Hubungan Kecenderungan Konformitas dengan Potensi Perilaku Bully Perilaku bully adalah perilaku yang bertujuan untuk menyakiti seseorang dan kemudian tujuan tersebut dilaksanakan, adanya pihak yang tersakiti atas perilaku tersebut, dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau kelompok yang lebih lemah, tidak adanya hasutan, sifatnya berulang dan adanya kenikmatan yang dirasakan pelaku terhadap korbannya (Rigby, 1996). Dengan berlatar belakangkan definis tersebut dan fenomena-fenomena perilaku bully yang terjadi pada masa SMA, penulis melakukan penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara kecenderungan konformitas, dengan potensi perilaku bully. Konformitas dapat didefinisikan sebagai perubahan perilaku seseorang karena pengaruh dari orang lain (Aronson 2007). Konformitas sendiri dapat dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu informational influence dan normative influence (Taylor, Peplau, & Sears, 2006). Informational influence terjadi saat ada pengaruh dari orang lain yang membuat kita menyesuaikan diri dengan orang lain. Penyesuaian diri tersebut terjadi karena kita yakin bahwa interpretasi oranglain tersebut dari situasi yang ambigu akan lebih akurat daripada interpretasi kita, dan interpretasi tersebut akan menuntun kita pada tindakan yang tepat (Cialdini, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007; Cialdini & Goldstein, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007; Deutsch & Gerard, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007). Ada 3 situasi menurut Aronson, Wilson, dan Akert (2007) yang akan menyebabkan individu melakukan konformitas, yaitu : 1.
Situasi yang ambigu.
Ambigu saat individu tidak tahu bagaimana harus merespon dengan situasi yang dihadapinya, maka individu tersebut akan terbuka terhadap pengaruh dari individu lain. Semakin ambigu situasi yang dihadapi, individu akan semakin bergantung pada oranglain (Allen, Aronson, Wilson, & Akert, 2007; Renfrow & Gosling, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007; Tesser, Campbell, & Mickler, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007; Walther dkk dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007). 2.
Situasi yang gawat. Situasi yang gawat akan membuat seseorang bertindak tidak rasional. Selain itu, orang akan lebih cepat panik, dan membutuhkan keputusan akan apa yang harus dilakukannya, dengan cepat. Untuk itu, biasanya dalam situasi yang krisis, orang akan melihat bagaimana kebanyakan orang berperilaku.
3.
Ada individu yang lebih ahli. Bagaimanapun situasi yang dihadapi individu tersebut, apakah ambigu atau situasi yang gawat, individu akan lebih percaya pada individu lain yang lebih berpengalaman dalam situasi tersebut (Allison dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007; Cialdini & Trost dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2007).
Sedangkan normative influence dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku mematuhi aturan, kepercayaan serta nilai-nilai yang dianut oleh kelompok tersebut agar dapat diterima dalam kelompoknya (Aronson, Wilson, & Akert, 2007). Menurut Taylor, Peplau dan Sears (2006) ada beberapa situasi yang menyebabkan apakah individu konform atau tidak : 1.
Ukuran kelompok
Konformitas dapat meningkat jika anggota dalam grup juga mengalami peningkatan. Contohnya, jika ada 5 orang individu di dalam suatu ruangan yang sama. Jika hanya individu pertama yang mengeluh karena merasa tidak nyaman, sedangkan 4 individu lainnya tidak mengeluh, maka individu pertama mungkin berpikir ada yang salah dengan dirinya. 2.
Group Unanimity Individu akan konformitas pada suatu kelompok jika kelompok tersebut mempunyai kesatuan yang kuat. Contohnya dalam pengambilan keputusan, jika ada perbedaan pendapat pada tiap individu, kemudian individu lainnya konform terhadap keputusan yang salah, maka individu di luar kelompok tersebut belum tentu akan konform terhadap kelompok tersebut.
3.
Komitmen terhadap kelompok Individu akan konform terhadap suatu kelompok dengan melihat keterikatan anggota kelompok tersebut serta bagaimana komitmen anggota kelompok tersebut terhadap kelompoknya. Adanya “imbalan” jika bergabung dengan kelompok, misalnya ikatan yang kuat antar anggota kelompok, kepercayaan yang kuat untuk menyelesaikan suatu tujuan utama, maupun adanya hukuman jika
meninggalkan
kelompok
akan
mempererat
komitmen
anggota
kelompoknya. 4.
Keinginan untuk tidak bergantung pada kelompok Adanya keinginan untuk menjadi individu yang bebas, tidak terikat pada aruran kelompok juga menjadi salah satu alasan apakah individu akan
konform terhadap suatu kelompok atau tidak. Dalam hal ini, individu secara sukarela melakukan hal yang berbeda dengan individu lainnya. Dalam perilaku bully, ada 10 kriteria yang dapat dikatagorikan sebagai potensi dari perilaku bully menurut Olweus (2003), yaitu : 1.
Menggoda dengan cara yang tidak sopan, mengintimidasi, mengancam, merusak barang anak lain.
2.
Secara fisik mungkin terlihat kuat dibandingkan teman sebayanya.
3.
Adanya kebutuhan untuk mendominasi yang lain,
4.
Temperamen yang tinggi, mudah marah, sulit untuk menaati peraturan.
5.
Terlihat tangguh, kasar, dan menunjukkan empati yang sedikit dengan korbannya.
6.
Tidak cemas atau merasa sangat percaya diri.
7.
Suka melanggar peraturan, menunjukkan agresivitas pada orangtua atau guru, sering mengelak pada situasi yang “sulit”.
8.
Melakukan tindakan-tindakan yang terkait dengan perilaku anti sosial termasuk mencuri, merusak barang oranglain, dan mabuk-mabukkan.
9.
Mendapat dukungan dari teman-teman sekelasnya, setidaknya beberapa dari mereka.
10.
Mempunyai nilai akademis yang rata-rata, di atas, atau di bawah rata-rata saat Sekolah Dasar dan mungkin mempunyai nilai akademis yang lebih buruk saat Sekolah Menengah Pertama dan mulai melakukan perilaku negatif di sekolah.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah individu-individu yang terlibat dalam perilaku bully. individu-individu yang terlibat dalam perilaku bully sendiri dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Pelaku. Dalam hal ini, menurut Stephenson dan Smith (dalam Sulivan 2000), yaitu : 1.
Pelaku bully yang percaya diri Pelaku yang percaya diri mempunyai penampilan fisik yang kuat, menikmati kekerasan, merasa nyaman dengan lingkungannya serta cukup populer di antara teman-temannya.
2.
Pelaku bully yang mempunyai kecemasan Pelaku bully dengan rasa cemas mempunyai nilai akademis yang rendah, sulit untuk berkonsentrasi, kurang populer di antara teman-temannya serta merasa kurang nyaman dengan lingkungannya
3.
Pelaku bully sekaligus korban bully Pelaku sekaligus korban adalah anak yang menjadi pelaku bully di situasi tertentu dan menjadi korban di lain situasi. Pelaku sekaligus korban adalah anak yang sama sekali tidak populer di antara teman-temannya.
2. Korban. Korban dapat dibagi menjadi 3 tipe Stephenson & Smith, dalam Sulivan 2000 ; Olweus, dalam Sullivan 2000), yaitu : 1.
Korban bully yang pasif Ciri-cirinya adalah merasa cemas, rendahnya self-esteem dan kepercayaan diri, lemah secara fisik, dan tidak populer di antara teman-temannya. Korban yang pasif ini biasanya tidak berbuat apa-apa untuk membela dirinya.
2.
Korban yang provokatif
Ciri-cirinya adalah secara fisik lebih kuat dibandingkan dengan korban bully yang pasif, selain itu mereka juga lebih aktif dibandingkan dengan korban bully yang pasif, sulit untuk berkonsentrasi, menyebabkan ketegangan, kekesalan dan memprovokasi teman-temannya untuk membelanya. 3.
Korban sekaligus pelaku bully Ciri-cirinya adalah mereka memprovokasi dan menghasut perilaku agresivitas pada orang lain.
3.Bystander Bystander adalah orang-orang di sekitar pelaku dan korban yang menyaksikan tindakan bully tersebut. Bystanders sendiri memberikan respon yang berbeda-beda ketika menyaksikan tindakan bully (Harris & Petrie, 2003). Ada yang mengabaikannya, merasa takut, merasa itu adalah sesuatu yang lucu, atau ikut merasa sedih. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 100 murid SMA yang berdomisili di Jakarta. Alat ukur didapat dengan membuat sendiri, berdasarkan 10 kriteria Olweus (2003) mengenai potensi perilaku bully dan 7 indikator yang dibuat berdasarkan kapan individu akan melakukan konform berdasarkan Aronson, Wilson, dan Akert (2007) dan Taylor, Peplau dan Sears (2006). Dengan metode kuisioner, di mana design untuk penelitian ini bersifat kualitatif, maka didapat hasilnya, yaitu ada hubungan antara kecenderungan konfomitas dengan potensi perilaku bully, dengan arah positif. Yang berarti, jika salah satu variabel mempunyai nilai yang tinggi, maka variabel lain jga akan mempunyai nilai yang tinggi. Begitu juga sebaliknya.