BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rongga mulut merupakan habitat yang hangat, lembab, dan lingkungan yang kaya nutrisi sehingga tempat yang kondusif untuk pembentukan biofilm (Jenkinson & Lamont, 2005). Biofilm menurut Aas et al. (2005) merupakan sekumpulan mikroorganisme yang terperangkap di dalam matriks polimer yang berada
di
permukaan
sehingga
disebut
sebagai
polimikrobial
biofilm.
Polimikrobial biofilm hidup saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) ditemukan hampir pada semua rongga tubuh manusia termasuk rongga mulut. Biofilm tersebut dapat berfungsi sebagai pelindung sehingga mikroba yang membentuk biofilm biasanya mempunyai resistensi terhadap agen antimikroba. Pembentukan biofilm dapat dipacu dengan keberadaan serum dan saliva dalam lingkungannya (Nikawa et al., 1997). Mikroba-mikroba yang terdapat di dalam mulut antara lain Candida albicans, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Streptococcus mutans, Lactobacillus, Solobacterium moorei (Lee, 1992). Sebagian dari mikroorganisme rongga mulut telah terbukti menyebabkan sejumlah penyakit infeksi mulut, seperti karies (gigi berlubang), periodontitis (penyakit gusi), endodontik (penyakit saluran akar gigi), dan infeksi pada tonsil (Dewhirst et al., 2010).
1
Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab intoksitasi dan terjadinya berbagai macam infeksi, S. aureus umumnya dapat diisolasi dari rongga mulut pada anak-anak yang sehat dan orang dewasa, terutama dalam air liur, plak supragingiva, dan lidah (Miyake et al., 1991). Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan S. aureus yang telah mengalami mutasi sifatnya resisten terhadap methicillin, dibandingkan tipe S. aureus yang lain bakteri ini tidak lebih infektif tetapi lebih sulit untuk disembuhkan karena sifat resistensinya (Gordon & Lowy, 2008). Candida albicans sering diisolasi dari rongga mulut pasien yang sehat yang merupakan penyebab utama kandidiasis sistemik, pada isolasi C. albicans dari biofilm gigi dilaporkan bahwa C. albicans tidak hanya terkait dengan pengembangan kandidiasis oral tetapi juga dengan patogenesis karies dan penyakit periodontal (Järvensivu et al., 2004). Tindakan pencegahan terhadap penyakit gigi dan mulut perlu dilakukan agar tidak terjadi gangguan fungsi maupun penurunan aktivitas kerja bagi penderitanya (Kwan et al., 2005). Kayu secang ( Caesalpinia sappan L.) termasuk tanaman yang memiliki banyak khasiat dalam pengobatan diantaranya sebagai pembersih darah, antikanker (Park, 2002), immunostimulan, antimikroba (Lim et al., 2007), antiinflamasi (Hikino et al., 1997), dan antioksidan (Haryono, 1985). Pada umumnya, penggunaan kayu secang sebagai obat adalah dengan cara menyeduh sehingga kemungkinan bahan aktifnya dapat larut dalam air.
2
Kayu secang mengandung asam galat, brazilin (zat merah sappan) dan asam tanat (Kartasapoetra, 2004). Beberapa triterpenoid, flavonoid, dan oksigen heterosiklik ditemukan dalam isolasi komponen senyawa pada kayu secang dan brazilin ditemukan sebagai komponen utama dalam kayu secang yang diduga berperan penting pada efek farmakologis dari kayu secang. Brazilin mempunyai aktivitas farmakologis seperti anti-inflamasi, antimikroba, antioksidan, antivirus, dan anticomplementary, senyawa ini merupakan komponen utama dan senyawa penciri dari kayu secang (Batubara et al., 2010). Penelitian Rissiani (2006) dilaporkan bahwa kayu secang dalam bentuk ekstrak etanol dan infusa mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri L. acidophilus. Etanol efektif menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal dan dapat memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut (Voight, 1984). Etanol sebagai penyari yang bersifat universal diharapkan dapat menyari senyawa polar maupun non polar dari kayu secang yang memiliki aktivitas antimikroba. Air digunakan sebagai pelarut karena air umumnya digunakan oleh masyarakat dalam mengkonsumsi minuman secang. Selain itu, penelitian pendahuluan telah dilakukan terhadap aktivitas antibiofilm kayu secang yaitu pada bakteri S. aureus dan Pseudomonas aeruginosa (Pratiwi et al., unpublished data), namun belum pernah dilakukan standarisasi korelasi terhadap kadar senyawa utama terhadap aktivitas kayu secang sebagai antimikroba dan antibiofilm. Hal ini melatarbelakangi dilakukannya penelitian untuk mengetahui pengaruh ekstrak kayu secang yang diperoleh dari variasi penyari terhadap
3
aktivitas antimikroba, penghambatan pembentukan biofilm, potensinya sebagai antibiofilm pada MRSA maupun C. albicans ATCC 10231, serta korelasinya terhadap kadar senyawa utama. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian dari standarisasi kayu secang untuk sediaan mouth hygiene.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: 1. Berapa besar potensi ekstrak kayu secang yang diperoleh dengan variasi penyari sebagai antimikroba dan antibiofilm terhadap MRSA maupun C. albicans ATCC 10231? 2. Berapa besar korelasi aktivitas antimikroba dan antibiofilm ekstrak kayu secang terhadap MRSA maupun C. albicans ATCC 10231 dengan kadar senyawa utama?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak kayu secang yang diperoleh dengan variasi penyari terhadap aktivitas antimikroba dan penghambatan pembentukan biofilm pada MRSA maupun C. albicans ATCC 10231 serta korelasinya terhadap kadar senyawa utama.
4
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini akan memberikan informasi mengenai pengaruh ekstrak kayu secang yang diperoleh dengan variasi penyari terhadap aktivitas antimikroba dan penghambatan pembentukan biofilm pada MRSA maupun C. albicans ATCC 10231 serta korelasinya terhadap kadar senyawa utama, sehingga diharapkan dapat memberikan alternatif pencegahan penyakit gigi dengan bahan alami maupun pengembangan lebih lanjut untuk sediaan mouth hygiene.
E. Tinjauan Pustaka 1. Standarisasi Standarisasi ekstrak tumbuhan merupakan salah satu tahapan penting dalam pengembangan obat. Standarisasi ekstrak kayu secang dilakukan agar khasiat dan stabilitasnya dapat terjamin. Berbagai penelitian dan pengembangan yang memanfaatkan kemajuan teknologi dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu, memelihara keseragaman, keamanan, dan khasiatnya. Kebutuhan prosedur standarisasi yang tepat dan mudah dilakukan oleh berbagai perusahaan obat alami menjadi masalah penting untuk diperhatikan terutama standarisasi spesifik yang terkait langsung dengan kadar senyawa utama kayu secang. Beberapa prosedur analisis terkait standarisasi kayu secang pernah dilaporkan, diantaranya sifat organoleptik dan kandungan total fenol minuman secang (Dwi et al., 2011), ekstraksi dan uji stabilitas zat warna brazilein dari kayu secang (Nunik et al., 2012), uji fitokimia dan potensi antioksidan ekstrak etanol
5
kayu secang (Widowati, 2011), metode cepat penentuan brazilin dalam produk jamu kayu secang menggunakan spektrofotometri derivatif ultraviolet (Ghiffari, 2013), namun belum ada penelitian mengenai standarisasi senyawa utama ekstrak kayu secang secara KLT-densitometri yang berkorelasi dengan aktivitas antimikroba dan antibiofilm kayu secang. 2. Uraian tanaman Kayu Secang a. Sistematika tanaman. Kayu secang menurut Cronquist (1981), termasuk divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, bangsa Fabales, suku Caesalpiniaceae, marga Caesalpinia, dan jenis Caesalpinia sappan L. Menurut Anonim (1977) nama daerah kayu secang bermacam-macam tergantung daerahnya. Daerah Sumatera kayu secang dikenal sebagai Seupeung (Aceh), sepang (Gayo), sopang (Batak), cacang (Minangkabau). Daerah Jawa kayu secang dikenal sebagai Secang (Sunda), kayu secang, soga jawa (Jawa), kaju secang (Madura). Daerah Sulawesi kayu secang dikenal sebagai Kayu sema (Menado), dolo (Bare), sepang ( Makasar), sepang (Bugis). Daerah Maluku kayu secang dikenal sebagai sefen (Halmahera Selatan), sawalan, hinianga, sinyianga, singiang (Halmahera Utara), sunyiha (Ternate), roto (Tidore). b. Deskripsi. Kayu secang memiliki perbungaan berupa malai di ujung, panjang malai 10-40 cm; panjang tangkai bunga 15-20 cm. Daun kelopak 5, berlepasan, tepi kelopak berambut. Daun mahkota 5, berlepasan, berwarna kuning, mahkota terbesar (helaian bendera) membulat dengan garis tengah 4-6 mm, empat helai
6
daun-daun mahkota lainnya juga membulat dan bergaris tengah ± 10 mm. Panjang benang sari ± 15 mm. Panjang putik ± 18 mm. Daun majemuk rangkap genap, panjang 25-40 cm, bersirip, panjang sirip 9-15 cm; setiap sirip mempunyai 10-20 pasang anak daun yang berhadapan. Anak daun tidak bertangkai, bentuk lonjong, ukuran anak daun 10-25 mm x 3-11 mm. Terna, perdu, atau pohon, tinggi sampai 10 m. Ranting-ranting berlentisel dan berduri, bentuk duri bengkok, tersebar (Anonim, 1977). Berdasarkan Zerudo (1991), kayu secang kebanyakan tumbuh di daerah yang berbukit, pada tanah liat dan tanah kapur di dataran rendah dan dataran sedang. Tanaman ini tidak toleran terhadap tanah yang basah dan lebih menyukai daerah dengan curah hujan tahunan 700-4300 mm pada suhu 24-27,5 oC, serta pada PH tanah 5-7,5. Tanaman tersebut juga mampu tumbuh pada kondisi tanah yang sangat kering. c. Simplisia. Simplisia kayu secang berbentuk potongan-potongan kayu atau kepingan dengan ukuran sangat bervariasi atau berupa serutan-serutan, keras dan padat berwarna merah, merah jingga atau kuning. simplisia tidak berbau dan rasa agak khelat (Anonim, 1977). d. Kandungan kimia. Kayu secang mengandung tanin, asam galat, sterol : stigmasterol, ßsitosterol; polifenol: brazilin, brazilein, protosappanin A, B, C, D dan E; flavonoid: homoisoflavonoid, sappankalkon; alkaloid, saponin (Anonim, 1977; Makiko et al., 2009).
7
e. Kegunaan Kayu Secang. Sejak abad ke-19 kayu secang sudah sering dimanfaatkan sebagai obat dan pewarna makanan. Kayu secang termasuk tanaman yang memiliki banyak khasiat dalam pengobatan, dintaranya sebagai anti jamur (Yadava et al., 1978), immunostimulan, antimikroba (Lim et al., 2007), anti-inflamasi (Hikino et al., 1977). Berdasarkan Kartasapoetra, (2004), tanaman secang juga digunakan untuk pengobatan diare, batuk darah pada TBC, muntah darah, malaria, luka berdarah, memar berdarah, luka dalam, tetanus, tumor, dan nyeri karena gangguan sirkulasi darah. Bagian secang yang sering dimanfaatkan adalah potongan-potongan atau serutan kayunya. Berdasarkan penelitian Badami et al. (2003) kayu secang dapat dimanfaatkan sebagai sumber zat warna alami karena mengandung senyawa brazilin yang berwarna merah dan bersifat larut dalam air panas.
Gambar 1. Struktur kimia brazilin (Badami et al., 2003)
Ekstrak kayu secang selain sebagai pewarna mempunyai daya antibakteri terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif. Telah dilakukan uji efek antibakteri ekstrak kayu secang terhadap bakteri Gram positif seperti B. pumilus, B. subtilis, S. aureus, dan bakteri Gram negatif seperti E. coli, Klibsea pnemoniae dan jamur Penicilium aeroginosa.
8
Hasil percobaan tersebut menunjukkan bahwa ekstrak dapat bersifat sebagai antimikroba (Sundari et al., 1998). Kayu secang terdapat zat antioksidan yang bersifat labil bila serbuk kayu secang diseduh dengan air panas, hasil seduhannya lama kelamaan berubah warnanya menjadi semakin merah tua (Haryono, 1985). Secang dikembangkan juga sebagai bahan antioksidan dalam kosmetik. Ekstrak metanol maupun ekstrak etanol 50% merupakan ekstrak yang paling berpotensi
sebagai
antijerawat
berdasarkan
aktivitasnya
menghambat
pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes, serta menghambat aktivitas lipase (Batubara et al., 2010). 3. Pembuatan ekstrak Ekstraksi atau penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat yang semula berada di dalam kemudian ditarik oleh cairan penyari sehingga zat-zat aktif larut dalam cairan penyari. Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi tanaman obat dengan ukuran pertikel tertentu dan menggunakan medium pengekstrasi (menstrum) yang tertentu pula (Agoes, 2007). Terdapat beberapa macam metode ekstraksi, diantaranya adalah: a. Maserasi. Maserasi merupakan metode ekstraksi yang sederhana, dimana proses pengekstraksian simplisia dilakukan melalui perendaman menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan. Pengadukan dilakukan untuk meratakan konsentrasi sehingga perbedaan konsentrasi antara larutan dalam dan luar sel sekecil-kecilnya (Anonim, 1986).
9
Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia halus dengan pelarut yang dapat melarutkan zat aktif yang akan disari. Perbedaan konsentrasi di luar dan di dalam sel menyebabkan cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan di luar sel, maka larutan yang pekat didesak ke luar. Peristiwa ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Keuntungan metode ini ialah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara maserasi ialah pengerjaan yang lama dan penyariannya kurang sempurna. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain (Ansel, 1989). b. Infundasi. Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit. Infusa yang mengandung bukan bahan berkhasiat keras dibuat dengan menggunakan 10% simplisia (Anonim, 1995). Infundasi merupakan proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Penyarian ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu, sari yang diperoleh tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Cara ini sangat sederhana dan sering digunakan oleh perusahaan obat tradisional (Anonim, 2010a).
10
4. Uraian mikroba uji a. Methicillin Resistant Staphylococcus aureus. Methicillin Resistant Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang resisten terhadap antibiotik penisilin, S. aureus merupakan flora normal yang ada pada kulit manusia dan termasuk salah satu flora normal di dalam mulut (Lee, 1992). Bakteri S. aureus termasuk bakteri Gram positif yang tidak berspora, tidak bergerak, berbentuk sferis, dan apabila menggerombol dalam susunan yang tidak teratur mungkin sisinya agak rata karena tertekan. Besar diameternya adalah antara 0,9-1,0 mikron. Bakteri ini tumbuh dengan baik dalam kaldu pada suhu 37oC. Pertumbuhan optimum pada suhu 37oC pada suasana aerob, tetapi bakteri ini juga anaerob fakultatif dan dapat tumbuh dalam udara yang hanya mengandung hidrogen, pH optimum untuk pertumbuhan adalah 7,4 (Warsa, 1994). Bakteri MRSA atau S. aureus yang telah mengalami mutasi sifatnya resisten terhadap methicillin. Bakteri ini tidak lebih infektif dibandingkan tipe S. aureus namun lebih sulit untuk disembuhkan karena sifat resistensinya. Staphylococcus aureus umumnya dapat diisolasi dari rongga mulut pada anakanak yang sehat dan orang dewasa, terutama dalam air liur, plak supragingiva, dan lidah (Miyake et al., 1991). b. Candida albicans. Candida albicans berbentuk lonjong, kecil, berdinding tipis, bertunas, Gram positif, berukuran 2-3 x 4-6 μm, yang memanjang menyerupai hifa (pseudohifa), pada sediaan apus eksudat. Candida membentuk pseudohifa ketika tunas-tunasnya terus tumbuh tapi gagal melepaskan diri, bersifat dimorfik, selain
11
ragi-ragi dan pseudohifa, ia juga menghasilkan hifa sejati, menghasilkan koloni halus berwarna krem dengan aroma ragi dalam media Sabouraud Agar inkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam, C. albicans merupakan spesies Candida yang paling poten dari spesies Candida lainnya, setelah diinkubasi pada serum 2-3 jam dengan suhu 37 oC , sel-sel ragi C. albicans akan membentuk hifa sejati atau tabung bening (Jawetz et al., 1991). Candida merupakan flora normal dalam selaput lendir, saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan genitalia wanita. Dalam rongga mulut, spesies Candida yang paling dominan adalah C. albicans, di dalam rongga mulut yang sehat dilaporkan berkisar antara 30% – 70%, C. albicans merupakan mikroorganisme oportunistik pada tubuh manusia karena pada keadaan tertentu jamur ini mampu menyebabkan infeksi dan kerusakan jaringan (Takuya et al., 2007). 5. Biofilm a. Biofilm. Biofilm dapat dibentuk oleh spesies tunggal atau sering juga oleh bermacam-macam spesies dari jamur dan mikroba (Nobile & Mitchel, 2007). Berdasarkan Flemming et al. (2007) biofilm terbentuk dari kumpulan populasi mikroba yang melekat pada permukaan dan terperangkap dalam matriks extracellular polymeric substance (EPS). EPS adalah biopolimer yang dihasilkan oleh mikroba pada tempat biofilm itu melekat. Penyusun utama EPS adalah polisakarida, sehingga merupakan polimer gula, bahan penyusun lainnya berupa protein, glikoprotein, glikolipid dan lainnya.
12
Pembentukan biofilm secara umum terdiri dari beberapa langkah utama. Langkah pertama adalah deposisi dari mikroorganisme, langkah berikutnya adalah penempelan produk eksopolimer mikroba dengan cara adhesi mikroba. Langkah selanjutnya adalah pertumbuhan, perkembangbiakan, dan penyebaran (Tenke et al., 2004). Komunikasi antar mikroba memainkan peran penting dalam proses infeksi, mikroorganisme rongga mulut
berinteraksi antara lain dalam menggunakan
metabolit akhir produk masing-masing, salah satu interaksi mikroba patogen dalam pembentukan biofilm adalah antara S. aureus sebagai mikroba patogen prokariotik dan C. albicans sebagai mikroba patogen eukariotik (Shirtliff et al., 2009). 6. Uraian antimikroba Mikroba adalah organisme berukuran mikroskopis yang antara lain terdiri dari bakteri, fungi dan virus. Interaksi mikroba dengan manusia, ada yang bersifat merugikan. Contohnya C. albicans, S. viridans, S. aureus, S. mutans, S. moorei dan Lactobacillus merupakan mikroba patogen pada mulut karena menjadi penyebab utama terbentuknya plak, gingivitis, dan karies gigi (Lee, 1992). Antimikroba secara umum merupakan zat yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan digunakan untuk kepentingan pengobatan infeksi pada manusia dan hewan. Menurut Fardiaz (1983), antimikroba terdiri dari antibakteri, antiprotozoa, antifungi, dan antivirus. Senyawa antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan
13
bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat kapang), dan germisidal yaitu menghambat germinasi spora bakteri. Senyawa kimia yang memiliki sifat sebagai antimikroba adalah senyawa fenolik, alkohol, halogen, logam berat, detergen, dan senyawa amonium kuartener. Senyawa – senyawa tersebut dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba (Pelczar & Chan, 1986). Sifat selektif zat antimikroba berarti senyawa berbahaya bagi suatu mikroba, tetapi tidak berbahaya bagi inangnya. Suatu senyawa antimikroba memiliki kadar minimal yang dibutuhkan untuk menghambat mikroba atau membunuhnya, yang masing-masing disebut Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). Kadar Hambat Minimum didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dari suatu antimikroba yang akan menghambat pertumbuhan kasat mata dari mikroorganisme setelah inkubasi selama 24 jam, sedangkan Kadar Bunuh Minimum merupakan
konsentrasi terendah dari
antimikroba yang mampu mencegah pertumbuhan suatu organisme setelah disubkultur ke media bebas antibiotik (Schunack et al., 1990). KHM banyak digunakan dalam diagnosis laboratorium untuk melihat resistensi mikroba atau meneliti aktivitas in vitro dari senyawa antimikroba yang baru. Efektivitas antimikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain senyawa antimikroba, jenis, jumlah, umur kehidupan mikroba, suhu, waktu, sifat dan kimia substrat seperti pH, kadar air, jenis, dan jumlah terlarut (Pelczar & Chan, 1986).
14
7. Uji aktivitas antimikroba Uji ini mengukur respons pertumbuhan populasi mikroorganisme terhadap agen antimikroba. Ada banyak metode terstandar yang tersedia untuk menguji aktivitas antimikroba suatu senyawa seperti disk diffusion, agar dilution, antibiotic gradient disks, dan dilusi cair metode ini telah lama digunakan untuk uji antimikroba (Jorgensen, 1993; Amsler, et al., 2010). Metode mikrodilusi cair paling banyak digunakan karena sederhana dan sesuai untuk sebagian besar mikroba (Jorgensen, 1993). Selain itu uji ini memberikan hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat atau membunuh mikroba (Jawetz et al., 1991). 8. Uraian tentang uji antibiofilm Uji penghambatan biofilm dilakukan untuk mengetahui pengaruh suatu senyawa terhadap pembentukan biofilm. Uji ini dilakukan di dalam microplate Ubottom 96-well. Pengujian ini menggunakan metode dilusi cair yaitu dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Untuk menguji efek senyawa terhadap pembentukan biofilm, senyawa uji dengan konsentrasi tertentu ditambahkan ke sumur uji sebelum diinkubasi. Microplate U-bottom 96-well ditempatkan dalam inkubator 37 °C selama 40 jam untuk MRSA (Quave et al., 2008), sedangkan C. albicans diinkubasi selama 24 jam (Harriot & Noverr, 2006). Setelah dikeluarkan dari inkubator, isi microplate dibuang dan dicuci dengan air mengalir sebanyak 3 kali. Total biomassa pada biofilm dapat diukur dengan Crystal Violet (CV) (Cristensen et al., 1985), sehingga setelah dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, maka
15
dilakukan pewarnaan menggunakan CV. Tujuan dari pewarnaan ini dimaksudkan untuk mewarnai lapisan biofilm yang terdiri dari lapisan sel. Metode pewarnaan ini merupakan metode yang murah, mudah, dan cukup sensitif untuk mengevaluasi kemampuan bakteri dalam membentuk biofilm (Peeters et al., 2008). Microplate dicuci kembali dengan air mengalir sebanyak 3 kali, kemudian dikeringkan dan ditambahkan 200 μL etanol 96%, diinkubasi pada suhu kamar selama 15 menit. Penambahan etanol 96% untuk melarutkan CV yang terikat pada lapisan sel, sehingga banyaknya CV yang terikat ini berbanding lurus dengan banyaknya sel pada biofilm atau bisa dikatakan berbanding lurus dengan ketebalan biofilm yang terbentuk. Larutan ini selanjutnya dipindahkan 150 μL pada microplate flat bottom 96 wells, metode ini merupakan modifikasi dari penelitian Hertiani et al. (2010) dengan bakteri uji S. mutans. Absorbansi dibaca pada microplate reader dengan panjang gelombang 595 nm (Skogman, 2012). Optical density yang terbaca berbanding lurus dengan biofilm yang terbentuk pada setiap well (Quave et al., 2008), dilakukan replikasi sebanyak tiga kali. 9. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis adalah suatu metode pemisahan fisikokimia, dimana lapisan pemisahnya digunakan fase diam dan fase gerak yang cocok (Ganjar & Rohman, 2007). Metode KLT banyak digunakan
dalam bidang
penelitian dan pengembangan seperti klinis kedokteran, forensik kimia, biokimia, dan farmasi analisis (Lui et al.,1994). KLT banyak digunakan dalam analisis dan preparasi obat, karena dalam waktu singkat dapat memisahkan komponen
16
senyawa dalam obat, menghasilkan data semi kuantitatif sehingga memungkinkan untuk menentukan kualitas suatu obat, dengan bantuan prosedur pemisahan yang tepat, KLT dapat digunakan untuk menganalisis campuran obat dan preparasi senyawa fitokimia (Wagner & Bladt, 1996). Pengujian pada tanaman obat digunakan KLT jenis adsorbsi menggunakan adsorben anorganik (seperti silika, alumina, dan florisil) sebagai fase diam. Mekanisme retensi sebagian besar diatur oleh interaksi intermolekul spesifik antara gugus fungsi larutan dan sisi aktif permukaan adsorben. Aktivitas fase gerak ditentukan oleh polaritas fase gerak yang digunakan (Kimura et al., 2008). Prinsip pemisahan dalam kromatografi lapis tipis adalah pemisahan campuran dalam jumlah kecil dengan pergerakan pelarut melalui permukaan datar. Komponen bermigrasi pada laju yang berbeda disebabkan oleh perbedaan kelarutan, kepolaran, ukuran atau muatan. Hasil KLT berupa bercak-bercak yang terpisah pada pelat KLT. Untuk mendapatkan pemisahan yang bagus, jumlah bahan yang digunakan untuk KLT harus sekecil mungkin, volume sampel yang besar ketika dilakukan deteksi (dengan pereaksi warna) akan menghasilkan bercak yang tumpang tindih (Wagner & Bladt, 1996). Deteksi KLT dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Deteksi kualitatif dilakukan dengan sinar ultraviolet (UV) pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm, sedangkan secara kuantitatif dapat dilakukan dengan metode KLT densitometri dimana detektornya dilengkapi dengan spektrofotometer yang panjang gelombangnya dapat diatur antara 200 nm sampai 700 nm. Derajat retensi atau jarak pengembangan senyawa pada kromatogram dinyatakan sebagai faktor
17
retensi (Rf) yang merupakan Parameter KLT. Rf merupakan nilai yang digunakan untuk menunjukkan posisi dari zat terlarut pada kromatogram. Faktor retensi adalah jarak antar garis awal dan bercak dibagi jarak antara garis awal dan garis akhir fase gerak. Nilai Rf berada antara 0 dan 0,999. Hasil yang dapat dipercaya adalah saat parameter Rf berada antara 0,2 hingga 0,8 (Khopkar, 1985). 10. Densitometri Densitometri merupakan metode penetapan kadar suatu senyawa dengan mengukur kerapatan noda senyawa pada lempeng kromatografi menggunakan instrumen TLC-scanner. Pengukuran dilakukan dengan mengukur serapan analit, pemadaman flouresensi analit, atau hasil reaksi analit. Keuntungan utama analisis secara KLT-densitometri adalah waktu yang diperlukan lebih singkat dan lebih murah biaya operasionalnya dibandingkan KCKT (Jork et al., 1990).
F. Keterangan Empiris Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh keterangan empiris pengaruh ekstrak kayu secang yang diperoleh dengan variasi penyari terhadap aktivitas antimikroba dan penghambatan pembentukan biofilm pada MRSA maupun C. albicans ATCC 10231 serta korelasinya terhadap kadar senyawa utama.
18