1
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar
untuk Provinsi Jawa Timur setelah Bojonegoro, Lamongan, dan Banyuwangi. Kontribusi beras pada tahun 2013 mencapai 5,8% (Atap, 2013) dari total seluruh kabupaten. Produksi beras ini didukung oleh luas lahan sawah yang mendominasi di kabupaten ini, yang mencapai 50.476 Ha atau 39% dari luas total wilayah (DDA, 2013). Berdasarkan data dari BPS Ngawi pada tahun 2013, luas lahan sawah beririgasi sebesar 45.925 Ha (90,98%) dan tidak beririgasi hanya 4.551 Ha (9,02%). Tinggi lahan sawah beririgasi ini memberikan dampak positif bagi pengembangan tanaman semusim seperti padi. Pemasalahan yang dihadapi Kabupaten Ngawi adalah besarnya laju konversi lahan pertanian yang terjadi setiap tahun. Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Selama tahun 2008-2014 saja telah terjadi perubahan lahan sawah ke peruntukan lain seluas 393,52 Ha (BPS, 2013), dan potensi alih fungsi lahan kedepan akan terjadi secara masif mengingat banyaknya perusahaan besar dan perusahaan menengah yang saat ini mengajukan ijin lokasi pendirian perusahaan di lahan sawah (Radar Madiun, 2014). Potensi hilangnya lahan produktif di wilayah ini sangat besar apabila dilihat dari jumlah penduduknya. Berdasarkan data BPS, Kabupaten Ngawi berpenduduk sebesar 915.493 jiwa atau 2,23% dari total penduduk di Jawa Timur.
2
Lahan sawah yang beralih fungsi tersebut biasanya terletak di dekat kota besar atau disekitar lokasi kota yang sedang tumbuh dan berkembang, yang mana industri, perdagangan, dan perumahan berkembang pesat dan umumnya, alih fungsi ini terjadi pada lahan sawah dengan irigasi yang baik. Berbagai uapaya telah dilakukan dalam rangka penambahan areal sawah pada lahan marginal, namun upaya ini belum otimal karena membutuhkan waktu yang sangat lama, selain itu walau usaha penambahan dilakukan, tidak menutup peluang potensi sawah tetap hilang karena alih fungsi. Hilangnya lahan pertanian produktif yang terjadi secara simultan apabila tidak dikendalikan oleh pemerintah akan mengancam berbagai produksi pertanian, khususnya beras yang pada akhirnya menyebabkan ketahanan pangan terganggu, baik itu dalam skala lokal maupun regional. Selain sebagai fungsi produksi, lahan pertanian produktif juga memilki fungsi sebagai penyedia lapangan kerja. Pada tahun 2013, jumlah lapangan kerja yang mampu diserap dari sektor pertanian menduduki peringkat tertinggi, yaitu sebesar 50,38%, disusul sektor jasa dan perdagangan yang masing-masing sebesar 23,91% dan 15,85% (DDA, 2013). Disamping itu, lahan pertanian juga memiliki peran cukup signifikan sebagai wilayah tangkapan air dan penjaga kelestarian lingkungan sekitar. Oleh sebab itu, terjadinya alih fungsi lahan juga akan menyebabkan hilangnya fungsi-fungsi tersebut. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian secara umum disebabkan faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal disebabkan oleh peningkatan nilai tambah lahan (land rent) yang dipengaruhi oleh: keperluan
3
untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik (Wahyunto, 2001), kepadatan penduduk, pengaruh lokasi sawah yang dekat dengan pemukiman, pola pembangunan, dan pembangunan sarana prasarana (Winoto, 2005). Sedangkan faktor internal adalah kemiskinan, yang salah satu penyebabnya adalah kepemilihan lahan yang sempit. Penguasaan lahan oleh petani yang sempit ditambah peningkatan jumlah penduduk sebesar 1,34%/ tahun (Deptan, 2006) menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap konversi lahan di pulau Jawa. Dengan rata-rata penguasaan lahan yang rata-rata hanya hanya 0,24 Ha, maka terjadi persaingan yang tidak seimbang dalam penggunaan lahan, terutama antara sektor pertanian dan nonpertanian. Buruknya kondisi sosial ekonomi memicu petani menjual lahan pertaniannya, karena merasa tidak mendapat keuntungan ekonomis dari lahan itu. Dua faktor tersebut berakibat pada kurangnya kemampuan menaikkan kapasitas produksi, dan secara psikologis semakin memojokkan citra produktivitas petani dan sektor pertanian pangan (Deptan, 2006). Salah satu kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah dalam mengatasi masalah alih fungsi lahan pertanian adalah dengan perlindungan dan pengelolaan lahan pertanian melalui kebijakan penataan tata ruang. UU Nomor 26 Tahun 2007 sudah mengamanatkan tentang lahan pertanian abadi, amanat tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Didalam undangundang tersebut pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) diharuskan menetapkan lokasi kawasan untuk pertanian pangan, sehingga alih fungsi lahan
4
dapat dikendalikan. Tindaklanjut dari pembentukan UU tersebut adalah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peraturan ini berisi tentang kriteria dan persyaratan serta tata cara penetapan komponen PLP2B, yang terdiri dari (1) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B); (2) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B); dan (3) Lahan Cadangan Pangan Pertanian
Berkelanjutan
(LCP2B)
di
tingkat
nasional,
provinsi
dan
kabupaten/kota. Lebih lanjut, turunan dari keluarnya PP No 1 Tahun 2011 adalah ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Ngawi Tahun 2010-2030 yang didalamnya memuat luasan Kawasan Pertanian Pangan. Dengan hadirnya berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, tentu diharapkan masalah alih fungsi lahan bisa segera diselesaikan, namun demikian produk undang-undang yang sudah 4 tahun berjalan ternyata tidak efektif karena banyak petani yang menolak terhadap penetapan ini. Hal ini dikarenakan
pemerintah
tidak
memberikan
insentif
bagi
petani
yang
mempertahankan lahan produktifnya. Untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan undang-undang tersebut, pemerintah pada tahun 2012 mengeluarkan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), yang mana pemerintah akan memberikan insentif kepada petani yang menanam pertanian pangan dan tidak melakukan konversi lahan. Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan konversi lahan dapat dikendalikan dan produksi pangan tetap terjaga.
5
Dengan adanya penetapan ketiga komponen PLP2B akan mempermudah pemerintah dalam pembuatan rencana, kebijakan, dan program. Penetapan LP2B dan LCP2B adalah bentuk rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota dalam menyusun KP2B. Pada UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Tata Ruang, jangka waktu pelaksanaan rencana pembangunan telah ditetapkan selama 20 tahun dengan melakukan review secara berkala selama 5 tahun. Dengan adanya review terhadap RTRW Kabupaten/Kota, diharapkan rencana LP2B dapat bersinergi dengan rencana pembangunan jangka panjang. Sebagai tahap awal, pelaksanaan PLP2B ini adalah identifikasi untuk menentukan dan menetapkan lahan pertanian pangan menjadi satu kawasan. Perencanaan ini dilakukan melalui usulan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Sampai saat ini, sudah banyak kabupaten/kota yang menetapkan luasan LP2B dalam bentuk Peraturan Daerah, namun hampir seluruh kabupaten/kota belum mampu menentukan sebaran lokasi LP2B. Permasalahan mendasar yang dialami dalam menentukan lokasi adalah ketentuan tentang kriteria teknis dan metode yang belum ada. Hermann dan Osinski (1999) mengemukakan bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) dan pendekatan model dapat digunakan dalam dalam penentuan lokasi berbasis wilayah. Hal senada juga dikemukakan oleh Ceballos-Silva dan Lo’pez-Blanco (2003), bahwa SIG dan pendekatan model dapat digunakan untuk delineasi lahan-lahan pertanian. Terbatasnya ketersediaan data dan informasi pertanian dapat ditanggulangi dengan teknologi pengolahan berbasis spasial Selain itu, dengan hadirnya UU No 12 Tahun 2012 tenteng Insentif juga
6
memberikan angin segar untuk pengelolaan lahan yang sudah ditetapkan menjadi kawasan pangan lebih lanjut. Dengan demikian, permasalahan mengenai Model Identifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) di Kabupaten Ngawi diharapkan dapat dipecahkan. 1.2
Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Tingginya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian sepanjang 5 tahun
terakhir (2008-2013) yang mencapai 93,52 Ha (DDA, 2014) telah mengancam produksi pangan. Keadaan seperti ini jika terjadi secara terus menerus akan membuat ketahanan pangan wilayah terancam. Untuk itu peran pemerintah sebagai reulator dalam melindungi lahan pertanian pangan perlu dilakukan. Upaya perlindungan lahan pertanian pangan di Kabupaten Ngawi dimulai dengan usulan perencanaan berdasarkan nota kesepakatan antara kabupatenkabupaten di Jawa Timur dengan Provinsi Jawa Timur. Dari hasil tersebut, Kabupaten Ngawi telah menerbitkan Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Ngawi Tahun 2010-2030 yang memuat luasan kawasan pertanian pangan, yaitu sebesar 41.523 Ha. Namun demikian, penentuan luasan tersebut tidak didukung dengan peta sebaran lokasi dan luasan lahan pertanian pangan dan lahan cadangan pertanian pangan. Temuan dilapangan mengindikasikan bahwa permasalahan utamanya adalah belum adanya model yang sesuai untuk identifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) di Kabupaten Ngawi.
7
Hadirnya Permentan No 07 Tahun 2013 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan, dan Lahan Cadangan Pangan Pertanian Pangan Berkelanjutan diharapkan dapat mengatasi permasalahan penentuan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Namun demikian, Permentan tersebut baru sebatas menentukan kriteria teknis untuk penentuan kawasan, sementara teknik dan metode yang digunakan belum pernah dikaji dan sebutkan. Keadaan seperti ini menyebabkan pemerintah daerah kesulitan dalam menentukan sebaran lokasi LP2B, CP2B, dan KP2B. Penentuan lokasi dan sebaran LP2B, CP2B, dan KP2B belum pernah dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dan belum ada penelitian yang membahas tentang penetapan KP2B dengan kriteria terbaru sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat diketahui model identifikasi lahan pertanian pangan, sebaran lokasi definitif dan luasan KP2B. Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat merumuskan beberapa pertanyaan dalam penelitian ini, diantaranya: 1. Seperti apa proyeksi kebutuhan lahan sawah untuk tanaman pangan pertanian
di Kabupaten Ngawi? 2. Seperti apa hasil model identifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(KP2B) di Kabupaten Ngawi? 3. Model mana yang dipilih untuk diterapkan sebagai penentuan Kawasan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) di Kabupaten Ngawi?
8
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Mengidentifikasi proyeksi kebutuhan lahan sawah di Kabupaten Ngawi;
2.
Menentukan Model Identifikasi Penentuan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) di Kabupaten Ngawi;
3.
Menentukan model yang dipilih untuk identifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) di Kabupaten Ngawi; dan
1.4
Ruang Lingkup
1.1.1. Lingkup Substansi Dalam penelitian ini, lahan yang dimaksudkan adalah lahan sawah dengan jenis tanaman pangan Padi. Lahan sawah dipilih karena padi yang ditanam di lahan sawah produksi dan produktivitasnya jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 5,99 Ton/ha (DDA, 2013) dibandingkan ditanam di lahan kering, selain itu jumlah lahan sawah di Kabupaten Ngawi yang mencapai 50.476 Ha atau kurang lebih 39% dari luas total daerah merupakan obyek yang sangat besar untuk diteliti. Sedangkan tanaman padi dipilih dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya seperti jagung, ubi kayu, maupun ubi jalar dikarenakan bahan makanan pokok didaerah tersebut adalah Padi (Beras) dan merupakan salah satu penyumbangg terbesar beras di Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini mencangkup 4 (empat) hal, yaitu: (1) penentuan proyeksi kebutuhan lahan sawah baik untuk domestik (Ngawi) dan secara total selama 20 tahun mendatang; (2) perumusan model identifikasi KP2B di Kabupaten Ngawi
9
(3) Pemilihan model yang dipilih untuk diterapkan di Ngawi dalam penentuan KP2B;. Output dari penelitian ini adalah: (1) Proyeksi kebutuhan lahan sawah; (2) karakteristik model penentuan KP2B berikut luasan dan sebaran LP2B, LCP2B; (3) pemilihan model KP2B yang dipilih. 1.1.2. Lingkup Spasial Ruang lingkup spasial penelitian ini adalah seluruh wilayah Kabupaten Ngawi yang terletak pada posisi 110o10’ – 111o40’ Bujur Timur dan 7o21’ – 7o31’ Lintang Selatan. Fokus utamanya adalah lahan sawah sebagai penghasil bahan pangan (beras) bagi masyarakat. 1.1.3. Lingkup Temporal Ruang lingkup waktu penelitian adalah paska tahun 2011, yaitu setelah dikeluarkannya UU No 10 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Ngawi 20102030 yang memuat luasan Kawasan Pertanian Pangan sebesar 41.523 Ha. Nilai luasan yang dikeluarkan berdasarkan RTRW tersebut dianggap tidak sesuai dengan kriteria umum yang sudah ditentukan berdasarkan PP No 1 Tahun 2011. Selain tidak adanya lokasi sebaran definitf dan luasan KP2B menyebabkan upaya pengelolaan tidak bisa dilakukan. Beberapa
pengertian
yang
menjadi
batasan
penilian
selanjutnya
berdasarkan UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Bekelanjutan, diantaranya: 1. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) adalah sistem
dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan,
10
memanfaatkan dan membina, mengendalikan dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. 2. KP2B adalah wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah perdesaan
yang memiliki hamparan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan/atau hamparan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. 3. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah lahan pertanian yang
ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. 4. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) adalah lahan
potensial
yang
dilindungi
pemanfaatannya
agar
kesesuaian
dan
ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan LP2B pada masa yang akan datang. 5. Penetapan KP2B merupakan bagian dari penetapan rencana tata ruang
Kawasan Perdesaan di wilayah kabupaten dalam rencana tata ruang kabupaten (RTRWK). Penetapan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) merupakan dasar peraturan zonasi.
11
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya:
1. Sebagai bahan masukan dalam penentuan lokasi Kawasan Pertanian Pangan
Berkelanjutan baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 2. Sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan pemerintah
terkait pengelolaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. 3. Sebagai bahan pengembangan khazanah keilmuan, utamanya terkait lahan
pertanian dan upaya pengelolaannya. 1.6
Keaslian Penelitian Sampai saat ini belum ada penelitian yang sama dengan penelitian yang
akan dilakukan, namun ada beberapa penelitian yang memiliki korelasi, diantaranya: Tabel 1.1. Penelitian Terdahulu Pengarang
Judul Penelitian
FX
Perencanaan
Sutrisno
Pengelolaan Usaha
Tani
Lokus DTA Lahan Barong,
Menuju Kaltim
Pertanian Berkelanjutan
Kalimantan (2002)
Metode: USLE dengan perubahan komponen
tanaman
dan
pengelolaan lahan. Hasil:
di
Daerah Tangkapan Air Danau
Fokus Substansi
Barong Timur
Faktor
yang
pengelolaan
mempengaruhi
lahan:
kelerengan
tanah, pola tanam, dan prediksi erosi. Pengelolaan
lahan
berupa
12
Pengarang
Judul Penelitian
Lokus
Fokus Substansi alternatif I-VI
Anna
Identifikasi
Buana
Kawasan
Samson
Pangan
Potensi Kabupaten Pertanian Barru
Berkelanjutan
Metode:
Deduksi
klasifikasi (supervised
untuk
Menyusun
koreksi.
RTRW
Kabupaten
Hasil:
dengan Terbimbing
classification)
dan
Barru Sulawesi Selatan
Identifikasi lahan dapat dilakukan
(2011)
melalui kesesuaian lahan dan penggunaan lahan eksisting. Perhitungan dilakukan
luasan
lahan
dengan
batas
administrasi, kontiguitas spasial, dan luasan hamparan
Penelitian ini
berbeda dengan sebelumnya, bahkan belum ada yang
melakukan penelitian tentang model penetapan KP2B berdasarkan perarturan terbaru, yaitu Permentan No 07 Tahun 2013 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan, dan Lahan Cadangan Pangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Topik penelitian ini adalah permodelan Penentuan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lokus penelitian adalah Kabupaten Ngawi. Fokus substansi adalah bebrapa model yang dapat digunakan sebagai dasar dalam penentuan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan metode gabungan (mixed methods), yaitu kuantitatif-kualitatif.
13
Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang hanya menggunakan variabel peta kesesuaian lahan untuk padi, penggunaan lahan, paduserasi hutan, dan jaringan infrastruktur jalan, serta peta Citra Satelit. Pada penelitian ini varibel yang digunakan lebih kompleks, disesuaikan dengan peraturan yang sudah ada. Selain itu, jenis peta yang digunakan adalah Citra Satelit Resolusi Tinggi keluaran terbaru tahun 2013 oleh Kementerian Pertanian dan LAPAN. 1.7
Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulisan tesis ini, sistematikan penulisan diuraikan
sebagai berikut:
Bab I
Pendahuluan Menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Ruang Lingkup Penelitan, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II
Studi Pustaka Menjelaskan tentang pengertian-pengertian yang terkait dengan materi penelitian dan landasan teori, diantaranya: (1) Pemodelan; (2) Lahan Pertanian dan Permasalahannya; (3) Upaya Perlindungan Lahan Pertanian; (4) Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; (5) Kriteria Pertanian Pangan Berkelanjutan; (6) Pengukuran Penetapan Pertanian Pangan Berkelanjutan; (7) tipe dan proses pemodelan; (8) proyeksi kebutuhan lahan sawah; (9) Model Identifikasi LP2B, LCP2B, KP2B, dan (10) pemilihan model
Bab III
Metode Kerja Penelitian Menjelaskan tentang metode yang digunakan, meliputi: lokasi dan waktu penelitian, jenis dan sumber data. Metode dan prosedur penelitian, alat penelitian, sistematika penulisan, dan Kerangka
14
Penelitian yang dilakukan peneliti. Bab IV
Gambaran Umum Daerah Penelitian Menjelaskan tentang profil Kabupaten Ngawi secara umum, gambaran umum pertanian dan ketahanan pangan, strategi dan kebijakan perlindungan lahan pertanian, dan isu lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Bab V
Kajian Metode Eksisting dan Pengembangan Rumusan Metode Menjelaskan tentang Metode Eksisting yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu dalam identifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan hasilnya dikembangkan menjadi rumusam metode baru oleh peneliti.
Bab VI
Hasil Penelitian dan Pembahasan Menjelaskan tentang proyeksi kebutuhan lahan sawah selama 20 tahun mendatang, pembuatan model untuk penentuan KP2B, identifikasi KP2B dengan menggunakan model yang sudah terbentuk, pemilihan model yang dipilih untuk penentuan KP2B di Kabupaten Ngawi.
Bab VII
Kesimpulan dan Saran Menjelaskan tentang kesimpulan dari penelitian yang dilakukan. Saran yang
disampaikan
dinas/instansi
menjelaskan
terkait
di
arahan
Kabupaten
yang
positif
kepada
Ngawi
agar
mampu
mengoptimalkan perlindungan lahan pertanian pangan.