Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum Basil Tahan Asam dengan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru Sukara Safril Kusuma Jaya1, Erlina Burhan1, Rochsismandoko2, Cahyarini3 Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta 2 SMF Penyakit Dalam, Divisi Metabolik dan Endokrin, RS Persahabatan, Jakarta 1
3
SMF Mikrobiologi, RS Persahabatan, Jakarta
Abstrak
Latar belakang: Hubungan antara tuberkulosis (TB) dan diabetes mellitus (DM) sudah lama diketahui. Sistem imun rendah pada DM sehingga risiko berkembangnya TB laten menjadi TB aktif lebih tinggi. Penderita DM memiliki 2-3 kali risiko untuk menderita TB dibanding tanpa DM. Sekitar 10% kasus TB secara global berhubungan dengan DM. Prevalensi TB DM berdasarkan penelitian di Poli Endokrin RSUP Persahabatan pada pasien DM tipe 2 dari Oktober sampai Nopember 2013 adalah 28,2%. Diabetes mellitus yang kurang terkontrol atau tidak terkontrol dikaitkan dengan peningkatan risiko TB. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas mikroskop sputum BTA dan Xpert MTB / RIF untuk diagnosis TB pada pasien dengan DM. Metode: Penelitian ini adalah studi analitik deskriptif potong lintang pada pasien kelompok DM yang masih menjalani pengobatan di RS Persahabatan dari bulan Mei 2014 sampai jumlah sampel tercapai. Penelitian dilakukan di poli Paru dan Penyakit Dalam divisi Endokrin dan Metabolik RS Persahabatan. Pasien dengan keluhan tuberklosis baik yang belum pernah minum OAT atau dengan riwayat pengobatan sebelumnya dan didukung dari foto toraks yang menunjukan gambaran kecurigaan TB akan dilakukan pemeriksaan diagnostik mikrobiologis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF. Hasil: Tujuh puluh subjek diskrining dan hanya 55 subjek memenuhi kriteria inklusi. Terdapat 32 laki-laki (58,2%) dan 23 perempuan (41,8%). Umur antara 25-72 tahun. Indeks massa tubuh kurang 11 (20%), normal 31(56,4%) dan lebih 13(23,6%). Gula darah antara 110481 mg/dl. Lama menderita DM <5 tahun adalah 40 (72,7%), 5-10 tahun adalah 7(12,7 %), 10-15 tahun adalah 6(10,9%) dan >15 tahun adalah 2(3,6%). HbA1c terkontrol 11(20%) dan tidak terkontrol 44(80 %). Riwayat tidak pernah TB 41 (74,5%), TB sembuh 9(16,4%) dan gagal atau putus obat 5 (9,1%). Sputum BTA(+) 29 (52,7%) dan Xpert MTB/RIF(+) 36(65,5%). Tingkat HbA1c tidak terkontrol BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 30 (54,5%). Uji diagnostik kedua alat memiliki sensitivitas 77,8 % dan spesifisitas 94,7%. Kesimpulan: Xpert MTB/RIF memiliki nilai kepositivan yang lebih tinggi daripada sputum BTA dalam mendeteksi M.Tb. Tidak ada perbedaan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada pasien DM. (J Respir Indo. 2015; 35: 144-57) Kata kunci: Diabetes melitus, tuberkulosis, sputum BTA, Xpert MTB/RIF.
Comparison Acid Fast Bacilli Smear Microscopy Examination with Xpert MTB/RIF in Diabetes Mellitus Patients Who Suspected Pulmonary Tuberculosis Abstract
Background: The relationship between tuberculosis (TB) and Diabetes Mellitus (DM) has long been known. People with DM have 2-3 times the risk of developing TB. The prevalence of TB-DM based in Endocrine clinic in Persahabatan Hospital in DM type 2 patients in 2013 was 28.2%. Diabetes mellitus poorly controlled or uncontrolled associated with an increased risk of TB. The main objective of this study was to determine the sensitivity and specificity of Acid Fast Bacilli (AFB) smear and Xpert MTB/RIF for diagnosis of TB in DM. Methods: This study was a cross-sectional descriptive analytic study in patients with DM group were still underwent treatment at Persahabatan Hospital from May 2014. The study was conducted in Pulmonary clinic and Internal Medicine clinic. Patients with DM who have TB complaints that have not been taken either TB drug or with a history of treatment and supported from chest X-ray shows the suspicion of TB will require the microbiological diagnosis of AFB smear and Xpert MTB/RIF. Result: Seventy subject was screening and only 55 subject met the inclusion criteria. There were 32 males (58.2%) and 23 females (41.8%). Age between 25-72 years old. Body mass index were less 11(20%), normal 31(56.4%) and over 13(23.6%). The blood sugar between 110-481 g/dl. The length of suffer DM <5 years were 40(72.7%), 5-10 years were 7(12.7%), 10-15 years were 6(10.9%) and >15 years were 2(3.6%). The controlled HbA1c 11(20%) and uncontrolled 44(80%). By history of TB has never suffered 41(74.5%), treatment cured 9(16.4%) and failure or withdrawal 5(9.1%). Smear of AFB(+)ve 29 (52.7%) and Xpert MTB/RIF(+) 36(65.5%). Uncontrolled HbA1c levels pulmonary TB with AFB smear/Xpert (+)ve 30(54.5%). Sensitivity and specificity by using both 77.8% and 94.7% Conclusion: The Xpert MTB/RIF has a higher value of positivity that detect M.Tb than AFB smear.There is no difference in the sensitivity and specificity of AFB smear and Xpert MTB/RIF for TB diagnosis in patients with DM. (J Respir Indo. 2015; 35: 144-57) Keywords: Diabetes mellitus, tuberculosis, AFB smear, Xpert MTB/RIF Korespondensi: Sukara Safril Kusuma Jaya Email:
[email protected] Hp: 081310650610
144
J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
PENDAHULUAN
METODE
Penderita diabetes melitus (DM) di dunia pada tahun 2030 diperkirakan
meningkat 50% menjadi
366 juta dengan peningkatan tercepat pada negara berpendapatan rendah dan menengah.1 Prevalensi DM di negara dengan pendapatan tinggi dan rendah adalah sama. Kematian karena DM lebih 80% terjadi di negara dengan pendapatan rendah dan menengah dan negara-negara tersebut memiliki beban tinggi tuberkulosis (TB) di dunia. Setiap tahun, lebih dari 9 juta orang menderita TB dengan lebih dari 1,5 juta kematian karena TB. Satu per tiga orang di dunia terinfeksi TB laten dan memiliki kemungkinan jangka panjang menjadi TB aktif. 2 Hubungan antara TB dan DM sudah lama diketahui. Sistem imun rendah pada DM sehingga risiko berkembangnya TB laten menjadi TB aktif lebih tinggi. Penderita DM memiliki 2-3 kali risiko untuk menderita TB dibanding tanpa DM. Sekitar 10% kasus TB secara global berhubungan dengan DM.3 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh bawaan terganggu oleh tingginya tingkat glukosa darah.4,5 Pablos-Mendez dkk.6 mene mukan bahwa hanya DM yang kurang terkontrol atau tidak terkontrol dikaitkan dengan peningkatan risiko TB. Hasil sputum BTA sering negatif.6 Penelitian oleh Alisjahbana7 di Indonesia menya takan bahwa prevalensi DM pada pasien TB adalah 13,2%.7 Pasien DM yang didiagnosis TB memiliki risiko kematian lebih tinggi selama pengobatan TB dan kambuh setelah selesai pengobatan. World Health Organization (WHO) merekomendasikan pengobatan harus dilakukan secara bersamaan pada pasien dengan TB dan DM. Pada pasein DM harus dilakukan pene gakan diagnosis TB terutama pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi seperti Indonesia. Proporsi DM di Indonesia sebesar 6,9 persen dengan proporsi DM pada perempuan cenderung lebih tinggi, tetapi hampir sama antara proporsi di perkotaan (6,8%) dan perdesaan (7,0%).8 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada pasien DM.
J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
Penelitian ini adalah studi analitik deskriptif potong lintang pada pasien kelompok DM yang masih menjalani pengobatan di poli Paru dan poli Penyakit Dalam divisi Endokrin dan Metabolik RS Persahabatan. Waktu penelitian dimulai dari bulan Mei 2014 sampai jumlah sampel yang diinginkan tercapai.
Sebanyak
70
pasien
DM
dengan
kecurigaaan TB paru diskrining dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 57 subjek dengan 13 subjek dieksklusi karena 4 subjek dalam pengobatan DM kurang dari 3 bulan dan 9 subjek dalam pengobatan obat anti tuberkulosis (OAT). Selanjutnya dilakukan anamnesis ulang terhadap 57 subjek tersebut dan didapatkan 2 subjek dieksklusi kembali dikarenakan 1 subjek telah terbukti BTA(+) dan 1 subjek lagi tidak melakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF. Total subjek pada penelitiannya menjadi 55 subjek. Data penelitian merupakan data primer yang dilakukan melalui wawancara dengan kuesioner untuk mengenai data pribadi, umur, lama menderita DM, kadar gula darah sewaktu (GDS) terakhir, riwayat TB terdahulu dan keluhan respirasi dan sistemik terkait TB. Data sekunder diambil dari rekam medis yaitu kadar HbA1c, hasil pembacaan foto toraks dan sputum basil tahan asam (BTA) 3x (SPS). Pasien DM dengan keluhan gejala respiratori antara lain batuk ≥ 2 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada serta gejala sistemik antara lain demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan menurun baik pada suspek TB paru kasus baru maupun dengan riwayat pengobatan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan mikroskopis sputum BTA 3x, Xpert MTB/RIF dan GDS terakhir. Data yang diperoleh dilakukan analisis bivariat dan multivariat antara variabel bebas dan terikat. Kriteria inklusi pada penelitian ini ialah semua pasien DM tipe 2 yang diduga menderita TB dengan gambaran foto toraks yang menunjukkan kecurigaan TB, baik kasus baru maupun dengan riwayat pengobatan yang bersedia mengikuti penelitian ini. Kriteria inkulsi yaitu pasien DM tipe 2 dengan keluhan TB dan gambaran foto toraks normal, pasien DM tipe 2 yang 145
Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
mendapat pengobatan DM kurang dari 3 bulan,
Tabel 1. Karakteristik subjek (N=55)
pasien DM tipe 2 yang menderita TB atau TB MDR
Variabel Jenis kelamin
dalam pengobatan OAT, dan pasien DM tipe 2 yang tidak bisa mengeluarkan dahak atau hanya mampu mengeluarkan air liur saja setelah pemeriksaan
Umur
diulang 1 kali.
Indeks massa tubuh (IMT)
HASIL
GDS
Tujuh puluh subjek diskrining dan hanya 55
HbA1c
subjek memenuhi kriteria inklusi. Terdapat 32 lakilaki (58,2%) dan 23 perempuan (41,8%). Umur
Lama DM
antara 25-72 tahun. Indeks massa tubuh kurang 11 (20%), normal 31(56,4%) dan lebih 13(23,6%). Gula
Riwayat TB
darah antara 110-481 mg/dl. Lama menderita DM <5 tahun adalah 40 (72,7%), 5-10 tahun adalah 7(12,7 %), 10-15 tahun adalah 6(10,9%) dan >15 tahun adalah 2(3,6%). HbA1c terkontrol 11(20%) dan tidak terkontrol 44(80 %). Riwayat tidak pernah TB 41 (74,5%), TB sembuh 9(16,4%) dan gagal atau putus obat 5 (9,1%). Sputum BTA(+) 29 (52,7%) dan Xpert MTB/RIF(+) 36(65,5%). Keluhan respirasi TB antara
Batuk Berdahak Batuk Darah Sesak Napas Nyeri dada Badan lemah Nafsu makan menurun Berat badan menurun Keringat malam Demam Foto toraks
lain batuk berdahak 47 subjek (85,5%), sesak napas
Sputum BTA
25 subjek (45,5%), nyeri dada 22 subjek (40%) dan
Xpert MTB/RIF
batuk darah 18 subjek (32,7%).
Laki-laki Perempuan < 40 tahun 40-60 tahun > 60 tahun
N 32 23 8 32 15
% 58,2 41,8 14.5 58.2 27.3
kurang (<19)
11
20,0
normal (19-24) BB lebih (>25) < 200 mg/dL ≥ 200 mg/dL baik (<6.5%) sedang (6.5%-8%) buruk (>8%) < 5 Tahun 5-10 tahun 10-15 tahun > 15 tahun tidak pernah Sembuh gagal/putus obat Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Normal Lesi minimal Lesi luas Positif Negatif Positif Negatif
31 13 23 32 6 14 35 40 7 6 2 41 9 5 47 18 25 22 44 39 45 34 26 0 20 35 29 26 36 19
56,4 23,6 41.8 58.2 10.9 25.5 63.6 72,7 12,7 10,9 3,6 74,5 16,4 9,1 85,5 32,7 45,5 40,0 80,0 70,9 81,8 61,8 47,3 0,0 36.4 63,6 52,7 47,3 65,5 34,5
Sampel penelitian sebanyak 55 subjek
Pada Tabel 1 menunjukkan umur subjek
diuraikan berdasarkan karakteristik subjek yang
terbanyak pada usia 40-60 dengan 32 subjek
selanjutnya dilakukan analisis Chi square yang
(58,2%) diikuti umur >60 tahun sebanyak 15 subjek
menilai hubungan antara karkteristik subjek dan
(27,3%) dan paling sedikit umur <40 tahun sebanyak
diagnosis TB paru. Hasil yang didapatkan bukan
8 subjek (14,5%). Berdasarkan analisis Chi square
TB paru sebanyak 15 subjek, TB paru klinis
(Tabel 2), pada kelompok umur 40-60 tahun memiliki
sebanyak 5 subjek dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/ RIF(+) sebanyak 35 subjek. Karakteristik subjek berdasarkan jenis kelamin terdiri dari laki-laki 32 subjek (58,2%) dan perempuan 23 subjek (41,8%). Berdasarkan analisis Chi square (Tabel 2), diagnosis Bukan TB terbanyak pada perempuan 73,3% (11/15), diagnosis TB paru klinis terbanyak pada laki-laki 80,0% (4/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/ Xpert MTB/RIF(+) terbanyak pada laki-laki 68,6% (24/35). Hasil uji Chi square statistik (p=0,013). 146
bermakna secara
subjek terbanyak pada semua diagnosis TB paru yakni diagnosis Bukan TB 46,7% (7/15), diagnosis TB paru klinis terbanyak sebanyak 100% (5/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 57,1% (20/35). Hasil uji Chi square tidak bermakna secara statistik (p=0,283). Indeks massa tubuh pada Tabel 1 paling banyak adalah normal (19-24) sebanyak 31 subjek (56,4%), diikuti IMT lebih sebanyak 13 subjek (23,6%) dan paling sedikit adalah IMT kurang sebanyak 11 subjek (20%). Berdasarkan uji Chi square, pada kategori IMT normal memiliki subjek terbanyak pada J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
diagnosis Bukan TB sebanyak 53,3% (8/15) dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 65,7% (23/35). Sedangkan diagnosis TB paru klinis terbanyak pada kategori IMT lebih sebanyak 60,0% (3/5). Hasil uji Chi square tidak bermakna secara statistik (p=0,079). Pada Tabel 1 juga memperlihatkan GDS subjek < 200 mg/dL sebanyak 23 subjek (41,8%) dan GDS ≥ 200 mg/dL sebanyak 32 subjek (58,2%). Selanjutnya dilakukan uji Chi square (Tabel 2), pada diagnosis Bukan TB didapatkan subjek terbanyak pada GDS < 200 sebanyak 60,0% (9/15) sedangkan diagnosis TB paru klinis dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/ RIF(+) memiliki subjek terbanyak pada GDS ≥ 200 mg/dl yaitu diagnosis TB paru klinis sebanyak 60,0% (3/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 65,7% (23/35) Uji Chi square menunjukkan hasil tidak bermakna secara statistik (p=0,239). Lama DM paling banyak adalah <5 tahun sebanyak 40 subjek (72,7%) diikuti 5-10 tahun sebanyak 7 subjek (12,7%), 10-15 tahun sebanyak 6 subjek (10,9%) dan paling sedikit >15 tahun sebanyak 2 subjek (3,6%). Berdasarkan uji Chi square (Tabel 2), pada kategori lama menderita DM terhadap diagnosis TB paru didapatkan pada kelompok lama DM <5 tahun memiliki jumlah subjek terbanyak pada masingmasing diagnosis TB paru yaitu untuk diagnosis bukan TB sebanyak 80,0% (12/15) diagnosis TB paru klinis sebanyak 60,0% (3/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+)sebanyak 71,4% (25/35). Uji Chi square menunjukkan hasil tidak bermakna secara statistik (p=0,658). Berdasarkan kadar HbA1c, subjek terbanyak terdapat pada kelompok pengendalian DM buruk (HbA1c >8%) sebanyak 35 subjek (63,6%), pengendalian DM sedang (HbA1c 6,5-8%) sebanyak 14 subjek (25,5%) dan pengendalian DM baik (HbA1c <6,5%) sebanyak 6 subjek (10,9%). Hasil uji Chi square (Tabel 2), didapatkan pada diagnosis bukan TB subjek terbanyak pada kelompok pengendalian DM sedang sebanyak 53,3% (8/15), diagnosis TB paru klinis didapatkan jumlah subjek yang sama antara pengendalian DM sedang dan pengendalian DM buruk sebanyak 40% (2/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) memiliki subjek terbanyak pada pengendalian DM buruk sebanyak 74,3% (26/35) Uji Chi square menunjukkan hasil bermakna secara statistik (p=0,019).
J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
Tabel 2 Karakteristik subjek dengan diagnosis TB paru (N=55)
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Umur <40 tahun 40-60 tahun >60 tahun Status gizi (IMT) kurang (<19), Normal (19-24) lebih (≥ 25) GDS <200 mg/dl ≥200 mg/dl Lama menderita DM <5 tahun 5-10 tahun 10-15 tahun >15 tahun Riwayat TB tidak pernah sembuh gagal/putus obat Kadar HbA1c <6,5 (baik) 6,5-8 (sedang) >8 (buruk) Keluhan Respirasi Batuk dahak >2-3 minggu batuk darah sesak napas nyeri dada, Keluhan sistemik badan lemah nafsu makan menurun penurunan berat badan, keringat malam demam Lesi pada foto toraks lesi minimal lesi luas Sputum BTA (+) BTA (-) Xpert MTB/RIF MTB Positif Negatif Ripamfisin resistensi Positif Negatif
Bukan TB
TB Paru Klinis
N=15 %
N=5 %
TB Paru BTA(+) /Xpert (+) N=35 %
4 11
26,7 4 73,3 1
80,0 20,0
24 11
68,6 31,4
2 7 6
13,3 0 46,7 5 40,0 0
0,0 6 100,0 20 0,0 9
17,1 57,1 25,7
4 8 3
26,7 2 53,3 0 20,0 3
40,0 0,0 60,0
5 23 7
14,3 65,7 20,0
9 6
60,0 2 40,0 3
40,0 60,0
12 23
34,3 65,7
Nilai p 0,013 0,283
0,079
0,239
0,658 12 0 2 1
80,0 0,0 13,3 6,7
3 1 1 0
60,0 20,0 20,0 0,0
25 6 3 1
71,4 17,1 8,6 2,9
12 3 0
80,0 4 20,0 1 0,0 0
80,0 20,0 0,0
25 5 5
71,4 14,3 14,3
0 8
0,0 1 53,3 2
20,0 40,0
5 4
14,3 11,4
7
46,7 2
40,0
26
74,3
14
93,3 3
60,0
30
85,7 0,187
3 7 6
20,0 2 46,7 3 40,0 4
40,0 60,0 80,0
13 15 12
37,1 0,464 42,9 0,767 34,4 0,149
10 9
66,7 3 60,0 4
60,0 80,0
31 26
88,6 0,149 74,3 0,533
12
80,0 4
80,0
29
82,9 0,966
7
46,7 3
60,0
24
68,6 0,343
7
46,7 3
60,0
16
45,7 0,835 0,001
11 4
73,3 0 26,7 5
0,0 9 100,0 25
26,5 73,5
1 14
6,7 0 93,3 5
0,0 28 100,0 7
80,0 20,0
1 14
6,7 0 93,3 5
0,0 35 100,0 0
100 0,0
0 15
0,0 100
0,0 1 100,0 34
2,9 97,1
0,519
0,019
0,000
0,000
0 5
0,748
147
Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
Subjek dengan riwayat TB terdahulu sebanyak
klinis dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/
41 subjek (74,5%) tidak pernah mendapat terapi OAT,
RIF(+) yaitu
diagnosis TB paru sebanyak 100%
9 subjek (16,4%) riwayat sembuh dan 5 subjek (9,1%)
(5/5) dan diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/
dengan riwayat putus obat atau gagal. Pada kategori
RIF(+) 73,5% (25/35). Uji Chi square menunjukkan
riwayat TB terdahulu terbanyak pada kelompok tidak
hasil bermakna secara statistik (p=0,001).
pernah menderita TB. Hasil uji bivariat Chi square
Hasil mikroskopis sputum BTA positif sebanyak
(Tabel 2), memperlihatkan kelompok tidak pernah
29 subjek (52,7%) dan berdasarkan hasil uji Chi
mendapatkan OAT memiliki jumlah subjek terbanyak
square (tabel 4.2), didapatkan pada diagnosis Bukan
pada masing-masing diagnosis TB paru yaitu
TB subjek terbanyak pada BTA(-) sebanyak 93,3%
diagnosis bukan TB sebanyak 80% (12/15), diagnosis
(14/15), sedangkan sputum BTA(+) memiliki subjek
TB paru klinis sebanyak 80% (4/5) dan diagnosis
terbanyak pada diagnosis TB paru klinis dan diagnosis
TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 71,4%
TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) yaitu diagnosis TB
(25/35). Uji Chi square menunjukkan hasil tidak
paru klinis sebanyak 100% (5/5) dan diagnosis TB paru
bermakna secara statistik (p=0,519).
sebanyak 80,0% (28/35). Uji Chi square menunjukkan
Keluhan respirasi TB antara lain batuk
hasil bermakna secara statistik (p=0,000).
berdahak 47 subjek (85,5%), sesak napas 25 subjek
Hasil pemeriksaan Xpert MTB/RIF menun
(45,5%), nyeri dada 22 subjek (40%) dan batuk
jukkan hasil positif sebanyak 36 subjek (65,5%).
darah 18 subjek (32,7%). Pada diagnosis bukan
Terdapat selisih 7 subjek (12,8%) antara sputum
TB, keluhan respirasi terbanyak adalah batuk dahak
BTA dan Xpert MTB/RIF yang menunjukkan hasil
>2-3 minggu sebanyak 93,3% (14/15) sedangkan
positif. Hal ini memperlihatkan bahwa Xpert MTB/
pada diagnosis TB paru klinis didapatkan keluhan
RIF memiliki kepositifan TB lebih tinggi dibandingkan
berupa nyeri dada 80,0% (4/5), sesak napas dan
dengan sputum BTA. Berdasarkan hasil uji Chi
batuk dahak >2-3 minggu masing-masing 60,0%
square (Tabel 2), M.Tb(-) terbanyak pada diagnosis
(3/5). Pada diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/
bukan TB sebanyak 93,3% (14/15) dan M.Tb(+)
RIF(+), keluhan respirasi terbanyak adalah batuk dahak >2-3 minggu sebanyak 85,7% (30/35). Keluhan respirasi tersebut di atas berdasarkan
memiliki jumlah subjek terbanyak pada pada
uji Chi square (Tabel 2), tidak bermakna secara
100,0% (35/35). Uji Chi square menunjukkan hasil
statistik. Sedangkan untuk keluhan sistemik antara
bermakna secara statistik (p=0,000).
diagnosis TB paru klinis sebanyak 100% (15/15) dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) sebanyak
lain penurunan berat badan 45 subjek (81,8%), badan lemah 44 subjek (80%), nafsu makan menurun 39 subjek (70,9%), keringat malam 34
Tabel 3. Uji bivariat chi square HbA1c terhadap lama DM, foto toraks, sputum BTA dan Xpert MTB/RIF. HbA1c
subjek (61,8%) dan demam 26 subjek (47,3%). Hasil uji Chi square memperlihatkan keluhan sistemik
(63,6%) sedangkan lesi minimal sebanyak 20 subjek (36,4%). Berdasarkan uji Chi square (Tabel 2), pada diagnosis Bukan TB subjek terbanyak pada foto toraks lesi minimal sebanyak 73,3% (11/15). Sedangkan untuk foto toraks lesi luas memiliki jumlah subjek terbanyak pada diagnosis TB paru 148
>6,5%
< 10 tahun
6
41
≥ 10 tahun
1
7
lesi minimal
0
20
lesi luas
8
27
Positif
4
25
Negatif
4
22
5
31
3
16
Lama DM
memiliki presentase yang merata pada masingmasing diagnosis seperti yang terlihat pada Tabel 2 dan tidak berhubungan bermakna secara statistik. Pada foto toraks lesi luas sebanyak 35 subjek
≤ 6,5%
0,983
0,032
Foto toraks
Sputum BTA
Nilai p
0,802
Xpert MTB/ RIF Positif Negatif
0,722
*) Uji bivariat chi square signifikan dengan p<0,05
J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
Hasil uji bivariat chi square seperti terlihat
Kelompok kedua adalah ≥ 10 tahun yang
pada Tabel 2 menunjukkan terdapat hubungan
terdiri dari 10-15 tahun dan >15 tahun. Sedangkan
bermakna antara TB paru dengan jenis kelamin
untuk diagnosis TB paru semula 3 kelompok yaitu
(p=0,013), kadar HbA1c (p=0,019), lesi pada foto
Bukan TB paru, TB paru klinis dan TB paru BTA(+)/
toraks (p=0,001), sputum BTA (p=0,000) dan Xpert
Xpert MTB/RIF(+) menjadi 2 kelompok yaitu
MTB/RIF (p=0,000). Selanjutnya berdasarkan hasil
kelompok pertama Bukan TB dan kelompok kedua
uji di atas maka dilakukan kembali pengujian dengan
terdiri dari TB paru klinis dan TB paru BTA(+)/Xpert
uji bivariat chi square dengan kategori HbA1c
MTB/RIF(+). Selanjutnya dilakukan uji analisis
sebagai faktor terikat dan sebagai faktor bebasnya adalah jenis kelamin, foto toraks, sputum BTA dan Xpert MTB/RIF. Uji ini dilakukan untuk mencari hubungan antara tingkat pengendalian DM terhadap karakteristik TB dan alat diagnostik TB paru seperti terlihat pada Tabel 3. Untuk keperluan analisis, kategori HbA1c, diagnosis TB paru dan lama DM dilakukan Hasil penggabungan sel. Kadar HbA1c semula terbagi 3 kelompok yaitu <6,5%, 6,5-8% dan >8% menjadi 2 kelompok yaitu kelompok pertama adalah ≤ 6,5% dan kelompok kedua adalah >6,5% yang terdiri dari kadar HbA1c 6,5-8% dan >8%. Pada kategori lama DM yang semula dibagi dalam 4 kelompok yakni <5 tahun, 5-10 tahun, 10-15 tahun dan >15 tahun menjadi 2 kelompok yakni kelompok pertama adalah < 10 tahun yang terdiri dari <5 tahun dan 5-10 tahun.
Jenis kelamin HbA1c Lesi pada foto toraks Sputum BTA Xpert MTB/RIF
0,006 0,422 0,001 0,001 0,000
OR 0,156 0,405 9,472 0,031 0,010
hubungan antara dua variable dan tingkat probabilitas kejadiannya atau Odds Ratio (OR) pada Tabel 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis kelamin (p=0,006 dan OR: 0,156), lesi pada foto toraks (p=0,001 dan OR: 9,472), sputum BTA (p=0,001 dan OR: 0,031) dan Xpert MTB/RIF (p=0,000 dan OR: 0,010) berhubungan bermakna dengan diagnosis TB paru dan hanya HbA1c (p=0,422 dan OR: 0,405) yang tidak terdapat hubungan yang bermakna dengan diagnosis TB paru. Selanjutnya kedua alat diagnostik tersebut dikelompokan dalam tabel 2x2 (Tabel 5 dan 6). Pada Tabel 5 didapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas sputum BTA pada pasien DM tanpa riwayat pengobatan TB terdahulu yang berjumlah 41 subjek. Berdasarkan perhitungan dari tabel tersebut didapatkan nilai sensitivitas sebesar 76,9% dan nilai spesifisitas sebesar 100%. Pada tabel ini
Tabel 4. Analisis ordinal logistic regression Nilai p
ordinal logistic regression untuk mengukur kembali
95% CI untuk OR Bawah Atas 0,041 0,589 0,045 3,677 2,422 37.051 0,004 0,260 0,001 0,095
juga dapat kita menilai nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif yang menggambarkan kemungkinan seseorang akan menderita atau tidak menderita TB paru pada pasien DM. Hasil yang didapatkan adalah nilai prediksi positif sebesar 100,0% dan nilai prediksi negatif sebesar 71,4%.
*) signifikan dengan p<0,05 Tabel 6. Uji diagnostik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF
Tabel 5. Uji diagnostik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada pasien DM tanpa riwayat TB BTA
Positif Negatif Total
Xpert MTB/RIF Positif Negatif 20 0 6 15 26 15
Total 20 21 41
Sensitivitas = a/(a+c) x 100% = 20/26 x 100% = 76,9% Spesifisitas = d/(b+d) x 100% =15/15 x 100% = 100,0% Nilai prediksi positif= a/ (a+b) x 100% =20/20 x 100% = 100,0% Nilai prediksi negatif= d/(c+d) x 100%= 15/21 x 100% = 71,4%
J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
BTA
Xpert MTB/RIF
Total
Positif
Negatif
Positif Negatif
28 8
1 18
29 26
Total
36
19
55
Sensitivitas = a/(a+c) x 100% = 28/36 x 100% = 77,8% Spesifisitas = d/(b+d) x 100% =18/19 x 100% = 94,7% Nilai prediksi positif= a/ (a+b) x 100% =28/29 x 100% = 96,5% Nilai prediksi negatif= d/(c+d) x 100%= 18/26 x 100% = 69,2%
149
Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
Pada Tabel 6 didapatkan nilai sensitivitas
sedangkan Bukan TB pada perempuan sebanyak
dan spesifisitas sputum BTA dan Xpert MTB/RIF
73,3% (11/15). Hasil analisis menggunakan uji Chi-
pada pasien DM berjumlah 55 subjek. Berdasarkan
square menunjukkan terdapat hubungan bermakna
perhitungan dari tabel tersebut didapatkan nilai
antara jenis kelamin dengan TB paru pada pasien DM
sensitivitas sebesar 77,8% dan nilai spesifisitas
(p=0,013) dan setelah dilakukan uji regresi logistik
sebesar 94,7%. Pada tabel ini juga dapat kita
ternyata terdapat hubungan bermakna antara jenis
menilai nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif
kelamin dengan terjadinya TB paru pada penelitian
yang menggambarkan kemungkinan seseorang
ini p=0,006 dengan OR: 0,156 ;[Interval Kepercayaan
akan menderita atau tidak menderita TB paru pada
(IK) 95% 0,097-0,960]).
pasien DM. Hasil yang didapatkan adalah nilai
Laki-laki
memiliki
frekuensi
lebih
tinggi
prediksi positif sebesar 96,5% dan nilai prediksi
menderita TB paru dibandingkan dengan perempuan
negatif sebesar 69,2%.
yang juga dinyatakan pada penelitian Perez-Guzman
PEMBAHASAN
dkk.13 yang menyatakan sebagian besar pasien TB adalah laki-laki 105 (70%). Hal ini dikarenakan pajanan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
yang lebih sering pada laki-laki dan pada perempuan
sensitivitas dan spesifisitas mikroskopis sputum BTA
TB lebih sering tidak terdiagnosis. Pada penelitian
dan Xpert MTB/RIF untuk diagnosis TB pada pasien
Perez-Guzman dkk.13 menyatakan sebagian besar
DM. Pasien DM yang diduga menderita TB baik
pasien tinggal di desa sekitar 86,7% meskipun banyak
kasus baru maupun dengan riwayat pengobatan di
penelitian menyatakan bahwa kejadian TB paling
poli Paru dan Penyakit Dalam divisi Endokrin dan
sering pada pemukiman padat di perkotaan. Kondisi
Metabolik RSUP Persahabatan berjumlah 55 orang.
perbedaan jenis kelamin mempengaruhi penyebaran
Hasil uji bivariat Chi-square menunjukkan terdapat
suatu masalah kesehatan diantaranya terdapatnya
hubungan bermakna antara TB paru dengan jenis
perbedaan kebiasaan hidup antara perempuan dan
kelamin (p=0,013), kadar HbA1c (p=0,019), lesi
laki-laki.
pada foto toraks (p=0,001), sputum BTA (p=0,000)
Laki-laki penderita DM umumnya dianggap
dan Xpert MTB/RIF (p=0,000). Berdasarkan tabel
lebih berisiko TB dibandingkan perempuan karena
2x2 pada uji diagnostik mikroskopis sputum BTA dan
ada faktor sosial budaya yang ikut untuk menentukan
Xpert MTB/RIF didapatkan nilai sensitivitas 77,8%
jumlah terbanyak pada laki-laki dalam TB paru. Laki-
dan spesifisitas 94,7%.
laki lebih banyak yang merokok daripada perempuan
Karakteristik subjek
sehingga perilaku ini membuat perubahan dalam saluran napas yang berakibat pertahanan alami
Jumlah subjek penelitian yaitu 55 yang terdiri
saluran napas melemah. Selanjutnya terdapat per
dari laki-laki 32 subjek (58,2%) dan perempuan 23
bedaan tingkat kesadaran berobat lebih pada perem
subjek (41,8%). Penelitian Jali dkk.9 juga menyatakan
puan karena memiliki kesadaran yang baik untuk
lebih banyak pada jenis kelamin laki-laki 197 subjek
berobat daripada laki-laki. Hal yang tak kalah pentingnya
(64,2%) dibandingkan perempuan 110 subjek (35,8%).
adalah terdapatnya perbedaan jenis pekerjaan karena
Penelitian Amin dkk.10 dengan jumlah sampel 100
memang laki-laki yang lebih banyak bekerja.10
pasien DM terdapat 54% subjek laki-laki dan 46%
Umur subjek terbanyak pada usia 40-60 dengan
perempuan. Berbeda dengan penelitian Wijayanto
32 subjek (58,2%), diikuti umur >60 tahun sebanyak
dkk.11 dengan jumlah sampel 174 orang terbanyak
15 subjek (27,3%) dan paling sedikit umur <40
perempuan 103 (59,2%) dan laki-laki 71 (40,8%).
tahun sebanyak 8 subjek (14,5%). Hasil yang
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki terbanyak
sama didapatkan dari penelitian oleh Ullah dkk.14
pada diagnosis TB paru klinis 80,0% (4/5) dan
memiliki sampel dari umur 17 sampai 80 tahun
TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 68,6% (24/35) 150
J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
dengan jumlah subjek terbanyak umur 41-50 tahun
penelitian Wijayanto dkk.11 IMT subjek didapatkan
sebanyak 31 subjek (31%), diikuti usia 51-60 tahun
paling banyak 83 orang berat badan normal (47,7%),
sebanyak 25 subjek (25%) dan sampel terkecil umur
berat badan lebih pada 53 orang (30,5 %) diikuti
21-30 tahun hanya 3 subjek (3%). Sedangkan dari
dengan
penelitian Wijayanto dkk.
menyatakan kategori
Hasil yang hampir sama didapatkan pada penelitian
umur terbanyak >60 tahun 86 subjek (49,4%) diikuti
Amare H dkk15 mendapatkan hasil IMT rendah
40-60 tahun 80 subjek (46,0%) dan umur pasien <40 tahun sebanyak 8 subjek (4,6%). Kelompok umur 40-60 tahun terbanyak pada
sebanyak 30 (13,3%), IMT normal 141(62,7%) dan
Diagnosis bukan TB 46,7% (7/15), TB paru klinis
BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 65,7% (23/35) sedangkan
100% (5/5) dan TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+)
TB paru klinis didapatkan pada kategori IMT berat
57,1% (20/35). Hasil analisis statistik dengan uji
badan lebih sebanyak 60,0% (3/5).
11
berat badan kurang 38 orang (21,8%).
IMT lebih 54(24%). Kategori IMT normal terbanyak pada Diagnosis bukan TB 53,3% (8/15) dan TB paru
Chi-square menunjukkan tidak terdapat hubungan
Hasil analisis menggunakan uji Chi-square
antara umur dengan TB paru (p=0,283). Penelitian
menunjukkan tidak terdapat hubungan antara IMT
Alisjahbana dkk.7 menyatakan DM didiagnosis pada
dengan TB paru pada pasien DM tipe 2 (p<0.079).
14,8% pasien dengan TB dan berhubungan dengan
Hasil ini berbeda dari penelitian Wijayanto dkk11
usia yang lebih tua dan berat badan yang lebih besar.
yang menyatakan terdapat hubungan antara IMT
Menurut Ullah dkk.14 menyatakan kelompok usia
dengan TB paru pada pasien DM tipe 2 (p<0.001)
40 tahun ke atas memiliki risiko meningkat untuk
dengan aOR 10,15 ;[95% CI 2,595-39,7]). Penelitian
mengalami DM dan TB paru. Pada penelitian tersebut
tentang TB dikaitkan dengan malnutrisi dan DM di
dinyatakan bahwa umur tidak memberikan pengaruh
Indonesia oleh Alisjahbana dkk.7 menyatakan DM
pada penderita DM terhadap risiko TB paru.
dengan TB berhubungan dengan berat badan yang
Umur termasuk variabel yang penting dalam kaitannya dengan daya tahan tubuh seseorang.
lebih besar. Malnutrisi juga bisa akibat dari penyakit TB atau mendahului perkembangan TB. Indeks massa tubuh memiliki interaksi erat
Sedangkan daya tahan tubuh terhadap TB paru
antara energi metabolisme dan sistem kekebalan
ditentukan oleh kemampuan sistem imunitas seluler dan setiap ada faktor yang mempengaruhinya secara negatif akan meningkatkan kerentanan terhadap
tubuh. Keduanya terlibat dalam efek relatif spesifik
TB paru. Pada penderita DM terdapat kondisi
(prevalensi infeksi dan risiko perkembangan infeksi
hiperglikemia akan dapat menjadi predisposisi
TB aktif karena tergantung usia) dan secara tidak
kerusakan pada fungsi monosit-makrofag. Proses
langsung melalui dampaknya pada IMT dan DM
penuaan dapat menyebabkan terjadinya perubahan
sebagai faktor risiko. Dampak yang kuat pada
pada sistem pernapasan yang mengakibatkan
kejadian TB per kapita di India adalah penurunan
penurunan fungsi paru berupa: penurunan kekuatan
IMT antara laki-laki yang tinggal di daerah pedesaan.
dan kekakuan pada otot pernapasan, menurunnya
Apakah penurunan IMT antara laki-laki pedesaan
aktivitas silia, berkurangnya elastisitas paru dan
bertepatan dengan kenaikan DM tidak diketahui
reflek batuk juga akan menurun. Kondisi umur
karena tidak ada survei telah mengukur tren di IMT
tua dan DM yang keduanya akan bersama-sama memperlemah sistem pertahanan tubuh.7
dan DM pada populasi pedesaan yang sama.17
mempelajari suatu masalah kesehatan karena ada
Indeks massa tubuh paling banyak adalah
paru pada kontrol DM dan IMT. Secara khusus, perubahan kejadian TB dengan usia secara langsung
Kadar HbA1c
IMT normal sebanyak 31 subjek (56,4%) diikuti IMT
Secara berurutan kadar HbA1c dari terbanyak
lebih 13 subjek (23,6%) dan paling sedikit adalah
adalah nilai >8% sebanyak 35 (63,6%), nilai 6,5-8%
IMT kurang sebanyak 11 subjek (20%). Pada
sebanyak 14 (25,5%) dan nilai <6,5% sebanyak 6
J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
151
Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
(10,9%). Diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+)
dapat dipergunakan untuk mengetahui kualitas dari
terbanyak pada kadar HbA1c >8% (pengendalian
kontrol gula darah. Kemampuannya adalah mampu
DM buruk) sebanyak 74,3% (26/35). Hasil analisis
mendeteksi kadar gula darah dalam rentang 2-3
menggunakan uji Chi-square menunjukkan terdapat
bulan, uji ini tidak perlu puasa sehingga cukup
hubungan bermakna antara kadar HbA1c dengan
nyaman dan tingkat realibilitasnya dapat diandalkan
TB paru pada pasien DM (p=0,019). Namun setelah
karena hasilnya yang cukup konsisten. Penderita
dilakukan uji regresi logistik ternyata tidak terdapat
DM yang kurang terkontrol dengan kadar HbA1c
hubungan yang bermakna antara HbA1c dengan
tinggi dapat menyebabkan TB menjadi lebih parah
terjadinya TB paru (p=0,309 dengan OR 0,316;[IK
dan berhubungan dengan mortalitas yang lebih
95% 0,034-2,915]).
tinggi. Derajat hiperglikemia juga berperan dalam
Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian
fungsi mikrobisida makrofag. Pada gula darah
Wijayanto dkk. menunjukkan kadar HbA1c terbanyak
> 200 mg/dl secara signifikan menekan fungsi
adalah >8% sebanyak 68 subjek (39,1%), diikuti 6,5-
oksidatif makrofag. Glikolisis non enzimatik protein
8% sebanyak 59 subjek (33,9%) dan paling sedikit
menginduksi terjadinya gangguan mukosilier atau
<6,5% sebanyak 47 subjek (27%). Terdapat hubungan
menyebabkan neuropati otonom diabetik sehingga
antara kadar HbA1c dengan TB paru pada pasien
terjadi abnormalitas tonus basal saluran napas.20
11
DM (p<0.001). Pada uji bivariat Chi-square dengan variabel terikat HbA1c dan variabel bebasnya adalah
Lama menderita DM
jenis kelamin, lesi pada foto toraks, sputum BTA dan
Rentang lama menderita DM adalah 1 tahun
Xpert MTB/RIF didapatkan hanya Xpert MTB/RIF yang
sampai 26 tahun dengan rata-rata 4,6 tahun. Lama
memiliki hubungan yang bermakna dengan HbA1c
DM paling banyak adalah <5 tahun sebanyak 40
(p=0,049). Hasil ini menunjukkan tingkat kepositivan
subjek (72,7%) diikuti 5-10 tahun sebanyak 7 subjek
pemeriksaan Xpert MTB/RIF terkait dengan tingkat
(12,7%), 10-15 tahun sebanyak 6 subjek (10,9%) dan
kadar HbA1c dan terbukti pada Tabel 3 kadar HbA1c
paling sedikit >15 tahun sebanyak 2 subjek (3,6%).
di atas 8% memiliki jumlah subjek terbanyak.
Hasil penelitian ini serupa dengan subjek penelitian
Penelitian oleh Park dkk.18 memiliki HbA1c ≥7,0
Amare dkk.15 dengan kategori lama menderita DM
sebanyak 74 subjek (59,7%), HbA1c <7,0 sebanyak
≤5 tahun 132 subjek (58,6%), 6-10 tahun 61 subjek
25 subjek (20,2%) dan tidak terdapat data HbA1c
(27,1%) dan >10 tahun 32 subjek (14,2%). Subjek
pada 25 subjek (20,2%). Pada berbagai penelitian
penelitian yang menderita DM <5 tahun terbanyak
sebagian besar pengelolaan DM tidak mencapai
dengan diagnosis bukan TB sebanyak 80,0%
target terapi yakni DM terkontrol. Tujuan utama terapi
(12/15), TB paru klinis 60,0% (3/5) dan TB paru BTA
DM adalah untuk mencapai kontrol metabolik yang
(+)/Xpert MTB/RIF(+) 71,4% (25/35). Tidak terdapat
baik sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi
hubungan antara lama menderita DM dengan TB
jangka panjang. Peningkatan risiko TB paru BTA(+)
paru (p=0.658).
telah dibuktikan pada kadar HbA1c lebih dari 7%.19
Hasil ini berbeda dengan penelitan Wijayanto
Tamura dkk.19 menyimpulkan bahwa pada pasien
dkk.11 yang menyatakan terdapat hubungan antara
yang menderita DM dengan HbA1c > 9,0% memiliki
lama menderita DM dengan TB paru (p=0.011) dan
proporsi kasus BTA positif lebih tinggi dan periode
aOR 23,136 pada kategori lama DM kurang dari 1
sampai kultur konversi negatif lebih lama dari pada
tahun (p<0,001 [95% CI: 4,654-11]). Zhao dkk.21 di
pasien yang menderita DM dengan HbA1c < 9,0%.
Cina menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
Uji HbA1c merupakan suatu cara yang
antara lama menderita DM dengan terjadinya
paling baik untuk mengetahui tingkat kontrol DM.
TB paru. Diabetes melitus dan TB sering muncul
Kadar HbA1c berubah secara perlahan sehingga
secara bersamaan sehingga ini yang menjelaskan
152
J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
mengapa hasil penelitian ini menunjukkan pasien
batuk dahak >2-3 minggu sebanyak 93,3% (14/15)
yang menderita DM <5 tahun sudah terdiagnosis
sedangkan pada TB paru klinis ditemukan keluhan
TB. Durasi menderita DM memainkan peran penting
nyeri dada 80,0% (4/5), sesak napas dan batuk
dalam pengembangan komplikasi DM kronik yang
dahak >2-3 minggu masing-masing 60,0% (3/5)
dapat mengubah fisiologi sistem pernapasan.
dan batuk darah 2 subjek (40,0%) serta diagnosis
Neuropati otonom diabetik dapat menyebabkan
TB paru BTA (+)/Xpert MTB/RIF (+) dengan keluhan
suara saluran napas basal abnormal akibat perubahan
batuk dahak 85,7% (30/35). Sedangkan keluhan
jalur vagal yang menyebabkan penurunan reaktivitas
sistemik memiliki presentase yang merata pada
bronkial dan bronkodilatasi. Hal inilah yang memainkan terjadinya infeksi saluran pernapasan termasuk TB
masing-masing diagnosis. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara keluhan TB pada pasien DM. Pada sebagian besar negara berpendapatan
pada pasien DM.22 Terdapat peningkatan penyakit
rendah,
TB paru pada pasien yang telah menderita DM lebih
(termasuk DM) yang mendapat perawatan di layanan
dari 10 tahun. Hal ini tentu merupakan akibat kelainan
kesehatan tersier dengan tenaga kesehatan yang tidak
pada imunitas cell-mediated dan fungsi fagosit
cukup terlatih dalam mendiagnosis dan pengobatan
berhubungan dengan hiperglikemia, sebagaimana
TB. Anamnesis yang baik dan pemeriksaan klinis
juga berkurangnya vaskularisasi sekunder terhadap
menyeluruh dapat membantu menegakan diagnosis
DM jangka panjang sehingga individu lebih rentan
TB paru terutama pada populasi dengan status sosial
diserang oleh infeksi TB paru. Semakin lama seseorang
ekonomi rendah seperti yang pernah dilaporkan dari
menderita DM maka semakin besar peluang untuk mendapatkan TB paru.16
berbagai penelitian. Hal ini terkait gejala yang tidak
peran penting dalam meningkatkan risiko lebih tinggi
dengan
kondisi
imunosupresi
khas pada pasien TB dan DM. Penelitian ini tidak mengkaitkan antara status sosial ekonomi dengan
Keluhan pasien Pada
pasien
angka kejadian TB paru pada pasien DM. Semua
penelitian
ini
didapatkan
keluhan
penderita DM memerlukan pemeriksaan medis yang
respirasi TB antara lain batuk berdahak 47 subjek 22 subjek (40%) dan batuk darah 18 subjek (32,7%).
teratur dan pemeriksaan foto toraks tiap dua tahun sekali. Pemeriksaan ini harus dilakukan lebih ketat pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun atau
Keluhan sistemik antara lain penurunan berat badan
dengan berat badan kurang dari 10% dari berat
45 subjek (81,8%), badan lemah 44 subjek (80%),
badan ideal. Setiap pasien DM dengan keluhan
nafsu makan menurun 39 subjek (70,9%), keringat
batuk tiba-tiba, kehilangan berat badan, kelainan
malam 34 subjek (61,8%) dan demam 26 subjek
pada foto toraks atau peingkatan dosis insulin
(47,3%). Wijayanto dkk. menyatakan keluhan batuk
untuk mengkontrol glukosa darah, harus dilakukan
>2 minggu pada 57 subjek (35,6%), sesak napas
penapisan untuk penyakit TB.14
(85,5%), sesak napas 25 subjek (45,5%), nyeri dada
11
pada 42 subjek (24,1%), nyeri dada pada 7 subjek (4%) dan batuk bercampur darah pada 16 subjek (9.2%). Sedangkan penurunan berat badan pada 62 (35,6%) dan demam pada 30 subjek (17.2%).
Lesi pada foto toraks Pada foto toraks lesi luas sebanyak 35 subjek (63,6%) sedangkan lesi minimal sebanyak 20 subjek
menyatakan demam sebagai
(36,4%). Lesi luas terbanyak pada diagnosis TB
gejala yang paling utama (93%) diikuti batuk (45%),
paru klinis sebanyak 5 subjek (100,0%) sedangkan
penurunan berat badan (32%), batuk berdahak (29%)
lesi minimal terbanyak pada diagnosis bukan TB
dan keringat malam (15%). Park dkk.
sebanyak 11 subjek (73,3%) dan setelah dilakukan uji regresi logistik ternyata terdapat hubungan antara
Ullah dkk.
14
18
menyatakan
bahwa tidak terdapat perbedaan gejala antara pasien TB yang menderita DM dan non-DM. Keluhan respirasi terbanyak pada diagnosis Bukan TB adalah J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
lesi pada foto toraks dengan terjadinya TB paru pada penelitian ini (p=0,033 dengan OR 3,531 ;[95% CI: 153
Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
1,104-11,288]). Hasil ini berbeda dengan berbeda
penting dalam mendiagnosis TB paru. Selain itu,
dengan penelitian Wijayanto dkk. yang menemukan
jangka waktu yang lebih pengobatan TB paru berarti
foto toraks normal pada 106 subjek (60.9%), lesi
prognosis yang lebih baik di antara pasien tersebut.26
11
minimal sebanyak 21 (12,1%), lesi luas sebanyak 30 subjek (17,2%), kavitas sebanyak 16 subjek (9,2%) dan efusi pleura sebanyak 1 subjek (0,6%). Gambaran foto toraks TB dan DM memiliki pola radiologi khusus yang terdiri dari konfluen, kavitas dan lesi berbentuk baji menyebar dari hilus menuju tepi terutama di zona yang lebih rendah.20 Peneliti lain juga mencatat bahwa pasien TB-DM memiliki ukuran lesi yang lebih besar, kavitas dan efusi pleura TB. Pada penelitian Tullt’k dkk. menemukan 23
24
bahwa terdapat perbedaan gambaran foto toraks antara pasien DM dan non-DM yang terdiagnosis TB. Pasien DM memiliki kavitas lebih banyak (p=0.008), tetapi tidak terdapat perbedaan pada jumlah lobus dan lokasi yang terlibat.18 Tanda radiologi TB paru lebih jelas pada penderita DM. Pada pasien TB paru tanpa DM, kavitas kurang umum seiring dengan bertambahnya umur sedangkan pada penderita DM pada semua usia, frekuensi kavitasnya tinggi dengan keterlibatan lapangan paru lobus bawah.25 Pedoman
Perhimpunan
Dokter
Paru
Indonesia (PDPI) menyatakan lesi di foto toraks dibagi menjadi dua kategori yaitu lesi minimal dan lesi luas. Dikatakan lesi minimal bila proses penyakit mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dari iga kedua dan prosessus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas. Dikatakan lesi luas bila lesi lebih dari lesi minimal atau terdapat kavitas. Pada pasien TB yang dilakukan foto toraks maka didapatkan lesi yang meggambarkan luasnya penyakit. Lesi yang sangat luas akan menimbulkan sekuele berupa fibrotik, kalsifikasi, atelektasis, bronkiektasis, open healed cavity dan bahkan luruh paru atau destroyed lung, meskipun pasien sudah sembuh secara klinis maupun bakteriologis. Luas lesi akan berpengaruh pada akhir terapi. TB paru memiliki dampak yang signifikan dan didominasi pada pasien laki-laki dengan DM. Temuan lesi pada foto toraks adalah
154
Sputum BTA Hasil mikroskopis sputum BTA(+) sebanyak 29 subjek (52,7%). Sputum BTA(+) terbanyak pada diagnosis TB paru BTA(+)/Xpert MTB/RIF (+) didapatkan pada 80,0% (28/35) dan sputum BTA(-) terbanyak pada diagnosis TB paru klinis sebanyak 100,0% (5/5). Hasil ini berbeda dengan penelitian Wijayanto dkk.11 mendapatkan hasil pemeriksaan BTA(+) pada 37 subjek (21.8%) dan BTA(-) pada 59 subjek (33,3%). Hasil uji Chi-square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara sputum BTA dengan TB paru pada pasien DM (p=0,013) dan dilakukan uji regresi logistik menyatakan terdapat hubungan antara sputum BTA dengan terjadinya TB paru pada penelitian ini (p=0,000 dengan OR 0,013 [95% CI: 0,001-0,116]). Hubungan antara TB paru dan DM sudah sangat lama sekali dikarenakan DM adalah pre disposisi reaktivasi TB paru atau DM disebabkan oleh TB paru karena resistensi insulin. Pada sejumlah kecil kasus, dahak yang dikeluarkan kurang karena penyakit minimal atau karena ketidakmampuan untuk batuk mengeluarkan dahak. Hal Ini juga menyebabkan DM sangat tidak terkendali, lebih rentan terhadap perkembangan TB paru.6 Dalam sebuah penelitian di Mumbai, India, TB merupakan penyakit yang paling umum di antara penderita DM komplikasi (5,9%) dalam studi kohort besar lebih dari 8000 pasien dengan DM mellitus.24 Kim dkk.24 menunjukkan bahwa proporsi yang lebih tinggi TB paru terbukti secara bakteriologi pada pasien DM dibandingkan pasien non-DM. Mereka menemukan bahwa risiko relatif pembuktian TB paru secara bakteriologis adalah 5.15 jika dibandingkan dengan non DM. Sebaliknya, Bacakogolu dkk.28 menemukan bahwa pasien DM lebih sedikit hasil BTA positif dibandingkan dengan non DM.
J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
Xpert MTB/RIF Hasil pemeriksaan Xpert MTB/RIF(+) sebanyak 36 subjek (65,5%) dan Xpert MTB/RIF(-) sebanyak 19 subjek (34,5%). Pada pemeriksaan Xpert MTB/RIF diperoleh M.Tb(+) pada diagnosis TB paru BTA(+)/ Xpert MTB/RIF (+) sebanyak 100,0% (35/35) dan M.Tb(-) pada diagnosis bukan TB paru sebanyak 93,3% (14/15). Hasil analisis menggunakan uji Chisquare menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara Xpert MTB/RIF dengan TB paru pada pasien DM (p=0,013) dan setelah dilakukan uji regresi logistik ternyata terdapat hubungan antara Xpert MTB/RIF dengan terjadinya TB paru pada penelitian ini (p=0,000 dengan OR 0,050 [IK 95%0,007-0,338]). Nilai kepositifan pada sputum BTA (52,7%) dan Xpert MTB/RIF (65,5%) terdapat selisih sebanyak 7 pasien dengan selisih presentase sebesar 12,8%, yang menunjukkan bahwa pemeriksaan Xpert MTB/ RIF memiliki nilai kepositifan lebih tinggi dalam mendeteksi M.Tb. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF adalah suatu alat diagnostik molekuler yang mampu mendeteksi kuman M.Tb dalam jumlah koloni sedikit. Sebuah studi in vitro menunjukkan batas deteksi sedikitnya 131 colony-forming units (CFU) M.Tb dibandingkan dengan 10.000 CFU sputum konvensional. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF ini cepat hanya membutuhkan waktu kurang dari 2 jam.29 Selisih kepositivan antara sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada penelitian ini dijumpai terbanyak pada perempuan 71% (5/7), usia 40-60 tahun 57% (4/7), IMT kurus 43% (3/7), lama menderita DM < 10 tahun 57% (4/7), GDS ≥200 mg/dl 71% (5/7), HbA1c ≥6,5 sebanyak 86% (6/7) dan lesi minimal foto toraks 71% (5/7). Pada tahun 2010, WHO mendukung Xpert MTB/RIF sebagai uji pengganti mikroskopis pada pasien yang diduga TB terkait HIV atau TB kebal obat. Dukungan ini menandai pergeseran dalam diagnosis TB. Sputum BTA telah menjadi landasan diagnosis TB selama satu abad tetapi tidak memiliki kepekaan terhadap pasien HIV dan tidak memberikan informasi tentang resistensi obat. Kultur sputum lebih sensitif tapi membutuhkan waktu yang lama. Pemeriksaan
J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
sputum BTA ini mudah dilakukan dan sangat murah dan dikombinasikan dengan foto toraks telah digu nakan untuk waktu yang lama. Namun pengujian memiliki masalah pada pasien dengan penurunan daya tahan seperti pada HIV positif, diabetes dan anak-anak dengan jumlah bakteri rendah dalam sputum. Xpert MTB/RIF memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk mendeteksi penyakit TB paru.29 Uji diagnostik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF Penelitian ini didesain khusus untuk uji diagnostik maka pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pasien DM tanpa riwayat pengobatan TB yang berjumlah 41 subjek yang selanjutnya dikelompokkan dalam tabel 2x2. Hasil perhitungan dari tabel tersebut didapatkan nilai sensitivitas sebesar 76,9%, nilai spesifisitas sebesar 100%, nilai prediksi positif sebesar 100,0% dan nilai prediksi negatif sebesar 71,4% (Tabel 5). Hasil di atas menunjukkan pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam menilai TB pada pasien DM. Nilai prediksi positif di atas menunjukkan probabilitas seseorang menderita TB pada pasien DM apabila hasil uji diagnostiknya positif adalah 100,0% dan nilai prediksi negatif di atas menunjukkan probabilitas seseorang tidak menderita TB paru pada pasien DM apabila hasil uji diagnostiknya negatif adalah 71,4%. Hasil yang didapat pada Tabel 6 yang menilai uji diagnostik pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF terhadap pasien DM dengan dan tanpa riwayat TB menunjukkan hasil yang sama. Hasil perhitungan didapatkan sensitivitas 77,8%, spesifisitas 94,7%, nilai prediksi positif 96,5% dan nilai prediksi negatif 69,2%. Nilai sensitivitas dan spesifisitas juga memiliki nilai tinggi. Pemeriksaan antara sputum BTA dan Xpert MTB/RIF terhadap semua pasien DM memiliki kekuatan yang sama. Penelitian Hakeem dkk.30 melakukan penilaian pemeriksaan sputum BTA dan Xpert MTB/RIF ter hadap pasien dengan tanpa riwayat OAT dan dengan
riwayat OAT tanpa disebutkan penyakit
penyertanya. Hasilnya adalah pada kelompok yang 155
Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
memiliki riwayat OAT memiliki sensitivitas 96% dan
patho genesis, management and relation ship to
spesifisitasnya 100%. Sedangkan pada kelompok
glycaemic control. Diabetes Metab Res Rev. 2007;
tanpa riwayat OAT didapatkan nilai sensitivitasnya
23:3–13.
91% dan spesifisitasnya 100%. Hal ini menunjukkan
5. Kornum JB, Thomsen RW, Riis A, Lervang HH,
bahwa pemeriksaan Xpert MTB/RIF lebih sensitif
Schønheyder HC,Sørensen
dan spesifik dan juga membantu kita untuk tidak
glycemic control and risk of hospitalization with
secara gegabah memberikan OAT. Berdasarkan
pneumonia: a population-based case-control
uji diagnostik di atas maka hipotesis awal yang
study. Diabetes Care.2008;31:1541–5.
menyatakan
tidak
ada
perbedaan
HT. Diabetes,
sensitivitas
6. Pablos-Méndez A, Blustein J, Knirsch CA. The
dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopis sputum
role of diabetes mellitus in the higher prevalence
BTA dan Xpert MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada pasien DM adalah diterima.
of tuberculosis among Hispanics. Am J Public Health.1997;87:574–9. 7. Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa
KESIMPULAN
AM, Ahmad Y, Ottenhoff TH, Nelwan RH, Parwati
Pada penelitian ini didapatkan bahwa peme
I, van der Meer JW, van Crevel R. The effect
riksaan Xpert MTB/RIF memiliki nilai kepositivan
of type 2 diabetes mellitus on the presentation
yang lebih tinggi dalam mendeteksi M.Tb apabila
and treatment response of pulmonary tuber
dibandingkan dengan pemeriksaan sputum BTA. Nilai
culosis. Clin Infect Dis. 2007;45:428–35.
sensitivitas mikroskopis sputum BTA dan Xpert MTB/
8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kese
RIF pada pasien DM tanpa riwayat pengobatan TB,
hatan Kementerian RI. Riset kesehatan dasar
didapatkan sebesar 76,9% dengan nilai spesifivitas
2013.p.254.
sebesar 100,0%. Uji diagnostik mikroskopis sputum
9. Jali MV, Mahishale VK, Hiremath MB. Bidirectional
BTA dan Xpert MTB/RIF terhadap semua pasien DM
screening of tuberculosis patients for diabetes
dengan riwayat TB dan tanpa riwayat TB, didapatkan
mellitus and diabetes patients for tuberculosis.
nilai sensitivitas 77,8% dan spesifisitas 94,7%.
Diabetes Metab J. 2013;37:291-5.
Tidak ada perbedaan sensitivitas dan spesifisitas
10. Amin S, Khattak MI, Shabbier G, Wazir MN.
pemeriksaan mikroskopis sputum BTA dan Xpert
Frequency of pulmonary tuberculosis in patient
MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada
with diabetes mellitus. Gomal Journal of Medical
pasien DM.
Sciences. 2011;9:163-5. 11. Wijayanto A, Burhan E, Nawas A, Rochsismandoko.
DAFTAR PUSTAKA
Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya
1. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global
Tuberkulosis Paru Pada Pasien Diabetes Melitus
pre valence of diabetes: estimates for the
Tipe 2 di RSUP Persahabatan. Tesis Departemen
year 2000 and projections for 2030. Diabetes
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
Care. 2004;27:1047–53.
FKUI, Jakarta;2013.
2. Creswell J, Raviglione M, Ottmani S. Tuberculosis and
non communicable
diseases:
Thomsen V.O, Sorensen H.T et.al Diabetes,
links and missed opportunities. Eur Respir J.
Glycemic Control, and Risk of Tuberculosis. Diabetes
2011;37:1269–82.
Care. 2011;34:2530-35.
3. Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus: convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9:737–46. 4. Peleg
AY,
Weerarathna
T,
McCarthy
JS,
Davis TME. Common infections in dia be tes: 156
12. Leegaard L.E, Riis A, Kornum A, Prahl J.B,
neglected
13. Pe’rez-Guzma’n C, Vargas MH, Torres-Cruz A. Diabetes modifies the male:female ratio in pulmonary tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 2003;7:354-8.
J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
Sukara Safril Kusuma Jaya: Uji Banding Pemeriksaan Mikroskopis Sputum BTA dan Xpert MTB/RIF pada Pasien Diabetes Mellitus yang Diduga Tuberkulosis Paru
14. Ullah H, Iqbal Z, Ullah Z, Mahboob A, Rehman
21. Zhao W, Shi L, Fonseca, He J, Shao D, Zhao J,
M. Frequency of pulmonary tuberculosis in
Chen QM, Yin A, Screening Patients With Type 2
patients presenting with Diabetes. [Online]. 2013
Diabetes for Active Tuberculosis in Communities
[Cited 2014 January 5]. Available from: http://
of China. Diabetes care. 2013;36:159-60.
www.researchgate.net/publication/257061676_
22. Koziel H, Koziel MJ. Pulmonary complications
Frequency_of_pulmonar y tuberculosis in patients
of DM mellitus, pneumonia.Infect Dis Clin North
presenting with diabetes?ev=pubfeed inst.
Am. 1995;9:65-96.
15. Amare H, Gelaw A, Anagaw B, Gelaw B. Smear positive pulmonary tuberculosis among diabetic patients at the Dessie referral hospital, Northeast
23. Perkumpulan Endokrin Indonesia. Konsensus Pengelolaan
dan
Pencegahan
Diabetes
MelitusTipe 2 di Indonesia. Jakarta, 2011.
Poverty.
24. Tullt’k JA. Diabetes mellitus in the tropics.
16. Tyerdal A.Body mass index and incidence of
26. Umeki S, Soejima R, Hara Y. Age-dependent
Ethiopia.
Infectious
Diseases
of
2013;2:2-6. tuberculosis. Eur J Respir Dis. 1986;69:355-62. 17. Khan M. The dual burden of overweight and underweight in developing countries. Washington DC: Population Reference Bureau.2006 18. Park SW, Shin Jw, Kim JY, Park IW, Choi BW, Choi JC, et al. The effect of diabetic control status on the clinical features of pulmonary tuberculosis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2012;31:1305-10. 19. Tamura M, Shirayama R, Kasahara R. A study on relation between active pulmonary tuberculosis and underlying diseases. Kekkaku. 2001;76:619-24. 20. Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: an appraisal. Indian J. Tuberc. 2000;47:3-8.
J Respir Indo Vol. 35 No. 3 Juli 2015
London: E & S Livingstone; 1962.p.131. altera tions in clinical features of pulmonary tuberculosis. Kekkau. 1992;67:9-18. 27. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta, 2011. 28. Kim SJ, Hong YP, Lew WJ, Yang SC, Lee EG. Incidence of pulmonary tuberculosis among diabetics. Tuberc Lung Dis. 1995;76:529-33. 29. Bacakoglu F, Basoglu OO, Cok G, Sayiner A, Ates M. Pulmonary tuberculosis in patients with DM mellitus. Respiration. 2001;68:595-600. 30. Boehme CC, Nabeta P, Hillemann D. Rapid molecular detection of tuberculosis and rifampin resistance. N Engl J Med. 2010;363:1005-15.
157