Informasi Forum Konservasi Orangutan Sumatera
B US IN ES S N AM E
E DISI PERDA A
Infokus
S E P T E M B E R 2 00 9
T O P I K B A H AS A N :
Langkah Konservasi Orangutan Sumatera Makin “FOKUS”
T
anggal 22 Juli 2009 menjadi catatan penting dalam perjalanan sejarah konservasi orangutan dan habitatnya di Sumatera Utara. Hari itu, Selasa, di Hotel Best Western-ASEAN, Medan, puluhan institusi berkumpul. Tidak seperti lazimnya pertemuan atau lokakarya konservasi orangutan dan habitatnya yang hanya dihadiri lembaga penggiat konservasi, hajatan kali ini diramaikan dengan kehadiran kalangan dunia usaha (private sector), sebut saja—sekadar menyebut sedikit contoh— perwakilan dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Sumatera Utara, PT Musim Mas dan PT Toba Pulp Lestari (TPL). Inilah momentum launching Forum Konservasi Orangutan Sumatera Utara (FOKUS), sebuah forum komunikasi dan sinergitas rencana aksi konservasi orangutan dan habitatnya yang tidak hanya melibatkan lembaga penggiat konservasi dan kalangan akademisi, tapi juga merangkul para private sector yang memiliki lahan konsesi di habitat orangutan—sebagai stakeholder yang tidak harus diposisikan sebagai “lawan”,
sebaliknya harus digandeng sebagai “kawan” seiring sejalan dalam mengimplementasikan rencana aksi konservasi orangutan dan habitatnya. Paradigma berpikir ini pula yang melatari ide pembentukan FOKUS. Adanya pertentangan atau benturan kepentingan antara pemanfataan sumber daya alam untuk kepentingan bernilai ekonomis di satu pihak (konsesioner) dengan kepentingan konservasi di pihak lain (konservasioner), tidak bisa tidak harus diselesaikan di atas meja, bukan dengan perang urat saraf atau adu otot di lapangan. Persoalan lainnya, masingmasing lembaga penggiat konservasi pun masih memiliki kecenderungan berjalan sendiri-sendiri sehingga memperlemah keterpaduan, sinergitas dan optimalisasi rencana aksi konservasi orangutan dan habitatnya sebagaimana dimandatkan dalam
Dairi-Pakpak
2
Pelatihan
3
Tata Ruang
4
Batang Toru
5
Leuser
8
E DISI P ERDA A
H ALAMA 2
… sambungan dari halaman 1 Permenhut Nomor 53/2007 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Nasional Tahun 2007-2017. Untuk mengoptimalkan peran para pihak itulah, diperlukan pesan kunci, yakni “komunikasi, koordinasi dan kolaborasi”. Pembentukan FOKUS menjadi pengunci kata untuk memenuhi harapan itu. Peluncuran FOKUS merupakan rangkaian dari pembentukan Forum Orangutan Indonesia (FORINA) di Jakarta beberapa bulan sebelum FOKUS
diluncurkan, meski ide pembentukan sudah diwacanakan sejak lama, sekitar tahun 2005. Hasil survai yang dilakukan oleh OCSP menyatakan kehadiran forum orangutan sangat diperlukan. Akhirnya, gagasan itu masuk ke dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Nasional. Sebagai media yang masih baru, FORINA dan FOKUS dibentuk dengan asas keadilan, kesetaraan, keterbukaan, independen, dan saling menghargai, bukan
Kopi Konservasi di Balik Rimba Dairi
M
eningkatnya konsumsi kopi dunia dan terbatasnya lahan pertanian kopi merupakan persoalan serius karena lambat laun semakin menekan daya dukung hutan akibat ekstensifikasi lahan pertanian kopi secara masif. Setidaknya, itulah fakta yang terjadi di Kabupaten Dairi, yang merupakan sentra penghasil kopi Arabika dan Robusta terbesar di Propinsi Sumatera Utara. Pada tanun 2007 saja, luas perkebunan kopi rakyat di daerah lumbung kopi ini sudah mencapai 20 hektar lebih yang diusahai oleh hampir 30 ribu petani. Celakanya, luas hutan negara (hutas register) yang dirambah dan ditanami kopi pun semakin meluas. Di Hutan Lindung Register 82 saja sudah dibuka lahan tanaman kopi seluas 4.300 hektare, sementara di Hutan Lindung Simbuatan Selatan
(Register 62) telah dibuka seluas 2.200 hektare. Tentu saja, sumber mata pencaharian utama sebagian penduduk Dairi ini bertubrukan dengan kepentingan konservasi keragaman hayati bernilai tinggi di kawasan hutan Dairi. Di kabupaten ini, terdapat tiga lokasi kawasan hutan yang oleh para ilmuwan dikategorikan sebagai Kawasan Kunci Pelestarian Keanekaragaman Hayati (Key Biodiversity Area), yaki di Dauan Siceke-cike, Puncak SidiangkatBatu Ardan dan Ekosistem Leuser. Pertanyaannya, haruskah salah satu kepentingan dikorbankan: mengutamakan kepentingan masyarakat dan mengabaikan fungsi ekologi atau mendahulukan fungsi ekologi dan menomorduakan kepentingan kesejahteraan masyarakat. Conservation International (CI)
merupakan underbow dari lembaga pemerintah melainkan mitra. Secara kelembagaan, FOKUS memiliki statuta sendiri. Hubungannya dengan FORINA pun sebatas koordinasi. Untuk Informasi selengkapnya, dapat menghubungi kantor OCSP-USAID Sumatera, Jl Slamet Riyadi No 6 Telp 62-614563876 atau Erwin Alamsyah (Partnership Dev. Cord)Hp 081361325916 atau Koordinator Fokus, Panut Hadisiswoyo (081533300042 )
Dairi-pakpak
Indonesia tidak melihat persoalan itu secara hitam-putih. Karena itu, dalam strategi dan rencana aksi konservasinya, CI tidak memilih salah satu opsi itu. Pilihan arifnya adalah bagaimana membangun intensifikasi pertanian kopi berkelanjutan dan teknologi pertanian dalam peningkatan produksi kopi agar usaha rakyat ini dapat mengurangi laju kerusakan hutan akibat pembukaan lahan baru. Impian itu pun dimulai pada Desember 2008 lalu. Sebanyak 128 petani yang mewakili 12 desa sentra penghasil kopi dihadirkan bersama pejabat terkait Pemkab Dairi, perusahaan kopi swasta dan lembaga swadaya masyarakat dalam sebuah Lokakarya dan Pelatihan “Menuju Wanatani Kopi, Kopi Organik dan Pemanfataan Lestari Hutan Lindung” di Hotel Berristera,
I
H ALAMA 3
N F O K U S
… sambungan dari halaman 2 Sidikalang. Inilah momentum penting yang mengawali upaya perubahan pola produksi kopi di Dairi, yang bersahabat dengan kelestarian hutan. Strategi aksi yang dilakukan antara lain menyelesaikan konflik pemanfataan kawasan hutan, di antaranya dengan kesepakatan pemanfataan hutan secara lestari melalui usulan penetapan areal pemanfataan Hutan Kemasyarakatan dan komitmen moral masyarakat petani kopi
untuk tidak lagi membuka lahan baru tanaman kopi di hutan alam; penerapan pertanian kopi organik dan melakukan sertifikasi kopi berwawasan lingkungan. Untuk Informasi selengkapnya, dapat menghubungi kantor Northern Sumatra Biodiversity Corridor Program Conservation International, Jalan Rajawali No 58, Sei Sikambing, Medan. Telp 62-61 8458834 atau Abdul Hamid ( 081361741637)
GIS, Membidik Tepat Titik Konservasi
J
angan berharap banyak pemerintah daerah bisa memiliki perencanaan tata ruang konservasi keragaman hayati yang baik dan akurat kalau tak memiliki staf yang terampil dalam melakukan pemetaan keruangan, terutama pemetaan mutakhir bersifat digital, yang lazim disebut dengan Geographic Information System (GIS). Faktanya, memang begitu. Dari penelusuran OCSP (Orangutan Conservation Service Program),
rupanya banyak pejabat dinas terkait seperti Bappeda dan Dinas Kehutanan sampai kalangan ornop (NGO) yang masih “gaptek” alias gagap teknologi dalam sistem penginderaan jauh (remote sensing) yang menyediakan data citra, baik foto udara maupun citra satelit. Padahal salah satu unsur penting perencanaan tata ruang adalah informasi data keruangan yang sering diwujudkan dalam bentuk peta. Dari gambaran peta, kita dapat menginformasikan atau menyampaikan maksud dengan lebih jelas dan akurat. Nah, begitu OCSP menawarkan pelatihan sistem informasi geografis (SIG/GIS), beberapa institusi menyambut antusias. Pada 4-6 Agustus lalu, pelatihan pun digelar di Sidikalang. Pesertanya, selain staf Bappeda, Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup dari Kabupaten Dairi dan Pakphak Bharat, juga
pelatihan dari kalangan ornop seperti Konsorsium Pusaka, Konsorsium Alive dan KPHSU (Koalisi Peduli Hutan Sumatera Utara). Setelah mengikuti pelatihan ini, mereka akhirnya dapat mengenal dan mengetahui konsep GIS, penginderaan jauh, penggunaan alat Global Positioning System (GPS) dan penerapannya untuk kepentingan tata ruang konservasi, membuat peta dengan tema-tema khusus secara digital serta mengelola peta maupun data spasial. Intinya, tentu saja meningkatnya kualitas sumberdaya staf di lingkungan pemerintah dan ornop dalam pemetaan ruang dan pengelolaan konservasi. Untuk Informasi selengkapnya, dapat menghubungi kantor OCSP-USAID Sumatera, Jl Slamet Riyadi No 6 Telp 62-61-4563876 atau Eka Rianta (Spatial planning Specialist) Hp 081534873759
E DISI P ERDA A
H ALAMA 4
APTRSU, Mengawal Proses Revisi Tata Ruang di Sumut
K
alau saat ini ada perubahan signifikan dalam revisi tata ruang baik di level propinsi (RTRWP) maupun kabupaten/kota (RTRWK) di Sumatera Utara, salah satunya karena perjuangan gigih APTRSU (Aliansi Peduli Tata Ruang Sumatera Utara). Aliansi ini memberikan andil dengan memberikan ruh keadilan dan perspektif ekosistem dalam perencanaan tata ruang agar tata ruang yang terbangun di satu sisi mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem dan di sisi lain memberi manfaat yang berkeadilan bagi masyarakat. APTRSU dibentuk pada Juni 2008 oleh beberapa ornop seperti OCSP, YEL, CI-I, YES, PETRA, PUSAKA, YAGASU, OIC, ESP, SOCP, PEKAT dan PARAS. Pada waktu itu sedang dilakukan proses revisi status kawasan hutan di Sumatera
Utara. Sebagaimana diketahui, Sumatera Utara yang kini hanya menyisakan kawasan hutan tak lebih dari 40% luas wilayahnya menghadapi benang kusut tata ruang, terutama statusnya dalam tata ruang. Tapal batas hutan dan lahan kelola masyarakat yang tidak jelas akibat ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam akses pemanfaatan hutan merupakan persoalan krusial yang bila tidak dikelola dengan baik akan menjadi bom waktu ledakan konflik sosial. Penataan ruang yang ada, baik berdasarkan Perda No. 6/2003 maupun SK Menhut No. 44/ 2005, sempat mendapat penolakan dari sejumlah pemerintah kabupaten maupun kelompok masyarakat sipil di Sumut, sehingga muncul tuntutan untuk merevisi SK Menhut No 44/2006 yang dinilai merugikan
Tata ruang
bagi percepatan pembangunan daerah dan merugikan bagi masyarakat lokal. Nah, untuk memppengaruhi perubahan perspektif dan kebijakan dalam penataan ruang kehutanan di daerah ini, APTRSU selama lebih dari setahun ini memberi masukan dan mengawal proses revisi tata ruang di Sumatera Utara. Kegiatan ini terbagi menjadi beberapa hal pokok yaitu: konsolidasi internal dengan mengadakan rapat internal, menelaah atau mengkaji beberapa protokol masukan, melihat peluang dari segi hukum dan kebijakan, melakukan lobi ke pihak-pihak terkait, membantu pihak terkait dalam rangka menyiapkan usulan revisi tata ruang daerah, menjalin aringan dengan forum tata ruang lainnya dan menjadianggota tim teknis evaluator rencana tata ruang.
Untuk Informasi selengkapnya, dapat menghubungi sekretariat ATPRSU, Jl Slamet Riyadi No 6 Telp 62-61-4563876 atau Eka Rianta Sitepu (081513531288) atau Monang Siringo-ringo (081397949843)
I
N F O K U S
H ALAMA 5
Satgas Patroli Hutan, Mempertahankan Tradisi Konservasi
S
ebuah permintaan tulus keluar dari seorang peserta diskusi di pagi itu. “Tolong pinjamkan sama kami peralatan kamera dan macam mana cara menggunakannya, biar ada bukti kalau nanti kami menemukan adanya penebangan liar atau ada orang yang menangkap orangutan. Begitu juga dengan peralatan lainnya untuk patroli hutan dan pemetaan desa, Pak. Biar Bapak-bapak sekalian percaya degan hasil survai kami,” kata Jansen Pasaribu, seorang ketua adat, pada awal Agustus 2009 lalu dalam sebuah diskusi kecil di kantor CII (Conservation International Indonesia) Padang Sidempuan. Hujan yang menghadang pagi itu, tak menghalangi sejumlah pemuka adat dari enam desa di Kecamatan Marancar, Tapanuli Selatan, berkumpul memenuhi undangan CII untuk berdiskusi bersama institusi lainnya, seperti Dinas Kehutanan Tapanuli Selatan, BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) dan OCSP (Orangutan Conservation Service Program), yang mungkin dapat membantu upaya para pemuka adat itu dalam memperkuat kelembagaan Satuan Tugas (Satgas) Pelestarian Sumber Daya Alam Adat Desa (PSDAAD). Satgas patroli hutan itu sebenarnya sudah terbentuk sejak November 2008. Embrio dari terbentuknya Satgas PSDAAD ini bermula dari Unit Patroli Orangutan yang awalnya dibentuk oleh masyarakat Desa Aek Nabara dan adanya tradisi konservasi di empat desa Hatabosi (Haunatas, Tanjungrompa, Bonandolok dan
Bt. toru
Siranap), yakni jaga bondar (penjaga tali air), kearifan lokal warisan leluhur yang masih tetap terjaga. Dari sini kemudian muncul pemikiran untuk mengembangkan model patroli desa ini, namun dengan cakupan peran yang lebih luas, yakni konservasi sumber daya alam di sekitarnya. Pelembagaan patroli hutan berbasiskan masyarakat desa yang berbatasan langsung dengan Cagar Alam Sibual-buali dan Batang Toru ini menjadi sangat penting, bukan saja karena masyarakatnya berkepentingan menjaga sumber airnya yang berasal dari hulu sungai di hutan Batang Toru, tapi juga karena keberadaan mereka menjadi peluang untuk memperkuat “mata dan tangan” pemerintah yang terbatas dalam menjaga hutan Batang Toru dari ancaman perambah liar dan pemburu satwa langka. Untuk Informasi selengkapnya, dapat menghubungi kantor Northern Sumatra Biodiversity Corridor Program Conservation International, Jalan Rajawali No 58, Sei Sikambing, Medan. Telp 62-61 8458834 atau Abdul Hamid ( 081361741637)
H ALAMA 6
E DISI P ERDA A
Konservasi Berbasis Masyarakat Adat
Bt. toru
S
uasana di Desa Tanjungrompa, Kecamatan Marancar, Tapanuli Selatan, pagi itu tidak seperti biasanya. Hari itu, 2 Maret 2009, desa di lembah Gunung Sibual-buali itu diramaikan dengan kedatangan 58 orang tokoh adat dan pemuka masyarakat dari 24 desa yang berbatasan dengan Hutan Batang Toru Blok Barat (HBTBB). Mereka berasal dari tiga kabupaten, yakni Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara. Kedatangan meraka dengan satu tujuan: menghadiri hajatan akbar pelestarian hutan Batang Toru melalui sebuah lokakarya desa bertajuk “ “Perencanaan Konservasi Partisipatif untuk Pelestarian Hutan Batang Toru”. Acara berlangsung tiga hari, dari tanggal 2 Maret sampai 5 Maret 2009. Peristiwa ini menjadi sejarah penting di Tapanuli Selatan, karena sangat jarang terjadi para pemuka adat dan tokoh masyarakat dari puluhan desa berkumpul membicarakan persoalan pelestarian hutan. Pemilihan tempat acara di Desa Tanjungrompa pun bukan tanpa alasan. Di desa ini masih terpelihara kearifan lokal warisan leluhur berupa sistem perlindungan hutan dan sumber air untuk kepentingan pengairan
sawah yang disebut dengan istilah jaga bondar. Tapi yang lebih penting dari hajatan masyarakat adat itu adalah lahirnya dokumen Deklarasi Tanjung Rompa untuk Pelestarian Hutan Daerah Aliran Sungai Batang Toru” berikut rincian rencana aksi konservasi ke depannya. Tak cuma itu, mereka sepakat pula membentuk Badan Kerjasama Desa untuk Pelestarian Hutan Daerah Aliran Sungai Batang Toru sebagai pelaku pelaksana dari rencana aksi. Rencana aksi konservasi ini sejalan dengan salah satu kebijaksanaan nasional bidang konservasi alam yang mendorong peningkatan peran serta masyarakat dan kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Lokakarya masyarakat adat itu juga melahirkan sejumlah rekomendasi, antara lain pentingnya pendekatan konservasi kawasan yang berbasis lokal dengan pelibatan masyarakat sebagai penerima manfaat maupun penerima dampak pertama dari kondisi baik buruknya kesehatan ekosistem hutan Batang Toru serta perlunya tindakan kolaborasi pengelolaan kawasan secara nyata dengan pihak-pihak lainnya, khususnya pemerintah. Direkomendasikan pula agar Badan Kerja sama Desa diperkuat dari sisi kapasitas kelembagaannya yang meliputi visi, misi, program kerja, protokol organisasi, legalitas institusi dan pendanaannya. Untuk Informasi selengkapnya, dapat menghubungi kantor Northern Sumatra Biodiversity Corridor Program Conservation International, Jalan Rajawali No 58, Sei Sikambing, Medan. Telp 62-61 8458834 atau Abdul Hamid ( 081361741637)
I
N F O K U S
H ALAMA 7
Ancaman Mengintai di Balik Tungku Bakar
S
eberapa besar tingkat ancaman kerusakan Hutan Batang Toru Blok Barat (HBTBB) jika penduduk di sekitar kawasan hutan menggunakan kayu bakar secara masif untuk kebutuhan rumah tangga dan— terlebih lagi— produksi gula aren? Lantas, jika faktanya kebutuhan kayu bakar itu semakin mempercepat laju kerusakan hutan Batang Toru yang menjadi habitat orangutan, haruskah keberadaan rakyat di sekitar kawasan hutan dilihat sebagai duri yang harus dicabut dari daging? Atau adakah solusi yang cukup arif dari aspek kepentingan kesejahteraan masyarakat? Kegelisahan pemikiran ini melatari munculnya ide untuk melakukan survai kebutuhan kayu bakar dari aktivitas sehari-hari masyarakat yang bermukim berdampingan dengan blok HBTBB. Perkumpulan Samudera, dengan dukungan Orangutan Conservation Service Program (OCSP), baru-baru ini melakukan survai di Kecamatan Marancar, Tapanuli Selatan, dengan titik fokus penelitian di empat desa yang memiliki tradisi konservasi, yakni Desa Haunatas, Tanjungrompa, Siranap, dan Bonandolok, serta dua desa yang berdekatan dengan keempat desa tersebut, yakni Desa Aek Nabara dan Janji Manaon. Penggalian informasi dibagi pada dua kelompok objek penelitian, yakni kelompok petani penyadap nira dan kelompok ibu rumah tangga. Untuk menguji akurasi
produktivitas dan keuntungan maksimal dari usaha gula aren, penggalian informasi juga dilakukan terhadap pedagang (toke pengumpul) gula aren yang menguasai perdagangan gula aren di desa sampling.
Hasilnya? Mayoritas petani gula aren yang ada di 6 desa sasaran survai ternyata menggunakan kayu hutan sebagai kayu bakar untuk memproduksi gula aren dan hanya sebahagian kecil yang menggunakan kayu ladang (karet). Begitu juga dengan ibuibu rumah tangga, kebutuhan kayu bakar dipenuhi dengan cara mengambil kayu tidak saja dari ladang sendiri, tapi juga mengambil kayu dari hutan alam. Hal ini terjadi karena kemampuan ladang masyarakat untuk memproduksi kayu bakar tidak lagi mencukupi. Selain itu, petani gula aren mempunyai alasan lain lebih memilih menggunakan kayu
Bt. toru
hutan dibanding kayu ladang. Menurut mereka, kayu hutan lebih keras sehingga tidak mudah habis dibakar api dan jumlahnya juga masih banyak. Sebaliknya, kayu ladang mudah terbakar dan jumlahnya sangat terbatas serta harganya cukup mahal. Hasil survai yang menunjukkan indikasi adanya kecenderungan meningkatnya potensi ancaman kerusakan hutan akibat penggunaan kayu bakar ini tidak diharapkan untuk mendorong pemerintah melakukan cara-cara praktis perlindungan hutan yang bertentangan dengan rasa keadilan, sebaliknya direkomendasikan untuk mencari beragam solusi, misalnya dengan peningkatan efisiensi energi dari pola penggunaan tungku bakar untuk produksi gula aren sehingga dapat meminimalisir atau memperlambat laju penggunakan kayu bakar; mengupayakan sumber energi lain selain kayu bakar; atau mengupayakan mata pencaharian alternatif yang dapat mengurangi ketergantungan masyarakat dalam penggunaan kayu hutan secara masif.
Untuk Informasi selengkapnya, dapat menghubungi kantor OCSP-USAID Sumatera, Jl Slamet Riyadi No 6 Telp 62-61456 3876 atau Erwinsyah (081263610034) atau Direktur Perkumpulan Samudra, Timbul Panggabean (081361525799)
E DISI P ERDA A
H ALAMA 8
Patroli Gajah dan Pembibitan
leuser
S
ampai saat ini, Yayasan Leuser Internasional (YLI) masih menggiatkan program patroli pengamanan hutan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Sikundur, Kabupaten Langkat, dengan menggunakan gajah sebagai alat transportasi ke dalam hutan. Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah kegiatan-kegiatan illegal seperti pembukaan lahan, perladangan, perburuan, illegal logging dan pengeboman ikan. Selain itu, YLI dan BBKSDA Sumut sedang merancang progam Desa Konservasi dan Ekowisata di wilayah yang sama. Kegiatan tersebut merupakan terobosan terbaru YLI yang belakangan ini agak vakum melakukan kegiatan di Sumut. Dalam kegiatan desa konservasi dan ekowisata, sampai saat ini telah dilakukan beberapa kali pertemuan dengan pihak BBKSDA serta beberapa kali survai yang semuanya bertujuan untuk menunjang kegiatan besar tersebut.
Sebelumnya, YLI telah melakukan kegiatan pembibitan tanaman hutan dan budi daya di Desa Sikundur, Arasnapal, Kabupaten Langkat. Untuk jenis tanaman hutan antara lain damar, meranti, suren, bayu batu, alim, kayu raja (tualang). Sedangkan jenis tanaman budi antara lain cempedak, nangka, duku, durian, melinjo dan coklat. Kegiatan ini dilakukan oleh YLI, BBKSDA Sumut dan masyarakat setempat degan tujuan untuk merehabilitasi areal 242 yang sudah terbuka dengan tanaman hutan agar bisa menjadi kawasan hutan kembali. Sedangkan tanaman budidaya akan ditanam di tanah masyarakat dengan tujuan untuk mendukung desa konservasi di Dusun Arasnapal Kanan (Kampung Batak) dan Dusun Arasnapal Kiri (Kampung Karo, Kampung Jawa, Kampung Baru), sekaligus sebagai salah satu sumber pemasukan bagi warga setempat apabila
berhasil nanti. Penanaman pohon pinang juga dilakukan di batas tanah masyarakat dengan areal 242 Sikundur (BBKSDA). Kegiatan ini bertujuan untuk mempertegas batas areal 242 dengan lahan masyarakat. Pelaksana kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat langsung dengan pengawasan dari pihak BBKSDA sebagai pemilik lahan 242 dan YLI. Pelaksanaan penanaman tersebut dilakukan pada awal Agustus sampai September 2008 lalu. Kegiatan ini dilaksanakan terkait dengan MOU antara YLI dan BBKSDA Sumut.
Untuk Informasi selengkapnya, dapat menghubungi kantor Yayasan Leuser International, Jl. Biotektologi Kampus USU, Medan, 20154. Tlp 0618216800. Muhammad Rivai (081533755624)
I
N F O K U S
H ALAMA 9
Menumbuhkan Gelora Cinta Konservasi di Hati Pramuwisata Bukit Lawang
leuser
P
emanfaatan kawasan konservasi sangat berpotensi sebagai tujuan wisata. Berbagai potensi dalam kawasan konservasi dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata. Salah satu pemanfaatan kawasan konservasi sebagai objek wisata adalah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Bukit Lawang. Kebanggaan mempunyai kawasan unik warisan dunia ini jelas merupakan modal dasar dalam upaya pelestarian kawasan Hutan Hujan Sumatera dari segala bentuk ancaman kerusakan. Salah satu upaya pelestarian yang bisa dilakukan adalah melalui pendidikan konservasi kepada pihak-pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan kawasan ini. Pemandu Taman Nasional atau yang biasa di sebut “guide” adalah salah satu pihak yang terlibat langsung dan sering melakukan kegiatan di dalam kawasan TNGL. Sering kali para “guide” tidak menyadari bahwa mereka mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga dan melestarikan kawasan TNGL. Oleh karena itu sejumlah NGO antara lain Orangutan Information Centre (OIC) bekerja sama dengan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Langkat, Yayasan Ekosistem Leuser (YEL), Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Langkat, dan Lembaga Pariwisata Tangkahan yang didukung oleh UNESCO dan
World Heritage melakukan kegiatan “Pelatihan Peningkatan Kapasitas Pramuwisata Bukit Lawang dan Tangkahan Sebagai Upaya Melestarikan Taman Nasional Gunung Leuser Sebagai Situs Warisan Dunia” secara berjenjang sejak Maret hingga Mei 2009. Pelatihan ini diikuti oleh perwakilan pemandu yang ada di Bukit Lawang dan Tangkahan dan perwakilan Ranger Taman Nasional Gunung Leuser di Bukit Lawang. Tujuannya tentu saja meningkatkan pengetahuan pramuwisata tentang konservasi sumberdaya alam sehingga mampu menjadi interpreter di kawasan TNGL Bukit Lawang dan Tangkahan. Dan output terpenting adalah bekurangnya dampak negatif kegiatan wisata di TNGL khususnya terhadap prilaku dan kondisi kesehatan Orangutan Sumatera di kawasan Bukit Lawang dan Tangkahan. Untuk Informasi selengkapnya, dapat menghubungi kantor Orangutan Information Center, Jalan Sei Bahorok No 79, Medan Baru 62-61-4147142 atau Sopian Hadinata (08126322046)
E DISI P ERDA A
H ALAMA 1 0
Ketika KETAPEL Merehabilitasi Hutan
leuser
R
ehabilitasi hutan membawa berkah bagi masyarakat Desa Halaban yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Seksi Pengeloaan Besitang Resort Sei Betung, Langkat. Sejak Agustus 2007 hingga Desember 2008 lalu, Orangutan Information Centre (OIC) dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser melakukan program rehabilitasi hutan di kawasan tersebut dengan melibatkan Kelompok Tani Pelindung Leuser (KETAPEL) sebagai pelaksana pembibitan dan penanaman di lapangan. Kerusakan hutan TNGL di desa ini mencapai 500 hektare akibat pembukaan perkebunan oleh beberapa perusahaan. Program Rehabilitasi Taman Nasional Gunung Leuser ini telah membangun dua buah lokasi pusat kegiatan pembibitan, masing-masing di Dusun Wonosari IX dan di areal TNGL yang berdekatan dengan Dusun HKTI (Afdeling 2) PT. Putri Hijau. Lebih dari 60 orang terlibat dalam produksi bibit. Keterlibatan masyarakat dalam aktivitas nursery menjadi tambahan pendapatan di luar pekerjaan sehari-hari. Bibit yang diproduksi merupakan bibit yang merupakan tanaman asli TNGL. Sampai Desember 2008, jumlah bibit yang diproduksi sebanyak 92.700 bibit. Berbagai aksi penanaman yang telah dilakukan oleh KETAPEL antara lain mendukung kegiatan penanaman 5.000 pohon bersama BBTNGL dan Ikatan Keluarga Brandan (IKADAN) pada bulan
Maret 2008. KETAPEL juga melaksanakan penanaman 1.000 pohon bersama PATRIA MEDAN pada Juni 2008. Kegiatan penanaman yang dilakukan oleh KETAPEL sampai bulan Desember 2008 seluas 70,6 hektare dengan jumlah bibit 87.676 pohon dengan mengikuti rancangan teknis yang disusun oleh OIC dan BBTNGL. Setelah melakukan penanaman, KETAPEL juga melakukan perawatan dengan pembersihan gulma di daerah sekitar penanaman bibit. Bila ditemukan ada bibit yang mati, maka akan dilakukan penyisipan. Perawatan tanaman dipercayakan kepada KETAPEL sampai tanaman tumbuh sehat. Sampai dengan Desember 2008 telah dilakukan perawatan tanaman seluas 35 hektare. Untuk Informasi selengkapnya, dapat menghubungi kantor Orangutan Information Center, Jalan Sei Bahorok No 79, Medan Baru 62-61-4147142 atau Sopian Hadinata (08126322046)
Forum Konservasi Orangutan Sumatera FOKUS merupakan forum komunikasi, konsultasi, pertukaran informasi antar para pelaku konservasi Orangutan Sumatera dalam mencari solusi terbaik terhadap masalah-masalah yang dihadapi dalam pengelolaan konservasi jangka panjang bagi Orangutan Sumatera dan habitatnya di Regional Sumatera. FOKUS menganut nilai-nilai keadilan, transparansi, saling menghormati, saling menghargai, saling memberi manfaat, non-diskriminatif, independen, nirlaba, kemitraan, dalam upaya mendorong keberlangsungan fungsi ekosistem, fungsi sosial dan fungsi ekonomi dari kegiatan konservasi Orangutan Sumatera dan habitatnya. Anggota-anggota yang dapat menjadi anggota FOKUS adalah individu dan organisasi yang mempunyai komitmen kepedulian terhadap masalah Orangutan Sumatera dan lingkungan hidup. Keanggotaannya terdiri dan perorangan dan organisasi/kelembagaan serta bukan merupakan pelaku kerusakan habitat dan penurunan populasi orangutan.
I
H ALAMA 1 1
N F O K U S
Agenda Media untuk Liputan Konservasi Orangutan dan Habitatnya
A
da selembar catatan penting dari diskusi kelompok di hari terakhir Workshop Kebijakan Pemberitaan dan Pengarusutaman Isu konservasi Orangutan dan Habitatnya yang digelar di Hotel Grand Mutiara, Brastagi, akhir Juli lalu. Diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion, FGD) dibagi dalam dua kelompok. Dalam setiap kelompok terdapat unsur praktisi konservasi dan praktisi media dalam jumlah yang berimbang. FGD menginventarisasi dan membedah isu-isu konservasi orangutan yang penting dikembangkan, di-follow up dan dipublikasikan secara mendalam oleh media massa.
Kelompok I mencoba menginventarisasi prioritas isu dalam konteks permasalahan penegakan hukum dan kebijakan publik yang dihadapi pengiat konservasi dalam upaya konservasi orangutan dan habitatnya. Kelompok II secara khusus membedah isu pemberdayaan masyarakat dan isu-isu untuk kampanye penyadartahuan konservasi orangutan dan habitatnya. Inventarisasi dan peringkat isu itu yang dilahirkan dari diskusi dan pemahaman bersama itu bermanfaat sebagai input dan referensi media untuk menyusun agenda isu peliputan yang bisa direncanakan di ruang redaksi dalam pengarusutamaan berita konservasi orangutan dan habitatnya. Adapun hasil inventarisasi sebagai berikut:
ISU PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KAMPANYE KONSERVASI ORANGUTAN Isu pemberdayaan: 1. Adopsi pohon dengan pelibatan masyarakat dalam mengkaitkan para pihak lainnya. 2. Inisiatif konservasi masyarakat desa untuk pelestarian habitat orangutan dan peningkatan ekonomi. 3. Pengembangan desa wisata berbasis lingkungan dan ekologis 4. Alternatif tanaman dan kegiatan ekonomi yang memiliki nilai ekonomis dan nilai konservasi 5. Pembelajaran dari kegiatan desa konservasi. 6. Pembukaan perladangan dikawasan habitat orangutan. Isu Kampanye: 1. Kebanggaan memiliki kekayaan keragaman hayati& kearifan lokal untuk proteksi habitat orangutan. 2. Lemahnya pengetahuan masyarakat tentang nilai ekonomi habitat orangutan. 3. Penghargaan pada masyarakat dan individu yang melakukan kegiatan konservasi. 4. Sosialisasi rehabilitasi lahan habitat orangutan oleh masyarakat. 5. Kegiatan yang dilaksanakan penggiat lingkungan sehingga dapat menjadi pembelajaran dan pengambilan kebijakan. 6. Pembukaan Rawa Tripa berdampak pada penurunan sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat . 7. Pemanfaatan satwa untukperlindungan habitatnya. 8. Dampak bencana longsor terhadap penurunan produksi padi dan ikan kolam.
ISU PENEGAKAN HUKUM DAN KEBIJAKAN Konversi Hutan Menjadikawasan Non Hutan: 1.
Dampak negatif perkebunan sawit bagi masyarakat dan lingkungan di masa depan. 2. Perubahan peruntukan lahan/hilangnya habitat orangutan akibat konversi hutan menjadi sawit. 3. Ancaman akan hilangnya kawasan konservasi di Rawa Singkil. 4. Dampak Konservasi orangutan oleh masyarakat. Perusakan kawasan konservasi (Illegallogging dan perambahan): 1. Perambahan hutan lindung oleh PT PLS. 2. Kawasan konservasi mejadi hutan sawit. Akibat lemahnya penegakan hukum mengabikatkan hilangnya habitat spesies tertentu seperti orangutan. 3. Hutan Lindung Dolok Surungan. Pembukaan sawit 10.000 Ha mengancam PLTA Asahan. 4. Pembukaan Jalan di hutan lindung dan taman nasional 5. Perusakan hutan yang berdampak terhadap punahnya habitat satwa dan tanaman langka di kawasan rain forest sehingga mempercepat global warming. Perburuan dan Perdagangan Satwa: 1. Perburuan dan perdagangan satwa terkait dengan issu kepunahan 2. Leuser sebagai habitat satwa Konflik: 1. Konflik gajah dan harimau akibat rusaknya habitat dan dampak perburuan 2. Konflik yang dipicu oleh perambahan kawasan konservasi Penegakan hukum: 1. Kesulitan penyidikan kasus akibat minimnya biaya operasional
Kepengurusan FOKUS untuk Periode 2009-2013: Badan Pengurus • Panut Hadisiswoyo [Ketua] • Gunung Gea [Wakil Ketua] • Erwin Perbatakusuma [Sekretaris]
• Marjoko [Wakil Sekretaris] • Dede Tanjung [Bendahara]
Badan Pengawas : • • • • •
Ir. Djati Witjaksono Hadi, Msi Ir Harijoko SP, MM DR. Delvian Timbul Panggabean Erwin Alamsyah
Lembaga yang Menjadi Anggota FOKUS (belum dilakukan registrasi ulang) : Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre, Perkumpulan Samudera, Yayasan Pekat, Yayasan Leuser Internasional, Yayasan Penata Budhi, Yayasan Ekosistem Lestari, Yayasan Ekowisata Sumatera, Yayasan PETRA, Yayasan Pusaka Indonesia, Fauna and Flora Internasional (FFI), OCSP Sumatera, Conservation International Indonesia Program, BBKSDA Sumut, BBTNGL, BLH Sumatera Utara, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Langkat, Dinas Kehutanan Taput, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tapteng, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Dairi, Universitas Medan Area, Departemen Biologi FMIPA USU, Departemen Kehutanan FP USU, Kebun Binatang Medan, GAPKI Sumut, PT. Toba Pulp Lestari, PT. Musim Mas
WCS dan BBKSDA Sumut Merespon Cepat Mitigasi Konflik Harimau dengan Masyarakat
S
emakin menyempitnya habitat Harimau Sumatera akibat perambahan hutan di Sumatera Utara dan Aceh menyebabkan konflik harimau dengan masyarakat yang bermukim di daerah perbatasan hutan semakin meningkat. Tidak jarang penduduk yang kehilangan ternaknya akibat serangan harimau, tak terkecuali ternak di dalam kandang. Menyadari hal itu, Wildlife Conservation Society (WCS) bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara membentuk unit respon cepat mitigasi konflik harimau dengan masyarakat, yang disebut sebagai program Wildlife Response Unit (WRU). Tim WRU bekerja melakukan pencegahan konflik di area hotspot konflik dan memberikan respon cepat terhadap konflik yang terjadi. Respon cepat ini sangat diperlukan untuk melakukan tindakan solutif yang tepat terhadap situasi konflik yang terjadi sekaligus menyelamatkan harimau. Pada Juli 2009 lalu, WRU bekerja sama dengan Dinas Kehutanan, KSDA Aceh serta Polres dan masyarakat Aceh Selatan berhasil melakukan rescue terhadap anak harimau yang terjerat di Subulussalam, Aceh. Respon cepat ini dapat dilakukan karena adanya jaringan informasi dan kemauan masyarakat untuk melaporkan kejadian. Potensi terjeratnya hariamu dalam jerat babi atau rusa karena penggunaan jerat tersebut masih banyak dilakukan di dalam hutan.
Anda yang mungkin mendapat informasi akurat adanya konflik harimau dengan manusia di Sumatera atau Aceh dapat melakukan kontak langsung ke WRU dengan hotline number 0811-1101-281. Untuk melakukan respon, tim WRU tentunya memerlukan data awal dan kronologis yang dapat anda sampaikan melalui telepon. Untuk Informasi selengkapnya, dapat menghubungi kantor Wildlife Conservation Society, Komplek Citra Wisata X – 12 Jl. Karya Wisata, Pangkalan Mansyur, Johor, Medan, (08111101281), atau Kantor BBKSDA Sumut Jl SM Raja KM 5,5No 14, Marindal, Medan. Kontak person: Suhut (62 21 7860606).