Hubungan antara Attachment Ibu-Anak, Attachment Ayah-Anak, dan SelfEsteem pada Remaja Akhir Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, Mita Aswanti Tjakrawiralaksana Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Salah satu hal yang dapat mempengaruhi remaja akhir dalam memenuhi tugas perkembangannya adalah self-esteem. Self-esteem dapat dipengaruhi oleh attachment orangtua-anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara attachment ibu-anak, attachment ayah-anak, dan self-esteem remaja akhir di Kota Depok. Penelitian ini dilakukan terhadap 104 remaja akhir di Kota Depok berusia 18-21 tahun. Attachment ibu-anak dan attachment ayah-anak diukur dengan Inventory of Parent and Peer AttachmentRevised (IPPA-R) yang dibuat oleh Armsden dan Greenberg pada tahun 2009. Sementara self-esteem diukur menggunakan kuesioner Rosenberg Self-Esteem Scale yang dibuat oleh Rosenberg (1965) yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan mengukur satu dimensi, yaitu global self-esteem. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa attachment ibu-anak memiliki hubungan positif yang signifikan dengan selfesteem remaja akhir Kota Depok (r=0,204: l.o.s. 0,05) dan attachment ayah-anak tidak memiliki hubungan dengan self-esteem remaja akhir Kota Depok (r=0,068; l.o.s. 0,05). Kata kunci: attachment ibu, attachment ayah, self-esteem, remaja akhir.
Relationship between Mother-Child Attachment, Father-Child Attachment, and Self-Esteem in Late Adolescence
Abstract One of the things that can affect the late adolescence to fulfill their tasks of development is self-esteem. Self-esteem can be influenced by the relationship between parent and child. One of that relationship is a parentchild attachment. The purpose of this study is to understand the correlation between mother-child attachment, father-child attachment, and self-esteem in late adolesence in Depok. The sample of this study consist of 104 late adolescence (18-21 years old) in Depok. Mother-child attachment and father-child attachment measured by Inventory of Parent and Peer Attachment-Revised (IPPA-R) which is created by Armsden and Greenberg on 2009. Whereas, self-esteem is measured by Rosenberg’s Self-Esteem Scale and measuring one dimension of self-esteem (global self-esteem). Result of this study showed that mother-child attachment correlates significantly with self-esteem in late adolescence in Depok (r=0,204: l.o.s. 0,05) and father-child attachment has no correlation with self esteem in late adolescence in Depok (r=0,068; l.o.s. 0,05). Keywords: mother attachment, father attachment, self-esteem, late adolescence
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
Pendahuluan Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang tidak bisa dihindari dalam perkembangan manusia. Menurut Monks, Knoers, dan Haditono (2006), masa remaja terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir. Masa remaja awal dimulai pada usia 12 hingga 15 tahun, masa remaja tengah 15 hingga 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 hingga 21 tahun. Masa remaja memiliki tantangan dalam perkembangnnya. Menurut Eccless dan Gootman (nd, dalam Zarred & Eccless, 2006) tugas perkembangan remaja adalah mulai meninggalkan ketergantungan terhadap orangtua, memiliki peran baru dalam konsteks sosial dan seksual, memiliki hubungan yang intim dengan pasangan, merencakan masa depan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai rencana tersebut, dan memperoleh kemampuan serta nilai-nilai untuk mencapai transisi yang sukses menuju masa dewasa (termasuk dalam hal pekerjaan, memiliki pasangan, parenting, dan kehidupan sebagai warga negara). Lebih lanjut pada masa remaja akhir, tantangan utama yang dihadapi adalah mengatur pemenuhan tugas-tugas perkembangan tersebut. Terkait dengan salah satu tugas perkembangan remaja akhir di atas, dalam penelitian yang dilakukan oleh Trzesniewski (2006, dalam Shaffer & Kipp, 2010) disebutkan bahwa remaja yang memiliki self-esteem rendah akan memiliki prospek ekonomi yang buruk ketika ia berada di usia pertengahan 20 tahun, padahal di usia tersebut diharapkan seseorang sudah memiliki kemandirian dalam perekonomiannya karena pada usia tersebut seseorang sudah mulai membangun keluarga sendiri. Seperti yang terjadi di Indonesia, rata-rata usia pernikahan perempuan adalah 22-23 tahun, dan laki-laki 25-26 tahun (Susenas 1992-2005). Buruknya prospek ekonomi yang telah dijabarkan sebelumnya dapat disebabkan oleh karakteristik yang ada pada orang
dengan self-esteem rendah, yaitu berusaha untuk
melindungi diri dan fokus untuk tidak membuat kesalahan, sehingga mereka tidak berani mengambil risiko (Guindon, 2010). Cobb (1995) menyatakan bahwa hubungan dengan orangtua memberikan dasar untuk self-esteem seseorang. Salah satu bentuk dasar hubungan orangtua dan anak yang memiliki hubungan dengan self-esteem adalah attachment. Penelitian yang dilakukan oleh Laumi dan Adiyanti (2012) menyatakan bahwa attachment dengan ibu, ayah, dan teman sebaya secara signifikan memprediksi self-esteem. Penelitian lain yang dilakukan Paterson (1993) menunjukkan bahwa attachment remaja dengan orangtuanya memberikan efek yang lebih
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
besar pada self-esteem remaja dibandingkan dengan attachment remaja dengan teman sebayanya. Dengan adanya kedua hasil penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa self-esteem memiliki hubungan dengan attachment anak dan orangtua. Dalam penelitian longitudinal selama 20 tahun yang dilakukan oleh Waters, Merric, Treboux, Crowell, & Albersheim (2000) tentang attachment menunjukkan bahwa ikatan ini cenderung menetap dan stabil sepanjang waktu. Pada umumnya ikatan ini dikaitkan dengan figur ibu, padahal menurut Bowlby (1958, dalam Benware, 2013), seorang anak juga dapat membentuk attachment selain dengan sosok ibu, terutama dengan sosok ayah. Menurut Hardy dan Batten (2007, dalam Shaffer dan Kipp, 2010) ayah juga sebenarnya merasakan hal positif yang sama dengan seorang ibu ketika bayi mereka lahir.. Pada penelitian ini, peneliti menjadikan Kota Depok sebagai lokasi pengambilan data. Hal itu didasarkan pada ciri khas yang terdapat pada kota Depok sendiri, yaitu Kota Depok sebagai pusat pemerintahan yang berbatasan langsung dengan wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan merupakan wilayah penyangga ibu kota negara yang diarahkan untuk kota pemukiman dan kota pendidikan (depok.go.id). Berkaitan dengan wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Jakarta, mayoritas warga Depok bekerja di luar Kota Depok seperti Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. (Sinatala, 2005). Dengan demikian, besar kemungkinan para orangtua memiliki waktu yang terbatas untuk berinteraksi dengan anaknya dan memiliki pengaruh terhadap hubungan orangtua dan anak. Selain itu, di Kota Depok sendiri terdapat berbagai universitas di antaranya Universitas Indonesia, Politeknik Negeri Jakarta, Universitas Gunadarma, dan Bina Sarana Informatika. Jumlah universitas yang cukup banyak di Kota Depok membuat kota ini banyak terdapat mahasiswa yang sedang berada pada tahap perkembangan remaja akhir. Banyak dari mereka yang tinggal terpisah dari orangtuanya dikarenakan mereka berasal dari luar kota Depok, bahkan dari luar Pulau Jawa yang membuat mereka tidak memiliki banyak kesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan orangtua. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan apakah terdapat hubungan antara attachment ibu-anak, attachment ayah-anak dan self-esteem remaja akhir di Kota Depok.
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
Tinjauan Teoritis Attachment merupakan konstruk yang digagas oleh John Bowlby mengenai hubungan antara bayi dengan pengasuhnya Bowlby (1969, dalam Colin, 1996) memberi definisi mengenai attachment, yaitu ikatan afektif yang bertahan lama, ditandai dengan adanya kecenderungan untuk mencari dan mempertahankan kedekatan kepada figur tertentu, terutama ketika berada di bawah tekanan. Dengan kata lain, attachment adalah ikatan emosional yang kuat dan bertahan lama yang dibangun antara seseorang dengan figur tertentu. Ikatan ini mulai dibentuk oleh bayi dengan pengasuhnya dan cenderung menetap sepanjang kehidupan seseorang. Dalam hal itu, pengasuh dapat berarti orangtua maupun orang lain yang menjadi pengasuh bayi dan biasa disebut sebagai significant others. Pada umumnya, anak membentuk attachment dengan figur ibu, akan tetapi mereka juga dapat membentuk attachment dengan figur selain ibu, terutama dengan ayah (Bowlby, 1958, dalam Benware, 2013). Mengacu pada teori yang dikemukakan Bowlby (1969) mengenai attachment, Armsden dan Greenberg (1987) membuat tiga dimensi dari kualitas attachment, yaitu komunikasi (communication), kepercayaan (trust) dan keterasingan (alienation). Ketiga dimensi ini menjadi dasar dalam alat ukur Inventory of Parent and Peer Attachment yang dibuat oleh Armsden dan Greenberg pada tahun 1987. Menurut Gulone dan Robinson (2005), dimensi komunikasi mengukur kualitas dari komunikasi dalam attachment. Kualitas komunikasi yang baik akan menimbulkan ikatan yang kuat antara individu dengan figur attachment. Contohnya adalah ketika seseorang bisa menyampaikan apa yang menjadi masalah dan kesulitannya kepada ibu atau ayahnya. Dimensi kepercayaan mengukur kepercayaan seseorang bahwa figur attachment mengerti dan menghargai keinginan dan kebutuhannya serta persepsi bahwa mereka peka dan responsif pada keadaan emosional individu tersebut. Dimensi ini mengukur tingkat rasa saling pengertian dan saling menghormati dalam sebuah attachment. Contohnya adalah ketika seseorang merasa bahwa ibu atau ayahnya bisa menghargai perasaannya. Dimensi keterasingan mengukur kemarahan pada figur attachment. Selain mengukur kemarahan, dimensi ini juga mengukur keterasingan dalam hubungan interpersonal seseorang. Keterasingan ini dibentuk oleh anak ketika orangtua mereka tidak bisa diandalkan ketika mereka membutuhkannya. Contohnya adalah ketika seseorang merasa kesal dengan ibu atau ayahnya dan ketika ia merasa bahwa ia tidak mendapat perhatian dari ibu atau ayahnya. Dalam kualitas attachment ini, bentuk attachment
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
yang baik adalah ketika seseorang memiliki kualitas komunikasi dan kepercayaan yang tinggi. Sementara keterasingan harus berada dalam taraf rendah. Hal itu dikarenakan dimensi keterasingan berisikan hal yang negatif terhadap figur attachment. Colin (1996) menjelaskan bahwa pada masa remaja, hubungan dengan teman sebaya adalah hal yang sangat penting, tetapi attachment dengan orangtua tetap menjadi sumber utama rasa aman bagi remaja. Meskipun teman adalah figur yang dianggap bisa memperkaya hidup seseorang, tetapi mereka bukanlah attachment figures. Remaja yang berasal dari keluarga yang berfungsi dengan baik masih tetap menjadikan orangtua mereka sebagai secure base dalam mengeksplorasi lingkup pendidikan, pekerjaan, dan juga tuntutan sosial. Bentuk attachment pada masa ini sudah tidak berbentuk kedekatan secara fisik seperti masa kanakkanak, melainkan lebih kepada hubungan emosional antara remaja dengan orangtuanya. Rosenberg (1965, dalam Guindon, 2010) memberikan definisi mengenai self-esteem, yaitu sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, baik positif maupun negatif. Penilaian positif dan negatif tentang diri sendiri akan mempengaruhi tingkat self-esteem seseorang. Jika seseorang cenderung memberikan nilai positif tentang dirinya, self-esteem orang tersebut akan cenderung tinggi, begitu pula sebaliknya. Rosenberg (1965) membagi self-esteem menjadi dua jenis, yaitu global self-esteem dan selective self-esteem. Global self-esteem adalah penilaian secara keseluruhan seseorang mengenai harga dirinya, bagaimana ia menghargai dan menerima dirinya yang merupakan sebuah trait atau kecenderungan yang relatif stabil dan bertahan. Sementara selective self-esteem adalah evaluasi seseorang mengenai sifat-sifat dalam diri yang bergantung pada situasi tertentu dan bersifat sementara. Dalam hal itu self esteem seseorang bisa menjadi rendah pada satu waktu dan menjadi tinggi di waktu lainnya. Tinggi rendahnya self esteem dapat mempengaruhi berbagai macam hal pada seseorang. Self-esteem yang tinggi ditandai dengan adanya perasaan menyukai atau mencintai diri sendiri. Sementara self-esteem yang rendah ditandai dengan sedikitnya perasaan positif pada diri seseorang atau perasaan yang ambivalen mengenai dirinya sendiri (Bauimeister, Tice, dan Hutton ,1989, dalam Brown, Dutton, & Cook, 2001). Orang dengan self-esteem tinggi cenderung berusaha untuk mengembangkan diri, sementara orang dengan self-esteem rendah cenderung berusaha melindungi diri (Guindon, 2010). Menurut Rosenberg dan Owens (2001, dalam Guindon 2010), orang dengan selfesteem yang tinggi akan cenderung menunjukkan kemampuan yang dimilikinya. Sementara orang dengan self-esteem rendah menghindari pengambilan risiko, membatasi diri untuk
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
berinteraksi dengan orang lain, dan jarang menyampaikan pendapat dan pandangannya tentang suatu hal. Mereka juga menyimpan emosi mereka hanya untuk diri sendiri, dan sering menyembunyikan pikirannya yang berisi rasa permusuhan serta penuh curiga terhadap orang lain. Konsekuensi dari hal-hal tersebut adalah orang dengan self-esteem rendah lebih tidak spontan dan cenderung pasif, merasa lebih kesepian, memiliki interpersonal yang lebih aneh dan lebih mengasingkan diri dibanding orang dengan self-esteem yang tinggi. Bauimieister (2003, dalam Guindon 2010) menyatakan bahwa orang dengan selfesteem yang tinggi akan cenderung lebih sedikit mengalami depresi ketika berespon terhadap kejadian traumatik. Mereka juga akan menunjukkan performa yang baik dalam lingkungan pekerjaan dan lebih sukses. Mereka juga akan menunjukkan performa yang baik dalam sebuah grup, dan menganggap diri mereka disenangi oleh orang lain serta populer. Fluktuasi self-esteem hingga mencapai titik stabilitasnya ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Trzesniewski (2004, dalam Guindon 2010). Penelitian tersebut menyatakan bahwa tingkat self-esteem pada awalnya cukup tinggi pada kebanyakan anakanak, lalu ketika memasuki masa middle childhood menjadi rendah. Kemudian pada remaja awal, self esteem signifikan menurun yang bisa disebabkan oleh terjadinya pubertas dan halhal yang berkaitan dengan sekolah. Pubertas dapat menjadi hal yang penting bagi remaja terkait dengan self-esteem. Jika mereka merasa tubuhnya tidak sesuai dengan yang diharapkannya, maka mereka mereka akan memiliki penilaian negatif. Hasil dari penilaian negatif ini dapat mengarahkan pada self-esteem rendah, dan sebaliknya penlilaian positif dapat mengarahkan pada harga diri yang tinggi. Kemudian, pada masa remaja akhir dan usia 20an, self-esteem cenderung meningkat dan menetap. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi self-esteem seseorang adalah jenis kelamin dan urutan kelahiran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laible, Carlo, dan Roesch (2004), attachment remaja akhir laki-laki dengan orangtuanya memiliki hubungan yang lebih kuat dengan self-esteem dibandingkan dengan attachment remaja perempuan dengan orangtuanya. Hal ini bisa disebabkan oleh perbedaan hal yang mempengaruhi self-esteem remaja perempuan dan laki-laki. Dalam hal itu, self-esteem remaja perempuan lebih dipengaruhi oleh perilaku sosial yang tidak secara langsung berhubungan dengan attachment. Sementara pada remaja laki-laki, self-esteem lebih dipengaruhi oleh attachment dengan orangtua. Sementara itu, anak yang berada di urutan tengah kelahiran memiliki keyakinan bahwa mereka memiliki interaksi dan perhatian yang lebih sedikit dari keluarga. Selain itu, mereka juga merasa tidak ada hal yang spesial dan patut dihargai oleh keluarga sehingga
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
secara negatif akan mempengaruhi self-esteemnya (Collins, 2006). Hal itu dapat disebabkan oleh cara orangtua memberi perhatian di waktu yang sama kepada anak-anaknya. Ketika orangtua memiliki anak lebih dari satu maka perhatian orangtua akan cenderung terbagi antara anak yang satu dengan anak yang lain. Hal itu dapat membuat anak yang lahir pada urutan tengah dapat memiliki penilaian negatif tentang dirinya berdasarkan feedback dari orang lain, yaitu orangtua.
Metode Penelitian Karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah remaja berusia 18-21 tahun yang bertempat tinggal/ sekolah/ bekerja di Kota Depok serta masih memiliki kedua orangtua. Dalam mengukur attachement remaja dengan ibu dan ayah, penelitian ini menggunakan adaptasi alat ukur Inventory of Parent and Peer-Revised (IPPA-R) berbentuk kuesioner yang disusun oleh Armsden dan Greenberg (2009). IPPA-R merupakan hasil revisi dari alat ukur Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA) yang dibuat oleh Armsden dan Greenberg (1987) untuk mengukur kualitas attachment orangtua dan remaja usia 17 sampai 20 tahun. Pada alat ukur tersebut terdapat masing-masing 25 item untuk attachment ayah-anak dan attachment ibu-anak. Item-item yang ada pada bagian attachment ibu-anak memiliki kalimat yang sama dengan attachment ayah-anak, hanya berbeda pada penggunaan kata “ibu” dan “ayah”. Bentuk respon dalam alat ukur ini yaitu (1) hampir tidak pernah/tidak pernah, (2) jarang, (3) kadang-kadang, (4) sering, dan (5) sangat Sering. Sementara itu, self –esteem diukur dengan Rosenberg Self-Esteem Scale yang berbentuk kuesioner yang dibuat oleh Rosenberg pada tahun 1965 yang pada awalnya digunakan untuk mengukur self-esteem pada anak sekolah menengah. Alat ukur self-esteem ini mengukur satu dimensi self-esteem, yaitu global self-esteem. Alat ukur ini terdiri dari 10 item yang mengukur self-esteem yang dimanifestasikan melalui perasaan suka terhadap diri sendiri melalui 5 item positif dan perasaan tidak suka terhadap diri sendiri melalui 5 item negatif. Dalam alat ukur tersebut terdapat 4 respon untuk setiap pernyataan alat ukur, yaitu (1) Sangat Tidak Setuju, (2) Tidak Setuju, (3) Setuju, dan (4) Sangat Setuju.
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
Hasil Penelitian Dalam penelitian ini terdapat 104 partisipan yang terdiri dari 51% partisipan laki-laki dan 49% partisipan perempuan. Berdasarkan usia partisipan, jumlah partisipan tertinggi adalah remaja berusia 21 tahun dengan persentase 36% dan jumlah partisipan terendah adalah remajaa berusia 18 tahun dengan jumlah 18,3 %. Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan mengkorelasikan skor total partisipan pada alat ukur attachment ibu-anak dengan skor total partisipan pada alat ukur self-esteem. Uji korelasi juga dilakukan pada skor total partisipan pada alat ukur attachment bagian ayah dengan skor total partisipan pada alat ukur self-esteem dengan teknik korelasi Pearson product-moment. Uji korelasi ini menggunakan program SPSS 17 for Windows. Tabel berikut ini adalah gambaran hasil korelasi attachment ayah-anak dengan self-esteem. Tabel 1. Hasil Korelasi Attachment Ibu-Anak dan Ayah-Anak dengan Self-Esteem Variabel
R
Sig.
Attachment ibu-anak dengan selfesteem
0,204
0,038
Attachment ayah-anak dengan selfesteem
0,068
0,495
Tabel di atas menunjukkan bahwa hasil korelasi attachment ibu-anak dan self-esteem adalah 0,204 dengan koefisien signifikansi 0,038. Dengan demikian, maka attachment ibuanak dan self-esteem memiliki korelasi positif signifikan karena koefisien nilai signifikansi < 0,05. Sementara attachment ayah-anak tidak memiliki korelasi dengan self-esteem. Hal itu dikarenakan hasil korelasi attachment ayah-anak dan self-esteem menunjukkan angka 0,068 dengan koefisien signifikansi 0,494 yang berarti bahwa tidak terdapat korelasi antara attachment ayah-anak dengan self-esteem. Selain itu, untuk mengetahui perbedaan skor attachment ibu-anak dan attachment ayah-anak dilakukan pengujian t-test. Hasil pengujian skor tersebut dapat dilihat pada tabel di berikut ini.
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
Tabel 2. Skor Mean Attachment Ibu-Anak dan Ayah-Anak Attachment
Mean
Ibu-anak
100,57
Sig. t-test
0,00 Ayah-anak
92,01
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa skor attachment ibu-anak memiliki perbedaan yang signifikan dengan skor attachment ayah-anak dengan nilai mean attachment ibu-anak lebih besar dibandingkan dengan nilai mean attachment ayah-anak. Selain itu, didapatkan pula gambaran perbedaan nilai median, nilai minimum, dan nilai maksimum attachment ibu-anak dan attachment ayah-anak seperti yang tertera pada tabel berikut ini. Tabel 3. Nilai Median, Minimum, dan Maksimum Attachment Ibu-Anak dan Attachment Ayah-Anak Nilai
Attachment Ibu-Anak
Attachment AyahAnak
Median
101,50
94
Minimum
80
50
Maksimum
124
125
Nilai pada tabel tersebut menunjukkan bahwa nilai minimum attachment ibu-anak lebih tinggi 30 angka dibandingkan dengan attachment ayah-anak. Sementara nilai maksimum attachment ayah-anak lebih tinggi 1 angka dibanding dengan nilai attachment ibu-anak. Rentang nilai tersebut menunjukkan bahwa attachment ibu-anak memiliki skor yang lebih tinggi dibanding skor attachment ayah-anak. Dari hasil penelitian ditemukan perbedaan dalam persepsi kedekatan partisipan dengan orangtua yang didapatkan dari jawaban partisipan pada kuesioner. Persepsi kedekatan ini menunjukkan dengan siapa
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
partisipan merasa lebih dekat. Pada tabel di bawah ini terlihat perbedaan persepsi kedekatan partisipan penelitian yang menunjukkan bahwa dalam penelitian ini terdapat lebih banyak partisipan yang merasa lebih dekat dengan ibunya dibanding dengan ayahnya. Jumlah persentase persepsi kedekatan dengan ibu sebesar 46,2% memiliki jumlah yang jauh berbeda dengan persentase persepsi kedekatan dengan ayah yang hanya berjumlah 9,6%. Tabel 4. Persepsi Kedekatan dengan Orangtua Persepsi Kedekatan
Jumlah
Persen
Ibu
48
46,2
Ayah
10
9,6
Ibu dan ayah
40
38,5
Tidak keduanya
6
5,8
Total
104
100
Dalam penelitian ini ditemukan adanya perbedaan dalam nilai mean attachment ibuanak, attachment ayah-anak, dan self-esteem berdasarkan jenis kelamin partisipan. Nilai mean attachment ibu-anak, attachment ayah-anak, dan self-esteem tersebut tertera dalam tabel di berikut ini. Tabel 5. Nilai Mean Attachment dan Self-Esteem Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Attachment Ibu-Anak
Attachment AyahAnak
Self-Esteem
Laki-laki
98,77
91,22
29,11
Perempuan
102,43
92,82
29,96
Dari tabel tersebut juga dapat diketahui bahwa pada remaja akhir laki-laki dan perempuan memiliki nilai mean yang lebih besar pada attachment ibu-anak dibandingkan dengan nilai mean attachment ayah-anak. Kemudian peneliti melakukan uji t-test berdasarkan nilai tersebut. Hasil pada tabel 4.8. berikut ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
yang signifikan pada attachment ibu-anak, attachment ayah-anak, dan self-esteem baik pada remaja laki-laki maupun remaja perempuan. Tabel 6.Nilai t-test Mean Attachment dan Self-Esteem Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Sign. t-test
Sign. t-test
Sign. t-test
Attachment
Attachment Ayah-Anak
Self-Esteem
0,582
0,231
Ibu-Anak Laki-laki Perempuan
0,66
Tabel 7 menunjukkan perbandingan nilai mean self-esteem pada partisipan berdasarkan urutan kelahiran. Tabel tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada mean self-esteem partisipan yang merupakan anak sulung dan bungsu serta partisipan yang merupakan anak dengan urutan kelahiran tengah. Tabel 7. Nilai Mean Self-Esteem Berdasarkan Urutan Kelahiran Urutan Kelahiran
Mean
Anak sulung dan bungsu
29,87
Anak tengah
29,46
Sign. t-test
0,55
Kesimpulan Berdasarkan analisis hasil penelitian mengenai hubungan antara attachment ibu-anak, attachment ayah-anak, dan self-esteem pada remaja akhir Kota Depok, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kualitas attachment ibuanak dan self-esteem pada remaja akhir di Kota Depok dan tidak terdapat hubungan antara kualitas attachment ayah-anak dan self-esteem pada remaja akhir di Kota Depok.
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan attachment ibu-anak, attachment ayah-anak, dan self-esteem pada remaja akhir Kota Depok. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara attachment ibu-anak dan self-esteem remaja akhir. Jika dillihat dari masa-masa awal kehidupan seseorang, figur ibu merupakan caregiver utama dikarenakan ibu lebih memberikan pengasuhan yang berisikan kebutuhan dasar untuk anak. Contohnya adalah memberi makanan, minuman, dan perasaan aman yang terbentuk dari proses menyusui ketika seseorang berada pada masa bayi. Selain itu, ketika seorang ibu menyusui maka dapat membentuk kedekatan fisik seperti menggendong dan melakukan komunikasi verbal maupun nonverbal seperti tersenyum dan menatap anaknya. Dengan adanya hal tersebut, maka anak akan cenderung mencari ibunya ketika merasakan hal yang tidak nyaman seperti rasa lapar untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Hal itu kemudian berlanjut hingga masa selanjutnya, ketika seseorang membutuhkan rasa aman secara emosional maka ia akan mengandalkan ibunya. Dalam Shaffer dan Kipp (2010), working model dibentuk oleh seseorang berdasarkan bagaimana pengasuh utamanya memperlakukannya. Ketika pengasuhnya bersifat sensitif dan responsif terhadap anaknya, maka akan terbentuk working model yang positif. Apabila pengasuhnya tidak sensitif, penuh penolakan, dan bertindak abusive akan membuat anak kurang memiliki kepercayaan terhadap orangtuanya atau membentuk working model yang negatif. Pada masa bayi, ketika seseorang yang memiliki attachment yang secure atau memiliki working model positif mulai mengevaluasi dirinya sebagai seseorang yang lebih disenangi oleh orang lain dibandingkan dengan mereka yang memiliki insecure attachment (memiliki working model negatif). Hal itulah yang menjadi awal terbentuknya self-esteem seseorang dan akan berlanjut hingga masa selanjutnya karena attachment cenderung menetap sepanjang waktu. Hingga pada akhirnya ketika seseorang beranjak remaja maka attachment yang ia miliki akan cenderung sama seperti saat ia masih kecil, begitu pula dengan global self-esteem yang merupakan trait yang cenderung menetap. Dengan demikian, hasil utama yang didapatkan dalam penelitian ini mungkin mendapat kontribusi dari proses awal pembentukan attachment dan self-esteem. Selain itu, terdapat hasil yang menunjukkan bahwa sebanyak 46,2 % remaja akhir di Kota Depok memiliki persepsi bahwa mereka merasa lebih dekat dengan ibu mereka. Hasil
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
ini jauh lebih besar dibandingkan dengan persepsi kedekatan dengan ayah yang berjumlah 9,6%. Hasil tersebut mungkin dapat memiliki kontribusi terhadap hasil utama penelitian ini, yaitu persepsi kedekatan dengan ibu membuat skor attachment dengan ibu lebih tinggi dibandingkan dengan attachment dengan ayah. Akan tetapi, dalam penelitian ini tidak dapat diketahui hal-hal apa saja yang membuat banyak remaja akhir di Kota Depok lebih merasa dekat dengan ibu mereka. Dalam penelitian ini, attachment ayah-anak tidak memiliki korelasi dengan selfesteem remaja akhir. Hal itu dapat dikarenakan peran utama ayah adalah memenuhi kebutuhan keluarga dan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berdasarkan data survey oleh Sinatala (2005), mayoritas warga Depok bekerja di luar kota Depok, seperti Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Hal ini dapat mempengaruhi hubungan anak dengan ayahnya karena keterbatasan waktu dalam berinteraksi sehari-hari. Selain itu, Weiss (1982, dalam Armsden & Greenberg, 1987) menyatakan bahwa bentuk perilaku attachment pada remaja sering mengarah pada figur non-parental. Dalam hal itu, hubungan dengan teman sebaya dapat menjadi salah satu tipe attachment pada remaja. Hal itu dikarenakan teman sebaya memiliki peran yang penting bagi remaja dalam mendukung dan mendorong remaja dalam menghadapi tantangan perkembangannya. Hal itu mungkin dapat menjadi penjelasan mengapa attachment ayah-anak tidak memiliki korelasi dengan self-esteem remaja akhir. Self-esteem pada remaja mungkin memiliki hubungan dengan attachment remaja dengan teman sebayanya karena pada masa ini teman sebaya adalah sosok yang dianggap memiliki peran yang penting bagi remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Caldera (2004, dalam Benware, 2013) menunjukkan bahwa prediktor yang signifikan dalam menentukan attachment ayah-anak yang baik adalah bentuk keterlibatan ayah dalam mengasuh anak, seperti memberi makan, memakaikan baju anak, dan mengganti popok. Di sisi lain, bentuk keterlibatan seperti bermain dan membacakan buku tidak menjadi prediktor signifikan terhadap attachment ayah dan anak. Hasil penelitian tersebut mungkin dapat menjelaskan mengapa attachment ayah-anak memiliki nilai yang rendah pada remaja akhir Kota Depok, yaitu tergantung pada bentuk keterlibatan ayah di masa kecil yang dialami partisipan. Akan tetapi, dalam penelitian mengenai remaja akhir Kota Depok ini tidak bisa diketahui secara jelas seperti apa bentuk keterlibatan ayah di masa kecil setiap partisipan.
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
Berdasarkan data pada analisis tambahan, dapat terlihat bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor attachment ibu-anak dan attachment ayah-anak pada remaja akhir. Dalam hal ini nilai mean attachment ayah-anak lebih rendah dibandingkan dengan nilai mean attachment ibu-anak. Selain itu, partisipan yang mempersepsikan kedekatan dengan ayah hanya 9,6%. Adanya perbedaan nilai mean yang signifikan antara attachment ibu-anak dan ayah-anak mungkin dapat menjawab pertanyaan mengapa attachment ayah-anak tidak berkorelasi dengan self-esteem. Hal tersebut dikarenakan attachment ayah-anak lebih rendah dibandingkan dengan attachment ibu-anak pada remaja akhir. Selain itu, penyebab dari hasil yang tidak signifikan pada attachment ayah-anak dan self-esteem juga mendapat kontribusi dari persepsi kedekatan dengan ayah. Remaja akhir yang mempersepsikan kedekatan dengan ayah hanya berjumlah 9,6%. Hasil tambahan dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara antara attachmet ibu-anak, attachment ayah-anak, dan self-esteem baik pada remaja laki-laki dan perempuan. Dengan demikian hasil utama penelitian ini tidak memiliki pengaruh dari jenis kelamin partisipan. Selain itu, dalam penelitian ini juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara attachmet ibu-anak, attachment ayah-anak, dan self-esteem baik pada anak dengan urutan kelahiran tengah maupun pada anak sulung dan bungsu. Dengan demikian, hasil penelitian ini tidak mendapat pengaruh dari faktor urutan kelahiran partisipan. Hal itu juga menunjukkan perbedaan dengan Collins (2006) yang menyatakan bahwa self-esteem pada anak dengan urutan kelahiran tengah memiliki nilai yang lebih rendah karena adanya perasaan bahwa mereka hanya kurang mendapat perhatian dari keluarga. Hasil penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya mengenai attachment orangtua dan self-esteem pada remaja akhir. Penelitian yang dilakukan oleh Laumi dan Adiyanti (2012) menunjukkan bahwa attachment ibu-anak, attachment ayah-anak, dan attachment dengan teman sebaya merupakan prediktor terhadap self-esteem remaja akhir di SMK “X” dan “Y” Yogyakarta. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa attachment ayah menjadi prediktor yang lebih kuat terhadap self-esteem daripada attachment dengan ibu. Hal itu berbeda dengan temuan peneliti, yaitu attachment dengan ibu berkorelasi signifikan dengan self-esteem dan attachment ayah tidak berkorelasi terhadap self-esteem remaja akhir Kota Depok.
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
Selain itu, terkait dengan instrumen alat ukur, terdapat masing-masing 5 item pada attachment ibu-anak dan ayah-anak yang tidak valid kemudian direvisi, tetapi belum diujicobakan kembali untuk mengetahui validitas item dan reliabilitas alat ukur setelah dilakukan revisi item. Begitu juga pada alat ukur self-esteem yang masih berisikan 3 item yang tidak valid secara statistik walaupun secara face validity item tersebut sudah sesuai terjemahannya dan dianggap sudah cukup jelas penggunaan bahasanya. Kedua alat ukur dalam penelitian ini juga hanya dilakukan pengujian internal, tidak dilakukan pengujian eksternal dengan alat ukur lain yang mengukur konstruk yang sama. Hal-hal tersebut merupakan keterbatasan dari penelitian ini dikarenakan dengan adanya hal tersebut hasil penelitian ini tidak dapat diketahui apakah alat ukur dalam penelitian ini valid secara eksternal. Saran Apabila penelitian selanjutnya ingin mengukur attachment orangtua-anak sebaiknya menggunakan alat ukur IPPA-Revised dibandingkan IPPA. Hal itu juga direkomendasikan oleh pembuat alat ukur ini yaitu Armsden dan Greenberg (2009) karena dengan alat ukur ini dapat diketahui masing-masing attachment yang dimiliki seseorang terhadap ibu dan ayahnya, sehingga akan terlihat jelas seperti apa gambaran attachment ibu-anak dan ayahanak. Penelitian selanjutnya juga diharapkan dapat menguji pengaruh attachment ibu-anak terhadap self-esteem karena berdasarkan penelitian ini didapatkan korelasi yang signifikan antara attachment ibu-anak dan self-esteem remaja akhir Kota Depok, tetapi belum dapat diketahui variabel mana yang memiliki pengaruh terhadap variabel lain. Selain itu, pada bab awal penelitian ini telah dijelaskan bahwa self-esteem adalah hal yang penting dalam tugas perkembangan remaja akhir yaitu mempersiapkan kemandirian ekonomi, karir, dan juga dalam membentuk hubungan yang intim dengan orang lain (menikah atau berkeluarga) ketika ia memasuki masa dewasa. Berdasarkan penelitian ini, didapatkan hasil positif signifikan dalam hubungan antara attachment ibu-anak dan self-esteem remaja akhir Kota Depok. Hasil tersebut menunjukkkan bahwa ketika attachment dengan ibu memiliki nilai yang tinggi, maka self-esteem usia remaja akhir juga tinggi. Sebaliknya, attachment dengan ibu memiliki nilai yang rendah, maka self-esteem remaja akhir juga rendah. Meskipun belum bisa diketahui variabel mana yang memiliki pengaruh terhadap variabel lain, tetapi diharapkan para ibu atau calon ibu dapat memperhatikan hubungan dengan anaknya dan membangun kualitas attachment yang baik dengan memberikan pengasuhan yang penuh kasih sayang, responsif,
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
dan sensitif terhadap anak terutama pada masa-masa awal kehidupan yang memberikan sumbangan terbesar bagi attachment seseorang. Daftar Referensi Ariyani, A. (2004). Perbedaan Hope dan Self Esteem antara Remaja yang Pernah Menggunakan Narkoba dan Remaja yang Pernah Menggunakan Narkoba. Depok: Universitas Indonesia. Armsden, G. G. & Greenberg, M. T. (1987). The Inventory of Parent and Peer Atachment: Individual Differences and Their Relationship to Psychological Well Being in Adolescence. Seattle: University of Washington. Armsden, G. G. & Greenberg, M. T. (2009). Inventory of Parent and Peer Atachment (IPPA). Brown, J. D., Dutton, K. A., & Cook, K. E. (2001). From The Top Down: Self-esteem and Self-Evaluation. Cognition and Emotion, 15 (5), 615–631 Christia, M. (2007). Inner Voice dan Self Esteem. Makara, Sosial Humaniora, VOL. 11, NO. 1, JUNI 2007: 37-41.
Cobb, N. J. (1995). Adolescence: Continuity, Change, and Diversity (4th ed). California: Mayfield Publishing Company. Colin, V. L. (1996). Human Attachment. New York: McGraw-Hill. Collins, C. (2006) The Relationship Between Birth Order and Personality and Career Choices. Providence College. Dutton, K. A., & Brown, J. D. (1997). Global Self-Esteem and Specific Self-View as Determinants of People’s Reactions to Success and Failure. Journal of Personality and Social Psychology Vol 73, No 1. The American Psychological Association, Inc. Guindon, M. H. (2010). Self Esteem Across The Life Span: Issues and Intervention. Routledege: Taylor & Francis Group. Gullone, E. & Robinson, K. (2005). The Inventory of Parent and Peer Atachment-Revised (IPPA-R
for Children: A Psychometric Investigation. Clinical Psychology and
Psychotherapy Clin. Psychol. Psychother. 12, 67–79.
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
Kota Depok dalam Angka. (2010). BAPPEDA Kota Depok & Badan Pusat Statistik Kota Depok. Diunduh dari http://www.docstoc.com/docs/117279610/Kota-depok-dalamangka-2010-BPS Laumi., Adiyanti, M.G. (2012). Attachment of Late Adolescence to Mother, Father, and Peer, with Family Structure as Moderating Variable and Their Relationships. Jurnal Psikologi Vol 39 No 2. Monks, F. J., Knoers, A. M., & Haditono, S. R. (2006). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Mruk, C. J., (2006). Self-esteem Research, Theory, and Practice: Toward A Positive Psychology of Self-esteem (3rd ed). New York: Springer Publishing Company. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2008). Human Development (10th ed). Boston: McGraw-Hill. Rata-rata Umur Perkawinan menurut Daerah dan jenis kelamin, Indonesia, 1992-2005 Singulate Mean Age at Marriage by area and sex, Indonesia, 1992-2005. Diunduh dari http://www.datastatistikindonesia.com/portal/index.php?option=com_tabel&kat=6&idtabel=141&Itemid=168 Sejarah
Kota
Depok.
Dinduh
pada
tanggal
24
Juni
2014.
Diunduh
dari
http://www.depok.go.id/en/profil-kota/sejarah Sinatala, F. (2005). Pergerakan Penduduk Kota Depok Menuju ke Tempat Bekerja. Makara Sains Vol 9, N0 1, 41-44. Shaffer, D. R., & Kipp, K. (2010). Developmental Psychology: Childhood and Adolescence (8th ed). Balmont: Wadsworth. Laible, J. D., Carlo, G., & Roesch, S. C. (2004). Pathways to Self-Esteem in Late Adolescence: The Role of Parent and Peer Attachment, Empathy, and Social Behaviors. Zarred, N., & Eccless, J., (2006). The passage to adulthood: Challenges of late adolescence. New Directions for Youth Development, No 111. DOI: 10.1002/yd.179
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014
Waters, E., Merric, S., Treboux, D., Crowell, J., & Albersheim, L. (2000). Attachment Security in Infancy and Early Adulthood : A Twenty Year Longitudinal Study. Child Development. Vol 71 : 684-689.
Hubungan antara…, Zaskia Toyyibatun Zulkaisy, FPsi UI, 2014