Tinjauan Pustaka
Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus
Alius Cahyadi*, Venty** *Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Atma Jaya/ Rumah Sakit Atma Jaya, Jakarta **Dokter umum di Jakarta
Abstrak: Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko tersering pada pasien tuberkulosis (TB) paru. Saat ini, prevalensi terjadinya TB paru meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi pasien DM. Patofisiologi yang terjadi pada pasien DM turut mempengaruhi patogenesis terjadinya TB paru di mana pada pasien DM terjadi defek pada fungsi sel-sel imun. Manifestasi klinis TB paru yang terjadi tidak berbeda bermakna pada pasien DM dengan yang tidak DM, hanya saja gejala klinik yang timbul pada pasien DM dapat lebih banyak. Prinsip pengobatan TB paru pada pasien DM serupa dengan yang tidak DM. Namun, perlu diperhatikan adanya interaksi dan efek samping obat antara obat antituberkulosis dan obat oral untuk DM, misalnya antara rifampisin dengan obat golongan sulfonilurea. Kata kunci: Diabetes Mellitus, tuberkulosis paru, antituberkulosis
Pulmonary Tuberculosis in Diabetes Mellitus Patients Alius Cahyadi,* Venty** *Department of Internal Medicine Medical Faculty of UNIKA Atma Jaya/Atma Jaya Hospital, Jakarta ** General Physician in Jakarta
Abstract: Diabetes mellitus (DM) is one of the most often risk factors for patient with pulmonary tuberculosis (TB). Nowadays, the prevalence of pulmonary TB increases along with the increase of DM patients. Pathophysiology in DM patient influence the pathogenesis of pulmonary TB whom DM patients have functional defects in cellular immune system. The clinical manifestation of pulmonary TB is not significantly different in a patient with or without DM, but the clinical symptoms are more appeared in a patient with DM. Treatment for pulmonary TB in DM patients is similar with the patient without DM. However, it is important to detect drug interactions and adverse events between tuberculostatic drugs and oral antidiabetic drugs, for instance rifampicin and sulfonylurea. Keywords: Diabetes mellitus, pulmonary tuberculosis, tuberculostatic drugs
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011
173
Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus Pendahuluan Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang menginfeksi manusia. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang, tidak membentuk spora, bersifat aerob dan tahan asam. TB umumnya terjadi pada paru, tetapi dapat pula menyerang organ lain pada sepertiga kasus. Walaupun telah mendapat pengobatan TB yang efektif, penyakit ini tetap menginfeksi hampir sepertiga populasi dunia, dan setiap tahunnya menimbulkan penyakit pada sekitar 8,8 juta orang, serta membunuh 1,6 juta pasiennya. Indonesia masih menempati posisi ke 5 di dunia untuk jumlah kasus TB.1-3 Di Indonesia penyakit ini adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. Meskipun keberhasilan strategi dalam mengontrol kasus TB cukup tinggi, keberadaan TB di berbagai belahan dunia menunjukkan kebutuhan untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang meningkatkan risiko terjadinya TB, antara lain usia dan imunitas.1-3 Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko paling penting dalam terjadinya perburukan TB. Sejak permulaan abad ke 20, para klinisi telah mengamati adanya hubungan antara DM dengan TB, meskipun masih sulit untuk ditentukan apakah DM yang mendahului TB atau TB yang menimbulkan manifestasi klinis DM.2,4 Istilah DM menggambarkan suatu kelainan metabolik dengan berbagai etiologi yang ditandai oleh hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, sebagai akibat defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.5 DM dapat meningkatkan frekuensi maupun tingkat keparahan suatu infeksi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam imunitas yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan hiperglikemia, termasuk berkurangnya vaskularisasi.2 Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi DM, terutama DM tipe II. Hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup, meningkatnya obesitas, dan berkurangnya aktivitas yang umumnya terjadi pada negaranegara yang mulai mengalami industrialisasi. Peningkatan prevalensi DM, sebagai faktor risiko TB juga disertai dengan peningkatan prevalensi TB. Para ahli mulai memberi perhatian pada epidemi DM dan TB, terutama pada negara-negara berpenghasilan rendah-menengah, seperti Cina dan India yang mengalami peningkatan prevalensi DM tercepat dan memiliki beban TB tertinggi di dunia.2 Peningkatan kasus TB pada pasien DM juga terjadi di Indonesia. Cukup banyak pasien DM yang mengalami TB dan hal tersebut meningkatkan morbiditas maupun mortalitas TB maupun DM. Dengan demikian penting untuk diketahui lebih lanjut epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, 174
maupun pengobatan kasus TB yang terjadi pada pasien DM. Epidemiologi Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM. Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan kontrol yang non-diabetes.4,6 Dalam studi terbaru di Taiwan disebutkan bahwa diabetes merupakan komorbid dasar tersering pada pasien TB yang telah dikonfirmasi dengan kultur, terjadi pada sekitar 21,5% pasien.7 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Alisjahbana et al8 di Indonesia pada tahun 2001-2005, DM lebih banyak ditemukan pada pasien baru TB paru dibandingkan dengan non TB. Patogenesis Tuberkulosis Penularan TB umumnya terjadi melalui droplet, yang dikeluarkan dengan cara batuk, bersin, atau percikan ludah orang terinfeksi TB paru. Droplet ini dapat bertahan di udara dalam waktu beberapa jam. Diameter droplet yang sangat kecil (<5-10 µm) menyebabkan droplet tersebut dapat mencapai jalan napas terminal jika terhirup dan membentuk sarang pneumonia, yang dikenal sebagai sarang primer atau afek primer.1,3 Dari sarang primer dapat terjadi peradangan saluran getah bening (limfangitis lokal) yang diikuti pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional membentuk kompleks primer. Kompleks primer ini dapat sembuh tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrotik atau kalsifikasi, ataupun menyebar secara perkontinuitatum, bronkogen, limfogen, maupun hematogen. Kejadian tersebut merupakan perjalanan tuberkulosis primer.1,3 Tuberkulosis pasca primer terjadi bertahun-tahun setelah tuberkulosis primer. Bentuk tuberkulosis ini menjadi masalah kesehatan karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis pasca primer diawali dengan pembentukkan sarang dini (sarang pneumonia), umumnya di segmen apikal lobus superior maupun inferior.1,3 Sarang pneumonia tersebut dapat diresorbsi dan sembuh tanpa cacat, meluas dan menyembuh dengan fibrotik dan perkapuran, atau meluas dan mengalami nekrosis kaseosa membentuk kavitas. Kavitas tersebut dapat meluas dan membentuk sarang pneumonia baru, membentuk tuberkuloma, atau menyembuh membentuk kavitas terbuka yang sembuh.1,3 Baik imunitas alamiah maupun imunitas adaptif berperan dalam mekanisme defensi terhadap M. tuberculosis. Imunitas alamiah yang diawali oleh ikatan antara M. tuberculosis dengan reseptor fagosit dan masuknya M. tuberculosis ke dalam makrofag alveolar, sel dendrit, maupun monosit, merupakan kunci untuk terbentuknya imunitas adaptif terhadap M. tuberculosis. Imunitas adaptif berupa imunitas J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011
Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus yang diperantarai oleh sel, akan menimbulkan resistensi terhadap M. tuberculosis dan menyebabkan terbentuknya hipersensitivitas terhadap antigen TB. Imunitas alamiah dan imunitas adaptif tersebut akan menentukan hasil akhir dari paparan terhadap M. Tuberculosis.9 Terdapat tiga kemungkinan hasil akhir paparan M. tuberkulosis. Pada beberapa orang, kuman TB ini langsung segera dieliminasi oleh pejamu setelah inhalasi. Frekuensi dan penyebab dari penyembuhan spontan tidak diketahui dengan pasti. Kemungkinan kedua dan kelompok terbesar ialah bertahannya infeksi melalui keberhasilan pembentukan granuloma, sebuah fungsi respon imun alamiah dan adaptif yang kuat oleh pejamu dan menghasilkan infeksi laten. Pada kelompok ini, reaktivasi dari infeksi laten dapat terjadi akibat beberapa faktor, seperti penuaan atau status imunokompromais dari pejamu. Pada sejumlah kecil pejamu yang terinfeksi, imunitas adaptif gagal dan terbentuklah infeksi primer.9 Rangkaian interaksi antara makrofag dengan kuman TB dan peran makrofag sebagai respons pejamu diawali dengan ikatan M. tuberculosis pada permukaan makrofag, kemudian dilanjutkan dengan fusi fagosom-lisosom, hambatan pertumbuhan kuman TB, perekrutan sel imun tambahan untuk respons inflamasi lokal, dan presentasi antigen kepada sel T untuk perkembangan imunitas adaptif.1,9-11 Fagositosis M. tuberculosis oleh makrofag alveolar yang belum teraktivasi merupakan peristiwa pertama yang terjadi dalam hubungan pejamu dengan patogen, yang akan menentukan hasil akhir terjadinya infeksi. M. tuberculosis masuk ke dalam makrofag alveolar dengan cara endositosis. Terjadinya endositosis tersebut diperantarai oleh sejumlah reseptor yang terdapat di permukaan makrofag. Reseptor komplemen (CR1, CR2, CR3, dan CR4), reseptor mannosa (MR), dan molekul reseptor yang lain (CD14, scavenger receptor) memainkan peranan penting dalam terjadinya ikatan antara kuman dengan fagosit. Sejumlah sitokin mempengaruhi ekspresi dari reseptor permukaan sel tersebut. Prostaglandin E2 (PGE2) dan interleukin (IL)-4 meningkatkan ekspresi reseptor komplemen dan reseptor mannosa, sedangkan interferon-γ (IFN-γ) menurunkan ekspresi reseptor dan menyebabkan berkurangnya kemampuan mikobakteria untuk melekat pada makrofag. 1,9-11 Stadium awal TB primer ditandai oleh proliferasi M. tuberculosis di dalam makrofag alveolar. Proliferasi ini pada akhirnya dapat menyebabkan lisis makrofag. Lisisnya makrofag melepaskan berbagai kemoatraktan, seperti komplemen, molekul bakteri, dan sitokin yang merekrut dan mengaktivasi lebih banyak makrofag imatur, termasuk sel dendrit. Makrofag-makrofag tersebut kemudian bermigrasi ke dalam aliran limfatik dan mempresentasikan antigen M. tuberculosis pada limfosit T, dengan perantara MHC kelas II. Pada saat ini, pembentukan imunitas yang diperantarai sel dimulai.1,9-11 Reseptor menyerupai Toll (TLR) juga diperkirakan J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011
memiliki peranan dalam pembentukan imunitas adaptif terhadap M. tuberculosis. Akibat utama dari interaksi antara TLR pada makrofag dan sel dendrit dengan M. tuberculosis adalah terjadinya sekresi sitokin dan kemokin. Sitokin dan kemokin ini selanjutnya bertanggung jawab dalam pembentukan respon imun adaptif terhadap M. tuberculosis. 1,9-11 Limfosit T CD4 merupakan sel yang memainkan peran paling penting dalam respon imun adaptif terhadap M. tuberculosis. Apoptosis atau lisis sel-sel yang terinfeksi oleh sel T CD4 juga dapat memainkan peranan dalam mengontrol infeksi. Limfosit T CD4 ini akan berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2, yang memproduksi sitokin. Pada saat ini, dikenal tiga jenis sitokin yang menginduksi perubahan sel T menjadi Th1. Ketiga jenis sitokin tersebut adalah IL-12, yang merupakan sitokin yang dominan dalam induksi dan pemeliharaan Th1; IL-23, yang memiliki aktivitas pada sel T memori; dan IL-27, yang terlibat dalam inisiasi Th1. 1,9-11 Th1 memproduksi IFN-γ dan IL-2, sedangkan Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, IL-13, dan berperan pada timbulnya imunitas humoral. Namun, hingga saat ini peran sel Th2 pada TB masih kontroversial. 1,9-11 Limfosit T CD8 juga memiliki peranan dalam proteksi terhadap TB. Sel CD8 juga memiliki kemampuan untuk mensekresi sitokin, seperti IFN-γ dan IL-4, dan berperan dalam meregulasi keseimbangan sel Th1 dan Th2 pada paru pasien dengan TB paru. 1,9-11 Sel Th1 matur, baik di paru maupun di nodus limfatik, menghasilkan IFN-γ. IFN-γ merupakan molekul efektor penting yang menyebabkan makrofag mampu menahan infeksi M. tuberculosis. Sitokin ini dapat meningkatkan presentasi antigen, sehingga merekrut lebih banyak limfosit T CD4 dan atau limfosit T sitotoksik yang akan berpartisipasi pada pembunuhan M. tuberculosis. 1,9-11 IFN-γ juga menstimulasi pembentukan fagolisosom pada makrofag yang terinfeksi dan memaparkan kuman pada suatu lingkungan yang sangat asam. Selain itu, IFN-γ menstimulasi ekspresi dari inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang menghasikan nitric oxide (NO). NO menyebabkan timbulnya reactive nitrogen intermediates dan radikal bebas lainnya yang mampu menyebabkan destruksi oksidatif pada bagianbagian kuman, mulai dari dinding sel hingga DNA. 1,9-11 Selain menstimulasi makrofag untuk membunuh M. tuberculosis, respons Th juga merancang pembentukan granuloma dan nekrosis kaseosa. Makrofag teraktivasi, yang distimulasi oleh IFN-γ, memproduksi tumor necrosis factor β (TNFα), yang merekrut monosit. Monosit-monosit ini berdiferensiasi menjadi histiosit epiteloid, yang merupakan gambaran respon granulomatosa. Pada sebagian orang, respon ini tidak menimbulkan destruksi jaringan yang signifikan maupun penyakit. Akan tetapi pada sebagian orang yang lain, infeksi bersifat progresif menyebabkan destruksi jaringan melalui nekrosis kaseosa dan kavitasi. Progresivitas infeksi ini berkaitan dengan umur dan imunosupresi. Di samping itu, TNFα juga berperanan dalam 175
Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus menginduksi terbentuknya reactive nitrogen intermediates dan terjadinya apoptosis makrofag yang terinfeksi, sehingga mengurangi jumlah kuman.1,9-11 Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada pengidap diabetes dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat sejumlah hipotesis mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia terhadap TB. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang pada pasien DM, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang buruk.2 Meningkatnya risiko TB pada pasien DM diperkirakan disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit T. Wang et al.11 mengemukakan adanya peningkatan jumlah makrofag alveolar matur (makrofag alveolar hipodens) pada pasien TB paru aktif. Namun, tidak ditemukan perbedaan jumlah limfosit T yang signifikan antara pasien TB dengan DM dan pasien TB saja. Proporsi makrofag alveolar matur yang lebih rendah pada pasien TB yang disertai DM, seperti yang ditemukan dalam penelitian ini, dianggap bertanggungjawab terhadap lebih hebatnya perluasan TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB dengan DM. Pada percobaan eksperimental yang dilakukan Stalenhoef et al.11 pada plasma darah manusia didapatkan bahwa tidak ada perbedaan produksi sitokin antara pasien TB dengan atau tanpa DM. Jika pasien dengan DM tipe 2 dibandingkan dengan kontrol yang sehat, produksi IFN-γ spesifik M. tuberculosis sama saja, tetapi produksi IFN-γ yang non-spesifik berkurang secara signifikan pada kelompok DM. Diduga bahwa berkurangnya IFN-γ yang non-spesifik tersebut menunjukkan adanya defek pada respon imun alamiah yang berperan pada meningkatnya risiko pasien DM untuk mengalami TB aktif. Meskipun demikian, mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih perlu ditelusuri lebih lanjut.11 Manifestasi Klinis Bacakoðlu et al.12 melakukan penelitian untuk melihat apakah diabetes mellitus mempengaruhi manifestasi klinis dan radiologis tuberkulosis pada pejamu non-imunokompromais dan untuk melihat keterlibatan lapangan paru bawah. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa DM tidak memengaruhi gejala, hasil bakteriologi, reaktivitas tuberkulin, dan lokalisasi infiltrat pada gambaran radiografi. Pada pasien DM yang lebih tua dari 40 tahun dan berjenis kelamin wanita didapatkan adanya keterlibatan lapangan paru bawah yang secara statistik berbeda secara bermakna dibandingkan dengan yang tidak DM.12 Pada penelitian Wang et al.6didapatkan bahwa pasien DM dengan TB paru menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi terhadap demam, hemoptisis, pewarnaan sputum BTA yang positif, lesi konsolidasi, kavitasi, dan lapangan paru bawah, 176
serta angka kematian yang lebih tinggi.6 Penelitian lain yang dilakukan oleh Alisjahbana et al.13 menemukan adanya beberapa perbedaan manifestasi klinik pada pasien TB yang juga menderita DM dan pasien TB tanpa DM. Pada pasien TB yang juga DM ditemukan gejala klinis yang lebih banyak dan keadaan umum yang lebih buruk (menggunakan indeks Karnofsky). Penjelasan detail mengenai penelitian ini dapat dibaca di referensi no 13. Tetapi hasil penelitian tersebut juga tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Pada penelitian itu juga didapatkan pengaruh negatif dari DM terhadap hasil akhir pengobatan antituberkulosis. DM secara signifikan berkaitan dengan kultur sputum yang masih positif setelah enam bulan pengobatan.13 Berdasarkan ketiga penelitian di atas tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan manifestasi klinis antara pasien TB yang menderita DM maupun pasien TB tanpa DM. Dengan demikian pada pasien TB yang juga menderita DM dapat ditemukan gejala, seperti batuk, batuk berdarah, sesak nafas, demam, keringat malam, dan penurunan berat badan, namun gejala cenderung lebih banyak dan keadaan umum lebih buruk. Sedangkan gambaran hasil pemeriksaan darah, radiologi, dan bakteriologi tidak menunjukkan perbedaan. Diagnosis Secara klinis, berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM, baik keluhan klasik maupun keluhan tambahan. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan tambahan lainnya berupa lemah badan, kesemutan, gatal, pandangan kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.14 Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, bila keluhan klasik ditemukan dan pemeriksaan glukosa darah puasa >126 mg/ dL, maka pasien dapat didiagnosis DM. Ketiga, dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Berdasarkan standar WHO, tes tersebut dilakukan setelah pasien puasa minimal delapan jam lalu diberikan beban glukosa 75 g yang dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam lima menit. Bila pemeriksaan glukosa darah setelah dua jam pemberian glukosa ini >200 mg/dL, maka diagnosa DM dapat ditegakkan.14 Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinis yang dapat timbul, antara lain demam dan keringat malam, penurunan berat badan, batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas yang melemah, dan rhonki basah. J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011
Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus Diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru biakan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan pencitraan radiologi, pemeriksaan BACTEC, PCR (Polymerase Chain Reaction), ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay), ICT (Immunochromatographic Tuberculosis), Mycodot, PAP (Peroksidase Anti Peroksidase), dan IgG TB.3,15 Tatalaksana Pada masa belum diterapkannya terapi insulin, sebagian besar pasien DM akan meninggal karena TB paru bila mereka berhasil bertahan dari koma diabetes. Setelah diperkenalkan terapi insulin pada tahun 1922, TB masih tetap menjadi ancaman yang serius dan mematikan pada pasien DM. Namun, dengan pengobatan anti-TB yang efektif, prognosisnya akan jauh lebih baik. Prinsip pengobatan TB paru pada pasien DM serupa dengan yang bukan pasien DM, dengan syarat kadar gula darah terkontrol. Prinsip pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT) dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif yang berlangsung selama 2-3 bulan dan dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4-6 bulan. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan pengobatan TB paru pada pasien DM, salah satunya adalah kontrol kadar gula darah dan efek samping OAT. Obat lini pertama yang biasa digunakan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambuto,dan streptomicin.3,13,15 Dosis harian isoniazid ialah 4-6 mg/kg berat badan (BB)/ hari dengan dosis maksimal 300 mg. Efek samping ringan dapat berupa gejala-gejala pada saraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki, dan nyeri otot. Keadaan ini terkait dengan terjadinya defisiensi piridoxin (Vit B6) sehingga dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 10 mg/ hari atau dengan vitamin B kompleks. Kelainan akibat defisiensi piridoksin dapat berupa sindrom pellagra. Efek samping berat yang dapat terjadi berupa hepatitis imbas obat yang t timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, OAT yang bersifat hepatotoksik (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid) dihentikan dan pengobatan TB dilanjutkan sesuai pedoman pengobatan TB pada keadaan khusus.3,13 Obat lini pertama selanjutnya adalah rifampisin dengan dosis hariannya 8-12 mg/kg BB/hari dan dosis maksimal 600 mg. Efek samping ringan yang didapat berupa sindrom flu (misalnya demam, menggigil, nyeri tulang), sindrom perut (sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, diare), dan sindrom kulit (gatal-gatal). Efek samping berat rifampisin dapat berupa hepatitis imbas obat, sesak nafas, dan bila terjadi salah satu gejala sepeti purpura, anemia hemolitik, syok, gagal ginjal, maka pengobatan dengan rifampisin harus segera dihentikan dan tidak diberikan lagi walaupun gejala telah menghilang. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada urin, J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011
keringat, air mata, air liur. Hal itu terjadi karena metabolit obat dan hal ini tidak berbahaya. Keadaan yang perlu diperhatikan ialah pemberian rifampisin pada pasien DM yang menggunakan obat oral antidiabetes, khususnya sulfonilurea karena dapat mengurangi efektivitas obat tersebut dengan cara meningkatkan metabolisme sulfonilurea. Sehingga pada pasien DM, pemberian sulfonilurea harus dengan dosis yang ditingkatkan.3,13 Saat ini penulis belum dapat menemukan literatur yang menjelaskan cara meningkatkan dosis sulfonilurea pada kasus ini. Sementara itu, pirazinamid sebagai antituberkulosis dapat diberikan dengan dosis harian: 20-30 mg/kg BB/hari. Efek samping utama obat ini ialah hepatitis imbas obat. Dapat pula terjadi nyeri akibat serangan arthritis gout yang disebabkan oleh penimbunan asam urat. Bila hal ini terjadi maka perlu dimonitor karena bila kadar asam urat terlalu tinggi mungkin obat perlu diganti. Dapat juga terjadi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.3,13 Etambutol diberikan pada pasien TB dengan dosis harian 15-20 mg/kg BB/hari. Antituberkulosis ini dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, serta buta warna hijau dan merah. Gangguan penglihatan akan kembali normal beberapa minggu setelah obat dihentikan. Penggunaan etambutol pada pasien DM harus hati-hati karena efek sampingnya terhadap mata, padahal pasien DM sering mengalami komplikasi penyakit berupa kelainan pada mata. 3.13 Streptomisin sebagai antituberkulosis diberikan pada dosis harian 15-18 mg/kg BB/hari dan dengan dosis maksimal: 1000 mg. Efek samping utama adalah kerusakan nervus VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Gejalanya adalah telinga mendenging, vertigo, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 25 mg dari dosis total yang diberikan. Jika pengobatan streptomisin diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan akan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Efek samping ringan lainnya yang dapat terjadi demam, sakit kepala, muntah, eritema pada kulit, dan kesemutan sekitar mulut. Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin.3,13 Obat-obat ini dapat diberikan dalam bentuk terpisah ataupun dalam bentuk kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination/FDC), kecuali streptomisin. Jenis kombinasi dan lama pengobatan TB paru tergantung dari kasus TB paru yang diderita pasien dan disesuaikan dengan kategori pengobatan TB.3 Berbagai bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa efikasi rifampisin tergantung pada paparan terhadap obat dan konsentrasi maksimum obat yang dapat dicapai. Menurut Nijland,13 kadar plasma rifampisin pada pasien TB dengan DM hanya 50% dari kadar rifampisin pasien TB tanpa DM. 177
Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus Begitu pula pasien TB dengan DM, konsentrasi plasma maksimal rifampisin di atas target (8 mg/L) hanya ditemukan pada 6% pasien, sedangkan pada yang bukan DM ditemukan pada 47% pasien. Hal ini mungkin dapat menjelaskan respon pengobatan yang lebih rendah pada pasien TB dengan DM. Namun, studi tambahan lain yang menjelaskan respon pengetahun lebih rendah pada TB dengan DM ini tetap diperlukan. Untuk mengontrol kadar gula darah dilakukan pengobatan sesuai standar pengobatan DM yang dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu. Bila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat oral anti diabetes dan atau dengan suntikan insulin. Namun dalam pemberian obat oral anti diabetes pada kasus ini harus diperhatikan adanya interaksi dengan obat anti tuberkulosis.14 Ringkasan DM merupakan salah satu faktor risiko terpenting dalam hal terjadinya perburukan TB paru. Peningkatan prevalensi DM di Indonesia disertai dengan peningkatan prevalensi TB paru. Peningkatan prevalensi ini cenderung lebih tinggi seiring dengan bertambahnya usia. Dalam hal manifestasi klinis, tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara pasien TB paru yang juga menderita DM dengan yang tidak DM, hanya saja gejala yang muncul cenderung lebih banyak dan keadaan umum lebih buruk pada yang menderita DM. Namun dari gambaran radiologi dan bakteriologi, kedua jenis pasien dnegan TB ini tidak ada yang lebih buruk dibandingkan satu sama lain. Prinsip pengobatan DM pada TB atau non TB tidak berbeda, tetapi harus diperhatikan adanya efek samping dan interaksi antara antituberkulosis dan obat oral untuk DM. Pengontrolan gula darah yang baik merupakan hal terpenting dan utama yang harus diperhatikan demi keberhasilan pengobatan TB paru pada pasien DM. Daftar Pustaka 1.
178
Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. penyunting. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-17. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008.h.100620.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9. 10. 11.
12.
13.
14.
15.
Jeon CY, Murray MB. Diabetes mellitus increases the risk of active tuberculosis: a systematic review of 13 observational studies. PLoS Med [serial internet]. 2008 [sitasi 15 Juli 2008];5(7): 11p. Diunduh dari: http://www.plosmedicine.org. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006. Yamashiro S, Kawakami K, Uezu K, Kinjo T, Miyagi K, Nakamura K, et al. Lower expression of Th1-related cytokines and inducible nitric oxide synthase in mice with streptozotocin-induced diabetes mellitus infected with mycobacterium tuberculosis. Clin Exp Immunol. 2005;139:57-64. Department of Noncummunicable Disease Surveillance. Definition, Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications: Report of a WHO Consultation. Geneva: World Health Organization; 1999. Wang CS, Yang CJ, Chen HC, Chuang SH, Chong IW, Hwang JJ, et al. Impact of type 2 diabetes on manifestations and treatment outcome of pulmonary tuberculosis. Epidemiol Infect. 2009;137:203-10. Dooley KE, Tang T, Golub JE, Dorman SE, Cronin W. Impact of diabetes mellitus on treatment outcomes of patients with active tuberculosis. Am J Trop Med Hyg. 2009;80(4):634-9. Alisjahbana B, van Crevel R, Sahiratmadja E, den Heijer M, Maya A, Istriana E, et al. Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis in indonesia. Int J Tuberc Lung Dis. 2006; 10(6):696-700. Bhatt K, Salgame P. Host innate immune response to Mycobacterium tuberculosis. J Clin Immunol. 2007;27(4):347-62. Raja A. Immunology of tuberculosis. Indian J Med Res. 2004;120:213-32. Stalenhoef JE, Alisjahbana B, Nelwan EJ, van der Ven-Jongekrijg, Ottenhoff THM, van der Meer JWM, et al. The role of interferon gamma in the increased tuberculosis risk in type 2 diabetes mellitus. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2008;27:97-103. Bacakoðlu F, Baþoðlu ÕK, Çok G, Sayiner A, Ateº M. Pulmonary tuberculosis in patients with diabetes mellitus. Respiration. 2001;68:595-600. Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa AM, Ahmad Y, Ottenhoff THM, dkk. The effect of type 2 diabetes mellitus on the presentation and treatment response of pulmonary tuberculosis. J Clin Infect Dis. 2007;45:428-35. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta: PB PERKENI; 2006. Kritski A, de Melo FAF. Tuberculosis in adults. Dalam: Palomino JC, Leão SC, Ritacco V, penyunting. Tuberculosis 2007: From Basic Science to Patient Care. Edisi ke-1. Brazil; 2007.h.487524. KN
J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011