I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Upaya pemenuhan kebutuhan beras bagi 230 juta penduduk Indonesia dewasa ini memerlukan kerja keras dengan melibatkan puluhan juta orang yang berhadapan dengan berbagai faktor alam dan pasar yang tidak selalu bersahabat dan mendukung. Penyediaan pangan terutama beras dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau tetap menjadi prioritas utama pembangunan nasional. Selain merupakan makanan pokok lebih dari 95% rakyat Indonesia, bercocok tanam padi juga telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 36,1 juta rumah tangga petani di pedesaan, sehingga dari sisi ketahanan pangan nasional fungsinya menjadi sangat penting dan strategis karena turut mempengaruhi tatanan politik dan stabilitas nasional (Deptan, 2008). Pertumbuhan jumlah penduduk dan dan tingkat konsumsi beras yang masih tinggi menyebabkan kebutuhan beras terus meningkat. Hal ini berarti pertumbuhan produksi tidak mampu mengimbangi peningkatan jumlah penduduk (Hilman et al., 2010). Pada tahun 2011 jumlah penduduk 241,1 juta orang dengan tingkat konsumsi 139,15 kg beras perkapita pertahun (BPS, 2011).
Upaya
peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan pangan yang semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dapat ditempuh dengan strategi pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, dan pemanfaatan sumberdaya teknologi. Salah satu indikator penting kinerja pemerintah terutama untuk sektor pertanian adalah terpenuhinya kebutuhan pangan dalam jumlah yang cukup dan
Universitas Sumatera Utara
berkualitas serta harga yang terjangkau bagi masyarakat. Ditengah krisis pangan dunia yang dipicu oleh perubahan iklim, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian tetap menargetkan surplus 10 juta ton beras sampai tahun 2014, dan pada akhirnya dijadikan agenda penting Kementerian Pertanian yang harus didukung oleh seluruh Provinsi di Indonesia termasuk Sumatera Utara. Program tersebut juga membutuhkan pengawalan dan kerjakeras secara terintegrasi dan komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan, baik pusat maupun daerah. Pencapaian surplus ini dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu menurunkan konsumsi beras dan meningkatkan produksi beras. Penurunan konsumsi beras dapat dicapai melalui diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan budaya lokal. Penurunan ini menjadi bermakna karena diharapkan mampu berkontribusi dalam menurunkan angka kerawanan pangan dunia yang mencapai 1,02 miliar orang atau 15,8 persen dari jumlah total penduduk dunia (Renstra Kementan, 2009). Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mempertahankan swasembada beras. Diantara tingginya pertumbuhan populasi penduduk, konversi lahan sawah subur ke tanaman lainnya yang lebih bernilai jual tinggi, pembangunan
kawasan
perumahan,
perkantoran
dan
kawasan
industri,
meningkatnya kompetisi antar-usahatani, keterbatasan sumberdaya air serta terjadinya banjir dan kekeringan akibat perubahan iklim (climate change) karena pemanasan global (global warming), (Suyamto dan Zaini, 2010 ). Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain juga disebabkan oleh: (1) Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus menurun; (2) Peningkatan luas areal
Universitas Sumatera Utara
penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor tersebut memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun.
Untuk mengatasi dua permasalahan teknis yang mendasar tersebut
perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan pangan nasional untuk pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan. Ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional, karena : 1) akses terhadap pangan dan gizi yang cukup menjadi hak paling azasi bagi manusia, 2) kecukupan pangan berperan penting dalam pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas, dan 3) ketahanan pangan menjadi pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Las et al., 2006). Sehingga Upaya mempertahankan ketahanan pangan nasional perlu dilaksanakan secara simultan melalui : 1) pengendalian konversi lahan pertanian; 2) mencetak lahan pertanian baru; dan (3) intensifikasi sistem pertanian dengan menerapkan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas (peningkatan intensitas tanam) dan sekaligus mempertahankan kualitas lingkungan. Namun menurut
Agus dan Mulyani
(2006), peningkatan produktivitas dapat mengalami berbagai kendala diantaranya; 1) degradasi dan konversi lahan pertanian; 2) infrastruktur pertanian; 3) ketersediaan sarana produksi; 4) adopsi teknologi tepat guna; 5) luas kepemilikan lahan; 6) kelembagaan pertanian; 7) akses permodalan petani; 8) jaminan harga hasil panen dan 9) perubahan iklim global. Berbagai penelitian dan permodelan terhadap produksi pertanian dan perubahan iklim menunjukkan bahwa perubahan
Universitas Sumatera Utara
iklim memiliki dampak negatif terhadap produksi pertanian. Bahkan Warren et al. (2006) memprediksi peningkatan suhu sebesar 30C akan menimbulkan kelaparan bagi 600 juta jiwa, terutama dinegara-negara berkembang termasuk Indonesia. Penelitian Wahyuni dan Wihardjaka (2007) serta Susandi (2008) menyimpulkan dampak pemanasan global terhadap usaha pertanian adalah; 1) penyusutan luas lahan sawah dan makin luasnya areal sawah yang terintrusi air laut di daerah pantai akibat naiknya permukaan air laut ; 2) Makin sering terjadi banjir dan kekeringan pada lahan sawah; 3) Kenaikan suhu yang berpengaruh terhadap pola pertumbuhan dan produktivitas tanaman padi; 4) Variabilitas intensitas dan distribusi hujan akan mengubah awal musim tanam dan jadwal musim tanam yang kemudian berdampak terhadap penurunan produksi pertanian; 5) Menstimulasi perkembangan organisme penggangu tanaman (OPT). Lahan sawah, yang luasnya mencapai 7,7 juta ha, ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan pangan terutama beras, sehingga perlu ditambah dengan impor. Produksi dan kebutuhan beras pada tahun 2010 mencapai 32,65 juta ton, sedangkan kebutuhan mencapai 36,77 juta ton beras, sehingga terjadi defisit sekitar 4,12 juta ton beras. Pada tahun 2015 diprediksi di Indonesia terjadi kekurangan beras sebanyak 5,8 juta ton dan meningkat menjadi 7,49 ton beras pada tahun 2020. Untuk menghasilkan padi sebanyak itu diperlukan luas panen sekitar 13.500-15.000 ha lahan sawah atau luas baku sawah sekitar 9.000-10.000 ha dengan asumsi IP 150%. Laju pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi beras yang relatif tinggi menuntut peningkatan produksi yang sinambung, sementara sebagian lahan sawah yang subur telah beralih fungsi untuk usaha lain
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan Indeks Pertanaman (IP) merupakan salah satu skenario yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produksi padi (DEPTAN, 2008). Menurut
Pusat
Sosial-Ekonomi dan kebijakan Pertanian (2010),
kebutuhan beras Indonesia pada tahun 2050 diperkirakan 48,2 juta ton setara dengan 80,3 juta ton gabah kering giling (GKG). Pada saat ini tingkat produksi beras baru mencapai 36 juta ton atau setara 60 juta ton GKG. Kekurangan 12,2 juta ton beras pada tahun 2050 atau setara 20,3 juta ton GKG sebagian dapat dipenuhi melalui peningkatan produktivitas. Dengan kapasitas produksi gabah maksimal pada lahan sawah irigasi dan tadah hujan yang dewasa ini 60,2 juta ton, maka defisit sekitar 20 juta ton hanya dapat dicukupi melalui pemanfaatan lahan rawa, lahan kering, dan peningkatan intensitas pertanaman (Suyamto dan Zaini, 2010). Target Pemerintah melalui Kementerian Pertanian yaitu 70,6 juta ton GKG dan 10 juta ton beras pada 2014 (Inpres No 5 Tahun 2011). Jumlah kebutuhan beras yang sangat tinggi tersebut dapat dipenuhi dengan berbagai skenario antara lain dengan peningkatan intensitas Pertanaman atau meningkatkan IP. Luas lahan potensial untuk penerapan IP padi 400 di 17 provinsi mencapai 231.000 hektar (BB Penelitian Padi, 2009), terutama pada lahan sawah beririgasi teknis di sekitar waduk di Jawa dan luar pulau Jawa. Namun demikian, upaya peningkatan intensitas tanam padi yang selama ini dipraktekkan akan mengurangi luas areal pertanaman palawija, sayuran, tebu, dan tembakau pada lahan sawah. Dari segi ekonomi usahatani, petani akan memilih pola tanam setahun yang paling menguntungkan, namun dengan penerapan Indeks Pertanaman 3 sampai 4 kali
Universitas Sumatera Utara
setahun upaya pencapaian swasembada dan swasembada pangan berkelanjutan dapat diwujudkan. Lembaga-lembaga penelitian seperti Badan Litbang Pertanian melalui Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) di Sukamandi telah menghasilkan varietas padi umur pendek (Super genjah dan Ultra genjah) dengan tingkat produktivitas yang tinggi, demikian juga teknologi pendukungnya sehingga dalam waktu satu tahun melalui pengelolaan dan pola tanam yang baik dapat dilakukan peningkatan produksi minimal 20 t ha-1 tahun-1 melalui peningkatan IP sampai 400 khususnya pada lahan-lahan sawah beririgasi teknis. Konsep IP Padi 400 juga ditujukan untuk optimalisasi ruang dan waktu sehingga indeks pertanaman dapat dimaksimalkan. Sumarno dan Kartasasmita (2009) menyatakan bahwa budidaya kerja petani padi sawah pada saat ini belum sepenuhnya mendukung diterapkannya program padi sawah IP 300 apalagi IP 400, walaupun sebenarnya dengan peningkatan intensitas tanam dari IP Padi 200 ke IP Padi 300 bahkan jika sampai ke IP Padi 400 dapat meningkatkan perluasan dan kesempatan kerja yang semakin tinggi. Upaya peningkatan produksi padi melalui intensitas tanam juga tidak bisa terlepas dari peran kelembagaan petani dan kelompok tani, kelembagaan permodalan, kelembagaan pemasaran dan kelembagaan penyuluhan pertanian. Menurut Mangkuprawira (2008), revitalisasi kelembagaan pertanian melalaui peningkatan sumberdaya manusia. Pengembangan indeks pertanaman padi menuju 400 (IP Padi 400) melalui peningkatan intensitas tanam merupakan pilihan menjanjikan guna meningkatkan produksi padi di Propinsi Sumatera Utara khususnya dan Nasional secara umum tanpa memerlukan tambahan irigasi yang luar biasa. IP Padi 400 artinya petani
Universitas Sumatera Utara
dapat menanam dan memanen padi sebanyak empat kali secara rotasi dalam satu tahun, secara terus menerus pada hamparan lahan yang sama. Pengembangan IP Padi 400 memerlukan empat pilar pendukung. Pertama, produksi benih super genjah dengan umur kurang 85 hari; kedua, dukungan pengendalian hama terpadu (PHT), ketiga pengelolaan hara terpadu dan spesifik lokasi; dan keempat, manajemen tanam dan panen yang efisien. Peningkatan intensitas tanam perlu didukung dengan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang meliputi penerapan komponen teknologi dasar dan komponen teknologi penunjang. Komponen teknologi dasar meliputi ;1) penggunaan varietas unggul baru; 2) benih bermutu dan berlabel; 3) peningkatan populasi tanaman dengan sistem jajar legowo 4:1 atau 2:1; 4) pemupukan berimbang spesifik lokasi (berdasarkan analisa tanah), Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), Permentan NO. 40/OT.140/4/2007, penggunaan BWD (Bagan Warna Daun) ;5) pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) melaui pengendalian hama terpadu (PHT); dan 6) pemberian pupuk organik. Komponen teknologi penunjang meliputi; 1) pengolahan tanah secara tepat; 2) tanam bibit muda 15 hari; 3) tanam bibit 1 bibit per lubang tanam; 4) pengairan berselang (intermittent), dan 5) panen tepat waktu (Irianto, 2008). Peningkatan Indek Pertanaman (IP) merupakan langkah yang lebih operasional dan lebih realistis dalam meningkatkan luas tanam dan panen menuju produksi padi berkelanjutan, karena relatif tidak memerlukan biaya yang besar namun dapat meningkatkan pendapatan petani walaupun dengan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan perubahan kualitas lingkungan baik kualitas tanah, air, emisi gas rumah kaca (GRK) terutama
metan (CH 4 ) dan
perkembangan hama dan penyakit pada tanaman padi. Lahan pertanian
Universitas Sumatera Utara
merupakan sumber penyumbang metan yang cukup signifikan karena kondisi tanah yang tergenang memudahkan terjadinya pembentukan metan. Luasnya areal tanah pertanian khususnya di negara-negara berkembang, diidentifikasi sebagai sumber dan penyumbang utama peningkatan konsentrasi metan di atmosfer. Emisi metan tahunan secara global diduga sebesar 420-620 Tg tahun-1 dan konsentrasinya meningkat 1% tiap tahunnya. Konsentrasi metan di atmosfer saat ini diperkirakan mencapai 1.7 ppmV (IPCC 1992). Emisi metan dari lahan pertanian diperkirakan sebesar 100 Tg tahun-1 (Yagi dan Minami 1990; Seiler et al., 1984). Indonesia dengan luas lahan pertanian sebesar 6,8% dari luas lahan pertanian di dunia, diduga memberi kontribusi sebesar 3.4-4.5 Tg CH 4 tahun. Pada skala nasional kontribusi lahan sawah terhadap total emisi GRK masih cukup tinggi. Peningkatan intensitas pertanaman dengan sistem budidaya padi sepanjang tahun merupakan salah satu upaya untuk peningkatan produksi namun disatu sisi dapat memicu emisi metan dari lahan sawah. Salah satu upaya penurunan emisi metan dari lahan sawah dapat dilakukan dengan cara mitigasi yang tidak mengorbankan aspek produksi dan diupayakan bersifat spesifik lokasi yaitu dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Penelitian tentang
perubahan kualitas lingkungan terutama kualitas
tannah, kialitas air dan emisi metan di sentra produksi padi akibat peningkatan intensitas tanam menjadi Indeks Pertanaman Padi 400 (IP Padi 400) dilakukan untuk mendukung produksi dan produktivitas padi berkelanjutan. 1.2. Perumusan Masalah Upaya
pendukung
swasembada
dan
swasembada
sebagaimana empat sukses Kementerian Pertanian TA.
berkelanjutan,
2010-2014, dilakukan
Universitas Sumatera Utara
melalui pembukaan lahan baru (ekstensifikasi) dan intensitas budidaya (intensifikasi). Intensitas budidaya melalui usaha peningkatan indeks pertanaman yang diarahkan hingga indeks pertanaman (IP 400). IP 400 dicirikan antara lain : benih berumur pendek, pupuk NPK sesuai dosis anjuran, pengendalian hama penyakit tanaman, dan pengaturan air. Sehingga IP 400 diarahkan dan hanya dimungkinkan pada lahan sawah berigasi teknis. Penggunaan varietas unggul baru (VUB) dan intensitas penanaman menyebabkan pemanfaatan unsur hara tanah meningkat sehingga ketersediaan unsur hara secara alamiah berkurang. Untuk mengoptimalisasi produksi padi diperlukan input pupuk anorganik secara komulatif tinggi sesuai kebutuhan tanaman. Disisi lain, penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus menyebabkan penurunan kualitas tanah, air dan peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terutama metan. Perubahan iklim dan tekanan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan hidup menyebabkan dampak terhadap komponen fisik, kimia, biologi, ekonomi, sosial dan kesehatan lingkungan, baik dampak positif maupun dampak negatif. Penanaman padi dengan Intensitas Pertanaman (IP) Padi 400 akan menimbulkan dampak terhadap kualitas lingkungan karena adanya pengaruh pemakaian pupuk, pestisida dan herbisida, Penjelasannya adalah residu bahan kimia tersebut mengakibatkan berubahnya kualitas lingkungan karena pemakaiannya dalam jumlah besar dan terus-menerus sepanjang tahun. Pada kondisi anaerob lahan sawah yang terus ditanami merupakan sumber penghasil metan (CH 4 ), nitrogen dioksida (N 2 O) dan karbon dioksida (CO 2 ), yang berarti menambah emisi gasgas rumah kaca (GRK) terutama metan. Penggunaan lahan sepanjang tahun tanpa
Universitas Sumatera Utara
istirahat akan menghasilkan metan (CH 4 ) dan nitrogen dioksida (N 2 O) yang tinggi. Hal-hal tersebut adalah dampak negative. Sejauh mana hal-hal tersebut berdampak terhadap lingkungan perlu penelitian lebih mendalam. Pemakaian air yang terus menerus sepanjang tahun juga akan mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan seperti daya dukung dan daya tampung, sumber daya air untuk kelangsungan pertumbuhan tanaman padi dan kualitas air akibat penggunaan pupuk dan pestisida yang terus-menerus. Perubahan kualitas lingkungan di sentra produksi padi akibat peningkatan intensitas tanam Padi (IP Padi 400) meliputi perubahan kualitas tanah, kualitas dan ketersediaan air untuk kelangsungan 4 musim tanam, peningkatan emisi gas rumah kaca (terutama metan), perubahan hama penyakit utama padi lahan sawah yang akan meningkat dan dominannya di tiap-tiap musim tanam selama 4 musim tanam. Disamping dampak negatif tentunya ada dampak positif dari Indeks Pertanaman (IP Padi 400), yaitu peningkatan frekuensi panen menjadi 4 kali dan hasil produksi gabah menjadi lebih besar dibandingkan hanya 2-3 kali panen. Pendapatan petani akan meningkat dan penggunaan tenaga kerja juga tinggi, sehingga mampu menampung penyerapan tenaga kerja secara berkesinambungan. Oleh sebab itu, pola perubahan kualitas lingkungan di sentra produksi padi akibat peningkatan intensitas pertanaman padi 400 menuju Produksi Padi Berkelanjutan perlu diteliti secara komprehensif. Berdasarkan beberapa permasalahan tersebut maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Kebutuhan pangan meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, sementara lahan untuk produksi cenderung berkurang. Perubahan iklim global sering mengakibatkan kekeringan dan banjir serta peningkatan kelembaban sehingga terjadi break OPT yang semuanya menyebabkan terjadinya gagal panen. 2. Akibat Intensitas Pertanaman yang tinggi dapat berdampak negatif terhadap perubahan kualitas lingkungan (kualitas tanah, kualitas air, dan emisi metan di sentra produksi padi. 3. Peningkatan produksi secara komulatif
melalui peningkatan intensitas
pertanaman dapat meningkatkan pendapatan dan nilai tambah petani, tetapi dapat juga menurunkan kualitas lingkungan. Berusaha tani pada kondisi demikian memerlukan biaya produksi yang lebih tinggi sehingga marjin keuntungan secara ekonomi berkurang.
1.3. Kerangka Pemikiran Peningkatan indeks pertanaman akan menyebabkan perubahan kualitas fungsi lingkungan seperti daya dukung dan daya tampung sumberdaya lahan dan lingkungan. Kondisi pertanaman padi yang terus menerus sepanjang tahun tanpa jeda menuntut penggunaan pupuk anorganik khususnya urea meningkat, menyisakan residu yang dapat merusak lingkungan. Hal tersebut menyebabkan peningkatan produksi gas rumah kaca, terutama metan. Selanjutnya metan dan residu pupuk (N 2 ) dapat menyebabkan perubahan fisik, kimia dan biologi tanah yang secara langsung akan berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi petani. Manfaat positif dari penanaman padi secara terus menerus pada satu hamparan yang sama dan tetap yaitu produksi padi
Universitas Sumatera Utara
meningkat, pendapatan meningkat akan menghasilkan sistem input output yang saling mempengaruhi. Gambar 1.1 menunjukkan alur berfikir logis (logical frame work) dari permasalahan, hubungan antar faktor dan upaya pengelolaannya. Lahan Sawah
Irigasi Teknis
Penduduk
Intensitas Pertanaman (IP 400)
Ketersediaan & Kebutuhan Pangan Budidaya Padi
VUB
Produksi Padi Jerami Padi
Pakan ternak
Pupuk Pestisida Olah Tanah Pengairan
Kompos
Mutu lingkungan
Dibakar Kualitas Air
Kualitas Tanah
Gas Metan
Ekonomi (Analisi Usaha Tani)
Perencanaan & Pengelolaan Lahan Sawah Irigasi Teknis
Gambar 1.1. Rumusan masalah model optimum budidaya padi intensif, rendah emisi metan dan berkelanjutan pada sawah irigasi teknis.
Universitas Sumatera Utara
Fokus dalam penelitian ini lebih kepada analisis perubahan
kualitas
lingkungan pada sawah meliputi perubahan kualitas tanah (sifat kimia dan dinamika unsur hara, perubahan kualitas air (sifat fisik dan kimia), analisis emisi metan (CH 4 ) serta mitigasi dan antisipasi dalam penekanan emisi metan akibat peningkatan intensitas tanam menjadi Indeks Pertanaman Padi 400 (IP Padi 400) sehingga pada akhirnya akan dihasilkan model optimum budidaya padi intensif berkelanjutan pada sawah irigasi teknis dengan beberapa skenario sehinga sehingga prinsip pembangunan pertanian berkelanjutan dapat diwujudkan. 1.4. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis pola perubahan kualitas tanah, kualitas air dan emisi metan (CH 4 ) akibat peningkatan intensitas pertanaman. 2. Menganalisis produktivitas dan ekonomi akibat peningkatan intensitas pertanaman padi pada lahan sawah irigasi teknis. 3. Menyusun model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis dengan pendekatan PTT yang rendah emisi metan secara berkelanjutan. 4. Menganalisis indeks keberlanjutan model optimum budidaya padi intensif dengan peningkatan intensitas pertanaman pada sawah irigasi teknis 5. Menyusun strategi kebijakan dalam penerapan model optimum budidaya padi intensif pada sawah irigasi teknis dengan pendekatan PTT yang rendah emisi metan secara berkelanjutan.
1.5. Hipotesis 1. Budidaya
padi
intensif
dengan
peningkatan
intensitas
pertanaman
menurunkan kualitas tanah, dan air serta meningkatkan emisi metan yang
Universitas Sumatera Utara
besar akibat peningkatan intensitas
pertanaman kecuali dikelola dengan
pendekatan PTT. 2. Budidaya padi intensif dengan peningkatan intensitas pertanaman dapat meningkatkan produksi dan produktivitas serta pendapatan petani jika dikelola dengan pendekatan PTT. 3. Model optimum budidaya padi intensif dapat mempertahankan produksi dan produktivitas padi yang tinggi dan berkelanjutan. 1.6. Manfaat Penelitian 1.
Penelitian model optimum budidaya padi intensif berkelanjutan melalui peningkatan intensitas pertanaman pada sawah irigasi teknis diharapkan mampu meningkatkan produksi, produktivitas dan pendapatan petani khususnya dalam mendukung Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN).
2.
Pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian sawah irigasi secara Optimum akan memberikan margin keuntungan ekonomi terbesar, kualitas lingkungan tetap terjaga sehingga dapat menjamin keberlanjutan usahatani dalam menentukan swasembada berkelanjutan.
3.
Diperolehnya rekomendasi kebijakan model optimum budidaya padi intensif berkelanjutan pada sawah irigasi teknis.
1.7. Novelty Penelitian Membangun model optimum budidaya padi intensif melalui peningkatan intensitas pertanaman dengan pertimbangan gas metan.
Universitas Sumatera Utara