I. PENDAHULUAN Latar Belakang
1.1.
Sebagai negara kepulauan terbesar didunia -terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang pantai 81.000 km- lndonesia terletak di daerah perbenturar! tiga lempengan raksasa, yaitu lempengan Australia yang bergerak ke utara, lempengan Pasifik yang bergerak ke barat dan lempengan Eurasia yang relatif diam. Pergerakan ketiga lempengan raksasa itu diyakini oleh ahli geologi Smit Sibinga (1933) penganut teori apungan benua
(continental drift) yang pada
pokoknya menggambarkan bahwa lapisan batuan kerak bumi yang tegar, lapisan Silicium Alumunium (SiAL), bergerak diatas lapisan kerak samudera yang terbentuk dari jenis batuan yang lebih berat dalam keadaan liat-padat karena suhu tinggi. lapisan Silicium Magnesium (SiMg). Sekitar 14 abad yang silam, jauh sebelum teori apungan benua ditemukan oleh para ahli, kandungan QS. An Naml, 88 telah mengintrodusir mengenai pergerakan kerak bumi, ayat tersebut berbunyi . .."Dan kamu lihat jibal (lempengan tektonik) itu, kamu sangka dia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan (mega). Begitulah perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Benturan ketiga lempengan tersebut mengakibatkan lndonesia dipenuhi deretan gunung berapi, yang selain berpotensi
mendatangkan
bencana juga
mengandung
cebakan
potensi
sumberdaya alam mineral yang kaya dan beragam. lndonesia memang tidak memiliki -segala macam mineral yang dibutuhkan umat manusia, karena tidak satu negarapun yang memiliki segalanya. Sekedar gambaran untuk menunjukkan betapa besar potensi sumber mineral yang dimiliki lndonesia berdasarkan data hasil penyelidikan yang telah
terhimpun sampai sekarang dengan angka-angka yang cukup mengesankan yakni sumberdaya tembaga sebagian besar dari jenis porfir ditaksir seluruhnya berjumlah 32 juta ton juga mengandung emas dan perak terdapat di Grasberg, lrian Jaya, diperkirakan cadangan tembaga porfir terkaya didunia. Sumberdaya emas primer maupun sekunder (aluvial) ditaksir sebesar 3700 ton, terdapat dihampir semua pulau besar lndonesia dengan cadangan terbesar 2700 ton di Grasberg. Sumberdaya bijih nikel laterit sebesar 1000 juta ton dengan kandungan logam sebanyak kurang lebih 13 juta ton, terdapat diberbagai daerah di lndonesia bagian timur. Sumberdaya timah sekitar 600.000 ton terdapat didaerah kepulauan timah dan sekitarnya. Endapan-endapan bauksit di Kalimantan Barat seluruhnya ditaksir 1,3 milyar ton berkadar rendah (rata-rata dengan 30% AL2O3),800 ton diantaranya berkadar (rata-rata 40%-43% AL2O3). Sumberdaya batubara seluruhnya ditaksir berjumlah 36,5 milyar ton, sebagian besar berupa lignit dan sisanya batubara subbituminus, bituminus dan antrasit. Belum termasuk bahan galian bukan logam seperti; batu gamping, marmer, pasir kuarsa, koalin, berbagai jenis lempung, dan jenis batuan lain seperti granit, sienit, peridotit dan lain sebagainya. Dengan seluruh potensi sumberdaya logam dan non logam itu, lndonesia termasuk katagori negara negara kaya (the haves). Persolaannya adalah mengapa masih banyak dan semakin banyak rakyat lndonesia yang hidup dalam kemiskinan? Tahun 1998 ILO memperkirakan 48% atau 98 juta dari total jumlah penduduk hidup dibawah garis kemiskinan berdasarkan standart kemiskinan yang berlaku secara lnternasional yaitu US$ llkapitalhari. Situasi paradoksal yang menimpa lndonesia itu digambarkan oleh Carolyn Marr "Indonesia is fabulously rich dan lndonesia is desperately poor" (Indone~iakaya secara menabjubkan dan miskin secara menyedihkan). Bukti-
.
bukti ernpirik rnenunjukkan bahwa daerah-daerah yang kaya bahan tambang dan rnemberikan kontribusi signifikan terhadap penerirnaan negara justru menempati urutan kemiskinan yang parah. Kasus yang terjadi di Aceh, Riau, Kalimantan Tirnur dan lrian Jaya rnerupakan realitas buruknya sistern bagi hasil atas kekayaan bahan tarnbang antara -negara versus investor asing- pusat versus daerah penghasil- sehingga menjadi surnber ketegangan pusat-daerah yang mengancam disentegrasi bangsa. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya mineral lebih rnernbela kepentingan penguasa dan pengusaha, daripada mengedepankan nasib rakyat secara keseluruhan. Posisi rakyat yang lemah tergambar pada berbagai pelanggaran dalam pengusahaan tambang. Satu diantara yang paling sering terjadi pada masa orde baru adalah pengambilan paksa lahan-lahan tarnbang rakyat oleh para aparat negara, yang kerapkali rnenggunakan kekeresan,
penindasan,
bahkan
hukumpun
gampang
dibengkokkan.
Persoalannya adalah mengapa terjadi berbagai tindakan yang begitu merugikan rakyat seperti tercermin pada perampasan lahan. rusaknya lingkungan, kecilnya penerimaan pemerintah daerah, praktek kebocoran anggaran, kolusi pengusaha besar dengan pejabat negara, serta berbagai peraturan yang berat sebelah. Pangkal persoalan dalam pengelolaan sumberdaya mineral di Indonesia nampaknya terletak pada interpretasi sepihak pemerintah terhadap UUD '45 pasal 33 yang berbunyi: bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar k e m a k m ~ r ~ rakyat. n UU No.1111976 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan hanya memberikan kepada negara hak atas penguasaan (right to
use), bukan hak kepemikikan kepada negara (owned by state). Sengketa antara
masyarakat adat dengan perusahaan tambang antara
lain disebabkan
ketidakjelasan mengenai siapa pemegang hak atas tambang (mineral right). Baru sekarang disadari bahwa UU pertambangan leb~hberorientasi ekonomi dan tidak mengaksentuasi pemikiran ekologi dan pembangunan berkelanjutan (ecological and sustainable sense). Tidak diakuinya hak-hak ulayat (teritorial use right) dan penghargaan terhadap kepentingan penduduk lokal merupakan bukti pemerintah tidak memiliki komitmen kerakyatan. Bila melihat penderitaan yang menimpa rakyat pemerintah telah bertindak inkonstitus~onalterhadap amanat konstitusi. Setiap usaha eksploitasi sumberdaya mineral yang tidak dapat pulih (non renewable resouces), selain stok cadangannya menjadi habis sama sekali, juga dapat merusak pernandangan (landscape) dan selalu akan menghasilkan limbah. Perusahaan tambang asing yang umumnya mendominasi kekayaan sumberdaya t a m b n g nasional dan mengurasnya bagi keuntungannya sendiri dapat terlihat dengan jelas pada komposisi kepemilikan saham hingga 90% bagi pemodal asing dan 10% sisanya dimiliki pemerintah atau perusahaan Indonesia yang melakukan kongsi dengan perusahaan asing sedangkan saham pemerintah nol. Pemerintah Papua New Guinea berani mematok komposisi kepemikian saham bagi Penanaman Modal Asing (PMA) di negeri itu, 50 persen dalam negeri dan 50 persen asing. Kita harus menyadari bahwa perusahaanperusahaan multinasional tidak tertarik untuk rnenunjang usaha pembangunan suatu negara. Perhatian mereka hanya tertuju kepada upaya maksimalisasi keuntungan atau tingkat hasil finansial atas setiap sen modal yang mereka tanamkan. Lebih dari 90 persen dana investasi asing swasta hanya mengalir ke negara-negara industri maju dan sebagian ke negara berkembang yang perekonomiannya paling dinamis dan tumbuh relatif pesat. Perusahaan-
perusahaan multinasional itu senantiasa mencari peluang ekonomi yang paling menguntungkan, dan mereka tidak bisa diharapkan untuk memberi perhatian kepada
soal-soal
kemiskinsn,
ketimpangan
pendapatan,
dan
lorijakan
pengangguran (Michael P Todaro, 1999). Penanaman Modal Asing di sektor pertambangan terbilang bisnis yang merugikan bagi pihak lndonesia karena kontribusinya terbilang kecil terhadap GNP (1-3,5%),juga pemerintah lndonesia hanya membebankan royalti (1-3,5%)
dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand, Malaysia, Philipina, dan Vietnam yang berkisar antara (3-15%). Banyak kalangan menyesalkan model kerjasama seperti itu sebagai suatu keanehan dalam ekonomi lndonesia sebagaimana dikatakan ketua MPR RI Amien Rais "Kontrak karya dibidang pertambangan yang memungkinkan pihak asing menggenggam seratus persen saham, sementara lndonesia hanya mendapat pajak penghasilan plus PBB (pajak bumi dan bangunan), suatu model kerjasama ekonomi paling aneh yang hanya terjadi di bumi pertiwi Indonesia". Yang lebih mengherankan, pemerintah memberikan perlakuan khusus (/ex spisialis) pada kontrak karya pertambangan dengan lain perkataan perbuatan hukum perusahaan tidak tunduk kepada ketentuan yang ada -atau peraturan yang lahir kemudian- jika tidak disebutkan dalam isi perjanjian yang disepakati. Kontrak Karya pertambangan juga memberikan apa yang disebut conjunctive title kepada kontraktor, yaitu hak yang berkelanjutan untuk melaksanakan kegiatan sejak dari tahap surveieksplorasi sampai dengan tahap eksploitasi-pengolahan dan penjualan hasil usaha tambangnya. Eksploitasi yang tiada akhir di dunia pertambangan di kenal dengan istilah a cradle -to- grave contrac (kontrak yang bersifat abadi). ldealnya kontrak. karya yang merupakan pintu pandora dan surat sakti pertambangan
seharusnya merupakan kesepakatan dari semua stakeholder yaitu pemerintah pusat, daerah penghasil, masyarakat dan pihak asing. Karena kesenjangan sosial yang semakin melebar itulah, telah membangkitkan sentimen nasionalisme pada perubahan sikap rakyat mulai berani menggugat perusahaan-perusahaan tambang asing yang dipandang telah merugikan itu. Sehingga timbul usulanusulan untuk melakukan nasionalisasi, pembatalan secara sepihak atau menghentikan operasi perusahaan-perusahaan asing tersebut. Berangkat dari bukti-bukti empirik buruknya kinerja pertambangan di Indonesia selama ini. Sesungguhnya negara kita berada pada fase awal dari suatu penyakit yang bernama "penyakit Belanda" (ducth deases) yakni suatu situasi dimana negara-negara penghasil sumber daya alam pernah menikmati rejeki melimpah ketika terjadi kenaikan sumberdaya alam secara berlipat ganda. Tetapi ketika harga sumberdaya alam tersebut turun secara drastis negaranegara yang kaya tersebut sulit menyesuaikan diri dengan situasi ekonomi yang baru. Sehingga muncullah teori dari kalangan ahli ekonomi mineral yang disebut teori resource curse yakni suatu fenomena yang mengungkapkan melimpahnya kekayaan alam justru telah memiskinkan sebuah negara, seperti membenarkan
pepatah orang bijak "ayam mati di lumbung padi" atau "merana ditengah kelimpahan". Tahun 1998, pemerintah lokal propinsi Hokaido Jepang, membuat kebijakan yang sangat drastis menutup pertambangan batubara di Propinsi itu karena
dinilai
tidak
ekonomis
dan
tidak jelas
sumbangannya
untuk
membangkitkan sektor lain. Selanjutnya pemerintah Hokaido bekerja keras membangun sektor lain diluar pertambangan yang terbukti berhasil. Proyek batu hijau yang dioperasikan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara selanjutnya disebut PT.NNT di kabupaten Sumbawa dengan total deposit -4,8
juta ton tembaga dan 390 ton emas, dengan komposisi kepemilikan saham PT. Newmont Nusa Tenggara di NTB, 80 persen asing dan 20 persen swasta nasional dengan sistem kontrak kzrya yang mengacu pada instrumen hukum orde baru -yang masih berlaku sampai sekarang- sangat merugikan kabupaten penghasil. Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat lingkar tambang sudah mulai merasakan adanya pelanggaran lingkungan, kasus kebocoran wilayah, komitmen tenaga kerja -60 persen lokal dan 40 persen non lokal yang tidak dipatuhi perusahaan, konflik pertanahan dan munculnya masalah-masalah sosial. PT. NNT akan membuang tailing (limbah tambang) ke teluk Senunu selama usia tambang sebanyak 1,045 milyar ton, limbang ini akan menjadi masalah serius bagi masyarakat dan lingkungan. Proyek batu hijau adalah jenis tambang terbuka (open pit), yang pada akhir usia tambang akan meninggalkan lubang menganga selebar 2 km dengan kedalaman 1 km. Bila diproyeksikan dalam dua puluh tahun yang akan datang -sesuai usia tambang- proyek batu hijau tidak akan membawa kemajuan yang berarti bagi pembangunan Sumbawa dan NTB, malah dikhawatirkan akan
menjadi daerah
miskin ditengah
kelimpahan, bahkan tidak mustahil daerah lingkar tambang - Jereweh, Taliwang dan Seteluk - akan menjadi Ghost City (kota hantu) yang ditinggalkan
penghuninya. Demi nasib rakyat dan masa depan generasi mendatang, prinsip jual murah dan jual habis oleh pemerintah Indonesia terhadap pengelolaan sumberdaya mineral harus dihentikan. Anehnya pembukaan pertambangan di negara asal perusahaan-perusahaan multinasional tersebut (Amerika, Canada dan Eropa Barat) kekayaan mineral dipandang sebagai sumberdaya terakhir (the
last resource), bahkan saat ini sedang digalakkan penghentian sementara (moratorium)
dibidang pertambangan. Lalu atas alasan apa pemerintah
lndonesia berbondong-bondong mengundang pemodal asing untuk melakukan investasi dibidang pertambangan? bukankah sektor lain masih banyak yang perlu d~berdayakan?Titik lemah pengelolaan sumberdaya mineral di lndonesia terletak pada UU No. 1111976 tentang pertambangan dan UU No. 111976 tentang PMA, keduanya telah k r u s i a 34 tahun menjadi bagian yang terlupakan dari arus besar reformasi di Indonesia. Dari diskripsi diatas, karena begitu hebatnya dampak yang ditimbulkan oleh sebuah perusahaan pertambangan peneliti merasakan adanya urgensi dan signifikansi untuk rnelakukan penelitian atas proyek batu hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa dengan judul penelitian : Analisis Dampak Ekonomi dan Sosial Tambang Emas dan Tembaga Bagi Masyarakat Komunalllokal dan Pembangunan Wilayah Propinsi NTB.
1.2.
Perurnusan Masalah Sehubungan kompleksnya persoalan yang menyangkut penambangan
emas dan tembaga oleh PT. NNT saat ini, maka rumusan permasalahan dibatasi dan difokuskan dalam konteks sebagai berikut : 1.
Seberapa besar dampak ekonomi proyek batu hijau PT.NNT bagi masyarakat komunalllokal sebelum dan sesudah proyek beroperasi ?
2.
Seberapa besar dampak ekonomi proyek batu hijau PT. NNT terhadap pembangunan wilayah Propinsi NTB ?
3.
Seberapa besar dampak sosial proyek batu hijau PT.NNT terhadap masyarakat komunal/lokal dan masyarakat lingkar tambang ?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran
yang
komprehensif
tentang
dampak
ekonomi
dan
sosial
penambangan emas dan tembaga proyek batu hijau PT. NNT khususnya bag; masyarakat komunal/lokal dan pembangunan wilayah propinsi NTB. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Seberapa besar dampak ekonomi proyek batu hijau PT. NNT terhadap hilangnya aksesibilitas dan rnata pencaharian masyarakat komunal/lokal terhadap hutan adat desa Tongo - Sejorong
2.
Seberapa besar dampak ekonomi proyek batu hijau PT. NNT terhadap hilangnya aksesibilitas dan rnata pencaharian masyarakat terhadap sumberdaya laut.
3.
Seberapa besar dampak proyek batu hijau PT. NNT terhadap hilangnya aksesibilitas masyarakat terhadap sungai.
4.
Seberapa besar dampak sosial proyek batu hijau PT. NNT terhadap perubahan tatanan sosial, gaya hidup, norma dan nilai dalam masyarakat komunal/lokal daerah lingkar tambang.
5.
Seberapa besar dampak proyek batu hijau terhadap pembangunan wilayah Propinsi NTB meliputi : kontribusi terhadap PDRB, kontribusi terhadap pembentukan nilai output wilayah, terhadap eksport dan import wilayah, terhadap serapan tenaga kerja, keterkaitan proyek batu hijau dangan sektor lain, daya penyebaran dan derajat kepekaan proyek batu hijau, dampak pengganda (multiplier effect) proyek batu hijau terhadap pengganda output wilayah, pengganda pendapatan dan pengganda tenaga kerja dan kebocoran wilayah (regional leakeges).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi NTB, tentang keuntungan apa saja yang dapat diperoleh dan berbagai masalah yar?g muncul atas keberadaan proyek batu hijau PT. NNT dari sudut pandang akademik khususnya dari dampak ekonomi dan sosial, bagi masyarakat komunal/lokal di sekitar lokasi proyek dan pembangunan wilayah Propinsi NTB sehingga dapat dijadikan landasan dalam membuat kebijakan-kebijakan
yang
lebih
menguntungkan
daerah
penghasil
dan
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya mineral di masa yang akan datang.