CONTINUING MEDICAL EDUCATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Akreditasi PB IDI–3 SKP
Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus Indra Wijaya Departemen Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, RS Siloam Karawaci, Tangerang, Indonesia
ABSTRAK Tuberkulosis (TB) paru dan Diabetes Melitus (DM) merupakan dua masalah kesehatan yang cukup besar secara epidemiologi dan berdampak besar secara global karena keduanya merupakan penyakit kronik dan saling berkaitan. Tuberkulosis paru tidak akan sembuh dengan baik pada diabetes yang tidak terkontrol. TB paru pada penderita DM mempunyai karakteristik berbeda, sehingga sering tidak terdiagnosis dan terapinya sulit mengingat interaksi obat TB dan obat antidiabetik oral. Studi TB paru pada penderita DM telah banyak dilakukan, namun tetap ada kendala diagnosis, terapi, ataupun prognosisnya. Kata kunci: Tuberkulosis paru, diabetes melitus
ABSTRACT Pulmonary Tuberculosis (TB) and Diabetes Mellitus (DM) are chronic diseases and closely related, both are major epidemiological problems with significant impact in global burden of disease. Pulmonary tuberculosis will be difficult to treat in uncontrolled diabetes. Pulmonary TB in diabetic patient has different characteristics, sometimes misdiagnosed; and antituberculosis drugs may interact with oral antidiabetics. Many studies on pulmonary TB in diabetic patients have been done but there will always be a problem in diagnosis, treatment, and its prognosis. Indra Wijaya. Pulmonary Tuberculosis in Diabetes Mellitus. Keywords: Pulmonary tuberculosis, diabetes mellitus
PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) dikenal sebagai pembunuh utama di antara penyakit infeksi bakterial di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (M.Tb), yang berbentuk batang, bersifat aerob dan tahan asam. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat dan merupakan negara dengan penderita kelima terbanyak di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria.1 Tuberkulosis paru menyerang 9,4 juta orang dan telah membunuh 1,7 juta penduduk dunia setiap tahunnya.3,4 Meskipun strategi kontrol kasus TB paru cukup berhasil, World Health Organization (WHO) menduga pengendalian TB paru makin dipersulit dengan peningkatan jumlah penderita diabetes melitus (DM). Hubungan antara TB paru dan DM sebenarnya sudah dilaporkan sejak tahun 1000 M. Tahun 1883, Alamat korespondensi
412
dokter berkebangsaan Amerika, Windle, melakukan autopsi terhadap 333 jenazah
penderita DM, hasilnya pada lebih dari 50% ditemukan TB paru.2 Saat ini telah diketahui
Gambar 1. Prevalensi kasus diabetes dan insidens tuberkulosis di dunia5
email:
[email protected]
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
CONTINUING MEDICAL EDUCATION Tabel 1. Insidens TB paru kasus baru pada populasi umum dan pada pasien diabetes10 Incidence of all TB per 100000/year (96% CI)
All persons
Incidence of culture positive TB per 100000/year (96% CI)
General population
People with diabetes
General population
People with diabetes
5.7 (5.5 to 5.8)
7.4 (6.5 to 8.3)
4.0 (3.9 to 4.1)
5.1 (4.4 to 5.9)
Age, years <15
1.2 (1.1 to 1.4)
0
0.4 (0.3 to 0.5)
0
15–34
7.4 (7.1 to 7.7)
6.1 (3.1 to 11.7)
5.5 (5.2 to 5.8)
4.3 (1.9 to 9.3)
35–54
5.5 (5.2 to 5.7)
7.5 (5.8 to 9.9)
3.9 (3.7 to 4.1)
5.5 (4.0 to 7.6)
55–74
6.0 (5.6 to 6.3)
7.4 (6.2 to 8.9)
4.1 (3.8 to 4.4)
4.9 (3.9 to 6.1)
13.0 (12.1 to 13.9)
7.5 (6.0 to 9.4)
9.7 (9.0 to 10.5)
5.4 (4.2 to 7.0)
Male
5.9 (5.7 to 6.2)
7.9 (6.7 to 9.3)
4.3 (4.1 to 4.5)
5.4 (4.4 to 6.6)
Female
5.4 (5.2 to 5.6)
6.9 (5.7 to 8.3)
3.7 (3.6 to 4.9)
4.9 (3.9 to 6.0)
≥75 Sex
kasus TB paru di antara 454 penderita; risiko penderita DM untuk mengalami TB paru sebesar 4,7 kali lipat (tabel 2). DEFINISI Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi paru yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.1,7 Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia kronis yang terjadi karena kelainan defek sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.12
TB incidence in country of birth <25/100000
1.95 (1.86 to 2.04)
4.9 (4.2 to 5.7)
1.26 (1.20 to 1.34)
3.4 (2.8 to 4.1)
25–99/100000
25.5 (24.1 to 26.9)
30.1 (22.1 to 40.8)
18.0 (16.9 to 19.2)
18.5 (12.4 to 27.3)
≥100/100000
65.4 (63.1 to 67.8)
57.8 (44.4 to 75.0)
48.8 (46.8 to 50.9)
45.0 (33.3 to 60.6)
TB, tuberculosis Tabel 2. Risiko tuberkulosis pada diabetes11
Total tested, n Normal FBG (<110 mg%)
Cases n (%)
Control n (%)
454
556
OR (95% CI)
379 (83)
533 (96)
1.0*
Impaired FBG (≥110, <126 mg%)
15 (3)
5 (1)
4.2 (1.5–11.7)
Diabetes (≥126 mg%)
60 (13)
18 (3)
4.7 (2.7–8.1)
415
413
No glucosuria
372 (90)
398 (96)
1.0*
Glucosuria
43 (10)
15 (4)
3.1 (1.7–5.6)
Total tested, n
*
Reference category, odds ratio = 1
FBG = fasting blood glucose; OR = odds ratio; CI = confidence interval
bahwa pada penderita diabetes mempunyai gangguan respons imun tubuh, sehingga dapat memfasilitasi infeksi M.Tb dan menimbulkan penyakit TB paru. Penderita DM memiliki risiko 2 hingga 3 kali lebih tinggi untuk mengidap penyakit TB paru dibandingkan penderita tanpa DM. EPIDEMIOLOGI Delapan dari sepuluh negara dengan insidens tertinggi DM di dunia juga diklasifikasikan sebagai negara dengan beban TB paru tinggi (WHO). Prevalensi DM tertinggi yaitu di regio utara dengan persentase 27,9%, diikuti oleh regio timur dengan persentase 24,7%, regio sentral yaitu sebesar 23,7%, dan regio selatan dengan prevalensi terendah yaitu 18,2%.6 Prevalensi TB paru meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM. Studi Dobler, dkk. di Australia (2012) (tabel 1) dan Leung, dkk. di Hong Kong (2008) menemukan penderita DM dengan kadar HbA1c >7% lebih banyak menderita TB paru. Simpulan penelitian tersebut bahwa kondisi hiperglikemia, bahkan
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
pengguna insulin berisiko tinggi menderita TB paru.7,8 Studi Restrepo, dkk. di Mexico dan Texas (2007) serta Dobler, dkk. di Australia (2012), menunjukkan angka kejadian TB paru disertai DM lebih banyak ditemukan pada penderita dengan usia lebih dari 40 tahun. Jenis kelamin tidak berkaitan dengan insidens TB paru-DM. Alisjahbana, dkk. menyatakan bahwa lebih dari 10% penderita TB paru di dunia adalah penduduk Indonesia. Penelitiannya di Indonesia pada tahun 2001-2005, melaporkan 40% penderita TB paru memiliki riwayat DM. Pada penderita DM, ditemukan 60
Patogenesis Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang berkaitan dengan gangguan fungsi imunitas tubuh, sehingga penderita lebih rentan terserang infeksi, termasuk TB paru. Penyebab infeksi TB paru pada penderita DM adalah karena defek fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan tubuh, termasuk gangguan fungsi dari epitel pernapasan serta motilitas silia. Paru pada penderita DM akan mengalami perubahan patologis, seperti penebalan epitel alveolar dan lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi mikroangiopati sama seperti yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Gangguan neuropati saraf autonom berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Perubahan lain yang juga terjadi yaitu penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas difusi karbonmonoksida, dan peningkatan endogen produksi karbondioksida.17 Tabel 3 adalah beberapa pengaruh DM terhadap imunitas tubuh dan fungsi pulmonal yang menyebabkan terjadinya rentan infeksi. Sel-sel efektor yang sering berkontribusi terhadap infeksi M. tuberculosis adalah fagosit, yaitu makrofag alveolar, perkursor monosit, dan limfosit sel-T. Makrofag alveolar, berkolaborasi dengan limfosit sel-T, berperan
Tabel 3. Defek imunologi dan fungsi fisiologi pulmonal pada penderita diabetes melitus2 Kelainan Imunologi
Disfungsi Fisiologi Pulmonal
Kelainan kemotaksis, adhesi, fagositosis, dan fungsi mikrobisidal polimorfonuklear
Reaktivitas bronkial berkurang/menghilang
Penurunan monosit perifer dengan gangguan fagositosis
Elastisitas rekoil dan volume paru menurun Kapasitas difusi berkurang Penyumbatan saluran napas oleh mukus Penurunan respons ventilasi terhadap hipoksemia
413
CONTINUING MEDICAL EDUCATION Tabel 4. Karakteristik pasien TB paru dengan DM dan tanpa DM20 Patients with TB who had DM (n=94)
Patients with TB who did not have DM (n=540)
Characteristic Male sex
55.3
51.9
45.0 (39.8–52.0)
27.0 (22.0–35.0)
History of TB contact
44.7
52.4
Previous treatment for TB
6.4
4.8
Age, median years (IQR)a
Signs and symptoms Duration, median weeks (IQR)
8 (4–12)
8 (4–16)
Cough
98.9
97.8
Hemopthysis
42.6
40.7
Dyspnea
69.1
63.7
Fever
80.9
73.9
Night sweats
79.8
70.2
Weight lossa
96.8
80.4
Symptom score >4
63.8
48.5
Median BMI (IQR)a
21.2 (18.9–22.8)
17.5 (16.0–19.1)
Karnofsky score ≤80%b
45.7
29.4
BCG scar present
43.6
42.6
Advancedc
52.6
50.9
Cavity presentd
40.0
52.4
29.8
38.9
Severity of chest radiograph findings
Sputum microscopic examination result Positive Sputum culture resulte Negative and/or contamination
13.1
7.0
Positive for Mycobacterium tuberculosis
86.9
93.0
INH resistant
5 (8.9)
42 (15.4)
RIF resistant
1 (1.8)
18 (6.6)
MDR
1 (1.8)
13 (4.8)
Hemoglobin level, median mg/dL (IQR)
13.1 (11.6–13.8)
11.9 (10.6–13.1)
Leukocyte count, median leukocytes x 103/mL (IQR)
8.7 (10.0–13.5)
10.8 (8.7–13.1)
Blood sedimentation rate, median mm/h (IQR)
93 (66–110)
82 (55–108)
C-reactive protein level, median mg/dL (IQR)
49 (27–84)
56 (26–86)
215 (154–290)
81 (72–90)
Drug-susceptibility test result,1 no. (%) of patients
Laboratory test result
FBG concentration, median mg/dL (IQR)
Note. Date are precentage of patients, unless otherwise indicated. BCG, bacille Calmette-Guerin; BMI, body mass index (calculated as the weight in kilograms devided by the square of height in meters);
penting dalam mengeliminasi infeksi tuberkulosis. Pada penderita diabetes melitus, diketahui terjadi gangguan kemotaksis, fagositosis, dan antigen presenting oleh fagosit terhadap bakteri M. tuberculosis; kemotaksis monosit tidak terjadi pada penderita DM. Defek ini tidak dapat diatasi dengan terapi insulin.19 Beberapa penelitian menunjukkan makrofag alveolar pada penderita TB paru dengan komplikasi DM menjadi kurang teraktivasi. Penurunan kadar respons Th-1, produksi TNF-α, IFN-γ, serta produksi IL-1 β dan IL-6 juga ditemukan pada penderita TB paru disertai DM dibandingkan pada penderita TB tanpa DM. Penurunan produksi IFN-γ lebih signifikan pada pasien TB paru dengan DM
414
tidak terkontrol dibandingkan pada pasien TB paru dengan DM terkontrol. Produksi IFN-γ ini akan kembali normal dalam 6 bulan, baik pada pasien TB paru saja maupun pasien TB paru dengan DM terkontrol, tetapi akan terus menurun pada pasien TB paru dengan DM tidak terkontrol. Selain itu, terjadi perubahan vaskuler pulmonal dan tekanan oksigen alveolar yang memperberat kondisi pasien.2,14,18 Manifestasi Klinis Telah banyak dilakukan penelitian untuk melihat perbedaan manifestasi klinis penderita TB paru dengan DM dan penderita TB paru saja. Pada tahun 1934 telah dilakukan penelitian terhadap 234 kasus TB paru pada penderita DM di Boston,
hasilnya menunjukkan bahwa tanda dan gejala tidak berbeda pada penderita TB paru saja dan tidak ada gejala tersembunyi yang membahayakan.5 Wang, dkk. di Taiwan (2009) menyatakan bahwa pasien TB dengan DM menunjukkan frekuensi lebih tinggi dalam hal gejala demam dan hemoptisis, sputum basil tahan asam (BTA) positif, lesi konsolidasi, kavitas, dan keterlibatan lapangan paru bawah.15 Penelitian Alisjahbana, dkk. (2007) di Indonesia menemukan beberapa perbedaan manifestasi klinis. Gejala klinis ditemukan lebih banyak pada pasien TB paru yang juga menderita DM dan berdasarkan indeks Karnofsky, keadaan umumnya juga lebih buruk (tabel 4). Dikatakan hasilnya tidak terlalu signifikan karena perbedaannya kecil.20 Penelitian lain di Malaysia, Saudi Arabia, dan Turki, tidak menemukan perbedaan signifikan dalam hal gejala, akan tetapi sebuah studi besar di Mexico melaporkan gambaran klinis yang lebih buruk pada pasien TB yang menderita DM, yaitu dalam hal demam, hemoptisis, dan keadaan umumnya.9 Tuberkulosis yang aktif juga dapat memperburuk kadar gula darah dan meningkatkan risiko sepsis pada penderita diabetes. Demam, kuman TB paru aktif, dan malnutrisi menstimulasi hormon stres seperti epinefrin, glukagon, kortisol, dan hormon pertumbuhan, yang secara sinergis bekerja meningkatkan kadar gula dalam darah hingga lebih dari 200 mg/dL. Kadar IL-1 dan TNF plasma juga meningkat dan menstimulasi hormon anti-insulin, sehingga memperburuk keadaan infeksinya.2 Diagnosis Diagnosis TB paru melalui anamnesis, pemeriksaan fisik (suara napas bronkial, melemah, ronki basah, dan retraksi interkostal atau diafragma), dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan bakteriologi dan radiologi. Diagnosis utama ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA) melalui pemeriksaan penunjang.1 Pemeriksaan bakteriologi penting untuk menemukan M.Tb. Pada semua pasien yang dicurigai TB paru diperiksa 3 spesimen dahak dalam 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
INFECTIONS Gambar 3. Patofisiologi dari infeksi yang berkaitan dengan DM18
(SPS).1 Hasil diagnosis positif membutuhkan paling sedikit 5000 batang kuman per mL sputum.16 Selain sputum, bahan dapat diambil dari cairan pleura, jaringan kelenjar getah bening, cairan serebrospinal. Pasien TB paru disertai DM memiliki jumlah basil yang lebih tinggi dalam sputumnya.21 Pada penelitian Alisjahbana, dkk. dari 373 pasien TB yang menderita DM, 328 pasien (87,9%) menunjukkan kultur M.TB positif. Hasil penelitiannya juga menunjukkan peningkatan BTA +++ dengan odd ratio (OR) 1,71 pada penderita TB paru dengan DM.11 Pemeriksaan sputum mikroskopis lebih sering menunjukkan hasil kultur positif M.TB sampai 2 bulan setelah mulai pengobatan anti-TB,6 bahkan bisa sampai 6 bulan setelah mulai pengobatan (22,2%).11 Secara radiologis, TB paru pada penderita DM sering menunjukkan gambaran dan distribusi radiografi yang atipikal; pada penderita TB tanpa DM kavitas atau infiltrat banyak ditemukan pada lobus atas, sedangkan pada penderita TB paru disertai DM, lapangan paru bawah lebih sering terlibat (29% pada kasus dengan DM, 4,5% pada kasus non-DM),2 diikuti lobus atas kemudian tengah.5,22,23 Keterlibatan paru bilateral sebesar 50%, 33% berkaitan efusi pleura, dan 30% terdapat kavitas. Gambaran radiologi termasuk fibrosis, konsolidasi, opasitas homogenus dan heterogenus.6 Penelitian
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
Patel, dkk. di India (2011) melaporkan bahwa pada 10 dari 50 foto radiologik penderita TB dengan DM didapatkan gambaran kavitas lebih dari 2 cm, terutama jika paru bagian bawah terlibat (80%).18 Gambaran radiologi atipikal TB paru disebabkan karena penderita DM memiliki gangguan imunitas seluler dan disfungsi sel leukosit polimorfonuklear (PMN). Penelitian oleh Pérez-Guzmán, dkk. di Mexico (2001) menunjukkan kelompok TB paru-DM memiliki jumlah total leukosit lebih rendah dibandingkan kelompok TB paru saja, yaitu 8836,7 ± 219,5 vs 10013,1 ± 345,2 sel/mm3. Penurunan jumlah dan aktivitas bakterisidal, kemotaktik dan fagositik, diduga menjadi faktor utama yang berperan terhadap timbulnya lesi dan kavitas di lapangan paru bawah. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi peran leukosit dan “penuaan dini” paru akibat DM.24 Tatalaksana Prinsip pengobatan obat anti-tuberkulosis (OAT) terdiri dari dua fase, yaitu fase intensif selama 2 sampai 3 bulan dan fase lanjutan selama 4 sampai 6 bulan, terkadang sampai 12 bulan karena jumlah M.Tb yang harus dieradikasi.25 Lini pertama pengobatan TB paru menggunakan rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.15 Tatalaksana pengobatan pada penderita TB paru yang memiliki DM sama dengan penderita TB paru saja, akan tetapi lebih sulit,
terutama karena ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu interaksi antar obat TB paru dengan obat DM dan efek samping obat. Hingga saat ini, belum ada rekomendasi kuat berdasarkan evidence mengenai tatalaksana pengobatan TB paru pada penderita DM maupun sebaliknya. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) dan WHO memberikan rekomendasi terapi TB paru pada penderita DM menggunakan regimen yang sama sesuai standar.17 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan pemberian OAT dan lama pengobatan pada prinsipnya sama dengan TB paru tanpa DM, dengan syarat gula darah harus terkontrol. Apabila gula darah tidak terkontrol, pengobatan perlu dilanjutkan hingga 9 bulan. Tahun 2011, American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan target HbA1c kurang dari 7% atau setara dengan gula darah sewaktu sebesar 130 mg/dL.12 Dosis harian rifampisin adalah 8-12 mg/ kgBB/hari, maksimal 600 mg. Efek samping rifampisin yang sering yaitu hepatitis imbas obat (HIO) termasuk mual dan muntah, serta warna kemerahan pada urin, keringat, dan air mata. Obat DM golongan sulfonilurea dan thiazolidinedion (TZD) dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 dan enzim ini diinduksi kuat oleh rifampisin, sehingga kadar obat antidiabetik tersebut jika diberikan bersamaan dengan rifampisin akan mengalami penurunan (sulfonilurea 22%-30%, TZD 54%-64%).26 Metformin tidak dipengaruhi oleh rifampisin. Kadar plasma obat rifampisin pada pasien TB paru dengan DM hanya 50% dari kadar rifampisin pasien TB paru tanpa DM. Konsentrasi plasma maksimal rifampisin di atas target (8 mg/L) hanya ditemukan pada 6% pasien, sedangkan pada yang bukan DM ditemukan 47%.20 Hal ini dapat menjelaskan mengapa respons pengobatan pasien TB paru dengan DM lebih rendah dibandingkan dengan pasien TB tanpa DM. Isoniazid (INH) merupakan penghambat P450 sehingga dapat mengurangi efek rifampisin, tetapi pemberian INH dan rifampisin secara bersamaan tetap akan meningkatkan enzim hati. Dosis harian INH adalah 4-6 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg. Efek samping berupa gejala-gejala saraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki, dan nyeri otot. Pasien DM juga sering disertai dengan
415
CONTINUING MEDICAL EDUCATION gejala neuropati, maka perlu diberi vitamin B6 (piridoksin) 100 mg/hari untuk mencegah neuropati perifer akibat pemberian INH.1,15 Dosis harian etambutol 15-20 mg/kgBB/hari. Pemberian etambutol pada penderita DM harus hati-hati karena efek sampingnya adalah penurunan tajam penglihatan, serta buta warna hijau dan merah, padahal penderita DM sering mengalami retinopati. Dosis harian pirazinamid 20-30 mg/kgBB/ hari. Efek samping utamanya adalah hepatitis imbas obat; dapat terjadi nyeri sendi yang dapat ditanggulangi dengan aspirin.1,15 Pirazinamid dan etambutol tidak mempengaruhi kadar obat antiglikemik dalam darah.27 Dosis harian streptomisin 1218 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 1000 mg. Efek samping utamanya adalah kerusakan nervus VII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Keadaan dapat pulih kembali jika obat dihentikan.1,15 Rifampisin dan INH diduga tidak berpengaruh terhadap insulin karena insulin didegradasi di hati melalui hidrolisis disulfida antara rantai A dan rantai B oleh insulin degrading enzyme (IDE).17 Setelah selesai pengobatan TB paru, dapat dilanjutkan kembali dengan obat anti-diabetes oral. Dua studi di Indonesia menunjukkan bahwa DM tidak mempengaruhi farmakokinetik
OAT selama fase intensif pengobatan TB paru, tetapi mungkin berpengaruh pada rifampisin dalam fase lanjut. Hal ini didukung dengan kultur sputum yang masih positif setelah pengobatan fase lanjut, tetapi tidak setelah fase intensif. 28 Hipotesis perbedaan pengaruh DM terhadap farmakokinetik OAT selama pengobatan fase intensif dan fase lanjut karena adanya perbedaan induksi rifampisin.28 Prognosis Penderita TB paru dengan DM memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan penderita TB paru tanpa DM selama terapi dan juga peningkatan risiko kekambuhan setelah pengobatan dan penularan yang lebih besar.10,18 Simpulan Peningkatan prevalensi DM diikuti dengan peningkatan prevalensi TB paru. Penderita DM mempunyai risiko 2 hingga 3 kali lebih tinggi untuk mengidap penyakit TB paru dibandingkan penderita tanpa DM dan banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Diabetes melitus mempengaruhi kemotaksis, fagositosis, dan antigen presenting oleh fagosit. Kurang teraktivasinya makrofag alveolar penderita TB paru dengan DM mengurangi interaksi antara imfosit sel-T dengan makrofag, sehingga terjadi
defek eliminasi M.Tb. Defek fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu menyebabkan penderita DM lebih rentan terserang infeksi termasuk TB paru. Tidak ada perbedaan manifestasi klinis yang signifikan pada penderita TB paru dengan DM dan tanpa DM; frekuensi demam dan hemoptisis lebih sering ditemukan pada penderita TB paru dengan DM. Penderita TB baru dengan DM sering menunjukkan hasil kultur M.TB positif dengan jumlah basil lebih tinggi. Gambaran radiologis menunjukkan gambaran atipikal, yaitu kavitas dan infiltrat yang lebih banyak melibatkan lobus inferior. Hingga saat ini belum ada rekomendasi khusus pengobatan TB paru pada penderita DM. Regimen yang sama sesuai standar pengobatan TB paru tetap digunakan pada penderita TB paru disertai DM, tetapi akan lebih sulit dan bisa lebih lama hingga 12 bulan karena interaksi antara OAT (rifampisin) dan obat antidiabetes (sulfonilurea dan TZD), efek samping obat, dan jumlah bakteri lebih banyak. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol kadar gula darah karena tidak terdapat interaksi dengan OAT. Hal terpenting dan utama dalam keberhasilan pengobatan TB paru pada penderita DM adalah kontrol gula darah yang baik dan keteraturan minum OAT.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Tuberkulosis: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika; 2011.
2.
Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: An appraisal. Ind. J. Tub. 2000;47(3):2-7.
3.
International Diabetes Federation. Diabetes and tuberculosis [Internet]. 2013 [cited 2013 June 02]. Available from: http://www.idf.org/diabetesatlas/5e/diabetes-and-tuberculosis.
4.
World Health Organization. Global tuberculosis control: 2010. Geneva: World Health Organization; 2010.
5.
Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus: Convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9(12):737-46.
6.
Bukhary ZA. Rediscovering the association between tuberculosis and diabetes mellitus: A perspective. J T U Med Sc. 2008;3(1):1-6.
7.
World Health Organization. Global tuberculosis report: 2012. France: World Health Organization; 2012.
8.
Leung CC, Lam TH, Chan WM, Yew WW, Ho KS, Leong GM, et al. Diabetic control and risk of tuberculosis: A cohort study. Am J Epidemiol. 2008;167:1486-94.
9.
Restrepo BI, Fisher-Hoch SP, Crespo JG, Whitney E, Perez A, Smith B, et al. Type 2 diabetes and tuberculosis in a dynamic bi-national border population. Epidemiol Infect. 2007;135:48391.
10. Dobler CC, Flack JR, Marks GB. Risk of tuberculosis among people with diabetes mellitus: An Australian nationwide cohort study. BMJ Open 2012;2:1-8. 11. Alisjahbana B, Crevel RV, Sahiratmadja E, den Heijer M, Maya A, Istriana E, et al. Diabetes Mellitus is strongly associated with tuberculosis in Indonesia. Int J Tuberc Lung Dis. 2006;10(6):696700. 12. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI; 2011. 13. Niazi AK, Kalra S. Diabetes and tuberculosis: A review of the role of optimal glycemic control. J Diab & Metabolic Disord. 2012;11:28. 14. Rammamurti T. Pathology of mycobacterial infection in diabetes. Int J Diab Dev Countries 1999;19:56-60. 15. Cahyadi A, Venty. Tuberkulosis paru pada pasien diabetes melitus. J Indon Med Assoc. 2011;61(4):173-8. 16.
Nasution EJS. Profil penderita tuberkulosis paru dengan diabetes melitus dihubungkan dengan kadar gula darah puasa. 2007.
17. Wulandari DR, Sugiri YJ. Diabetes melitus dan permasalahannya pada infeksi tuberkulosis. J Respir Indon. 2013;33(2):126-34. 18. Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infections in patients with diabetes mellitus: A review of pathogenesis. Indian J Endocrinol Metab. 2012;16(1):S27-S36. 19. Broxmeyer L. Diabetes mellitus, tuberculosis and the mycobacteria: Two millennia of enigma. J Mehy. 2005;2-6. 20. Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa AM, Ahmad Y, Ottenhoff TH, et al. The effect of type 2 diabetes mellitus on the presentation and treatment response of pulmonary
416
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
CONTINUING MEDICAL EDUCATION tuberculosis. J Clin Infect Dis. 2007;45:428-35. 21. Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. Clinical characteristics of pulmonary tuberculosis in adult Pakistani patients with co-existing diabetes mellitus. Eastern Mediterranean Health J. 2006;12(5):522-7. 22. Ljubic S, Balachandran A, Paulic-Renar I, Barada A, Metelko Z. Pulmonary infections in diabetes mellitus. Diabetologia Croatica 2004; 33(4):115-22. 23. Morris JT, Seaworth BJ, McAllister CK. Pulmonary tuberculosis in diabetics. Chest 1992;102:539-41. 24. Pérez-Guzman C, Torres-Cruz A, Villarreal-Velarde H, Salazar-Lezama MA, Vargas MH. Atypical radiological images of pulmonary tuberculosis in 192 diabetic patients: A comparative study. Int J Tuberc Lung Dis. 2001;5(5):455-61. 25. Sulaiman SAS, Zain FAM, Majid SA, Munyin N, Tajuddin NM, Khairuddin Z, et al. Tuberculosis among Diabetic Patient. Webmed Central Infectious Disease 2011;2(12):2-13. 26. Bujnoch K, Tabbor R, Petrossian R, Seaworth B. Rifamycins and anti-diabetic agents: Drug-drug interactions [Internet]. 2012 [cited 2013 June 03]. Available from: http://www.heartlandntbc. org/products/Rifamycins%20and%20AntiDiabetic%20Agents_2012.pdf 27. Ruslami R, Aarnoutse RE, Alisjahbana B, van der Ven AJAM, van Crevel. Implications of the global increase of diabetes for tuberculosis control and patient care. Trop Med Int Health 2010;15(11):1289-99. 28. Nijland HMJ, Ruslami R, Adhiarta GN, Kariadi SHKS, Alisjahbana B, Aarnoutse RE, et al. Pharmacokinetics of antituberculosis drugs in pulmonary tuberculosis patients with type 2 diabetes. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 2010;54(3):1068-74.
CDK-229/ vol. 42 no. 6, th. 2015
417