Hubungan antara Psychological Well-being dan Kepuasan Kerja pada PNS Organisasi Pemerintahan di Yogyakarta (The Relationship Between Psychological Well-Being and Job Satisfaction Among Civil Servant in Yogyakarta) Debia Nur Epita dan Siti Dharmayati Bambang Utoyo Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara Psychological Well-being dan kepuasan kerja pada PNS Organisasi Pemerintahan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan pengumpulan data melalui kuesioner. Pengukuran Psychological Well-being menggunakan alat ukur Ryff’s Scale of Psychological Well Being dan pengukuran kepuasan kerja menggunakan Job Satisfaction Survey (Spector, 1994). Responden dalam penelitian ini berjumlah 141 PNS dari sembilan kantor pemerintahan di Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara psychological well-being dan kepuasan kerja pada PNS Organisasi Pemerintahan (r = 0.283; p = 0.001, signifikan pada L.o.S 0.05). Hasil tersebut dapat diartikan, semakin tinggi tingkat psychological well-being maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan kerja PNS Organisasi Pemerintahan di Yogyakarta. Kata kunci : Psychological Well-being; Kepuasan Kerja; PNS This research was conducted to find the correlation between psychological well-being and job satisfaction among civil servant. This research is using quantitative approach by collecting data through questionnaires. Psychological well-being was measured by instrument named Ryff’s Psychological Well Being Scale, which is adopted from previous research by a research team of psychological well-being in 2012. Job satisfaction was measured by instrument named Job Satisfaction Survey (Spector, 1994). The participants of this research are 141 civil servants from nine government offices in Yogyakarta. The main result of this study show that psychological well-being positively correlated significantly with job satisfaction (r = 0.283; p = 0.001, significant at L.o.S 0.05). Intepretation from the result is, higher psychological well-being, the higher job satisfaction. Keywords: Psychological Well being; Job Satisfaction; and Civil Servant Pendahuluan Setiap organisasi menginginkan performa yang tinggi dari karyawannya. Salah satu hal yang mempengaruhi performa adalah kepuasan kerja. Kepuasan kerja adalah apa yang seseorang rasakan tentang pekerjaannya dan aspek diluar pekerjaannya, sejauh mana seseorang memandang pekerjaannya sebagai sebuah hal yang memuaskan atau tidak memuaskan (Spector, 1997, hal. 2). Selain kepuasan kerja, penelitian Cropanzano and Wright (1999) menemukan bahwa psychological well being karyawan juga berkorelasi dengan performa kerja. Psychological well being dijelaskan oleh Ryff (1995) sebagai suatu usaha 1
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
untuk mencapai kesempurnaan yang mewakili potensi diri seseorang, yang meliputi enam aspek yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan terus bertumbuh secara personal. Psychological well being dan kepuasan kerja merupakan komponen yang sangat penting bagi organisasi karena keduanya dapat berpengaruh pada performa kerja karyawan. Beberapa penelitian menunjukkan keterkaitan antara psychological well being dengan kepuasan kerja (Wright & Bonnet, 2007; Yanez & Figueroa, 2011; Andini, 2008). Ketika seseorang memiliki psychological well being atau kesejahteraan yang tinggi maka hal itu juga akan terbawa pada perasaannya saat bekerja. Seseorang yang menilai lingkungan kerja sebagai lingkungan yang menarik, menyenangkan, dan penuh dengan tantangan, maka ia akan merasa bahagia dan menunjukkan kinerja yang optimal (Wright & Bonnet, 2007). Bertolak belakang dengan beberapa penelitian yang menunjukkan hubungan yang positif, hasil penelitian Ariati (2010) menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dengan well-being pada staf pengajar (dosen) di
Lingkungan Fakultas
Psikologi Universitas Diponegoro. Adanya pro kontra mengenai keterkaitan antara psychological well-being dengan kepuasan kerja tersebut membat peneliti tertarik untuk meneliti kembali hubungan antara psychological well-being dengan kepuasan kerja dengan responden PNS organisasi pemerintahan. Berdasarkan Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian pada bab 1 pasal 1 dinyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah setiap warga negara RI yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PNS memiliki peran yang sangat penting baik itu bagi pembangunan maupun sebagai penyelenggara pelayanan publik (Budiyanto, 2001). Peran yang sangat penting ini menuntut PNS untuk dapat memberikan kualitas kerja yang terbaik. Namun pada kenyataannya, kinerja PNS saat ini belum efektif dan efisien (Budiyanto, 2001). Menurut pengakuan seorang PNS di salah satu kantor pemerintah daerah di Yogyakarta, banyak terjadi kasus absenteisme atau tidak hadir untuk bekerja tanpa alasan yang jelas pada PNS. Selain itu, banyak pula PNS yang melakukan perilaku diluar pekerjaan saat jam kerja seperti chating dan menonton video. Absenteeisme ini terkait dengan kepuasan kerja yang rendah (Jex & Britt, 2008) dan psychological well-being yang rendah (Johnson, Catsouphes, Catsouphes, Smyer, & Costa, 2008)
2
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
Responden penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil di kantor pemerintahan Yogyakarta yang bekerja pada bagian sekretariat. Bagian sekretariat dipilih sebagai bentuk lanjutan penyelidikan terhadap PNS responden wawancara yang dijadikan latar belakang penelitian dan juga merupakan bagian yang pasti dimiliki oleh setiap kantor pemerintahan di Yogyakarta. Bagian sekretariat juga merupakan bagian yang pekerjanya rentan terhadap stres hal ini karena bagian sekretariat merupakan bagian yang berada pada lini terdepan berhadapan langsung dengan masyarakat dan juga tugasnya yang berkaitan dengan administrasi membutuhkan ketelitian dan kecermatan yang tinggi. Semakin tinggi tingkat stres seseorang maka hal ini akan berpengaruh pada rendahnya psychological well-being (Malek, Mearns, & Flin 2010). Adanya pro kontra mengenai hubungan psychological well-being dengan kepuasan kerja, serta adanya kasus absenteeism pada PNS organisasi pemerintahan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara psychological well-being dengan kepuasan kerja pada PNS organisasi pemerintahan di Yogyakarta. Alasan lain adalah masih belum adanya penelitian korelasi kedua variabel ini di Indonesia dengan sampel Pegawai Negeri Sipil. Tinjauan Teoritis Psychological Well-Being Ryff (1989) menjelaskan psychological well-being sebagai suatu usaha untuk mencapai kesempurnaan yang mewakili potensi diri seseorang yang digambarkan melalui enam dimensi. Dimensi tersebut meliputi penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), memiliki tujuan hidup (purpose in life), mandiri (autonomy), mampu mengendalikan lingkungan (environmental mastery), dan tumbuh secara personal (personal growth). Berikut penjelasan setiap dimensinya (Ryff, 1989). Pertama, penerimaan diri (self acceptance) dimana seseorang menerima semua aspek dirinya baik itu kelebihan maupun kekurangannya dan penerimaan terhadap masa lalunya. Kedua, hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others). Dimensi ini dilihat sebagai kemampuan untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama pada kesehatan mental. Ketiga, kemandirian (autonomy) yaitu orang yang memiliki evaluasi locus of control internal, dimana seseorang tidak mencari persetujuan orang lain, namun mengevaluasi diri dengan standar pribadi atau nilai-nilai yang dimiliki. Keempat, penguasaan lingkungan (environmental mastery) yang dijelaskan sebagai kemampuan untuk memilih atau 3
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
menciptakan lingkungan yang cocok untuknya atau kondisi psikisnya. Partisipasi aktif dan penguasaan lingkungan merupakan hal yang penting sebagai bahan dari suatu kerangka terpadu pada fungsi positif psikologis. Kelima, tujuan hidup (purpose in live) yaitu kematangan seseorang yang ditekankan pada pengertian yang jelas dalam tujuan hidup dan kemampuan yang terarah dan intensif. Terakhir, pertumbuhan pribadi (personal growth) dimana individu harus terus berkembang, mengembangkan potensinya untuk terus tumbuh dan maju. Berdasarkan penelitian selanjutnya, ditemukan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being seseorang. Pertama, usia mengalami penurunan dari dewasa muda ke dewasa madya dan mengalami kenaikan pada dewasa lanjut, pola ini disebut U-shaped (Blanchflower & Oswald, 2008). Kedua, jenis kelamin jika dilihat secara keseluruhan, laki-laki menunjukkan tingkat well-being yang lebih tinggi dibandingkan wanita (Clark & Oswald; Clark, dkk.; & Theodossion, dalam Shields & Price, 2001). Ketiga, budaya yaitu pada nilai individualistik dan kolektivistik akan berdampak pada psychological wellbeing (Ryff dan Singer, 1996). Keempat, tingkat sosial dan ekonomi juga turut mempengaruhi psychological well-being seseorang (Ryff & Singer, 2008; Ryan & Deci, 2001). Kelima, status pendidikan dan pekerjaan yang tinggi akan meningkatkan psychological well-being. Keenam, dukungan sosial yang memiliki hubungan signifikan dengan kondisi well-being (Love, Irani, Standing, dan Themistocleous, 2007). Faktor yang berpengaruh lainnya adalah kesehatan fisik (Shields & Price, 2005), kepribadian (Schmutte & Ryff, 1997), pengalaman hidup (Ryff, 1989). Kepuasan Kerja Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan dari Spector (1997). Spector mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “A global feeling about the job or as a related constellation of attitudes about various aspects or facets of the job.” (Spector, 1997, hal. 2) Dari penjelasan tersebut, kepuasan kerja diartikan sebagai keseluruhan perasaan mengenai pekerjaan atau sikap tentang berbagai aspek dari pekerjaan. Kepuasan kerja terdiri dari sembilan aspek yaitu: gaji, kesempatan promosi, adanya supervisi dari atasan, fringe benefit, contingent reward, prosedur dalam pekerjaan, rekan kerja, sifat pekerjaan, dan komunikasi (Spector, 1997). Spector (2000) merangkum dua faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja, faktor lingkungan dan faktor personal. Faktor lingkungan mencakup karakteristik pekerjaan, 4
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
ambiguitas peran, konflik peran, work-family conflict, jadwal kerja, dan gaji. Faktor personal terbagi menjadi empat hal yaitu: kepribadian pekerja, locus of control, gender, dan usia. Hubungan antara Psychological well-being dan Kepuasan kerja Kepuasan kerja terkait erat dengan psychological well-being karyawan (Klassen, Usher & Bong dalam Wright &.Cropanzano, 2000). Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara kepuasan kerja dengan psychological well being (Wright & Bonnet, 2007; Yanez & Figueroa, 2011; Andini, 2008). Menuurt Judge dan Locke (dalam Wright & Cropanzano, 2000) well being yang dirasakan oleh individu mempengaruhi pekerja dalam mengumpulkan dan merecall informasi tentang pekerjaan. Individu yang bahagia cenderung menyimpan, mengevaluasi, dan merecall informasi dengan cara yang berbeda dibanding dengan individu yang tidak bahagia. Selain itu, seseorang menghabiskan sebagian besar waktunya dengan bekerja, akan sangat tidak mungkin bila perasaan saat bekerja tidak berpengaruh pada psychological well being dalam dirinya (Yanez & Figueroa, 2011). Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai hubungan positif antara psychological wellbeing dengan kepuasan kerja pernah dilakukan oleh Andini (2008) pada petugas lapangan Suku Dinas Kebersihan Kec. Kalideres Jakarta Barat. Metode Penelitian Variabel pertama penelitian ini psychological well being dan variabel kedua adalah kepuasan kerja. Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah individu yang bekerja sebagai PNS organisasi pemerintahan di Yogyakarta, berusia 20-56 tahun, bekerja pada bagian sekretariat di kantor pemerintahan, dan pendidikan minimal SMA. Pengambilan data dilakukan satu kali selama bulan Desember 2012 di sembilan kantor pemerintahan Yogyakarta dengan teknik accidental sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 141 orang dari populasi PNS organisasi pemerintahan di Yogyakarta. Hipotesis Penelitian Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara psychological well being dengan kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil organisasi pemerintahan di Yogyakarta. H0: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
psychological well being dengan
kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil organisasi pemerintahan di Yogyakarta.
5
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
Alat Ukur Penelitian ini menggunakan dua alat ukur yaitu i) Ryff’s Scale of Psychological WellBeing (RSPWB) oleh Ryff (1989) dan sudah diadaptasi oleh peneliti kelompok payung skripsi psychological well-being tahun 2012 dengan reliabilitas koefisien alpha sebesar 0.704 dan validitas lebih besar dari 0.2. Alat ukur ini terdiri dari 18 item dengan respon jawaban 6 point Likert Scale. Norma dilihat dari mean skor total, yaitu individu yang memiliki skor diatas 84 maka psychological well-being tinggi, sebaliknya skor dibawah 84 berarti rendah. ii) Job Satisfaction Survey (JSS) yang dibuat oleh Spector (1994) dan sudah diadaptasi oleh Prayogo pada tahun 2012 dengan reliabilitas koefisien alfa 0.912 dan validitas berkisar dari 0,172 – 0,794. Alat ukur ini memiliki 36 item dengan respon jawaban 6 point Likert Scale. Norma yang digunakan bersal dari Spector (2007) dengan pembagian skor 144-216 berarti puas, 108-144 berarti ambivalen, dan 36-108 berarti tidak puas. Prosedur Pengambilan data dilakukan satu kali selama bulan Desember 2012 di sembilan kantor pemerintahan Yogyakarta. Peneliti mendatangi kantor pemerintahan dan menitipkan kuesioner pada staf bagian sekretariat lalu beberapa hari kemudian peneliti mengambil kuesioner yang telah diisi. Data penelitian yang didapat diolah melalui sistem SPSS 16.0. dengan teknik analisis statistika deskriptif, independent sample t-test, One way ANOVA, dan korelasi pearson. Hasil Penelitian Dari 141 responden, 47,5% responden adalah laki-laki (n=67) dan 52,5% perempuan (n=74). Rentang usia responden dari 24 tahun sampai 56 tahun yang terbagi menjadi dewasa muda (23%) dan dewasa madya (73%). Responden yang menikah memiliki jumlah yang paling banyak 86,5 %. Responden sebagian besar memiliki pendidikan SMA keatas (61,7%). 63,8% responden sudah bekerja di kantor tersebut selama kurang dari 5 tahun, 9,2 % selama 6 sampai 10 tahun dan 27% lebih dari 10 tahun. 68,1 % responden memiliki rata-rata jam kerja 8 jam sehari. Hasil teknik korelasi Pearson diperoleh nilai koefisien korelasi r antara psychological well being dan kepuasan kerja sebesar 0,283 dengan level signifikansi 0,001 yang berarti signifikan pada level of significance 0,05. Dengan adanya nilai korelasi yang signifikan ini membuat hipotesis null ditolak dan hipotesis alternatif diterima sehingga dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara psychological well being dan kepuasan kerja pada PNS organisasi pemerintahan di Yogyakarta. Semakin tinggi nilai 6
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
psychological well being maka semakin tinggi pula kepuasan kerja. Sebaliknya, semakin rendah psychological well being, semakin rendah kepuasan kerjanya. Nilai mean dari psychological well being adalah 83,68 (SD = 7,819) dengan nilai minimum 51 dan nilai maksimum sebesar 97. Responden penelitian ini memiliki psychological well being tinggi yaitu 75 orang (53,2 %). Dari perhitungan perbedaan mean tiap dimensi diperoleh hasil mean skor dimensi yang paling tinggi adalah personal growth yaitu sebesar 15.61. Sebaliknya, dimensi yang terendah adalah dimensi autonomy yaitu sebesar 12.22. Nilai mean dari kepuasan kerja penelitian ini adalah 154,59 (SD = 18,465) dengan nilai minimum 102 dan nilai maksimum sebesar 198. Sebagian besar responden penelitian memiliki tingkat kepuasan kerja yang berada pada tingkat puas yaitu 106 orang (75,2%). mean skor dimensi yang paling tinggi adalah dimensi rekan kerja yaitu sebesar 19.07. Dimensi yang terendah adalah dimensi fringe benefit yaitu sebesar 15.19. Hasil teknik uji Independent T-test dengan membandingkan mean skor psychological well being berdasarkan data demografis, yaitu jenis kelamin, usia, status dan pendidikan terakhir dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Perbedaan Mean Skor Psychological Well Being berdasarkan data demografis Data Responden
Frekuensi
Mean
Signifikansi
Keterangan
Laki-laki
67
84.05
t = 0.351
Tidak
Perempuan
74
83.60
p = .726
Signifikan
24-40
38
86.79
t = 3.614
Signifikan
41-65
103
82.75
p = .000
Menikah
126
83. 67
t = -.774
Tidak
Belum Menikah
15
82. 57
p = .440
Signifikan
SMA
54
82.44
t = -1.736
Tidak
SMA keatas
87
84.70
p = .085
Signifikan
Jenis Kelamin
Usia
Status
Pendidikan terakhir
Selanjutnya, hasil perbedaan mean skor kepuasan kerja berdasarkan jenis kelamin, usia, lama kerja, golongan dan pendidikan terakhir dapat dilihat pada tabel 2.
7
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
Tabel 2. Perbedaan Mean Skor Kepuasan Kerja berdasarkan data demografis Data Responden Frekuensi Mean Signifikansi Keterangan Jenis Kelamin Laki-laki 67 155.53 t = .594 Tidak Perempuan 74 155.67 p = .554 signifikan Usia 24-40 38 154.66 t = .005 Tidak 41-65 103 154.64 p = .996 signifikan Lama Kerja 0-5 90 153.36 F = .670 Tidak 6-10 13 158.54 p = .514 Signifikan >10 38 156.37 Pendidikan terakhir SMA 54 151.67 t = -1.515 Tidak SMA keatas 87 156.49 p = .132 Signifikan Golongan II 17 150.29 F = 1.769 Tidak III 121 154.83 P = .174 Signifikan IV 3 171.67 Diskusi Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wright dan Bonnet (2007), Yanez dan Figueora (2011), dan Andini (2008) bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara psychological well being dan kepuasan kerja sehingga semakin tinggi psychological well being responden maka semakin tinggi pula kepuasan kerjanya. Penelitian ini dilatarbelakangi adanya fenomena absenteism pada PNS di Yogyakarta sehingga diduga psychological well-being dan kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil di Yogyakarta rendah karena adanya perilaku negatif tersebut. Namun, ternyata psychological well-being dan kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil di Yogyakarta tergolong tinggi. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa alasan. Pertama, peneliti tidak mengukur absenteeism sehingga tidak diketahui apakah semua responden penelitian melakukan absenteeism ini atau tidak. Kedua, absenteeism dan perilaku diluar dari pekerjaan ini dilakukan karena mereka sering kali tidak memiliki tugas untuk dikerjakan dan mereka menyenangi pekerjaan mereka karena PNS dinilai sebagai pekerjaan yang aman dari resiko, (Komunikasi pribadi, 14 Februari 2013). Ketiga, fenomena ini mungkin terjadi karena buruknya sistem dan budaya kerja yang ada di lingkungan kerja organisasi pemerintahan di Indonesia. Sistem reward dan punishment tidak diberlakukan dengan baik akibatnya disiplin kerja dari PNS rendah dan nantinya berdampak pada performa kerja yang rendah pula. 8
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
Psychological well-being Pegawai Negeri Sipil di Yogyakarta yang tinggi salah satunya penyebabnya adalah adanya dukungan sosial dari keluarga mereka terhadap pekerjaan ini. Hal ini karena salah satu penentu tingginya tingkat psychological well-being adalah adanya dukungan sosial (Love, Irani, Standing, & Themistocleous, 2007; Sarafino, 1990; Daniels & Guppy, 1997). Berdasarkan jenis kelamin, hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Hasil ini bertentangan dengan penelitian Clark dkk (dalam Shields & Price, 2005) bahwa tingkat psychological well-being laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Meskipun demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Creed dan Watson (2003) serta Creed dan Macintyre (2001). Selain itu, beberapa penelitian mengenai pebedaan psychological well-being antara laki-laki dan perempuan memang menghasilkan temuan yang saling bertentangan (Ryff & Singer, 1996; Roothman, Kirsten & Wissing, 2003). Penelitian ini juga menemukan tidak ada perbedaan mean yang signifikan pada tingkat pendidikan PNS di Yogyakarta. Hasil ini bertentangan dengan temuan Ryff dan Singer (2008). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh proporsi jumlah yang tidak sebanding pada tiap kelompok tingkat pendidikan responden. Penelitian ini menemukan bahwa mean skor psychoogical well-being responden usia dewasa muda lebih tinggi daripada responden usia dewasa madya dan perbedaannya signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian Blanchflower dan Oswald
(2008) bahwa
psychoogical well being berbentuk U-shaped dengan usia yaitu penurunan terjadi pada usia dewasa madya dan mengalami kenaikan pada dewasa lanjut. Hal ini terjadi karena orang dewasa madya memiliki pengalaman stres yang lebih banyak daripada dewasa muda (Chang, D’Zurilla, dan Sanna, 2007) yang berasal dari transisi karier, anak yang sudah besar dan siap meninggalkan rumah, dan negosiasi ulang hubungan keluarga (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Stres ini dapat mengakibatkan psychological well-being menurun pada dewasa madya. Selanjutnya, tidak ada perbedaan psychological well-being yang signifikan antara responden yang menikah dan belum menikah. Hasil penelitian ini bertentangan dengan pendapat Glenn dan Weaver (dalam Shapiro & Keyes, 2008). Meskipun demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Shapiro dan Keyes (2008) bahwa secara keseluruhan tidak ada bukti perbedaan kesejahteraan antara orang yang menikah dan melajang. Selain itu, Gove, Hughes, & Style (1983) juga menyatakan bahwa yang mempengaruhi well being seseorang bukan status pernikahannya melainkan kualitas dari pernikahan individu tersebut.
9
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
Dalam penelitian ini skor mean paling tinggi terletak pada dimensi personal growth. Hal ini mungkin karena banyaknya kesempatan dan dukungan dari pemerintah untuk pengembangan diri PNS baik melalui pendidikan formal seperti penyediaan beasiswa untuk mengikuti studi yang lebih tinggi maupun berupa kursus-kursus, atau secara kelembagaan dengan mengadakan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat). Hal ini pun berdampak pada keinginan pribadi sebagai PNS Organisasi Pemerintahan untuk mengembangkan dirinya melalui berbagai kegiatan positif. Nilai mean skor dimensi autonomy paling rendah dibandingkan dimensi lainnya. Hal ini dapat terjadi karena PNS identik dengan sisitem birokrasi yang rumit, sehingga bawahan tidak memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya secara langsung pada pimpinan. Selain itu, dengan mayoritas responden yang berasal dari suku Jawa, hal ini secara tidak langsung juga turut mempengaruhi rendahnya autonomy. Menurut Frinaldi dan Embi (2011) PNS yang bersuku Jawa cenderung mengikuti prosedural yang ketat dan kaku atau menunggu arahan pimpinan (paternalistik) dalam budaya kerjanya sehingga kurang berani dalam menyampaikan pendapat dan melakukan inovasi dalam kinerjanya, Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat kepuasan kerja responden adalah puas. Tingginya tingkat kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil di Yogyakarta salahsatunya karena PNS merupakan pekerjaan yang aman dari ancaman PHK, selain itu juga adanya beberapa fasilitas dan tunjangan yang diterima PNS (Komunikasi pribadi, 14 Februari 2013). Hasil dari analisis tambahan selanjutnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara responden laki-laki dan perempuan. Dalam penelitian ini, responden laki-laki dan perempuan memiliki skor total rata-rata kepuasan kerja yang hampir sama. Walaupun demikian, skor rata-rata kepuasan PNS perempuan lebih besar dibandingkan dengan PNS laki-laki. Hal ini sesuai dengan pernyataan Greenhaus, Pasuraman dan Wormley (dalam Spector, 1997) bahwa perdebatan kerpuasan kerja antara pria dan wanita memang ada, tetapi sangat sedikit dan tidak terlalu penting. Menurutnya, perbedaan yang muncul lebih disebabkan karena adanya perlakuan yang berbeda yang diterima oleh pria dan wanita dalam pekerjaan. Misalnya, pada umumnya kesempatan promosi pada wanita lebih kecil. Franek dan Vecera (2008) serta Ghazzawi (2008) juga menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari kepuasan kerja mereka. Hasil tambahan selanjutnya tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara usia dengan kepuasan kerja PNS. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Franek & Vecera (2008). Perbedaan ini mungkin disebabkan penyebaran jumlah responden dalam tiap tingkatan usia yang tidak merata. Walaupun demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan hasil 10
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
penelitian Greenberg dan Baron (2003) bahwa tingkat kepuasan kerja ditemukan tidak meningkat sejalan dengan fase usia. Selanjutnya, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara lama bekerja dengan kepuasan kerja PNS di Yogyakarta. Hal ini bertentangan dengan penelitian Greenberg dan Baron (2003), bahwa kepuasan kerja lebih banyak dialami oleh orang yang telah bekerja lebih lama. Perbedaan ini dapat didasarkan oleh beberapa alasan, adanya faktor-faktor lain seperti hubungan dengan rekan kerja, hubungan dengan pimpinan yang berbeda antara satu sama lain yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Selain itu, perbedaan proporsi jumlah responden tiap kategori yang tidak seimbang juga turut menjadi faktor penyebab perbedaan hasil penelitian ini dengan teori yang ada. Selanjutnya, tingkat pendidikan dengan kepuasan kerja PNS menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan Hasil ini bertentangan dengan hasil penelitian Schultz (dalam Spector, 1997) bahwa individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi mengalami kepuasan kerja yang lebih besar. Meskipun demikian, hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Quinn dan Mandilovitch (1975) bahwa terdapat hubungan yang sangat rendah antara pendidikan dan kepuasan kerja. Kemudian untuk hasil perbedaan mean antara kepuasan kerja dengan golongan PNS tidak ditemukan perbedaan yang signifikan. Golongan PNS membedakan PNS atas gaji yang mereka terima. Oleh karena itu, dapat dikatakan perbedaan besar gaji tidak memberikan perbedaan signifikan pada tingkat kepuasan kerja PNS. Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian yang menyatakan bahwa gaji dan kepuasan kerja memiliki nilai korelasi yang kecil (Spector, 1997). Dari hasil perbedaan mean skor masing-masing dimensi kepuasan kerja, skor mean paling tinggi terletak pada dimensi rekan kerja. Peneliti berasumsi bahwa tingginya mean skor rekan kerja pada PNS Organisasi Pemerintahan dapat disebabkan budaya Jawa yang melekat pada diri PNS. Budaya Jawa identik dengan budaya kolektivis, budaya gotong royong, dan kekeluargaan yang dijunjung tinggi sehingga berpengaruh pada interaksi dengan rekan kerja yang berjalan dengan cukup baik. Selain itu dari hasil observasi peneliti, ruang kantor PNS Yogyakarta terdiri dari meja-meja yang saling berhadapan dan tidak bersekat. Hal ini menyebabkan para PNS dengan leluasa dapat saling berinteraksi tanpa harus beranjak dari tempat duduknya sehingga meningkatkan interaksi yang terjalin sesama rekan kerja. Nilai mean dimensi fringe benefit paling rendah dibandingkan dimensi lainnya. Hal ini dapat terjadi karena tunjangan yang diterima PNS di Yogyakarta jauh lebih kecil dari pada tunjangan yang diterima oleh PNS pusat. Tunjangan PNS Pusat bisa tiga kali lebih banyak 11
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
jumlahnya daripada PNS daerah. Selain itu tunjangan yang diperoleh tidak didasarkan tingginya performa kerja yang ditampilkan, sehingga pekerja yang performa buruk dan pekerja yang performanya baik mendapat tunjangan yang sama. Hal inilah yang salah satunya menyebabkan para PNS tidak terlalu puas dengan tunjangan yang diterimanya. Terakhir dari hasil perhitungan perbedaan mean usia, pada psychological well-being diperoleh hasil yang signifikan, sedangkan pada kepuasan kerja diperoleh hasil yang tidak signifikan. Hal ini karena adanya faktor-faktor diluar pekerjaan yang turut mempengaruhi psychological well-being dari individu sendiri. Psychological well-being menggambarkan kesejahteraan individu secara luas tidak hanya dari sisi pekerjaan. Ketika individu berada di usia dewasa madya ia memiliki tekanan dari masalah keluarga, anak, dan juga munculnya penyakit yang menurunkan psychological well-being. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan oleh peneliti, peneliti dapat menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara psychological well being dan kepuasan kerja pada PNS organisasi pemerintahan di Yogyakarta. Artinya, semakin tinggi psychological well being seorang PNS, maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan kerjanya. Secara umum, tingkat psychological well being yang dimiliki responden penelitian ini cenderung tinggi, demikian pula kepuasan kerja responden. Selanjutnya hasil perhitungan perbedaan mean skor psychological well being pada data demografis menunjukkan perbedaan mean yang signifikan pada data demografis usia responden penelitian yang dikaitkan dengan psychological well being pada PNS. Sebaliknya data demografis jenis kelamin, pendidikan terakhir dan status tidak memiliki perbedaan mean yang signifikan. Jika dilihat dari kepuasan kerja responden, tidak terdapat perbedaan mean yang signifikan pada data demografis usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, lama kerja, dan golongan PNS responden penelitian yang dikaitkan dengan kepuasan kerja pada PNS. Saran Saran Teoritis 1.
Memperkaya penelitian-penelitian mengenai psychological well-being dan kepuasan kerja pada PNS organisasi pemerintahan dan menyadari manfaat dari mengetahui tingkat psychological well-being dan kepuasan kerja PNS sehingga kinerja PNS organisasi pemerintahan dapat meningkat dan berdampak pada pembangunan bangsa.
12
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
2.
Menggunakan metode kualitatif agar setiap dimensi dalam psychological well-being dan kepuasan kerja dapat lebih tergali.
3.
Peneliti selanjutnya disarankan untuk memilih metode yang lebih efektif dibandingkan penelitian ini sehingga jumlah data yang diperoleh bisa lebih banyak dan lebih memenuhi target.
4.
Jumlah responden penelitian selanjutnya diperbanyak dan tidak terbatas hanya pada PNS di sembilan kantor pemerintahan sehingga hasil yang didapatkan lebih representatif.
5.
Penelitian selanjutnya sebaiknya mengukur juga workplace well being, sehingga meningkatkan pemahaman dan memperkuat gambaran yang lebih jelas mengenai kesejahteraan pada PNS Organisasi Pemerintahan di Yogyakarta.
Saran Praktis a. Dinas Kepegawaian Daerah DIY mencari tahu mengenai penyebab absenteeism dan melakukan intervensi dalam lingkungan kerja mereka untuk membantu PNS meningkatkan kesejahteraan psikologis dan kepuasan kerja. b. Penelitian ini telah memberikan informasi mengenai kaitan antara psychological wellbeing dengan kepuasan kerja, sehingga dapat dikembangkan usaha-usaha untuk meningkatkan psychological well-being sehingga kepuasan kerja PNS juga dapat meningkat. c. Untuk pihak kantor, dapat meningkatkan pengawasan kedisiplinan kerja PNS dan dengan melakukan sistem reward dan punishment secara tegas. Daftar Pustaka Andini, L. (2008). Hubungan Antara Psychological Well-Being dengan Kepuasan Kerja Pada Petugas Lapangan Suku Dinas Kebersihan Kecamatan Kalideres Jakarta Barat (Skripsi). Universitas Persada Indonesia Y.A.I., Jakarta. Ariati, J. (2010). Subjective Well-Being (Kesejahteraan Subjektif) Dan Kepuasan Kerja Pada Staf Pengajar (Dosen) di Lingkungan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Jurnal Psikologi Undip, 8,2. Diunduh dari http://ejournal.undip.ac.id Budiyanto, M.N. (2001). Profil Pegawai Negeri Sipil Menuju Indonesia Baru. Volume II (1). Diunduh dari www.library.ohiou.edu, pada 1 Maret 2013. Blanchflower, D. G. dan Oswald, A. J. (2008). Is well-being U-shaped over the life cycle?. Social Science & Medicine, 66(8),1733-1749. doi: 10.1016/j.socscimed.2008.01.030 13
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
Chang, E. C., D'zurilla, T. J., Sanna, L. J. (2009). Social problem solving as a mediator of the link between stress and psychological well-being in middle-adulthood. Cognitive Therapy and Research , 33 (1), 33-49. doi: 10.1007/s10608-007-9155-9 Creed, P. A., & Macintyre, S. R. (2001). The relative effects of deprivation of the latent and manifest benefits of employment on the wellbeing of unemployed people. Journal of Occupational Health Psychology, 6 (4), 324-331. Diunduh dari http://psycnet.apa.org Creed, P. A., & Watson, T. (2003). Age, gender, psychological well-being and the impact of losing the latent and manifest benefits of employment in unemployed people. Australian Journal of Psychology, 55(2), 95-103. doi: 10.1080/00049530412331312954. Cropanzano, R. and Wright, T.A. (1999). A 5-‐year study of change in the relationship between well-‐being and performance. Consulting Psychology Journal: Practice and Research, 51, 252-‐265. Daniels, K., & Guppy, A. (1997). Stressor, locus of control, and social support as consequences of affective psychological well-being. Journal of Occupational Health Psychology, 2 (2), 156-174, doi: I076-8998/97/S3.00 Franek, M. & Vecera, J. (2008). Personal Characteristics and Job Satisfaction. E+M Ekonomie a Management, 4, 63-76. Diunduh dari http://search.proquest.com Frinaldi, A. & Embi, M.A. (2011). Pengaruh Budaya Kerja Etnik Terhadap Budaya Kerja Keberanian dan Kearifan PNS dalam Pelayanan Publik yang prima (Studi pada Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat). Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah LAB-ANE. Diunduh dari ejurnal.fisip-untirta.ac.id pada 27 Mei 2013. Ghazzawi, I. (2011). Does Age Matter in Job Satisfaction? the Case of U.S. Information Technology Professionals. Journal of Organizational Culture, Communications and Conflict, 15, 1. http://search.proquest.com Gove, W. R., Hughes, M., & Style, C. B. (1983). Does marriage have positive effects on the psychological well-Being of the individual?. Journal of Health and Social Behavior, 24(2),122-131. Diunduh dari http://www.jstor.org Greenberg, J. & Baron, R.A. (2003). Behavior in organization (8th ed). Singapore: Allyn & Bacon. Jex, S. M. & Britt, T. W. (2008). Organizational Psychology. A Scientist Practitioner Approach (2nd ed.). New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.
14
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
Johnson, J. K. M., Catsouphes, M. P., Catsouphes, E., Smyer, M., & Costa, C. M. (2008, February). Quality of Employment and Life Satisfaction: A Relationship that Matters for Older Workers. Issue Brief 13. Chestnut Hill, MA: The Center on Aging and Work/Workplace Flexbility. Diunduh dari http://www.bc.edu pada 15 Februari 2013. Judge, T. A., & Locke, E. A. (1993). Effect of dysfunctional thought processes on subjective well-being and job satisfaction. Journal of Applied Psychology. doi: 10.1037/00219010.78.3.475 Love, P. E. D., Irani, Z., Standing, G., & Themistocleous, M. (2007). Influence of job demands, job control and social support on information systems professionals psychological well-being. International Journal of Manpower, 28(6), 513-528. doi: 10.1108/01437720710820026 Malek, M. D. A., Mearns, K., & Flin, R. (2010). Stress and psychological well-being in UK and Malaysian fire fighters. An International Journal Vol. 17(1), 50-61. doi: 10.1108/13527601011016907 Papalia, D. E., Olds, S. W, & Feldman, R. D. (2009). Human development 11th Edition. New York: McGraw-Hill. Quinn, R. P., & Mandilovitch, M. S. B. (1975). Education and job satisfaction: a questionable payoff. Ann Arbor: University of Michigan Survey Research Center. Roothman, B., Kirsten, D., Wissing, M. (2003). Gender differences in aspects of psychological well-being. South African Journal of Psychology, 33(4), 212-218. Diunduh dari http://knjiznica.ffzg.unizg.hr Ryan, R. M.. & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: A review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Review of Psychology 52, 141-166. Diunduh dari http://www.uic.edu Ryff, C.D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meanings of psychological well being. Journal of Personality and Psychology, 57, 1069 - 1081. doi: 0022-3514/89/SOO. 75 Ryff, C.D. & Singer, B. H. (1996). Psychological well-being: Meaning, Measurement, and implication for psychotherapy research. Psychother Psychosom, 65: 14-23. Diunduh dari http://www.ssc.wisc.edu Ryff, C.D. & Singer, B. H. (2008). Know thyself and become what you are: A eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9:13–39. doi: 10.1007/s10902-006-9019-0
15
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013
Ryff, C.D. (1995). Psychological well-being in adult life. Current Directions in Psychological Science, 4, 99-104. Diunduh dari http://www.jstor.org Schmutte, P.S. & Ryff, C.D. (1997). Personality and well-being: Reexamining methods and meanings. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 73(3), 549-559. Diunduh dari http://search.proquest.com Shapiro, A., & Keyes, C. L. M. (2008). Marital status and social well-being: Are the married always better off?. Social Indicator Research, 88, 329-346. doi: 10.1007/s11205-0079194-3 Shields, M. A. & Price, S. W. (2005). Exploring the economic and social determinants of psychological and psychosocial health. Discussion Paper No. 396. Diunduh dari http://ftp.iza.org, pada 20 Januari 2013. Spector, P. E. (1997). Job Satisfaction: Application, Assesment, Causes, and Consequences. London: Sage Publication, Inc. Spector, P. E. (2000). Industrial & Organizational Psychology: Research and Practice second edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Spector, P. E. (2007). Interpreting Satisfaction Scores with the Job Satisfaction Survey. Diunduh dari http://shell.cas.usf.edu pada 23 Mei 2013. Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Diunduh dari www.bkn.go.id pada 10 Februari 2013. Wright, T. A. & Cropanzano, R. (2000). Psychological Well-being and Job Satisfaction as Predictors of Job Performance. Journal of Occupational Health Psychology , 5 (1), 8494. doi: 10.1037//1076-8998.5.1.84 Wright, T.A. & Bonnet, D.G. (2007). Job Satisfaction and Psychological Well-Being as Nonaddictive Predictors of Workplace Turnover. Journal of Management, 33, 141-161. Diunduh dari http://www.uk.sagepub.com Yanez, C.B. & Figueroa, A.J. (2011). Psychological Well-being, Perceived Organizational Support and Job Satisfaction Amongst Chilean Prison Employees. Rev Esp Sanid Penit, 13(3), 91-99. doi: 10.1590/S1575-06202011000300004
16
Hubungan antara psychological…, Debia Nur Epita, FPsi UI, 2013