BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana merupakan suatu kejadian alam, buatan manusia, atau perpaduan antara keduanya yang terjadi secara tiba-tiba sehingga menimbulkan dampak negatif yang dahsyat bagi kelangsungan kehidupan (Priambodo, 2009). Menurut UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, bencana adalah peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia. Indonesia menduduki peringkat ke-2 di dunia sebagai negara dengan kategori ekstrem terhadap bencana (Maaplecroft, 2010). Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia antara lain gunung meletus, banjir, tanah longsor dan gempa bumi (Firdaus, 2011). Salah satu bencana yang terjadi di Indonesia tahun 2010 adalah erupsi Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010. Erupsi menyebabkan kerugian harta kekayaan masyarakat setempat, termasuk ternak dan lahan pertaniannya akibat awan panas. Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, erupsi Gunung Merapi juga menelan korban jiwa sebanyak 277 orang (Badan Pusat Statistik DIY, 2012). Erupsi Merapi tahun 2010 termasuk tiga bencana terbesar yang terjadi pada tahun 2010 (Firdaus, 2011). Menurut UU No 24 Tahun 2007, bencana mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
1
2
psikologis. Dampak psikologis yang ditimbulkan akibat bencana tidak pendek, melainkan bisa memakan waktu hingga lebih 10 tahun ke depan (Pitaloka, 2005). Salah satu populasi yang merasakan dampak psikologis akibat bencana adalah anak-anak. Anak-anak merupakan populasi paling rentan karena sistem neurofisiologi yang masih berubah-ubah dan kemampuan koping yang belum cukup berkembang untuk mengatasi kejadian yang luar biasa (Baggerly, 2008). Setiap tahun, jutaan anak mengalami dan menjadi korban peristiwa traumatik termasuk didalamnya bencana alam (Brown, 2005). Anak-anak yang terpapar bencana lebih berisiko mengalami gangguan mental dibandingkan dengan anak yang tidak terpapar bencana (Zhang, 2010). Pada erupsi Merapi tahun 2010, di wilayah Cangkringan sebanyak 1748 anak-anak menjadi korban dan harus mengungsi (Tira, 2010). Peristiwa semacam itu dapat dipastikan menimbulkan stresor pasca trauma yang secara langsung akan mempengaruhi gangguan kejiwaan (Kaplan, 1995), baik yang mengalami maupun yang menyaksikan (Galambus, 2004). Rusaknya hunian atau tempat tinggal mengharuskan penduduk untuk mengungsi. Berpindahnya seseorang dari tempat asal atau relokasi dapat menimbulkan
kesulitan
dalam
mempertahankan
aktivitas,
hubungan
interpersonal, produktivitas ataupun struktur sosial (Taiban, 2013). Dampak bencana pada anak mempengaruhi tugas perkembangan, sehingga dampak yang ditimbulkan berbeda untuk setiap fase perkembangan anak. Gejala yang muncul pada anak prasekolah dapat digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu: re-experience (intrusif, mimpi buruk), avoiding (menghindar jika ada isyarat
3
kejadian traumatis, tidak mampu mengingat kejadian traumatis) dan arrousal (sulit tidur, kewaspadaan berlebih). Anak prasekolah juga menunjukkan adanya perilaku regresi (Brown, 2005). Penelitian Dogan-Ates (2010) menyebutkan bahwa anak prasekolah menunjukkan distres psikologi yang lebih rendah dan sedikit masalah kognitif dibanding dengan anak yang lebih tua. Meskipun demikian, anak prasekolah lebih menunjukkan insiden yang tinggi pada perasaan takutnya, kehilangan kemampuan berbahasa, dan masalah perilaku. Lebih lanjut dijelaskan bahwa masalah perilaku yang sering muncul adalah ketergantungan, anak menjadi lebih tergantung pada orang tua, menurunnya kemandirian anak dalam melakukan aktivitas sehariharinya. Coates (2009) menyebutkan bahwa anak-anak dengan usia yang lebih muda menunjukkan gejala yang berbeda dengan anak yang lebih tua atau dewasa. Hal tersebut terlihat dari kognitif anak yang belum sepenuhnya matang sehingga menyebabkan perkembangan anak menjadi rentan dan anak menjadi tergantung dengan pengasuh. Sementara itu, kemandirian anak merupakan hal penting karena merupakan salah satu life skill yang perlu dimiliki. Pada dasarnya setiap anak dilahirkan dengan potensi menjadi mandiri, salah satunya tampak pada keinginan anak untuk mengeksplorasi lingkungannya sejak bayi. Jika anak mengalami gangguan dalam kemandirian, tidak ditangani ataupun dibiasakan sejak dini, hal tersebut dapat berlanjut pada tahapan usia selanjutnya, anak akan tergantung dengan orang lain (Pustaka Familia, 2006).
4
Anak-anak tidak lepas dari kegiatan bermain, karena pada masa ini mereka mencoba untuk mendapatkan hal-hal baru (Kozier, 2008). Kegiatan bermain terbukti membantu anak dalam proses belajar dan menjadi salah satu metode alternatif untuk pendekatan edukasi terhadap anak (Samuelsson, 2008). Permainan berbasis kearifan budaya lokal yang tercermin dalam permainan tradisional masing-masing daerah mampu membantu anak dapat meningkatkan motorik kasar, meningkatkan kemahiran motorik
halus,
menyusun strategi dan
menyelesaikan masalah; kepekaan pada objek disekitarnya; kemahiran bahasa; memupuk bakat kepemimpinan (Menon, 2005). Melalui kegiatan bermain juga mampu meningkatkan kemandirian anak pada usia prasekolah (Sidisah, 2012). Taman Kanak-kanak (TK) Kuncup Mekar merupakan salah satu TK PKK yang berada di Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan. Kawasan ini berjarak sekitar 10 km dari puncak merapi dan masuk ke dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) II. TK tersebut berdekatan dengan Hunian Tetap (Huntap) Pagerjurang yang merupakan salah satu huntap bagi korban erupsi Merapi tahun 2010. Jarak TK dan huntap kurang lebih berjarak 200 meter, sehingga banyak anak-anak dari huntap yang bersekolah di TK tersebut. TK tersebut juga berada dekat dengan huntap mandiri yang dibangun warga yang berjarak kurang lebih 300 meter dari TK Kuncup Mekar. Anak-anak pada huntap ini merupakan anak anak yang terkena dampak dari relokasi dan harus berpindah tempat tinggal dari tempat asal menuju ke huntap. Berdasarkan studi pendahuluan pada Juli 2013, peneliti melakukan wawancara kepada orang tua dari siswa kurang lebih sejumlah 23 orang. Orang
5
tua mengungkapkan bahwa setelah erupsi Gunung Merapi anak mereka mengalami perubahan dalam hal kemandiriannya. Beberapa orang tua mengungkapkan bahwa anak mereka sulit untuk makan dan harus dibujuk terlebih dahulu, tidur harus ditemani orang tua, anak menjadi penakut, anak inginnya lengket terus dengan orang tua dan melakukan berbagai aktivitas harus ditemani orang tua. Hal tersebut muncul setelah terjadinya erupsi merapi. Berdasarkan paparan di atas, maka perlu untuk dilakukan suatu intervensi untuk mendukung perkembangan kemandirian anak yang tinggal di daerah paska erupsi Merapi sehingga perkembangan anak tidak terganggu. Kegiatan bermain menjadi salah satu alternatif sebagai metode untuk mendukung perkembangan kemandirian anak. Di Taman Kanak-kanak jenis permainan edukatif yang tersedia kurang bervariasi. Dari tahun ke tahun permainan yang tersedia seperti permainan balok, puzzle, kertas lipat. Permainan berbasis kearifan budaya lokal menjadi salah satu alternatif permainan untuk siswa Taman Kanak-kanak dalam mendukung perkembangan, karena setiap kegiatan dan gerakan dalam permainan tersebut mengandung makna tersendiri dan mampu mendukung perkembangan kemandirian anak. Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh permainan berbasis kearifan budaya lokal terhadap tingkat kemandirian pada siswa Taman Kanak-kanak di hunian tetap Cangkringan Sleman”.
6
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengaruh permainan berbasis kearifan budaya lokal terhadap tingkat kemandirian pada siswa taman kanak-kanak di Hunian Tetap Cangkringan Sleman?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh permainan berbasis kearifan budaya lokal terhadap tingkat kemandirian pada siswa taman kanak-kanak di Hunian Tetap Cangkringan Sleman. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui gambaran tingkat kemandirian siswa taman kanak-kanak di Hunian Tetap Cangkringan Sleman. b. Mengetahui perbedaan kemandirian pada siswa taman kanak-kanak di Hunian Tetap Cangkringan Sleman sebelum dan sesudah dilakukan permainan berbasis kearifan budaya lokal. c. Mengetahui perbedaan kemandirian pada siswa taman kanak-kanak di Hunian Tetap Cangkringan Sleman sebelum dan sesudah dilakukan permainan berbasis kearifan budaya lokal pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat untuk:
7
1. Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas ilmu pengetahuan tentang pengaruh permainan berbasis kearifan budaya lokal terhadap tingkat kemandirian pada siswa taman kanak-kanak. 2. Praktis a. Siswa dan orang tua siswa di Hunian Tetap Cangkringan Sleman Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat kemandirian siswa taman kanak-kanak dan dapat memberikan wawasan pengetahuan kepada orang tua siswa tentang pengaruh permainan berbasis kearifan budaya lokal terhadap meningkatkan kemandirian anak. b. Bagi staf pengajar Taman Kanak-kanak Penelitian ini diharapkan mampu mendorong staf pengajar di Taman Kanak-kanak di hunian tetap untuk menerapkan permainan berbasis kearifan budaya lokal kepada siswa Taman Kanak-kanak di Hunian Tetap Cangkringan Sleman. c. Bagi peneliti Penelitian
ini
diharapkan
mampu
meningkatkan
wawasan
dan
kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian selanjutnya sesuai dengan kaidah yang berlaku. E. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran peneliti, penelitian tentang pengaruh permainan berbasis kearifan budaya lokal terhadap tingkat kemandirian pada siswa taman kanak-
8
kanak belum pernah diteliti, tetapi sudah ada penelitian yang hampir sama, diantaranya: 1. Gunawan (2010), penelitian yang berjudul “Hubungan Pola Asuh Permisif Dengan Kemandirian Anak Kelas Satu Sekolah Dasar”. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang dilakukan terhadap siswa-siswi kelas 1 Sekolah Dasar (SD) YSKI II Semarang sebanyak 67 siswa. Kemandirian anak diukur dengan “Skala Kemandirian Anak Kelas Satu Sekolah Dasar”, sedangkan pola asuh permisif diukur dengan “ Skala Pola Asuh Permisif”. Hasil dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara pola asuh permisif dengan tingkat kemandirian anak. Persamaan dari penelitian ini adalah pada salah satu variabel yang diukur, yaitu sama-sama kemandirian anak. Perbedaannya adalah pada rancangan
penelitian
yang
digunakan.
Pada
penelitian
Gunawan
menggunakan pendekatan cross sectional, sedangkan pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan one group pre-post test design. Subyek pada penelitian Gunawan adalah siswa kelas 1 Sekolah Dasar, sedangkan pada penelitian ini mengambil subyek siswa Taman Kanak-kanak. 2. Pawesti (2012), penelitian yang berjudul “Pengembangan Kemandirian Melalui Kegiatan Rutin Pada Anak Kelompok B1 di TK ABA Piyungan”. Subyek penelitian ini adalah anak kelompok B1 TK ABA Piyungan yang berjumlah 24 anak. Metode pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan rutin dapat mengembangkan kemandirian anak setelah dilakukan tindakan. Persentase
9
sebelum tindakan menunjukkan rentang 0-40% (kriteria tidak baik), pada siklus satu meningkat 50% (kriteria kurang baik), dan pada siklus kedua mencapai 87,5% (mencapai indikator keberhasilan). Persamaan dari penelitian ini adalah pada salah satu variabel yang diukur, yaitu kemandirian. Penelitian Pawesti juga sama-sama mengambil sampel siswa TK. Perbedaan terletak pada intervensi yang diberikan. Pada penelitian Pawesti meggunakan intervensi kegiatan rutin, sedangkan pada penelitian ini intervensi yang akan dilakukan adalah permainan berbasis kearifan budaya lokal. 3. Solikhati
(2012),
penelitian
yang
berjudul
“Upaya
Meningkatkan
kemandirian Anak Menggunakan Pembelajaran Metode Dramatisasi di TK Sunan Gunung Jati”. Penelitian Solikhati mengambil subyek sebanyak 20 anak peserta didik kelompok A TK Sunan Gunung Jati Ngrame Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta. Data diperoleh melalui observasi dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa permainan dramatisasi dapat mengembangkan kemandirian anak. Tingkat keberhasilan mencapai 85% yang meliputi peningkatan kemandirian sebagai berikut: 85% dari keseluruhan ank baik dalam maju kedepan kelas, 80% baik dalam mngerjakan tugas yang diberikanoleh guru, 80% baik dalam mengurus diri sendiri dengan sedikit bantuan, 85% baik dalam mau memilih kegiatan pembelajaran, 85% baik dalam menunjukkan kebanggaan terhadap hasil kerjanya dan 85% baik dalam menunjukkan ekspresi wajah saat dramatisasi.
10
Persamaan penelitian Solikhati dengan penelitian ini adalah pada salah satu variabel yang diukur, yaitu kemandirian anak. Subyek penelitian yang diambil juga sama, yaitu siswa TK. Perbedaan terletak pada intervensi yang diberikan, pada penelitian Solikhati menggunakan permainan dramatisasi yang mnenyenangkan, spontan, tanpa paksaan, berlaku berpura-pura, memerankan sesuatu, aturan yang disetujui dan dipatuhi, aktif dan fleksibel, sedangkan pada penelitian ini menggunakan permainan berbasis kearifan budaya lokal. 4. Sidisah (2012), penelitian yang berjudul “Meningkatkan Kemandirian Anak Usia 3-4 Tahun Melalui Kegiatan Bermain Peran Di Kelompok Bermain Tunas Melati 1 Celep Kedawung Sragen Tahun Ajaran 2011/2012”. Subyek penelitian Sidisah sebanyak 14 anak dengan usia 3-4 tahun. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kemandirian anak dalam kegiatan bermain peran yang dapat dilihat melaui 4 deskripsi, yaitu (1) jika anak tidak mencoba, (2) jika anak bisa dengan banyak bantuan, (3) jika anak bisa dengan sedikit bantuan, (4) jika anak mampu. Sebelum dilakukan tindakan, rata-rata tingkat kemandirian adalah 34,1%, dan di akhir tindakan tingkat kemandirian anak rata-rata 80,35%. Persamaan dari penelitian ini adalah dari variabelnya yaitu tingkat kemandirian dan intervensi yang diberikan berupa kegiatan bermain. Perbedaannya terletak pada bentuk bermain yang diberikan kepada anak, pada penelitian Sidisah dengan bermain peran, sedangkan pada penelitian ini dengan permainan berbasis kearifan budaya lokal. Selain itu pada penelitian
11
Sidisah subyek penelitian adalah siswa kelompok bermain, sedang pada penelitian ini subyek penelitian adalah siswa taman kanak-kanak. 5. Werdiningsih (2012), penelitian yang berjudul “Pengaruh Humor Permainan kearifan Budaya Lokal Terhadap Kualitas Tidur Pada Lanjut usia Dengan Depresi Di Hunian Sementara Gondang I Sleman Yogyakarta”. Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental dengan rancangan pre-test and posttest control group design. Subyek penelitian sejumlah 80 orang yang terbagi dalam 2 kelompok, 40 orang kelmpok intervensi dan 40 orang lainnya kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh humor permainan kearifan budaya lokal terhadap kualitas tidur lansia dengan depresi. Hal tersebut dibuktikan dengan perbedaan yang signifikan pada skor PSQI antara kelompok intervensi dan kontrol sebelum dan sesudah intervensi. Persamaan dari penelitian Werdinigsih dengan penelitian ini adalah pada bentuk intervensi, yaitu berupa permainan kearifan budaya lokal. Perbedaan terletak pada variabel terikat yang diukur. Pada penelitian Werdinigsih yang diukur adalah kualitas tidur pada lansia dengan depresi, sedangkan pada penelitian ini yang diukur adalah tingkat kemandirian anak prasekolah