I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat sudah dilakukan dari dulu, sejak peradaban manusia itu ada. Tumbuhan dapat digunakan sebagai obat untuk berbagai penyakit. Tumbuhan yang merupakan bahan baku obat tradisional tersebut tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di hutan tropis Indonesia terdapat 30.000 spesies tumbuhan dan sekitar 9.600 spesies diketahui berkhasiat sebagai obat, tetapi baru 200 spesies saja yang telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri obat tradisional (Prasetyono, 2012). Pepaya memiliki berbagai macam bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat, mulai dari daun, bunga, dan juga buah. Daun papaya bersifat sebagai antioksidan, obat penyembuh luka setelah melahirkan, menurunkan tekanan darah tinggi, mencegah perkembangan sel tumor, dan menurunkan pembengkakan hati (Kardono, dkk., 2003). Kandungan kimia yang terdapat di dalam daun papaya adalah alkaloid, saponin, dan flavonoid (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Daun papaya juga mengandung senyawa caricaksantin, violaksantin, papain, politenol, protein tinggi, lemak, vitamin, kalsium, dan zat besi yang berfungsi sebagai pembentukan hemoglobin (Tietze, 2002). Gingiva merupakan bagian dari membran mukosa yang menutup tulang alveolar dan terikat erat pada periosteum krista tulang alveolar. Gingiva tersusun
atas epitel pipih berlapis yang berkeratin (Wolf dan Hasell, 2006). Gingiva sering mengalami perlukaan atau trauma, biasanya disebabkan oleh rangsangan fisik, iritasi bahan kimia, dan rangsangan termal (Fedi, dkk., 2004). Luka adalah hilangnya kontinyuitas dari struktur - struktur jaringan yang utuh dan pada umumnya disertai dengan hilangnya sebagian dari jaringan (Hermanto dan Taufiqurrahman, 2005). Luka akut dikategorikan menjadi sebelas jenis, antara lain: 1.
Abrasions, disebut juga dengan luka gores atau luka lecet. Luka ini terjadi karena kulit terkena gesekan oleh permukaan yang kasar.
2.
Avulsions, contoh luka ini seperti hilangnya gigi permanen atau daun telinga. Gigitan binatang juga termasuk dalam ketegori luka ini.
3.
Contusions, biasa disebut memar. Hal ini terjadi karena trauma yang kuat, dapat terjadi karena benturan yang keras, namun tanpa melukai atau merusak struktur kulit.
4.
Crush wounds. Luka ini merusak kulit, menghancurkan dan merobek struktur kulit.
5.
Cuts, terjadi karena goresan yang dalam dari benda tajam.
6.
Fish-hook wound. Biasanya luka ini disebabkan karena adanya sesuatu benda asing yang tertanam di jaringan lunak.
7.
Incised wound. Luka ini merupakan luka dangkal, dimana ukuran luka dipermukaan lebih besar dari kedalaman luka.
8.
Lacerations (tears). Luka ini akan menimbulkan bekas yang kasar, misalnya luka saat lahir atau luka karena pukulan.
9. Open wound atau luka terbuka, misalnya luka tembak atau kulit yang sobek. 10. Penetrating wound atau luka tembus, luka ini menyebabkan kulit rusak dan “agen” memasuki daerah luka sampai ke jaringan subkutan. 11. Punctures atau luka tusuk. Luka ini termasuk luka yang dalam yang disebabkan benda tajam seperti tusukan pisau atau pecahan kaca (Mallefet dan Dweck, 2008). Proses penyembuhan luka merupakan respon jaringan terhadap trauma dengan cara mengembalikan struktur dan fungsi jaringan yang mengalami trauma. Penyembuhan luka melibatkan serangkaian kompleks interaksi antara jenis sel yang berbeda, mediator sitokin, dan matriks intraseluler yang terdiri dari 4 fase yaitu fase hemostatis, fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi atau remodelling (MacKay dan Miller, 2003). Makrofag sangat berperan aktif dalam proses penyembuhan luka, terutama pada fase inflamasi. Bila suatu jaringan terjadi sebuah perlukaan maka makrofag akan bergerak menuju area luka dan menjalankan tugasnya sebagai garis pertahanan. Makrofag memiliki fungsi utama untuk memfagositosis dan menghancurkan bakteri, virus, jaringan nekrotik, maupun partikel asing yang masuk ke dalam jaringan. (Guyton dan Hall, 2006). Selain itu makrofag juga berfungsi menghilangkan sel host yang sudah tidak berfungsi lagi (Diegelmann dan Evans, 2004). Jumlah makrofag mulai meningkat pada hari kedua setelah terjadinya luka dan mendominasi area luka pada hari ketiga, keempat, dan kelima. Munculnya makrofag pada daerah luka merupakan akhir dari fase inflamasi yang
dilanjutkan dengan mulainya fase proliferasi (Diegelmann dan Evans, 2004). Makrofag merupakan kunci utama dalam penyembuhan luka. Jika aktivitas makrofag terhambat, maka akan terjadi penghambatan dalam penyembuhan luka dan perbaikan jaringan (Nanci, 2003). Daun pepaya mengandung enzim papain, alkaloid karpaina, pseudo-karpaina, glikosid, karposid, saponin, sakarosa, dekstrosa, dan levulosa. Daun pepaya juga memiliki berbagai macam zat antara lain vitamin A, vitamin B1, vitamin C, kalori, protein, lemak, hidrat arang, kalsium, fosfor, besi, dan air (Thomas, 1989). Vitamin A mampu mempercepat fase inflamasi dan vitamin C mampu mempercepat pergerakan neutrofil menuju daerah perlukaan (MacKay dan Miller, 2003). Alkaloid sangat bermanfaat dalam fungsi fisiologis manusia dan banyak dimanfaatkan dalam bidang farmasi, sedangkan flavonoid bermanfaat sebagai antimikroba, antivirus dan antioksidasi. Flavonoid dapat bekerja sebagai inhibitor kuat pernafasan. Aktivitas antioksidanya dapat mengobati gangguan hati serta menghambat terjadinya pendarahan. Selain itu, flavanoid juga dapat menstimulasi makrofag (Robinson, 1991; Kang dkk., 2011). Saponin mampu meningkatkan pergerakan makrofag menuju daerah yang terluka untuk membunuh organisme penginvasif. Selain itu, saponin dapat memproduksi sitokin yang dapat menstimulasi munculnya sel-sel yang bertanggung jawab dalam fase inflamasi (Kimura, dkk., 2006). Terjadinya peningkatan jumlah makrofag menyebabkan fase inflamasi berjalan cepat. Semakin cepat mikroorganisme dan jaringan nekrotik dapat dieliminasi maka perkembangan proses penyembuhan juga akan semakin cepat (Harisson, 1991).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu apakah aplikasi ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) berpengaruh terhadap jumlah makrofag pada proses penyembuhan luka gingiva tikus wistar.
C. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang pengaruh aplikasi ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) terhadap jumlah makrofag pada proses penyembuhan luka gingiva tikus wistar menurut pengetahuan penulis belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mahmood dkk (2005) mengenai efek pemberian ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) terhadap penyembuhan luka sayat pada punggung kelinci secara klinis.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) pada proses penyembuhan luka gingiva tikus wistar.
E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan pengetahuan baru bagi ilmu kedokteran gigi mengenai manfaat daun pepaya pada proses penyembuhan luka. 2. Memberikan alternatif obat herbal untuk penyembuhan luka bagi masyarakat. 3. Memberikan referensi bagi peneliti lainnya untuk melakukan penelitian lanjut tentang manfaat ekstrak daun pepaya ditinjau dari aspek lainnya.