4
Hipotesis Penelitian Hipotesis untuk penelitian yang dilakukan yaitu: 1. Perbedaan suku menyebabkan perbedaan ambang sensori rasa dasar serta preferensinya dalam matriks pangan, atau 2. Perbedaan suku tidak menyebabkan perbedaan ambang sensori rasa dasar, namun menyebabkan perbedaan preferensinya dalam matriks pangan 3. Perbedaan gender memengaruhi perbedaan ambang sensori rasa dasar 4. Terdapat korelasi antara ambang sensori rasa dasar dengan preferensi dalam matriks pangan. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang akan dilakukan berada dalam ruang lingkup berikut. 1. Studi dilakukan pada mahasiswa TPB IPB dari tiga suku berbeda, yaitu Minang, Jawa, dan Nusa Tenggara 2. Studi difokuskan pada tiga dari lima rasa dasar, yaitu manis, pahit, dan asin 3. Matriks pangan yang digunakan untuk pengujian preferensi adalah minuman teh untuk rasa manis, minuman kopi untuk rasa pahit, dan larutan sup sayuran untuk rasa asin. Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari penelitian ini yaitu: 1. Postulasi ilmiah mengenai pengaruh perbedaan suku dan keragaman cita rasa makanan khas di Indonesia terhadap ambang sensori dan preferensi rasa dasar 2. Publikasi ilmiah mengenai keragaman cita rasa makanan khas suku di Indonesia dari sudut pandang ilmu sensori pangan.
2 TINJAUAN PUSTAKA Kebiasaan Makan Multikultural Kebiasaan makan dapat memengaruhi ambang sensori rasa dasar. Studi oleh Mitchell et al. (2013) terhadap pada penduduk Dublin (Irlandia, Eropa) memperoleh hasil bahwa individu yang terbiasa mengonsumsi makanan dengan kadar garam tinggi akan cenderung membutuhkan garam lebih banyak untuk memperoleh sensasi rasa yang sama dibandingkan dengan individu yang lebih tidak sensitif terhadap garam. Dengan kata lain, kebiasaan konsumsi makanan dengan kadar garam tinggi akan meningkatkan ambang sensori terhadap rasa asin. Selain memengaruhi ambang sensori, suku bangsa juga memengaruhi preferensi seseorang terhadap suatu makanan, terkait dengan intensitas rasa
5
tertentu pada makanan tersebut. Hasil studi Prescott et al. (1997) mengenai preferensi konsumen Jepang dan Australia terhadap intensitas rasa manis pada jus jeruk, sereal sarapan, serta es krim menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan persepsi antara kedua suku bangsa tersebut mengenai intensitas sensori. Variasi pola respon panelis terhadap kemanisan yang meningkat terlihat pada jenis matriks pangan dan suku bangsa. Meski demikian, diperoleh hasil antar suku bangsa yang sama mengenai konsentrasi kemanisan optimum untuk setiap jenis pangan yang diujikan. Ludy dan Mattes (2012) melakukan studi terhadap suku bangsa Kaukasia dan Asia dengan kebiasaan konsumsi makanan pedas yang berbeda. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa panelis yang telah mengonsumsi makanan yang mengandung cabai sejak kecil memiliki preferensi terhadap konsentrasi cabai merah yang lebih tinggi dalam matriks pangan sup tomat jika dibandingkan dengan panelis yang mengenal sensasi rasa pedas setelahnya (remaja atau dewasa). Negara-negara yang penduduknya banyak mengonsumsi cabai merah memiliki penduduk yang terbiasa dengan rasa pahit dari senyawa 6-nprophythiouracil (PROP) (Ludy dan Mattes 2012). Diduga terdapat keterkaitan antara kebiasaan konsumsi makanan pedas dengan penerimaan rasa pahit. Lanfer et al. (2013) melakukan studi mengenai ambang sensori dan preferensi terhadap rasa dasar manis, pahit, asin, dan gurih pada anak-anak di delapan negara Eropa. Pengujian preferensi rasa dasar dilakukan dalam matriks pangan yang berbeda-beda. Rasa manis diujikan dalam matriks jus apel, sedangkan rasa asin dan gurih diujikan dalam matriks kraker. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa negara asal merupakan faktor terkuat yang memengaruhi preferensi terhadap keempat rasa tersebut. Sebagai contoh, anakanak dari Jerman dan Spanyol menyukai rasa gurih dengan intensitas yang tinggi, sementara anak-anak dari Siprus dan Belgia menyukai rasa gurih dengan intensitas yang lebih rendah. Perbedaan konsentrasi rasa antara tertinggi dan terendah mencapai lebih dari dua kali lipat. Hasil analisis terhadap data menunjukkan bahwa preferensi terhadap rasa manis berkaitan dengan ambang sensori rasa asin dan gurih. Anak-anak dengan ambang sensori rasa asin dan gurih yang rendah memiliki peluang lebih besar untuk memilih jus apel dengan rasa yang lebih manis. Beberapa hasil studi mancanegara mengenai ambang sensori dan preferensi disajikan dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Indonesia merupakan negara yang penduduknya terdiri lebih dari 740 suku bangsa (Widodo 2009). Masing-masing suku memiliki unsur kebudayaan yang unik dan khas. Unsur-unsur kebudayaan tersebut di antaranya adalah sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem sarana kehidupan, serta sistem teknologi. Beberapa hal yang memiliki perbedaan menonjol antar suku adalah bahasa, norma, dan makanannya (Ariyani 2013). Makanan atau masakan merupakan kekayaan budaya suatu suku yang sering dianggap biasa. Ariyani (2013) dalam penelitiannya mengenai strategi adaptasi orang Minang terhadap bahasa, makanan, dan norma masyarakat Jawa menyebutkan bahwa orang Minang memiliki kecenderungan menyukai makanan atau masakan yang pedas. Suku Jawa cenderung berselera dengan makanan atau masakan yang manis. Dijelaskan bahwa perbedaan selera atau kebiasaan makan
6
ini tidak sepenuhnya mutlak bagi anggota suku tertentu, tetapi memang terdapat konstruksi pemikiran jenis makanan dari masing-masing suku tersebut. Tabel 1 Beberapa hasil studi ambang sensori di mancanegara No Rasa Senyawa Ambang Sensori Panelis Dasar Rasa Dasar 1 Manis Sukrosa 50 mM (sebanyak pelajar Nigeria 51.41% panelis berusia 9-17 tahun mengenali rasa dengan benar) Sukrosa 41.4 mM (ambang mahasiswa Paris pengenalan) dengan rata-rata usia 26 tahun, dalam keadaan kenyang Sukrosa 4 g/L (sebanyak 81% panelis terlatih di panelis mengenali rasa Norwegia berusia dengan benar) 31-67 tahun 2 Pahit Urea >750 mM (kurang dari pelajar Nigeria 40% panelis berusia 9-17 tahun mengenali rasa dengan benar) Quinin 0.0068 mM (ambang mahasiswa Paris sulfat pengenalan) dengan rata-rata usia 26 tahun, dalam keadaan kenyang Kafein 0.14 g/L (sebanyak panelis terlatih di 81% panelis Norwegia berusia mengenali rasa dengan 31-67 tahun benar) 3 Asin NaCl 30 mM (sebanyak pelajar Nigeria 64.89% panelis berusia 9-17 tahun mengenali rasa dengan benar) NaCl 19.3 mM (ambang mahasiswa Paris pengenalan) dengan rata-rata usia 26 tahun, dalam keadaan kenyang NaCl 0.3 g/L (sebanyak panelis terlatih di 71% panelis Norwegia berusia mengenali rasa dengan 31-67 tahun benar) NaCl 10.08 ± 0.78 mM penduduk Irlandia (ambang deteksi) dan berusia 22-56 tahun 22.23 ± 1.27 mM (ambang pengenalan)
Sumber
Okoro et al. (1998) Pasquet et al. (2006) Bitnes et al. (2007) Okoro et al. (1998) Pasquet et al. (2006) Bitnes et al. (2007) Okoro et al. (1998) Pasquet et al. (2006) Bitnes et al. (2007) Mitchell et al. (2013)
7
Tabel 2 Beberapa hasil studi preferensi di mancanegara No Rasa Matriks Preferensi Panelis Dasar Pangan 1 Manis Jus jeruk Jus jeruk dengan konsumen Australia komersial penambahan gula berusia 19-60 tahun sebanyak 20 g/L Jus jeruk dengan konsumen Jepang penambahan gula berusia 20-54 tahun sebanyak 20 g/L Sereal Sereal dengan konsumen Australia sarapan kandungan gula (berusia 21-60 komersial 225% tahun) dan Jepang (berusia 21-54 tahun) Es krim Es krim dengan konsumen Australia komersial kandungan gula berusia 19-55 tahun 13% Es krim dengan konsumen Jepang kandungan gula berusia 20-43 tahun 15% (standar) 2 Pahit Jus jeruk Jus jeruk tanpa konsumen Australia (grapefruit) penambahan (berusia 19-53 komersial kafein (0 g/L) tahun) dan Jepang (berusia 21-45 tahun) 3 Asin Sup Sup sayuran penduduk Irlandia sayuran dengan berusia 22-56 tahun komersial kandungan garam 0.93% tidak berbeda signifikan dengan 0.45% Kraker Kraker dengan anak-anak di delapan penambahan negara Eropa berusia kandungan garam 6-9 tahun Sereal Sereal dengan konsumen Australia sarapan kandungan garam (berusia 24-55 komersial 75% tahun) dan Jepang (berusia 21-54 tahun)
Sumber Prescott et al. (1997) Prescott et al. (1997) Prescott et al. (1997)
Prescott et al. (1997) Prescott et al. (1997) Prescott et al. (1998)
Mitchell et al. (2013)
Lanfer et al. (2013) Prescott et al. (1998)
Hasil penelitian Ariyani (2013) menunjukkan bahwa makanan Jawa memiliki kekhasan yang berbeda sesuai daerah asalnya, namun secara prinsip terdapat kesamaan dalam cita rasanya. Jenis makanan yang umum adalah ramesan dan penyet. Hampir sebagian besar masakan menggunakan campuran gula, baik gula putih (pasir) ataupun gula merah.
8
Menurut Ariyani (2013), orang Minang yang merantau ke daerah Jawa melakukan strategi adaptasi dengan bahasa dan norma yang berlaku. Adaptasi juga dilakukan terhadap makanan yang merupakan kebutuhan dasar alamiahbiologis. Dalam mengonsumsi makanan Jawa, orang Minang melakukan adaptasi dengan memilih makanan yang cenderung pedas atau menyertakan sambal yang dapat memberikan rasa pedas, atau dengan memasak makanan sendiri. Orang Minang melakukan pemilihan terhadap jenis makanan yang dikonsumsi, sebab masakan yang manis cenderung membuat orang Minang merasa mual dan ingin muntah. Adaptasi konsumsi makanan memerlukan pembiasaan dalam waktu cukup lama. Perbedaan kebiasaan makan antar suku di Indonesia tersebut merupakan hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, dalam kaitannya dengan ambang sensori rasa dasar dan preferensinya dalam matriks pangan.
Ambang Sensori Meilgaard et al. (2007) menjelaskan bahwa ambang sensori atau threshold adalah batas kapasitas sensori manusia. Ambang dapat digolongkan menjadi empat, yaitu ambang mutlak atau ambang deteksi, ambang pengenalan, ambang beda, dan ambang terminal. Ambang deteksi adalah stimulus terendah yang dapat memberikan sensasi. Jika stimulus tersebut telah dapat dikenali dan diidentifikasi secara spesifik, maka konsentrasi terendahnya disebut dengan ambang pengenalan. Umumnya ambang pengenalan lebih tinggi dari ambang deteksi. Ambang beda adalah perubahan konsentrasi yang dibutuhkan untuk memberikan perbedaan intensitas yang dapat dikenali, sedangkan ambang terminal adalah konsentrasi yang jika dinaikkan tidak terjadi perubahan intensitas lagi, berkaitan dengan kejenuhan kuncup pengecap. Secara garis besar, terdapat tiga kategori utama pada metode penentuan ambang sensori (Kolpin 2008). Ketiga kategori utama tersebut adalah staircase procedures, R-index measures, dan alternative forced choice. Staircase procedures umum digunakan untuk menentukan ambang deteksi dan ambang lainnya, seperti ambang beda atau ambang pengenalan. Metode tersebut menggunakan serangkaian reverse 2-alternative forced choices (2-AFC). Metode 2-AFC dilakukan dengan menggunakan sepasang sampel, terdiri dari satu sampel yang mengandung stimulus dan satu sampel yang tidak mengandung stimulus (netral). Panelis diminta untuk menentukan sampel mana yang mengandung stimulus. Jika jawaban panelis salah, pengujian dilanjutkan menggunakan sampel yang mengandung stimulus dengan konsentrasi lebih tinggi. Jika jawaban panelis benar, pengujian diulang pada konsentrasi stimulus yang sama. Jawaban benar sebanyak dua kali pada konsentrasi stimulus yang sama akan berlanjut dengan pengujian menggunakan stimulus dengan konsentrasi lebih rendah. Peningkatan dan penurunan konsentrasi yang digunakan tersebut dikenal dengan nama reversal. Prosedur reversal dilakukan hingga rasa dari dua peningkatan berturutturut dapat dijawab dengan benar. Ambang pengenalan ditentukan dari rata-rata konsentrasi terendah yang dikenali pada setiap reversal (Pasquet et al. 2006). Metode R-index didasarkan pada signal detection theory (SDT). Meilgaard et al. (2007) menjelaskan bahwa SDT merupakan sistem yang berdasarkan pada gagasan bahwa yang akan dituju bukanlah ambang sensori, melainkan perbedaan
9
psikologis antara dua stimulus, yang dilambangkan dengan d’. R-index merupakan peluang pemberian jawaban benar pada pengujian pasangan sampel signal (S) dan noise (N). Perbedaan yang besar antara dua stimulus akan memberikan peluang yang lebih besar untuk terdeteksinya perbedaan, sehingga Rindex akan bernilai besar (Kolpin 2008). Lebih lanjut, Simpson et al. (2012) menjelaskan bahwa sampel terdiri dari set dengan satu S dan dua N disajikan secara acak. Panelis diminta untuk menjawab apakah suatu sampel merupakan S atau N, serta yakin atau tidak dengan jawaban tersebut. Deteksi stimulus merupakan hasil dari pengambilan keputusan yang bergantung pada tingkat keyakinan dan akurasi panelis. Metode three-alternative forced-choice (3-AFC) ascending concentration series method of limits dideskripsikan dalam American Standard of Testing Materials atau ASTM E679 (ASTM 2011) dan ASTM 1432. Kedua metode tersebut menggunakan set sampel yang terdiri dari satu sampel berisi stimulus (test sample) dan dua blanko (blank sample). Panelis diminta untuk mengidentifikasi sampel mana yang merupakan test sample. Jumlah set sampel yang digunakan bervariasi, namun setiap set sampel mengandung test sample berisi stimulus dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Peningkatan konsentrasi pada setiap set harus merupakan faktor konstan, misalnya 2 atau 3. Panelis memulai pengujian pada set yang mengandung sampel dengan konsentrasi stimulus terendah, dan bertahap dilanjutkan ke set dengan konsentrasi stimulus lebih tinggi pada sampel (ascending concentration). Jawaban panelis dinilai dengan 0 untuk jawaban salah dan + untuk jawaban benar. Perbedaan ASTM E679 dan ASTM 1432 terletak pada jumlah pengulangan yang dilakukan serta pengolahan data untuk memperoleh ambang sensori. Pada ASTM E679, pengujian untuk seluruh set hanya dilakukan satu kali, sedangkan pada ASTM 1432 dilakukan pengulangan untuk seluruh set sebanyak 5-7 kali (Kolpin 2008). Oleh karena itu ASTM E679 disebut juga dengan metode cepat. Ambang sensori grup pada ASTM 1432 ditentukan berdasarkan metode frekuensi. Ambang deteksi grup merupakan konsentrasi yang memberikan jawaban benar sebanyak 50% dari seluruh panelis. Metode pengolahan data yang digunakan oleh ASTM E679 memperhitungkan perkiraan terbaik (best estimate) dari setiap panelis, kemudian memperhitungkan geometric mean untuk memperoleh nilai akhir ambang sensori dari grup (ASTM 2011). Lawless (2010) menyatakan bahwa metode ASTM E679 terbukti mampu memperkirakan ambang sensori untuk rasa dan aroma, serta telah digunakan lebih dari 30 tahun. Metode-metode pengujian ambang sensori tersebut telah umum digunakan dalam studi sensori, sehingga telah terdapat berbagai evaluasi. Kolpin (2008) menyatakan bahwa tidak ada prosedur baku untuk staircase method, sehingga tidak dapat dipastikan berapa reversal yang dibutuhkan untuk memperoleh ambang sensori yang valid. Metode tersebut membutuhkan pengolahan data langsung sebelum pengambilan keputusan berupa reversal. Selain itu, staircase method membutuhkan sampel dalam jumlah banyak serta perhatian individu untuk masing-masing panelis. Metode lainnya yaitu R-index memiliki kelemahan dalam pengolahan data yang rumit. Dibutuhkan pengulangan sehingga dicapai perbedaan R-index di atas 50%. Hasil yang akurat baru dapat dicapai dengan 2040 set pengujian, hampir sama dengan ASTM 1432. Kelemahan dari ASTM 1432
10
terletak pada banyaknya pengulangan set pengujian serta waktu pengujian yang panjang. Total 20-40 set pengujian tersebut dilakukan selama 5-7 hari berbeda. Studi terhadap ambang sensori haze (kompleks protein dan pektin yang menyebabkan kekeruhan) pada jus apel menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dari staircase method sama dengan hasil yang diperoleh dari ASTM E679. Kelebihan metode ASTM E679 dibandingkan dengan ASTM 1432 yaitu jumlah sampel yang tidak terlalu banyak (3 sampel untuk setiap set, dengan jumlah 6-10 set) dan waktu pelaksanaan yang cepat (hanya satu kali pengulangan). Penetapan ambang sensori secara konvensional pada konsentrasi yang memberikan kemungkinan deteksi sebesar 50% dilakukan pada ASTM 1432, namun hal tersebut dipengaruhi oleh individu yang melakukan pengujian (Lawless 2010). Oleh karena itu, hasil yang diperoleh dari pengolahan data dengan metode ASTM E679 dilaporkan sebagai “not far therefrom” atau “tidak jauh dari” (ASTM 2011). Hasil penelitian Kolpin (2008) menunjukkan bahwa pengujian ambang sensori rasa pahit pada asam hop (Humulus lupulus) bir dan madu dengan metode ASTM E679 memberikan hasil yang tidak berbeda signifikan dengan metode ASTM 1432.
Preferensi Sensori Preferensi sensori termasuk ke dalam uji afektif, dengan tujuan utama memperoleh respon personal terhadap produk, ide dari sebuah produk, ataupun karakteristik produk yang spesifik (Meilgaard et al. 2007). Selain preferensi, yang tergolong uji afektif adalah penerimaan. Uji afektif dilakukan dengan panelis konsumen, maka sering pula disebut uji konsumen. Hasil dari uji afektif dapat berguna untuk menjaga kualitas produk, optimasi atau peningkatan kualitas produk, pengembangan produk baru, mengetahui pasar yang potensial, review kategori produk, ataupun sebagai data pendukung untuk klaim produk. Uji afektif dapat dilakukan secara kualitatif dengan metode focus group, focus panels, mini groups, ataupun one-on-one interview. Uji afektif dapat pula dilakukan secara kuantitatif. Metode yang digunakan bergantung pada jumlah sampel dan jenis data yang ingin diperoleh. Untuk sampel dengan jumlah tiga atau lebih, pengujian preferensi dapat dilakukan dengan metode ranking. Pada metode simple ranking test, panelis menerima sejumlah sampel dan diminta memberikan penilaian secara berurut, misalnya 1 untuk penilaian terendah, dilanjutkan dengan angka-angka berikutnya (2, 3, dan seterusnya bergantung pada jumlah sampel) untuk penilaian yang lebih tinggi. Analisis dan interpretasi data dilakukan dengan Friedman’s test dan uji lanjut LSDrank (Meilgaard et al. 2007). Lebih lanjut, Meilgaard et al. (2007) menjelaskan bahwa kekurangan dari metode ranking adalah data yang bersifat ordinal (non-parametrik), sehingga data tidak dapat menggambarkan besarnya perbedaan. Oleh karena itu, uji preferensi sering pula dilakukan dengan metode rating. Meski metode rating umum digunakan untuk uji penerimaan, uji preferensi berkaitan erat dengan uji penerimaan. Penerimaan yang tinggi menandakan preferensi yang tinggi pula. Pada uji rating, panelis menerima sejumlah sampel dan diminta memberikan penilaian menggunakan skala spesifik. Uji rating dapat dilakukan dengan skala kategori (seperti skala 1-9) ataupun skala garis, dengan data bersifat numerik
11
(parametrik). Analisis data dilakukan dengan ANOVA. Jika terdapat sampel yang berbeda nyata, dapat dilakukan uji lanjut dengan LSD atau Tukey-HSD. Kim dan O’Mahony (1998) mengevaluasi efektivitas penggunaan metode tradisional 9-skala rating. Studi-studi sebelumnya menggunakan 9-skala kategorik dinyatakan memberikan hasil yang tidak konsisten. Adanya efek adaptasi selama pengujian dapat memberikan perubahan intensitas yang diterima antara sampel yang diuji pertama kali dengan sampel-sampel berikutnya. Kemungkinan lainnya adalah stimulus mungkin membingungkan bagi panelis sehingga tidak dapat langsung dibedakan dengan prosedur uji rating. Perbedaan intensitas dalam jumlah yang rendah dapat membingungkan sehingga tidak berbeda signifikan dengan metode tersebut. Selain itu, jumlah sampel yang banyak dapat menyebabkan panelis sulit mengingat nilai yang diberikan terhadap intensitas suatu atribut pada sampel awal dan sampel-sampel berikutnya, sebab pencicipan ulang tidak diperbolehkan. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, dapat digunakan metode Rank-Rating. Metode Rank-Rating menggunakan 9-skala yang sama seperti metode rating, namun panelis dapat mengulang pencicipan seperti pada metode ranking. Pencicipan ulang memungkinkan panelis memberikan penilaian secara lebih baik, karena kesulitan mengingat intensitas ataupun nilai dapat diminimalisir. Panelis diberi kartu bantu besar yang mencantumkan 9-skala penilaian. Panelis memberikan penilaian dengan meletakkan wadah sampel pada skala di kartu bantu besar. Metode Rank-Rating memperbolehkan pengubahan nilai yang diberikan selama pengujian karena adanya stimulus dengan intensitas baru yang diterima pada sampel-sampel selanjutnya (Kim dan O’Mahony 1998). Studi oleh Kim dan O’Mahony (1998) mengenai intensitas NaCl menggunakan 9-skala rating dan Rank-Rating memberikan hasil bahwa metode Rank-Rating memiliki nilai kesalahan yang lebih rendah (5.0±2.2) dibandingkan dengan metode 9-skala rating tradisional (7.2±3.1). Dengan metode Rank-Rating, panelis memberikan nilai yang tidak berbeda signifikan pada sampel yang memiliki intensitas sama, serta nilai yang berbeda secara signifikan pada sampelsampel yang memiliki perbedaan intensitas meski perbedaan tersebut rendah. Metode 9-skala rating menunjukkan hasil bahwa panelis sulit memberikan penilaian yang berbeda signifikan pada sampel-sampel yang memiliki perbedaan intensitas rendah. Metode Rank-Rating juga dapat dilakukan dengan jumlah panelis yang lebih sedikit. Pada studi tersebut, hasil yang sama berupa perbedaan signifikan antarsampel diperoleh dengan menggunakan 6 panelis untuk metode Rank-Rating dan 12 panelis untuk metode 9-skala rating. Dengan demikian, metode Rank-Rating lebih efektif digunakan daripada metode 9-skala rating untuk penilaian intensitas.