1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Allah memberikan angurah kepada masyarakat Aceh yang kaya dengan hasil bumi yang memiliki kualitas yang khas. Alam Aceh memiliki anugerah sumber daya alam yang beraneka ragam sehingga sektor pertaniannya kaya akan berbagai hasil produk pertanian seperti Kopi Gayo, Pala, Nilam, Lada, Cengkeh, Pinang, Kelapa Sawit, Jagung, rotan, tebu, cacao dan Pisang Siem. Produk pertanian yang dihasilkan di setiap wilayah juga memiliki ciri khas atau karakteristik tertentu yang menjadi keunggulan produk pertanian dari masing-masing daerah, baik dari sisi aroma, cita rasa, warna, ukuran maupun tekstur yang khas yang merupakan keunggulan daya saing produk tersebut. Kekhususan karakteristik produk tersebut dihasilkan dari pengaruh kondisi alam setempat dan interaksinya dengan masyarakat sekitarnya. Dalam kerangka hukum hak kekayaan intelektual barang atas hasil bumi yang khas tersebut dapat dimohonkan pendaftaran indikasi geografisnya. Berdasarkan data dan informasi di lapangan, komoditas pertanian yang sudah mendapatkan sertifikasi indikasi geografis masih terfokus pada produk kopi dan baru dimiliki oleh 2 (dua) wilayah/daerah yakni Kopi Kintamani yang berasal dari Provinsi Bali dan Kopi Gayo yang berasal dari Provinsi Aceh. Padahal, kita mengetahui bahwa cukup banyak komoditas pertanian asal Indonesia yang memiliki karakteristik khas dan menjadi keunggulan daya saing dari
1
Universitas Sumatera Utara
2
komoditas sejenis yang dihasilkan oleh negara lain. Dengan sertifikasi indikasi geografis, diharapkan akan diperoleh manfaat yang luas dan cukup. Secara signifikan berpengaruh terhadap kemajuan dan perkembangan kelompok tani/masyarakat, percepatan pengembangan wilayah, serta peningkatan daya saing produk dimaksud dipasar domestik maupun internasional. Untuk memperkuat upaya peningkatan daya saing komoditas kopi, pada tahun 2012 fasilitasi terkait dialokasikan kegiatan pengembangan sertifikasi indikasi geografis akan dilaksanakan pada 11 (sebelas) provinsi dengan 13 (tiga belas) lokasi penghasil produk pertanian.1 Potensi alam tersebut menjadi anugerah bagi bangsa Indonesia untuk pertumbuhan ekonomi, jikalau potensi tersebut dapat dimanfaatkan dan digunakan sebagai aset perdagangan. Dalam konteks ini, apabila potensi tersebut masuk ke dalam kategori aset bisnis atau perdagangan, maka aturan hukum harus dapat menjamin agar hak-hak pihak yang memanfaatkan potensi tersebut dapat terlindungi. Apalagi jika potensi tersebut sudah diperdagangkan ke dunia internasional (export dan import). Indikasi Geografis adalah salah satu rezim dari Hak Kekayaan Intelektual selain Paten, Hak Cipta, Informasi Rahasia/Rahasia Dagang dan beberapa jenis HaKI lainnya. IG merupakan sebuah nama dagang yang dikaitkan, dipakai atau dilekatkan pada kemasan suatu produk dan berfungsi menunjukkan asal tempat produk tersebut. Asal tempat itu mengisyaratkan bahwa kualitas produk tersebut amat dipengaruhi
1
http://www.deptan.go.id/pedoman%20teknis%20pelaksanaan%20indikasi20.pdf, tanggal 21 November 2013
diakses
Universitas Sumatera Utara
3
oleh tempat asalnya, sehingga produk itu bernilai unik di benak masyarakat, khususnya konsumen, yang tahu bahwa tempat asal itu memang punya kelebihan khusus dalam menghasilkan suatu produk.2 Perlindungan hukum terhadap berbagai macam produk yang mencirikan indikasi geografis di Indonesia harus bisa menjawab tantangan global (perdagangan bertaraf internasional) yakni dengan memberikan aturan hukum yang memadai sehingga dapat memberikan kepastian hukum terhadap produk asli Indonesia di luar negeri. Pasalnya perlindungan terhadap produk IG-nya Indonesia masih jauh dari harapan meskipun Indonesia sudah meratifikasi berbagai perjanjian Internasional seperti Persetujuan TRIPs melalui Keppres No. 7 Tahun 1994 dan The Paris Conevntion for the Protection of Industrial Property 1883 (Konvensi Paris 1883).3 Hal tersebut dibuktikan dengan adanya contoh dua kasus mengenai pelanggaran indikasi geografis yang dapat menjadi pelajaran, yaitu kasus pelanggaran Kopi Toraja dan Kopi Gayo. Kasus pendaftaran merek Kopi dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co. dimulai pada saat pemilik merek “Toarco Toraja” tersebut mengajukan permohonan perlindungan atas merek kopi yang mulai populer di Jepang. Ancaman adanya pesaing yang menggunakan merek dagang dengan nama yang sama menjadi dasar permohonan perlindungan mereknya pada 1974 dan kemudian pendaftarannya dikabulkan pada 1976.4
2
Miranda Risang Ayu, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual,Indikasi Geografis, (Bandung: Alumni, 2006), hal 1 3 indrarahmataullah.wordpress.com/2013/10/25/perlindungan-indikasi-geografis-dalam-hakkekayaan-intelektual-hki-melalui-ratifikasi-perjanjian-lisabon/diakses tanggal 1 Desember 2013 4 Damian, Eddy. dkk. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar (Bandung, Alumni, 2002) hal 15
Universitas Sumatera Utara
4
Indonesia merupakan negara megadeversit dengan keragaman budaya dan sumber daya alami. Dari segi sumberdaya alami banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Keterkenalan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum yang bisa untuk melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan curang dalam perdagangan.5 Di Indonesia, indikasi geografis telah diatur dan disesuaikan dengan beberapa perjanjian internasional meskipun secara subtansi tidak mutlak sama. Indikasi geografis diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, untuk selanjutnya disebut UU Merek pada Pasal 56 ayat (1) yang menyebutkan: Indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut sehingga memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Indikasi Geografis untuk selanjutnya disebut IG ini TRIPs telah mengaturnya pada Section 3 Article 22-24.6 Untuk memastikan adanya perlindungan terhadap IG di negara-negara anggota perjanjian TRIPs ini adalah setiap negara anggota diharuskan untuk menyediakan legal means atau cara-cara atau upaya hukum untuk melindungi IG dalam hukum nasional mereka.7
5
Saky Septiono, Perlindungan Indikasi Geografis (Jakarta, 2012), hal. 1 F. Scott Kieff and Ralph Nack, 2008, International, United States and European Intellectual Property Selected Source Material 2007-2008, Aspen Publisher, USA, page 56 7 Miranda Risang Ayu, Op.Cit., hal. 33 6
Universitas Sumatera Utara
5
Sebagai respon dari pasal IG di dalam UU Merek, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2007 yang mengatur secara teknis tentang IG. Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak eklusif yang diberikan negara kepada individu pelaku HAKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas) nya dan agar orang lain termotivasi untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga dengan sistem HAKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar. Di samping itu sistem HAKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya lainnya yang sama dapat dihindari atau dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.8 Perubahan sosial ini berdampak dalam bidang ekonomi yakni dengan terbentukya perdagangan bebas. Salah satu isu yang menyerukan pada era perdagangan bebas ini adalah dalam bidang Hak Kekayaan intelektual. Permasalahan ini mengemuka dikarenakan Hak Kekayaan Intelektual merupakan bidang yang tidak terpisahkan dari persetujuan pendirian organisasi perdagangan dunia.9
8
“Hak Kekayaan Intelektual” www. Dirjen HKI, diakses pada tanggal 10 Maret 2013 Budi Agus Riswadi dan Siti Sumartiah, Masalah-masalah Hak Kontemporer (Yogyakarta: Gita Nagari, 2006), hal 1 9
Universitas Sumatera Utara
6
Indikasi Geografis berdasarkan UU Merek No. 15 Tahun 2001, IG adalah indikasi-indikasi atau tanda yang karena faktor lingkungan geografis, faktor alam, faktor manusia atau kombinasinya, dapat mengidentifikasikan bahwa suatu barang berasal dari suatu daerah, di mana mutu yang dihasilkan, reputasi atau sifat-sifat lain barang tersebut dapat dicirikan secara mendasar terhadap asal geografisnya. Dalam pengaturan UU Merek 2001, obyek indikasi geografis tidak dibatasi secara tegas hanya berupa hasil alam. Karena UU tersebut mengatur bahwa dari tiga kelompok masyarakat yang berhak mengajukan permohonan indikasi geografis, salah satunya adalah pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri. Itu berarti bahwa obyek indikasi geografis dapat mencakup hasil budaya. Pengaturan demikian menjadi membingungkan, karena obyek hasil budaya masyarakat lokal sesungguhnya dapat pula dianggap sebagai folklor. Persoalannya adalah pengaturan untuk folklor tidak menggunakan UU Merek, tetapi menggunakan UU Hak Cipta. Obyek indikasi geografis seharusnya dibatasi pada hasil alam saja. Karena sesuatu seharusnya disebut sebagai indikasi geografis jika keunikan, keistimewaan, atau keunggulan dari produk tersebut dibandingkan dengan produk sejenis lain lahir dari bumi (geo) tempat produk tersebut berasal. Jika yang hendak ditonjolkan adalah manusianya, maka folk adalah kata yang lebih tepat. Oleh karena itu, di masa mendatang sebaiknya pengaturan tentang indikasi geografis ini dirubah.10
10
Brian Prastyo. http://staff.blog.ui.ac.id/brian.amy/2008/04/09/merek-dan-indikasi-geografis/ diakses tanggal 21 Januari 2014
Universitas Sumatera Utara
7
Persoalan lain dari pengaturan mengenai indikasi geografis adalah inkonsistensi. Dalam sistem hukum merek, perlindungan hukum pada pemilik merek baru efektif jika yang bersangkutan telah mendaftarkan mereknya tersebut. Artinya, tanpa pendaftaran maka ditinjau dari segi hukum merek kedudukan hukum dari pemilik merek dalam mengantisipasi kompetitor atau lawan bisnisnya menjadi agak lemah. Terlepas dari kekurangan yang ada, policy dari pengaturan tersebut jelas. Tetapi dalam konteks indikasi geografis, apa yang dikehendaki oleh pembuat UU menjadi tidak jelas. Karena mereka menyatakan bahwa indikasi geografis yang tidak didaftarkan disebut indikasi asal; dan pemegang atas hak indikasi asal punya hak yang sama dengan pemegang hak atas indikasi geografis, karena indikasi geografis masalah yang baru bagi Bangsa Indonesia. Terdapat kekhasan yang ditonjolkan dari dua pengertian tersebut. Merek yang lebih menonjolkan simbol dan IG yang lebih menonjolkan kepada hasil alam yang dihasilkan oleh suatu daerah. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sudaryat, dalam bukunya Hak Kekayaan Intelektual yang menerangkan bahwa IG digunakan dalam hubungannya dengan produk barang adalah:11 1. Tempat dan daerah asal 2. Kualitas dan karakteristik produk 3. Keterkaitan antara kualitas atau karakteristik produk dengan kondisi geografis dan karakteristik masyarakat daerah/tempat asal barang.
11
Sudaryat, Hak Kekayaan Intelektual , (Bandung: Oase Media, 2010), hal. 178
Universitas Sumatera Utara
8
Sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa IG lebih menonjolkan kepada produk yang dihasilkan oleh faktor lingkungan geografis yang merupakan kombinasi dari faktor alam dan faktor manusia. Secara tidak langsung, pendaftaran IG akan memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan, dengan adanya produk IG, dengan sendirinya reputasi suatu kawasan IG akan ikut terangkat, di sisi lain IG juga dapat melestarikan keindahan alam, pengetahuan tradisional, serta sumberdaya hayati, dan ini akan berdampak pada pengembangan agrowisata, dengan IG juga akan merangsang timbulnya kegiatankegiatan lain yang terkait seperti pengolahan lanjutan suatu produk. Demikian pula pengembangan teori di bidang kebijakan dan hukum dalam pemerintahan untuk melindungi perwujudan “traditional knowledge”, Industri yang banyak berkembang di wilayah Aceh kebanyakan masuk dalam kategori Usaha Kecil dan Menengah. Berdasarkan Undang-Undang Usaha Kecil Nomor 9 Tahun 1995 kriteria-kriteria dari usaha kecil adalah sebagai berikut: 12 a. Memiliki kekayaan (aset) bersih paling banyak Rp. 200,000,000 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan, tempat usaha: b. Memiliki hasil penjualan tahunan (omzet) paling banyak Rp. 1 milyar. c. Milik warga negara Indonesia; d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau terafiliasi baik langsung maupun tidak langsung
12
Sutrisno Iwantono, Kiat Sukses Berwirausaha, Strategi Baru Mengelola Usaha Kecil dan Menengah, (Jakarta: Grasindo, 2002), hal. 4
Universitas Sumatera Utara
9
oleh usaha besar atau usaha menengah, berbentuk badan usaha perseorangan, badan usaha tidak berbadan hukum, atau usaha berbadan hukum, termasuk koperasi. 13 Kesadaran hukum masyarakat Aceh terhadap inventarisasi barang yang berpotensi untuk didaftarkan IG-nya di Provinsi Aceh, saat ini mulai muncul keinginan tersebut, salah satunya contoh saat Pendaftaran “Gayo Mountain Coffee” Community Trade Merk (CTM) No.001242965 sebagai merek dagang di Eropa (yang sebenarnya tidak bisa didaftarkan sebagai merek) telah memicu pemilik merek yang juga eksportir kopi untuk melakukan persaingan curang, dengan melakukan pelarangan terhadap salah satu eksportir kopi Indonesia. CV. Arvis Sanada salah satu perusahaan eksportir kopi arabika asal Gayo Aceh dilarang mengeksport kopi ke daratan Eropa dengan menggunakan kata Gayo dalam kemasannya, padahal biji kopi tersebut memang berasal dari Gayo Aceh yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan hukum sangat banyak jumlahnya yaitu Seperti:14: 1. Benda bergerak, seperti emas, perak, kopi, teh, alat-alat elektronik, peralatan telekominukasi dan informasi, dan sebagainya 2. Benda tidak bergerak, seperti tanah, rumah, toko, dan pabrik; 3. Benda tidak berwujud, seperti paten, merek, dan hak cipta. Hak Atas Kekayaan Intelektual sebagai induknya yang memiliki dua cabang besar yaitu : 13
O. K. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2004), hal. 15 14 Sumber Dirjen Hak kekayaan Intelektual Kemenkumham, 13 Desember 2012
Universitas Sumatera Utara
10
1. Hak milik perindustrian/hak atas kekayaan perindustrian. 2. Hak cipta beserta hak-hak berkaitan dengan hak cipta.15 Jika kita perhatikan, Indonesia sangat kaya akan kekayaan alam berupa hasilhasil pertanian, barang-barang kerajinan tangan dan hasil industrinya, sangat banyak sekali potensi IG yang perlu segera di daftarkan ke kantor Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Masyarakat dan perusahaan sering ingin menggunakan nama geografis untuk menunjukkan asal dari barang atau jasa yang mereka tawarkan kepada masyarakat. Istilah IG atau Geographical Indications telah banyak digunakan dalam beberapa kali negosiasi antar negara-negara peserta WTO, sehingga pada akhirnya disepakati dimasukkan dalam persetujuan TRIPs. Sebelum perjanjian TRIPs berhasil disepakati, istilah yang digunakan untuk IG ada beberapa macam.16 Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis menyusun dalam bentuk sebuah tesis dengan judul: Pendaftaran Indikasi Geografis atas Barang-Barang Hasil Pertanian/Perkebunan di Aceh B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang merupakan permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah: 1. Bagaimana keberadaan barang berpotensi untuk dilindungi indikasi geografis sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku di Aceh? 15 LPK HI FH UI bekerjasama dengan Ditjen HKI, Kepentingan Negara Berkembang terhadap Hak atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Tradisional, LPKHI FH- UI, Bogor, 2005, hal 10 16 Tomi Suryo Utomo, 2010,Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global Sebuah Kajian Kontemporer,Graha Ilmu,Yogyakarta, hal 219
Universitas Sumatera Utara
11
2. Bagaimana pendaftaran indikasi geografis atas barang-barang yang memiliki berpotensi untuk didaftarkan indikasi geografis di Aceh? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui keberadaan barang berpotensi untuk dilindungi indikasi geografis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Aceh. 2. Untuk mengetahui pendaftaran indikasi geografis atas barang-barang yang memiliki berpotensi untuk didaftarkan indikasi geografis di Aceh. D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis a. Sebagai bahan untuk menambah khasanah keilmuan bagi para akademisi dan dunia pendidikan pada umumya, khususnya di bidang mengenai Hukum Hak Kekayaan Intelektual. b. Memberikan sumbangan pemikiran didalam usaha dibidang ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum mengenai hak kekayaan intelektual tepatnya indikasi geografis di Indonesia. 2. Secara Praktis a. Sebagai sumber informasi ilmiah dibidang hukum, guna mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang sudah diperoleh, memberikan masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang
Universitas Sumatera Utara
12
terkait dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan mengenai hak kekayaan intelektual terhadap Inventarisasi barang yang berpotensi menjadi Hak Kekayaan Intelektual menurut IG. b. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak terkait yang berhubungan
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
dengan
perlindungan IG di Indonesia, misalnya pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan pengusah/pengrajin yang memiliki karakteristik khas yang dipengaruhi faktor geografis. E. Keaslian Penelitian Penelusuran kepustakaan, khususnya di perpustakaan Fakultas Hukum dan pada Program Pascasarjana Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara penelitian tentang “Pendaftaran Indikasi Geografis atas Barang-barang Hasil Pertanian dan Perkebunan di Aceh” tidak ditemukan judul penelitian yang sama, dengan demikian penelitian ini dapat disebut asli dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional dan objektif serta terbuka, dengan demikian ini keaslian tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana untuk
memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu
Universitas Sumatera Utara
13
disertai dengan pemikiran teoritis’’17 Permasalahan mengenai HaKI akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan berbagai aspek lainnya. Akan tetapi, aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan HaKI tersebut. Teori yang digunakan dalam penulisan ilmiah ini adalah merujuk pada 3 (tiga) teori yaitu; teori perundang-undangan, teori utilitas dan teori kesadaran hukum yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam pembahasan penelitian ini. 1.
Teori Perundang-undangan Dalam dunia ilmu, teori menenpati kedudukan yang penting, ia memberikan
sarana untuk menerangkan dan memahami masalah yang berkaitan, dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematiskan masalah yang dibicarakan. Teori perundang-undangan bukan berarti pendapat tentang cara melakukan sesuatu, bukan pula berarti pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa, misalnya teori tentang terjadinya bumi, teori tentang evolusi asal usul manusia, dan sebagainya. Secara umum dan abstrak kata "teori" ialah sistem pernyataan-pernyataan, pendapat-pendapat, dan pemahaman-pemahaman yang logik dan saling berkaitan mengenai suatu bidang kenyataan, yang dirumuskan demikian rupa sehingga memungkinkan penarikan hipotesa-hipotesa yang dapat diuji padanya. 18
17
Ronny H. Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum (Jakarta: 1992), hal 22 A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan Indonesia yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman, (Perpustakaan UI, Jakarta, 2008), hal 1 18
Universitas Sumatera Utara
14
Menurut A. Hamid S. Attamimi, asas pembentukan peraturan perundangundangan yang patut, meliputi:19 a. b. c. d. e. f. g.
Asas tujuan yang jelas Asas perlunya pengaturan Asas organ/lembaga dan muatan materi yang tepat Asas dapatnya dilaksanakan Asas dapatnya dikenali Asas perlakuan yang sama dalam hukum Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individu. Mengacu pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia
yang patut, dapat diharapkan terciptanya peraturan perundang-undang yang baik dan dapat mencapai tujuan secara optimal dalam pembangunan hukum di Indonesia. Pemerintah juga seharusnya berdasarkan asas pembentukan peraturan perundangundangan di atas untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik mengenai indikasi geografis. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Salah satu isu yang menarik dan saat ini dan saat ini tengah berkembang dalam lingkup kajian hak kekayaan intelektual (HKI) adalah perlindungan hukum baik secara preventif maupun secara represif terhadap kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat asli atau masyarakat tradisional.
19
A. Hamid S. Attamimi dalam Maria Indrati S., Ilmu Perundang-undangan (1) Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kansius, 2007), hal. 256
Universitas Sumatera Utara
15
Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 pada tanggal 4 September 2007 sebagai aturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 yang mengatur perlindungan IG maka hal tersebut telah membuka jalan untuk bisa didaftarkannya produk-produk IG di tanah air. Berdasarkan UU Merek No. 15 Tahun 2001, IG dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan Pasal 56 ayat (1). Upaya hukum secara logis, produk bermuatan IG dimiliki oleh masyarakat yang memiliki kepentingan langsung dengan IG bersangkutan. Namun dalam kerangka perlindungan hukum, perlindungan IG memerlukan upaya yang proaktif dari pihak yang berkepentingan (komunitas pemilik) berupa pendaftaran dalam rangka alas kepemilikannya Mengingat luasnya arti hukum, maka dalam pembahasan ini hukum yang dipakai adalah hukum sebagai kaidah yang positif atau yang disebut hukum positif, yaitu seperangkat kaidah yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat di suatu wilayah tertentu (Indonesia) pada waktu sekarang. Pandangan hukum semacam ini dalam studi hukum termasuk aliran hukum positivisme, yaitu pandangan bahwa hukum adalah perintah penguasa, memaksa dan bersanksi. Aliran positivisme
Universitas Sumatera Utara
16
mengandung bahwa hukum lebih berurusan dengan bentuk daripada isi, maka hukum hampir identik dengan undang-undang.20 Hukum menjadi pedoman tingkah laku anggota masyarakat terdiri dari sekumpulan kaidah-kaidah yang merupakan satu kesatuan sehingga merupakan suatu sistem kaidah atau sistem hukum. Sistem hukum seringkali juga memiliki arti yang sama dengan tata hukum. Pengertian yang terkandung dalam sistem adalah : 1. Sistem berorientasi pada tujuan; 2. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah bagian-bagian (wholism); 3. Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu lingkungannya (open system); 4. Bekerjanya bagian- bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga; 5. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain; 6. Ada kekuatan yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol).21 Lawrence M. Friedman mengemukakan tentang 3 unsur sistem hukum (three elements of legal system). Ketiga unsur sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum tersebut adalah: 1. Struktur Hukum (Legal Structure) diibaratkan sebagai mesin. 2. Substansi Hukum (Legal Substance) adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu. 3. Kultur Hukum (Legal Culture) adalah apa saja dan siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskkan bagaimana mesin itu digunakan.22 Untuk mengenal hukum sebagai sistem maka menurut Fuller harus dicermati apakah ia memenuhi 8 (delapan) prinsip legalitas atau yang disebut dengan principles of legality, yaitu : 20 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, (Bandung: Alumni, 2008), hal. 12. 21 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1982), hal. 88-89. 22 Lawrence M. Friedman dalam Esmi Warasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis (Semarang: Suryandaru Utama 2005), hal. 30
Universitas Sumatera Utara
17
1. Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu, hal ini berarti, bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau tindakan-tindakan yang bersifat arbiter; 2. Peraturan-peraturan itu dibuat harus diumumkan secara layak; 3. Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut; 4. Perumusan-perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci, ia harus dapat dimengerti oleh rakyat; 5. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin; 6. Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain; 7. Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah; 8. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan-peraturan yang telah dibuat.23 Radbruch hukum harus mempunyai 3 (tiga) nilai idealis atau nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum yang baik, yaitu : 1. Keadilan; 2. Kemanfaatan/kegunaan; 3. Kepastian hukum. Selain itu, ada 3 (tiga) dasar berlakunya hukum atau undang-undang, yaitu berlaku secara : 1. Filosofis, artinya memuat nilai-nilai tertentu di dalam muatan atau isi peraturannya. 2. Sosiologis, artinya sesuai dengan permasalahan yang ada di masyarakat. 3. Yuridis, artinya mengandung asas-asas tertentu di dalam isi peraturannya.24 Perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) pada dasarnya mempunyai urgensi tersendiri. Urgensinya, bahwa seluruh hasil karya intelektual akan dapat
23 24
Satjipto Rahardo, Op Cit, hal. 78. Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung Alumni, 1994), hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
18
dilindungi. Arti kata dilindungi disini akan berkorelasi pada tiga tujuan hukum, yakni; 1. Kepastian hukum artinya dengan dilindunginya HKI akan sangat jelas siapa sesungguhnya pemilik atas hasil karya intelektual (HKI); 2. Kemanfaatan, mengandung arti bahwa dengan HKI dilindungi maka akan ada manfaat yang akan diperoleh terutama bagi pihak yang melakukan perlindungan itu sendiri, semisal; dapat memberikan lisensi bagi pihak yang memegang hak atas HKI dengan manfaat berupa pembayaran royalti (royalty payment); 3. Keadilan, adalah dapat memberikan kesejahteraan bagi pihak pemegang khususnya dalam wujud peningkatan pendapatan dan bagi negara dapat menaikan devisa negara. 2.
Teori Sistem Hukum Teori sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Lawrence M.
Friedman sebagaimana dikutif Otje Salman dan Anton F. Susanto, sistem hukum meliputi : Pertama, struktur hukum (legal structure), yaitu bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem. Misalnya kepolisian, kejaksaan, pengadilan. Kedua, Substansi Hukum (Legal Substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, misal putusan hakim berdasarkan Undang-undang. Ketiga, Budaya Hukum (Legal Culture), yaitu sikap publik atau nilai-nilai komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana
Universitas Sumatera Utara
19
sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat.25 Dengan demikian untuk dapat beroperasinya hukum dengan baik, hukum itu merupakan satu kesatuan (sistem) yang dapat dipertegas sebagai berikut : 1. Struktural mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang, mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajiban. 2. Substansi mencakup isi norma-norma hukum serta perumusannya maupun cara penegakannya yang berlaku bagi pelaksanaan hukum maupun pencari keadilan. 3. Kultur pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang di anggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Dalam proses penegakan hukum, sub sistem budaya hukum (legal culture), tergolong sangat menentukan berjalan tidaknya aplikasi penegakan hukum. Letak legal culture dalam suatu sistem hukum dikategorikan Lawrence Friedman,26 sebagai mesin untuk memproduksi suatu barang sementara sub sistem diibaratkan dengan “barang yang hendak diproduksi’, sedangkan sub sistem struktur (kelembagaan hukum) dipersamakan dengan orang yang menjalankan mesin produksi. Tugas-tugas dari orang yang menjalankan mesin seperti kewajiban menghidupkan mesin, 25
Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal 153. 26 Lawrence M. Friedman, Op.Cit., hal 17-21
Universitas Sumatera Utara
20
menjalankan dan atau mematikan mesin tersebut diidentikan dengan tugas pada aparat hukum kepentingan tertentu. Jika yang tampak justru kesadaran yang dimobilisir, maka itu berarti hanya sub legal culture seperti: kepentingan penguasa, kepentingan pembangunan, telah dinobatkan sebagainya symbol-simbol legal culture. Konsekuensi logisnya adalah sebagaimana tampak dalam mekanisme penegakan hukum merek di Indonesia, yang dominan menampakan kesadaran pejabat hukum, semata bagi penegakan hukum merek. Sepintas lalu kesadaran yang demikian ini pun tampak sebagai akibat sub legal culture, yakni sekedar hendak melindungi kepentingan Negara pemilik merek terkenal dan/atau penghindaran diri dari ancaman GSP dari organisasi perdagangan dunia. Terkait dengan sistem hukum tersebut, Otje Salman mengatakan perlu ada suatu mekanisme pengintegrasian hukum, bahwa pembangunan hukum harus mencakup tiga aspek di atas, yang secara ilmuan berjalan melalui langkah-langkah strategis, mulai dari perencanaan pembuatan aturan (Legislation Planing). Proses pembuatannya (law making procces), sampai kepada penegakan hukum (law inforcement) yang dibangun melalui kesadaran hukum (law awareness) masyarakat.27 Implementasi penegakan hukum Soerjono Soekanto juga mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi berlakunya hukum. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1. Faktor hukumnya sendiri
27
Otje Salman dan Anton F. Susanto, Op.Cit hal 154
Universitas Sumatera Utara
21
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakkan hukum 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.28 Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegak hukum, juga merupakan tolok ukur dari pada efektivitas penegakan hukum. Berdasarkan dengan faktor-faktor tersebut, Gunnar Myrdal sebagaimana di kutip oleh Soerjono Soekanto, menulis sebagai Sof Development dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan timbul. Apabila ada factor-faktor tertentu menjadi halangan faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan (Jastitabeken) maupun golongan-golongan lain di dalam masyarakat.29 Agar sistem hukum dapat berfungsi dengan baik, dapat menjadi semacam alternatif, ada 4 (empat) hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu: 1. Masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi penataan kepada aturanaturan). 28
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2004), hal 8. 29 Ibid., hal 127
Universitas Sumatera Utara
22
2. Masalah interprestasi (yang menyangkut soal penetapan hak dan kewajiban subyek, melalui proses penerapan aturan tertentu). 3. Masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penertapannya dan siapa yang menerapkannya). 4. Masalah yuridis yang menetapkan garis kewenangan bagi yang berkuasa menegakkan norma hukum, dan golongan apa yang berhak diatur oleh perangkat norma itu.30 1.
Teori Utilitas Menurut Jeremy Bentham, alam telah menampatkan manusia di dalam
pemerintahan dua penguasa, yaitu suka dan duka. Hukum sebagai tatanan hidup bersama, harus diarahkan untuk mendukung suka dan mengekang duka. Hukum harus berbasis manfaat bagi kepentingan manusia atau bertujuan mewujudkan apa yang sesuai dengan daya guna.31 Pendekatan utilitas yang telah lama mengalami teorisasi menjadi teori umum (general theory) yang sangat mudah dipahami. Teori umum seperti analisis kurva tak acuh (indifference curve), dalam dirinya sendiri telah sangat mudah difahami tanpa merujuk analisis utilitas, kendati sesungguhnya teori tentang kurva ini merupakan konsekuensi dari adanya konsep utilitas yang melatarbelakangi terjadinya konsumsi. Oleh karena itulah pembahasan tentang konsep utilitas sering kali diabaikan.32
30
Ibid.,.hal 15 Ibid. 32 Budi Agus Riswandi, M. Syamsuddin. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 87. 31
Universitas Sumatera Utara
23
Pada saat diperlukan pemahaman yang lebih mendetail tentang watak konsumen (consumer behavior), pembahasan konsep utilitas memiliki relevansi yang lebih nyata. Teori utilitas, atau sering pula disebut teori tentang nilai subyektif (subjective value theory), telah lama berkembang. Dasar-dasar teorisasi utilitas ini telah muncul ke permukaan sejak tahun 1870-an, yang pada saat itu dicetuskan hampir dalam waktu yang bersamaan oleh tiga orang ahli ekonomi yang bekerja dalam kemandirian masing-masing. Mereka adalah Williom Stanley Jevons dari Great Britain, Karl Menger seorang warganegara Austria dan Leon Walras ahli ekonomi berkewarganegaraan Perancis. Kepada merekalah, perkembangan teori utilitas yang dewasa ini banyak dibicarakan pada dasarnya berakar.33 Istiliah Utilitas itu sendiri sering diartikan sebagai: the satisfaction that a consumer receives from the goods and services that he or she consumes. Kepuasan dalma konsumsi ini sudah barang tentu syarat nilai dan sangat subyektif yang tidak mudah dilakukan pengukuran-pengukuran. Namun demikian, para ekonomis telah banyak yang berikhtiar bagimana teorisasi ini bisa dilakukan untuk analisis lebih memadai terhadap perilaku konsumen, dan pada gilirannya perilaku permintaan, level individu.34 Menurut
Jeremy
Bentham,
alam
menempatkan
manusia
di
dalam
pemerintahan dua penguasa, yaitu suka dan duka. Hukum sebagai tatanan hidup bersama, harus diarahkan untuk mendukung suka dan mengekang duka. Hukum harus 33 34
Ibid. Green Mind Community, Teori dan Politik Tata Negara (Yogyakarta: Total Media, 2009),
hal. 342.
Universitas Sumatera Utara
24
berbasis manfaat bagi kepentingan manusia atau bertujuan untuk mewujudkan apa yang sesuai dengan daya guna.35 Adagium teori Jeremy Bentham adalah “the greatest happiness for the greates number. Oleh karena itu hukum harus mengusahakan kebahagian maksimum bagi sebanyak mungkin orang. Sehingga tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagian paling besar dari jumlah terbesar rakyat. Dengan demikian hukum diorientasikan pada kegunaannya, yaitu memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya sebagaimana prinsip yang dikemukan Jeremy Bentham yaitu “the happiness for the greratest happiness”36 Begitu juga peraturan perundangundangan mengenai indikasi geografis haruslah memberikan manfaat bagi rakyat Indonesia serta mempunyai kedayagunaan. Sekurang-kurangnya telah dikenal tiga kelompok pemikiran yang melandasi pengukuran utilitas ini: a.
Ordinalitas utilitas, yang beranggapan bahwa utilitas bisa diperbandingkan akan tetapi tidak sepenuhnya bisa diukur perbandingannya dengan ukuran-ukuran yang jelas;
b.
Pengukuran Cardinal yang beranggapan bahwa utilitas itu bisa diukur dan diperbandingkan; dan
35 36
Ibid. Ibid
Universitas Sumatera Utara
25
c.
Konsep lexicographic yang melihat asumsi bahwa ordinalitas utilitas sekelompok barang atau jasa dalam konsumsi itu bisa berubah setelah suatu titik jenuh konsumsi terlampaui.
2.
Teori Kesadaran Hukum Kesadaran hukum menunjuk pada kategori hidup kejiwaan pada individu,
sekaligus juga menunjuk pada kesamaan pandangan dalam lingkungan masyarakat tertentu tentang apa hukum itu, tentang apa yang seyogyanya dilakukan atau perbuat dalam menegakkan hukum atau apa yang sebaiknya dilakukan untuk terhindar dari perbuatan melawan hukum37 Kesadaran hukum, terkait dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum, dalam arti kesadaran hukum menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tersebut di patuhi atau tidak dalam masyarakat. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum, faktor- faktor tersebut adalah : 38 1. Compliance, di artikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukum atau sanksi yang mungkin di kenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Kepatuhan ini sama sekali tidak di dasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan dan lebih di dasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibat kepatuhan hukum
37
Andi Nuzul, 2009, “Kesadaran Hukum: Landasan Memperbaiki Sistem Hukum”, Serial Online (Cited on 2009 Nov. 30), available from: URL: http://andinuzul.wordpress.com. 38 Otje Salman dan Anton F. Susanto,Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. (Bandung :Refika Aditama,2004) hal 153 – 154
Universitas Sumatera Utara
26
akan ada apabila ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidahkaidah hukum tersebut. 2. Identification, terjadi apabila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai instrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut sehingga kepatuhan tergantung pada baik buruknya interaksi tadi. 3. Internalization, pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah-kaidah hukum di karenakan secara instrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidahkaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilai diri pribadi yang bersangkutan atau oleh karena dia mengubah nilai-nilai yang semula dianutnya. 4. Kepentingan-kepentingan para warga masyarakat terjamin oleh wadah hukum yang ada. Kesadaran tentang apa hukum itu berarti kesadaran bahwa hukum itu merupakan perlindungan kepentingan manusia. Bukankah hukum itu merupakan kaedah yang fungsinya adalah untuk melindungi kepentingan manusia? Karena jumlah manusia itu banyak, maka kepentingannyapun banyak dan beraneka ragam pula serta bersifat dinamis. Oleh karena itu tidak mustahil akan terjadinya pertentangan antara kepentingan manusia. Kalau semua kepentingan manusia itu dapat dipenuhi tanpa terjadinya sengketa atau pertentangan, kalau segala sesuatu itu
Universitas Sumatera Utara
27
terjadi secara teratur tidak akan dipersoalkan apa hukum itu, apa hukumnya, siapa yang berhak atau siapa yang bersalah. Kalau terjadi seseorang dirugikan oleh orang lain, katakanlah dua orang pengendara sepeda motor saling bertabrakan, maka dapatlah dipastikan bahwa, kalau kedua pengendara itu masih dapat berdiri setelah jatuh bertabrakan, akan saling menuduh dengan mengatakan “Kamulah yang salah, kamulah yang melanggar peraturan lalu lintas” atau “Saya terpaksa melanggar peraturan lalu lintas karena kamu yang melanggar peraturan lalu lintas lebih dulu”. Kalau tidak terjadi tabrakan, kalau tidak terjadi pertentangan kepentingan, sekalipun semua pengendara kendaraan mengendarai kendaraannya simpang siur tidak teratur, selama tidak terjadi tabrakan, selama kepentingan manusia tidak terganggu, tidak akan ada orang yang mempersoalkan tentang hukum. Kepentingan-kepentingan manusia itu selalu diancam oleh segala macam bahaya: pencurian terhadap harta kekayaannya, pencemaran terhadap nama baiknya, pembunuhan dan sebagainya, oleh karena itulah manusia memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Salah satu perlindungan kepentingan itu adalah hukum. Dikatakan salah satu oleh karena disamping hukum masih ada perlindungan kepentingan lain: kaedah kepercayaan, kaedah kesusilaan dan kaedah kesopanan. Hukum itu pada hakekatnya ialah karena terjadinya bentrok atau konfik antara kepentingan manusia atau “conflict of human interest”. Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
Universitas Sumatera Utara
28
diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.39 Sudikno Mertokusumo juga mempunyai pendapat tentang pengertian Kesadaran Hukum. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap orang lain.40 Kesadaran masyarakat daerah masih minim dalam melakukan pendaftaran indikasi geogrfais sebagai bagian dari Hak atas Kekayaan Intelektual. “Sebagian besar Masyarakat kita tidak mengetahui pentingnya HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) karena sebagian besar masyarat Indonesia adalah Masyarakat Agraris, sedangkan HaKI hanya banyak diperjuangkan oleh Masyarakat Perdagangan yang sebagian besar tinggal di daerah perkotaan,”41 Kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang di harapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan
39
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Edisi Pertama, Rajawali, 1982), hal, 152. 40 Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Cetakan Pertama, Edisi Pertama, (Yogyakarta, Liberty, 1981), hal. 3 41 Agus Sardjono, “Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual terhadap Karya Industri Ekonomi Kreatif” makalah seminar pada acara Justice, Art, Music on Stage(JAMS) 9 th”, tanggal 16 Mei 2013.
Universitas Sumatera Utara
29
suatu penilaian hukum kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.42 Melindungi kepentingannya masing-masing, maka manusia di dalam masyarakat harus mengingat, memperhitungkan, menjaga dan menghormati kepentingan manusia lain, jangan sampai terjadi pertentangan atau konflik yang merugikan orang lain. Tidak boleh kiranya dalam melindungi kepentingannya sendiri, dalam melaksanakan haknya, berbuat semaunya, sehingga merugikan kepentingan manusia lain (eigenrichtig). Jadi kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap orang lain. Kesadaran hukum mengandung sikap tepo sliro atau toleransi. Kalau saya tidak mau diperlakukan demikian oleh orang lain, maka saya tidak boleh memperlakukan orang lain demikian pula, sekalipun saya sepenuhnya melaksanakan hak saya. Kalau saya tidak suka tetangga saya berbuat gaduh di malam hari dengan membunyikan radionya keras-keras, maka saya tidak boleh berbuat demikian juga. Tepo sliro berarti bahwa seseorang harus mengingat, memperhatikan, memperitungkan dan menghormati kepentingan orang lain dan terutama tidak merugikan orang lain. Penyalahgunaan hak atau abus de droit seperti misalnya mengendarai sepeda motor milik sendiri yang diperlengkapi dengan knalpot yang
42
Soerjono Soekanto, Kesadaran dan Kepatuhan Hukum. (Jakarta: Rajawali, 1982), hal.. 152
Universitas Sumatera Utara
30
dibuat sedemikian sehingga mengeluarkan bunyi yang keras sehingga memekakan telinga jelas bertentangan dengan sikap tepo sliro. Kesadaran akan kewajiban hukum tidak semata-mata berhubungan dengan kewajiban hukum terhadap ketentuan undang-undang saja, tidak berarti kewajiban untuk taat kepada undang-undang saja, tetapi juga kepada hukum yang tidak tertulis. Bahkan kesadaran akan kewajiban hukum ini sering timbul dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang nyata. Kalau suatu peristtiwa terjadi secara terulang dengan teratur atau ajeg, maka lama-lama akan timbul pandangan atau anggapan bahwa memang demikianlah seharusnya atau seyogyanya dan hal ini akan menimbulkan pandangan atau kesadaran bahwa demikianlah hukumnya atau bahwa hal itu merupakan kewajiban hukum. Suatu peristiwa yang terjadi berturut-turut secara ajeg dan oleh karena itu lalu biasa dilakuan dan disebut kebiasaan, lama-ama akan mempunyai kekuatan mengikat (die normatieve Kraft des Faktischen). 2.
Konsepsi Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan
dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah sebagai berikut : Indikasi geografis adalah suatu indikasi atau identitas dari suatu barang yang berasal dari suatu tempat, daerah atau wilayah tertentu yang menunjukkan adanya
Universitas Sumatera Utara
31
kualitas, reputasi dan karakteristik termasuk faktor alam dan faktor manusia yang dijadikan atribut dari barang tersebut.43 Barang adalah benda-benda yang berwujud, yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya atau untuk menghasilkan benda lain yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat44 G. Metode Penelitian Dalam penelitian ini metode merupakan unsur paling utama dan didasarkan pada fakta dan pemikiran yang logis sehingga apa yang diuraikan merupakan suatu kebenaran. Metodologi penelitian adalah ilmu tentang metode-metode yang akan digunakan dalam melakukan suatu penelitian. Penelitian hukum pada dasarnya dibagi dalam 2 (dua) jenis yaitu penelitian, normatif dan penelitian empiris. Penelitian normatif merupakan penelitian dengan menggunakan data sekunder sehingga disebut pula penelitian kepustakaan, sedangkan yang dimaksud dengan penelitian empiris adalah penelitian secara langsung di masyarakat ada yang melalui questioner (daftar pertanyaan) ataupun wawancara langsung. Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian normatif. Penelitian ini nanti merupakan suatu proses yang dilakukan secara terencana dan sistematis yang diharapkan berguna untuk memperoleh pemecahan permasalahan yang ada. Oleh sebab itu, langkah-langka tersebut harus sesuai dan saling mendukung antara peraturan hukum yang ada dengan kenyataan yang ada sehingga tercapai suatu 43
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2001 tentang Merek Pasal 56 http://axellelessons.blogspot.com/2012/05/pengertian-barang-dan-jasa.html, diakses tanggal 1 Desember 2013 44
Universitas Sumatera Utara
32
data yang akurat dan nyata, yang kemudian data ini diolah untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang baik dan benar serta memberikan kesimpulan tidak meragukan. maka dalam penulisan membutuhkan data yang akurat, baik data primer maupun data sekunder. Adapun data tersebut diperoleh dengan melakukan pendekatan sebagai berikut : 1.
Sifat Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif, yaitu pendekatan
dari sudut kaidah-kaidah dan pelaksanaan peraturan yang berlaku di dalam masyarakat, yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer yang ada di lapangan. Yuridis empiris adalah penelitian yang berusaha menghubungkan antara norma hukum yang berlaku dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Penelitian berupa studi yuridis normatif berusaha menemukan proses bekerjanya hukum45 Yuridis empiris ini bertujuan untuk memahami bahwa hukum itu tidak semata-mata sebagai satu perangkat aturan perundang-undangan yang bersifat normatif belaka, akan tetapi hukum dipahami sebagai perilaku masyarakat yang menggejala dan membentuk pola dalam kehidupan masyarakat, selalu berinteraksi dan berhubungan dengan aspek kemasyarakatan seperti aspek ekonomi, sosial, dan budaya. 2.
Metode Pendekatan Berdasarkan dengan permasalahan yang dikemukakan maka penelitian ini
menggunakan metode pendekatan yuridis empirik, karena dalam penelitian ini 45
Soerjono Soekanto, Penganntar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press 1984), hal 52
Universitas Sumatera Utara
33
tekanannya pada aspek hukum sebagai suatu sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum sebagai contoh nilai-nilai, ide-ide, kepercayaan ataupun harapanharapan yang pada akhirnya dengan kekuatan-kekuatan sosial akan dapat menentukan bagaimana hukum tersebut tersebut ditaati, dilanggar ataupun disimpangi, atau dapat dikatakan dengan yuridis sosiologis, hukum tak hanya dipandang sebagai peraturanperaturan atau kaidah-kaidah saja akan tetapi juga meliputi bekerjanya hukum dalam masyarakat Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan, yaitu penelitian normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
46
Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti bagaimana
pendaftaran indikasi geografis di Kota Banda Aceh, yang pada ketentuan Pasal 50-60 tentang IG pada UU Merek dan Peraturan Pemerintah IG dimana dalam pengaturannya masih terdapat hal penting yang tidak diatur secara jelas, serta apa upaya hukum yang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk mendorong tumbuhnya perlindungan indikasi geografis terhadap produk potensi IG di Indonesia khususnya di Aceh. 3. Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Para pelaku usaha /petani Inventarisasi barang yang berpotensi menjadi Hak Kekayaan Intelektual di Kota 46
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kenca na Prenada Group, 2005), hal 93
Universitas Sumatera Utara
34
Banda Aceh dan pihak Pemerintah Daerah setempat, Departemen Perdagangan dan Perindustrian Aceh serta Kanwil Depkum HAM Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 4. Populasi dan sampel penelitian a. Populasi Penelitian Adapun Populasi terdiri dari para pelaku usaha/petani, Pihak Pemerintah Daerah, Masyarakat, Kementerian Hukum dan HAM Kanwil Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. b. Sampel Penelitian Penentuan Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara kelayakan
(purposive
sampling)
dan
diperkirakan
dapat
menjawab
permasalahan yang akan diteliti. Sampel tersebut juga diperkirakan dapat mewakili keseluruhan populasi yang terlibat dalam penelitian ini. Responden adalah : 1) Pimpinan/Pemilik Usaha/Petani 2) Pihak Pemerintah Daerah 3) Departemen Perdagangan dan Perindustrian Aceh 4) Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Aceh 5. Teknik pengumpulan data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut
Universitas Sumatera Utara
35
a. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan ini dilakukan dengan cara interview atau wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada responden. Sifat interview adalah bebas terpimpin. Dalam melakukan penelitian dimungkinkan tidak hanya menggunakan pertanyaan yang disediakan secara tertulis dalam bentuk daftar pertanyaan, tetapi dapat dilakukan pengembangan pertanyaan sepanjang tidak menyimpang dari permasalahan b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan dimaksudkan untuk membanndingkan antara teori dan kenyataan yang terjadi dilapangan. Melalui studi kepustakaan ini diusahakan pengumpulan data melalui dengan mempelajari buku-buku, majalah, surat kabar artikel dan internet serta referensi lain yang berkaitan dan berhubungan dengan dengan penelitian ini. Data skunder dalam penelitian ini mencakup : 1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan pengadilan Dalam penelitian ini yang digunakan adalah bahan hukum primer yaitu peraturan perundang–undangan yaiitu UU Merek No 15 tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2007 Tentang IG dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Universitas Sumatera Utara
36
2) Bahan hukum skunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian, hasil karya ilmiah para sarjana, artikel-artikel, internet, buku–buku yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan yang akan diteliti. Perolehan data sekunder tersebut menggunakan alat pengumpulan data yang dilakukan dengan data tertulis baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum yang lainnya dan melakukan wawancara terarah dengan menggunakan pedoman wawancara kepada sumber informasi (informan),47 3) Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Kamus Bahasa Inggris, serta Kamus Bahasa Belanda. 6. Alat pengumpulan data Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 2 (dua) cara, yaitu: (1) studi dokumen, dan (2) wawancara. Studi pustaka digunakan dalam rangka pengumpulan data skunder. Pengumpulan data dengan menggunakan studi pustaka ini ditempuh dengan cara mengumpulkan, membaca, menelaah, mengkaji, serta mengkritisi ketentuan peraturan perundang-undangan terkait. Dalam melakukan penelitian lapangan, alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan menggunakan pedoman wawancara yang memuat 47
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3, (Jakarta: UI Press, 2006), hal. 6
Universitas Sumatera Utara
37
data daftar pertanyaan yang akan diajukan secara lisan dan tulisan kepada responden dan narasumber. 7. Analisis Data Data yang diperoleh dalam kepustakaan atas bahan hukum akan diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna mencapai target yang diinginkan berupa jawaban atas permasalahan pendaftaran IG atas barang-barang hasil pertanian/perkebunan di Aceh. Pengelohan bahan hukum dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum untuk permasalahan yang bersifat konkret yang sedang dihadapi.48 Analisis data yaitu kegiatan berpikir dalam mempelajari bagian-bagian, komponen-komponen, atau elemen-elemen dari suatu keseluruhan untuk mengenal tanda-tanda masing-masing bagian, komponen atau elemen itu, hubungan mereka satu sama lain dan fungsi mereka dalam keseluruhan yang terpadu. Analisis data adalah penyederhana data dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterprestasikan. Sesuai dengan metode pendekatannya yaitu normatif maka teknik analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif. Penelitian ini juga menggunakan metode analisis kuantitatif. Data penelitian kuantitatif diperoleh dengan melakukan pengukuran atas variable yang sedang ditelitinya. Dengan begitu ada satu aktivitas sangat penting dalam proses awal pengumpulan data adalah membuat instrumen atau skala penelitian.49
48
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2010), hal 393 49 Muhammad Idrus, Metodelogi Penelitian Ilmu–Ilmu Sosial (Pendekatan kualitatif dan Kuantitatif ), (Yogyakarta: UII Press, 2007) hal. 42.
Universitas Sumatera Utara