I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perawatan
ortodontik
semakin
berkembang
seiring
meningkatnya
kesadaran masyarakat akan kesehatan dan penampilan fisik yang menarik (Alexander,2001). Ortodonsia merupakan bagian dari ilmu Kedokteran G igi yang bertujuan memperbaiki keadaan gigi-gigi maupun rahang yang menyimpang dari kondisi normal. Tujuan perawatan ortodontik secara umum adalah meningkatkan kehidupan pasien dengan memperbaiki fungsi gig i dan rahang serta estetika dentofasial (Graber dan Varnasdall, 2000). Profil wajah harmonis seseorang ditunjukkan dengan adanya oklusi normal, otot-otot mulut dan wajah dalam keseimbangan yang baik, dan bibir tidak mengalami ketegangan pada saat menutup (Jacobson, 1995). Perawatan ortodontik dapat dilakukan dengan alat lepasan, cekat maupun kombinasi. Keunggulan alat cekat antara lain: 1) mampu menggerakkan gigi dalam tiga dimensi yaitu arah bukolingual, mesiodistal, dan oklusoapikal, 2) memberikan retensi dan stabilisasi yang baik, 3) dapat digunakan pada kasus yang sulit serta untuk gerakan tipping, bodily dan torque (Begg dan Kesling, 1977; Proffit dan Fields, 2000). Perawatan ortodontik cekat dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik, diantaranya adalah teknik Begg, Edgewise, dan Straightwire Appliance (Bhalajhi, 2004). Teknik Begg merupakan teknik perawatan ortodontik cekat yang dikembangkan oleh Raymond Begg pada tahun 1920 dengan memodifikasi teknik Ribbon Arch dan populer pada tahun 1960 (Proffit dan Fields, 2000). Alat cekat
1
2
teknik Begg didesain khusus menggunakan braket dengan slot vertikal dan dengan kawat busur berpenampang bulat, sehingga menghasilkan perlekatan berupa kontak titik. Kawat busur harus dapat bergerak bebas tanpa hambata n sehingga memungkinkan gigi bergerak dengan bebas. Kelenturan kawat busur akan menghasilkan gaya yang ringan dan kontinyu. Penggunaan gaya ringan dan kontinyu sebesar 60-70 gram akan memacu resorbsi dan aposisi tulang secara fisiologis, sehingga terjadi pergerakan gigi secara cepat, simultan, sedikit rasa sakit dan tidak merusak jaringan keras dan lunak ( Begg dan Kesling, 1977). Perawatan ortodontik maloklusi Angle kelas II divisi 1 menjadi spesifikasi teknik Begg, walaupun pada maloklusi kelas I dan kelas III dapat dilakukan (Begg dan Kesling, 1977). M aloklusi Angle kelas II divisi 1 merupakan salah satu maloklusi yang sangat mempengaruhi penampilan seseorang sehingga menjadi alasan untuk mencari perawatan ke dokter gigi. Ciri maloklusi A ngle kelas II divisi 1 adalah gigi anterior maksila protrusif disertai peningkatan overjet, bibir atas relatif pendek dan biasanya hipotonik,
deep incisor overbite pada regio
anterior, dan lengkung rahang atas yang sempit (Bhalajhi, 2004). Perawatan teknik Begg memiliki tiga tahap perawata n. Tahap pertama dilakukan pengaturan letak gigi arah horizontal (unraveling), memperbaiki ketidakteraturan gigi dalam arah vertikal (leveling), mengoreksi hubungan insisivus yang memiliki jarak gigit besar menjadi hubungan tepi lawan tepi, mengoreksi tumpang gigit yang dalam, dan memperbaiki hubungan oklusi gigi posterior. Tahap kedua dilakukan penutupan sisa ruang bekas pencabutan gigi (space closing) dengan menarik gigi posterior ke mesial dan mempertahankan
3
hasil yang telah dicapai pada tahap pertama. Tahap ketiga dilakukan perbaikan inklinasi aksial gigi anterior dan posterior (Cadman, 1975; Begg dan Kesling, 1977). Bhalajhi (2004) menyatakan pada koreksi maloklusi, diperlukan ruang untuk menggerakkan gigi-gigi menuju posisi yang ideal. Terdapat beberapa cara pencarian ruang, antara lain proxim al stripping atau grinding, ekspansi, proklinasi gigi-gigi anterior, distalisasi, dan pencabutan. Pencabutan gigi-gigi menurut Proffit dan Fields (2000) dilakukan untuk menyediakan ruan g bagi penyusunan gigi-gigi yang berjejal dan memberikan kemungkinan gigi-gigi anterior diretraksi sehingga protrusi dapat dikurangi. Pencabutan juga dilakukan pada perawatan kamuflase kasus skeletal kelas II dan kelas III. Perawatan dengan teknik Begg pada umumnya menggunakan elastik intermaksiler kelas II, dipasang dari hook mesial gigi kaninus atas ke hook bukal gigi m olar mandibula (Fletcher, 1981). Penggunaan elastik intermaksiler kelas II bersama dengan anchorage bend dapat menyebabkan intrusi gigi-gigi anterior, ekstrusi gigi molar rahang bawah, dan menyebabkan rotasi mandibula searah jarum jam (Begg dan Kesling, 1977; Fletcher, 1981).
Fletcher (1981) menyatakan bahwa
dengan
Teknik Begg, elastik
intermaksiler kelas II bersama dengan gaya vertikal menyebabkan ekstrusi gigi molar mandibula. Pada penggunaan teknik Begg murni, gaya untuk intrusi gigi insisivus rahang atas dan rahang bawah diperoleh melalui a nchorage bend yang memberikan gaya intrusi pada insisivus maksila dan mandibula apabila archwire dikunci pin pada slot braket, tetapi bila digunakan elastik intermaksiler kelas II
4
maka efek intrusi archw ire akan dibatasi oleh komponen vertikal dari gaya elastik. Lebih ke posterior, komponen yang sama dari gaya elastik akan menyebabkan ekstrusi gigi molar mandibula . Ekstrusi gigi molar akan disesuaikan mandibula melalui pertumbuhan mandibula secara menyeluruh ke arah vertikal, atau melalui kompensasi intrusi gigi molar maksila maupun gaya oklusi, atau keduanya.
Ekstrusi gigi merupakan pergerakan gigi secara vertikal (Ahn dan Schneider, 2000), sedangkan menurut Bhalajhi (2004) ekstrusi dan intrusi merujuk pada pergerakan vertikal gigi sesuai arah aksisnya. Ekstrusi gigi molar ditandai dengan terjadinya peningkatan tinggi wajah vertikal dan rotasi mandibula searah jarum jam. Tinggi gigi molar mandibula ditentukan dengan mengukur tinggi gigi molar dari puncak tonjol mesial gigi molar mandibula tegak lurus ke Gonion – M enton (Reddy dan Kharbanda,2000; Alkumru dkk, 2007). M enurut Fletcher (1981) sefalogram lateral berperan pada tahap rencana perawatan untuk mendeteksi posisi ideal dan kemajuan perawatan. Sefalog ram lateral dapat mendeteksi titik-titik referensi yang menghasilkan sudut, garis, dan bidang. Bidang referensi yang digunakan secara luas dalam sefalometri adalah bidang Frankfort Horizontal Plane (FHP) yang dibentuk dari tepi atas meatus auditorius eksternus (porion) ke tepi inferior orbita (Proffit dan Fields, 2000; Jacobson, 1995). Bidang referensi lain yang mudah dideteksi pada film sefalometri adalah bidang SN yang berupa garis dari sela tursica (S) ke nasion (N). Bidang FHP dan bidang SN paling banyak digunakan sebagai referensi, sebab kedua bidang tersebut lebih stabil dari bidang referensi yang lain.
5
Jacobson (1995) menyatakan Y-axis merupakan sudut yang dibentuk dari perpotongan garis sella turcica ke gnation dengan Frankfort Horizontal Plane. Yaxis mengindikasikan posisi dagu dalam hubungannya dengan wa jah bagian atas. Peningkatan Y-axis diartikan sebagai pertumbuhan vertikal mandibula yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan horizontal mandibula.
Rotasi mandibula
ditentukan oleh perubahan sudut Y-axis terhadap bidang Frankfort (Ahn dan Schneider, 2000). Rotasi mandibula ke bawah dan belakang akan menyebabkan tinggi wajah anterior bawah bertambah, tetapi hal ini tergantung pada lama pemakaian elastik dan besar kekuatan yang digunakan (Bratu, 2004). Kemampuan ortodontis untuk memprediksi rotasi mandibula sangat menentukan diagnosis serta rencana perawatan. Pilihan terapi yang lebih baik dapat ditentukan dengan mempertimbangkan waktu dan lama perawatan, pemilihan alat, pola pencabutan gigi, dan kemungkinan kebutuhan akan prosedur pembedahan. Terapi dapat benar-benar disusun untuk individu tersebut, dengan kemungkinan memperoleh hasil yang optimal dalam periode yang lebih singkat (Leslie dkk., 1998).
Terdapat perbedaan hasil penelitian dalam perawatan teknik Begg. Penelitian yang dilakukan oleh Reddy dkk (2000) menghasilkan kesimpulan bahwa perawatan Begg pada maloklusi kelas II divisi 1 tanpa pencabutan pada pasien tumbuh kembang (9-12 tahun) menyebabkan ekstrusi molar yang signifikan
sedangkan
rotasi
mandibula
tidak
signifikan.
Sharma
(2014)
menyatakan perawatan maloklusi kelas II divisi 1 dengan pasien yang telah melewati masa tumbuh kembang menggunakan teknik Begg menghasilkan
6
kesimpulan tidak terjadi rotasi mandibula yang signifikan. Deswi-Arwelli dkk (2011) meneliti tentang perubahan posisi pogonion pada arah horisontal. Hasil penelitiannya adalah terdapat perubahan tinggi wajah dan rotasi mandibula pada perawatan teknik Begg kelas II divisi 1 dengan pencabutan empat premolar menggunakan sudut M andibular Plane-SN kecil dan besar.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan antara perubahan tinggi molar dan rotasi mandibula maloklusi Angle kelas II divisi 1 pada perawatan teknik Begg?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara perubahan tinggi molar mandibula dengan rotasi mandibula
maloklusi
Angle kelas II divisi 1 pada perawatan teknik Begg
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1.
M enambah informasi mengenai hubungan antara perubahan tinggi molar dengan rotasi mandibula pada perawatan maloklusi Angle kelas II divisi 1 dengan alat ortodontik cekat tekn ik Begg sebelum dan sesudah perawatan.
2. Bahan pertimbangan bagi ortodontis dalam menentukan perubahan tinggi gigi molar setelah perawatan maloklusi Angle kelas II divisi 1 dengan teknik Begg
7
pada pencabutan empat premolar pertama sehingga dapat menegakkan prognosis yang baik. E. Keaslian Penelitian Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Reddy
dkk
(2000)
menghasilkan
kesimpulan bahwa perawatan Begg pada maloklusi kelas II divisi 1 tanpa pencabutan pada pasien tum buh kembang (9-12 tahun) menyebabkan ekstrusi molar yang signifikan namun rotasi mandibula tidak signifikan. Sharma (2014) menyatakan perawatan maloklusi Angle kelas II divisi 1 dengan pasien yang telah melewati masa tumbuh kembang menggunakan teknik Begg menghasilkan kesimpulan tidak terjadi rotasi mandibula yang signifikan. Deswi-Arwelli dkk (2011) meneliti tentang perubahan posisi pogonion pada arah horisontal. Hasil penelitiannya adalah terdapat perubahan tinggi wajah dan rotasi mandibula pada perawatan teknik Begg kelas II divisi 1 dengan sudut M andibular Plane-SN kecil dan besar. Sri-Wahyuningsih (2014) melakukan penelitian mengenai hubungan antara retraksi gigi insisivus dan mesialisasi gigi molar bawah dengan perubaha n sudut segitiga Tweed pada maloklusi A ngle kelas II divisi 1 dengan alat teknik Begg dan menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan sudut FM A yang menunjukkan terjadinya rotasi mandibula searah jarum jam. Penelitian mengenai seberapa besar derajat perubahan rotasi mandibula setiap terjadi peningkatan tinggi molar mandibula yang positif pada perawatan maloklusi Angle kelas II divisi 1 dengan alat ortodontik cekat teknik Begg sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan.