HUGH Vincent O'Sullivan
2015
Hugh Diterjemahkan dari The Interval karangan Vincent O'Sullivan terbit tahun 1918 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Oktober 2015 Revisi terakhir: Februari 2016 Copyright © 2015 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
N
Y.
WILTON melintasi sebuah gang kecil dari salah satu
gerbang di Regent’s Park, dan keluar di jalan lebar nan
sunyi. Dia berjalan pelan, mengamati kanan-kiri supaya tidak melewatkan nomornya. Dia merapatkan pakaian bulunya. Setelah bertahun-tahun di India, kelembaban London terasa keras sekali. Padahal hari ini tidak berkabut. Uap pekat, kelabu dan sedikit kemerahan, tersebar di antara rumah-rumah, terkadang bertiup dengan kecupan basah di wajah. Rambut, bulu mata, dan pakaian bulu Ny. Wilton dipenuhi tetes-tetes kecil. Tapi cuaca tidak mengaburkan penglihatan, dia dapat melihat wajah-wajah orang di kejauhan dan membaca reklame di toko-toko. Di depan pintu penjual furnitur antik dan bekas dia berhenti, mengintip ke dalam jendela jorok, melihat-lihat tumpukan barang berantakan, yang kebanyakan bernilai tinggi. Dia membaca nama Polandia yang terpasang di kaca dalam huruf putih. “Ya, ini tempatnya.” Dia membuka pintu, dan disambut oleh gemerincing muram. Dari suatu tempat di dalam toko yang gelap datanglah si pedagang. Wajahnya pucat lembab, dengan janggut hitam tipis, mengenakan topi tengkorak dan tasmak. Ny. Wilton bicara padanya dengan suara rendah. Sorot persekongkolan, kelicikan, dan barangkali ejekan, terlintas di mata sinis dan sedih si pedagang. Tapi dia membungkuk sungguh-sungguh dan penuh hormat. “Ya, dia di sini, nyonya. Apa dia mau menemuimu atau tidak, entahlah. Dia tidak selalu baik, tergantung suasana hatinya. Jadi 5
kita harus hati-hati. Polisi—mereka takkan menyentuh wanita sepertimu. Tapi belakangan ini orang asing tak punya banyak kesempatan.” Ny. Wilton mengikutinya ke belakang toko, di mana terdapat tangga putar. Dia mengetok beberapa benda dalam perjalanannya dan membungkuk untuk memunguti, tapi si pedagang terus menggerutu, “Tak masalah—tentu tak masalah.” Dia menyalakan lilin. “Kau harus naik tangga ini. Kondisinya sangat gelap, hati-hati. Begitu sampai di sebuah pintu, buka dan masuklah.” Dia berdiri di kaki tangga sambil mengangkat lilin tinggitinggi di atas kepalanya, sementara Ny. Wilton naik. Ruangannya tidak terlalu besar dan tampak biasa saja. Ada beberapa kursi reyot tak nyaman berwarna emas dan merah. Di balik tutup kaca di atas meja terdapat gambar pemandangan Roma. Ruangan ini tidak bergaya bisnis, pikir Ny. Wilton; tak ada kesan kantor atau ruang tunggu di mana orang-orang datang dan pergi sepanjang hari. Tapi juga tak bisa dibilang ruang pribadi yang ditinggali. Tak ada buku atau dokumen. Setiap kursi berada di tempatnya setelah ruangan ini terakhir kali disapukan. Tak ada perapian, dan sangat dingin. Di sebelah kanan jendela ada pintu bertutup tirai mewah. Ny. Wilton duduk dekat meja dan memperhatikan pintu ini. Dia menduga, pasti lewat pintu inilah si tukang tenung akan muncul. Dia menumpuk kedua tangannya di atas meja dengan lesu. Ini peramal ke sepuluh yang ditemuinya sejak Hugh terbunuh. Dia mengingat-ingat lagi. Bukan, ini yang ke sebelas. Dia sudah lupa 6
dengan pria menakutkan di Paris yang mengaku pendeta. Tapi di antara semuanya, hanya pria ini yang ucapannya tepat. Meski tidak menyampaikan apa-apa selain masa lalu. Dia tahu pernikahannya, bahkan lama pernikahannya—dua puluh satu bulan. Dia juga tahu masa-masa mereka di India—sekurangnya dia tahu suaminya seorang tentara, dan bertugas di “wilayah jajahan”. Tapi secara keseluruhan dia sama-sama tidak memuaskan seperti yang lain. Tak satupun dari mereka memberikan pelipur yang dicari-carinya. Ny. Wilton tak ingin mendengar masa lalu. Jika Hugh pergi selamanya, maka pergi pula semua gairah kehidupannya, keberaniannya, dan diri baiknya. Nyonya ingin diangkat dari keputusasaan, kelimbungan yang menghanyutkan dari hari ke hari, penantian pagi di malam hari, dan penantian malam di pagi hari, yang telah menjadi warna hidupnya sejak kematian Hugh. Jika seseorang mampu meyakinkannya bahwa semua belum berakhir, bahwa dia ada di suatu tempat, tidak terlalu jauh, tidak berubah, dengan rambut garing, senyum lamban, wajah cokelat tak berlemak, bahwa dia melihatnya sekali-sekali, bahwa dia tidak melupakannya... “Oh, Hugh, sayang!” Saat Nyonya mendongak, seorang wanita sedang duduk di depannya.
Dia
tidak
mendengarnya
masuk.
Berdasarkan
pengalamannya yang cukup luas dengan segala macam peramal dan ahli nujum, dia langsung merasa wanita ini berbeda dari yang lain. Dia biasa menjumpai raut penilaian kilat, usaha yang terkadang janggal tapi kerap disamarkan dengan lihai, dalam 7
rangka
mengumpulkan
beberapa
keping
informasi
untuk
membangun penglihatan masuk akal. Tapi wanita ini seolah mengeluarkannya dari dalam dirinya sendiri. Bukan berarti penampilannya menyiratkan hubungan yang lebih erat dengan dunia arwah dibanding tukang tenung lain. Justru terkesan kurang. Beberapa peramal lain rapuh, murung, terhanyut. Dan si mantan pendeta di Paris berparas seram dan terkutuk, mungkin sebaiknya makan malam dengan iblis, dan mungkin pernah melakukannya. Tapi yang ini, wanita mungil tambun berwajah letih ini, yang umurnya sekitar 50-an, tidak mirip tukang masak karena lebih mirip tukang jahit. Gaun hitamnya diliputi benang-benang putih. Ny. Wilton menatapnya dengan sedikit malu. Wanita seperti ini lebih pantas untuk diminta berganti gaun daripada berkomunikasi dengan orang mati. Bahkan praktek tersebut terasa janggal di tempat selazim ini. Dia tampak malu-malu dan tertekan, nafasnya berat, dan terus menggosok-gosok tangan kumalnya yang basah. Dia selalu membasahi bibir, dan mengeluarkan batuk kering. Tapi tanda-tanda keletihan ini mengisyaratkan terlalu banyak bekerja dalam udara tertutup, terlalu membungkuk di atas mesin jahit. Rambut jeleknya seperti bulu tikus, ditambah warna lain. Beberapa untai benang ikut menempel di rambutnya. Roman gelisah dan terusiknya membuat Ny. Wilton bertanya iba: “Apa kau khawatir sekali dengan polisi?” “Oh, polisi! Kenapa mereka tidak meninggalkan kita? Kau tak pernah tahu siapa yang menemuimu. Kenapa mereka tidak 8
meninggalkanku? Aku wanita baik-baik. Aku cuma berpikir. Apa yang kulakukan tidak membahayakan siapapun....” Dia melanjutkan dengan suara bersungut-sungut, senantiasa menggosok-gosok tangannya dengan gugup. Di mata tamu, dia seperti sedang berbicara serampangan, merepet, seperti anak kecil sebelum tertidur. “Aku ingin jelaskan—” Ny. Wilton ragu. Tapi wanita tersebut, dengan kepala menghimpit sandaran kursi, membelalak ke dinding di belakang Ny. Wilton. Wajahnya kehilangan ekspresi semula; hampa dan kelenger. Bicaranya pelanpelan sekali, suaranya garau. “Kau tidak melihatnya? Aneh sekali, kenapa kau tidak bisa melihatnya. Dia di dekatmu. Dia sedang merangkul pundakmu.” Ini adalah gestur yang sering Hugh lakukan. Dan memang pada saat itu Ny. Wilton merasa ada seseorang di dekatnya, membungkuk di atasnya. Dia diselimuti kelembutan. Hanya saja suatu selubung tipis mencegahnya melihat. Tapi wanita itu melihat. Dia mendeskripsikan Hugh dengan sangat detil, bahkan sampai hal-hal kecil semisal luka bakar di tangannya. “Apa dia bahagia? Oh, coba tanyakan apa dia mencintaiku?” Ini jauh melebihi harapannya. Dia terpana. Dia hanya terbatabata saat mengucapkan hal pertama yang terlintas dalam kepalanya. “Apa dia mencintaiku?” “Dia mencintaimu. Dia tak mau menjawab, tapi dia mencintaimu. Dia ingin aku membantumu melihatnya. Dia kecewa, kurasa, karena aku tak bisa. Aku tak bisa, kecuali kau 9
sendiri yang melakukannya.” Setelah sesaat dia berkata: “Kurasa kau akan melihatnya lagi. Kau tidak memikirkan yang lain. Dia sangat dekat dengan kita sekarang.” Kemudian dia pingsan, tertidur berat dan tergolek tak bergerak di sana, bernafas dengan susah-payah. Ny. Wilton menaruh beberapa uang kertas di atas meja lalu menyelinap pergi dengan berjinjit. ***** Dia teringat, si pedagang berwajah licin tadi menahannya untuk memamerkan perak tua dan perhiasan dan semacamnya di toko gelap di lantai bawah. Tapi dia linglung, dia tak ingat apa-apa, sampai dia mendapati dirinya masuk ke sebuah gereja dekat Portland Place. Ini tindakan yang hampir mustahil di waktu normal. Kenapa dia masuk ke sana? Dia seperti seseorang yang melindur. Gerejanya tua dan suram, dengan bangku-bangku hitam tinggi. Tak ada siapa-siapa di sana. Ny. Wilton duduk di salah satu bangku dan membungkuk ke depan dengan tangan menutupi wajahnya. Setelah beberapa menit dia lihat seorang tentara masuk tanpa suara dan duduk sekitar enam baris di depannya. Pria tersebut tak pernah menoleh, tapi Ny. Wilton langsung terkesan oleh sesuatu yang familiar pada sosoknya. Awalnya dia menduga-duga tentara ini mirip Hugh. Lalu, ketika si tentara mengangkat tangan, dia tahu 10
siapa itu. Dia bergegas turun dari bangku dan berlari ke arahnya. “Oh, Hugh, Hugh, kau sudah kembali?” Si tentara berputar sambil tersenyum. Dia belum tewas. Itu cuma kekeliruan. Dia hendak bicara... Terdengarlah gema langkah-langkah kaki di gereja kosong tersebut. Ny. Wilton berbalik dan melirik gang suram di antara bangku-bangku. Ternyata bapak penjaga atau pengurus gereja. “Rasanya aku mendengarmu memanggil,” katanya. “Aku sedang bicara pada suamiku.” Tapi Hugh tak terlihat di manapun. “Dia di sini beberapa saat lalu.” Dia melihat-lihat dengan kesedihan mendalam. “Pasti sudah pergi lewat pintu.” “Tak ada siapa-siapa di sini,” kata pak tua lembut. “Hanya kau dan aku. Kaum wanita seringkali aneh sejak perang berkecamuk. Kemarin sore ada seseorang yang mengaku menikah di gereja ini dan suaminya berjanji akan menemuinya di sini. Mungkin kau menikah di sini?” “Tidak,” kata Ny. Wilton muram. “Aku menikah di India.” ***** Kira-kira dua atau tiga hari setelah itu dia masuk ke sebuah restoran Italia kecil di distrik Bayswater. Akhir-akhir ini dia sering makan di luar. Dia menderita batuk yang melelahkan, dan entah 11
bagaimana itu menjadi ringan saat dia berada di tempat publik, mengamati wajah-wajah aneh. Di flatnya terdapat semua barang yang pernah Hugh pakai; kopor dan tas masih memuat namanya serta label tempat ke mana Hugh pernah membawa-bawanya. Barang-barang ini seperti tikaman. Di restoran, orang-orang datang dan pergi, di antara mereka juga ada banyak tentara, melirik ke arahnya di pojok. Hari ini, kebetulan, dia agak telat dan tak ada siapa-siapa di sana. Dia letih sekali. Dia menggigit makanan yang mereka sajikan. Dia ingin menangis karena kelelahan, kesepian, dan kerinduan di dalam hatinya. Lalu tiba-tiba Hugh ada di hadapannya, duduk di seberang meja. Seperti di hari-hari pertunangan mereka, ketika mereka biasa makan siang di restoran. Dia tak berseragam. Dia tersenyum padanya dan mendorongnya untuk makan, seperti di hari-hari itu... Aku berjumpa dengannya sore itu saat dia menyeberangi Kensington Gardens, dan dia menceritakannya padaku. “Aku bersama Hugh barusan.” Dia tampak bahagia sekali. “Apa dia bilang sesuatu?” “T-tidak. Ya. Kupikir begitu, tapi aku tak bisa mendengarnya. Kepalaku lelah sekali. Lain kali—” ***** Setelah itu aku tidak melihatnya lagi untuk beberapa lama. Sepertinya dia merasa bahwa dengan pergi ke tempat-tempat di 12
mana dia pernah melihatnya—gereja tua, restoran kecil—dia yakin akan bertemu dengannya lagi. Dia tak pernah melihatnya di rumah. Tapi di jalan atau taman, sosok itu sering berjalan di sampingnya, bahkan pernah menyelamatkannya dari terlindas. Dia bilang, dia betul-betul merasakan lengannya tiba-tiba ditarik ketika mobil hampir melindasnya. Dia memberiku alamat paranormal itu. Dan lewat perempuan aneh itulah aku tahu—merasa tahu—apa yang terjadi selanjutnya. Ny. Wilton tidak persis sakit musim dingin lalu, tidak begitu sakit, sekurangnya untuk beranjak dari tempat tidur. Tapi dia sangat kurus, dan mata eloknya senantiasa menatap jauh, mencaricari. Bagaikan pandangan pelaut saat mendekati pesisir yang tak pasti. Dia hidup dalam kesunyian: dia nyaris tak pernah bertemu siapapun kecuali bila mereka mencarinya. Kepada mereka yang mencemaskannya, dia tertawa dan mengaku baik-baik saja. Pada suatu pagi cerah dia berbaring terjaga, menunggu pelayan membawakan teh. Sinar mentari London malu-malu mengintip ke dalam keré. Kamarnya tampak segar dan riang. Saat mendengar pintu dibuka, dia pikir pembantunya yang masuk. Lalu dia lihat Hugh sedang berdiri di kaki ranjang. Kali ini berseragam, dan berpenampilan seperti di hari kepergiannya. “Oh, Hugh, bicaralah! Kau tak mau bicara sepatah kata pun?” Hugh tersenyum dan menelengkan kepalanya ke belakang, seperti yang biasa dilakukan di rumah ibu mertuanya bila ingin mengajaknya keluar tanpa menarik perhatian yang lain. Dia bergerak ke arah pintu, masih memberi isyarat kepadanya untuk 13
ikut. Dia memungut sandal Ny. Wilton lalu diulurkannya, seakanakan memintanya untuk mengenakan. Buru-buru Ny. Wilton meluncur dari tempat tidur... ***** Anehnya, ketika orang-orang datang untuk memeriksa barangbarang Nyonya setelah wafatnya, sandal itu tak pernah ditemukan.
14