I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keju merupakan makanan yang banyak dikonsumsi dan ditambahkan dalam berbagai makanan untuk membantu meningkatkan nilai gizi maupun citarasa. Makanan tersebut mudah diperoleh masyarakat Indonesia dengan harga yang relatif terjangkau. Komposisi nilai gizi keju hampir sama dengan sumber bahan baku utamanya yaitu susu. Kandungan nutrisi yang tinggi pada keju menyebabkan keju menjadi bahan makanan yang memiliki nilai fungsional (Herawati, 2011). Makanan yang berpengaruh positif terhadap kesehatan seseorang karena kandungan gizi yang dimilikinya dapat diartikan sebagai makanan fungsional (Winarti, 2010). Sebagai makanan fungsional, keju termasuk sumber protein dan nutrisi lainnya seperti kalsium, fosfor, dan vitamin D (Murphy dkk., 2013; Silalahi, 2006). Kalsium yang terdapat dalam keju terbukti memiliki efek positif terhadap berbagai penyakit seperti mencegah karies gigi, hipertensi, osteoporosis, dan obesitas (Walther dkk., 2008). Keju merupakan produk olahan susu, yang kandungan gizinya tidak berbeda dengan susu tetapi tidak mengandung laktosa (Law, 1984). Laktosa susu tidak dapat ditoleransi oleh sebagian orang sehingga dapat menyebabkan gejala seperti sakit perut, diare, mual, dan perut kembung (Heyman, 2006). Kondisi tersebut membuat individu dengan intoleransi laktosa dapat mengkonsumsi keju,
1
yang berkontribusi pada diet sehat karena mengandung bahan-bahan yang sangat diperlukan tubuh (Walther dkk., 2008). Konsumsi makanan manis (karbohidrat) akan mengakibatkan penurunan pH saliva sehingga dapat terjadi demineralisasi email gigi yang bila berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan terjadinya karies gigi. Demineralisasi gigi terjadi di dalam rongga mulut ketika pH saliva turun di bawah 5,5, sehingga ion kalsium dan fosfat lepas dari permukaan email gigi (Jayarajan dkk., 2011). Karies gigi merupakan penyakit gigi dan mulut yang paling sering diderita masyarakat dan dapat menyerang semua usia. Karies gigi disebabkan oleh faktor-faktor seperti gigi (host), makanan, dan mikroorganisme yang berkorelasi dalam waktu tertentu (De Almeida dkk., 2008). Remineralisasi lesi karies awal seperti white spot lesion merupakan salah satu prinsip dari perawatan minimal invasive dentistry, apabila perawatan tidak dilakukan maka akan terbentuk kavitas pada gigi (Chapla dkk., 2013). Remineralisasi merupakan proses yang terjadi secara alami karena konsentrasi kalsium dalam saliva (Gupta, 2012). Remineralisasi dapat terjadi ketika pH, konsentrasi kalsium, fosfat, dan bikarbonat dalam saliva meningkat (De Almeida dkk., 2008). Remineralisasi dapat terjadi ketika adanya ion kalsium yang bergabung dengan kristal email pada ruang lesi karies (Widjijono, 2014). Saliva tidak hanya membersihkan debris secara fisik, tetapi juga mempunyai peran penting sebagai buffer dalam menetralkan asam yang dihasilkan oleh mikroorganisme sehingga mencegah demineralisasi gigi (De Almeida dkk., 2008). Ion-ion yang berperan sebagai buffer dalam saliva
2
membawa pH kembali pada rentang normal secepat mungkin, yaitu antara 6,5 hingga 7,5 setelah gigi terpapar makanan (Kaur dkk., 2012). Kapasitas buffer saliva berhubungan langsung dengan pH saliva. Semakin tinggi kapasitas buffer saliva maka pH saliva cenderung basa. Ion buffer dalam saliva dapat mengubah pH saliva yang rendah menjadi normal dalam waktu beberapa menit. Derajat keasaman saliva menurun ketika mengkonsumsi makanan, dan dapat menjadi normal kembali karena peran komponen saliva (Stookey, 2008). Demineralisasi dan remineralisasi gigi yang terjadi di rongga mulut memiliki hubungan yang erat dengan komposisi saliva. Saliva mengandung komponen anorganik seperti kalsium, fosfat, natrium, kalium, dan bikarbonat (Kaur dkk., 2012). Peningkatan komponen kalsium dan pH saliva sangat dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi dapat menjadi sumber asupan kalsium. Kalsium merupakan komponen saliva yang dapat dimodifikasi dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung kalsium tinggi (Poureslami dkk., 2013). Salah satu cara untuk meningkatkan asupan kalsium yaitu dengan mengkonsumsi keju. Johansson (2002) mengukur perubahan pH saliva mulai dari menit ke- 5 hingga menit ke- 25 setelah konsumsi keju. Pada menit ke- 5 setelah konsumsi keju mulai terjadi kenaikan pH saliva, dan kemudian mulai terjadi penurunan pH saliva pada menit ke- 10 setelah konsumsi keju. Moynihan dkk. (1999) membuktikan bahwa terdapat kenaikan konsentrasi kalsium dalam plak gigi setelah 5 menit mengkonsumsi keju pada remaja usia 19-21 tahun. Pelepasan
3
kalsium dari keju dan difusi kalsium ke dalam plak gigi dan saliva merupakan efek protektif keju yang dapat mencegah demineralisasi (Moynihan dkk., 1999). Poureslami dkk. (2013) telah membuktikan pada subyek penelitian yang mengkonsumsi makanan berkalsium tinggi selama 14 hari dapat meningkatkan konsentrasi kalsium saliva. Asupan kalsium dari makanan akan dicerna dalam rongga mulut oleh gigi dan saliva, kemudian kalsium diserap oleh usus dan masuk ke dalam cairan tubuh yaitu darah. Kalsium dalam darah akan terdistribusi ke seluruh tubuh yang meliputi sel, saliva, tulang, dan ginjal sehingga konsentrasi kalsium saliva dipengaruhi oleh konsentrasi kalsium darah (Tordoff, 2001; Andrusishina 2010). Usia 12-14 tahun merupakan salah satu kelompok usia yang rentan terhadap penyakit gigi dan mulut karena anak cenderung berperilaku yang kurang menunjang kesehatan gigi dan mulut seperti menyukai makanan kariogenik. Pada usia ini, keadaan rongga mulut cenderung buruk dan lebih sering mengkonsumsi makanan yang bervariasi yang mempermudah timbulnya karies (McDonald dan Avery, 1994). Pada usia 12-14 tahun terkadang sulit dimotivasi untuk menjaga kebersihan rongga mulutnya. Menurut Kemenkes RI (2013), jumlah asupan kalsium yang dianjurkan untuk anak usia 10-18 tahun merupakan jumlah asupan kalsium yang tertinggi dibandingkan dengan usia lainnya. Melalui penelitian ini, dapat diketahui konsentrasi kalsium saliva sebagai komponen saliva dan pH saliva meningkat setelah konsumsi keju. Berdasarkan pada uraian tersebut, penelitian yang menunjukkan keterkaitan konsumsi keju
4
terhadap konsentrasi kalsium dan pH saliva pada anak usia 12-14 tahun perlu dilakukan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka timbul permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh konsumsi keju terhadap konsentrasi kalsium saliva 5 menit setelah konsumsi dan setelah konsumsi selama 14 hari pada anak usia 12-14 tahun? 2. Bagaimana pengaruh konsumsi keju terhadap perubahan pH saliva 5 dan 15 menit setelah konsumsi pada anak usia 12-14 tahun?
C. Keaslian Penelitian
Poureslami dkk. (2013) telah melakukan penelitian dengan judul “The effects of a dairy probiotic product, espar, on salivary calcium and mutans streptococci”.
Poureslami
dkk.
(2013)
melakukan
penelitian
dengan
membandingkan konsentrasi kalsium saliva dan jumlah streptococcus mutans dalam saliva sebelum dan setelah mengkonsumsi espar dan yogurt. Penelitian yang dilakukan oleh Moynihan dkk. (1999) menunjukkan bahwa terdapat kenaikan konsentrasi kalsium dalam plak gigi setelah 5 menit mengkonsumsi keju pada remaja usia 19-21 tahun. Penelitian yang berkaitan dengan efek konsumsi
5
makanan berkalsium tinggi terhadap kesehatan rongga mulut masih sedikit dilakukan oleh peneliti terdahulu. Penelitian ini dilakukan dengan menguji pengaruh konsumsi keju terhadap konsentrasi kalsium dan pH saliva pada anak usia 12-14 tahun.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh konsumsi keju terhadap konsentrasi kalsium saliva 5 menit setelah konsumsi dan setelah konsumsi selama 14 hari pada anak usia 12-14 tahun. 2. Mengetahui pengaruh konsumsi keju terhadap perubahan pH saliva 5 dan 15 menit setelah konsumsi pada anak usia 12-14 tahun.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain: 1. Untuk ilmu pengetahuan: a. Memberikan informasi ilmiah yang berkaitan dengan manfaat konsumsi keju terhadap konsentrasi kalsium saliva, khususnya pada anak. b. Memberikan informasi ilmiah yang berkaitan dengan manfaat konsumsi keju terhadap perubahan pH saliva, khususnya pada anak.
6
2. Untuk klinisi: Memberikan pengetahuan dan informasi ilmiah yang berkaitan dengan konsentrasi kalsium dan perubahan pH saliva setelah konsumsi keju di bidang kedokteran gigi. 3. Untuk masyarakat: Memberikan informasi bagi masyarakat tentang manfaat konsumsi keju terhadap kesehatan rongga mulut anak dalam rangka preventif terhadap terjadinya karies gigi.
7