Prevalensi Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo Pada Tahun 2010 dan Faktor-Faktor yang Berhubungan Rahmanu Reztaputra, Muchtaruddin Mansyur Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Abstrak Tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan besar di dunia, termasuk di Indonesia.Pada tahun 2010, diperkirakan sekitar 8.8 juta orang di dunia mengalami sakit tuberkulosis dan 1.4 juta di antaranya meninggal dunia.Sekitar 95 persen kasus tuberkulosis terjadi di negara berkembang atau kurang berkembang, di antaranya termasuk Indonesia.Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri tuberkulosis mengalami sakit tuberkulosis.Dalam perjalanan dari terinfeksi menjadi sakit dipengaruhi oleh berbagai faktor endogen dan eksogen. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo(RSUPNCM/RSCM) karena diharapkan statusnya sebagai pusat rujukan nasional dapat menggambarkan kondisi penduduk Indonesia secara keseluruhan. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cross-sectional.Sumber data yang digunakan merupakan data sekunder, yaitu rekam medis poliklinik RSUPNCM. Secara keseluruhan penelitian dilakukan dilaksanakan sepanjang Januari 2011 – Mei 2012. Setelah pengambilan data dan pengolahan data dilakukan, didapatkan prevalensi tuberkulosis paru merupakan peringkat keenam tertinggi pada sampel(4,0 persen). Berdasarkan uji hipotesis didapatkan nilai p pada masing-masing variabel yaitu: usia 0,452; jenis kelamin 0,406; status pernikahan 0,363; pekejaan 0,531; status pembiayaan 0,259; tingkat pendidikan 0,436; status gizi 0,001; merokok 0,561; konsumsi alkohol 0,513; dan diabetes mellitus 0,521. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa variabel yang memiliki hubungan bermakna terhadap prevalensi tuberkulosis adalah status gizi. Kata kunci: Tuberkulosis paru; sosioekonomi; demografi; status dan perilaku kesehatan. Abstract Pulmonary tuberculosis is still become a major health problem in the world, including Indonesia. In 2010, 8,8 million people in the world was predicted have pulmonary tuberculosis and 1,4 million of them died. Approximately 95 percent of pulmonary tuberculosis cases in the world is located in developing or underdeveloping nations, which included Indonesia. Not all people who have being infected by Mycobacterium tuberculosis also get pulmonary tuberculosis. The pathogenesis from infected to being sick is being affected by numerous endogenous and exogenous factors. This research was conducted in Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo(RSUPNCM) because from its status of national hospital will show Indonesian population generally. This research design is cross sectional. This research is using secondary data, that is RSUPNCM polyclinic medical records. This research was being carried out in January 2011 to Mei 2012. After data retrieval and analysis, we know that pulmonary tuberculosis is sixth highest case in sample. After hypotesis test, p value of each variable are: age 0,452; gender 0,406; marrital status 0,363; occupation 0,531; payment choice 0,259; education level 0,436; nutrition status 0,001; smoking 0,561; alcohol consumtion 0,513; diabetes mellitus 0,521. It is concluded
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
that the only variable which have significant relationship with pulmonary tuberculosis prevalence is nutrition status. Key words: Pulmonary tuberculosis; socioeconomy; demography; health behavior and status. Pendahuluan Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Data World Health Organization(WHO) menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyakit infeksi tunggal kedua yang menyebabkan kematian paling tinggi di dunia. Pada tahun 2010 diperkirakan sekitar 8.8 juta orang di dunia mengalami sakit tuberkulosis dan 1.4 juta di antaranya meninggal dunia. Dari seluruh kasus di dunia, 60 persennya terdapat di Asia. Akan tetapi proporsi kasus tuberkulosis per populasi paling tinggi terdapat di benua Afrika.
1
Tuberkulosis merupakan salah satu target yang tercantum dalam
Millenium Development Goals(MDGs). Dalam MDGs target nomor enam adalah menurunkan angka penyakit menular. Target MDGs untuk TB yaitu prevalensi 222 per 100.000 penduduk.2 Sekitar 95 persen kasus tuberkulosis terjadi di negara berkembang atau kurang berkembang, di antaranya termasuk Indonesia.1 Pada tahun 2009, Indonesia merupakan negara ke-5 dengan jumlah kasus tuberkulosis di dunia, dengan jumlah kasus sekitar 0.350.52 juta.3 Saat ini prevalensi TB di Indonesia adalah 253 per 100.000 penduduk.2 Sekitar 75 persen kasus tuberkulosis terjadi pada usia produktif. Hal ini dapat menimbulkan masalah sosial dan ekonomi selain masalah kesehatan. Seorang pasien tuberkulosis dewasa diperkirakan kehilangan waktu kerjanya sebanyak tiga sampai empat bulan. Jika dihitung berdasarkan jumlah waktu tersebut diperkirakan jumlah pendapatan rumah tangga yang hilang sekitar 20-30%. Jika seseorang meninggal akibat tuberkulosis maka ia akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun.4 Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri tuberkulosis mengalami sakit tuberkulosis, diperkirakan hanya sepuluh persen saja. Faktor yang memengaruhi seseorang menjadi sakit tuberkulosis setelah terinfeksi kuman tuberkulosis terutama adalah sistem imun seluler. Sistem imun seluler ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, baik biologis, sosial, dan ekonomi. Contohnya infeksi Human Immunodeficiency Virus( HIV) dan malnutrisi.4 Pencegahan terbaik saat ini adalah dengan penemuan kasus dan penatalaksanaannya.4 Dengan diketahuinya faktor risiko sakit tuberkulosis, baik biologis, sosial, maupun ekonomi, diharapkan dapat membantu pencegahan sakit tuberkulosis dengan lebih baik.
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
Penelitian ini dilakukan untuk mencari penyakit terbanyak pada usia 15-60 tahun di Indonesia dan faktor resikonya. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo(RSUPN CM/RSCM) karena diharapkan statusnya sebagai pusat rujukan nasional dapat menggambarkan kondisi penduduk Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan latar belakang di atas didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:” Bagaimana prevalensi tuberkulosis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2010 serta hubungannya dengan faktor usia, tinggi dan berat badan, sosioekonomi dan demografi, serta status kesehatan dan perilaku?” Tujuan dilaksanakannya penelitian ini dibagi menjadi tujuan umum dan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah mendapatkan data prevalensi tuberkulosis paru di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2010 disertai hubungan dengan faktor-faktor yang berkaitan. Tujuan khusus penelitian ini adalah diketahuinya prevalensi tuberkulosis paru di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2010 dan hubungan antara tuberkulosis paru dengan faktor usia, tinggi dan berat badan, sosioekonomi dan demografi, serta status kesehatan dan perilaku. Tinjauan Teoritis Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex.2 Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang parenkim paru, tidak termasuk pleura dan kelenjar getah bening di hilus.5 Bakteri M.tuberculosis menular melalui droplet/percikan dahak di udara. Droplet ini dihasilkan oleh penderita tuberkulosis paru melalui batuk atau bersin. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Derajat penularan kuman tuberkulosis berbanding lurus dengan derajat hasil pemeriksaan sputum Basil Tahan Asam(BTA) pasien tersebut.5 Faktor risiko tuberkulosis paru dibagi menjadi faktor risiko tertular tuberkulosis dan faktor risiko menjadi penyakit tuberkulosis setelah mengalami penularan. Beberapa faktor dapat meningkatkan resiko penularan sekaligus progresifitas menjadi sakit tuberkulosis.
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
Resiko untuk tertular bakteri tuberkulosis berbanding lurus dengan tingkat pajanan percikan dahak. Pasien tuberkulosis dengan hasil Basil Tahan Asam positif memiliki resiko menularkan bakteri tuberkulosis yang lebih besar dibandingkan dengan BTA negatif.5 Resiko
penularan
tuberkulosis
ditunjukkan
Annual
Risk
of
Tuberculosis
Infection(ARTI). ARTI merupakan proporsi penduduk yang beresiko terinfeksi tuberkulosis selama satu tahun. Nilai ARTI di Indonesia berkisar antara 1-3 persen.5 Hanya sekitar 10 persen orang yang terinfeksi tuberkulosis menjadi sakit TB.4,5 Berdasarkan usia, kelompok yang memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami tuberkulosis paru adalah usia produktif. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia(PDPI) 75 persen, 75% penderita tuberkulosis di Indonesia berusia 15-50 tahun.5 Penelitian oleh Simbolon D dkk., menunjukkan bahwa orang pada usia produktif beresiko sekitar 2,7 kali lebih tinggi untuk mengalami TB paru.6 Penelitian oleh Wildan dkk menunjukkan bahwa 84 persen kasus TB paru ditemukan pada penduduk usia produktif(20 – 54 tahun).7 Berdasarkan penelitian oleh Karyadi dkk sebagian besar(46%) pasien tuberkulosis berusia antara 20 sampai 30 tahun.8 Jenis kelamin laki-laki memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami tuberkulosis paru. Proporsi sakit TB paru pada laki-laki berdasarkan penelitian Wildan Y adalah 58, 1%.,7 Wadjah N 79,3%,9 Corona-Jimenez 58,9%( dengan nilai p< 0,001).10 Penyakit penyerta yang meningkatkan resiko untuk mengalami tuberkulosis paru antara lain Human Immunodeficiency Virus(HIV), malnutrisi, dan diabetes mellitus. Baik HIV, malnutrisi, maupun diabetes mellitus diperkirakan menyebabkan peningkatan resiko untuk mengalami tuberkulosis paru melalui mekanisme penurunan sistem imun. 5,7,11 Orang dengan status ekonomi yang lebih rendah memiliki resiko untuk mengalami sakit tuberkulosis yang lebih tinggi. Pada penelitian Wildan Y, proporsi tuberkulosis paru tertinggi didapatkan pada kelompok sosioekonomi rendah(58,1 %).7Penelitian di India juga menunjukkan hasil yang serupa dan didapatkan hubungan terbalik yang linier antara status ekonomi dengan prevalensi tuberkulosis. 12 Gaya hidup yang meningkatkan resiko untuk mengalami tuberkulosis paru adalah mengonsumsi alkohol dan merokok. Mekanisme konsumsi alkohol dan merokok meningkatkan resiko untuk mengalami tuberkulosis paru adalah melalui penurunan sistem imun tubuh. Selain itu merokok juga dapat menurunkan pembersihan mukosilier pada saluran nafas.6,13
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
Berdasarkan status pernikahannya kelompok yang paling beresiko untuk mengalami tuberkulosis paru adalah orang dengan status menikah. Berdasarkan penelitian Datiko et.al. 70 persen penderita tuberkulosis paru sedang dalam status menikah.14 Berdasarkan penelitian Wadjah N di kabupaten Wanggai, didapatkan prevalensi tuberkulosis paling tinggi pada orang dengan pendidikan setingkat SMP(33,5%) dan SMA(30,9%), sedangkan orang yang tidak sekolah, serta pendidikan setingkat Strata 1 dan SMA memiliki prevalensi yang lebih rendah.Terdapat sedikit perbedaan pada penelitian lain, yaitu oleh Wildan Y, dimana prevalensi tertinggi terdapat pada penduduk dengan tingkat pendidikan SMA.7,9 Pekerjaan merupakan salah satu faktor resiko sakit tuberkulosis paru. Terdapat beberapa jenis pekerjaan yang mampu meningkatkan resiko untuk mengalami sakit tuberkulosis paru, yaitu: (1)pekerjaan yang melibatkan pekerja yang memang sudah beresiko tinggi, misalnya buruh, pekerja kasar, atau pekerja dengan status ekonomi rendah;(2) pekerjaan yang meningkatkan suspekbilitas mikroba TB, misalnya pekerjaan yang memungkinkan pekerjanya untuk mengalami silikosis;(3)pekerjaan yang meningkatkan pajanan terhadap mikroba TB, misalnya pekerja di layanan kesehatan.15 Bekerja meningkatkan resiko karena menurunkan imunitas tubuh dan meningkatkan resiko pajanan. Penduduk usia produktif memiliki beban pekerjaan yang lebih tinggi, dimana hal ini menyebabkan terkurasnya energi tubuh dan menurunkan imunitas tubuh.7 Metode Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah potong lintang(cross sectional). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sumber data sekunder berupa rekam medis rawat jalan RSCM pada tahun 2010. Pengambilan data dilakukan sejak Maret – Desember 2011. Secara keseluruhan penelitian dilakukan dimulai dari Januari 2011 – Mei 2013. Pemilihan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan metode proportional random sampling. Subyek diambil dari semua rekam medis poliklinik rawat jalan yang mencakup semua departemen yang ada di RSCM, kecuali departemen anak dan kebidanan. Pertamatama dihitung terlebih dahulu jumlah subyek dalam populasi terjangkau, baik secara keseluruhan, maupun per departemen. Kemudian dibuat perbandingan dalam persentase antara jumlah subyek setiap departemen dengan jumlah populasi terjangkau. Sampel diambil secara proporsional per departemen sesuai dengan persentase yang telah dihitung hingga mencapai besar sampel minimal.
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
Dalam menentukan besar sampel, digunakan rumus sampel tunggal. Besar sampel yang dibutuhkan adalah : 2
z × p×q n1 = α 2 L Keterangan : n1= besar sampel minimal yang dibutuhkan Zα = deviat baku tingkat kemaknaan (100- α), untuk α = 5%; Zα = 1,96 (tabel kurva normal) p =
proporsi pasien pria. Karena belum ada referensi data penelitian sebagai acuan, maka
digunakan nilai p=50% q = 1-p L = tingkat kesalahan yang masih diperkenankan 5% maka, besarnya sampel adalah :
n1
=
(1,96) 2 × 0,5 × (1 − 0,5) 0,05 2
n1= 388 sebagai jumlah sampel minimal Melalui koreksi sampel untuk mengatasi masalah drop out maka : n2=n1 + 10%(n1 – 1) n2= 388 + 39 n2= 427 orang Maka jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini minimal adalah 427 orang pasien pria di RSCM yang terdaftar pada tahun 2010. Pada penelitian ini dibutuhkan jumlah wanita yang sama dengan jumlah pria karena termasuk salah satu faktor yang dicari hubungannya, sehingga jumlah sampel total minimal adalah 427 x 2 = 854 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah rekam medis tertulis dari pasien poliklinik rawat jalan RSCM Jakarta pada tahun 2010. Proporsi rekam medis yang diambil per departemen dihitung menggunakan teknik yang telah dijelaskan di bagian teknik pengambilan sampel. Penghitungan tersebut dilakukan secara manual menggunakan kalkulator oleh peneliti.
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
Rekam medis yang diambil dari tiap departemen dipilih dengan menggunakan suatu teknik randomisasi yang dikerjakan oleh pegawai Unit Rekam Medis RSCM dan Unit Rekam Medis RSCM Kirana. Data-data rekam medis pada Unit Rekam Medis RSCM tersusun dalam program BES3 yang tersusun berdasarkan tanggal terakhir masuknya rekam medis ke unit rekam medis. Kemudian, data dipisahkan tiap departemen. Dari data tiap departemen, kemudian data diurutkan berdasarkan dua nomor terakhir dalam nomor rekam medis. Dua angka terakhir pada rekam medis mewakili nomor rak penyimpanan pada unit rekam medik. Dalam satu nomor rak, terdapat rekam medik dari berbagai departemen. Setelah data diurutkan berdasarkan dua angka terakhir nomor rekam medik, lalu data juga diurutkan berdasarkan tanggal jika ditemukan dua angka terakhir tersebut sama. Kemudian data yang telah diurutkan berdasarkan dua angka terakhir tersebut, diambil dari urutan pertama sejumlah data yang diperlukan. Setelah data sampel didapatkan, data diolah terlebih dahulu dengan program Microsoft Excel 2007. Analisis data dilakukan dengan progran SPSS for Windows versi 16.0. Data dikelompokkan dan disajikan berdasarkan jenis datanya, yaitu numerik dan nominal. Analisis hubungan variabel bebas dengan sakit tuberkulosis dilakukan dengan uji hipotesis yang berbeda-beda tergantung jenis dan sifat variabelnya. Selain dilakukan uji hipotesis, nilai perbandingan odds(odds ratio) masing-masing variabel faktor resiko akan diperhitungkan. Nilai α yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05, sedangkan nilai Confidence Interval(CI) adalah 95 persen. Oleh karena itu didapatkan interpretasi nilai p dianggap bermakna jika kurang dari 0,05. Variabel pada penelitian ini dibagi menjadi variabel tergantung dan bebas. Variabel tergantung adalah sakit tuberkulosis paru. Variabel bebas yang akan dicari hubungannya terhadap variabel tergantung adalah usia, tinggi badan, berat badan, sosioekonomi dan demografi(terdiri dari jenis kelamin, status pernikahan, pekerjaan, asuransi pembiayaan, dan tingkat pendidikan), serta status kesehatan den perilaku(status gizi, gaya hidup, dan riwayat penyakit sebelumnya). Pada penelitian ini menggunakan definisi operasional tertentu. Pasien dewasa adalah pasien yang berusia diantara 18-65 tahun. Pasien tuberkulosis paru adalah pasien yang didiagnosis tuberkulosis atau berkode penyakit A16.2(tuberkulosis paru tanpa menyebutkan adanya konfirmasi pemeriksaan bakteriologis atau histologis) dan/ atau pasien yang didiagnosis dengan kode A16.9(tuberkulosis paru tidak dispesifikasi). Malnutrisi adalah pasien dengan indeks massa tubuh kurang dari 18,5 berdasarkan data tinggi dan berat badannya atau sudah tertulis status gizi kurang pada rekam medisnya.
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
Hasil Sesuai dengan kriteria penelitian, data pasien RSCM sejak bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 didapat sejumlah 904 data. Dari semua variabel yang ada, terdapat tiga variabel data numerikal, yaitu variabel usia, tinggi badan, dan berat badan. Dari 904 rekam medis yang diambil, hanya data usia yang terisi lengkap, sedangkan data tinggi badan dan berat badan tidak terisi lengkap. Pada data tinggi dan berat badan,masing-masing terdapat 846 data kosong (93,2%) dan 827 data kosong (90,7%).Berdasarkan hasil uji normalitas, dapat diketahui bahwa data berat badan memiliki persebaran normal (p=0,198), sedangkan data usia dan tinggi badan memiliki persebaran tidak normal (p<0,001). Data berat badan disajikan dengan mean ± simpang baku, yaitu 60,03 ± 13,38. Sedangkan data usia dan tinggi badan disajikan dalam bentuk median ± min-max, yaitu 44 ± 18-65 dan 160± 145-175. Variabel yang berupa data kategorikal, dikategorisasi berdasarkan sosioekonomi dan demografi serta perilaku kesehatan. Data-data tersebut disajikan pada tabel 1 dan 2. Pada penelitian ini didapatkan persentase sampel yang memiliki diagnosis tuberkulosis paru sebesar 4,0 persen. Dengan persentase tersebut tuberkulosis paru menduduki peringkat keenam diagnosis terbanyak pada sampel. Tabel 1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Sosioekonomi dan Demografi N % Jenis Kelamin Perempuan 438 48,5 Laki-laki 466 51,5 Status Pernikahan Cerai 10 1,1 Menikah 288 31,9 Belum Menikah 104 11,5 Tidak ada data 502 55,5 Pekerjaan Bekerja 272 30,1 Tidak Bekerja 176 19,5 Tidak ada data 456 50,4 Asuransi Pembiayaan Asuransi 201 22,2 Umum 259 28,7 Tidak ada data 444 49,1 Tingkat Pendidikan Rendah 34 3,8 Menengah 206 22,8 Tinggi 129 14,2 Tidak ada data 535 59,2
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
Berdasarkan analisis bivariat didapatkan bahwa variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan tuberkulosis paru adalah status gizi(p<0,05). Orang dengan malnutrisi memiliki rasio odds 10,7 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak. Variabel lainnya tidak memiliki hubungan bermakna dengan tuberkulosis paru. Hasil analisis bivariat ini tidak memenuhi syarat untuk dilakukannya uji multivariat. Tabel 2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Status Kesehatan dan Perilaku N % Status Gizi Baik 80 8,8 Sedang 40 4,4 Kurang 10 1,1 Tidak ada data 774 85,6 Gaya Hidup Tidak ada gaya hidup buruk 15 1,7 Merokok 46 5,1 Gaya hidup berisiko lain 7 0,8 Tidak ada data 836 92,4 Riwayat Penyakit Sebelumnya Gangguan kardiovaskular dan 38 4,2 metabolik endokrin Gangguan pada sistem lain 21 2,3 Tidak ada data 845 93,4 Tabel 3. Hubungan Variabel Sosioekonomi dan Demografi dengan Tuberkulosis Paru Tuberkulosis OR (95% CI: (+) (-) p min – max) n % N % Usia 0,432 > 50 tahun 26 4,3 572 95,7 (0,74)0,35-1,56 < 50 tahun 10 3,3 296 96,7 1(ref) Jenis Kelamin 0,406 Laki-laki 21 4,5 445 95,5 (1,33)0,67-2,62 Perempuan 15 3,4 423 96,6 1(ref) Status Pernikahan 0,363 Menikah 6 2,1 282 97,9 (2,4)0,29-20,2 Tidak menikah 1 0,9 113 99,1 1(ref) Pekerjaan 0,531 Tidak Bekerja 3 3,1 94 96,9 (0,83)0,23–2,97 Bekerja 13 3,7 338 96,3 1(ref) Asuransi Pembiayaan 0,259 Umum 10 4,8 199 95,2 (1,75)0,65-4,68 Asuransi 7 2,8 244 97,2 1(ref) Tingkat Pendidikan 0,436 Rendah-Menengah 2 0,8 238 99,2 (0,53)0,07-3,83 Tinggi 2 1,5 127 98,5 1(ref)
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
Tabel 4. Hubungan Variabel Status Kesehatan terhadap Tuberkulosis Paru Tuberkulosis OR (95% CI: (+) (-) P min – max) N % N % Status Gizi 0,001 Malnutrisi 5 33,3 10 66,7 (10,7)2,88-39,9 Tidak Malnutrisi 7 4,4 150 95,6 1(ref) Gaya Hidup Merokok 0,561 Ya 6 13 40 87 (0,9)0,25-3,23 Tidak 5 14,3 30 85,7 1(ref) Alkohol 0,513 Ya 2 16,7 10 83,3 (1,33)0,25-7,5 Tidak 9 13 60 87 1(ref) Diabetes mellitus 0,521 Ada 1 5,5 17 94,5 (2,35)0,14-39,8 Tidak ada 1 2,4 40 97,6 1(ref) Pembahasan Pada penelitian ini terdapat keterbatasan kelengkapan data yang diperoleh. Hanya data jenis kelamin, umur, dan diagnosis saja yang lengkap didapatkan(seratus persen). Datadata lainnya memiliki tingkat kelengkapan yang bervariasi, dimana persentase data yang tidak lengkap yaitu: pendidikan 59,2 %, pekerjaan 50,4 %, pernikahan 55,5 %, tinggi badan 93,6 persen, berat badan 91,5 persen, status gizi 85,6 persen, pembiayaan 49,1 persen, gaya hidup 91 persen, dan riwayat penyakit sebelumnya 93,5 persen. Oleh karena itu hasil analisis bivariat yang dianggap mampu mewakili populasi terjangkau adalah variabel usia dan jenis kelamin. Berdasarkan hasil sampel yang didapatkan dalam penelitian ini, prevalensi tuberkulosis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sekitar 4 persen. Jika dibandingkan dengan prevalensi di Indonesia menurut kementrian kesehatan, yaitu 253 per 100000 penduduk,2 hasil yang didapatkan di penelitian ini jauh lebih tinggi. Perbedaan ini tidak sesuai dengan harapan peneliti pada latar belakang, dimana RSCM sebagai rumah sakit rujukan nasional dapat memberi gambaran penyakit seluruh penduduk Indonesia. Perbedaan ini diduga karena prevalensi menurut kementrian kesehatan adalah prevalensi pada seluruh populasi di Indonesia, dimana mungkin jumlah orang sehat lebih banyak, sedangkan sampel dari RSCM merupakan sekumpulan orang sakit(pasien), sehingga diduga dapat terjadi pemusatan jumlah orang sakit.
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara usia dengan tuberkulosis. Selain itu didapatkan proporsi yang lebih tinggi pada usia di atas lima puluh tahun. Temuan ini bertentangan dengan semua hasil penelitian yang telah ada dalam tinjauan pustaka. Tuberkulosis dapat menyerang setiap usia. Menurut tinjauan pustaka orang yang berada dalam usia kerja memiliki kemungkinan tertular di tempat kerjanya.7 Akan tetapi orang dengan usia lanjut juga mungkin didapatkan penurunan sistem imun sehingga juga masih mungkin merupakan kelompok yang rentan untuk mengalami tuberkulosis paru. Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan prevalensi tuberkulosis yang bermakna antar jenis kelamin, meskipun proporsi lebih tinggi pada laki-laki. Hasil proporsi ini sesuai dengan hasil penelitian Wildan Y,7 Wadjah N,9 dan Corona-Jimenez10 dimana pada semua hasil penelitian tersebut didapatkan proporsi yang lebih tinggi pada laki-laki. Menurut tinjauan pustaka laki-laki lebih beresiko untuk mengalami tuberkulosis paru karena faktor merokok, pekerjaan, dan alkohol.9,10 Kemungkinan hasil yang didapat tidak bermakna apabila ketiga faktor ini tidak lebih tinggi pada laki-laki subjek penelitian. Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan bermakna kejadian tuberkulosis terhadap kelompok masyarakat dengan status pernikahan yang berbeda(sedang menikah dan tidak menikah). Pada penelitian ini didapatkan proporsi tuberkulosis yang lebih tinggi pada kelompok masyarakat
yang menikah dibandingkan dengan yang tidak(belum pernah
menikah atau janda/duda). Temuan ini sesuai dengan tinjauan pustaka, yaitu penelitian Datiko et.al.14 dan Crampin et.al.16, yaitu prevalensi tuberkulosis paling tinggi pada kelompok masyarakat yang menikah. Pada penelitian ini didapatkan proporsi prevalensi tuberkulosis yang hampir sama pada kelompok masyarakat yang bekerja dengan tidak bekerja. Selain itu tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok tersebut. Hasil ini berbeda jika dibandingkan dengan penelitian oleh Tam CC Leung et.al., dimana terdapat pekerjaan tertentu yang memiliki resiko yang lebih tinggi.15 Kemungkinan terjadinya perbedaan ini adalah karena: pertama, banyaknya data pekerjaan pasien yang tidak lengkap; kedua, tidak ditemukannya pekerjaan yang beresiko seperti yang tertera pada tinjauan pustaka(misalnya petugas kesehatan, pekerja tambang) pada penelitian ini. Pada penelitian ini didapatkan proporsi tuberkulosis yang lebih tinggi pada kelompok pasien dengan pembiayaan umum dibandingkan dengan jaminan. Tidak ditemukan tinjauan pustaka yang secara eksplisit menyebutkan hubungan jenis pembiayaan terhadap prevalensi tuberkulosis. Meskipun demikian asuransi pembiayaan dapat menggambarkan status ekonomi pasien. Menurut laporan departemen Stop TB World Health Organization(WHO) prevalensi
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
tuberkulosis berbanding terbalik dengan status sosioekonomi seseorang. Akan tetapi perlu diperhatikan bias dimana tidak semua orang dengan status ekonomi rendah mendapatkan jaminan kesehatan dan sebaliknya.17 Pada penelitian ini didapatkan proporsi tuberkulosis pada kelompok masyarakat pendidikan tinggi lebih tinggi daripada kelompok pendidikan rendah-menengah, meskipun perbedaan ini tidak bermakna. Hasil ini berbeda jika dibandingkan dengan hasil penelitian Wildan Y dkk,7 dan Wadjah N dkk.,9 dimana prevalensi tertinggi pada kelompok masyarakat berpendidikan setingkat SMP atau SMA. Karena penelitian ini dilakukan di rumah sakit pusat rujukan nasional, bisa saja terjadi kesulitan bagi orang yang berpendidikan lebih rendah untuk mencapai fasilitas ini. Faktor lainnya yang mungkin dapat memengaruhi adalah ketidaklengkapan data tingkat pendidikan pasien pada penelitian ini. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan prevalensi tuberkulosis paru yang bermakna antara kelompok pasien malnutrisi dengan yang tidak. Hasil ini sesuai dengan tinjauan pustaka di mana malnutrisi merupakan faktor resiko untuk tuberkulosis paru. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan proporsi tuberkulosis yang lebih tinggi pada kelompok masyarakat yang tidak merokok dibandingkan dengan yang merokok. Hasil ini bertentangan dengan penelitian Buskin et.al.18 serta laporan departemen Stop TB WHO17 dimana merokok merupakan salah satu faktor resiko untuk mengalami sakit tuberkulosis paru. Perbedaan ini terjadi mungkin diakibatkan oleh beberapa faktor berikut:pertama banyaknya data yang tidak lengkap, kedua desain penelitian yang berbeda, dimana pada tinjauan pustaka desain penelitian yang dipakai adalah dengan menjaring pasien tuberkulosis paru secara aktif lalu mencari faktor resikonya, sedangkan penelitian ini hanya melihat dari rekam medis. Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan prevalensi yang bermakna antara kelompok pasien yang mengkonsumsi alkohol dengan yang tidak, meskipun proporsi tuberkulosis lebih tinggi pada kelompok pasien yang mengkonsumsi alkohol. Hasil penelitian ini tidak bisa dianggap bertentangan dengan penelitian pada tinjauan pustaka, yaitu oleh Schmidt dkk.19 dan departemen Stop TB WHO17, karena terdapat kadar minimum konsumsi alkohol per hari untuk dapat meningkatkan resiko terkena sakit tuberkulosis. Pada penelitian ini tidak ditemukan data seberapa banyak konsumsi alkohol pasien. Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan prevalensi tuberkulosis paru yang bermakna pada kelompok pasien dengan diabetes mellitus tipe II dengan yang tidak. Hasil ini berbeda jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang didapatkan pada tinjauan pustaka. Hasil yang berbeda ini kemungkinan karena hanya sedikitnya pasien diabetes mellitus tipe
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
dua yang didapatkan pada penelitian ini, yaitu sebanyak 18 orang. Hal ini kemungkinan besar juga dipengaruhi oleh sedikitnya data riwayat penyakit penyerta/dahulu yang terisi. Pada penelitian ini tidak didapatkan subjek yang memiliki HIV, sehingga hubungan HIV dengan TB paru tidak dapat dianalisis. Hal ini terjadi kemungkinan akibat tidak terisinya data riwayat penyakit penyerta secara lengkap sehingga ada kemungkinan pasien yang sebenarnya mengalami HIV tidak tercatat. Kesimpulan Dari hasil penelitian prevalensi tuberkulosis paru di RSCM pada tahun 2010 dan faktor-faktor yang memengaruhinya ini didapatkan kesimpulan sebagai berikut: •
Malnutrisi merupakan satu-satunya variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian tuberkulosis paru
•
Variabel lain, yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, penyakit penyerta, asuransi pembayaran, status pernikahan, dan gaya hidup tidak memiliki hubungan bermakna terhadap prevalensi tuberkulosis paru.
Saran
•
Diharapkan pada penelitian berikutnya didapatkan data sampel yang lebih lengkap. Untuk tujuan ini diperlukan usaha dari peneliti ataupun sumber data penelitian. Bagi peneliti perlu dipikirkan cara pengambilan data selain melalui rekam medis. Sedangkan bagi sumber data penelitian, yaitu rumah sakit, diharapkan agar adanya rekam medis yang lebih lengkap di masa yang akan datang.
•
Ketidaklengkapan data pada penelitian ini diharapkan jadi pengalaman dan pelajaran bagi seluruh mahasiswa kedokteran ataupun dokter akan pentingnya informasi yang ada dalam rekam medis. Rekam medis tidak hanya bermanfaat bagi pasien ataupun dokter yang menanganinya semata, akan tetapi juga bermanfaat untuk melihat bagaimana kesehatan suatu kelompok masyarakat.
•
Pada penelitian selanjutnya diharapkan untuk mencari data variabel status ekonomi subjek penelitian, karena berdasarkan tinjauan pustaka variabel tersebut juga merupakan faktor resiko tuberkulosis paru yang penting.
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
Daftar Pustaka 1. Anonim. Tuberculosis: Fact Sheet. New York: World Health Organization. 2012.[diakses 2012 September 22]. Diakses dari : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/index.html 2. Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono, et.al. Tuberkulosis: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.p. 2011.p.1-30 3. Anonim. Pengendalian TB di indonesia mendekati target MDGs. Jakarta:Kementrian Kesehatan. [diakses 2012 Oktober 25]. Diakses dari: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/857-pengendalian-tb-diindonesia-mendekati-target-mdg.html. 4. Aditama TJ, Subuh M. Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.2011.p.1-25 5. Manaf A, Pranoto A, Sutiyoso AP, Sjarurrahman A, et.al. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis.2nd ed. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2007.p.1-100 6. Simbolon D. Faktor resiko tuberkulosis paru di kabupaten rejang lebong. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2007; 2(3): 112-119 7. Wildan Y, Fatimah S, Kuspiatiningsih T, Smardi. Hubungan sosial ekonomi dengan angka kejadian TB paru BTA positif di puskesmas sedati. Buletin Peneltian RSU Dr Sutomo. 2008; 10(2): 74-80 8. Karyadi E, West CE, Nelwan RHH, Dolmans WMV, van der Meer JWM, Schultink JW. Social aspect of tuberculosis Patiens in Indonesia. 9. Wadjah N. Gambaran karakteristik penderita tbc paru di wilayah kerja puskesmas pagimana kecamatan pagimana kabupaten banggai tahun 2012. Public health journal. 2012; 1(1). 10. Jimenez-Corona ME, Garcia-garcia L, DeRiemer K, Ferreyra-Reyes L, Bobadilla-delValle M, Cano-Arellano E, et.al. Gender differential in tuberculosis transmission. Thorax; 2006; 1(4): 348-353. 11. Dooley KE, Chaisson RE.Tuberculosis and diabetes mellitus: convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009; 9(12): 737–746. 12. Oxlade O, Murray M. Tuberculosis and poverty: why are the poor at greater risk in india?. Plosone; 2011; 7(11): 1-8. 13. Rehm J, Samokhvalov AV, Neuman MG, Room R, Parry C, Lonnroth K, et.al. The association between alcohol use, alcohol use disorder, and tuberculosis(TB). A systematic review. BMC Public Health. 2009; 9: 450. 14. Datiko DG, Lindjorn B. Tuberculosis recurrence in smear-positive patients cured under DOTS in southern ethipoia: retrospective cohort study. BMC Public Health. 2009; 9(348). 15. Tam CC, Leung CC. Occupational tuberculosis: a review of the literature and the local situation. Hong Kong Med J. 2006; 12(6): 448-455.
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013
16. Crampin AC, Glynn JE, Floyd S, Malema SS, Mwinuka VK, Ngwira BMM, Mwaungulu FD, et.al. Tuberculosis and gender: exploring the patterns in case-control study in malawi. Int J Tuber Lung Dis. 2004; 8(2): 194-203 17. Lönnroth K. Risk factor and social determinant of TB. New York: Departement of Stop TB, World Health Organization. 2011.[diakses 2012 September 12]. Diakses dari: http://www.bc.lung.ca/association_and_services/documents/KnutUnionNARTBriskfactor sanddeterminantsFeb2011.pdf. 18. Buskin SE, Gale JL, Weiss NS, Nolan CM. Tuberculosis risk factors in adults in king county, washington, 1988 through 1990. American Journal of Public Health. 1994; 84(11): 1750-1756. 19. Schmidt CW. Linking TB and the environment: an overlooked mitigation strategy. Environmental Health Perspective. 2008; 116(11):A479-485.
Prevalensi tuberkulosis paru..., Rahmanu Reztaputra, FK UI, 2013