BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berperan penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Pendidikan yang dijalankan secara benar akan menghapus kebodohan, sehingga dapat tercipta sumber daya manusia yang kompeten dan berkualitas. Dewasa ini banyak anak bangsa yang mampu menjadi ahli ekonomi, dosen, dokter, pengacara, hakim hingga politisi yang dikenal hebat dalam bidangnya, namun sejumlah perilaku negatif yang mengarah pada penyelewengan hukum dan pelanggaran moral masih sering terjadi, bahkan dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan seperti kekerasan, pemerkosaan, pembunuhan, penipuan hingga korupsi. Pada tanggal 24 September 2012 terjadi tawuran antar pelajar yang melibatkan siswa dari SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta. Dua hari setelah itu, tepatnya pada tanggal 26 September 2012 kasus serupa kembali terjadi dan melibatkan siswa dari sekolah swasta yaitu SMA Kartika dan SMA Yayasan Karya 66 Jakarta (Akuntono, 2012a). Dua kasus tawuran yang terjadi secara beriringan tersebut tidak hanya berdampak pada luka fisik semata, namun juga menyebabkan kematian. Polda Metro Jaya melaporkan bahwa terdapat 139 kasus tawuran dengan 12 korban tewas sepanjang Januari-Juni 2012, sedangkan menurut laporan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak bulan Januari-September 2012 jumlah pelajar yang tewas akibat tawuran berjumlah 27 orang dari 128 kasus yang terjadi di wilayah Jakarta dan sekitarnya (Dagur, 2012) .
1
2
Pada hari Selasa 19 Februari 2013 juga pernah terjadi tawuran antar pelajar di wilayah kota Yogyakarta. Kasus tersebut melibatkan sekelompok pelajar dari SMA 10 Yogyakarta dan SMA Muhamadiyah 3 Yogyakarta (Ose, 2013). Sekitar tahun 2011 juga pernah terjadi beberapa kasus tawuran antar pelajar di wilayah kota Yogyakarta, seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1 Data Tawuran antar Pelajar Kota Yogyakarta Tahun 2011 No
Hari & Tanggal
Sekolah
1.
Jumat, 22 April 2011
Pelajar SMU Gama dengan SMU Bopkri 2 Yogyakarta
2.
Sabtu, 1 Oktober 2011
Pelajar SMK Piri 1 dengan SMK Muhamadiyah 3 Yogyakarta
3.
Sabtu, 29 Oktober 2011
Pelajar SMA 6 dengan SMA Muhamadiyah 2 Yogyakarta
Sumber: Iwan (2012) jogja.tribunnews.com
Tawuran pelajar bukanlah satu-satunya kekerasan yang sering terjadi dalam dunia pendidikan. Tindak penganiayaan atau yang lebih dikenal dengan bullying juga masih sering terjadi di sekolah. Salah seorang siswa di SMA DON Bosco Jakarta melaporkan adanya bullying yang dilakukan oleh beberapa siswa senior dalam sebuah kegiatan orientasi siswa baru (Akuntono, 2012b). Selain dilakukan oleh siswa, kekerasan di sekolah juga melibatkan guru. Pada bulan februari 2012 seorang guru dari SMP Negeri 2 Baturaden kota Banyumas provinsi Jawa Tengah diduga telah melakukan kekerasan dengan cara menendang dan memukul siswa yang tidak mengikuti pelajaran tambahan. Pihak sekolah berusaha menutupi kasus tersebut dan menyatakan bahwa yang terjadi hanyalah upaya untuk mendisiplinkan siswa (Ilyas, 2012). Berkaitan dengan semakin banyaknya pengaduan terhadap kasus yang berhubungan dengan kekerasan fisik oleh guru di sekolah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Mohammad Nuh menyatakan bahwa: “Guru
3
boleh memberikan hukuman fisik kepada siswa sebagai bentuk pelajaran selama tidak berlebihan” (Akuntono, 2012b). Fungsi dan tujuan pendidikan Indonesia menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 pasal 3 adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, namun dalam pelaksanaannya pendidikan yang selama ini berlangsung masih menekankan pada pencapaian aspek kognitif siswa, dan kurang memberikan perhatian pada aspek afektif (Assegaf, 2004). Hal inilah yang kerap disebut sebagai salah satu penyebab semakin banyaknya siswa yang terlibat dalam tindak kekerasan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Kesenjangan ini pula yang kemudian melatarbelakangi Pemerintah untuk kembali mengkaji dan menyempurnakan kurikulum yang telah ada (KTSP) menjadi kurikulum 2013. Orientasi pengembangan kurikulum 2013 adalah tercapainya
kompetensi
yang
berimbang
antara
sikap,
keterampilan,
dan
pengetahuan (Jayagiri, 2012). Kurikulum 2013 menekankan pencapaian aspek kognitif, afektif dan psikomotorik secara seimbang dalam pembelajaran yang holistik dan menyenangkan. Pelaksanaan pendidikan menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 menuntut penerapan pendidikan yang dijalankan secara seimbang. Oleh karena itu selayaknya jika aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa
4
memperoleh perhatian yang utuh dan seimbang. Upaya ini harus terus dilakukan secara konsisten agar siswa tidak hanya cerdas secara kognitif, namun juga memiliki kebaikan sikap dan berakhlak mulia. Kegagalan fatal dari sebuah proses pendidikan terjadi bukan karena ketidakmampuan siswa dalam mencapai standar kelulusan mata pelajaran tertentu, tetapi terjadi ketika produk didik (siswa) tidak lagi memiliki kepekaan hati nurani yang berlandaskan pada moralitas atau sense of humanity (Elmubarok, 2009). Kepekaan hati nurani yang berlandaskan moralitas dapat menjadi tolok ukur bagi terwujudnya perilaku positif dalam diri siswa. Sebaliknya saat siswa tidak memiliki kepekaan hati nurani, mereka dapat melakukan tindakan yang berseberangan dengan moral, sehingga mudah melakukan tindakan yang dapat menyakiti sesama. Moralitas pada dasarnya merupakan penyelesaian konflik antara diri sendiri dengan orang lain, dan antara hak dengan kewajiban (Desmita, 2006). Pendidikan yang pada hakikatnya berfungsi untuk membantu perkembangan siswa tidak dapat dilepaskan dari kualitas lingkungan. Menurut Santrock (2002a) sekolah yang berhasil bagi siswa harus memperhitungkan perbedaan individual memperlihatkan keperihatinan yang dalam, dan menekankan perkembangan sosial dan emosional sebanyak perkembangan intelektualnya. Sekolah harus menjadi lingkungan yang baik, aman serta ramah bagi siswa, namun ternyata masih banyak siswa yang mengalami kekerasan di sekolah. Komisioner Perlindungan Anak Indonesia Badriyah Fayumi menyatakan bahwa kekerasan yang dialami oleh siswa justru banyak terjadi di sekolah dan dilakukan oleh orang terdekat siswa; 29,9% kekerasan di sekolah dilakukan oleh guru, 42,1% oleh teman sekelas, 28%
5
dilakukan oleh teman yang berbeda kelas (Sundari, 2012). Lingkungan sekolah yang tidak aman dapat menjadi faktor penghambat terlaksananya pembelajaran dan perkembangan siswa. Berbagai kasus kekerasan yang telah dipaparkan sebelumnya, mulai dari tawuran, bullying serta kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa dapat dikategorikan sebagai agresivitas. Agresivitas adalah perilaku yang secara sengaja dilakukan untuk menyakiti orang lain dalam bentuk fisik maupun verbal (Berkowitz, 1995; Ormroad, 2008). Menurut hasil penelitian diketahui bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan tindakan agresif yang berbeda. Laki-laki cenderung melakukan agresi fisik dan verbal yang bersifat langsung, sedangkan perempuan cenderung banyak terlibat dalam tindakan agresif yang bersifat tidak langsung (Hess & Hagen, 2006). Agresi tidak langsung juga dikenal sebagai agresi relasional, yaitu bentuk agresi yang tidak tampak (samar) terdiri dari perilaku merusak atau mempengaruhi hubungan, reputasi dan keadaan psikologis seseorang,
misalnya
dengan
cara
menggoda,
memanipulasi,
mengejek,
meremehkan atau mengeluarkan seseorang dari kelompoknya (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Laki-laki juga dianggap lebih agresif dibandingkan dengan perempuan. Salah satu penyebabnya adalah karena anak laki-laki diketahui lebih suka memainkan game yang berunsur kekerasan. Memainkan game yang berunsur kekerasan secara terus-menerus
diprediksi
dapat
menurunkan
perilaku
prososial
seseorang
(Fergusson, Rueda, Cruz, Ferguson, Fritz & Smith 2008). Begitu pula halnya dengan karakter pahlawan yang berjuang melawan kekerasan baik dalam game maupun
6
tayangan TV dapat mempengaruhi pemahaman anak-anak bahwa kebenaran hanya dapat diperjuangkan melalui kekerasan (Anderson & Bushman, 2001; Slotsve, Carmen, Saryer & Villareal-Watkins, 2008). Penulis melakukan studi awal di dua sekolah untuk memperoleh gambaran mengenai agresivitas siswa. Studi pertama dilakukan di SMA Negeri 6 Yogyakarta pada akhir November 2012 menggunakan bantuan angket. Hasil angket menunjukkan bahwa rata-rata siswa/siswi melaporkan pernah berperilaku agresif melalui berbagai cara seperti: Membentak teman agar ditakuti, memukul teman, memberikan panggilan buruk, mengadu domba, menggosip dan menyebarkan isu yang tidak benar (fitnah), menjauhi dan mendiamkan teman yang dianggap bersalah. Studi kedua dilakukan sekitar pertengahan Januari 2013 di SMA Bopkri 2 Yogyakarta dengan wawancara. Menurut Mahasiswa Bimbingan Konseling yang sedang PPL di sekolah tersebut menyatakan bahwa siswa/siswi dari jurusan IPS sering menunjukkan perilaku yang lebih agresif dibandingkan dengan siswa dari jurusan lain. Informasi tersebut diperkuat dengan keterangan Ibu “AMB” selaku guru dan Waka kesiswaan di sekolah tersebut. Beliau menyatakan bahwa siswa/siswi dari jurusan IPS cenderung sulit diatur, kurang disiplin, dan sering membolos dibandingkan dengan siswa dari jurusan lainnya. Siswa/siswi yang terlibat dalam kegiatan studi awal berada pada rentang usia remaja, yaitu antara 15-17 tahun. Menurut Steinberg (2011) rentang usia antara 14-17 tahun berada pada perkembangan remaja tengah atau setara dengan ratarata usia siswa pada jenjang SMA. Remaja merupakan masa peralihan perkembangan yang ditandai dengan sejumlah perubahan besar meliputi fisik,
7
kognitif dan psikomotorik. Perkembangan remaja berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun dan berakhir hingga masa remaja akhir sekitar usia 20 tahun (Papalia, dkk, 2009). Pada masa ini remaja telah mengalami perkembangan fisik dan kognitif yang lebih baik, serta telah mampu membentuk dan menjalin relasi sosial secara lebih luas baik di sekolah maupun di luar sekolah. Remaja memasuki apa yang disebut Erickson sebagai psychological moratorium yaitu suatu kesenjangan antara keamanan di masa anak-anak dan otonomi di masa dewasa (Santrock, 2002a). Penalaran remaja berada pada tingkat konvensional (conventional reasoning) yang ditandai dengan kemampuan menginternalisasikan nilai-nilai moral yang didasarkan pada standar moral eksternal. Oleh karena itu, remaja telah mampu mengenal konsep-konsep moralitas dengan lebih baik seperti; kejujuran, keadilan, dan kesopanan (Desmita, 2006; Santrock, 2002a). Wang, Zhou, Lu, Wu, Deng, Hong, Gao dan He (2012) melakukan penelitian tentang keterlibatan siswa remaja dalam tindak penganiayaan (bullying) di Guangdong Cina. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa 20,83% siswa remaja terlibat dalam bullying, 18,99% menjadi korban bullying, 8,60% sebagai pelaku, dan 6,74% melaporkan menjadi korban sekaligus pelaku bullying. Agresivitas pada remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi, namun faktor yang paling signifikan dalam menyebabkan agresivitas pada remaja adalah hubungan dengan teman sebaya (Imtiaz, Yasin & Yaseen, 2010). Secara psikologis siswa yang agresif kurang memiliki kematangan emosi dan memiliki keterampilan sosial yang rendah, cenderung salah mengartikan isyarat-isyarat sosial sehingga meyakini bahwa agresi adalah cara pemecahan masalah yang tepat dan efektif untuk
8
dilakukan (Etikawati, 2008). Bakhtiar (2010) menyebutkan sejumlah faktor penyebab yang melatarbelakangi kekerasan remaja di sekolah yaitu solidaritas antar anggota geng, emosi, keinginan mendapatkan pengakuan sosial agar dapat dihormati dan berkuasa dalam suatu kelompok, aktualisasi diri, senioritas, dan pengaruh lingkungan. Anderson dan Bushman (2002) menyebut beberapa faktor internal yang ikut mempengaruhi perilaku agresif remaja yaitu kepribadian, keyakinan, sikap, nilai, dan tujuan jangka panjang. Agresivitas siswa di sekolah berhubungan dengan kualitas iklim sekolah. Menurut Barnes (2012) semakin baik iklim sekolah akan semakin rendah tingkat kekerasan (agresivitas) yang terjadi di sekolah. Level agresi relasional yang tinggi pada siswa berhubungan dengan persepsi siswa terhadap sekolah sebagai lingkungan yang tidak aman, dan disertai dengan atmosfer sosial yang kurang memuaskan (Goldstein, Young & Boyd, 2008). Temuan tersebut juga didukung oleh Yildiz dan Sumer (2010) bahwa lingkungan sekolah yang tidak aman berhubungan erat dengan tingginya kekerasan yang dialami oleh siswa. Rasa aman di sekolah menjadi faktor kuat yang mendukung keberhasilan proses belajar, perkembangan, dan pencapaian pretasi siswa di sekolah (Johnson & Stevens, 2006; Macneil, Prater & Busch, 2009). Siswa yang memiliki persepsi positif mengenai iklim sekolahnya akan lebih mungkin untuk bertindak dan menunjukkan sikap saling perduli terhadap sesama dan mencegah niat buruk dari sesama siswa (Syvertsen, Flanagan & Stout, 2009). Iklim sekolah merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dalam hal ini Freiberg (1999) menyatakan bahwa keberadaan iklim sekolah dapat
9
berpengaruh positif bagi terciptanya lingkungan belajar yang sehat, namun secara signifikan juga dapat menghalangi tercapainya proses pembelajaran. Sekolah yang beriklim positif memiliki beberapa ciri yaitu: Tidak ada tindak kekerasan, memiliki keamanan fisik, menerapkan disiplin yang tinggi, serta memiliki hubungan yang menekankan rasa aman dan sikap perduli terhadap sesama (Bosworth, Ford & Hernandaz, 2011; Konstantina & Pilios-Dimitris, 2010). Selain iklim sekolah, agresivitas siswa juga disebabkan oleh faktor dalam diri berupa
keyakinan
normatif mengenai agresi. Hasil penelitian
sebelumnya
menunjukkan bahwa keyakinan normatif mengenai agresi berkorelasi positif dengan perilaku agresif siswa (Amjad dan Skinner, 2008; Elsaesser, Gorman-Smith & Henry, 2012; Huesman & Guerra, 1997; Werner & Hill, 2010). Seseorang yang meyakini bahwa bergosip (agresi relasional) merupakan tindakan yang benar, dia cenderung akan bergosip. Demikian pula halnya dengan keyakinan normatif mengenai agresi fisik, akan mengarahkan individu pada tindakan agresi yang serupa dengan apa yang diyakininya (Goldstein & Tisak, 2009). Keyakinan normatif mengenai agresi menjadi faktor internal yang dapat membedakan tingkat agresivitas seseorang dengan orang lain. Saat seseorang meyakini bahwa agresi merupakan respon yang tepat dalam situasi sosial, maka dia akan relatif lebih agresif dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki keyakinan tersebut (Werner & Nixon, 2005). Keyakinan normatif juga menjadi salah satu faktor penting dalam upaya memahami regulasi perilaku agresif seseorang, sekaligus menentukan bagaimana cara seseorang bereaksi dalam sebuah situasi yang mengancam atau tidak menguntungkan bagi dirinya (Amjad & Wood, 2009).
10
Dalam
teori
ekologi
Bronfenbrenner
dijelaskan
bahwa
lingkungan
mempunyai pengaruh yang kuat dalam perkembangan seseorang (Santrock, 2007). Swartz dan Martin (dalam Nassar-McMilan, Karvonen, Perez & Abrams, 2009) menyatakan bahwa sekolah dapat dipandang sebagai suatu ekosistem masyarakat. Oleh karena itu hubungan antar konteks, identitas individu dan dialektik di antara mereka harus terjalin secara seimbang. Perubahan kecil baik dalam sikap maupun perilaku di sekolah dapat berpengaruh terhadap seluruh sistem yang berada didalamnya. Kasus kekerasan yang menimpa siswa di sekolah dapat diminimalisir dengan beberapa cara yaitu; menunjukkan sikap positif dalam mencegah tindak kekerasan yang terjadi di sekolah, intensif berdiskusi mengenai kekerasan, mampu mengenali tanda-tanda perilaku bullying, dan menunjukkan keseriusan dalam melakukan intervensi terhadap kasus bullying. Intervensi dari guru dan sesama siswa dalam menghentikan perilaku agresif berdampak pada rendahnya aksi bullying di sekolah (Konstantina & Pilios-Dimitris, 2010). Iklim sekolah yang dipersepsi negatif oleh siswa dapat mempengaruhi perilaku siswa ke arah yang negatif, karena keadaan atau kualitas lingkungan yang tidak menyenangkan (sering terjadi kekerasan) dapat memicu agresivitas seseorang (Berkowitz, 1995). Keterlibatan siswa dengan teman sebaya semakin meningkat pada masa remaja. Mereka juga cenderung mengikuti standar norma teman sebaya yang tidak selamanya positif. Kohlberg (dalam Santrock, 2002a) meyakini bahwa interaksi dengan teman sebaya merupakan bagian penting dari stimulasi sosial yang dapat menantang individu untuk mengubah orientasi moralnya. Hoffman (dalam Santrock,
11
2002a) menyatakan bahwa remaja adalah masa yang penting dalam perkembangan moral, terutama ketika individu berpindah dari sekolah dasar yang relatif homogen ke sekolah lanjutan yang lebih heterogen. Saat itu remaja dihadapkan dengan munculnya kontradiksi antara konsep moral yang telah mereka terima dengan yang mereka alami di luar keluarga. Hubungan orang tua dengan remaja pada masa ini berada pada masa yang rawan konflik (Santrock, 2002b). Hal ini terjadi karena keterikatan remaja dengan teman sebayanya semakin menguat, sehingga cenderung mengikuti perilaku teman sebaya sebagai norma perilakunya. Masa SMA merupakan periode sosial yang cukup penting dalam kehidupan remaja. Salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan atau kegagalan remaja pada masa ini adalah popularitas. Bagi sebagian remaja, popularitas merupakan faktor penunjang identitas diri dalam kelompok sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Borch, Hyde dan Cilessen (2011) menunjukkan bahwa siswa yang populer adalah individu yang menarik secara fisik serta agresif. Daya tarik fisik dan popularitas adalah dua hal yang sangat dekat dengan dunia remaja, namun tidak menutup kemungkinan hal tersebut justru menjadi penyebab remaja menjadi agresif. Menurut Moffitt (dalam Farrell, Henry, Schoeny, Bettencourt & Tolan, 2010) kenakalan pada remaja berfungsi untuk menunjukkan kematangan diri (maturity), serta untuk meningkatkan status sosial di kalangan teman sebayanya. Pengaruh kuat yang menyertai siswa di usia sekolah khususnya pada masa remaja tidak hanya terletak pada orangtua, namun telah bergeser ke area yang lebih luas yaitu sekolah dan seluruh individu yang ada didalamnya (guru dan teman sebaya). Menurut Lim dan Ang (2009) keyakinan normatif siswa dipengaruhi oleh
12
norma sosial yang terdapat di lingkungan sekolah. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Henry, Guerra, Huesmann, Tolan, Van Acker dan Eron (dalam Salmivalli & Voeten, 2004) bahwa norma injungtif atau keyakinan normatif teman sekelas dalam menerima tindakan agresif tidak hanya berpengaruh terhadap keyakinan normatif mengenai agresi, namun juga berdampak langsung terhadap perilaku agresif. Hal ini berarti bahwa, baik atau buruknya norma sosial yang terbentuk di sekolah akan ikut menentukan bagaimana keyakinan dan perilaku siswa selanjutnya. Werner dan Hill (2010) menegaskan bahwa siswa yang berada dalam sebuah lingkungan sekolah dengan kelompok teman sebaya yang mendukung perilaku agresif akan menjadi lebih agresif dari sebelumnya. Menurut Wirawan (1995) hubungan antara individu dengan lingkungannya sangat tergantung dengan hasil pemaknaan yang diperoleh individu dalam mempersepsi lingkungannya. Oleh karena itu, lingkungan sekolah yang yang negatif berkontribusi terhadap sosialisasi dan peningkatan masalah perilaku agresif pada siswa (Thomas, 2006). Hasil penelitian Yildiz dan Sumer (2010) menunjukkan bahwa iklim sekolah yang tidak aman menjadi prediktor yang signifikan bagi perilaku agresif. Selain itu, iklim psikososial sekolah yang positif juga berpengaruh terhadap rendahnya kekerasan dari guru terhadap siswa (Gotfredson, Gottfredson, Payne & Gottfredson, 2005). Oleh karena itu, Barnes (2012) menegaskan bahwa iklim sekolah dapat digunakan sebagai variabel penelitian untuk menjelaskan signifikansi terjadinya kekerasan di sekolah. Berangkat dari hasil kajian terhadap beberapa penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa iklim sekolah yang negatif
13
berhubungan erat dengan perilaku agresif siswa. Begitu pula dengan keyakinan normatif mengenai agresi diketahui berkorelasi dengan agresivitas siswa. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk meneliti peran ikim sekolah dan keyakinan normatif mengenai agresi terhadap agresivitas siswa di sekolah. Dalam penelitian ini penulis melibatkan sejumlah siswa/siswi yang berada di jenjang SMA. Remaja telah mengalami perkembangan yang matang baik pada aspek kognitif, afektif maupun psikomotoriknya. Perkembangan moral remaja berada pada tingkat penalaran konvensional, mereka telah mampu menginternalisasikan standar moral eksternal ke dalam diri mereka sebagai dasar penilalain moral yang berlandaskan pada norma interpersonal dan moralitas sosial dalam bentuk pemahaman aturan, hukum, keadilan dan tugas-tugas sosial (Santrock, 2002b). Apakah agresivitas siswa disebabkan faktor internal berupa keyakinan normatif mengenai agresi, atau disebabkan faktor ekseternal berupa iklim sekolah yang negatif? Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan diketahui melalui proses penelitian yang akan dilakukan selanjutnya.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan permasalahan yaitu: 1. Apakah iklim sekolah dan keyakinan normatif mengenai agresi berperan dalam menyebabkan agresivitas siswa? 2. Variabel manakah yang mempunyai peran lebih besar dalam menyebabkan agresivitas siswa?
14
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran iklim sekolah dan keyakinan normatif mengenai agresi terhadap agresivitas siswa. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis Memberikan data empiris mengenai peran iklim sekolah dan keyakinan normatif mengenai agresi terhadap agresivitas siswa. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan secara umum, dan khususnya pada bidang psikologi pendidikan serta pihak-pihak yang tertarik untuk mengkaji agresivitas siswa di sekolah. 2. Manfaat Praktis Pada tataran praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan agresivitas siswa, serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah ataupun meminimalisir meningkatnya agresivitas siswa di sekolah.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Agresivitas pada siswa bukan merupakan tema baru dalam penelitian psikologi. Telah cukup banyak peneliti baik dari dalam maupun luar negeri yang telah melakukan penelitian dengan menjadikan agresivitas sebagai variabel utama dalam penelitiannya. Berikut ini adalah hasil dari beberapa penelitian yang berhubungan dengan permasalah penelitian ini:
15
1. Bakhtiar (2010) meneliti tentang: Kajian kriminologis mengenai tindak kekerasan terhadap anak didik (bullying) di SMU. Penelitiannya menggunakan metode normatif empiris menghasilkan temuan bahwa: kekerasan terhadap anak didik dilatarbelakangi oleh rasa solidaritas anggota geng, emosi di kalangan remaja, ingin mendapatkan pengakuan sosial agar dapat dihormati dan berkuasa di dalam sebuah kelompok, aktualisasi diri, senioritas serta pengaruh lingkungan. Penelitian ini juga mengkategorikan bullying sebagai tindak pidana. 2. Maghfirah dan Rachmawati (2010) dengan judul penelitian “Hubungan antara iklim sekolah dengan kecenderungan perilaku bullying”. Tujuan penelitiannya adalah untuk menguji hubungan antara iklim sekolah dengan kecendrungan perilaku bullying. Subjek penelitian berjumlah 73 siswa/siswi dari SMP Negeri 2 Bantul, Yogyakarta. Pengumpulan data menggunakan dua jenis skala, yaitu skala iklim sekolah dan skala kecendrungan perilaku bullying. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara iklim sekolah dengan kecenderungan perilaku bullying. Dengan kata lain, semakin negatif iklim sekolah maka semakin tinggi kecendrungan perilaku bullying, atau semakin positif iklim suatu sekolah semakin rendah kecendrungan siswa terlibat dalam bullying. 3. Isliko (2008) dengan judul tesis “Pengalaman tindak kekerasan remaja Dari peer dan orang tua yang berdampak pada agresivitas remaja di kota Kupang NTT”. Menurutnya, agresivitas terjadi karena pemodelan perilaku. Perilaku yang diperkuat dan dari pengalaman terhadap kekerasan yang diperoleh selama individu berinteraksi dengan lingkungan terdekatnya. Lingkungan terdekat dari
16
individu adalah orang tua dan peer (teman sebaya). Subjek berjumlah 90 orang umur 15-18 tahun kelas X-XII tingkat SMA di Kupang. Hasil yang diperoleh adalah, ada hubungan yang signifikan antara kekerasan yang dialami oleh remaja dari orang tua dan peer dengan agresivitas remaja di kota Kupang. 4. Konstantina dan Pilios-Dimitris (2010) School characteristic as predictors of bullying and victimization among Greek midle school students. Tujuan penelitian adalah untuk meneliti hubungan iklim sekolah dan respon pihak sekolah terhadap kasus bullying dan korban bullying, dengan jumlah sampel sebesar 114 siswa yang diambil dari tiga sekolah menengah pertama di Yunani. Hasil penelitian itu adalah sekolah dengan iklim yang sangat positif memiliki korban bully dengan jumlah yang sedikit. Sekolah yang didalamnya terdapat intervensi dari guru dan sesama siswa untuk menghentikan perilaku agresif juga memiliki sedikit aksi bullying. 5. Penelitian dari Werner dan Nixon (2005) dengan judul penelitian: Normative beliefs and relational aggression: An investigation of the cognitive bases of adolescent aggressive behavior. Penelitian dilakukan dalam dua kali: tahap pertama menggunakan jumlah sampel sebesar 122 siswa perempuan, tingkat tujuh dan tingkat delapan dari sekolah pinggiran, dengan latar belakang keluarga ekonomi rendah dan mengengah. Penelitian pada tahap kedua, peneliti mencoba menambahkan sampel penelitian dengan jenis kelamin laki-laki, total keseluruhan sampel adalah 1208 siswa. Hasil penelitian membuktikan bahwa keyakinan seseorang akan mempengaruhi perilaku. Dengan kata lain, keyakinan tentang agresi relasional secara unik berhubungan dengan keterlibatan siswa
17
dengan tindakan agresi relasional, begitupula halnya dengan keyakinan pada agresi fisik. 6. Owusu-Banahene dan Amadehe (2008), dengan judul penelitiannya: Adolescent students beliefs about aggression and the association between beliefs and reported level of aggression: A study of senior high school students in Ghana. Tujuan penelitian adalah untuk menguji perbedaan gender mengenai keyakianan di antara siswa di Ghana dan hubungannya dengan level agresi. Total sampel berjumlah 800 siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa laki-laki memiliki nilai yang tinggi pada skor keyakinan instrumental, sedangkan siswa perempuan justru menunjukkan skor yang lebih tinggi pada keyakinan ekspresif atau dengan kata lain, keyakian instrumental berkorelasi positif dengan level agresi sedangkan keyakinan ekspresif berkorelasi negatif dengan level agresi siswa. 7. Elsaesser, Gorman-Smith dan Henry (2012) dengan judul penelitian: The role of the school environment in relational aggression and victimization. Tujuannya adalah untuk menguji kemungkinan keterlibatan siswa tingkat SMP dalam agresi relasional dan menjadi korban dari agresi relasional, dengan mengevaluasi keyakian individu mengenai kekerasan, meliputi: aspek lingkungan seperti iklim interpersonal dan respon sekolah terhadap kekerasan. Jumlah sampel penelitian 5625 siswa. Hasil penelitian: keyakinan individu mengenai agresi dan persepsi individual tentang lingkungan sekolah berhubungan kuat dengan adanya perlakuan dan korban tindakan agresi relasional.
18
8. Goldstein, Young dan Boyd (2008) meneliti: Relational aggression at school: Association with school safety and social climate. Tujuannya adalah untuk menguji paparan agresi relasional di sekolah yang berhubungan dengan persepsi remaja dan partisipasi mereka di sekolah dengan lingkungan yang bermusuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparan remaja terhadap agresi relasional dikaitkan dengan komponen persepsi remaja mengenai iklim sekolah. Remaja yang menunjukkan level yang tinggi pada agresi relasional menganggap lingkungan sekolah mereka kurang aman, dan mereka kurang puas dengan atmosfer sosialnya. Bahkan untuk siswa laki-laki, terpapar agresi relasional dikaitkan dengan membawa senjata ke sekolah. Menurut
hasil
penelusuran
penulis
terhadap
beberapa
penelitian
sebelumnya, diketahui bahwa belum ditemukan peneliti lain yang telah meneliti agresivitas siswa dengan menggunakan variabel iklim sekolah dan keyakinan normatif mengenai agresi secara bersama-sama pada siswa di jenjang SMA. Hal inilah yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian tentang peran iklim sekolah dan keyakinan normatif mengenai agresi terhadap agresivitas pada siswa di jenjang SMA.