BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kekerasan Verbal 2.1.1. Kekerasan Berkowitz (dalam Sobur, 2003) mendefinisikan kekerasan sebagai
segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental. Sementara itu, Noerhadi (dalam Subono, 2000) kekerasan mempunyai ciri khas pemaksaan yang dapat mengambil wujud persuasif dan fisik, atau gabungan keduanya. Disebutkan oleh Carpenito (2009) bahwa Kekerasan merupakan tindakan yang disengaja yang mengakibatkan cidera fisik atau tekanan mental. Sugiarno (2002) memberikan definisi kekerasan pada anak (child abuse) sebagai tindakan salah atau sewenang-wenang yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak, baik secara fisik, emosi maupun seksual. State of Oregon Department (2003) menyatakan bahwa child abuse adalah kekerasan yang dilakukan orang dewasa terhadap anak-anak yang dapat meliputi kekerasan fisik, emosi atau verbal, seksual dan penelantaran. Sunusi (2006) mendefinisikan kekerasan sebagai suatu perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal dan non verbal) yang ditujukan untuk mencederai atau merusak individu, baik berupa serangan fisik, mental sosial, ekonomi maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, dan dapat berdampak trauma psikologis bagi individu yang menjadi korban.
1
2 Sorensen (2003) menyatakan bahwa anak yang pernah menjadi korban kekerasan verbal dari orangtua akan menjadi orang yang memiliki kepribadian ganda sebagai mekanisme untuk menanggulangi masalahnya, yaitu di satu pihak cenderung untuk bersikap aktif dalam perilaku interaksi sosialnya, serta rusaknya self esteem anak. Di sisi lain, anak juga bisa menunjukkan gelaja tingkah laku sepeti rasa takut bila bersama dengan orang dewasa, perilaku regresif (misalnya: mengompol, melukai orang lain/diri sendiri), hubungan kurang akrab dengan teman sebaya, menghindari aktivitas disekolah, ketakutan dan kecemasan yang berlebihan bila bertemu dengan orang yang tidak dikenal maupun yang dikenal, dan berperilaku nakal dan agresivitas tinggi. 2.1.2. Jenis-jenis Kekerasan Kekerasan juga merupakan semua bentuk tindakan intensional ataupun karena pembiaran dan kemasabodohan yang menyebabkan individu mengalami luka, sakit, penghancuran bukan hanya fisik melainkan psikis. Dari pendapat tersebut menurut Douglas & Waksler (dalam Susanto, 2002) dapat didefinisikan adanya empat jenis kekerasan, yaitu : 1.
Kekerasan Terbuka Kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian.
2.
Kekerasan Tertutup Kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung, seperti mengancam.
3.
Kekerasan Agresif Kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti perampokan.
3 4.
Kekerasan Defensif Kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Baik kekerasan agresif maupun defensif bisa bersifat terbuka atau tertutup. Sunarto (2009) dalam bukunya yang berjudul Televisi, Kekerasan dan
Perempuan menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan, antara lain : 1.
Fisik Kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ketubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau dengan alat/senjata, menganiaya, menyiksa dan membunuh.
2.
Psikologis Kekerasan
psikologis
terwujud
dalam
bentuk
pengurangan
kemampuan mental atau otak (rohani) karena perlakuan-perlakuan represif tertentu, misalnya ancaman, indoktrinasi dan sebagainya. 3.
Seksual Melakukan tindakan yang mengarah pada ajakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, kawin paksa, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek seks korban. Murray (dalam Nurmaliah, 1995) mengelompokkan bentuk-bentuk
perilaku kekerasan menjadi tiga, yaitu : a.
Bentuk Emosional Verbal
4 Meliputi sikap membenci, baik yang diekspresikan dalam kata-kata maupun tidak, seperti marah, terlibat dalam pertengkaran, mengutuki, mengkritik di depan umum, mencemooh, mencaci maki, menghina, menyalahkan, menertawakan, dan menuduh secara jahat. b.
Bentuk Fisik Bersifat Sosial Meliputi perbuatan berkelahi atau membunuh dalam rangka mempertahankan diri atau mempertahankan objek cinta, membalas dendam terhadap penghinaan, berjuang dan berkelahi untuk mempertahankan negara, dan membalas orang yang melakukan penyerangan.
c.
Bentuk Fisik Bersifat Anti Sosial (Fisik Asosial) Meliputi perbuatan perampokan, menyerang, membunuh, melukai, berkelahi tanpa alasan, membalas penderitaan secara brutal dengan pengerusakan yang berlebihan, menentang otoritas resmi, melawan atau menghianati negara dan perilaku kekerasan secara seksual. 2.1.3. Kekerasan Verbal Seringkali tanpa disadari sering mendengar kekerasan verbal yang
dilakukan anggota keluarga, teman ataupun orang yang tidak kenali. Kekerasan verbal dalam kepustakaan komunikasi dapat diartikan sebagai suatu bentuk kekerasan yang menggunakan kata-kata yang kasar, jorok dan menghina. Kekerasan verbal saat ini memperoleh perhatian khusus dalam studi-studi komunikasi karena pengaruhnya atau kadar kesensitifan masyarakan terhadap perilaku kekerasan (Putra, 2008). Menurut Rosenthal (1998), kekerasan verbal berupa komunikasi yang berisi ancaman, perkataan kasar, atau menghina kemampuan anak yang
5 dilakukan secara terus menerus dan berakibat trauma pada anak, perasaan malu, takut, dan rendah diri. Tower (2005) mengatakan bahwa kekerasan verbal adalah kekerasan yang sering dilakukan oleh orang-orang terdekat anak, dimana terdapat ancaman atau penggunaan kata-kata kasar yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan luka psikologis, trauma dan hal-hal yang berbahaya lainnya. Berkowitz (2003) mendefinisikan perilaku kekerasan verbal sebagai suatu bentuk perilaku atau aksi kekerasan yang diungkapkan untuk menyakiti orang lain, perilaku kekerasan verbal dapat berbentuk umpatan, celaan atau makian, ejekan, fitnah dan ancaman melalui kata-kata. Sedangkan Coons (1986) berpendapat, kekerasan verbal perilaku pola komunikasi yang berisi penghinaan, perkataan kasar maupun kata-kata yang melecehkan anak, seperti menyalahkan, memberi lebel, atau juga mengkambinghitamkan anak. Susilowati (2008) mengungkapkan bahwa kekerasan verbal sering disebut sebagai kekerasan psikis yang merupakan suatu tindakan kekerasan yang berupa ucapan yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri dan meningkatnya rasa tidak berdaya. Kekerasan verbal termasuk jenis kekerasan yang tidak meninggalkan bekas fisik di tubuh korban, namun melukai hati korban yang tersiksa dalam keheningan. Kekerasan verbal seringkali lebih sulit untuk dilihat secara nyata karena tidak meninggalkan bekas seperti kekerasan fisik atau seksual, dan sering tak terlihat karena dilakukan ditempat yang termasuk pribadi seperi dirumah. Berdasarkan definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kekerasan verbal adalah perilaku pola komunikasi yang berupa ancaman, perkataan
6 kasar, celaan, makian, ejekan, fitnah, menyalahkan, memberi label, dan menghina dan melecehkan kemampuan anak yang dilakukan secara terus menerus oleh orang-orang terdekat anak yang berpotensi mengakibatkan luka psikologis, trauma, dan perasaan rendah diri pada anak. 2.1.4. Karakteristik Kekerasan Verbal Menurut Hampton (1999) kekerasan verbal memiliki berbagai karakteristik, yaitu : a.
Kekerasan verbal sangat menyakitkan dan biasanya dilakukan oleh orang terdekat korban yang memiliki kesempatan untuk melakukan kekerasan verbal, yaitu dimana korban akhirnya mempercayai pelaku bahwa ada sesuatu yang salah dari dirinya dan mulai merasa dirinya tidak berharga dan dirinya merupakan sumber masalah.
b.
Kekerasan verbal mungkin terjadi dalam perilaku tak tampak (seperti: komentar, cuci otak dengan pandangan-pandangan yang merendahkan korban).
c.
Kekerasan verbal sangat manipulatif dan bertujuan untuk mengontrol korban, yaitu merupakan agresi tersembunyi akan membuat korban menjadi bingung dan akhirnya mudah untuk di kontrol dimana korban akhirnya mempercayai pelaku bahwa ada sesuatu. Walaupun cara melakukannya halus (komentar dan brain washing) namun tetap saja tujuan utamanya adalah mengontrol dan memanipulasi.
d.
Kekerasan verbal membuat self esteem korban semakin menurun tanpa disadari oleh korban, dan semakin menarik diri dari lingkungannya sehingga korban akan mengubah perilakunya dan pasrah pada perilaku entah hal itu disadari ataupun tidak.
7 e.
Kekerasan verbal tidak dapat diprediksi, dalam kenyataannya terkadang pelaku memaki, bersikap kasar, mengeluarkan komentar pedas, menjatuhkan atau membandingkan dengan orang lain yang lebih baik.
f.
Kekerasan verbal mungkin akan semakin meningkat intensitas, frekuensi, dan variasinya. Kekerasan verbal mungkin diselubungi dengan gurauan sehingga tidak kentara namun melalui korban. Kekerasan verbal mungkin juga dilanjutkan dengan kekerasan fisik dimulai dengan kecelakaan kecil seperti mendorong atau melemparlempar barang. 2.1.5. Bentuk-bentuk Kekerasan Verbal
Terdapat berbagai bentuk kekerasan verbal (Tower, 2005), yaitu : a.
b.
Membentak, yaitu memarahi dengan suara keras, antara lain : •
menghardik, adalah mencaci dengan perkataan keras
•
menghakimi, adalah mengadili atau berlaku sebagai hakim
•
mengumpat, adalah mengeluarkan kata-kata kotor
Memaki, yaitu mengucapkan kata-kata keji, tidak pantas, kurang baik dalam menyatakan kemarahan atau kejengkelan, antara lain : •
mencela, yaitu menghina dengan terang-terangan
•
menyembur, adalah menyemprotkan kata-kata dari dalam mulut
•
menyumpahi, adalah mengeluarkan kata-kata kotor untuk mengambil sumpah
c.
Memberi julukan negatif/melabel, yaitu memberi tanda identifikasi melalui bentuk kata-kata, antara lain :
8 •
mengklasifikasi,
adalah
penggolongan,
pengelompokkan berdasarkan sesuatu yang sesuai dengan kelasnya d. Mengecilkan dan melecehkan kemampuan anak, yaitu membuat jadi rendah keberadaan anak, antara lain : •
mengabaikan, adalah melalaikan, menyia-nyiakan
•
menyampingkan, adalah menyingkirkan kea rah pinggir
•
menyepelekan, adalah memandang remeh
•
meringankan, adalah mejadikan atau mengganggap ringan
•
menggampangkan, adalah memudahkan, membuat jadi mudah
•
menistakan, adalah hina, tercela
2.1.6. Kategori Kekerasan Verbal Terdapat berbagai macam kategori kekerasan verbal (Tower, 2005), yaitu : a.
Menolak untuk berbagi informasi
b.
Menyerang/menentang
c.
Menyangkal dan mengalihkan persepsi pasangannya dari kenyataan situasi kekerasan verbal
d.
Kekerasan berbalut humor
e.
Membatasi dan mengalihkan
f.
Menuduh dan melempar kesalahan
g.
Men-judge dan mengkritik
9 2.2.
Orangtua 2.2.1. Pengertian Orangtua Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan “orangtua artinya
ayah dan ibu” (Poerwadarmita, 1987). Banyak dari kalangan para ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang pengertian orangtua, yaitu menurut Miami yang dikutip oleh Kartono (1982), dikemukakan “orangtua adalah pria dan wanita yang terkait dalam perkawinan dan siap sedia untuk memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya”. Sementara istilah orangtua diartikan dengan: “ayah, ibu kandung, orang yang dianggap tua (cerdik, pandai, ahli dan sebagainya), orang-orang yang dihormati dan disegani”, (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989). Menurut Daradjat (1990) orangtua adalah Pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak, kepribadian orangtua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur pendidikan yang tidak langsung dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak. Purwanto (1995) mengatakan yang dimaksud orangtua yaitu “pendidik yang terutama dan sudah semestinya merekalah pendidik asli yang menerima tugas sebagai kodrat dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya”. Nasution (1986) mengemukakan bahwa orangtua adalah setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari disebut ibu dan bapak. Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan orangtua adalah pria dan wanita yang terkait dalam perkawinan dan siap sedia untuk bertanggung jawab dalam keluarga atau rumah tangga dan menerima tugas untuk mendidik anak-anak mereka.
10 2.2.2. Tugas dan Peran Orangtua Dalam rangka pelaksanaan pendidikan, peranan orangtua semakin jelas dan penting terutama dalam penanaman sikap dan nilai atau normanorma hidup bertetangga dan bermasyarakat, pengembangan bakat dan minat serta pembinaan bakat dan kepribadian. Sebagimana dijelaskan oleh Singgih (1995) yang mengatakan hubungan antar pribadi dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh orangtua (ayah dan ibu) dalam pandangan dan arah pendidikan yang akan mewujudkan suasana keluarga. Peran orangtua adalah andil orangtua dalam memberikan persiapan yang baik untuk anak-anak mereka demi keberhasilan pendidikan yang dijalani. Indikatornya peran orangtua adalah perhatian terhadap kegeiatan pelajaran anak di sekolah dan menekankan pentingnya pencapaian prestasi belajar (Prameswari, 1999). Menurut Mahjuddin (1995), kewajiban orangtua terhadap anak diantaranya adalah : a.
Menyediakan kebutuhan sehari-hari anaknya.
b.
Selalu
menjaga
anaknya
dari bahaya,
termasuk
memelihara
kesehatannya. c.
Mendidik anaknya untuk berbuat baik, termasuk menanamkan akhlak baik baginya.
d.
Menjaga pergaulan anaknya agar tidak terpengaruh oleh lingkungan sosial yang tidak menguntungkan. Dalam keluarga terutama sangat berperan dan berpengaruh dalam
perkembangan sosial anak secara umum adalah orangtua (Florencia, 2004). Orangtua dalam keluarga berperan sebagai guru, penuntun, pengajar, serta
11 sebagai pemimpin pekerjaan dan pemberi contoh (Shochib, 1998). Peran orangtua adalah andil orangtua dalam memberikan persiapan yang baik untuk anak-anak mereka demi keberhasilan pendidikan yang dijalani. Indikator peran orangtua adalah perhatian terhadap kegiatan pelajaran anak di sekolah dan menekankan pentingnya pencapaian prestasi belajar (Prameswari, 1999). 2.2.3. Tanggung Jawab Orangtua Setiap orangtua harus memiliki tanggung jawab dalam mendidik anak. Tanggung jawab pendidikan yang menjadi beban orangtua sekurangkurangnya harus dilaksanakan dalam upaya : a.
Memelihara dan membesarkan anak, tanggung jawab ini merupakan dorongan alami untuk dilakukan, karena anak memerlukan makan, minum dan perawatan agar dapat hidup secara berkelanjutan.
b.
Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat membahayakan dirinya.
c.
Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupannya kelak sehingga bila ia dewasa mampu berdiri sendiri dan membantu orang lain serta melaksanakan kekhalifahan.
d.
Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan memberinya pendidikan agama sesuai dengan ketentuan Tuhan sebagai tujuan akhir hidup. Tanggung jawab ini juga dikategorikan sebagai tanggung jawab kepada Tuhan (Hasbullah, 2006).
12 2.3.
Motivasi Berprestasi 2.3.1. Pengertian Motivasi Berprestasi Murray memakai istilah kebutuhan berprestasi (need for achievement)
untuk motivasi berprestasi, yang dideskripsikannya sebagai hasrat atau tendensi untuk mengerjakan sesuatu yang sulit dengan secepat dan sebaik mungkin (Purwanti, 1993). Menurut Murray (dalam Winkel, 1984) motivasi berprestasi (achievement motivation) adalah daya penggerak untuk mencapai taraf prestasi belajar yang setinggi mungkin demi pengharapan kepada dirinya sendiri. Sedangkan menurut Santrock (2003), motivasi berprestasi adalah keinginan untuk menyelesaikan sesuatu untuk mencapai suatu usaha dengan tujuan untuk mencapai kesuksesan. Menurut beberapa ahli psikologi, pada diri seseorang terdapat penentuan tingkah laku yang bekerja untuk mempengaruhi tingkah laku itu. Faktor penentu tersebut adalah motivasi atau daya penggerak tingkah laku manusia. Misalnya, seseorang berkemauan keras atau kuat dalam belajar karena adanya harapan penghargaan atas prestasinya (Uno, 2008). McClelland yang merupakan prionir dalam studi motivasi berprestasi dan mengembangkan metode pengukurannya, memberi batasan motivasi berprestasi sebagai usaha untuk mencapai sukses dan bertujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan. Ukuran keunggulan itu dapat berupa prestasinya sendiri sebelumnya atau prestasi orang lain (Haditono, 1979). Selain itu McClelland (dalam Sukadji dkk, 2001) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai motivasi yang mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan dalam bersaing dengan suatu ukuran keunggulan (standard of excellence).
13 Dari uraian mengenai motivasi berprestasi di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi adalah daya penggerak yang mendorong seseorang untuk dapat mencapai sesuatu keberhasilan atau taraf prestasi dengan tujuan mencapai kesuksesan dan keunggulan dalam bersaing. Ukuran keunggulan dapat berupa prestasi diri sebelumnya atau dapat pula melihat dari prestasi orang lain serta adanya harapan penghargaan atas prestasinya. Individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi memiliki lima karakteristik (McClelland, 1985), yaitu : 1. Tanggung jawab pribadi 2. Kebutuhan akan umpan balik hasil 3. Keinovativan 4. Resiko dan kesulitan moderat 2.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi McClelland (dalam Sukadji dkk, 2001) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang ikut mempengatuhi motivasi berprestasi seseorang, antara lain : a.
Pengalaman pada tahun-tahun pertama kehidupan Adanya perbedaan pengalaman masa lalu pada setiap orang menyebabkan
terjadinya
variasi
terhadap
tinggi
rendahnya
kecenderungan untuk berprestasi pada diri seseorang. b.
Latar belakang budaya tempat seseorang dibesarkan Bila dibesarkan dalam budaya yang menekankan pada pentingnya keuletan, kerja keras, sikap inisiatif dan kompetitif, serta suasana yang selalu mendorong individu untuk memecahkan masalah secara
14 mandiri tanpa dihantui perasaan takut gagal, maka dalam diri seseorang akan berkembang hasrat berprestasi yang tinggi. c.
Peniruan tingkah laku (modeling) Melalui modeling, anak mengambil atau meniru banyak karakteristik dari model, termasuk dalam kebutuhan untuk berprestasi jika model tersebut memiliki motivasi tersebut dalam derajat tertentu.
d.
Lingkungan tempat proses pembelajaran berlangsung Iklim belajar yang menyenangkan, tidak mengancam, member semangat dan sikap optimism bagi siswa dalam belajar, cenderung akan mendorong seseorang untuk tertarik belajar, memiliki toleransi terhadap suasana kompetisi dan tidak khawatir akan kegagalan.
e.
Harapan orangtua terhadap anaknya Orangtua yang mengharapkan anaknya bekerja keras dan berjuang untuk mencapai sukses akan mendorong anak tersebut untuk bertingkahlaku yang mengarah kepada pencapaian prestasi. 2.3.3 Aspek-aspek Motivasi Berprestasi Menurut Frendsen (dalam Subini, 2012) terdapat beberapa aspek
dalam motivasi berprestasi, yaitu : a.
Adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas. Sifat ingin tahu mendorong seseorang untuk belajar, sehingga setelah mereka mengetahui segala hal yang sebelumnya tidak diketahui maka akan menimbulkan kepuasan tersendiri pada dirinya.
b.
Adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan keinginan untuk selalu maju. Manusia terus menerus menciptakan sesuatu yang baru
15 karena adanya dorongan untuk lebih maju dan lebih baik dalam kehidupannya. c.
Adanya keinginan untuk mendapatkan simpati dari orangtua, guru dan teman-teman. Jika seseorang mendapatkan hasil yang baik dalam belajar,
maka
orang-orang
disekelilingnya
akan
memberikan
penghargaan berupa pujian, hadiah dan bentuk-bentuk rasa simpati yang lain. d.
Adanya keinginan untuk memperbaiki kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru baik dengan kooperasi atau kompetisi. Suatu kegagalan dapat menjadikan seseorang merasa kecewa dan depresi atau sebaliknya dapat menimbulkan motivasi baru agar berusaha lebih baik lagi. Usaha untuk mencapai hasil yang lebih baik tersebut dapat diwujudkan dengan kerjasama bersama orang lain (kooperasi), atau bersaing dengan orang lain (kompetisi).
e.
Adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila menguasai pelajaran. Apabila seseorang menguasai pelajaran dengan baik, maka orang tersebut tidak akan merasa khawatir bila menghadapi ujian, pertanyaan-pertanyaan dari guru dan lain-lain karena merasa yakin akan
dapat
menghadapinya
dengan
baik.
Hal
inilah
yang
menimbulkan rasa aman pada individu. f.
Adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir daripada belajar. Suatu perbuatan yang dilakukan dengan baik pasti akan mendapatkan ganjaran yang baik, dan sebaliknya. Bila dilakukan kurang sungguhsungguh maka hasilnya pun kurang baik bahkan mungkin berupa hukuman.
16 2.4.
Remaja Remaja memiliki nama lain dalam bahasa latin yaitu adolscene.
Adolscene memiliki arti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Adolscene memiliki arti yang lebih luas lagi yang mencangkup kematangan mental emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Masa remaja merujuk pada masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang merupakan waktu kematangan fisik, kognitif, sosial dan emosional. Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1997) secara psikologis, masa remaja merupakan usia saat individu mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Santrock (2003) mengatakan remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Erikson (dalam Hall & Lindzey, 1993) mengatakan tekanan khusus terdapat pada masa adolscene karena pada masa tersebut merupakan peralihan dari masa kanakkanak ke masa dewasa. Apa yang terjadi pada tahap ini sangat penting bagi kepribadian dewasa, seperti identitas, krisis-krisis identitas, dan kekacauan identitas. Pada usia kronologis, masa remaja terjadi ketika individu berusia antara 12 tahun hingga 21 tahun (Gunarsa, 1986). Agustiani (2006) mengatakan masa remaja menjadi tiga bagian, yaitu : a.
Masa Remaja Awal (12-15 tahun) Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orangtua. Fokus pada tahap ini adalah
17 penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya. b.
Masa Remaja Pertengahan (15-18 tahun) Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri. Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku. Belajar mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan dengan tujuan vaksional yang ingin dicapai. Selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
c.
Masa Remaja Akhir (19-22 tahun) Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Selana periode ini remaja berusaha memantapakan tujuan vaksional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa, jug menjadi cirri dari tahap ini. Dalam perkembangan afiliasinya, remaja memperlihatkan dua macam
gerakan, yaitu gerakan memisahkan diri dari orangtuanya dan mendekatkan diri pada teman sebaya (Monks, Knoers, & Haditono, 2001). Dengan demikian, secara emosional sangat wajar jika remaja menjadi lebih dekat dengan teman sebaya dibandingkan dengan orangtuanya. Menurut Hurlock (1997), pengaruh teman sebaya bagi remaja tampak dalam sikap, penampilan, minat, topik pembicaraan, dan perilaku.
18 Havigust (dalam Mubin & Cahyadi, 2006) mengemukakan beberapa tugas remaja yang harus diselesaikan, yaitu: a.
Menjalin hubungan baru dengan teman-teman sebaya sesama jenis kelamin ataupun yang berlainan jenis kelamin.
b.
Menerima keadaan fisiknya, dan menerima perannya sebagai pria atau wanita.
c.
Memiliki keinginan untuk dapat berperilaku yang diterima oleh sosial.
d.
Mengakui tata nilai dan sistem etika yang membimbing segala tindakan dan pandangan. Erikson (dalam Papalia, 2008) mengidentifikasikan perkembangan
sosial anak, yaitu : a.
Tahap 1: Basic Trust vs Mistrust (percaya vs curiga) Usia 0 - 2 tahun, dalam tahap ini bila dalam merespon rangsangan anak mendapat pengalaman yang menyenangkan akan tumbuh rasa percaya diri, sebaliknya pengalaman yang kurang menyenangkan akan menimbulkan rasa curiga.
b.
Tahap 2: Autonomy vs Shame & Doubt (mandiri vs ragu) Usia 2 – 3 tahun, anak sudah mampu menguasai kegiatan meregang atau melemaskan seluruh otot-otot tubuhnya. Anak pada masa ini bila sudah
merasa
mampu
menguasai
anggota
tubuhnya
dapat
menimbulkan rasa otonomi, sebaliknya bila lingkungan tidak
19 memberi kepercayaan atay terlalu banyak bertindak untuk anak akan menimbulkan rasa malu dan ragu-ragu. c.
Tahap 3: Intiative vs Guilt (berinisiatif vs bersalah) Usia 4 – 5 tahun, pada masa ini anak dapat menunjukkan sikap mulai lepas dari ikatan orangtua, anak dapat bergerak bebas dan berinteraksi dengan
llingkungannya.
Kondisi
lepas
dari
ikatan
orangtua
menimbulkan rasa untuk berinisiatif, sebaliknya dapat menimbulkan rasa bersalah. d.
Tahap 4: Industry vs Inferiority (percaya diri vs rasa rendah diri) Usia 6 – 11 tahun, anak telah dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangan untuk menyiapkan diri memasuki masa dewasa. Perlu memiliki suatu keterampilan tertentu. Bila anak mampu menguasai suatu keterampilan tertentu dapat menimbulkan rasa berhasil dan percaya diri, sebaliknya bila tidak menguasai dapat menimbulkan rasa rendah diri.
e.
Tahap 5: Indentity vs Role Confusion Usia 12 – 20 tahun, dimasa ini remaja harus memutuskan siapa dirinya, bagaimanakah dirinya, tujuan apakah yang hendak diraihnya. Remaja bereksperiman dengan berbagai peran dan kepribadian, dan harus menentukan pemahaman akan diri sendiri atau merasakan kekacauan atas perannya. Remaja yang berhasil mengatasi konflik identitas akan tumbuh dengan penghayatan mengenai diri yang menyegarkan dan dapat diterima. Sedangkan remaja yang tidak
20 berhasil mengatasi krisis identitas akan mengalami kebingungan identitas. Kebingungan ini dapat menggejala ke dalam dua bentuk yaitu menarik diri, mengisolasi diri dari teman sebaya dan keluarga, atau mereka meleburkan diri ke dalam dunia teman sebaya dan kehilangan identitasnya. f.
Tahap 6: Intimacy vs Isolation (keintiman vs isolasi) Usia 21 – 40 tahun, Dalam tahap ini, orang-orang dewasa awal (young adults) siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang-orang lain. Mereka mendambakan hubungan-hubungan yang intim atau akrab, dan persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen ini meskipun mereka mungkin harus berkorban. Agar memiliki arti sosial yang bersifat menetap maka genitalitas membutuhkan seseorang untuk dicintai dan diajak melakukan hubungan-hubungan seksual, dan dengan siapa seseorang dapat berbagi rasa dalam suatu hubungan kepercayaan. Bahaya pada tahap keintiman ini adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari hubungan karena orang tidak mau melibatkan diri dalam keintiman. Suatu perasaan isolasi yang bersifat sementara memang perlu membuat pilihan-pilihan, tetapi tentu saja juga dapat menimbulkan masalah-masalah kepribadian berat.
g.
Tahap 7: Generativity vs Stagnation Usia 41 – 65 tahun, individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan individu sangat
21 pesat. Pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai adalah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan berbuat apa-apa (stagnasi). h.
Tahap 8: Ego Integrity vs Despair (integritas vs keputusan) Usia + 65 tahun, masa ini ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau integritas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Dalam situasi ini individu bisa merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan seringkali menghantuinya.
2.5.
Kerangka Berpikir Peneliti melihat dari data yang telah didapat salah satunya data dari
Komisi Nasional Perlindungan Anak dari tahun 2011 sampai 2013 terjadi peningkatan kekerasan pada anak, salah satunya adalah kekerasan psikis/emosional. Kekerasan psikis/emosional yang termasuk didalamnya adalah kekerasan verbal. Kekerasan verbal adalah bentuk perilaku komunikasi yang menyakiti orang lain yang berisi ancaman, perkataan kasar, celaan, makian, ejekan, fitnah, menyalahkan, memberi label, dan menghina kemampuan seseorang melalui kata-kata yang sering dilakukan oleh orang-orang terdekat.
22 Kekerasan verbal sering juga disebut dengan kekerasan mental emosional atau psikis. Lingkungan keluarga menduduki porsi besar dalam kasus kekerasan yang menimpa anak-anak. Anak-anak tumbuh dewasa dalam keluarga yang beragam. Beberapa keluarga mengasuh dan mendukung anak-anak mereka, sedangkan keluarga lain memperlakukan mereka dengan kasar atau mengabaikan mereka. Keadaan yang berbeda-beda ini mempengaruhi perkembangan anak-anak dan mempengaruhi di dalam dan di luar kelas. Kurang tepatnya orangtua dalam mendidik anak mereka dengan sering memarahi menggunakan kata-kata kasar, memaki, dan membentak anak-anak dengan kata-kata yang sebenarnya tidak pantas dan bersifat mengancam ini akan membentuk suatu perilaku yang dilihat dari orangtuanya, sehingga perilaku anak yang tidak diharapkan dapat terjadi. Dalam hal ini sikap orangtua kepada anak harus diperhatikan, karena orangtua mempunyai peranan penting dalam tumbuh kembang anak termasuk mendorong anak-anak mereka untuk dapat berprestasi disekolah sebagaimana seharusnya yang dilakukan oleh sewajarnya orangtua. Prestasi tinggi merupakan dambaan setiap orang karena suatu keberhasilan meraih prestasi akan menumbuhkan rasa bangga bagi individu dalam hidupnya baik di sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Orangtua sangat berperan dalam menciptakan suasana yang dapat mendorong anak agar senang dalam belajar sehingga prestasi anak dapat meningkat. Orangtua merupakan salah satu motivasi anak dalam mencapai prestasi. Memiliki motivasi berprestasi akan memunculkan kesadaran bahwa dorongan untuk
23 selalu mencapai kesuksesan dapat menjadi sikap dan perilaku permanen pada diri seseorang. Motivasi berprestasi adalah keinginan untuk menyelesaikan sesuatu untuk mencapai suatu usaha dengan tujuan mencapai kesuksesan dengan dukungan dari beberapa faktor. Dalam perkembangan prestasinya, remaja memposisikan secara istimewa jika prestasi tersebut memberikan kepuasan terhadap dirinya dan ketenarannya, yaitu perasaan berharga dalam pandangan seseorang atau kelompok. Untuk mencapai kesuksesan setiap orang mempunyai hambatan-hambatan yang berbeda-beda, dengan memiliki motivasi yang tinggi diharapkan hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi. Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi tinggi cenderung untuk selalu berusaha mencapai apa yang diinginkan walaupun mengalami hambatan dan kesulitan dalam meraihnya. Pada kenyataannya motivasi berprestasi yang dimiliki oleh seseorang cenderung sering mengalami penurunan dan di waktu lain mengalami peningkatan. Adanya kekerasan verbal yang dilakukan oleh orangtua dalam berkomunikasi dengan anaknya dalam mengasuh, melindungi, membimbing dan serta mendidik anaknya agar dapat meraih prestasi di sekolah, apakah anak akan tetap mendapatkan motivasi atau dorongan dari orangtua untuk berprestasi di sekolahnya, sementara lingkungan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi untuk mencapai prestasi belajar.
24
Kekerasan Verbal Orangtua
Motivasi Berprestasi
Motivasi Berprestasi meningkat atau menurun
25