Hubungan Attachment Ibu-Anak dan Ayah-Anak Dengan Kemandirian Pada Remaja Akhir
Raden Dimas Bagus Prabowo & Mita Aswanti
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Kemandirian merupakan salah satu hal penting yang dikembangkan pada masa remaja (Steinberg, 2002). Studi terkini banyak mengaitkan antara kemandirian dengan attachment pada orangtua. Penelitian mengenai kualitas attachment dengan kemandirian sebelumnya masih sedikit yang memisahkan antara attachment ibu-anak dengan attachment ayah-anak. Pada studi ini, attachment orangtua dipisahkan menjadi attachment ibu-anak dan ayah-anak. Sampel pada studi ini adalah remaja akhir yang berusia 18-21 tahun di kota Depok (N=103). Responden diminta untuk mengisi kuesioner yang mengukur attachment ibu-anak dan ayahanak serta kemandirian. Attachment ibu-anak dan ayah-anak diukur melalui adaptasi alat ukur Inventory of Parent and Peer Attachment-Revised (IPPA-R) dan kemandirian diukur melalui adaptasi alat ukur Adolescence Autonomy Questionnaire. Hasil penelitian menunjukkan attachmen ibu-anak memiliki hubungan signifikan dengan kemandiran, sedangkan attachment ayah-anak tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kemandirian
Kata kunci : Attachment Ibu-Anak, Attachment Ayah-Anak, Kemandirian
Relationship Between Mother-Child and Father-Child Attachment with Autonomy in Late Adolescence
Abstract Autonomy is one of the important things that developed in adolescence (Steinberg, 2002). Recent studies is connecting between autonomy and parent attachment.There are not many studies that distinguish parent attachment as mother-child and father-child attachment in connection with autonomy. In this study, parent attachment has been separated into mother-child and father-child attachment. The samples of this study is late adolescents between 18 and 21 years old, who lives in Depok (N=103). Respondents are asked to fill the questionnaires which measures mother-child attachment, father-child attachment and autonomy. Mother-child attachment and father-child attachment were measured with adaptation version of Inventory of Parent and Peer Attachment-Revised (IPPA-R) and autonomy were measured with adaptation version of Adolescence Autonomy Questionnaire. This study found that mother-child attachment correlates significantly with autonomy, while father-child attachment didn’t correlates significantly with autonomy.
Keywords : Mother-Child Attachment, Father-Child Attachment, Autonomy
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
Pendahuluan Masa remaja merupakan periode transisi secara biologis, psikologis, sosial dan ekonomi (Steinberg, 2002). Pada masa ini, remaja akan banyak mengembangkan ketrampilan sosial yang berguna bagi mereka saat dewasa. Individu menjadi lebih bijaksana, lebih berpengalaman, dan lebih baik dalam membuat keputusannya sendiri (Steinberg, 2002).Para peneliti mengelompokkan fase remaja menjadi 3 fase, yaitu masa remaja awal (sekitar umur 10 hingga 13 tahun), masa remaja madya (sekitar 14 hingga 18 tahun), dan masa remaja akhir (sekitar umur 19 hingga 22 tahun) (Arnet, 200; Kagan & Coles, 1972; Keniston, 1970, Lipsitz,
1977
dalam
Steinberg,
2002).Setelah
melewati
masa
ini,
remaja
akan
mengembangkan identitas barunya dan terus akan berkembang sepanjang hidupnya (Duvall & Miller, 1985). Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk melewatinya dengan baik karena tahapan ini akan memberikan efek jangka panjang bagi kehidupan mereka seterusnya. Kemandirian merupakan salah satu hal yang penting dikembangkan pada masa remaja (Erickson, 1950, 1968; McElhaney, 2009 dalam Hurst, 2010; Steinberg, 2002). Di masa remaja, seseorang akan mendapat peran serta tanggung jawab baru dalam masyarakat yang belum pernah didapatkan sebelumnya (Steinberg, 2002). Oleh karena itu, tuntutan tanggung jawab dari lingkungan mengalami peningkatan (Steinberg, 2002). Hal ini membutuhkan kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri tanpa pengawasan dari orangtua dan guru (Steinberg, 2002). Keterlibatan dalam peran serta tanggung jawab yang baru yang akhirnya menuntut seseorang untuk menjadi mandiri. Kemandirian adalah kemampuan untuk memberi arah dalam hidupnya sendiri dengan cara menetapkan tujuan, merasa kompeten, dan mampu untuk mengatur perilakunya sendiri. (Noom, 1999 dalam Murphy, 2008). Penelitian mengenai kemandirian telah banyak dilakukan dengan mengaitkannya dengan hubungan antara orangtua dan anak. Banyak peneliti yang mengatakan adanya hubungan yang penting antara kemandirian dengan hubungan orangtua dan anak.Para peneliti kemudian mulai tertarik dengan hubungan antara kemandirian dengan attachment (Hurst, 2010).Hal ini karena attachment merupakan dasar dari hubungan orangtua dan anak.Menurut Bowlby (1969, dalam Hurst, 2010), hubungan antara attachment dan kemandirian merupakan dasar dari teori attachment.Attachment adalah ikatan yang menetap yang ditunjukkan dengan kecenderungan untuk mencari dan mempertahankan kedeketan dengan figur tertentu,
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
terutama ketika berada di bawah tekanan (Bowlby, 1962 dalam Colin, 1996; Ainsworth, 1973 dalam Colin, 1996). Peneliti biasanya menggolongkan tipe attachment ke dalam dua tipe besar, yaitu secure attachment dan insecure attachment (Hurst, 2010). Kemandirian merupakan fitur penting dari attachment karena menjadi dasar hubungan antara rasa aman dalam attachment dengan kemampuan anak untuk mengeksplorasi lingkungan secara independen (Hurst, 2010). Jika anak merasa aman saat terpisah dari pengasuhnya, ia akan menjadi lebih bebas dalam mengeksplorasi lingkungannya. Hal ini menunjukkan semakin anak merasa aman dengan figur attachment, anak akan merasa semakin aman mengeksplorasi lingkungannya. Menurut Mary D.S. Ainsworth (dalam Collins & Sprinthall, 1995), perilaku yang ditunjukkan setiap individu memiliki derajat attachment yang berbeda karena mereka merefleksikan tingkat keamanan dalam diri mereka (Collins & Sprinthall, 1995). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa attachment pada saat masih kecil memberikan dasar bagi perkembangan anak. Bayi dan anak yang memiliki secure attachment menunjukkan tingkat kemandirian yang lebih tinggi, menjadi lebih kompeten secara sosial, dan memiliki lebih sedikit perilaku bermasalah dibanding anak yang memiliki insecure attachment (Becker-Stoll, et al., 2008; Soufe, 2005 dalam Hurst, 2010). Selain itu, bayi dan anak yang memiliki secure attachment tumbuh menjadi anak dan remaja yang dapat menjadi pemimpin yang kompeten di antara teman, berfungsi dengan baik dalam kelompok, dan mempunyai kapasitas yang tinggi dalam pertemanan, intimacy, dan self-disclosure (Elicker et al., 1992; Shuman et al., 1994; Sroufe, Carlson, & Shulman, 1993 dalam Hurst, 2010). Berbeda dengan anak yang memiliki secure attachment¸ anak yang memiliki insecure attachment menunjukkan perkembangan negatif bagi kemandirian mereka. Sebagai contoh, anak yang memiliki insecure attachment mengalami kesulitan untuk mengeksplorasi lingkungan mereka sehingga menghalangi perkembangan kemandirian mereka (Hurst, 2010). Hal ini disebabkan karena anak merasa cemas bila berada jauh dari pengasuh mereka sehingga membatasi perkembangan mereka.Selain itu, Becker-Stoll (2008, dalam Hurst, 2010) menemukan dari hasil penelitiannya bahwa anak yang berusia 12-18 bulan yang memiliki insecure attachment dengan orangtuanya menunjukkan tingkat kemandirian yang lebih rendah saat melakukan aktivitas dengan ibunya. Contoh-contoh yang telah disebutkan menunjukkan perbedaan pada anak yang memiliki secure attachment dengan anak yang memiliki insecure attachment. Sudah banyak studi yang telah meneliti hubungan antara kemandirian dan kualitas attachment pada remaja di luar negeri, misalnya Kenny dan Gallagher (2002 dalam Motzoi,
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
2004) melakukan penelitian hubungan antara attachment ibu dan ayah dengan kemandirian dan menemukan korelasi yang signifikan. Hal serupa juga ditemukan oleh Bem, Forthun, dan Sun (2000 dalam Motzoi, 2004) yang melakukan penelitian serupa dengan subyek usia remaja akhir. Selain itu, hasil penelitian Hurst (2010) menunjukkan bahwa anak yang memiliki nilai attachment cukup tinggi dengan orangtuanya mengindikasikan tingkat kemandirian yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki nilai (attachment) lebih rendah.Penelitian-penelitian ini memberikan bukti bahwa attachment terhadap orangtua mempunyai korelasi dengan kemandirian seseorang. Di Indonesia, penelitian mengenai hubungan antara attachment pada orangtua dengan kemandirian masih sedikit sekali. Salah satu contohnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Valentina (2013).Dewi dan Valentina (2013) melakukan penelitian yang mengkaji hubungan attachment orangtua-anak dengan kemandirian pada siswa remaja yang berumur 15-18 tahun.Mereka menemukan hasil bahwa attachment pada orangtua memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kemandirian.Namun, belum ada penelitian sebelumnya di Indonesia yang secara khusus mengkaji hubungan attachment ibu-anak dan attachment ayahanak dengan kemandirian. Menurut Steinberg (2002), kemandirian baru berkembang seutuhnya di masa remaja akhir. Contohnya, salah satu aspek kemandirian yaitu emotional autonomy baru berkembang di masa middle adolescent (Steinberg, 2002).Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian yang mengkaji hubungan antara attachment ibu-anak dan ayah-anak dengan kemandirian pada subyek remaja akhir. Pemilihan remaja akhir sebagai sampel supaya mendapatkan semua aspek kemandirian telah berkembang. Attachment ibu-anak dan ayahanak diukur menggunakan adaptasi dari Inventory of Parent and Peer Attachment-Revised yang dibuat oleh Armsden dan Greenberg (2009) yang mengukur dimensi komunikasi, kepercayaan dan keterasingan, sedangkan kemandirian diukur menggunakan adaptasi dari Adolescent Autonomy Questionnaire yang dibuat oleh Noom, Dekovic, dan Meeus (2001) yang mengukur aspek attitudional autonomy, emotional autonomy, dan functional autonomy. . Tinjauan Teoritis Menurut Steinberg (2002), attachment didefinisikan sebagai ikatan emosional yang kuat dan bertahan lama. Selain Steinberg, definisi attachment menurut Bowlby (1962 dalam Colin, 1996) dan Ainsworth (1973 dalam Colin, 1996), adalah ikatan yang menetap yang
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
ditunjukkan dengan kecenderungan untuk mencari dan mempertahankan kedekatan dengan figur tertentu, terutama ketika berada di bawah tekanan. Armsden dan Greenberg (1987) juga memberikan definisinya sendiri untuk attachment. Menurut Armsden dan Greenberg (1987), attachment didefinisikan sebagai ikatan afeksi yang bertahan lama serta dengan intensitas yang besar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa attachment adalah ikatan afeksi yang bertahan lama untuk mencari dan mempertahankan kedekatan dengan figur tertentu dengan intensitas yang besar. Mengacu pada teori Bowlby, Arsmden dan Greenberg (1987) juga menemukan tiga dimensi dari kualitas attachment, yaitu komunikasi (communication), kepercayaan (trust) dan keterasingan (alienation). Dimensi komunikasi mengukur kualitas dari komunikasi dalam attachment. Kualitas komunikasi yang baik akan menimbulkan ikatan yang kuat antara individu dengan figur attachment. Dimensi kepercayaan mengukur kepercayaan seseorang bahwa figur attachment mengerti dan menghargai keinginan dan kebutuhannya serta persepsi bahwa mereka peka dan responsif pada keadaan emosional individu tersebut, sementara itu dimensi keterasingan mengukur kemarahan serta deattachment pada figur attachment. Selain mengukur kemarahan, dimensi ini juga mengukur keterasingan dalam hubungan interpersonal seseorang. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi attachment, salah satunya adalah perceraian dan kematian orangtua. Attachment seseorang tidak akan berubah dan cenderung stabil kecuali terjadi peristiwa besar negatif yang terjadi berkaitan dengan figur attachment, yaitu perceraian dan kematian orangtua. (Waters, Merrick, Treboux, Crowell & Albersheim, 2000). Faktor lainnya yang mempengaruhi attachment adalah jenis kelamin.Beberapa studi sebelumnya menemukan bahwa perbedaan jenis kelamin memberikan pengaruh pada masa anak-anak madya dan remaja ((Brassard, Shaver, & Lussier, 2007; David & Lyons-Ruth, 2005; DelGuidice, 2008; Green, Stanley, Smith, & Goldwyn, 2000; Kerns, Schlegelmilch, Morgan, &Abraham, 2005; Lyons-Ruth, Bronfman, & Parsons, 1999 dalam Hurst, 2010).Perbedaan itu tampak pada anak dan remaja yang memiliki insecure attachment.Hasil penelitian Del Guidice (2009, dalam Hurst, 2010) menunjukkan bahwa anak perempuan lebih sering menunjukkan perilaku resistant sedangkan anak laki-laki lebih sering menunjukkan perilaku avoidant. Kemandirian menurut Steinberg (2002) adalah proses menjadi seseorang yang mampu mengatur dirinya sendiri. Proses ini merupakan salah tugas perkembangan yang penting menurutnya dalam masa remaja. Noom (1999 dalam Murphy, 2008) memiliki definisi
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
mengenai kemandirian, yaitu kemampuan untuk memberi arah dalam hidupnya sendiri dengan cara menetapkan tujuan, merasa kompeten, dan mampu untuk mengatur perilakunya sendiri. Jadi, kemandirian merupakan kemampuan seseorang dengan mampu menetapkan tujuan, merasa kompeten dan mampu mengatur perilakunya sendiri. Noom, Dekovic dan Meeus (2001) mengajukan tiga aspek dari kemandirian, yaitu attitudional autonomy, emotional autonomy dan functional autonomy. Attitudional Autonomy adalah kemampuan untuk menentukan pilihan, membuat keputusan dan mendefinisikan tujuan.
Emotional autonomy adalah rasa percaya diri pada pilihan dan tujuan sendiri.
Functional autonomy adalah kemampuan untuk mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan. Kemandirian seseorang bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang bisa mempengaruhi kemandirian antara lain adalah jenis kelamin. Flemming (2006), menyatakan bahwa terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap kemandirian seseorang.Remaja laki-laki memiliki
tingkat
kemandirian
yang
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
remaja
perempuan.Flemming (2006), mengatakan remaja laki-laki menunjukkan kemandirian yang lebih tinggi dibanding remaja perempuan sebagai hasil perlawanan terhadap orangtua, seperti tidak mematuhi orangtuanya.Remaja perempuan cenderung menghindari konflik dengan orangtuanya dibandingkan remaja laki-laki.Selain itu, remaja perempuan juga lebih sedikit mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemandirian mereka dibandingkan remaja laki-laki. Faktor lainnya yang mempengaruhi kemandirian adalah usia. Bartle (1998, dalam Flemming, 2006) mengatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat kemandirian pada remaja awal dan remaja akhir. Remaja akhir memiliki tingkat kemandirian yang lebih tinggi berkaitan dengan pemilihan teman dan karir, mengatur uang yang dimiliki, dan kegiatan fisik yang dilakukan di luar rumah (Douvan dan Adelson,1966; Bosma et al, 1996; Allen et al, 2002 dalam Fleming, 2006). Mereka juga memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam berinteraksi di lingkungan yang banyak berhadapan dengan orang dewasa (Greenberg, 1984; Steinberg dan Silverberg, 1987 dalam Fleming, 2006). Urutan kelahiran juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemandirian. Campione-Barr (2006) melalui hasil penelitiannya menemukan bahwa adik dari dua bersaudara menunjukkan kemandirian yang lebih tinggi dibandingkan kakaknya ketika mereka berada di usia yang sama. Anak kedua dalam dua bersaudara lebih bisa melakukan
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
beberapa hal dan menentukan pilihan sendiri dibandingkan anak pertama.Kehadiran kakak mempengaruhi tingkat dan waktu berkembangnya perilaku mandiri pada adik. Batasan umur remaja yang digunakan dalam penelitian ini adalah batasan umur yang diajukan oleh Monks, Knoers dan Haditono (2006). Menurut Monks, Knoers dan Haditono (2006), masa earlyadolescence dimulai umur 12 hingga 15 tahun, masa middle adolescence dimulai umur 15 hingga 18 tahun, dan masa late adolescence dimulai umur 18 hingga 21 tahun. Batasan umur remaja yang diajukan oleh Monks, Knoers dan Haditono sudah mengalami penyesuaian dengan keadaan dan nilai yang di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti menggunakan batasan umur remaja yang diajukan oleh Monks, Knoers dan Haditono (2006) supaya lebih sesuai partisipan penelitian ini.
Metode Penelitian Karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang berusia 18-21 tahun yang berdomisili di Depok. Selain itu, partisipan juga harus masih memiliki kedua orangtua yang masih hidup. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling¸ yaitu convenience/accidental sampling. Dalam teknik convenience sampling, partisipan dipilih berdasarkan ketersediaan dan kesediaannya untuk merespon (Gravetter & Forzano, 2009). Dalam mengukur kualitas attachment, peneliti menggunakan adaptasi alat ukur Inventory of Parent and Peer-Revised (IPPA-R) yang diajukan oleh Armsden dan Greenberg (2009). Alat ukur ini mengukur 3 dimensi dari attachment yang diajukan oleh Armsden dan Greenberg (2009), yaitu komunikasi, kepercayaan dan keterasingan. Attachment ibu-anak dan ayah-anak diukur melalui masing-masing 25 item. Untuk mengukur kemandirian, peneliti menggunakan alat ukur kemandirian yang diadaptasi dari Adolescent Autonomy Questionnaire yang dibuat oleh Noom (1999, dalam Noom, et al, 2001). Alat ukur ini mengukur tiga aspek kemandirian, yaitu attitudional autonomy, emotional autonomy dan functional autonomy. Setiap aspek diukur oleh 5 item sehingga total item alat ukur ini berjumlah 15 item.
Hipotesis Penelitian Penelitian ini memiliki dua hipotesis. Hipotesis pertama adalah attachment ibu-anak memiliki korelasi positif dan signifikan dengan kemandirian pada remaja akhir. Hipotesis
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
kedua adalah
attachment ayah-anak memiliki korelasi positif dan signifikan dengan
kemandirian pada remaja akhir
Hasil Penelitian Berikut ini adalah tabel mengenai gambaran dari partisipan yang terlibat dalam penelitian ini. Tabel 1. Data Usia Partisipan Usia
Jumlah Partisipan
Persentase
18
19
18,4%
19
27
26,2%
20
21
20,4%
21
36
35%
Dalam penelitian ini, persebaran usia partisipan cukup merata, namun partisipan yang berusia 18 tahun hanya berjumlah 18,4% dari total keseluruhan partisipan, sedangkan partisipan yang berusia 21 tahun berjumlah 35 % dari total keseluruhan. Selain kedua kelompok umur itu, persentase kelompok umur yang lainnya tidak jauh berbeda. Data mengenai jenis kelamin partisipan dapat dilihat pada tabel 2. Partisipan remaja laki-laki
mempunyai
jumlah
yang
cukup
seimbang
dengan
partisipan
remaja
perempuan.Tidak terdapat perbedaan jumlah yang terlalu besar di antara kedua kelompok partisipan. Tabel 2. Data Jenis Kelamin Partisipan Jenis Kelamin
Jumlah Partisipan
Persen
Laki-laki
53
51,5 %
Perempuan
50
48,5 %
Partisipan dalam penelitian ini banyak yang merupakan anak pertama di keluarganya. Hal ini terbukti dari persentase partisipan anak pertama yang mencapai 40%. Hal yang menarik adalah adanya partisipan yang merupakan anak kedelapan dalam keluarganya.
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
Tabel 3. Persebaran Urutan Kelahiran Urutan
Jumlah Partisipan
Persentase
1
42
40,8 %
2
34
33 %
3
16
15,5 %
4
8
7,8 %
5
2
1,9 %
8
1
1%
Kelahiran
Hasil Analisis Utama Dalam penelitian ini, terdapat dua hipotesis yang diajukan untuk menjawab masalah penelitian.Hipotesis alternatif satu (Ha1) adalah attachment ibu-anak memiliki korelasi positif dan signifikan dengan kemandirian pada remaja akhir.Hipotesis alternatif dua (Ha2) adalah attachment ayah-anak memiliki korelasi positif dan signifikan dengan kemandirian pada remaja akhir. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan program SPSS 17 for Windows. Untuk bisa dinyatakan signifikan, korelasi kedua variabel harus memiliki nilai signifikansi dibawah 0,05. Hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Hasil Pengujian Hipotesis
Attachment Ibu dengan
r
Sig.
0,196
0,47
0,038
0,71
Kemandirian Attachment Ayah dengan Kemandirian
Berdasarkan hasil penghitungan melalui program SPSS, ditemukan bahwa attachment ibu dengan kemandirian memiliki korelasi sebesar 0,196 dengan nilai signifikansi 0,47. Dengan kata lain, hipotesis null satu (Ho1) ditolak dan hipotesis alternatif satu (Ha1) diterima, yaitu attachment ibu-anak memiliki korelasi positif dan signfikan dengan kemandirian. Hubungan kedua variabel tersebut signfikan karena memiliki nilai signfikansi dibawah 0,05, yaitu 0,047.
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
Hasil lain yang didapatkan peneliti adalah attachment ayah-anak dengan kemandirian memiliki korelasi sebesar 0,038 dengan nilai signifikansi 0,71. Hal ini menunjukkan hipotesis null dua (Ho2) diterima, yaitu attachment ayah-anak tidak memiliki korelasi positif dan signifikan dengan kemandirian pada remaja akhir. Walaupun attachment ayah-anak memiliki korelasi positif dengan kemandirian, hubungan kedua konstruk tersebut tidak signfikan karena nilai signifikansi kedua variabel tersebut > 0,05. Pada penelitian ini, peneliti juga mendapatkan persepsi kedekatan partisipan dengan orangtuanya. Setiap partisipan memilih dengan siapa ia merasa lebih dekat. Ada empat pilihan jawaban yang dapat dipilih oleh partisipan, yaitu dengan ibu, dengan ayah, dengan ibu dan ayah, dan tidak keduanya. Tabel 5. Persepsi Kedekatan Partisipan Dengan Orangtua Persepsi Kedekatan
Jumlah Partisipan
Persentase
Dengan Ibu
40
37,9 %
Dengan Ayah
10
9,7 %
Dengan Ibu dan Ayah
48
46,6 %
Tidak Keduanya
6
5,82 %
Hasil persepsi kedekatan dengan orangtua menunjukkan bahwa lebih banyak partisipan yang merasa dekat dengan ibunya dibandingkan dengan ayah. Walaupun begitu, jumlah partisipan yang merasa dekat dengan kedua orangtuanya paling banyak dibandingkan yang lain, yaitu 46,6% dari total partisipan. Perbandingan partisipan yang merasa dekat dengan ayah dan ibu cukup menarik karena persentase partisipan yang merasa dekat dengan ayahnya cukup kecil bila dibandingkan dengan persentase partisipan yang merasa dekat dengan ibunya. Persentase kedekatan dengan ayah sebesar 9,7% dan persentase kedekatan dengan ibu sebesar 37,9%. Tabel 6. Skor Rata-Rata Attachment Attachment
N
Skor Rata-Rata
Ibu-Anak
103
100,52
Ayah-Anak
103
92
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
Peneliti kemudian ingin melihat perbedaan rata-rata skor attachment ibu-anak dengan attachment ayah-anak menggunakan teknik independent sample t-test. Setelah dihitung, nilai tes Levene pada uji tes F yang dilakukan sebesar 0,001. Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan 0,05 sehingga bisa disimpulkan bahwa varian skor attachment ibu-anak berbeda dengan varian skor attachment
ayah-anak. Setelah dilakukan uji tes Levene, peneliti
melakukan teknik independent sample t-test untuk mengetahui apakah perbedaan rata-rata skor attachment ibu-anak dengan attachment ayah-anak signfikan. Berdasarkan hasil penghitungan, didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,000. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata yang signifikan antara attachment ibu-anak dan attachment ayah-anak. Peneliti juga mendapatkan nilai rata-rata skor attachment ibu-anak, attachment ayahanak, serta kemandirian dengan jenis kelamin partisipan .Data mengenai nilai rata-rata skor attachment ibu-anak, attachment ayah-anak dan kemandirian berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat di tabel 7. Tabel 7. Nilai Rata-Rata Skor Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Attachment Ibu
Attachment Ayah
Kemandirian
Laki-laki
98,77
91,22
50,32
Perempuan
102,38
92,82
48,14
Berdasarkan hasil penghitungan, nilai rata-rata skor attachment ibu-anak, ayah-anak dan kemandirian tidak jauh berbeda bila membandingkan berdasarkan jenis kelamin partisipan.Peneliti kemudian menggunakan uji t-test untuk mengetahui apakah perbedaan diantara partisipan laki-laki signifikan dengan partisipan perempuan. Berdasarkan hasil penghitungan menggunakan SPSS, didapatkan bahwa nilai r attachment ibu-anak sebesar 0,73, attachment ayah-anak sebesar 0,104, dan kemandirian sebesar 0,589. Bila nilai signifikansi < 0,05, maka terdapat hubungan yang signifikan. Ketiga hasil uji t-test memiliki nilai signifikansi yang lebih besar dari 0,05. Dengan kata lain, tidak terdapat adanya perbedaan yang signifikan pada skor attachment ibu-anak, attachment ayah-anak, dan kemandirian berdasarkan jenis kelamin. Skor antara partisipan laki-laki dengan partisipan perempuan memiliki varian yang sama.
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
Kesimpulan Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan, ditemukan bahwa hipotesis null satu (Ho1) ditolak dan hipotesis alternatif satu (Ha1) diterima.Selain itu, hasil juga menunjukkan hipotesis null dua (Ho2) diterima dan hipotesis alternatif dua (Ha2) ditolak.Hal ini berarti hanya attachment ibu-anak yang memiliki korelasi positif dan signifikan dengan kemandirian pada remaja akhir, sedangkan attachment ayah-anak, walaupun memiliki korelasi yang positif, tidak signifikan dengan kemandirian pada remaja akhir.Namun, walaupun attachment ibu-anak berkorelasi positif dan signifikan dengan kemandirian, hubungan di antara kedua variabel tersebut termasuk cukup lemah. Dengan kata lain, semakin baik attachment ibu-anak, semakin baik pula kemandirian pada remaja. Namun, semakin baik attachment ayah-anak, tidak bisa dipastikan semakin baik pula kemandirian seseorang.Hal ini karena hubungan attachment ayah-anak dengan kemandirian tidak signifikan.
Pembahasan Ada beberapa hal yang dibahas dalam bagian pembahasan ini. Hal pertama adalah mengenai hasil utama penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa attachment ayah-anak tidak memiliki korelasi yang signfikan dengan kemandirian. Hasil ini mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Motzoi pada tahun 2004. Motzoi meneliti attachment ibu-anak dan ayah-anak dengan kemandirian pada remaja awal. Motzoi (2004) menemukan bahwa hanya attachment ibu-anak yang memiliki hubungan dengan kemandirian, sedangkan attachment ayah-anak tidak memiliki hubungan yang kuat dengan kemandirian. Puryanti (2013) juga menemukan hasil yang serupa, namun pada sampel penelitian yang berbeda.Puryanti meneliti hubungan antara attachment ibu-anak dengan kemandirian pada siswa TK. Ia menemukan bahwa memang attachment ibu-anak memiliki hubungan dengan kemandirian anak. Salah satu penjelasannya adalah kemungkinan ibu dan ayah memiliki peran yang berbeda pada perkembangan kemandirian seseorang. Ibu mempengaruhi kemandirian dengan menyediakan dasar rasa aman bagi seseorang, sedangkan ayah mempengaruhi kemandirian dengan cara mendorong anak mereka untuk berperilaku mandiri (Motzoi, 2004). Gitter (1991) juga mengatakan bahwa terdapat kemungkinan ayah memiliki cara berinteraksi yang berbeda dengan anaknya dibandingkan dengan ibu. Perbedaan kedua hal ini yang mungkin memberikan pengaruh pada hasil penelitian ini.
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
Hasil penelitian ini justru tidak sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wiranti (2011). Ia menemukan hasil bahwa attachment dengan ibu tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemandirian. Penelitian ini ia lakukan pada remaja tunarungu yang berusia 15-20 tahun di Surabaya. Namun, jumlah partisipan dalam penelitian Wiranti cukup kecil, yaitu 30 orang. Selain itu, ia mengatakan bahwa mayoritas partisipan mengalami kesulitan dalam mengisi kuesioner yang diberikan. Kalimat-kalimat pada item yang diberikan terlalu rumit sehingga susah untuk dipahami. Usia remaja yang digunakan sebagai sampel penelitian dalam kedua penelitian ini juga berbeda. Hal ini yang mungkin menyebabkan perbedaan hasil antara penelitian Wiranti dengan penelitian ini. Hal lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah perbedaan skor attachment ibuanak dengan skor attachment ayah-anak. Skor rata-rata attachment ibu-anak lebih tinggi dibandingkan dengan skor rata-rata attachment ayah-anak. Selain itu, attachment ayah-anak memiliki rentang nilai yang lebih luas dibandingkan attachment ibu-anak. Hal ini mengindikasikan bahwa variasi dan rentang nilai attachment ayah-anak lebih besar dibandingkan attachment ibu-anak. Hal ini dibuktikan melalui uji t-test yang menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata skor yang signifikan antara attachment ayah-anak dan attachment pada ibu-anak. Sejalan dengan temuan sebelumnya yang menemukan rata-rata skor attachment ibuanak lebih tinggi dibandingkan attachment ayah-anak, penelitian ini menemukan bahwa partisipan banyak yang merasa lebih dekat dengan ibu dibandingkan ayah, namun jumlah paling banyak adalah partisipan yang merasa dekat dengan keduanya. Hal ini mungkin disebabkan karena yang menjadi pengasuh utama dalam keluarga biasanya adalah ibu (Bowlby, 1958 dalam Nickerson, Melle & Princiotta, 2008). Pengasuh utama biasanya memberikan rasa aman dan support untuk anak ( Nickerson, Melle & Princiotta, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa ibu lebih banyak memberikan support dan dapat memberikan rasa aman dibandingkan dengan ayah. Berdasarkan hasil penghitungan dengan uji t-test, penelitian ini tidak menemukan perbedaan rata-rata skor yang signifikan berdasarkan jenis kelamin partisipan. Partisipan lakilaki dan perempuan mempunyai varian skor yang sama. Hal ini tidak sama dengan hasil penelitian sebelumnya (Hurst, 2010) bahwa jenis kelamin memberikan pengaruh dalam attachment. Berdasarkan hasil yang ditemukan, jenis kelamin partisipan tidak memberikan pengaruh pada hasil penelitian ini. Hurst (2010) mengatakan bahwa jenis kelamin memberikan pengaruh pada attachment remaja, terutama yang memiliki insecure attachment,
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
namun penelitian ini tidak mengelompokkan partisipan menjadi secure dan insecure attachment. Salah satu hal yang menjadi kekurangan dalam penelitian ini tidak melibatkan faktor sosial dan ekonomi keluarga partisipan sebagai data kontrol. Contohnya adalah pekerjaan dan frekuensi bertemu orangtua. Orangtua yang sibuk dengan pekerjaannya akan memiliki sedikit waktu untuk berinteraksi dengan anaknya. Walaupun waktu untuk berinteraksi dengan anak sedikit, bukan berarti intensitas yang terjadi diantara keduanya kecil. Oleh karena itu, intensitas serta jenis kegiatan yang biasa dilakukan bersama orangtua juga perlu mendapatkan sorotan.
Saran Ada beberapa saran yang dapat disampaikan peneliti dalam penelitian ini.Saran pertama yang dapat diberikan peneliti untuk kelanjutan penelitian ini adalah terkait dengan instrumen penelitian yang digunakan. Alat ukur attachment dan kemandirian yang digunakan dalam penelitian ini masih menggunakan uji validitas dan reliabilitas internal. Peneliti menyarankan untuk menggunakan uji validitas dan reliabilitas eksternal. Contohnya menggunakan alat ukur lainnya yang sudah memiliki validitas dan reliabilitas yang baik sebagai pembanding saat uji alat ukur. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan validitas dan reliabilitas yang lebih baik. Selain itu, saran yang dapat diberikan oleh peneliti untuk peneliti selanjutnya adalah sebaiknya menggunakan populasi yang lebih besar. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja kota Depok. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan populasi remaja yang lebih luas sehingga bisa digeneralisasikan. Contohnya adalah menggunakan populasi remaja di Indonesia atau populasi remaja di kota lain. Hasil penelitian ini dapat digunakan dalam penyuluhan mengenai kualitas hubungan orangtua dengan anak.Berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat bahwa ayah memiliki nilai rata-rata attachment yang lebih kecil dibandingkan dengan ibu. Selain itu, lebih banyak partisipan yang merasa lebih dekat dengan ibu dibandingkan ayahnya. Hal ini tidak berarti bahwa ayah tidak memberikan perhatian yang cukup pada anak-anaknya, namun karena dalam sebuah keluarga biasanya ibu merupakan pengasuh utama.Ayah perlu memperhatikan kualitas hubungan yang terjalin dengan anaknya. Walaupun waktu yang dimiliki mungkin
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
lebih sedikit dibandingkan dengan ibu untuk berinteraksi dengan anak, kualitas attachment ayah dengan anak akan tetap baik bila memiliki kualitas interaksi yang baik.
Daftar Pustaka : Armsden, G. C., & Greenberg, M. T. (1987).The inventory of parent and peer attachment relationships to well-being in adolescence. Journal of Youth and Adolescence, 16 (5), 427-454. (2) Colin, Virginia L. (1996). Human Attachment.New York : McGraw-Hill Collins, W.A., & Sprinthall, N. A. (1995).Adolescent Psychology (3rded). Boston: McGraw Hill Dewi, A.A., & Valentina, T.D. (2013). Hubungan Kelekatan Orangtua-Remaja Dengan Kemandirian Pada Remaja di SMKN 1 Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana. Vol.1 No.1 181-189 Duvall, E.M., & Miller, B.C. (1985).Marriage and Family Development . New York: Harper & Row Publishers. Gravetter, F.J., & Forzano, L.B (2009).Research Methods for the Behavioral Sciences (3rded). Belmont : Cengage Learning Gitter, Alexandra H. (1999). Adolescents’ and Mothers’ Models of Attachment as Predictors of DevelopingAutonomy and Relatedness in Observed Family Interactions. University of Virginia Hurst, Jamie R.(2010). The Development of Adolescent Autonomy : Contributions of MotherChild Attachment Relationship and Maternal Sensitivity. University of Texas Murphy, D.A., Greenwell, L., Resell, J., Brecht, M., et al. (2008).Early and Middle Adolescent’s Autonomy Development. Clinical Child Psychology Psychiatry 13(2) : 253276 Monks, F.J., Knoers, A.M., & Haditono, S.R. (2006). Psikologi Perkembangan : Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gajah Mada University Press Motzoi, Clairneige. (2010). Attachment to Mother and Father and Autonomy in Early Adolescence.Department of Psychology.Concordia University. Montreal, Canada.
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014
Noom, M.J., Dekovic, M., Meeus, W. (2001).Conceptual Analysis and Measurement of Adolescent Autonomy.Journal of Youth and Adolescence.Vol.5 : 577-593 Nickerson, A.B., Mele D., & Princiotta, D. (2008). Attachment and Empathy as Predictors of Roles as Defenders or Outsiders in Bullying Interaction. Journal of School Psychology. Vol.46. 687-703 Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2008). Human Development (10thed). Boston: McGraw-Hill. Steinberg, Laurence. (2002). Adolescence (6thed). New York: McGraw Hill. .Wiranti, Ayudhira.(2011). Hubungan Antara Attachment Terhadap Ibu Dengan Kemandirian Pada Remaja Tunarungu. Jurnal Psikologi dan Perkembangan Vol 02 No.1 : 1-7
Hubungan attachment…, Raden Dimas Bagus Prabowo, FPsi UI, 2014