UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA GIZI KURANG DENGAN PREVALENSI TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT DR. CIPTO MANGUNKUSUMO TAHUN 2010
SKRIPSI
EKO ARIANTO 0806323920
FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI KEDOKTERAN JAKARTA JUNI 2012
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA GIZI KURANG DENGAN PREVALENSI TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT DR. CIPTO MANGUNKUSUMO TAHUN 2010
SKRIPSI
EKO ARIANTO 0806323920
FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI KEDOKTERAN JAKARTA JUNI 2012
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Eko Arianto NPM : 0806323920 Tanda Tangan :
Tanggal
:
ii Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh Nama NPM Fakultas Judul Skripsi
: : Eko Arianto : 0806323920 : Kedokteran : Hubungan antara gizi kurang dengan prevalensi tuberkulosis paru pada pasien diabetes melitus tipe 2 di rumah sakit dr. cipto mangunkusumo tahun 2010
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
: Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK(K)
(.....................)
Penguji
: Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK(K)
(.....................)
Penguji
: Dr. Elisna Syahruddin, PhD, SpP(K)
(.....................)
Ditetapkan di
: Jakarta
Tanggal
:
iii Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan bimbingan-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. Adapun judul yang penulis ketengahkan ialah “Hubungan antara Gizi Kurang dengan Prevalensi Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Melitus tipe 2 di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Tahun 2010”. Penelitian ini disusun untuk sidang memperoleh gelar sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dewasa ini, epidemi penyakit tidak menular muncul sebagai penyebab kematian terbesar di Indonesia. Sementara itu, masalah penyakit menular belum juga tuntas. Indonesia telah memasuki era epidemi diabetes melitus tipe 2 (DMT2) dan pada saat yang bersamaan juga menempati peringkat 5 penyumbang kasus tuberkulosis paru (TBP) terbanyak di dunia. Pasien DMT2 rentan terkena penyakit infeksi, salah satunya TBP. Nutrisi, terutama pada keadaan gizi kurang, memainkan peran sentral pada sistem imunitas tubuh. Oleh karena fakta tersebut, penulis bermaksud memberikan perhatian khusus pada masalah ini dengan menyusun sebuah penelitian yang berfokus pada hubungan antara gizi kurang sebagai faktor risiko kemunculan TBP pada pasien DMT2. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini, yaitu: 1. Profesor Rianto Setiabudi spesialis farmakologi klinik sebagai sosok teladan yang telah banyak memberikan kesempatan kepada kami untuk mengembangkan
kemampuan
diri
sebagai
peneliti
dan
telah
meluangkan banyak waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penelitian penulis. 2. Dokter Elisna spesialis pulmonologi sebagai dewan penguji yang telah memberikan masukan berharga sebagai revisi untuk melengkapi skripsi ini. 3. Departemen Farmakologi Klinik 4. Departemen Medical Research Unit
iv Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
5. Teman-teman sesama rekan penelitian yang telah menyemangati penulis selama pembuatan skripsi ini. 6. Orang tua penulis yang telah mendukung baik secara material maupun spiritual. 7. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Besar harapan penulis penelitian ini dapat berguna dalam kemajuan ilmu kedokteran di Indonesia. Namun, penulis juga menyadari bahwa penelitian ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan penelitian ini. Akhir kata, penulis sungguh berharap penelitian ini adalah halaman pembuka bagi penelitian-penelitian yang jauh lebih baik di waktu yang akan datang. Terima kasih.
Jakarta, Juni 2012
Penulis
v Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Eko Arianto
NPM
: 0806323920
Fakultas
: Kedokteran
Jenis Karya : Skripsi demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Hubungan antara Gizi Kurang dengan Prevalensi Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Tahun 2010 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta Pada tanggal : Juni 2012 Yang menyatakan
(Eko Arianto)
vi Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
ABSTRAK Nama Fakultas Judul
: Eko Arianto : Kedokteran : Hubungan antara Gizi Kurang dengan Prevalensi Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Tahun 2010
Diabetes melitus dan gizi kurang secara terpisah dikatakan dapat meningkatkan kejadian tuberkulosis. Studi potong lintang analitik ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara gizi kurang dengan prevalensi tuberkulosis paru (TBP) pada pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Dari keseluruhan 462 pasien DMT2, 125 pasien (27.1%) di antaranya menderita TBP. Total pasien DMT2 yang menderita gizi kurang sebesar 125 pasien (27.1%). Sementara itu, dari keseluruhan pasien DMT2 yang menderita TBP, 78 pasien (62.4%) juga menderita gizi kurang. Hasil uji chi-square menunjukkan adanya hubungan antara gizi kurang dengan prevalensi TBP yang bermakna secara statistik (p <0.000). Kata kunci: Diaebetes melitus, tuberkulosis, gizi kurang
ABSTRACT Name Faculty Title
: Eko Arianto : Medicine : Association between Undernutrition and Tuberculosis Prevalence in Type 2 Diabetes Mellitus Patients at Cipto Mangunkusumo Hospital 2010
Diabetes mellitus and undernutrition separately were proved as risk factors of tuberculosis incidence. This analytical cross sectional study aimed to measure the prevalence of lung tuberculosis (TBP) among type 2 diabetes mellitus (DMT2) patients and its association with undernutrition. A total of 462 DMT2 patients were analyzed and the results showed that 125 patients (27.1%) had TBP and 125 patients (27.1%) were undernourished. Within DMT2 patients who had TBP, there were 78 undernourished patients (62.4%). We concluded there is a highly significant statistical association between undernutrition and prevalence of TBP among DMT2 patients (p <0.000).
Keywords: Diabetes mellitus, tuberculosis, undernutrition
vii Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv HALAMAN PERYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .............................................................. vi ABSTRAK ............................................................................................................ vii DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii DAFTAR TABEL ....................................................................................................x 1. PENDAHULUAN ...............................................................................................1 1. 1 Latar Belakang .......................................................................................1 1. 2 Rumusan Masalah ..................................................................................3 1. 3 Tujuan Penelitian ...................................................................................3 1.3.1 Tujuan Umum ..............................................................................3 1.3.2 Tujuan Khusus..............................................................................3 1. 4 Manfaat Penelitian .................................................................................3 1.4.1 Manfaat bagi Peneliti ...................................................................3 1.4.2 Manfaat bagi Perguruan tinggi .....................................................4 1.4.3 Manfaat bagi Pemerintah .............................................................4 1.4.4 Manfaat bagi Masyarakat .............................................................4 2. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................5 2.1 Diabetes Melitus ....................................................................................5 2.1.1 Definisi .........................................................................................5 2.1.2 Klasifikasi.....................................................................................5 2.1.3 Patofisiologi DMT2......................................................................7 2.1.4 Manifestasi Klinis DMT2.............................................................9 2.1.5 Diagnosis DMT2 ........................................................................11 2.1.6 Komplikasi DMT2 .....................................................................12 2.1.7 Tatalaksana DMT2 .....................................................................13 2.2 Tuberkulosis Paru ................................................................................15 2.2.1 Definisi .......................................................................................15 2.2.2 Klasifikasi...................................................................................16 2.2.3 Patofisiologi ...............................................................................17 2.2.4 Manifestasi Klinis ......................................................................17 2.2.5 Diagnosis ....................................................................................18 2.2.6 Tatalaksana .................................................................................19 2.3 DMT2, dan TBP ..................................................................................21 2.3.1 DMT2, TBP, dan Sistem Imun ..................................................21 2.3.2 Strategi WHO Terhadap DMT2 dan TBP ..................................23 2.4 Malnutrisi ............................................................................................25 2.4.1 Gizi Buruk di Indonesia .............................................................25 2.4.2 Pengukuran Status Gizi ..............................................................25 2.4.3 Hubungan Nutrisi, DMT2, dan TBP ..........................................26 viii Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
Universitas Indonesia
2.5
Kerangka Konsep ................................................................................28
3. METODE PENELITIAN ................................................................................29 3.1 Desain Penelitian .................................................................................29 3.2 Tempat dan Waktu ...............................................................................29 3.3 Populasi dan Sampel ............................................................................29 3.3.1 Populasi Target ...........................................................................29 3.3.2 Populasi Terjangkau ...................................................................29 3.3.3 Sampel ........................................................................................29 3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...............................................................30 3.4.1 Kriteria Inklusi ...........................................................................30 3.4.2 Kriteria Eksklusi .........................................................................30 3.5 Estimasi Besar Sampel ........................................................................30 3.6 Langkah Penelitian ..............................................................................31 3.6.1 Identifikasi Variabel ...................................................................31 3.6.2 Pengukuran dan Intervensi .........................................................31 3.7 Rencana Pengolahan dan Analisis Data ..............................................31 3.7.1 Pengumpulan Data .....................................................................31 3.7.2 Pengolahan Data .........................................................................32 3.7.3 Penyajian Data............................................................................32 3.7.4 Analisis Data ..............................................................................32 3.7.5 Interpretasi Data .........................................................................32 3.7.6 Pelaporan Data ...........................................................................32 3.8 Definisi Operasional ............................................................................32 3.9 Masalah Etika ......................................................................................33 3.10 Alur Penelitian.....................................................................................34 4. HASIL ...............................................................................................................35 4.1 Karakteristik Demografi .....................................................................35 4.2 Karakteristik Infeksi Paru pada Pasien DMT2 ...................................36 4.3 Gambaran Besar IMT .........................................................................37 4.4 Hubungan Antara IMT dengan Prevalensi TBP pada Pasien DMT2 .42 5. PEMBAHASAN ...............................................................................................45 5.1 Prevalensi TBP pada Pasien DMT2 dengan Infeksi Paru ...................45 5.2 Hubungan Gizi Kurang dengan Prevalensi TBP pada Pasien DMT2 .46 6. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................49 6.1 Kesimpulan..........................................................................................49 6.2 Saran ....................................................................................................49 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................50
ix Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Berbagai jenis diabetes melitus ...............................................................6 Tabel 2.2. Gejala DMT2 ........................................................................................10 Tabel 2.3. Empat pilar penatalaksanaan kasus DMT2 ...........................................13 Tabel 2.4. Berbagai jenis OAT ..............................................................................20 Tabel 2.5. Dosis obat OAT lini pertama ................................................................20 Tabel 2.6. Panduan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) OAT .....................................20 Tabel 2.7. Kondisi infeksi pada DMT2 ..................................................................22 Tabel 2.8 Berbagai studi yang membuktikan hubungan DMT2 dan TBP .............24 Tabel 4.1. Hasil uji Chi square antara variabel gizi kurang dengan TBP ..............39
x Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Alur persinyalan insulin ......................................................................8 Gambar 2.2. Alur penegakkan diagnosis DMT2 ...................................................12 Gambar 2.3. Alur penatalaksanaan DMT2 ............................................................15 Gambar 2.4. Alur penegakkan diagnosis TBP .......................................................19 Gambar 4.1. Proporsi jenis kelamin pasien DMT2. ...............................................30 Gambar 4.2. Sebaran usia pasien DMT2. ..............................................................31 Gambar 4.3. Persentase pasien DMT2 dengan TBP dan pasien DMT2 dengan infeksi paru non TBP .............................................................................................32 Gambar 4.4. Sebaran IMT pada pasien DMT2 dengan garis normalitas ...............33 Gambar 4.5. Sebaran IMT berdasarkan kelompok dengan IMT <18.5 dan kelompok dengan IMT >= 18.5 pada pasien DMT2 ..............................................34 Gambar 4.6. Sebaran IMT pada pasien DMT2 laki-laki ........................................35 Gambar 4.7. Sebaran IMT pada pasien DMT2 perempuan ...................................35 Gambar 4.8. Sebaran IMT berdasarkan jenis kelamin ...........................................36 Gambar 4.9. Sebaran IMT berdasarkan usia ..........................................................36 Gambar 4.10. Sebaran IMT pada kasus DMT2 dengan infeksi paru TBP ............37 Gambar 4.11. Sebaran IMT pada kasus DMT2 dengan infeksi paru non TBP .....38 Gambar 4.12. Perbandingan sebaran IMT pada kelompok TBP dan non TBP .....38
xi Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
Universitas Indonesia
1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, Indonesia memasuki era epidemi diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Seiring dengan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM di seluruh dunia, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan angka diabetisi di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,8 juta pada tahun 2030. Sepaham dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) memprediksi peningkatan diabetisi dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12 juta pada tahun 2030. Meskipun berbeda dalam hal besar angka, kedua lembaga internasional tersebut memprediksi adanya peningkatan penderita sebesar 2 sampai 3 kali lipat.1-4 Pasien penderita DMT2 rentan terkena infeksi. Selain itu, tingkat keparahan infeksinya juga meningkat seiring dengan menurunnya sistem imun. Pada systematic review oleh Jeon et al. tahun 2008, dijelaskan adanya abnormalitas sistem imun pada pasien DMT2 berkaitan dengan kondisi hiperglikemia
dan
terganggunya
vaskularisasi
sehingga
mengurangi
kemampuan sel fagositik. Salah satu infeksi yang sering menyerang pasien DMT2 adalah infeksi paru.5, 6 Tuberkulosis paru (TBP) masih menjadi masalah kesehatan serius yang dihadapi dunia, termasuk Indonesia. Meski sudah ditetapkan sebagai global emergency pada tahun 1992 oleh WHO, insidensi salah satu penyakit infeksi tertua di dunia ini masih setinggi 9,4 juta kasus pada tahun 2009. Pada saat yang bersamaan, jumlah penderita TBP sedunia sudah mencapai 14 juta orang dengan angka kematian yang mencapai 1,68 juta jiwa. Sementara di Indonesia pada tahun 2009 lebih dari 1.400 kasus TBP terdeteksi per hari dengan angka kematian yang mencapai lebih dari 91 ribu jiwa per tahun.7-10 Hubungan antara prevalensi TBP pada pasien penderita DMT2 sudah menarik perhatian para peneliti dunia bahkan sejak milenium pertama. Penemuan pertama yang berhasil dicatat adalah penemuan dokter Susruta dari India dan dokter Avicenna dari Uzbekistan pada tahun 600 AD menyatakan bahwa, batuk seringkali terkait dengan diabetes.11, 12
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
2
Sejumlah penelitian yang dilaporkan oleh International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) membuktikan DMT2 meningkatkan kemungkinan TBP hingga 3-7 kali lipat.13 Ketika masalah penyakit tidak menular semakin membesar dan kini menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia, masalah penyakit infeksi belum juga teratasi sampai tuntas. Hal ini mengakibatkan Indonesia memiliki beban kesehatan ganda yang sangat berat. Tambah lagi kondisi gizi kurang di Indonesia semakin memperparah masalah yang dihadapi. Kaitan antara TBP dan gizi kurang telah diketahui selama ribuan tahun. Sejak dulu penyakit ini sering diilustrasikan dengan pasien gizi kurang. Sebuah penelitian di India Selatan pada tahun 2006 mengatakan pasien gizi kurang 11 kali lipat lebih rentan untuk menderita infeksi TBP.14 WHO, melalui penelitian Loennroth pada tahun 2010 mengatakan kondisi malnutrisi meningkatkan risiko infeksi TBP hingga 3 kali lipat.13 Penelitian oleh Richard Semba et al. menjelaskan bagaimana gizi kurang dapat meningkatkan risiko TBP. Gizi kurang dapat mengganggu pertahanan epitelial sehingga memudahkan kuman TBP untuk masuk. Selain itu, defisiensi makro dan mikronutrien akan menurunkan kemampuan sistem imun yang dimediasi oleh sel.15 Penelitian di India dan Korea telah membuktikan hubungan antara DMT2, TBP, dan nutrisi. Di kedua negara tersebut, indeks massa tubuh (IMT) menjadi faktor yang berhubungan dengan prevalensi DMT2 dan prevalensi TBP. Pada kelompok IMT yang lebih rendah, TBP lebih tinggi dan DMT2 lebih rendah, sementara pada kelompok IMT yang lebih tinggi, TBP menurun dengan peningkatan DMT2.16 Oleh karena itu, peneliti bermaksud mengadakan penelitian untuk membuktikan adanya perubahan dinamika di bidang epidemiologi penyakit TBP pada pasien DMT2 dan keterkaitannya dengan gizi kurang. Peneliti melakukan penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebagai rumah sakit umum pusat rujukan nasional di Indonesia.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
3
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang hendak diangkat dalam penelitian ini adalah belum diketahui dengan jelas hubungan antara gizi kurang terhadap prevalensi TBP pada pasien DMT2 di Indonesia.
1.3 Hipotesis Terdapat hubungan antara gizi kurang dengan prevalensi TBP pada pasien DMT2.
1.4 Tujuan 1.4.1
Tujuan Umum Memberikan informasi mengenai ada tidaknya hubungan antara DMT2 dengan prevalensi TBP dan faktor status gizi.
1.4.2
Tujuan Khusus 1. Mengetahui prevalensi TBP pada pasien DMT2 dengan infeksi paru di RSCM pada tahun 2010. 2. Mengetahui ada tidaknya hubungan antara gizi kurang dengan prevalensi TBP pada pasien DMT2 di RSCM pada tahun 2010.
1.5 Manfaat 1.5.1 Manfaat bagi Peneliti 1. Mengembangkan kemampuan peneliti dalam berpikir kritis dan ilmiah terhadap masalah-masalah yang berkembang di masyarakat. 2. Melatih kemampuan peneliti mengolah data. 3. Menambah pengetahuan mengenai kondisi medis pasien DMT2 secara umum di Indonesia. 4. Mengetahui masalah infeksi paru yang diderita oleh pasien DMT2 di Indonesia. 5. Mengetahui peran gizi dalam pencegahan infeksi paru pada pasien DMT2.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
4
1.5.2 Manfaat bagi Perguruan Tinggi 1. Mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. 2. Mewujudkan visi FKUI 2010 sebagai universitas riset. 3. Turut berperan dalam menghasilkan lulusan FKUI yang memiliki sepuluh kompetensi dokter.
1.5.2 Manfaat bagi Pemerintah 1. Menjadi sumber informasi untuk mengetahui kondisi infeksi paru pada pasien DMT2 secara garis besar di Indonesia. 2. Menjadi bahan pertimbangan untuk mendukung program departemen STOP TB dari WHO yang salah satunya adalah mengatasi malnutrisi untuk mencegah TBP. 3. Menjadi bahan peritmbangan untuk menyusun program pencegahan TBP skala nasional.
1.5.3
Manfaat bagi Masyarakat 1. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang faktor risiko infeksi TBP pada pasien DMT2 serta mengatasi faktor risiko tersebut. 2. Membantu diabetisi yang belum terinfeksi TBP untuk lebih mengetahui apa tindakan yang sebaiknya mereka lakukan sebagai upaya pencegahan. 3. Meningkatkan pengetahuan diebetisi tentang faktor-faktor risiko TBP.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes melitus Secara harafiah, diabetes berasal dari bahasa Yunani διαβαίνειν diabaínein yang berarti "tembus" atau "pancuran air". Sementara melitus berasal dari bahasa Latin mellitus yang berarti "rasa manis”. 17, 18 2.1.1. Definisi Dalam dunia kedokteran, diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana terjadi kondisi hiperglikemia yang terus-menerus dan kadarnya bervariasi terutama setelah makan. Lebih jauh lagi, DM adalah suatu sindrom kelainan metabolisme dengan kondisi hiperglikemia kronik yang disertai berbagai kelainan metabolisme akibat gangguan hormonal. 17, 18 2.1.2. Klasifikasi Akibat berbagai interaksi yang kompleks dari faktor genetika, lingkungan, dan gaya hidup, terdapat berbagai jenis DM yang diketahui saat ini. Berdasarkan etiologinya, faktor-faktor yang berkontribusi pada timbulnya hiperglikemia dapat meliputi berkurangnya sekresi atau menurunnya keefektifitasan biologi dari insulin, berkurangnya penggunaan glukosa, dan meningkatnya produksi glukosa. Gangguan regulasi metabolisme yang diasosiasikan dengan DM menimbulkan perubahan patofisiologi sekunder di berbagai sistem organ yang memaksakan beban yang luar biasa pada individu dengan DM. Oleh karena itu, komplikasi DM dapat bermanifestasi di pembuluh darah perifer, mata (neuropathy), ginjal, jantung, dan otak. 17, 18 Setiap tahun, penggolongan DM selalu berganti. Pergantian tersebut dimaksudkan untuk kemudahan diagnosis dan penatalaksanaan yang lebih tepat. American Diabetes Association (ADA) menggolongkan DM ke dalam 4 kelompok besar, dengan percabangan yang lebih rinci pada setiap
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
6
kelompoknya. WHO dan ADA mengklasifikasikan DM berdasarkan etiologinya pada tabel 2-1.17, 18 International Diabetes Federation (IDF) telah merekomendasikan penggunaan istilah DM tipe 1 dan DM tipe 2 dengan penomoran Arabic dan bukan dengan penomoran Roman. Keputusan tersebut dibuat dengan pertimbangan terdapatnya kerancuan yang dapat muncul karena tipe II bisa salah diinterpretasikan dengan tipe 11. 19 Tabel 2.1. Berbagai jenis diabetes melitus.20 Klasifikasi Diabetes Melitus Berdasarkan Etiologi I. Diabetes tipe 1 (destruksi sel, defisiensi
E.
DM terinduksi obat
insulin absolut)
1.
Vacor
A.
Immune-mediated
2.
Pentamidine
B.
Idiopathic
3.
Nicotinic acid
II. Diabetes tipe 2 (bervariasi dari resistensi
4.
Glukokortikoid
insulin dengan defisiensi insulin relatif
5.
Hormon tiroid
sampai gangguan sekresi insulin)
6.
Diazoxide
III. Diabetes tipe lain
7.
Adrenergic agonists
A.
Gangguan genetik akibat mutasi di:
8.
Thiazides
1.
Hepatocyte nuclear transcription factor
9.
Phenytoin
2.
Glucokinase
10. Interferon
3.
HNF-1
11. Protease inhibitors
4.
Insulin promoter factor 1
12. Clozapine
5.
HNF-1
13. Beta blockers
6.
NeuroD1
F.
Dm akibat infeksi
7.
Mitochondrial DNA
1.
Congenital rubella
8.
Proinsulin atau insulin conversion
2.
Cytomegalovirus
B.
Defek genetik pada insulin
3.
Coxsackie
1.
Resistensi insulin tipe A
G. DM
2.
Leprechaunisme
imun
3.
Sindrom Rabson-Mendenhall
1.
yang
dimediasi
Sindrom “stiff-man”
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
7
4.
Sindrom Lipodistrofi
2.
Anti-insulin
receptor
C.
Penyakit kalenjar eksokrin
antibodies
1.
Pancreatitis pancreatectomy
H. Sindrom genetika lain
2.
Neoplasia
1.
Sindrom Down
3.
Fibrsosis kistik
2.
Sindrom Klinefelter
4.
Hemokromatosis
3.
Sinrom Turner
5.
Fibrocalculous pancreatopathy
4.
Sindrom Wolfram
D.
Endocrinopati
5.
Ataksia Friedreich
1.
Akromegali
6.
Huntington’s chorea
2.
Sindrom Cushing
7.
Sindrom
3.
Glucagonoma
Moon-Biedl
4.
Pheochromocytoma
8.
Myotonic dystrophy
5.
Hipertiroid
9.
Porphyria
6.
Somatostatinoma
10. Sindrom Prader-Willi
7.
Aldosteronoma
III. Diabetes Gestational
Laurence-
2.1.3. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2 DM tipe 2 (dulu diklasifikasikan sebagai non-insulin dependent diabetes) terjadi pada individu yang mengalami peningkatan resistensi terhadap insulin dan secara umum mengalami defisiensi insulin relatif bukan absolut seperti DM tipe 1. Pasien penderita DM tipe 2 (DMT2) ini biasanya adalah orang dewasa yang berusia lebih dari 40 tahun dengan obesitas. Mereka tidak memerlukan insulin untuk bertahan hidup, walaupun seiring berjalannya waktu kapasitas sekresi insulin mereka cenderung memburuk, dan sebagian besar dari penderitanya memerlukan terapi insulin untuk mencapai kontrol glukosa optimal.17 Sebenarnya, penyebab dari DMT2 belum diketahui dengan jelas. Beberapa penyebabnya meliputi faktor genetik peningkatan usia, gaya hidup monoton (sedentary), dan obesitas abdominal visceral. Kelainan ini dapat semakin memburuk seiring meningkatnya usia dengan adanya gradual displacement sel β akibat deposisi amiloid intraislet.17
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
8
Resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak normal menjadi kunci dari berkembangnya DMT2. Penyakit DMT2 diawali dengan meningkatnya resistensi insulin yang diikuti gangguan sekresi insulin. Kemudian, penyakit DMT2 baru muncul ketika sekresi insulin tidak adekuat lagi untuk menurunkan kadar gula darah. Sekresi insulin itu sendiri menjadi tidak adekuat semata-mata karena meningkatnya resistensi terhadap insulin endogen. Ada 3 karakteristik penyebab DMT2, yaitu resistensi insulin, berkurangnya sekresi insulin, dan peningkatan glukosa hati.18 Menurunnya kemampuan insulin untuk berfungsi dengan efektif pada jaringan perifer merupakan gambaran DMT2. Mekanisme resistensi insulin umumnya disebabkan oleh gangguan pascareseptor insulin. Polimorfisme pada IRS-1 (gambar 2-1) berhubungan dengan intoleransi glukosa dan meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme dari berbagai molekul pascareseptor dapat berkombinasi dan memunculkan keadaan yang resisten terhadap insulin. Resistensi insulin terjadi akibat gangguan persinyalan PI-3-kinase yang mengurangi translokasi glucose transporter (GLUT) 4 ke membran plasma.18
Gambar 2.1. Alur persinyalan insulin18
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
9
Sekresi dan kesensitifitasan insulin saling berhubungan satu sama lain. Resistensi insulin akan memicu sekresi insulin yang lebih banyak yang bertujuan untuk menurunkan kadar glukosa darah, namun kurangnya sekresi insulin akan segera menyebabkan kondisi hiperglikemia.18 Ketika tubuh semakin resisten terhadap insulin, kadar gula darah yang tinggi akan memaksa tubuh mensekresikan insulin secara terus menerus ke dalam
sirkulasi
darah
(hiperinsulinemia).
Pada
keadaan
normal,
seharusnya hal ini dapat membuat glukosa dikonversi menjadi glikogen dan kolesterol. Akan tetapi, pada pasien DM yang resisten terhadap insulin, hal ini tidak terjadi dan sebaliknya ketiadaan respon terhadap insulin mengakibatkan hati terus menerus memproduksi glukosa (glukoneogenesis). Hal ini pada akhirnya akan berujung pada terjadinya hiperglikemia. Produksi gula hati baru akan terus meningkat akibat terjadinya ketidaknormalan sekresi insulin dan munculnya resistensi insulin di otot rangka.18 2.1.4. Manifestasi Klinis Diabetes Melitus Tipe 2 Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), diagnosis DMT2 dapat ditegakan dengan mengetahui kadar glukosa darah. Selain itu, kecurigaan adanya DMT2 perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DMT2. Diagnosis DMT2 juga dapat ditegakan apabila hasil tes toleransi glukosa darah memberikan hasil positif DMT2.1 Gejala klasik DMT2 dapat dilihat pada tabel 2.2. Selain gejala klasik yang mudah diingat dengan abreviasi 3P (polifagia, polidipsia, dan poliuria) terdapat pula beberapa gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien dan mengarahkan diagnosis dokter pada DMT2.1
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
10
Tabel 2.2. Gejala DMT2.21
Gejala Klasik DM
Gejala Lain DM
Poliuria
Lemah Badan
Polidipsia
Kesemutan
Polifagia
Gatal
Penurunan Berat Badan
Pandangan Kabur Disfungsi Erektil Pruritus Vulvae
Tes gula darah plasma sewaktu adalah cara yang paling mudah untuk mendeteksi DMT2. Tes ini mengukur kadar glukosa darah pada waktu tertentu. Jika terlihat gejala DMT2 dengan disertai kadar gula darah di atas 200 mg/dL atau lebih, dokter dapat menetapkan diagnosis DMT2. 1 Metode lain untuk mendiagnosis DMT2 adalah tes gula darah puasa. Syarat untuk melakukan tes ini adalah dengan melakukan puasa terlebih dahulu selama 8 – 10 jam. Jika terlihat gejala DMT2 dengan hasil tes diatas 126 mg/dL, diagnosis DMT2 dapat ditetapkan.1 Metode yang ketiga adalah dengan menggunakan tes toleransi gula darah oral. Sebelum melakukan tes, pasien harus melakukan puasa minimal 8 jam baru kemudian diukur tes gula darah puasanya. Selanjutnya, pasien diberi glukosa sebanyak 75 gram yang dilarutkan dalam 250 mL air. Dua jam setelah pemberian beban glukosa pasien kembali diukur kadar glukosa darahnya. Diagnosis DMT2 dapat ditegakan apabila hasil kadar glukosa darah setelah pemberian beban glukosa tersebut ≥200 mg/dL.1 Pada tahun 2006, PERKENI, ADA, European Association for the Study of Diabetes (EASD) dan International Diabetes Federation (IDF) telah menyetujui penggunaan HbA1c sebagai salah satu alat diagnosis DMT2. Prinsip tes HbA1c adalah mengukur kadar glukosa yang berikatan dengan hemoglobin. Pada penderita DMT2, hasil tes akan menunjukan angka
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
11
hemoglobin yang terglikosilasi di atas 7%. Pada orang normal, angka tersebut hanya berkisar antara 4% - 5,9%.1 2.1.5. Diagnosis Diabetes Melitus Tipe 2 Menurut PERKENI, diagnosis DMT2 dapat ditegakan melalui 3 cara :1 1. Gejala klasik DMT2 + tes gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). 2. Gejala klasik DMT2 + tes gula darah puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L). 3. Kadar gula darah 2 jam pada tes toleransi gula darah oral ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menegakan diagnosis DMT2 seperti pada gambar 2-2.1
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
12
Gambar 2.2. Alur penegakkan diagnosis DMT2.1 2.1.6. Komplikasi Diabetes Melitus Tipe 2 Beragam komplikasi dapat bermanifestasi pada pasien DMT2. Komplikasi seperti neuropati sering terjadi pada penderita DMT2. Neuropati terjadi pada 50% kasus DMT2. Neuropati bisa terjadi pada saraf bermielin maupun
yang
mononeuropati,
tidak
bermielin.
polineuropati
Bentuk
maupun
neuropati
neuropati
bisa
saraf
berupa autonom.
Pengontrolan kadar gula darah wajib dilakukan dan terbukti dapat mempercepat perbaikan saraf, namun gejala-gejala dari neuropati akibat diabetes itu sendiri tidak membaik secara signifikan. Berbagai tindakan
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
13
seperti menghindari neurotoksin (alkohol), meminum suplemen vitamin B12, B6, dan folat, serta perawatan simptomatik merupakan bentuk penanganan utama untuk komplikasi ini.17 Pada penderita DMT2, risiko terkena penyakit kardiovaskular meningkat secara signifikan. Framingham Heart Study mengungkapkan peningkatan risiko penyakit arteri periferal, gagal jantung, penyakit arteri koroner, infark miokard, dan kematian mendadak hingga 5 kali lipat pada penderita DMT2. Bahkan American Heart Association telah mengkategorikan DMT2 sebagai faktor risiko utama penyakit kardiovaskular bersama dengan merokok, hipertensi, dan hiperlipidemia.17 Sementara ini, penatalaksanaan penyakit kardiovaskular tidak berbeda antara pasien dengan DMT2 dan tanpa DMT2. Prosedur revaskularisasi dengan menggunakan percutaneous coronary interventions (PCI) dan coronary artery bypass grafting (CABG) masih menjadi pilihan utama walaupun keefektifitasan metode ini menurun jauh pada pasien dengan DMT2. ADA mengusulkan penggunaan aspirin sebagai pencegahan tambahan disamping pengontrolan kadar gula darah. Penggunaan aspirin sebesar 81 hingga 325 mg untuk mencegah penyakit kardiovaskular tidak berbeda antara pasien DMT2 maupun non-DMT2.17 2.1.7. Tatalaksana Diabetes Melitus Tipe 2 Berbagai
jenis
terapi
dapat
digunakan
dalam
penatalaksanaan
komprehensif kasus DMT2. Secara umum, terdapat 4 pilar utama penatalaksanaan DMT2 yang dapat mudah dibaca pada tabel 2.3.1, 18, 21-23
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
14
Tabel 2.3. Empat pilar penatalaksanaan kasus DMT2. 1, 18, 21-23 Perawatan Diabetes Umum Jenis terapi
Diet sehat
Tujuan terapi
Mengontrol berat badan
Mengontrol kadar gula darah
Mengontrol kadar lemak darah
Mengurangi
kemungkinan
pasien harus mengonsumsi obat tambahan
Latihan fisik
Menjaga kebugaran tubuh
Mengontrol kadar gula darah
Mengontrol kadar lemak darah
Meningkatkan
kesensitifitasan
obat
Membantu
diet
dalam
mengontrol berat badan
Konsumsi obat oral
Mengurangi kadar gula darah dengan
meningkatkan
sekresi
insulin,
mengurangi
glukosa
yang ada, dan atau mengurangi resistensi insulin
Suntikan insulin
Menutupi
ketidakmampuan
tubuh memproduksi insulin
Mengurangi kadar gula darah dengan
meningkatkan
kinerja
insulin dan mengatasi resistensi insulin
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
15
Seperti yang dijelaskan oleh tabel 2.3, DMT2 dapat ditangani dengan berbagai terapi. Namun, tidak semua penderita DMT2 memerlukan insulin ataupun obat. Kebanyakan pasien yang baru terdiagnosis DMT2 cukup melaksanakan metode diet dan aktifitas fisik. Untuk kebanyakan orang, porsi makanan sehat dengan makanan rendah lemak dan aktivitas fisik dapat membuat kadar gula darah mendekati normal. Sedangkan sebagian orang lainnya memerlukan obat-obatan oral anti diabetes atau insulin untuk menurunkan kadar gula darahnya. Perbedaan pemilihan cara tatalaksana DMT2 dapat ditentukan berdasarkan hasil tes HbA1C seperti yang digambarkan pada gambar 2.3.1, 21
Gambar 2.3. Alur penatalaksanaan DMT2.1, 21
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
16
2.2. Tuberkulosis Paru 2.2.1. Definisi Tuberkulosis paru, atau bisa disebut dengan TBP, adalah suatu penyakit infeksi parenkim paru oleh bakteri basil tahan asam Mycobacterium tuberculosis. TBP dapat menyebar dengan cepat melalui partikel udara seperti batuk dan bersin. 24-26 2.2.2. Klasifikasi Terdapat berbagai cara untuk menggolongkan kasus TB. Pertama, berdasarkan lokasinya, TBP merujuk pada infeksi pada daerah parenkim paru. Sementara infeksi selain parenkim paru (termasuk infeksi di pleura dan kasus TB milier) tergolong pada TB ekstra paru.7 Berdasarkan aktif atau tidak kuman TB, dapat digolongkan menjadi kasus TBP aktif, yang merujuk pada suatu kondisi pasien yang sedang menunjukkan gejala klinis TB dan TBP tidak aktif yang merujuk pada kasus laten, bekas TB, ataupun kasus-kasus lain di mana pasien belum atau sudah tidak menunjukkan gejala klinis. Aktif atau tidak aktif nya TBP dapat juga ditentukan secara lebih objektif berdasarkan hasil foto rontgen thorax.7 Berdasarkan jenis kasusnya, TBP dapat digolongkan menjadi:7 a. Kasus baru TBP kasus baru merupakan pasien yang belum pernah berobat menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT) atau pernah menggunakan OAT dalam jangka waktu kurang dari 1 bulan. b. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien TBP yang telah dinyatakan sembuh setelah menjalani pengobatan menggunakan OAT secara lengkap, namun berdasarkan hasil pemeriksaan BTA kembali terdiagnosis TBP.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
17
c. Kasus defaulted atau putus obat Pasien telah menjalani pengobatan OAT selama lebih dari 1 bulan dan putus berobat selama 2 bulan atau lebih dengan hasil pemeriksaan BTA positif. d. Kasus gagal Pasien dengan BTA masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih selama pengobatan OAT. 2.2.3. Patofisiologi Infeksi dimulai dengan serangan pertama yang disebut TBP primer. TBP primer terjadi ketika kuman yang masuk melalui udara pernapasan menyerang paru bagian atas. Selanjutnya, tubuh akan membentuk granuloma, yaitu situs infeksi yang terdiri dari sel radang, daerah abses, dan kuman TBP. Penyembuhan total biasanya dapat terjadi setelah granuloma itu mengalami proses fibrosis dan kalsifikasi.25 Jika penyembuhan tersebut gagal, misalnya pada kondisi dimana imunitas turun, maka dapat terbentuk TBP pascaprimer. Keadaan inilah yang bersifat fatal dan dapat berkembang menjadi TB milier, yaitu TB yang dapat menyerang bagian tubuh lain.7 Akan tetapi, menurut McKeown, patogenesis penyakit TBP ini di samping faktor kuman, tidak lepas dari peran genetik dan pengaruh lingkungan. Perbedaan populasi etnik dapat berujung pada kerentanan terhadap TBP yang berbeda. Sistem imun dari inang juga sangat berperan, hal ini terbukti pada populasi yang terpapar TBP, tidak semua individu menderita TBP. Lingkungan yang padat pada daerah dengan taraf ekonomi rendah juga terbukti memiliki prevalensi TBP yang tinggi.27 2.2.4. Manifestasi klinis Manifestasi klinis TBP dapat bersifat lokal maupun sistemik. Oleh karena itu, gejala klinis TBP dapat digolongkan menjadi gejala respiratorik dan gejala sistemik. Gejala respiratorik terdiri dari:7, 19, 24
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
18
Batuk kronis. Gejala batuk muncul selama lebih dari 2 minggu. Batuk disebabkan oleh iritasi bronkus, yang kemudian mengalami peradangan lalu berkembang menjadi batuk yang lebih produktif.
Hemoptisis. Keluhan ini muncul ketika terdapat pembuluh darah yang pecah.
Sesak napas. Kemunculan keluhan ini menunjukkan lesi paru yang sudah luas, dan juga berarti kasus TBP yang parah.
Nyeri dada, menunjukkan adanya keterlibatan jaringan saraf di pleura, karena jaringan parenkim paru tidak memiliki ujung saraf nyeri, sehingga ketika keluhan nyeri muncul, progresivitas TBP sudah mencapai daerah di luar jaringan parenkim paru.
Keluhan-keluhan sistemik TBP dapat membuat rancu dengan penyakit lain. Bahkan, seringkali TBP disebut sebagai the greatest imitator akibat gejala sistemik yang tidak spesifik ini.7, 19, 24
Demam subfebris. Demam pada kasus TBP timbul pada sore hingga malam hari, disertai dengan keringat dingin dan bersifat hilang timbul. Demam biasanya kurang dari suhu 40o C.
Malaise merupakan gejala sistemik lain dari TBP, berupa rasa tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, sakit kepala, dan mudah lelah.
2.2.5. Diagnosis Alur penegakkan diagnosis TBP dibuat berdasarkan hasil International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) yang juga diadopsi oleh PDPI. Diagnosis TBP dapat ditegakkan berdasarkan pada hasil anamnesis gejala klinis, penunjang foto rontgen thorax, maupun hasil BTA. Diagram algoritma diagnosis dapat dilihat pada gambar 2.4.7, 28
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
19
Gambar 2.4. Alur penegakkan diagnosis TBP.7, 28 2.2.6. Tatalaksana Tatalaksana kasus TBP dibuat berdasarkan pada strategi DOTS dan didukung oleh IUATLD dan ISTC. Penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) yang tepat akan sangat efektif untuk mendukung strategi STOP TB WHO dan target eliminasi TB pada tujuan MDG nomor 6.7, 9, 10, 29-31 Pada tabel 2.4 hingga 2.5 adalah jenis OAT berikut dosis obat yang telah ditetapkan baik secara internasional oleh WHO maupun nasional oleh PDPI.7, 32
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
20
Tabel 2.4. Berbagai jenis OAT.7, 32 Obat lini pertama
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
Obat lini kedua
Kanamisin
Kapreomisin
Amikasin
Kuinolon
Sikloserin
Etionamid
Protionamid
Para Amino Salisilat
Tabel 2.5. Dosis obat OAT lini pertama.7, 32 Obat lini pertama
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin
Dosis (Mg/KgBB/Hari)
8-12
4-6
20-30
15-20
15-18
Tabel 2.6. Panduan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) OAT.7, 32 Berat badan
Fase intensif
Fase lanjutan
(Kg)
(Setiap hari selama 56
(3x/minggu selama 16
hari)
minggu)
(RHZE) (dalam mg)
(RH) (dalam mg)
150/75/400/275
150/150
30-37
2 tab 4KDT
2 tab 2KDT
38-54
3 tab 4KDT
3 tab 2KDT
55-70
4 tab 4KDT
4 tab 2KDT
>71
5 tab 4KDT
5 tab 2KDT
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
21
2.3. DMT2 dan TBP 2.3.1. DMT2, TBP, dan Sistem Imun Komplikasi dari penyakit DMT2 dapat bermanifestasi sebagai gangguan vaskular yang berujung pada kerusakan tingkat organ, maupun kerentanan sistem imun pada tingkat seluler. Mekanisme penurunan sistem imun terutama melibatkan hiperglikemia sebagai menifestasi utama DMT2 dan insulinopenia tingkat sel yang secara tidak langsung berdampak pada menurunnya fungsi makrofag dan limfosit.33 Kondisi hiperglikemia diduga menjadi faktor yang mendukung pertumbuhan, daya tahan, dan pembelahan bakteri penyebab infeksi.34 Ketersediaan gliserol dan substrat nitrogen pada pasien DMT2 membantu pertumbuhan bakteri.35 Pada tingkat sel, level glycated hemoglobin yang tinggi menekan laju respiratori tingkat sel pada makrofag yang menyebabkan menurunnya fungsi mikrobisidal. Imunodefisiensi selular pada pasien DMT2 dapat dijelaskan dengan berbagai mekanisme.36 Mekanisme ini dapat dilihat pada Tabel 2.7.11, 37 Pada suatu studi eksperimental pada sel plasma manusia, tinggilnya kadar insulin terbukti berdampak pada berkurangnya sel Th1. Hal ini terjadi sebagai akibat dari penurunan rasio perbandingan jumlah antara Th1 dan Th2 serta rasio interferon gamma dibanding interleukin 4.38 Studi ex vivo lain membandingkan produksi sitokin Th1 yang berbeda antara kelompok DMT2 dan kelompok sehat. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan adanya penurunan kadar interferon gamma secara signifikan pada kelompok DMT2.39 Studi lain berhasil membuktikan adanya hubungan antara dosis dan respon pada kasus DMT2. Telah terbukti bahwa kadar interferon
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
22
gamma berbanding terbalik dengan kadar HbA1c (glycosilated hemoglobin).40 Tabel 2.7 Kondisi infeksi pada DMT2.11, 37 Abnormalitas Sistem Imun pada DMT2
abnormalitas kemotaksis,
Disfungsi Paru pada DMT2
aderens, fagositosis, dan mikrobisidal PMN
reaktivitas bronkial menghilang,
kemampuan elastic recoil
penurunan kadar sitokin,
penurunan jumlah sel T dan
volume paru berkurang
sel NK,
kapasitas difusi berkurang
penurunan jumlah monosit
penyumbatan mukus plak
penurunan transformasi sel blast,
proliferasi terinduksi
paru menurun,
pada saluran napas
respon ventilasi terhadap hipoksemia menurun
mitogen,
penurunan ekspresi reseptor faktor komplemen 3 pada permukaan monosit,
penurunan reseptor IL2 pada limfosit, hingga
defisiensi limfosit T dengan CD3 dan CD56.
Lebih jauh lagi, terdapat perbedaan kemampuan bakterisidal antara leukosit pada pasien DMT2 dan pasien sehat. Netrofil pada pasien DMT2 memiliki kemampuan kemotaksis yang lebih rendah dan potensi oxidative-killing yang juga leih rendah. Perbedaan ini terutama lebih signifikan pada pasien DMT2 dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol.36
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
23
Telah dihipotesiskan juga bahwa penurunan kemampuan sel imun pada pasien DMT2 dengan TBP adalah akibat menurunnya ekspresi IL 1 dan TNF oleh monosit di perifer.36 Secara keseluruhan, terdapat dasar teori yang jelas bahwa kondisi DMT2 dapat menurunkan sistem imun innate dan adaptif sehingga pasien menjadi lebih rentan terhadap infeksi, salah satunya infeksi TBP. 2.3.2. Strategi WHO Terhadap DMT2 dan TBP Angka deteksi kasus TBP saat ini sudah mencapai 65% dengan 86% di antaranya berhasil disembuhkan. Seharusnya, dengan pencapaian ini WHO memperkirakan terjadi penurunan insidens TBP sebesar 5-10% per tahun. Namun, sejak 2004 data penelitian di lapangan menunjukkan penurunan yang terjadi hanya sebesar 1% per tahun.13 Knut Lönnroth, kepala peneliti departemen STOP TB WHO menyatakan epidemi DMT2 merupakan salah satu faktor penyebab gagalnya penurunan insidens TBP. Kejadian DMT2 bertanggung jawab atas peningkatan insidens TBP sebanyak tiga kali lipat. Lönnroth memperkirakan, DMT2 bertanggung jawab terhadap 8% insidens TBP.13 Beberapa strategi sudah diambil WHO untuk mencapai target MDG nomor 6 terkait penyakit tuberkulosis. Strategi tersebut terkenal dengan istilah STOP TB. Berbagai studi telah didata oleh WHO untuk mendukung gerakan ini:13
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
24
Tabel 2.8 Berbagai studi yang membuktikan hubungan DMT2 dan TBP.13 Peneliti
Tahun
Studi
OR
95% CI
Marton et al
1963
Cross Sectional
0.80
0.57-1.13
Woeltje et al
1998
Cross Sectional
0.88
0.47-1.63
Brock et al
2006
Cross Sectional
2.33
0.51-10.6
Chan-Yeung et al
2006
Cross Sectional
1.15
0.97-1.37
Kim et al
1995
Cohort
3.57
3.07-5.16
John et al
2001
Cohort
2.24
1.38-3.65
Chen et al
2006
Cohort
3.07
1.14-8.26
Leung et al
2008
Cohort
1.77
1.40-2.24
Mori et al
1992
Case Control
5.20
1.22-22.1
Buskin et al
1994
Case Control
1.70
0.70-4.30
Rosenman et al
1996
Case Control
1.16
0.58-2.32
Pablo-Mendez et al
1997
Case Control
1.61
1.50-1.73
Jick et al
2005
Case Control
3.80
2.30-6.10
Alisjahbana et al
2006
Case Control
6.12
3.42-10.9
Brassard et al
2006
Case Control
1.50
1.15-1.90
Coker et al
2006
Case Control
7.83
2.37-25.9
Perez et al
2006
Case Control
1.65
1.50-1.81
Wu et al
2007
Case Control
3.43
2.16-5.46
Peonce deLeon et al
2004
Other
6.00
5.00-7.20
Dyck et al
2007
Other
0.99
0.80-1.23
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
25
2.4. Malnutrisi 2.4.1. Gizi Kurang di Indonesia Malnutrisi didefinisikan sebagai kelainan status nutrisi yang mencakup kelainan yang disebabkan oleh defisiensi asupan nutrien, gangguan metabolisme nutrien, atau kelebihan nutrisi.41 Malnutrisi, khususnya gizi kurang, merupakan masalah di negara berkembang termasuk di Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, diketahui bahwa kondisi ini semakin memburuk yang disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah dalam menentukan standar asupan gizi yang baik.42 Berdasarkan laporan dari United Nations Development Programme (UNDP), pada tahun 2010 Indonesia menempati peringkat 108 dari 169
negara berdasarkan kriteria Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). Peringkat ini lebih rendah dibandingkan negara lain di Asia Tenggara. Menurut Dinkes (2005), Rendahnya IPM yang ada di Indonesia disebabkan oleh rendahnya status gizi dan kesehatan penduduk Indonesia.43 2.4.2. Pengukuran Status Gizi Status gizi merupakan ukuran ketercukupan asupan nutrisi seseorang.44 Pengukuran status gizi adalah evaluasi komprehensif yang dilakukan
untuk
menentukan
status
gizi
seseorang.
Pengukuran dapat menggunakan dua metode utama, yaitu menggali riwayat dan dengan mengukur antropometri.44, 45 Pengukuran antropometrik merupakan suatu bentuk pengukuran eksternal morfologi seseorang dan penting dalam penentuan status gizi. Beberapa skala yang sering diukur dan memiliki kekuatan yang tinggi untuk merepresentasikan status gizi adalah berat badan, tinggi badan, dan IMT.45
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
26
Pengukuran tinggi badan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, secara langsung dapat dilakukan dengan menggunakan meteran, sedangkan pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan pengukuran panjang lutut. Hasil pengukuran dinyatakan dalam meter (m).
Pengukuran berat badan merupakan pengukuran yang mudah dilakukan dan dapat menjelaskan kondisi tubuh seseorang. Untuk melakukan pengukuran berat badan dapat digunakan timbangan. Hasil pengukuran dinyatakan dalam kilogram (kg).
IMT merupakan hasil dari pembagian berat badan terhadap tinggi badan kuadrat dan dinyatakan dalam satuan kg/m2. IMT memiliki korelasi yang besar terhadap sebaran lemak tubuh dan dapat dipakai untuk menilai status gizi seseorang. Secara mudah, IMT dapat dinyatakan dengan rumus:
2.4.3. Hubungan Nutrisi, DMT2, dan TBP Berbagai faktor risiko TBP telah diteliti oleh peneliti di seluruh dunia sejak milenium pertama. Kemudian, sejak akhir abad 19 hingga awal abad 20, penelitian yang lebih modern dan ilmiah kembali dilakukan. Pada tahun 1883, Windle melakukan otopsi pada 333 pasien DM dan lebih dari 50% di antaranya ditemukan bukti TB paru. Topik bahasan DM dan TB ini mulai surut pada pertengahan abad 20 seiring dengan ditemukannya insulin dan antibiotik poten untuk mengatasi kedua kasus tersebut secara terpisah. Terkait dengan hal itu, teori ilmu kedokteran saat ini sudah menunjukan adanya hubungan antara faktor nutrisi dengan berbagai penyakit infeksi.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
27
Namun, teori tersebut hanya dibangun berdasarkan logika dan pemahaman atas fisiologi tubuh manusia. Permasalahannya terletak pada kondisi data di lapangan yang seringkali tidak sama dengan teori yang diyakini. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk mencari data yang menunjukkan adanya hubungan antara faktor nutrisi dengan penyakit TBP yang merupakan kelompok penyakit infeksi. IMT adalah salah satu faktor yang dapat memberikan gambaran profil nutrisi seorang individu. Dalam keterkaitannya sebagai faktor risiko kemunculan TBP, beberapa peneliti sudah pernah mencoba untuk melakukan pengambilan data di lapangan. Suatu studi multivariat di India selatan menunjukkan jumlah kasus TBP yang lebih tinggi pada kelompok IMT <18,5 hingga 11 kali lipat. 14 Penelitian lain membandingkan antara data epidemiologi di India sebagai negara dengan prevalensi TBP yang tinggi dan Korea sebagai negara pembanding dengan prevalensi TBP yang rendah. 16 Menurut sumber jurnal, ada dua hal penting yang mengaitkan TBP dan nutrisi, yaitu:46
Protein-energy malnutrition
Micronutrients and immune deficiency (vitamin A, C, D, Zn, dan Fe)
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
28
2.5. Kerangka Konsep
Penderita DMT2 dengan gizi kurang atau tidak
Menderita TBP atau tidak
1. Jenis kelamin 2. Usia 3. Tingkat sosioekonomi Keterangan:
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Variabel Perancu
Hubungan yang tidak diteliti
Hubungan yang diteliti
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
29
BAB 3 METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian utama dengan judul besar “Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Prevalensi Tuberkulosis dan Faktor-faktor yang Berhubungan”.
3.1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan studi cross-sectional analitik.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada tempat dan dalam rentang waktu: Tempat
: Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta
Waktu
: 9 Agustus 2011 – 9 Agustus 2012
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi Target Populasi target dari penelitian ini adalah seluruh pasien DMT2 yang menderita infeksi paru (TB atau non TB).
3.3.2. Populasi Terjangkau Populasi terjangkau dari penelitian ini adalah pasien DMT2 yang menderita infeksi paru (TB atau non TB) dan memiliki rekam medis di RSCM pada tahun 2010.
3.3.3. Sampel Sampel penelitian ini dipilih dengan metode total sampling, yaitu seluruh pasien DMT2 yang menderita infeksi paru dan memiliki rekam medis di RSCM tahun 2010.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
30
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi Karakteristik umum yang harus dipenuhi subjek penelitian ini adalah: 1. Menderita DM tipe 2. 2. Menderita infeksi paru (TB atau non TB).
3.4.2. Kriteria Eksklusi Responden yang telah mengikuti penelitian tetapi tidak dipergunakan dalam data penelitian ini sebab: 1. Ada data rekam medis yang tidak terisi lengkap.
3.5. Estimasi Besar Sampel Besar sampel diperkirakan berdasarkan perhitungan melalui rumus dibawah ini:
Sampel awal :
n n 1
2
Z
2PQ Z P1Q1 P 2Q 2 P 2 P1
2
2
Keterangan: Zα = deviat baku alpha = 1,96; dengan α = 0,05 Zβ =deviat baku beta = 0,84 P1 = proporsi pasien DMT2 dengan TBP dan tidak gizi kurang = 0.27 ΔP = perbedaan proporsi minimal yang dianggap bermakna secara klinis menurut peneliti = 0.10 P2 = proporsi pasien DMT2 dengan TBP dan menderita gizi kurang = 0.37 P = ½ (P1+P2) = 0.32 Berdasarkan peninjauan pustaka, didapatkan proporsi pasien DMT2 dengan TBP dan tidak gizi kurang sebanyak 27.1% (CI 95%)14. Oleh karena itu, dapat diasumsikan P1 = 0,27 dan bila beda klinis yang dianggap penting adalah 0,10, maka jumlah sampel yang diperlukan adalah 341 data penderita TBP dan 341 data bukan penderita TBP.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
31
3.6. Langkah Penelitian Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: 1) Penyusunan jadwal dan perencanaan topik 2) Pembuatan proposal penelitian dan penentuan besar sampel 3) Mengurus etik dan perizinan pengambilan data 4) Pengumpulan dan penyortiran rekam medis pasien DMT2 penderita TBP dan pasien DMT2 penderita infeksi paru non TBP (Rekam medis pasien RSCM tahun 2010) 5) Tatalaksana data : edit, coding, data entry 6) Pengolahan data dan analisis data 7) Pelaporan hasil penelitian. 3.6.1. Identifikasi Variabel Variabel bebas: Pasien yang menderita infeksi paru TB dan non TB. Variabel terikat: Faktor risiko gizi kurang Variabel lain: 1. Usia 2. Jenis Kelamin
3.6.2. Pengukuran Pada penelitian ini, indeks massa tubuh akan dihitung dengan menggunakan rumus: Berat badan (Kilogram) (Tinggi badan (Meter))2
3.7. Rencana Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1. Pengumpulan Data Data yang diperlukan didapat melalui pencatatan rekam medis pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
32
3.7.2. Pengolahan Data Setelah dikumpulkan, data akan diverifikasi, dikoding, dimasukkan, dan diolah dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 11.5.
3.7.3. Penyajian Data Data akan disajikan oleh peneliti dalam bentuk tabel atau gambar dengan disertai penjelasan yang bersifat deskriptif.
3.7.4. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan SPSS for Windows versi 11.5. Data yang telah diolah akan dianalisis dengan uji chi square.
3.7.5. Interpretasi Data Ada tidaknya hubungan antara IMT dengan prevalensi TBP pada pasien DMT2 di RSCM tahun 2010.
3.7.6. Pelaporan Data Hasil penelitian akan dilaporkan dalam bentuk makalah dan dipresentasikan saat sidang skripsi untuk meraih gelar Sarjana Kedokteran FKUI.
3.8. Definisi Operasional Istilah-istilah dalam proposal ini menggunakan pengertian seperti yang dijabarkan berikut ini. 1. Pasien tuberkulosis paru: pasien yang menurut rekam medis menderita tuberkulosis paru aktif dan telah dibuktikan melalui pemeriksaan dahak mikroskopis, dan foto toraks. 2. Pasien infeksi paru non tuberkulosis: pasien yang menurut rekam medis menderita infeksi paru non TB dengan karakteristik gejala klinis, pemeriksaan fisik, atau respon terhadap terapi empiris terdiagnosis sebagai pneumonia.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
33
3. Pasien diabetes mellitus: pasien yang menurut rekam medis menderita diabetes mellitus tipe 2 dengan gejaa klasik DM dan dibuktikan melalui pemeriksaan gula darah sewaktu ≥200 mg/dL atau pemeriksaan gula darah puasa ≥126mg/dL. 4. Indeks massa tubuh: nilai yang didapat setelah menghitung dengan rumus pembagian berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam sentimeter dikuadrat (rumus dapat dilihat pada bagian pengukuran). 5. Gizi kurang: pasien dengan nilai IMT <18.5 6. Expected value: nilai dari masing-masing kelompok data yang diperoleh apabila hipotesis nol benar. 7. Nilai P: nilai yang memunjukan besarnya faktor peluang untuk memperoleh hasil yang diobservasi jika hipotesis nol benar. Nilai P<0.05 menunjukkan hipotesis nol tidak benar.
3.9. Masalah Etika Sebelum mengikuti penelitian, peneliti menjelaskan kepada pihak rekam medis bahwa data-data yang ada dalam rekam medis hanya digunakan untuk kepentingan riset dan tidak akan disebarluaskan.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
34
3.10. Alur Penelitian
Penyusunan jadwal dan perencanaan topik
Pembuatan proposal penelitian dan penentuan besar sampel
Mengurus etik dan perizinan pengambilan data
Pengumpulan dan penyortiran rekam medis pasien DMT2 penderita TBP dan pasien DMT2 penderita infeksi paru non TB (Rekam medis pasien RSCM tahun 2010)
Tata Laksana Data - Edit - Coding - Data Entry
Pengolahan Data dan Analisis Data
Penyusunan Laporan
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
35
BAB 4 HASIL DAN DISKUSI
4.1. Karakteristik Demografi Jumlah data yang dianalisis adalah 462 buah rekam medis. Grafik 4.1 memberikan gambaran jenis kelamin sampel yang telah dianalisis. Jumlah pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 247 pasien (53.5%), sementara 215 pasien lainnya (46.5%) berjenis kelamin perempuan.
Gambar 4.1. Proporsi jenis kelamin pasien DMT2.
Sebaran usia pasien DMT2 yang dianalisis dapat dilihat pada gambar 4.2. Dapat dilihat bahwa usia pasien bervariasi dari 20 tahun hingga 96 tahun dengan proporsi paling banyak terdapat pada usia 40-60 tahun.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
36
Gambar 4.2. Sebaran usia pasien DMT2. 4.2. Karakteristik Infeksi Paru pada Pasien DMT2 Gambar 4.3 memberikan gambaran jumlah pasien TB paru dengan DM tipe 2 sebanyak 125 orang (27,1%). Jumlah pasien infeksi paru non-TB dengan DM tipe 2 sebanyak 337 orang (72,9%).
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
37
Gambar 4.3. Persentase pasien DMT2 dengan TBP dan pasien DMT2 dengan infeksi paru non TBP 4.3. Gambaran Besar IMT Besaran IMT pada pasien DMT2 cukup bervariasi. IMT terkecil tercatat sebesar 12 dengan nilai IMT terbesar mencapai 38.60. Nilai IMT 17 memiliki frekuensi pasien yang tertinggi. Berdasarkan pengujian normalitas data dengan menggunakan rumus Kolmogorov-Smirnov, dapat disimpulkan data IMT tersebar normal (sig. 0.200). Gambar 4.4 memberikan ilustrasi persebaran IMT berikut dengan garis normalitas.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
38
Gambar 4.4. Sebaran IMT pada pasien DMT2 dengan garis normalitas. Berdasarkan pengelompokkan IMT gizi kurang (IMT <18.5) dan tidak gizi kurang (IMT >= 18.5) dibuat gambar 4.5. Dari hasil tersebut, dapat terlihat 125 pasien (27.1%) memiliki IMT <18.5 dan 337 pasien (72.9%) memiliki IMT >= 18.5. Gambar ini juga memperlihatkan kecenderungan pasien DMT2 memiliki berat badan berlebih.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
39
Gambar 4.5. Sebaran IMT berdasarkan kelompok dengan IMT <18.5 dan kelompok dengan IMT >= 18.5 pada pasien DMT2
Sebaran IMT berdasarkan karakteristik jenis kelamin dapat dilihat pada gambar 4.6, gambar 4.7, dan gambar 4.8. Sebaran IMT berdasarkan karakteristik usia dapat dilihat pada gambar 4.9.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
40
Gambar 4.6. Sebaran IMT pada pasien DMT2 laki-laki.
Gambar 4.7. Sebaran IMT pada pasien DMT2 perempuan.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
41
Gambar 4.8. Sebaran IMT berdasarkan jenis kelamin.
Gambar 4.9. Sebaran IMT berdasarkan usia.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
42
4.4. Hubungan Antara IMT dengan Prevalensi TBP pada Pasien DMT2 Sebaran IMT pada kelompok DMT2 yang menderita infeksi paru TBP dan pasien DMT2 yang menderita infeksi paru non TBP dapat dilihat pada gambar 4.10, gambar 4.11, dan gambar 4.12. Pasien dengan infeksi TBP memiliki rata-rata IMT sebesar 18.45 dan pasien dengan infeksi non TBP memiliki rata-rata IMT sebesar 22.76. Berdasarkan uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov, kedua kelompok memiliki sebaran IMT yang tidak normal. Kelompok dengan infeksi TBP memiliki nilai signifikansi 0.000 sementara kelompok dengan infeksi paru non TBP memiliki nilai signifikansi 0.420.
Gambar 4.10. Sebaran IMT pada kasus DMT2 dengan infeksi paru TBP
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
43
Gambar 4.11. Sebaran IMT pada kasus DMT2 dengan infeksi paru non TBP
Gambar 4.12. Perbandingan sebaran gizi kurang pada kelompok TBP dan non TBP.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
44
Data ini memenuhi syarat untuk uji chi square karena tidak ada data yang memiliki expected count kurang dari 5. Hasil analisa data dengan menggunakan uji chi square dapat dilihat pada tabel 4.1. Nilai p yang 0.000 menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara gizi kurang (IMT < 18.5) dengan prevalensi TBP pada pasien DMT2.
Tabel 4.1. Hasil uji Chi square antara variabel gizi kurang dengan TBP. TBP Ya Gizi Kurang (IMT <18.5) Total
Ya Tidak
n 78 47 125
Tidak % 62.4 37.6 100
n 47 290 337
% 13.9 86.1 100
Total 125 337 462
p 0.000
Rasio prevalensi dianalisis dengan menggunakan rumus:
memberikan hasil 4.47. Hal ini berarti penderita DMT2 dengan gizi kurang (IMT < 18.5) memiliki peluang 4 kali lebih besar untuk menderita TBP dibandingkan dengan pasien DMT2 yang tidak menderita gizi kurang (IMT >= 18.5).
Nilai interval kepercayaan 95% (IK 95%) dihitung dengan menggunakan rumus:
memberikan rentang hasil IK 95% dari 4,269 sampai 4,679. Oleh karena nilai IK 95% tidak melewati angka 1, maka hasil perhitungan rasio prevalensi sah untuk digunakan. Selain itu, rentang antara batas bawah dan batas atas IK 95% cukup sempit, sehingga akurasi penelitian ini tergolong tinggi.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
45
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Prevalensi TBP pada Pasien DMT2 dengan Infeksi Paru Pada gambar 4.3 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan pasien DMT2 dengan infeksi paru, 27.1% di antaranya disebabkan oleh TBP. Dapat terlihat bahwa lebih banyak pasien DMT2 yang menderita infeksi paru nonTBP (72.9%). Hasil yang didapatkan pada penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian serupa yang dilakukan juga di Indonesia oleh Alisjahbana et al. Pada penelitian yang berlangsung sejak tahun 2001-2005 tersebut, dikatakan bahwa DM lebih banyak ditemukan pada pasien TB dibanding kontrol yang bukan TB. Dengan kata lain, seharusnya pada pasien DM, lebih banyak ditemukan pasien yang juga menderita TB dibandingkan menderita penyakit infeksi paru non TB.47 Dalam hal ini, hasil yang didapat pada penelitian ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya pemilihan tempat penelitian. Kemungkinan besar ada kecenderungan pasien TBP tidak berobat ke RSCM, namun lebih memilih untuk berobat ke pusat-pusat pelayanan tuberkulosis, seperti rumah sakit Pusat Pencegahan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) atau ke tempat pelayanan kesehatan tingkat primer seperti puskesmas dimana obat tuberkulosis diberikan secara gratis. Sebagai pusat rujukan nasional, RSCM selalu dipadati oleh pasien yang bukan hanya pasien TBP, oleh karena itu, diperkirakan ada kecenderungan pasien TBP lebih memilih berobat ke pelayanan kesehatan lain yang juga memberikan obat gratis namun dengan jumlah pasiennya tidak sepadat RSCM. Meskipun demikian, pemilihan RSCM sebagai pusat pengambilan sampel dinilai peneliti memiliki kelebihan tersendiri. Sebagai pusat rujukan nasional, RSCM dinilai paling tepat untuk menggambarkan populasi pasien DM dengan infeksi paru di Indonesia. Sehingga penelitian ini pun memiliki nilai
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
46
yang tinggi dari segi aplikatif untuk diterapkan di pusat-pusat layanan kesehatan lain maupun dijadikan referensi untuk penelitian lanjutan. 5.2. Hubungan Gizi Kurang dengan Prevalensi TBP pada Pasien DMT2 Berdasarkan gambar 4.12 diketahui bahwa ada kecenderungan pasien DMT2 dengan infeksi TBP memiliki gizi kurang. Sebesar 62.4% dari seluruh kasus TBP juga menderita gizi kurang, hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan penderita gizi buruk pada kelompok bukan TBP yang hanya sebesar 13.9%. Perbedaan ini bermakna secara statistik karena hasil perhitungan dengan rumus chi square memberikan nilai p < 0.000. Jadi, pada penelitian ini telah dibuktikan adanya hubungan antara gizi kurang dengan prevalensi TBP pada pasien DMT2. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini senada dengan penelitian lain terkait hubungan antara gizi kurang dengan penyakit TBP. Shetty et al melakukan penelitian multivariat di India Selatan pada tahun 2006 dan menunjukkan jumlah kasus TBP yang lebih tinggi pada kelompok IMT <18,5 hingga 11 kali lipat.14 WHO, melalui penelitian Lonnroth pada tahun 2010 mengatakan kondisi malnutrisi meningkatkan risiko infeksi TBP hingga 3 kali lipat.13 Sebuah penelitian lain dilakukan oleh Dye et al dengan membandingkan prevalensi DM, prevalensi TB, dan kondisi IMT di India dan Korea. Penelitian tersebut membuktikan adanya hubungan antara DMT2, TBP, dan nutrisi. Di kedua negara tersebut, IMT menjadi faktor yang berhubungan dengan prevalensi DMT2 dan prevalensi TBP. Pada kelompok IMT yang lebih rendah, TBP lebih tinggi dan DMT2 lebih rendah, sementara pada kelompok IMT yang lebih tinggi, TBP menurun dengan peningkatan DMT2.16 Masalah yang harus dihadapi oleh setiap peneliti yang mencoba membuktikan nutrisi sebagai faktor risiko adalah adanya sindorm wasting yang terjadi pada pasien TBP. Pada pasien dengan TBP, terjadi penurunan nafsu makan yang disertai dengan malabsorbsi nutrisi sehingga mengarah
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
47
pada perubahan metabolisme yang berujung pada wasting. Hal ini menjadi kelemahan
metode
cross-sectional
dibandingkan
dengan
metode
eksperimental, karena sulit untuk menentukan apakah pasien gizi kurang menderita TBP, atau pasien TBP menderita gizi kurang. Seperti yang dikatakan oleh Mario Raviglione, saat ini penurunan insidensi TB di dunia kurang dari 1% per tahun. Angka ini jauh dari target yang sebesar 5-10% per tahunnya. Diperkirakan, dengan angka insidensi yang rendah, target MDGs 2015 nomor 6 poin 8 terkait eradikasi TB tidak akan tercapai tepat waktu. Untuk meresponnya, dibentuklah rencana Global TB Plan tahun 2011-2015 dengan tambahan target prevensi TB pada kelompok dengan faktor risiko.13 Adanya hubungan yang bermakna menegaskan peran gizi dalam pencegahan penyakit TBP. Kelompok yang mengalami gizi buruk lebih banyak ditemukan pada kelompok dengan infeksi TBP. Hal ini memungkinkan adanya upaya deteksi dini TBP dengan metode skrining yang lebih terarah pada kelompok risiko tinggi TBP, yaitu kelompok pasien DMT2 dengan IMT <18,5. Deteksi dini kasus TBP, selanjutnya dapat dilanjutkan dengan penatalaksanaan obat anti tuberkulosis yang adekuat sehingga meningkatkan angka kesembuhan TBP. Dengan demikian, diharapkan upaya skrining dapat lebih efektif dalam meningkatkan angka deteksi kasus (Case Detection Rate – CDR), meningkatkan jumlah pasien yang terobati dengan sempurna, menurunkan prevalensi kasus TBP, dan diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas akibat TBP. Diketahuinya peran gizi juga membuka kemungkinan adanya upaya pencegahan TBP pada kelompok risiko tinggi. Pasien DMT2 dikatakan oleh WHO melalui Knut Lonnroth bertanggung jawab atas 8% insidensi kasus TB. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Lonnroth et al pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa DM meningkatkan risiko terkena TB hingga 3 kali lipat.13 Setelah diketahui bahwa gizi kurang memiliki pengaruh pada prevalensi TBP di kalangan pasien DMT2, suatu upaya pencegahan TBP dapat disusun
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
48
dengan menjaga status gizi pasien DMT2. Memang saat ini masih terlalu dini untuk menyimpulkan, namun berdasarkan studi yang dilakukan oleh peneliti, ada indikasi bahwa kontrol IMT ≥ 18,5 pada pasien DMT2 dapat mencegah kemunculan TBP. Diperlukan studi lanjutan dengan studi cohort untuk membuktikan
apakah
kontrol
status
gizi
dapat
berpengaruh
pada
berkurangnya insidensi TBP pada pasien DMT2. Dengan demikian, untuk jangka panjang diharapkan kontrol status gizi dapat menurunkan angka insidensi TBP di dunia. Peneliti menemukan, penting untuk lebih merinci pembagian kelompok gizi pada kelompok pasien yang diteliti. Gizi buruk tidak hanya dialami oleh pasien dengan gizi kurang, namun juga dapat dihadapi oleh pasien dengan gizi berlebih. Menurut PERKENI, 90% pasien DMT2 mengalami obesitas.1 Belum diketahui apakah obesitas juga memiliki pengaruh pada prevalensi TBP. Oleh karena itu, untuk mendapatkan target IMT yang lebih tajam, diperlukan studi lanjutan dengan membagi kelompok gizi buruk pada pasien DMT2 dengan gizi kurang, gizi normal, dan gizi berlebih.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
49
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Prevalensi tuberkulosis pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan infeksi paru adalah sebesar 27%.
Terdapat hubungan yang bermakna antara gizi kurang dengan prevalensi tuberkulosis paru pada pasien diabetes melitus tipe 2 (p <0.000).
6.2. Saran
Sebaiknya penelitian mengambil sampel di pusat-pusat pelayanan kesehatan lain, agar hasil yang didapatkan lebih merepresentasikan hubungan gizi buruk dengan prevalensi tuberkulosis paru pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
Untuk dapat membuktikan gizi kurang sebagai faktor risiko tuberkulosis paru pada kasus diabetes melitus tipe 2 lebih baik desain studi yang digunakan adalah kohort retrospektif.
Sebaiknya penggolongan status gizi juga mengikutsertakan gizi berlebih, di samping gizi kurang untuk mempertajam hubungan yang ditemukan.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
50
DAFTAR PUSTAKA
1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Rudianto A, editor. JAKARTA: PERKENI; 2011. 2. WHO. A Report From The Diabetes Summit For South East Asia. Chennai, India: WHO2008. 3. WHO. Diabetes Mellitus Type 2 Burden: Mortality, Morbidity, and Risk Factors2009 25 Mei 2012]: Available from: www.who.int. 4. WHO. Global Health Beyond The Millenium Development Goals2011: Available from: www.enrecahealth.dk www.who.int. 5. Jeon CY, Murray MB. Diabetes Mellitus Increases the Risk of Active Tuberculosis: A Systematic Review of 13 Observational Studies. PLoS Medicine2008;5(7). 6. Cahyadi A, Venty. Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Melitus. J Indon Med Assoc2011;61(4). 7. PDPI. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana di Indonesia. JAKARTA: PDPI; 2011. 8. Gerdunas. Situasi epidemiologi TB Indonesia2010 25 Mei 2012]: Available from: tbindonesia.or.id/pdf/Data_tb_1_2010.pdf. WHO. WHO Global Tuberculosis Control Report: WHO2011. 9. 10. WHO. 2011/2012 Tuberculosis Global Facts: WHO2012. 11. Guptan A, Shah A. Tuberculosis and Diabetes: An Appraisal. Ind J Tub 2000;47(3). Barach J. Historical Facts In Diabetes. Ann Med Hist1928;10:387. 12. 13. IUATLD. Collaborative Framework for Care and Control of Tuberculosis and Diabetes: Support Material2011: Available from: http://www.who.int/about/licensing/copyright_form/en/index.html. 14. Shetty N, Shemko M, Vaz M, Souza D. An epidemiological evaluation of risk factors for tuberculosis in South India: a matched case control study. INT J TUBERC LUNG DIS2006;10(1):80-6. 15. Semba RD, Darnton-Hill I, Pee Sd. Addressing tuberculosis in the context of malnutrition and HIV coinfection. Food and Nutrition Bulletin2010;31(4). 16. Dye C, Trunz BB, Lonnroth K, Roglic G, Williams BG. Nutrition, Diabetes and Tuberculosis in the Epidemiological Transition. PLoS ONE2011;6(6). 17. Gardner D, Shoback D. Greenspan’s Basic & Clinical Endocrinology. 8th ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2007. 18. Jameson J. Harrison’s Endocrinology. 1st ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2006. 19. Tierney L, McPhee S, Papadakis M. CURRENT MEDICAL Diagnosis & Treatment. 41st ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2002. 20. ADA. American Diabetes Association Complete Guide To Diabetes. United States of America: American Diabetes Association; 2006.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
51
21. Arianto E, Putra BE. Penggunaan Kayu Manis Sebagai Terapi Alternatif Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2. 2009. 22. FKUI. Kapita Selekta Kedokteran. 1st ed. Jakarta: Media Aesculapius; 1999. 23. FKUI. Pedoman Diet Diabetes Melitus. Jakarta: Lembaga Penerbit FKUI; 2002. 24. Arianto E, Fredy FC, Liwang F. Manfaat Metode Upper-Room Ultraviolet Germicidal Irradiation (UVGI) Sebagai Upaya Pencegahan Penyebaran Tuberkulosis di Indonesia. 2010. 25. Ward J, Ward N, Leach R, Wiener C. At A Glance: Sistem Respirasi. 2 ed. Jakarta: Erlangga; 2008. 26. USAID. Introduction of Tuberculosis, History, and Transmission: Department of Health Republic of South Africa. Palomino JC, Leão SC, Ritacco V. Tuberculosis: From Basic Science to 27. Patient Care. Brazil: TuberculosisTextbook.com; 2007. Available from: www.tuberculosistexbook.com. 28. Aditama T, Kamso S, Basri C, Surya A. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. In: RI KK, editor. 2 ed. Jakarta2006. IUATLD. 40th World Conference on Lung Health. In: IUATLD, editor. 29. 40th World Conference on Lung Health; Mexico. Mexico: IUATLD; 2009. TBCTA. International Standards for Tuberculosis Care. San Francisco: 30. The Tuberculosis Coalition for Technical Asistance; 2006. 31. WHO. Global DOTS Expansion Plan2011 25 Mei 2012]: Available from: http://www.who.int/tb/dots/expansion/en/index.html. 32. WHO. Treatment of Tuberculosis: Guidelines. Geneva: WHO; 2010. Available from: www.who.int/tb. 33. Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus: convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis2009;9(12):737-46. 34. Mboussa J, Monabeka H, Kombo M, Yokolo D, Yoka-Mbio A, Yala F. Course of tuberculosis in diabetics. Rev Pneumol Clin2003;39:359. Goswami R, Kochupillai N, editors. Endocrine implications on 35. tuberculosis. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd; 2001. 36. Sen T, Joshi SR, Udwadia ZF. Tuberculosis and Diabetes Mellitus: Merging Epidemics. JAPI2009;57:399-404. 37. Mansoori D, Jamaati HR, Arami S, Zadsar M, Abbasian L, Esteghamati AR, et al. Comparison of Lymphocyte Number and Their Subsets in Patients with Diabetes Mellitus Type II, Tuberculosis and Concomitant TB and Diabetes. Tanaffos2002;1(4):45-50. 38. Viardot A, Grey S, Mackay F, Chrisholm D. Potential anti-inflammatory role of insulin via the preferential polarization of effector T cells toward a T helper 2 phenotype. Endocrinology2007;148:346-53. 39. Stalenhoef J, Alisjahbana B, Nelwan E, Ven-Jongerkrijg Lvd, Ottenhoff T. The role of interferon-gamma in the increased tuberculosis risk in type 2 diabetes mellitus. Eur J Clin Microbiol Infect Dis2008;27:97-103. 40. Tsukaguchi K, Okamura H, Ikuno M, Kobayashi A, Fkuota A. The relation between diabetes mellitus and IFN-gamma, IL-12 and IL-10 productions by CD4+ alpha beta T cells and monocytes in patients with pulmonary tuberculosis. Kekkaku1997;72:617-22.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012
52
41. ASPEN. Guidelines for the use of parenteral and enteral nutrition in adult and pediatric patients. Journal of Parenteral and Enteral Nutrition2002;26(1). 42. Usfar A, Acha E, Martorell R, Hadi H, Thara R, Jus I. Expert meeting on child growth and micronutrient deficiencies-new initiatives for developing countries to achieve millennium development goals; executive summary report. Asia Pac J Clin Nutr2009;18(3):462-9. 43. Indonesia: country profile and human development indicators [database on the Internet]. UNDP. 2010 [cited 28 April 2011]. Available from: http://hdrstats.undp.org/en/countries/profiles/IDN.html. 44. Mahan L, Escott S. Krause's food and nutrition theraphy. 12 ed. USA: Saunders; 2008. 45. Ulijaszek S, Kerr D. Anthropometric measurement error and the assessment of nutritional status. British Journal of Nutrition1999;82(3):165-77. NICUS. Tuberculosis and Nutrition2010: Available from: 46. http://www.sun.ac.za/nicus/. 47. Alisjahbana B, R Cv, Sahiratmadja E, Heijer Md, Maya A, Istriana E, et al. Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis in Indonesia. Int J Tuber Lung Dis2006;10(6):696-700.
Universitas Indonesia
Hubungan antara..., Eko Arianto, FK UI, 2012