - Prinsip-prinsip lainnya seperti tertuang dalam PGPS sebelumnya. Surat Edaran Dirjen Anggaran No.SE 32/A/2000 Terhitung 1 April 2000 tunjangan jabatan struktural PNS meningkat rata-rata 10% dengan kenaikan tertinggi 20% untuk pejabatan eselon-II a (semula Rp.250.000 menjadi Rp.500.000) dan terendah 4% untuk pejabat eselon Iva (semula Rp.100.000 menjadi 400.000) serta pejabat eselon Vb (semula Rp.50.000 menjadi Rp.200.000). Tunjangan jabatan struktural tertinggi diberikan kepada pejabat eselon Ia (Rp.9.000.000 sebelumnya Rp.500.000) Keterangan: Ketentuan ini berlaku hanya 2 bulan (April-mei 2000) karena alasan anggaran, maka Dirjen Anggaran mengeluarkan Surat Edaran No.SE-67/A/2000 yang meninjau kembali tunjangan jabatan tersebut. Sejak Juni 2000 rata-rata tunjangan jabatan mengalami penurunan 50%. Tunjangan bagi pejabat eselon Ia menjadi Rp.4.500.000, dan pejabat eselon Vb menjadi
Pembaruan Birokrasi
lx
Daftar Isi
Tahun PGP
PGPS 2001
PGPS & Prinsip-Prinsip Penggajian Rp.120.000. Kedua surat edaran tersebut ditetapkan dalam Keppres No.99 Tahun 2000 tentang Tunjangan Jabatan Struktural - Mula1 1 April 1998 kenaikan 15 persen dari gaji pokok ditambah dengan tunjangan keluarga - Mulai 1 April 1999 seluruh PNS mengalami kenaikan masing-masing Rp. 155.250,- Mulai 1 Oktober 2000 mengalami kenaikan sebesar Rp. 65.000,PP No. 26 Tahun 2001 Perbandingan gaji pokok terendah Rp. 500.000,- dan tertinggi Rp. 1.500.000,- atau perbandungan 1:3
Mengacu pada pilihan tersebut, ada 3 pendekatan yang dapat digunakan dalam kenaikan gaji bagi PNS sebagai berikut (studi kasus tahun 2003, menggunakan data PNS tahun 2002): 1. Skenario I: Kenaikan 25% untuk golongan ruang Ia, IIa, IIIa, IVa; 50% untuk golongan ruang Ib, IIb, IIIb, IVb; 75% untuk golongan ruang Ic, IIc, IIIc, IVc, 100% untuk golongan ruang Id, IId, IIId, IVd; dan 125% untuk golongan IVe. Dengan kenaikan tersebut dibutuhkan dana sebesar Rp. 76,344 trilyun (kebutuhan untuk PNS Pusat sebesar Rp. 18,202 trilyun dan untuk PNS Daerah sebesar Rp. 58,132 trilyun). Gaji terendah untuk skenario ini adalah Rp. 839.188,- dan gaji tertinggi Rp. 3.443.850,2. Skenario II: Kenaikan 50% untuk golongan ruang Ia, IIa, IIIa, IVa; 75% untuk golongan ruang Ib, IIb, IIIb, IVb; 100% untuk golongan ruang Ic, IIc, IIIc, IVc, 125% untuk golongan ruang Id, IId, IIId, IVd; dan 150% untuk golongan IVe.Dengan kenaikan tersebut dibutuhkan dana sebesar Rp. 88,467 trilyun (kebutuhan Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
lxi
PNS Pusat sebesar Rp. 21,121 trilyun dan PNS Daerah sebesar Rp. 67,345 trilyun). Gaji terendah untuk skenario ini adalah Rp. 1.007.025,- dan gaji tertinggi Rp. 3.826.500,3. Skenario III: Kenaikan 75% untuk golongan ruang Ia, IIa, IIIa, IVa; 100% untuk golongan ruang Ib, IIb, IIIb, IVb; 125% untuk golongan ruang Ic, IIc, IIIc, IVc, 150% untuk golongan ruang Id, IId, IIId, IVd; dan 175% untuk golongan IVe. Dengan kenaikan tersebut dibutuhkan dana sebesar Rp. 100,6 trilyun (kebutuhan PNS Pusat sebesar Rp. 24,041 trilyun dan PNS Daerah sebesar Rp. 76,559 trilyun). Gaji terendah untuk skenario ini adalah Rp. 1.174.863,- dan gaji tertinggi Rp. 4.209.150,- (lihat Tabel 4.4 dan Tabel 4.5)
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
lxii
Rp Juta/tahun
(Menurut Golongan) **)
Usulan Peningkatan Gaji Moderat-Realistis *)
Rp Juta/bulan
Skenario 3 (75:100:125:150:175) Rp Juta/tahun
100.600.185
Usulan Gaji
Rp Juta/bulan
8.383.349
4.834.355
Skenario 2 (50:75:100:125:150)
Rp Juta/tahun
88.467.402
402.863
Usulan Gaji
Rp Juta/bulan
7.372.283
4.302.822
Skenario 1 (25:50:75:100:125)
76.334.618
358.568
Usulan Gaji
Jumlah Total
6.361.218
3.771.288
PP 11/2003
Jenis Kepegawaian
3.832.086
314.274
Median Gaji
Jumlah Seluruhnya
237.541
62.337
2.054.615
1.287.542
748.042
1.940.375
1.675.463
1.428.900
190.242
120.707
71.242
2.282.906
1.448.484
854.905
248.060
107.295
20.672 1.250.288
171.218
1.174.863
1.489.300
212.623 641.179
1.746.338
17.719
1.126.599
1.007.025
53.432
1.826.324
177.186
93.883
14.766
1.071.675
152.194
839.188
714.450
1.552.300
1.303.138
671.350
49.858
776.150
744.650
17.595
2. Gol I/b
98.044
72.044
6.602.639
36.402.223
4. Gol I/d
550.220
3.033.519 1.551.113
5.659.405
32.183.304
9.882.744
7.436.716
471.617
619.726
2.681.942 1.329.525
1.873.400
4.716.171
6.507.127
27.964.386
1.107.938
542.261
393.014
886.350
1.639.225
2.330.365
354.726
5.577.537
1.469.231
464.795
1. Gol II/a
1.405.050
12.480.124
936.700
55.898.567
330.803
17.910.929
2. Gol II/b
4.658.214
16.193.972
823.562
1.492.577
1.040.010
1.349.498
2.544.125
1.922.813
2.196.675
48.994.625
2.289.500
8.784.661
15.352.225
11.232.111
4.082.885
14.169.726
732.055
1.279.352
936.009
1.180.810
2.289.713
1.648.125
1.952.600
42.090.683
2.003.313
9.984.099
12.793.521
9.047.449
12.746.216
7.686.579
3.507.557
12.145.479
753.954
1.062.185
832.008
1.066.127
2.685.825
640.548
1.012.123
3.110.500
2.035.300
1.373.438
8.142.704
11.329.970
1.708.525
1.717.125
678.559
944.164
976.300
1.098.750
2.799.450
2.387.400
1.017.650
1.144.750
7.237.959
9.913.724
408.789
776.247
603.163
826.144
374.913
589.429
2.488.400
2.088.975
3. Gol II/c
1. Gol III/a
1.244.200
1.193.700
2. Gol IV/b
1. Gol IV/a
Golongan IV
3.863
15.436
101.004
121.770
1.530.600
1.468.550
1.408.900
1.351.300
1.296.850
3.443.850
2.937.100
2.465.575
2.026.950
1.621.063
1.133
3.342
9.525
31.288
163.734
209.022
13.596
40.109
114.294
375.456
1.964.806
2.508.261
3.826.500
3.304.238
2.817.800
2.364.775
1.945.275
1.259
3.760
10.885
36.503
196.481
248.888
15.107
45.123
130.622
438.032
2.357.767
2.986.650
4.209.150
3.671.375
3.170.025
2.702.600
2.269.488
1.385
4.178
12.246
41.717
229.227
288.753
50.136
146.950
500.608
2.750.728
3.465.039
2.003.544
2. Gol III/b
242.390
395.478
3. Gol IV/c
329
1.138
Golongan III
4. Gol III/d
3. Gol III/c
4. Gol II/d
Golongan II
3. Gol I/c
1. Gol I/a
Golongan I
Tabel 4.4 No.
A.
B.
C.
D.
4. Gol IV/d
16.618
5. Gol IV/e
Sumber: Diolah dari Data Badan Kepegawaian Negara (BKN), 1 Juli 2002
Usulan kenaikan berdasarkan golongan ruang a, b, c, d, dan e tersebut lebih bersifat "proxy" sehingga tidak mutlak yang ingin ditekankan adalah lama kerja PNS yang bersangkutan *)
**)
Pembaruan Birokrasi
lxiii Daftar Isi
PNS Daerah
Total PNS
(Pusat dan Daerah) **)
Usulan Peningkatan Gaji Moderat-Realistis *)
Pusat (Rp)
Daerah (Rp)
Skenario 3 (75:100:125:150:175) Daerah (Rp)
Usulan Gaji
Pusat (Rp)
Skenario 2 (50:75:100:125:150) Usulan Gaji
76.559.193
Daerah (Rp)
24.040.992
Pusat (Rp)
Skenario 1 (25:50:75:100:125) Usulan Gaji
67.345.984
58.132.774
21.121.418
18.201.844
35.114
1.552.300
1.303.138
1.071.675
367.299
256.317
189.609
1.459.025
870.282
451.570
1.746.338
1.489.300
1.250.288
413.211
292.933
221.211
1.641.404
994.608
526.831
1.940.375
1.675.463
1.428.900
2.072.033
1.790.455
8.987.908
459.124
329.550
252.812
5.364.683
4.812.184
27.414.315
1.823.782
1.118.934
602.093
Pusat
Jenis Kepegawaian
924.840
3.718.782
55.653
24.250.420
1.873.400
1.551.113
2.907.246
Jumlah Seluruhnya
1.115.573
990.859
3.311.963
2.905.144
14.744
78.326
7.932.885
4.694.098
4.124.729
1.174.863
173.974
149.120
74.087
63.503
16.391
21.086.524
1.813.029
1.534.676
1.007.025
2. Gol I/b
19.718
6.877.862
1.639.225
1.329.525
866.144
56.108 839.188
3. Gol I/c
1.100.071
4.023.512
3.437.274
181.433
Golongan I 12.340
4. Gol I/d
369.160
1.554.025
1.278.897
124.267
5.255
Golongan II
1.405.050
1.107.938
9.847.473
7.389.975
238.634
2.632.650
2.492.769
258.534
2.544.125
2.196.675
92.169
8.862.726
6.568.867
96.192
2.369.385
2.215.795
2. Gol II/b
2.289.713
1.952.600
13.495.236
43.137.318
7.877.979
12.761.249
5.747.758
4.415.693
2.106.120
3.507.798
1.938.821
1.922.813
2.035.300
37.816.200
2.289.500
1.708.525
11.178.426
11.567.346
322.556
32.495.081
11.100.403
280.347
9.595.602
3.784.880
86.233
1.543.540
3.069.323
94.566
460.004
2.003.313
1.648.125
4. Gol II/d
Golongan III
9.514.631
9.639.455
3. Gol II/c
1. Gol II/a
52.919
1. Gol I/a
Tabel 4.5 No.
A.
B.
C.
2.630.848
3.154.066
12.686.174 1.717.125
1.373.438
6.888.028
10.067.879
461.752
2.159.421
2.678.337
584.874
3.110.500
2.685.825
127.677
6.199.225
8.949.226
191.373
1.943.479
2.380.744
2. Gol III/b
2.799.450
2.387.400
1. Gol III/a
5.510.422
7.830.573
2.288.777
1.727.537
2.033.633
2.083.151
717.095
1.176.262
2.488.400
2.269.488
2.088.975
1.967.401
184.537
1.743.114
312.377
614.652
1.019.249
57.853
1.945.275
83.101
1.452.595
1.646.026
4. Gol III/d
512.210
862.236
3. Gol III/c
1.621.063
74.673
82.202
45.724
194.587
26.331
101.225
306.021
39.568
3.170.025
2.702.600
1. Gol IV/a
40.644
170.264
Golongan IV
89.978
267.768
3.334
11.499
2.817.800
38.638
2.364.775
13.284
35.563
3.671.375
145.940
4.209.150
78.731
3.031
10.349
229.516
12.076
34.774
2.465.575
3.826.500
3.304.238
2.026.950
2.728
9.199
1.202
10.869
30.910
6.000
3.443.850
2.937.100
2.661
66
261
9.436
877
3. Gol IV/c
263
2. Gol IV/b
5. Gol IV/e
4. Gol IV/d
Usulan kenaikan berdasarkan golongan ruang a, b, c, d, e tersebut lebih bersifat "proxy" sehingga tidak mutlak yang ingin ditekankan adalah lama kerja PNS yang bersangkutan
D.
*)
**) Tabel ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran perbandingan kebutuhan dana untuk gaji PNS di Pusat dan di Daerah.
Pembaruan Birokrasi
lxiv
Daftar Isi
Berdasarkan klasifikasi jabatan pegawai negeri sipil, kenaikan gaji dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 4.6 Kenaikan Gaji PNS*) (Menurut Jabatan) No.
A.
B.
C.
Jabatan
Jumlah Total
Gaji
Dana (Juta Rupiah)
Jumlah Seluruhnya
3.8 32.0 8 6
Pendidikan 1. Guru Besar 2. Guru Besar Madya 3. Lektor Kepala 4. Lektor Kepala Madya 5. Lektor 6. Lektor Madya 7. Lektor Muda 8 . Asisten Ahli 9. Asisten Ahli Madya 10 . Guru TK **) 11. Guru SD **) 12. Guru SLTP **) 13. Guru SLTA **)
1.48 6.0 8 7 145 191 8 59 2.370 6.546 8 .793 13.113 10 .40 8 16.549 26.68 5 1.0 15.357 245.599 139.472
6.50 0 .0 0 0 6.0 0 0 .0 0 0 5.50 0 .0 0 0 5.0 0 0 .0 0 0 4.50 0 .0 0 0 4.0 0 0 .0 0 0 3.50 0 .0 0 0 3.0 0 0 .0 0 0 2.50 0 .0 0 0 4.0 0 0 .0 0 0 4.0 0 0 .0 0 0 4.50 0 .0 0 0 4.750 .0 0 0
73.651.674 11.310 13.752 56.694 142.20 0 353.48 4 422.0 64 550 .746 374.68 8 496.470 1.28 0 .8 8 0 48 .737.136 13.262.346 7.949.90 4
3.98 2 123 8 54 1.577 1.428
5.50 0 .0 0 0 4.50 0 .0 0 0 3.50 0 .0 0 0 2.50 0 .0 0 0
163.30 8 8 .118 46.116 66.234 42.8 40
174.453 324 1.90 0 11.669 59.0 48 10 1.512
17.50 0 .0 0 0 9.50 0 .0 0 0 5.50 0 .0 0 0 3.50 0 .0 0 0 2.50 0 .0 0 0
6.58 0 .170 68 .0 40 216.60 0 770 .154 2.48 0 .0 16 3.0 45.360
Penelitian 1. Ahli Peneliti 2. Peneliti 3. Ajun Peneliti 4. Asisten Peneliti Struktural 1. Eselon I 2. Eselon II 3. Eselon III 4. Eselon IV 5. Eselon V
D.
Kesehatan (Medis/Paramedis) **)
D.
Fungsional Lainnya **)
194.445.60 0
292.0 57
5.250 .0 0 0
18 .399.591
1.8 75.50 7
4.250 .0 0 0
95.650 .8 57
*) Sumber: Badan Kepegawaian Negara (BKN), 1 Juli 20 0 2 **) Median gaji (Y= Y1+ Yn/2), secara umum gaji terendah Rp. 1,5 juta dan tertinggi Rp. 17,5 juta (1;11)
Pembaruan Birokrasi
lxv
Daftar Isi
Sedangkan yang berkaitan dengan pegawai negeri dari TNI dan Polri, peningkatan gaji dapat diusulkan sebagai berikut : Tabel 4.7
Jumlah Personil TNI dan POLRI dan Peningkatan Penggajian No. A.
B.
Personil *)
Jumlah
Gaji
Dana (Juta Rp.)
TNI Angkatan Darat **) Angkatan Udara **) Angkatan Laut **)
337.485 261.173 24.194 52.118
9.000.000 9.000.000 9.000.000
36.448.380 28.206.684 2.612.952 5.628.744
POLRI Tamtama **) Bintara **) Perwira **)
258.966 43.744 186.453 28.769
4.250.000 6.250.000 14.250.000
21.134.418 2.230.944 13.983.975 4.919.499
Jumlah Total
596.451
57.582.798
*) Happy B. Zulkarnaen, TNI dan Perubahan Masyarakat. Pikiran Rakyat, 7 Oktober 2002. **) Median gaji (Y=Y1+Yn/2), secara umum gaji terendah Rp. 1,5 juta dan tertinggi Rp. 17,5 juta (1;11)
2.3. Alternatif Ideal (Rasionalisasi & Kompensasi) Untuk melakukan perbaikan yang serius dalam mengatasi produktivitas PNS sebagaimana pernah dikeluhkan Presiden Megawati, maka upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas PNS
Pembaruan Birokrasi
lxvi
Daftar Isi
menjadi pilihan yang tidak bisa ditunda. Tidak dapat dipungkiri bahwa efisiensi dan efektivitas PNS merupakan masalah krusial dalam menata PNS sehingga banyak jenis pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan seorang saja, namun dalam praktiknya dikerjakan oleh banyak pegawai sehingga menyebabkan pengangguran terselubung. Kondisi tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi apabila PNS tersebut mampu menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri (kreatif). Keterbatasan kemampuan untuk menciptakan pekerjaan tidak akan dialami oleh orang-orang yang mempunyai etos kerja yang tinggi dan ditunjang oleh kompetensi yang memadai. Sedikitnya ada tiga masalah mendasar dalam penataan PNS saat ini, yaitu: (1) jumlah yang terlalu besar dibandingkan dengan beban pekerjaan yang ada sehingga terjadi pengangguran terselubung; (2) rendahnya etos kerja akibat tidak tersedianya pola insentif yang memadai; (3) rendahnya kompetensi PNS sebagai akibat pola rekruitmen yang tidak memenuhi standar merit. Berdasarkan kenyataan tersebut maka alternatif untuk memberikan peningkatan gaji saja jelas tidak cukup, bahkan berpotensi tidak memenuhi prinsip keadilan, di mana rendahnya produktivitas sebagian PNS bukannya mendapat punishment justru mendapat reward dalam bentuk kenaikan gaji. Pilihan yang tepat adalah menata ulang struktur PNS yang ada melalui restrukturisasi yang berisikan pilihan-pilihan dengan konsekuensi keuntungan ataupun kerugian yang akan diterima PNS yang didasarkan pada kerelaan dan kesadaran. Mengacu kepada laporan Kementrian Pendayagunan Aparatur Negara (PAN), maka sedikitnya (moderat) kita bisa mengambil 1,5 juta PNS (40 persen) yang akan dirasionalisasi. Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
lxvii
Kotak 4.1 Menurut Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), sekitar 60% dari lebih kurang 4 juta Pegawai Negeri Sipil (PNS) dinilai tidak berkualitas, tidak produktif, dan tidak profesional hingga perlu dilakukan berbagai perbaikan (24 September 2002).
Pelaksanaan rasionalisasi dapat dilaksanakan dengan cara menawarkan terlebih dahulu beberapa pilihan yang harus diambil oleh para PNS. Sedikitnya ada tiga pilihan untuk PNS dalam program rasionalisasi, yaitu: (1) untuk yang masih mau melanjutkan karier sebagai PNS diharuskan uji kompetensi sehingga sesuai antara penempatan dan kemampuan; (2) untuk PNS yang memiliki keterbatasan ditawarkan untuk memilih pensiun dini dengan kompensasi yang ‘memadai’; apabila pilihan ini tidak diambil dan tidak lulus dalam uji kompetensi maka PNS tersebut akan dipensiundinikan tanpa kompensasi. Dengan alternatif tersebut, tindakan selanjutnya adalah menerapkan sistem merit yang ditunjang dengan pola insentif dan disinsentif secara tegas dan terukur. Alternatif diatas akan berimplikasi pada peningkatan kebutuhan belanja pegawai yang berlipat: (1) untuk membayar kompensasi PNS yang pensiun atau dipensiunkan dini; dan (2) untuk menambah kenaikan gaji PNS pasca rasionalisasi.
Pembaruan Birokrasi
lxviii
Daftar Isi
PILIHAN RASIONALISASI I (40%) Untuk membiayai kompensasi PNS yang dirasionalisasi sebesar 40 persen PNS (1,5 juta), ada tiga skenario yang dapat diambil, yaitu: 1. Skenario 1 (skenario minimal): Kompensasi terendah sebesar Rp. 25 juta dan kompensasi tertinggi adalah Rp. 90 juta. Untuk kompensasi skenario ini dibutuhkan dana sebesar Rp. 83,2 trilyun. 2. Skenario 2 (skenario moderat): Kompensasi terendah sebesar Rp. 50 juta dan tertinggi sebesar Rp. 110 juta. Untuk skenario ini dibutuhkan sedikitnya dana sebesar Rp. 116,5 trilyun. 3. Skenario 3 (skenario ideal): Kompensasi terendah sebesar Rp. 60 juta dan tertinggi sebesar Rp. 200 juta. Untuk skenario ini dibutuhkan sedikitnya dana sebesar Rp. 182,3 trilyun. Dengan demikian, dibutuhkan dana sebesar (1) Rp. 199,9 trilyun untuk kenaikan gaji PNS dan dana kompensasi skenario 1; (2) Rp. 233,1 trilyun untuk kenaikan gaji PNS dan dana kompensasi skenario 2; (3) Rp. 298,9 trilyun untuk kenaikan gaji PNS dan dana kompensasi skenario 3.
PILIHAN RASIONALISASI II (20%) Jika rasionalisasi I sulit dilakukan karena dikhawatirkan berdampak social yang relatif besar,maka dapat dilakukan optimalisasi sebagian PNS melalui realokasi. Pilihan ini tetap melakukan rasionalisasi tetapi besarannya lebih rendah yaitu setengahnya atau 20 persen saja yang dipensiundinikan. Untuk membiayai kompensasi PNS yang dirasionalisasi sebesar 20 persen PNS (7,6 juta), ada tiga skenario yang dapat diambil, yaitu: 1. Skenario 1 (skenario minimal): Kompensasi terendah sebesar Rp. 25 juta dan kompensasi tertinggi adalah Rp. 90 juta. Untuk Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
lxix
kompensasi skenario ini dibutuhkan dana sebesar Rp. 41,6 trilyun. 2. Skenario 2 (skenario moderat): Kompensasi terendah sebesar Rp. 50 juta dan tertinggi sebesar Rp. 110 juta. Untuk skenario ini dibutuhkan sedikitnya dana sebesar Rp. 58,3 trilyun. 3. Skenario 3 (skenario ideal): Kompensasi terendah sebesar Rp. 60 juta dan tertinggi sebesar Rp. 200 juta. Untuk skenario ini dibutuhkan sedikitnya dana sebesar Rp. 91,1 trilyun. Dengan demikian, dibutuhkan dana sebesar (1) Rp. 197,1 trilyun untuk kenaikan gaji PNS dan dana kompensasi skenario 1; (2) Rp. 213,8 trilyun untuk kenaikan gaji PNS dan dana kompensasi skenario 2; (3) Rp. 246,6 trilyun untuk kenaikan gaji PNS dan dana kompensasi skenario 3. Rasionalisasi tidak cukup hanya dengan merasionalkan jumlah pegawai tetapi dibutuhkan pula ‘merasionalkan’ beban kerja dan kompensasi dalam bentuk gaji. Oleh karena itu, peningkatan gaji PNS merupakan suatu keniscayaan jika ingin meningkatkan produktivitas PNS. Dengan jumlah PNS yang telah dirasionalisasikan (20% dan 40%) dan mengacu pada model ideal gaji tertinggi-terendah-nya Badan Kepegawaian Negara (BKN), yaitu 1:10 dengan gaji minimal sesuai hasil beberapa studi tentang kelayakan dan perbandingan dengan swasta/BUMN, maka kedua pilihan rasionalisasi tersebut telah dapat mengalokasikan gaji yang cukup ideal, yaitu terendah Rp. 1,6 juta dan tertinggi Rp. 16,5 juta. Kedua pilihan di atas membutuhkan dana yang relatif besar, kebutuhan dana yang sedemikian besar tersebut dalam jangka panjang secara ekonomi, sosial dan budaya bangsa “relatif murah” Pembaruan Birokrasi
lxx
Daftar Isi
dibandingkan dengan kerusakan yang dasyat dan massif akibat rendahnya gaji dan terlalu besarnya jumlah PNS sehingga memberikan ruang yang luas untuk korupsi secara bersama-sama sehingga menjadi ‘budaya’. Dalam konteks kepentingan bangsa ke depan biaya tersebut jelas lebih sedikit daripada biaya yang harus ditanggung akibat budaya korupsi.
2.4. Peningkatan Gaji dan Target Pemberantasan Korupsi Korupsi diibaratkan sebagai penyakit menular yamg memiliki dampak sangat buruk terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Korupsi merupakan segala bentuk penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan dengan tujuan untuk memperkaya diri atau kalangan sendiri –yang sangat dirahasiakan terhadap pihakpihak lain di luar kalangan sendiri itu, dalam garis besarnya sebagai berikut: 1. Buruknya efisiensi organisasi dan efisiensi perekonomian yang berdampak pada merosotnya daya saing. 2. Buruknya distribusi sumber daya nasional dalam segala bentuknya yang berakibat pada mencoloknya kesenjangan sosial. 3. Buruknya insentif untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan produktif karena terdorong untuk mencari jalan pintas. 4. Buruknya hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang berakibat pada meluasnya sikap apatis atau meningkatnya instabilitas politik. Pemberantasan korupsi harus ditargetkan tidak hanya mencegah berlanjutnya korupsi tetapi sekaligus dapat mengubah prilaku aparat birokrasi dari pro-korupsi menjadi insan terpercaya (amanah).
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
lxxi
Sebagai gambaran dalam mencapai target tersebut, pengalaman Filipina dalam pemberantasan korupsi bisa kita rujuk. Direktorat Perpajakan Filipina, Robert Klitgaard (1998) menawarkan tiga hal sebagai komponen utama strategi penanggulangan korupsi yang efektif: 1. Penetapan sebuah sistem evaluasi kinerja yang baru dalam instansi pemerintah. Tujuannya untuk menumbuhkan orientasi positif dalam melakukan pekerjaan, yaitu sebagai lawan dari ketidakjelasan orientasi yang menyebabkan tumbuh sumburnya korupsi. Sebagaimana dikatakan Klitgaard merajalelanya korupsi seringkali tidak dapat dipisahkan dari ketidakjelasan orientasi dalam melakukan suatu pekerjaan. Agar pelaksanaan suatu pekerjaan memiliki orientasi positif, pemberian insentif dalam melaksanakan pekerjaan harus secara tegas dikaitkan dengan pencapaian tingkat prestasi kerja tertentu. 2. Pengumpulan informasi sebanyak-banyaknya tentang korupsi. Tujuannya tidak hanya untuk mengenali jenis-jenis korupsi yang parah pada instansi itu, tetapi sekaligus untuk mencegah berlanjutnya perbuatan tersebut. Ketika para karyawan suatu instansi pemerintah mengetahui bahwa praktik korupsi yang biasa mereka lakukan mulai memiliki resiko untuk diketahui, perbuatan itu biasanya cenderung berkurang. Untuk mendukung tindakan ini, perlu dibentuk sebuah tim yang benar-benar dapat dipercaya. 3. Menghukum dengan segera pejabat/aparatur yang korup. Tujuannya untuk memberi contoh bahwa korupsi benar-benar akan diperangi. Penanggulangan korupsi yang dimulai dari bawah akan menyebabkan bertahannya korupsi di tingkat yang lebih tinggi. Selama korupsi di tingkat yang lebih tinggi masih terus berlangsung, selama itu pula korupsi di tingkat yang lebih rendah akan kambuh kembali
Pembaruan Birokrasi
lxxii
Daftar Isi
3. Pilihan Pembiayaan untuk Restrukturisasi Penggajian (Alternatif Moderat dan Ideal)
Sistem
Persoalan dalam pembiayaan restrukturisasi sistem penggajian ini terletak pada: 1. Kemampuan keuangan negara. Alasan ini juga harus didukung dengan transparasi keuangan negara. Transparansi ini dibutuhkan untuk mengoptimalkan kemampuan anggaran dari berbagai potensi penyimpangan anggaran PBN. 2. Potensi uang negara yang hilang akibat penyalahgunaan dan penyimpangan di berbagai sektor dan bidang kehidupan. Hal-hal di atas sangat dibutuhkan untuk mendukung perhitungan yang tepat dalam mengalokasi keuangan negara untuk peningkatan penggajian pegawai negeri. Selain itu dengan mengetahui secara persis alokasi keuangan negara dalam pos-pos yang berkaitan dengan penggajian juga akan memudahkan dalam membuat strategi penerapan program restrukturisasi penggajian. Kenaikan gaji PNS akan sangat berpengaruh pada alokasi anggaran APBN secara keseluruhan. Dalam kasus di Indonesia, jumlah PNS dinilai terlalu banyak sehingga sedikit saja kenaikan gaji langsung berdampak luas pada anggaran negara. Karena itulah ketika Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) pada bulan Maret 2003 mengusulkan rasionalisasi dengan mengurangi jumlah PNS -khususnya aparat birokrasi- sambil menaikkan gajinya secara signifikan kandas ditolak Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan karena berimplikasi kebutuhan dana yang sangat besar, yaitu dana kompensasi pensiun yang bersamaan dengan dana tambahan untuk kenaikan gaji sehingga membutuhkan dana yang sangat besar.
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
lxxiii
Jika pilihannya salah satu dulu, misalnya kenaikan gaji saja maka kenaikan tidak akan terlalu besar. Meskipun tetap ada kenaikan yang akan berpengaruh terhadap APBN secara keseluruhan. Maka disinilah perlu adanya political will untuk menjadikan dana kenaikan gaji PNS sebagai prioritas untuk meningkatkan efektivitas pelayanan publik. Lalu dari manakah dana untuk kenaikan gaji PNS itu akan diambil? Tidak mudah untuk menjawab persoalan pelik ini, mengacu pada saran dari para pakar ekonomi, yaitu menghapus belanja rutin dan belanja pembangunan yang tidak perlu. Para perencana mahfum betul, mana dana siluman dan mana dana titipan dalam anggaran pembangunan, demikian pula orang pemerintah yang bergelut di bidang pengolahan anggaran tahu persis dan hapal di luar kepala pos-pos mana saja dan jenis-jenis pengeluaran apa saja yang bisa dipotong. Berdasarkan asumsi tersebut ada beberapa skenario yang dapat dimaksimalkan untuk dana kenaikan gaji PNS, yaitu: Pertama, optimalisasi anggaran rutin APBN dan APBD dengan cara memfokuskan alokasi rutin untuk gaji pegawai, sedikitnya 60 persen belanja pegawai dapat dimaksimalkan untuk gaji PNS setelah dikurangi: gaji TNI-POLRI, pensiun, dan belanja pegawai lainnya. Demikian halnya dengan alokasi belanja barang, sedikitnya dapat dihemat sebesar 70 persen karena belanja barang dalam dan luar negeri ini juga akan muncul dalam ATK di proyek. Dengan demikian dperoleh dana sebesar Rp. 46,6 trilyun. Dana tersebut dapat ditingkatkan dengan memaksimalkan sedikitnya 75 persen dari alokasi belanja pegawai dan barang di APBD, yaitu sebesar Rp. 52,1 trilyun.
Pembaruan Birokrasi
lxxiv
Daftar Isi
Kedua, optimalisasi alokasi anggaran pembangunan dengan meminimalisir alokasi titipan dan alokasi siluman sehingga pengurangan anggaran pembangunan tidak mengurangi target pencapaian pembangunan. Berdasarkan perhitungan dari Rekapitulasi DIP TA 2003, sedikitnya 22 persen atau sebesar Rp. 15 trilyun dari alokasi pembangunan merupakan komponen gaji/upah dan perjalanan baik yang di Administrasi proyek maupun di kegiatan non-fisik. Dengan penghematan tersebut, sedikitnya terdapat dana sebesar Rp. 113,7 trilyun yang dapat dialokasikan untuk peningkatan gaji PNS. Sedangkan untuk merealisasikan gagasan alternatif ideal (rasionalisasi dan kompensasi), upaya yang bisa dilakukan untuk kebutuhan dana tersebut, sedikitnya ada beberapa alternatif, yaitu: Pertama, mengekstensifkan perpajakan (tax ratio), dengan meningkatkan jumlah wajib pajak (dari 2 juta obyek pajak baru 600 ribu yang terdaftar) dan memaksimalkan potensi pengemplangan pajak selama 10 tahun terakhir sebesar Rp. 131 trilyun. Tabel 4.8 *)
PENGGELAPAN PAJAK TA 2003 No. 1 2 3 4 5 6 *)
Objek pajak 2 Juta Wajib Pajak 17.348 Laporan Audit 83 Juta PBB 6.000 Mebil Mewah 40.000 Transaksi LN
Terdaftar menjadi Wajib Pajak 600.000 Objek Pajak 1.900 Laporan Audit 3 Juta PBB 250 Mobil Mewah Tidak Ada
Bisa dimaksimalkan 1,4 Juta Objek Pajak 15.448 Belum laporan Audit 80 Juta PBB 5.750 Mobil Mewah 40.000 Transaksi LN Rp. 131 Trilyun Pengemplangan
Sumber: Ditjen Pajak
Pembaruan Birokrasi
lxxv
Daftar Isi
Kedua, meningkatkan efisiensi besar-besaran anggaran pemerintah, baik rutin maupun pembangunan. Dari dana efisiensi tersebut sedikitnya diperoleh dana sebesar Rp. 113,7 trilyun. Ketiga, dengan memperhitungkan skenario tertinggi dari kedua alternatif rasionalisasi, yaitu sebesar Rp. 246,6 trilyun (untuk pilihan 20 persen) dan Rp. 298,9 trilyun (untuk pilihan 40 persen) maka masih dibutuhkan dana sebesar Rp. 1,9 trilyun (untuk rasionalisasi 20 persen) dan sebesar Rp. 54,2 trilyun (untuk rasionalisasi 40 persen). Dana tersebut relatif kecil dibandingkan ongkos yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat akibat massif-nya korupsi birokrasi di berbagai bidang. Bintoro (1995) mengatakan bahwa gaji yang rendah seringkali bukan penghematan, tetapi merupakan tambahan beban karena produktivitas kerja rendah. Tabel 4.9
POTENSI PERIKANAN INDONESIA*) No.
Potensi Perikanan
Besaran
1 2 3 4 5 6
Ikan yang termanfaatkan Ikan yang bisa dimanfaatkan Ikan yang hilang (illegal fishing) Perikanan tangkap Perikanan budidaya Devisa perikanan
4,2 juta ton/tahun (59,53%) 5 juta ton/tahun (85%) USD 2 - 4 milyar/tahun USD 1,4 milyar USD 1,83 milyar USD 3,2 milyar (3,3 %terhadap PDB)
*)
Ekuivalen (Rp.)
25.500.000.000.000 11.900.000.000.000 15.555.000.000.000 27.200.000.000.000
Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan
Pembaruan Birokrasi
lxxvi
Daftar Isi
Tabel 4.10 Jumlah uang yang disia-siakan setiap tahunnya No 1 2 3
Item Ikan, pasir, dan kayu yang dicuri (senilai USD 9 milyar, kurs Rp.8.500 per dollar) Pajak yang dibayar oleh pembayar pajak tetapi tidak masuk ke kas negara *) Subsidi bank rekap yang tidak perlu (untuk 10 bank per 31 Desember 2002) Jumlah
Jumlah Rp. 76,5 trilyun Rp. 215 trilyun Rp. 14 trilyun Rp. 305,5 trilyun
*) Kebocoran pajak terdiri dari tiga komponen, yaitu: 1. Wajib pajak tidak membayarkan angsuran pajak bulanan sepenuhnya yang dihitung dengan cara self assesement. 2. Maka pejabat pajak pada akhir tahunnya mengkoreksi dengan mengenakan tambahan pembayaran oleh Wajib Pajak. Angka yang ditentukan masih saja lebih kecil dibandingkan yang harus dibayarkan sebagaimana mestinya. 3. Jumlah yang sudah lebih kecil ini sebagai kesepakatan antara Wajib Pajak dan pejabat pajak, oleh pejabat pajak hanya sebagian saja yang disetorkan ke Kas Negara. Ini dialami oleh hampir seluruh Wajib Pajak, yaitu kwitansi pembayaran pajak final yang dikeluarkan oleh Kas Negara lebih kecil dari yang dibayarkan kepada pejabat pajak. sumber: Kwik Kian Gie, Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan, dan Keadilan (Edisi Kedua, 2003)
4. Penerapan Hukum (Law Enforcement) terhadap Perilaku Penyimpangan Aparatur Negara Penerapan hukum harus berlaku pada seluruh elemen birokrasi dan lembaga negara. Dari segi penyusunan kebijakan yang terkait dengan upaya mewujudan pemerintahan yang bersih dan efektif terbilang produktif. Ketentuan lama banyak yang dicabut atau setidaknya direvisi, puluhan peraturan perundang-undangan dikeluarkan, termasuk TAP/MPR hingga Surat Edaran.
Pembaruan Birokrasi
lxxvii
Daftar Isi
Tabel 4.11 Produk Peraturan yang berkaitan dengan Perilaku Penyimpangan Aparatur Negara Institusi MPR
Produk Peraturan Tap MPR No. XI/MPR/1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
DPR dan Pemerintah
Undang-undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998
UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Kekuatan dan Pengaruh 1. Berpotensi menjatuhkan Presiden dari kursi kekuasaan, dengan alasan melanggar haluan negara; 2. TIdak bisa diubah oleh eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan. 1. Proses pengajuan gugatan dan penyelesaiannya sangat singkat. 2. Pihak yang berhak mengajukan gugatan lebih jelas; 3. Ada mekanisme perdamaian yang lebih adil. 1. Mengukuhkan secara formal bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai tindak pidana; 2. Menerima prinsip-prinsip good governance sebagai bagian dari norma hukum; 3. Membentuk Komisi Pemeriksa terhadap eksekutif, legistatif dan yudikatif.
Pembaruan Birokrasi
lxxviii
Daftar Isi
UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU No. 36 Tahun 2000 Tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas UU No. 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU no 8 Tentang PokokPokok Kepegawaian, Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri UU No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
1. Mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum yang bisa terkena pasal korupsi; 2. Memasukan ancaman hukuman mati; 3. Ancaman hukuman atas penggelapan meningkat; 4. Hadiah dan janji terkena Pidana; 5. Ahli waris koruptor (meski belum sempat diputus bersalah) tetap kena gugatan; 6. Masyarakat bisa berperan aktif dalam proses klarifikasi adanya tindak pidana korupsi. 1. Memberi insentif yang lebih besar peda investor asing; 2. Hak-hak dan prosedur yang lebih jelas bagi pengusaha di Kawasan Perdagangan Bebas 1. Presiden tidak lagi dominan mengatur kewenangan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri; 2. Jenjang karir memakai pola tertutup. 1. Keleluasan menggali sumber-sumber pendapatan negara lebih terbuka; 2. Prosedur penyelesaian sengketa perpajakan lebih adil.
Pembaruan Birokrasi
lxxix
Daftar Isi
Pemerintah
PP No. 65 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara
PP No. 66 Tahun 1999 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa PP No. 67 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa PP No. 68 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara PP No. 96 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
1. Ada standarisasi mutu pemeriksaan; 2. Komisi Pemeriksa berhak meneliti jumlah, jenis, dan asal-usul kekayaan penyelenggara negara; 3. Tidak hanya berhak tapi seluruh penyelengara negara wajib melaporkan kekayaannya kepada Komisi Pemeriksa; 4. Pihak Komisi Pemeriksa mesti mengumumkan hasil kerjanya kepada masyarakat; 5. Laporan penyelenggara negara berstatus sebagai alat bukti di muka pengadilan. 1. Terbebas dari unsur eksekutif –minimal mereka mesti cuti jika menjadi anggota Komisi Pemeriksa; 2. Ada jaringan kerja Komisi Pemeriksa ke Daerah. 1. Membentuk jadwal kerja yang pasti dan ketat atas kinerja Komisi Pemeriksa.
1. Merinci prosedur dan batasan peran masyarakat dalam memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. 1. Merampingkan porsi pengisi jabatan petinggi eksekutif di Pusat; 2. Kepastian berstatus pegawai negeri sipil yang pendek.
Pembaruan Birokrasi
lxxx
Daftar Isi
PP No. 97 Tahun 2000 Tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil
PP No. 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil
Inpres No. 7 Tahun 1999 Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Inpres No. 9 Tahun 1999 Tentang Penerbitan Rekening Departemen/ Lembaga Pemerintah Non Departemen
1. Ada pemisahan yang tegas antara formasi pegawai negeri sipil pusat dan daerah, temasuk urusan anggarannya; 2. Kebutuhan formasi memiliki standar baku yang rinci; 3. Bahkan ada detil fomulanya. 1. Membatasi penambahan PNS; 2. Ada tahap perekrutan yang terukur; 3. Tak ada penambahan yang berlaku surut; 4. Terpisah dari partai politik. 1. Memaksa Menteri, petinggi TNI, Gubernur, hingga Walikota untuk menyusun rencana kerja dan mempertanggungjawabkan tingkat perealisasiannya setiap tahun. 1. Mengkoordinasikan rekening berbagai Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen di satu atap; 2. Menghendaki pelaporan bulanan/ rekening.
(Diolah dari berbagai sumber)
Saat ini yang diperlukan adalah pelaksanaan yang tegas tanpa ‘pandang bulu’. Pelaksanaan tersebut antara lain tindakan segera dan sistematis dalam restrukturisasi struktur kepegawaian dan penggajian, administrasi pelaporan penggunaan keuangan negara diperketat. Di sisi kebijakan hukum diperlukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang memperberat ancaman hukum atas pelaku tindak pidana korupsi hingga hukuman mati. Sebagai Pembaruan Birokrasi
lxxxi
Daftar Isi
fakta pemberantasan korupsi di manca negara, berikut informasi aktual tentang penghukuman mati pelaku korupsi.
Kotak 4.2 Koruptor Cina disuntik Mati Hu Qineng, seorang pejabat China yang dituduh melakukan korupsi terbesar, telah dieksekusi dengan suntikan maut. Demikian diberitakan media kantor berita Cina, Xinhua, Rabu (29/10). Hu diputus bersalah karena mengorup dana sebesar 1,44 juta dollar AS. Hu Xineng dieksekusi hari Selasa (28/10) dengan suntikan yang mematikan setelah Mahkamah Agung Cina memperkuat tuduhan bahwa dia bersalah dengan menggelapkan dana 11,91 juta yuan (1,44 juta dollar AS). Kasus itu dinilai sebagai skandal korupsi terbesar di Kota Chongqing sejak komunis berkuasa tahun 1949 lalu. Hu menggunakan kekuasaan dan posisinya – sebagai kepala sebuah badan pemerintah yang bertugas mengimpor pupuk– untuk memperkaya diri. Selama menjabat sebagai Manajer Umum Chongqing Municipal Corporation for Agricultural Means of Production periode 1996-1999, Hu berkali-kali menjual kembali pupuk dengan harga yang lebih tinggi. Dia juga dituduh menjual jatah pupuk untuk kota Chongqing ke kota-kota lainnya. Di bawah sistem perekonomian China yang memutuskan jatah pupuk yang dialokasikan ke kelompok petani dan jumlah yang diimpor adalah pemerintah, bukan rakyat. (Kompas, 30 Oktober 2003)
5. Pencapaian Tata Governance)
Pemerintahan
yang
Baik
(Good
Berbagai hasil survei tentang korupsi dan daya saing bangsa semakin merendahkan indeks good governance di Indonesia dan menegaskan bahwa good governance masih sebatas angan-angan. Semua data tersebut merupakan formulasi dari kenyataan yang dihadapi banyak pihak terhadap citra negatif birokrasi, bukan saja pengusaha tetapi juga publik sebagai masyarakat pengguna yang Pembaruan Birokrasi
lxxxii
Daftar Isi
telah memberikan investasinya melalui pajak. Padahal tata pemerintahan adalah sistem yang dibangun dari tiga pilar, baik di kalangan pengusaha (masyarakat bisnis), pemerintahan dan masyarakat sipil. Dukungan rakyat (masyarakat sipil) dan masyarakat bisnis (dunia usaha) sangat dibutuhkan sebagai pilar penting mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Dalam mengawasi jalannnya proses pembaruan birokrasi, kedua pilar tersebut juga harus memberikan harapan dengan turut andil untuk tidak mendukung kemungkinan praktik-praktik penyimpangan. Untuk mendapatkan dukungan masyarakat sipil dan masyarakat bisnis tersebut, birokrasi harus memberikan kinerja pemerintahan yang baik sebagai legitimasi substantif.
Pembaruan Birokrasi
lxxxiii
Daftar Isi
Bab – V Kesimpulan dan Rekomendasi Tidak ada resep yang pasti bisa dipakai digunakan untuk pembaruan. Yang dibutuhkan dalam pembaruan adalah strategi. Kesimpulan (1) Pembaruan birokrasi harus dilakukan secara terpilih, terukur dan bertahap. Terpilih berarti menseleksi hal-hal apa yang perlu diperbarui dan hal-hal apa yang perlu diperkuat. Terukur berarti dilakukan dengan indikator atau paramater yang jelas. Bertahap berarti dimulai dari parameter yang memungkinkan berhasil untuk melangkah ketahap selanjutnya. Dalam hal ini restrukturisasi sistem kepegawaian dan penggajian serta dukungan penegakan hukum yang tegas menjadi parameternya. (2) Pembaruan birokrasi dapat mencakup berbagai hal dalam aspek-aspek kelembagaan (organisasi) menyangkut fungsionalstruktural, aspek ketatalaksanaan (sistem kerja) menyangkut manajemen strategis dan manajemen operasional, serta aspek sumber daya manusia (aparatur) menyangkut rekrutmen, pengembangan, kesejaheraan, sangsi dan penghargaan.
Pembaruan Birokrasi
lxxxiv
(3)
Daftar Isi
Pemberantasan korupsi sebagai suatu agenda penting pembaruan birokrasi akan berhasil secara berkelanjutan bilamana mencakup tidak hanya aspek represif (penegakan hukum) tetapi sekaligus aspek edukatif dan aspek preventif berupa pernyempurnaan sistem kepegawaian dan penggajian.
(4) Pembaruan birokrasi harus dilandasi oleh pembaruan di bidang politik. Pembaruan politik berkenaan dengan perubahan pada tatanan pembuatan keputusan politik/kebijakan publik, sedangkan pembaruan birokrasi menyangkut perubahan pada tatanan pelaksanaan keputusan politik/kebijakan publik. Pembaruan birokrasi akan merubah birokrasi dari yang bertumpu pada pengendalian dan penguasaan menjadi birokrasi yang bertumpu pada pemberdayaan, fasilitasi dan pelayanan. Secara keseluruhan pembaruan yang kita harapkan adalah perubahan sistem dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan yang signifikan dalam efektivitas, efisiensi, dan berdaya untuk melakukan inovasi. Perubahan ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan organisasi pemerintah. (5) Pembaruan birokrasi dalam masa transisi menuju sistem politik demokrasi ini harus bisa memisahkan antara pejabat politik dengan pejabat birokrasi sebagai prioritas program pembaruan birokrasi. Untuk itu pemetaan kembali jabatan politik dan jabatan birokrasi merupakan prioritas program pembaruan birokrasi. Jabatan politik berkaitan dengan pengambilan keputusan politik/kebijakan publik serta diskresi (kewenangan) eksekutif. Jabatan birokrasi berkaitan dengan implementasi operasional dan teknis dari keputusan politik/kebijakan publik. Pejabat politik (eksekutif) terdiri dari pejabat politik yang Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
lxxxv
dipilih (presiden/wakil presiden, kepala daerah/wakil kepala daerah) dan pejabat politik yang diangkat seperti anggota kabinet dan sebagainya. Pejabat politik dalam sistem politik demokrasi harus dimaknai mereka yang berproses dalam kegiatan politik, baik yang dipilih maupun yang diangkat karena kepercayaan politik. Pejabat birokrasi dalam sistem politik demokrasi mereka yang berproses sebagai birokrat profesional, terlepas dari proses perubahan politik yang silh berganti. Pejabat birokrasi dilakukan berdasarkan mereka yang mempunyai kompetensi manajemen operasional dan teknis, non politis, yang diangkat sebagai pejabat birokrasi sesuai norma birokrasi. (6) Pembaruan birokrasi dalam masa transisi menuju sistem politik demokrasi ini harus bisa memberikan prioritas kinerja kepada publik berupa perbaikan pelayanan publik yang diawali dengan penetapan dan penerapan standar pelayanan publik yang langsung dapat dirasakan rakyat sebagai perbedaan yang signifikan dari sistem sebelumnya. (7) Pelayanan publik mencakup hal-hal sebagai berikut: Pada lapis pertama berupa administrasi kependudukan, keamanan dan ketertiban, pendidikan dan kesehatan. Pada lapis kedua hal-hal yang berkaitan dengan fasilitasi kegiatan rakyat seperti perijinan dan semacamnya. Dan, pada lapis ketiga hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan kreativitas rakyat seperti fasilitas kegiatan publik, temasuk pelayanan untuk mendorong inovasi, dan sebagainya. (8) Standar pelayanan publik harus mencakup setidaknya tiga hal: pelayanan yang diberikan, sanksi kegagalan pelayanan, mekanisme komplain. Standar pelayanan publik harus Pembaruan Birokrasi
lxxxvi
Daftar Isi
menyediakan standar minimum pelayanan publik dan standar dinamis pelayanan publik. (9) Untuk menjalankan pembaruan birokrasi beberapa problem pembaruan birokrasi di masa transisi poltik ini harus segera dipikirkan dan dibenahi antara lain: (1) diperlukan otoritas penuh untuk mengambil keputusan dan mengimplementasikannya, (2) diantisipasi kemungkinan resistensi dari internal birokrasi yang dalam berbagai hal mempunyai akses terhadap kekuatan-kekuatan politik di legislatif maupun partai politik. Dukungan publik juga harus menjadi prasyarat terhadap pembaruan birokrasi. (10) Dukungan rakyat (masyarakat sipil) dan masyarakat bisnis (dunia usaha) sangat dibutuhkan sebagai pilar penting mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Dalam mengawasi jalannnya proses pembaruan birokrasi, kedua pilar tersebut juga harus memberikan harapan dengan turut andil untuk tidak mendukung kemungkinan praktikpraktik penyimpangan. Untuk mendapatkan dukungan masyarakat sipil dan masyarakat bisnis tersebut, birokrasi harus memberikan kinerja pemerintahan yang baik sebagai legitimasi substantif.
Rekomendasi (1) Untuk mewujudkan pembaruan sebagai serangkaian perbaikan perlu didukung oleh pelaku politik formal (politisi), pejabat politik yang memegang jabatan di lingkup birokrasi dan
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
lxxxvii
pejabat birokrasi sendiri serta secara khusus adalah organisasi serikat pegawai (Korps Pegawai Republik Indonesia). (2) Secara khusus Korpri harus bisa memainkan peran penting dalam pembaruan birokrasi. Karena itu pembaruan diri harus dimulai dari Korpri. Lembaga ini harus bisa terus menerus merubah performance, menemukan permasalahan mendasar dan mencari jalan keluarnya. (3) Sebagai bagian besar dari pembaruan birokrasi, keberadaaan Korpri yang sering dianggap simbolisme dari kekuasaan negara harus dirubah sebagai lembaga yang mampu berhadapan bersama lembaga-lembaga negara dalam menjawab permasalahan aparatur negara (pegawai negeri). (4) Korpri harus berinisiatif sebagai lembaga pemikir (think thank) terhadap keberlangsungan proses pembaruan birokrasi, menjaga dan mensistemasikan bergulirnya langkah demi langkah program pembaruan birokrasi. Keberlangsungan eksistensi Korpri harus terukur dari perkembangan pembaruan birokrasi. Pengambilan langkah strategis perlu dilakukan dengan menemukan langkah strategis dan menyusunnya sebagai program pembaruan birokrasi. (5) Sejumlah langkah yang strategis diemban Korpri dalam memenuhi kewajiban pembaruan birokrasi diantaranya adalah audit efisiensi terhadap semua instansi pemerintahan. Audit yang dilakukan Korpri harus berlaku independen dan Korpri harus menjadikan keberadaannya bersifat sangat strategis karena memiliki jaringan yang mengakomodasi keseluruhan masa depan pegawai negeri. Audit efisiensi juga harus bisa menyelenggarakan proses interview terhadap sejumlah Pembaruan Birokrasi
lxxxviii
Daftar Isi
pegawai negeri yang memegang jabatan strategis pada golongan atau eselon tertentu guna menanyakan gagasan para birokrat pemegang jabatan tersebut terhadap komitmen pembaruan birokrasi. Proses interview juga bisa dilakukan intersection terhadap jalur pengusaha dan pakar manajemen pemerintah. Proses audit efisiensi harus didampingi secara berkelanjutan dengan pengawasan efisiensi hingga memungkinkan adanya efek berjangkit (domino effects) yang merubah budaya birokrasi Indonesia kearah yang mampu menjawab masa depan bangsa. Langkah ini dilakukan untuk menepis pemeo birokrasi sebagai sistem yang dirancang orangorang ‘jenius’ tetapi untuk dijalankan oleh orang-orang yang ‘idiot’. (6) Diperlukannya pembatasan jabatan antara yang jabatan yang berpredikat sebagai jabatan politik –berdasarkan penunjukan presiden sebagai pemimpin politik– dengan jabatan karir birokrat –berdasarkan jenjang birokrasi yang berlaku formal di masing-masing instansi pemerintahan. Langkah ini harus mampu membatasi kemungkinan isu-isu kebijakan strategis yang dicampuri dengan kepentingan politik pribadi dan golongannya, menghindari adanya alih kendali manajemen pemerintahan atas kecenderungan politisasi dari kepentingan pribadi dan golongan. (7) Diperlukannya penyusunan sistem administrasi yang mampu mengarahkan manajer pemerintahan dan pejabat pemerintahan agar peduli dengan manajemen pemerintahan dan mampu berperan dengan implementasi. Langkah ini untuk menepis anggapan negatif bahwa “kepemimpinan pejabat pemerintahan sebelumnya seringkali berada di tangan orang-orang yang tidak
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
lxxxix
tahu apa-apa mengenai manajemen dan memandang rendah orang yang tahu manajemen”. (8) Perlunya penyesuaian ukuran organisasi pemerintah dengan jumlah pegawai yang mampu meningkatkan kinerja pemerintahan dalam jangka waktu pendek. Landasannya adalah bahwa pembaruan bukanlah perampingan organisasi tapi mencari ukuran organisasi yang memaksimumkan kinerja. Struktur harus mengikuti fungsi, ukuran harus mengikuti strategi. (9) Perlunya dibuat “Piagam Pelanggan” (Citizen’s Charter) sebagai prakarsa pelayanan publik efisien sekaligus efektif (dukungan kemauan politik dan tuntutan manajerial) untuk membuat publik menjadi pelanggan yang kuat dan birokrasi bisa perbaikan mutu pelayanan publiknya.
(10) Perlunya sistem yang menetapkan suatu badan atau organisasi tertentu untuk mengukur kinerja dan menerbitkan data perbandingan masing-masing yang dimulai dari Pusat. Selanjutnya badan tersebut mendorong perbandingan kinerja sampai ke tingkat instansi daerah. Data perbandingan tersebut nantinya memuat catatan kinerja masing-masing instansi di pusat antarinstansi di daerah. Badan ini juga akan berfungsi melaksanakan segala pengarahan dari departemen atau instansi pengarah bisa mencatat prestasi yang melejit sehingga bisa meyakinkan agar diberikan kepercayaan atau wewenang lebih besar dalam hal penganggaran dan kepegawaian yang bisa memecahkan masalah-masalah mereka yang paling menekan. Sehingga selanjutnya bisa memiliki kewenangan untuk mengontrol anggaran, struktur penggajian, dan sistem Pembaruan Birokrasi
xc
Daftar Isi
kepangkatan. Juga diizinkan untuk memindahkan dana anggaran yang tersisa ke dalam anggaran tahun berikutnya. Sehingga bisa mendapatkan hasil dimana biaya operasi tidak bertambah, peningkatan biaya yang muncul bisa tertutupi, penyesuaian tingkat inflasi dengan tidak menggunakan hasil penghematan mereka sendiri (deviden efisensi). _o0o_
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xci
pindahan: KOTAK 1.3 Pertimbangan Pendanaan Restrukturisasi dalam rangka Pemberantasan Korupsi Upaya korupsi harus dilakukan dengan cermat dengan pertimbangan rasional. Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan biaya operasi yang tidak boleh lebih mahal daripada biaya sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Pemberantasan korupsi harus dapat mengkategorikan korupsi berdasarkan dampak sosial ekonomis yang ditimbulkannya. Upaya membasmi korupsi juga harus bisa membuat prioritas yang jelas. Di sektor publik (pemerintahan), sesungguhnya korupsi dapat diidentifikasikan dengan mudah. Hanya saja banyaknya instansi dari berbagai jenis dan lingkup kegiatannya, secara operasional jenis korupsi yang berlangsung menjadi beragam. Strategi korupsi yang baik adalah yang bisa efektif dalam penanganannya. (dikemukakan pengamat ekonomi, Revrison Baswir, Republika 15 Oktober 2003)
KOTAK 1.4 Pembaruan birokrasi sangat tergantung dari perubahan sistem politik sebagai faktor pengungkitnya (leverage factor). Dalam sistem politik yang berlangsung saat ini kehadiran banyaknya partai politik harus dijadikan faktor pengungkit yang harus dipertimbangkan dalam reformasi birokrasi pemerintah. Faktor pengungkit kedua adalah akuntabilitas publik yang disertai dengan upaya mengubah sistem dari sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi kewenangan baik politik maupun administrasi. Faktor pengungkit ketiga adalah krisis ekonomi yang membuat pertumbuhan ekonomi kita menjadi terpuruk. Krisis ekonomi ini mestinya ditanggapi oleh suatu kebijakan penghematan, efisiensi dan integrasi atas semua program pemerintah dan kegiatan pemerintah dan diperanginya korupsi. (dikemukakan oleh Miftah Thoha dalam makalah “Reformasi Birokrasi Pemerintah”, 24 Oktober 2002)
Pembaruan Birokrasi
xcii
Daftar Isi
sambungan KOTAK 1.3 Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai penggajian PNS adalah sebagai berikut : - Penelitian BKN, dilakukan terhadap responden PNS guru di Propinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran per bulan seorang guru dan keluarganya di ketiga propinsi tersebut adalah: guru SDN Rp.1.556.524,28; guru SLTPN Rp.1.488.834,03; guru SMUN Rp.1.529.127,07; guru SMKN Rp.1.572.530,59. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa gaji dan sejumlah kompensasi lain yang timbul akibat statusnya sebagai PNS, jauh dari mencukupi jika dibanding dengan kebutuhan hidup minimum satu keluarga (suami, istri, dan dua anak) (Puslitbang BKN, 2000). Pada saat penelitian diatas berlangsung, standar gaji yang berlaku berdasarkan peraturan tahun 1997 dengan gaji terendah yang diterima PNS Rp. 135,000,- dan tertinggi Rp. 722,500,-. Kemudian pemerintah memberikan kenaikan gaji sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 26 Tahun 2001 dengan gaji terendah yang diterima PNS Rp.500.000,- dan tertinggi Rp.1.500.000,-. Dengan mean (rata-rata) gaji PNS perbulan Rp.1.000.000,-. Lihat op.cit. hal.2 dan penelitian PSKK UGM. - Penelitian Sekretariat Jenderal Ketahanan Nasional, menyatakan bahwa besarnya pengeluaran untuk kebutuhan hidup minimum seorang PNS dan keluarganya adalah Rp.1.096.250,- (Setjen Wanhannas, 1999:11-12). Lihat op.cit., hal.2. - Badan Pusat Statistik, menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi rumah tangga Jakarta untuk Januari tahun 2000 sebesar Rp.1.694.493,- (BPS, 2000:1) Lihat loc.cit.
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xciii
CATATAN BAB-I i
Memperbarui berasal dari kata baru (baharu), artinya memperbaiki supaya menjadi baru; mengganti dengan yang baru; memodernkan. Pembaruan adalah perbuatan atau cara memperbarui. Lihat Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1999. Pembaruan dapat dimaknai sebagai transformasi sistem dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektivitas, efisiensi, dan kemampuan untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan organisasi pemerintah. Lihat David Osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi, Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, PPM, 2000. (Definisi pembaruan birokrasi selanjutnya dapat dilihat dalam Bab-2). ii
Beambtenstaat dijadikan sebagai mesin birokrasi yang efisien, rapi, dengan penekanan kuat pada administrasi, orientasi disiplin, jujur, menghargai hukum, memiliki keahlian teknis, dan berorientasi pada pembangunan ekonomi sebagai nilai-nilai utama, dan sifatnya apolitik. Lihat Ruth T. Mc Vey, “The Beambtenstaat in Indonesia”, dalam Ben Anderson and Kahin (eds), Interpreting Indonesia Politic, Cornell University Press, Ithaca, 1982, hlm.85-91, sebagaimana dikutip oleh Priyo Budi Santoso Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Perspektif Kultural dan Struktural, Grafindo, Jakarta, 1995 hal.6 dan 44.
Pembaruan Birokrasi
xciv
Daftar Isi
iii
Pangreh praja adalah pejabat atau pegawai negara (aparatur birokrasi) yang diisi oleh kalangan priyayi yang mempunyai kekuasaan –bukan sekedar orang gajian– karena mempunyai kedudukan kuat dalam masyarakat. Pada zaman pendudukan Belanda pangreh praja disebut sebagai ambtenaar yang diangkat atas dasar kualifikasi rasional bukan berdasarkan geneologis. Dasar pengangkatan ini yang membedakan dengan para abdi dalem –pejabat istana dalam tradisi masa kerajaan, khususnya kerajaan-kerajaan Jawa– yang diangkat atas dasar kedekatan dan kemurahan raja. iv
Birokrasi Patrimonial menurut Max Weber bercirikan: (1) pejabat-pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi dan politik, (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan atau keuntungan, (3) pejabat-pejabat mengontrol, baik fungsi politik maupun administratif, karena tidak ada pemisahan antara sarana-sarana produksi dan administrasi, (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Lihat S.N. Eisenstadt, Traditional Patrimonialism and Modern Neopatrimonialism, Sage Publication, Beverly Hills, California, 1973, hlm.5 sebagaimana dikutip oleh Priyo Budi Santoso, op.cit., hal.23. v
Masa orde baru birokrasi memegang peranan besar antara lain: (1) birokrasi cenderung mengatur segenap segi kehidupan masyarakat dan negara yang diarahkan bukan kepada perkembangan yang obyektif tetapi kepada keinginan birokrat, (2) dalam melayani masyarakat digunakan pola dari atas ke bawah (top-down approach), (3) dalam usahanya mempercepat pembangunan, birokrasi melakukan pembangunan besar-besaran dan dimotivasi melalui pentargetan, dan (3) partisipasi hanya menjadi ditaruh sebagai kesan dalam proses birokratisasi.
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
xcv
Lihat Taliziduhu Ndraha, “Birokrasi Pembangunan: Dominasi atau Alat Demokratisasi?”, Jurnal Ilmu Politik 1, PT. Gramedia, Jakarta, 1986, hlm. 50-55 sebagaimana dikutip oleh Priyo Budi Santoso, op.cit., hal. 8. vi
Bureaucratic polity adalah salah satu model teoretis yang paling sering digunakan di dalam memahami karakteristik politik dan birokrasi Indonesia pada masa Orde Baru. Suatu konsep yang mulamula dikembangkan oleh Riggs untuk menerangkan sistem politik di Thailand pada pertengahan tahun 1960-an, dan kemudian digunakan oleh Karl D. Jackson dalam konteks Indonesia. Menurut Jackson, bureaucratic polity ini adalah suatu bentuk sistem politik dimana kekuasaan dan partisipasi politik dalam membuat keputusan terbatas sepenuhnya kepada penguasa negara terutama perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi. Pendapat lain menurut Crouch bureaucratic polity di Indonesia mengandung tiga ciri utama: (1) lembaga politik yang dominan adalah birokrasi, (2) lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi, (3) massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian merupakan kelemahan parpol dan secara timbal balik menguatkan birokrasi. Lihat Karl D. Jackson, dalam Jackson and Pye (eds), Political Power and Communication in Indonesia, University of California Press, Barkeley, 1978, hlm. 3 sebagaimana dikutip oleh Priyo Budi Santoso, op.cit., hal. 30. Lihat Harold Crouch, “The New Order: The Prospecr for Political Stability”, dalam: J.A.C Mackie (eds), Indonesia: The Making of A Nation,
Pembaruan Birokrasi
xcvi
Daftar Isi
The Australian National University, Canberra, 1980 sebagaimana dikutip oleh Priyo Budi Santoso, op.cit., hal. 31. vii
Teknokrat adalah kaum intelektual yang mengisi jabatan dalam birokrasi. Teknokrat dianggap memiliki pandangan dan penghayatan mengenai kedudukan birokrasi dalam struktur masyarakat serta orientasi terhadap birokrasi itu sendiri, yaitu bagaimana struktur, cara kerja, kriteria-kriteria yang seharusnya dalam pengembangan birokrasi. Lihat John James Macdougall, “The Technocratic Model of Modernization: the Case of Indonesia’s new Order”, dalam Asian Survey, No.12/XVI, Desember 1970 sebagaimana dikutip oleh Priyo Budi Santoso, op.cit., hal. 49. viii
Asal muasal elite administratif Indonesia modern dapat ditelusuri ke belakang, lewat zaman kolonial berlanjut ke dinasti keluarga raja-raja Jawa, walaupun pada awalnya kesan aristokratik Jawa telah mengalami nasionalisasi dan demokratisasi sejalan dengan gagasan pegawai negeri sipil yang melayani kepentingan publik, sisasisa peninggalan masa lampau terus berlanjut. Pendapat ini dikemukakan Donald K. Emmerson, Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics, Cornell University, Ithaca, New York, 1976, hlm.35 sebagaimana dikutip oleh Priyo Budi Santoso, op.cit., hal.4. ix
Lihat Moeljarto Tjokrowinoto, “Sosok Birokrasi Indonesia dalam Era Tinggal Landas”, 1989 sebagaimana dikutip oleh Priyo Budi Santoso, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Persepktif Kultural dan Struktural, Grafindo, Jakarta, 1995 hal.4.
Pembaruan Birokrasi
xcvii
Daftar Isi
x
Sebagian kelompok permasalahan diambil dari hasil workshop ‘Reformasi Birokrasi’ yang diselenggarakan Bappenas 24 Oktober 2002. xi
Sejalan dengan pembentukan kinerja aparatur negara yang baik dan anti KKN, Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian mengamanatkan terwujudnya PNS yang profesional, netral, adil dan sejahtera serta PNS yang satu (unified) sebagai alat perekat bangsa. xii
Kualitas kinerja birokrasi yang dinilai rendah banyak dilansir dalam berbagai hasil riset. Lihat Berikut beberapa tabel terkait dengan hasil riset tersebut. Peringkat Kualitas Birokrasi Tahun 2001 Hong Kong Amerika Serikat Singapura Australia Jepang Korea Selatan Taiwan Malaysia China Filipina Thailand
Indonesia India Vietnam
2,61 3,24 7,02 8,39 6,71 6,33 8,15 6,06 6,65 8,16 8,00 8,33
2,89 2,73 7,13 8,27 6,25 6,14 7,63 7,00 6,88 7,91 9,00 9,25
4,61 4,27 6,18 8,70 6,92 7,88 8,75 7,29 8,14 8,18 9,22 8,50
3,80 5,43 2,71 6,19 4,20 8,33 6,22 7,50 8,89 6,67 6,40 7,44 9,60 9,40
3,07 3,58 3,83 4,00 5,50 6,33 6,38 6,50 7,63 8,00 8,18 8,83 8,88 9,50
(sumber: PSKK-UGM : 2002)
Pembaruan Birokrasi
xcviii
Daftar Isi
Persentase Kekecewaan Publik atas Pelayanan Birokrasi Pascareformasi Kekecewaan Pelayanan Ya Tidak Jumlah
Sumatera Barat N % 136 27,5 358 72,5 494 100
D.I Yogyakarta N % 363 69,1 162 30,9 525 100
Sulawesi Selatan N % 127 25,4 373 74,6 500 100
PSKK-UGM : 2002
Persepsi Publik atas Perbaikan Pelayanan sesudah Reformasi Perbaikan pelayanan Ya Tidak Jumlah
Sumatera Barat N % 253 51,2 241 48,8 494 100
D I Yogyakarta N % 414 78,9 111 21,1 525 100
Sulawesi Selatan N % 307 61,4 193 38,6 500 100
PSKK-UGM : 2002
Tingkat Akuntabilitas Aparat Birokrasi Tingkat Akuntabilitas Baik Buruk Jumlah
Sumatera Barat N % 26 9,1 261 90,9 287 100
D I Yogyakarta N % 42 12,9 283 87,1 325 100
Sulawesi Selatan N % 39 13,0 261 87,0 300 100
PSKK-UGM : 2002
Pembaruan Birokrasi
xcix
Daftar Isi
Sikap Aparat Birokrasi dalam Merespon Keluhan Publik Sumatera Barat N % 4 2,6
Sikap aparat Jengkel/ Membiarkan Menampung keluhan Berusaha menyelesaikan Jumlah
D I Yogyakarta N % 7 3,3
Sulawesi Selatan N % 13 7,8
72
48,0
94
43,0
50
30,4
75
49,4
117
53,7
102
61,8
152
100
218
100
165
100
PSKK-UGM : 2002
Penolakan Pelayanan Aparat Birokrasi Penolakan pelayanan Ya Tidak Jumlah
Sumatera Barat N % 127 44,3 160 55,7 287 100
D I Yogyakarta N % 177 54,5 148 45,5 325 100
Sulawesi Selatan N % 134 44,7 166 55,3 300 100
PSKK-UGM : 2002 xiii
Penafsiran atas asumsi tersebut dapat dijelaskan dari beberapa hasil riset yang mendukung. Berikut tabel terkait tentang Skor Korupsi di Asia. Skor Korupsi di Asia
China Hong Kong India
1995 7,30 2,80 7,00
1996 8,00 2,79 686
1997 8,06 3,03 8,20
1998 6,97 2,74 7,40
1999 9,00 4,06 9,17
2000 9,11 2,49 9,50
2001 7,88 3,77 9,25
Pembaruan Birokrasi
c
Daftar Isi
Indonesia
7,30 7,69 8,67 Japan 2,00 1,93 4,60 Malaysia 4,60 5,00 5,80 Philippines 6,60 6,95 6,50 Singapore 1,20 1,09 1,05 South Korea 4,00 5,16 7,71 Taiwan 4,20 5,53 5,96 Thailand 5,90 6,55 7,49 Vietnam N/A 7,78 8,00 www.asiarisk.com/lib10.html • Skor menggunakan skala 1 sampai 10, terburuk.
8,95 5,00 5,38 7,17 1,43 7,12 5,20 8,29 8,25
9,91 4,25 7,50 6,71 1,55 8,20 6,92 7,57 8,50
9,88 3,.90 5,50 8,67 0,71 8,33 6,89 8,20 9,20
9,67 2,50 6,00 9,00 0,83 7,00 6,00 8,55 9,75
angka 10 menunjukkan penilaian
CATATAN AKHIR BAB 2 Martin Albrow, dalam Donald P. Warwick, A Theory of Public Bureaucracy, Harvard University Press, Cambridge, Massachussets, 1975, hlm.4, sebagaimana dikutip oleh Priyo Budi Santoso Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Perspektif Kultural dan Struktural, Grafindo, Jakarta, 1995 hal.13. xiii Priyo , op.cit. hal.14. xiii Moeljarto Tjokrowinoto, “Birokrasi Pembangunan Masyarakat”, 1990 sebagaimana dikutip Priyo, op.cit., hal.16. xiii Amitai Etzioni, Organisasi-organisasi Modern, UIU Press, Jakarta, 1982 sebagaimana dikutip Priyo, op.cit., hal.18. xiii Albrow, loc.cit. dalam Priyo, op.cit. hal.18 xiii Robert Michels, Partai Politik: Kecendrungan Oligarkhis dalam Birokrasi, Rajawali Press, Jakarta, 1984, dalam Priyo, op.cit., hal.19. xiii Gabriel Almond and Bingham Powell, Comparative Politics Development Approach, Little Brown Company. Bombay, Indis, 1966, hal.95 dalam Priyo, op.cit., hal.19. xiii Lance Castles, “Bureaucracy and Society in Indonesia” 1976 dalam Priyo, op.cit., hal 20. xiii
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
ci
La Palombara, Bureaucracy and Political Development, Princeton, New Jersey, 1967, hal.49 dalam Priyo, op.cit. hal 20. xiii Syukur Abdullah, “Budaya Birokrasi di Indonesia” dalam Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin (eds), Profil Budaya Politik Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991, hal.223. Lihat Priyo, op.cit., hal.21. xiii David Osborne dan Peter Plastik, Memangkas Birokrasi, Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, PPM, 2000, hal. 52. xiii Pendekatan sistem politik ini bisa dilihat dalam Analisa Politik, David E. Apter, LP3ES, 1985, hal.135 xiii Lihat Mohtar Mas’oed, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, 1994 hal. 68. xiii Lihat S.N. Eisenstadt, Traditional Patrimonialism and Modern Neopatrimonialism, Sage Publication, Beverly Hills, California, 1973, hlm.5 sebagaimana dikutip oleh Priyo Budi Santoso, op.cit., hal.23. xiii Konsep pembangunan politik sebagaimana digagas Lucian W. Pye (1966) terdiri dari sepuluh definisi pembangunan politik, yaitu: (1) Pembangunan politik sebagai prasyarat politik bagi pembangunan ekonomi; (2) Pembangunan politik sebagai ciri khas kehidupan politik masyarakat industri; (3) Pembangunan politik sebagai modernisasi politik; (4) Pembangunan politik sebagai operasi negara bangsa; (5) Pembangunan politik sebagai pembangunan administrasi dan hukum; (6) Pembangunan politik sebagai mobilisasi dan partisipasi massa; (7) Pembangunan politik sebagai pembinaan demokrasi; (8) Pembangunan politik sebagai stabilitas dan perubahan teratur; (9) Pembangunan politik sebagai mobilisasi dan kekuasaan; dan (10) Pembangunan politik sebagai satu segi proses perubahan sosial yang multidimensi. Lihat Lucian W. Pye (1966) dalam Yahya Muhaimin dan Colin MacAndrews, Masalah-Masalah Pembangunan Politik, Gajah Mada University Press, 1991, hal.4. xiii David E. Apter, Pengantar Analisa Ilmu Politik, LP3ES, 1985, hal.158. xiii Lihat Restrukturisasi Sistem Kompensasi Pegawai Negeri Sipil, Tim Peneliti BKN, Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan kepegawaian Negara, 2001, hal.7-12. xiii Puslitbang BKN, op.cit., hal. 16-19. xiii
Pembaruan Birokrasi
cii
Daftar Isi
Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dalam kertas kerja tentang “Penyempurnaan Sistem Penggajian Pegawai Negeri Sipil Guna Mengatasi Masalah Korupsi”. xiii David Osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi, Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, PPM, 2000. xiii Suyadi Prawirosentono, Kebijakan Kinerja Karyawan, Manajemen, BPFE Yogyakarta, Ed. Pertama, 1999, hal. 1-3. xiii Robert E. Quinn, Sue R. Faerman, Michael Thompson dan Michael R. Mc.Grath (1990), dalam buku berjudul “Becoming A Master Manager, A Competency Frame Work” dalam Prawirosentono, op.cit., hal. 4-5 xiii loc.cit. xiii Richard S. Sloma, How To Measure Managerial Performance, Macmillan Publishing Co, Inc, New york (1980) dalam Prawirosentono, op.cit. hal.6-9. xiii Ahmad S. Ruky, Sistem Manajemen Kinerja, PT.Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal.35 xiii Puslitbang BKN, op.cit., hal. 20-23. xiii Moekijat, Analisis Jabatan, CV Mandar Maju, bandung 1998. xiii Puslitbang BKN, op.cit., hal. 20 xiii Pandangan ini sebagaimana dikemukakan Kwik Kian Gie dalam Pemberantasan Korupsi untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan, 2003. xiii V. Soegino S, Pensiun yang Bermakna., CV. Gino. xiii
CATATAN BAB-III xiv Di penghujung tahun 1950-an, Dr. Moh. Hatta mengamati bahwa, “Karyawan dan pegawai pemerintah… dieksploitir oleh petualang yang giat berusaha, yang ingin cepat kaya.. suap dan sogok –menyogok sudah menjadi semakin lazim. Dikutip dari Theodore M. Smith, Korupsi, Tradisi, dan Perubahan di Indonesia, dalam James C. Scott daN Mochtar Lubis, Korupsi Politik (Obor: Jakarta 1993) hal. 57.
Pembaruan Birokrasi
Daftar Isi
ciii
xvRiset
Filmer (Bank Dunia) dan David L. Lindauer masih menggunakan data Survei Angkatan Kerja (Sakernas) 1998 dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang belum memperhitungkan kenaikan gaji PNS yang mencolok tahun 2001 (Ikhsan:2001). xvi Analisis Kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2003 tentang Peraturan Gaji PNS, Sub Direktorat Analisis Sistem Kompensasi, Direktorat Pengembangan Sumber Daya Kepegawaian, BKN, Jakarta 2003. CATATAN BAB-IV
Bahan-bahan penggajian P.T. Jasa Marga, lampiran dalam “Hasil Kajian Penyempurnaan Kebijakan Sistem Remunerasi PNS: Studi Kasus di Lingkungan Kantor Meneg PPN/Bappenas, Bappenas, 2003. xvii
Pembaruan Birokrasi