Hasil Tangkapan dan Upaya Penangkapan ..... di Perairan Kepulauan Seribu (Hartati, S.T., et al.)
HASIL TANGKAPAN DAN UPAYA PENANGKAPAN MUROAMI, BUBU DAN PANCING ULUR DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU Sri Turni Hartati1), Karsono Wagiyo2), dan Prihatiningsih2) 1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta 2) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 28 Pebruari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 21 Maret 2011; Disetujui terbit tanggal: 31 Maret 2011
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli dan Nopember 2010, dengan tujuan mengkaji hasil tangkapan ikan ekor kuning (Caesionidae), kerapu (Serranidae), dan kakaktua (Scaridae), melalui kegiatan penangkapan jaring muroami, bubu, dan pancing ulur. Data yang dikumpulkan meliputi kelimpahan dan komposisi hasil tangkapan, aspek biologi ikan, produksi dan upaya penangkapan. Kelimpahan hasil tangkapan muroami berkisar 161-222 kg/perahu/hari didominansi oleh ikan ekor kuning (35,6-44,5%), bubu 9-12 kg/kapal/hari didominansi oleh ikan kakaktua 50% dan kerapu 13%, pancing ulur 1-87 kg/kapal/hari didominansi oleh ikan kurisi (Nemipterus spp.) dan kuwe (Caranx spp. dan Carangoides spp.) (38,1-41,2%) dan kerapu 11,2-20,6%. Sebaran panjang ikan ekor kuning bulan Juli dan Nopember 14,5-30,2 cm dan 13,1-29,5 cm, kakaktua 14,8-26,5 cm dan 12,8-38,7 cm, dan kerapu pada bulan Juli 18,4-23,5 cm. Ikan ekor kuning dan kakaktua mempunyai beberapa kelompok umur, mengindikasikan ada beberapa frekuensi pemijahan dalam setahun. Tingkat kematangan gonad ikan ekor kuning betina bulan Juli didominansi stadia 1, bulan Nopember didominansi stadia 4, dan kakaktua pada bulan Juli dan Nopember didominansi stadia 1. Data tingkat kematangan gonad belum dapat digunakan untuk menduga musim pemijahan. Rendahnya kelimpahan hasil tangkapan ikan kerapu, serta minimnya informasi biologi karena sulitnya memperoleh contoh mengindikasikan bahwa populasi ikan kerapu sudah terdegradasi. Tren catch per unit of effort muroami memiliki kecenderungan meningkat kembali pada tahun 2008 dan 2009, yaitu 12,99 dan 10,26 ton/unit/tahun, setelah mengalami penurunan yang tajam antara tahun 20002007 yaitu 0,03-0,64 ton/unit/tahun. Produksi ikan kerapu dan kakaktua relatif rendah, tahun 20082010 pada kisaran 75-505 kg/tahun, dan 2.359-3.267 kg/tahun, serta berfluktuasi pada setiap bulannya. KATA KUNCI:
hasil tangkapan, ikan ekor kuning, kerapu, kakaktua, jaring muroami, bubu, pancing ulur, Kepulauan Seribu
ABSTRACT:
Catch and effort of muroami nets, traps and handline in the waters of Kepulauan Seribu. By: Sri Turni Hartati, Karsono Wagiyo, and Prihatiningsih
The study was conducted in July and November 2010, with the aim to assess the catch of yellow tail, grouper, and parrotfish, through fishing activities using muroami nets, traps, and handline. Data collected include the abundance and composition of the catch, fish biology, production and fishing effort. Abundance of muroami catch ranged 161-222 kg/boat/day, dominated by yellow tail (35.644.5%), traps 9-12 kg/boat/day dominated by the parrot fish 50%, and groupers 13%, handline 1-87 kg/boat/day dominated by threadfin bream and trevally (38.1-41.2%) and grouper from 11.2-20.6%. Yellow tail length distribution in July and November was 14.5-30.2 cm and 13.1-29.5 cm, parrot fish 14.8-26.5 cm, and 12.8-38.7 cm, and grouper in July 18.4-23.5 cm. Yellow tail and parrot fish have some age groups, indicating there was some spawning frequency in a year. Gonad maturity stages yellow tail female in July dominated by stage 1, in November was dominated by stage 4, and parrot fish in July and November dominated by stage 1. Gonad maturity stages data can not be used to estimate the spawning season. The low abundance of fish catch of grouper, and the lack of biological information because of the difficulty for obtaining samples indicates that the grouper population has been degraded. Catch per unit of effort of muroami tended to increase again in 2008 and 2009 of which (12.99 and 10.26 tons/unit/year ), after experiencing a sharp decline between the years 20002007 of which (0.03-0.64 tons/unit/year). In 2008-2010 the production of grouper and parrotfish were relatively low, in the range of 75-505 kg/year, and 2,359-3,267 kg/year, fluctuated on a monthly basis. KEYWORDS:
exploitation, fish resources, yellow tail, grouper, muroami net, tropis, handline, and Seribu Island
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) 64711940, Fax. (021) 6402640, E-mail:
[email protected]
83
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 83-94
PENDAHULUAN Secara administrasi, Kabupaten Kepulauan Seribu berada di bawah Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta, dengan luas perairan 7.000 km2, terdiri atas 108 pulau dengan dasar batu karang (Anonimus, 2006). Melihat kondisi ekosistem kepulauan yang menyebar dapat diduga bahwa sumber daya ikan dominan yang berada di wilayah pengelolaan tingkat kota, sekitar 4 mil dari garis pantai berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah ikan karang. Beberapa wilayah terumbu karang tampaknya sudah mengalami kerusakkan baik yang diakibatkan oleh pencemaran ataupun kegiatan penangkapan ikan. Kesehatan terumbu karang di perairan Pulau Kelapa pada tahun 1999 menunjukkan kategori buruk sampai sedang, penutupan karang hidup pada kisaran 0-9,9% (Lazuardi & Nugroho, 2000). Anonimus (2007a); Anonimus (2008), penutupan karang hidup di 15 stasiun pengamatan pada kisaran 21-81%. Menurut Warsa & Purnawati (2010), kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu yang ditetapkan sebagai daerah perlindungan laut, penutupan karang hidup berkisar 30-75%. Kesehatan terumbu karang di Gugusan Pulau Pari pada kategori sedang sampai baik, penutupan karang hidup berkisar 41-55% (Hartati & Edrus, 2011). Beberapa kelompok ikan karang dominan dan bernilai ekonomis, serta di antaranya merupakan icon dari Kepulauan Seribu adalah ikan kerapu, ekor kuning, dan kakaktua. Pengusahaan ketiga jenis ikan tersebut di Kepulauan Seribu sudah dimulai sejak tahun 1960an, dan mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, dengan produksi per tahun setiap jenisnya mencapai lebih dari 1.000 ton. Hasil penelitian Subani (1978), produksi ikan ekor kuning yang merupakan hasil tangkapan utama jaring muroami pada tahun 1969-1977 mencapai kisaran 800-1.400 ton/tahun, kondisi ini sangat berbeda pada tahun 2001-2007, hasil tangkapan hanya pada kisaran 1-34 ton/tahun (Anonimus, 2007). Ikan ekor kuning merupakan hasil tangkapan utama jaring muroami di perairan Kepulauan Seribu (Anonimus, 2010). Isu-isu terakhir ada kemungkinan bahwa ikan kakaktua yang jenisnya relatif banyak dan melimpah di perairan Kepulauan Seribu dan bukan merupakan sasaran utama penangkapan, akan dimasukkan dalam Cites. Hal ini tentunya tidak boleh terjadi dan diluruskan, melalui rekomendasi dari hasil-hasil penelitian. Menurut Hartati et al. (2004), hasil tangkapan bubu di perairan Gugusan Pulau Kelapa
84
dan sekitarnya di antaranya didominansi oleh kelompok ikan kakaktua dan kerapu. Hasil sensus visual melalui transek garis di terumbu karang Pulau Kudus, Pulau Pari, dan Pulau Tikus, jenis ikan karang konsumsi yang dominan di antaranya ikan kakaktua dan kerapu (Hartati & Edrus, 2010). Tujuan penelitian ini adalah mengkaji hasil tangkapan ikan ekor kuning, kakaktua, dan kerapu di perairan Kepulauan Seribu, melalui kegiatan penangkapan dengan menggunakan jaring muroami, bubu ikan, dan pancing ulur. Data dan informasi yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan di perairan Kepulauan Seribu dan wilayah pesisir pada umumnya. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli dan Nopember 2010, melalui kegiatan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap jaring muroami, bubu ikan, dan pancing ulur, serta pengamatan aspek biologi ikan hasil tangkapan nelayan di perairan Kepulauan Seribu. Data yang dikumpulkan meliputi kelimpahan dan komposisi jenis hasil tangkapan, biologi ikan, produksi, dan upaya penangkapan. Kelimpahan dan Komposisi Hasil Tangkapan Kelimpahan dan komposisi jenis hasil tangkapan diperoleh dengan menimbang seluruh hasil tangkapan, kemudian disortir dan ditimbang kembali menurut jenis ikan. Identifikasi jenis ikan mengacu pada Tarp & Patricia (1984); Kuiter (1992). Biologi Ikan Pengamatan biologi ikan meliputi tingkat kematangan gonad dan sebaran ukuran panjang dan bobot. 1. Tingkat kematangan gonad. Menurut (Holden & Raitt, 1974) terdapat lima tingkatan kematangan gonad pada ikan, di mana ovari dan testes masingmasing tingkatan berbeda (Tabel 1). 2. Sebaran panjang dan bobot ikan. Terdapat berbagai cara pengukuran panjang ikan. Pada penelitian ini yang digunakan adalah panjang cagak (fork length), yang pada umumnya untuk ikan yang sirip ekornya keras (misal ikan kerapu, famili Serranidae) atau bentuk siripnya khusus (misal ikan kurisi, famili Nemipteridae). Bobot dan panjang setiap individu ikan ditimbang, dan digunakan untuk analisis hubungan panjang dan
Hasil Tangkapan dan Upaya Penangkapan ..... di Perairan Kepulauan Seribu (Hartati, S.T., et al.)
bobot, sehingga diketahui pola pertumbuhan setiap jenis ikan.
b = penduga pola pertumbuhan panjang dan bobot
Analisis data hubungan panjang dan bobot ikan menggunakan pola hubungan eksponensial dapat dilihat pada rumus (Effendie, 1979): W = aLb yang kemudian dilakukan transformasi ke persamaan linier dengan mengalogaritmakan sehingga berbentuk Log W = Log a + Log L
Dari persamaan tersebut dapat diketahui pola pertumbuhan panjang dan bobot ikan. Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan dengan kriteria: a. Jika b = 3, pertumbuhan bersifat isometrik, yaitu pertumbuhan panjang sama dengan pertumbuhan bobot. b. Jika b > 3 maka pola pertumbuhan bersifat allometrik positif, yaitu pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan panjang. c. Jika b < 3 maka pola pertumbuhan bersifat allometrik negatif, yaitu pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobot.
di mana: W = bobot L = panjang a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang dan bobot dengan sumbu Y)
Tabel 1. Table 1. Stadia/Stage I
Deskripsi tingkat kematangan gonad Description of gonad maturity stages Status/Condition Imature
II
Maturing virgin
III
Ripening
IV
Ripe
V
Spent
Keterangan/Remarks Ovari dan testes kira-kira 1/3 panjang rongga badan. Ovari berwarna kemerah-merahan, bening. Tes-tes keputih-putihan. Telur tidak terlihat dengan mata telanjang. Ovari dan testes kira-kira 1/2 panjang rongga badan, bening atau jernih. Tes-tes keputih-putihan, kurang lebih simetris. Telur tidak terlihat dengan mata telanjang. Ovari dan testes kira-kira 2/3 panjang rongga badan. Ovari berwarna kuning kemerah-merahan, kelihatan butiran. Tes-tes keputihan sampai krem. Tidak ada telur yang tembus cahaya atau jernih. Ovari dan testes 2/3 sampai memenuhi rongga badan. Ovari berwarna merah jambu/orange dengan pembuluh darah yang terlihat jelas dipermukaannya. Terlihat telur yang masak dan tembus cahaya. Tes-tes keputih-putihan/krem dan lembut. Ovari dan testes mengerut sampai menjadi kira-kira 1/2 panjang rongga badan. Dinding-dinding kendur. Ovari dapat mengandung sisa-sisa telur, gelap, atau jernih.
Produksi Ikan dan Upaya Penangkapan Data produksi ikan dan upaya penangkapan atau jumlah alat tangkap yang aktif melakukan kegiatan penangkapan diperoleh dari Tempat Pendaratan Ikan Muara Angke dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Seribu. HASIL DAN BAHASAN Aktivitas Penangkapan, Kelimpahan, dan Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Muroami Kegiatan penangkapan dari jaring muroami di wilayah Kepulauan Seribu dilakukan secara harian (one day fishing trip), berangkat jam 07.00-15.00,
sebanyak 3-5 kali tawur. Armada yang digunakan adalah kapal motor dan perahu sampan, dengan awak kapal antara 16-20 orang. Kapal motor menggunakan dua mesin untuk menggerakkan baling-baling kapal dengan kekuatan 23 PK dan kompresor 120 PK. Beberapa orang dari awak kapal dengan bantuan oksigen dari kompresor bertugas menyelam untuk mencari gerombolan ikan, menurunkan dan menarik jaring. Daerah penangkapan jaring muroami yaitu di sekitar Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya, Pulau Sepa, Pulau Sebaru, Pulau Ganteng, Pulau Tidung, Pulau Kotok, Karang lebar, Pulau Pari, Pulau Untung Jawa, Pulau Air, Pulau Kelapa, Pulau Harapan, Pulau Laki, Pulau Pamegaran, Karang Congkak, Pulau Bokor, Pulau Bira Besar, Pulau Peniki, Pulau Gosong Sekati, Pulau Jukung, Karang Beras, dan Pulau Semak Daun. Posisi daerah
85
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 83-94
penangkapan dan hasil tangkapan yang diperoleh dengan mengikuti kegiatan nelayan jaring muroami bulan Juli 2010 disajikan pada Tabel 2. Data komposisi Tabel 2. Table 2.
Lokasi setting alat tangkap jaring muroami di perairan Kepulauan Seribu Setting location of muroami fishing gear in the waters of Kepulauan Seribu
Setting
Jam/Time
1 2 3 4
10.20 11.50 13.55 14.30
Tabel 3. Table 3.
Posisi/Position Lintang/Latitude Bujur/Longitude 05º55’32.9” 106º43’42.3” 05º55’22.9” 106º43’19.8” 05º55’09.8” 106º43’42.2” 05º44’20.1” 106º37’11.9”
Hasil tangkapan/Catch (kg) 50 20 30 61
Komposisi hasil tangkapan jaring muroami (%) di perairan Kepulauan Seribu Catch composition of muroami fishing gear (%) in the waters of Kepulauan Seribu
No.
Jenis/Species
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Caesio cuning Pterocaesio digramma Scarus fasciatus Scarus niger Scarus globiceps Scarus frenatus Scarus ghobban Scarus bowersi Scarus flavipectoralis Siganus guttatus Siganus javus Epinephelus fasciatus Selaroides leptolepis Hemiramphus far
Juli/ July 2010 35,6 32,4 5,8
Nopember/ November 2010 44,5 1,3 0,9 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
1,9 8 0,4 10 9,2
25,3
Hasil tangkapan jaring muroami yang didaratkan di Pulau Pramuka pada bulan Juli 2010 berdasarkan atas data pengumpul, kelimpahannya bervariasi, yaitu berkisar 40-364 kg/kapal/hari. Komposisi hasil tangkapan berdasarkan atas bobot, didominansi oleh ikan ekor kuning (Caesio cuning) 35,6%, pisangpisang (Pterocaesio digramma) 32,4%, selar kuning (Selaroides leptolepis) 10%, barakuda (Hemirhampus far) 9,2%, kakaktua (Scarus fasciatus) 5,8%, dan jenis-jenis lainnya kurang lebih 7%. Hasil tangkapan bulan Nopember 2010 relatif hampir sama, yaitu berkisar 117-339 kg/kapal/hari. Hasil tangkapan dengan mengikuti kegiatan nelayan 222 kg/kapal/hari, berdasarkan atas bobot didominansi oleh ikan ekor kuning (Caesio cuning) 44,5%, selar kuning (Selaroides leptolepis) 25,3%, gebel (Platax batavianus) 11%, beronang (Siganus javus) 8%, botok laut (Abudefduf saxatilis) 2,7%, kakaktua (Scarus fasciatus) 1,3%, dan jenis ikan lainnya kurang lebih 2%. Hartati et al. (2010), mengatakan bahwa kelimpahan rata-rata hasil tangkapan jaring muroami di perairan Kepulauan Seribu pada tahun 2008 adalah 63 kg/kapal/hari. Dengan demikian ada indikasi
86
jenis ikan hasil tangkapan jaring muroami bulan Juli dan Nopember 2010 disajikan pada Tabel 3.
No. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Jenis/Species Hemiramphus far Carangiodes plagiotania Platax batavianus Abudefduf saxatilis Hemigymnus melapterus Cirrhilabrus cyanopleura Scolopsis ciliatus Scolopsis margaritifer Upeneus tragula Acanthurus xanthopterus Un identified Total (%) Total (kg)
Nopember/ Juli/ November July 2010 2010 9,2 4,3 11 2,7 0,9 0,9 0,1 0,1 0,1 0,1 2 100 100 161 222
bahwa hasil tangkapan ikan ekor kuning di perairan Kepulauan Seribu pada tahun 2010 memiliki kecenderungan meningkat. Bubu Ikan Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bubu di Kepulauan Seribu bersifat harian, menggunakan kapal relatif lebih kecil, yaitu ukuran panjang 10 m, lebar 1,5 m, dan dalam 1 m, dengan jumlah anak buah kapal 1-2 orang. Nelayan bubu berdomisili di Pulau Panggang, Pulau Harapan, dan Pulau Kelapa. Bubu yang digunakan terbuat dari anyaman kawat dan bambu, dipasang pada kedalaman 5-30 m. Bubu yang dipasang di sekitar Pulau Harapan, Pulau Kelapa, dan Pulau Tidung berjumlah 30-40 buah terbuat dari kawat, sedangkan bubu yang dipasang sekitar Pulau Pramuka dan Pulau Panggang berjumlah 7-10 buah terbuat dari bambu dengan jarak antar bubu 10 m, dan pemasangan bubu dilakukan selama 1-2 hari. Bubu yang terbuat dari anyaman bambu berukuran panjang 60 cm, lebar 40 cm, dan tinggi 20 cm. Daerah penangkapan meliputi
Hasil Tangkapan dan Upaya Penangkapan ..... di Perairan Kepulauan Seribu (Hartati, S.T., et al.)
sekitar Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Harapan, Pulau Tidung, Pulau Kelapa, dan perairan paling utara Kepulauan Seribu yaitu dari Pulau Gosong sampai ke Pulau Pabelokan. Posisi geografi daerah penangkapan bubu ikan dapat dilihat pada Tabel 4.
kakaktua (Scarus prasiognathus) 10,8%, kakaktua (Scarus rivulatus) 9,5%, kea-kea (Siganus virgatus) 9,3%, dan tujuh jenis ikan lainnya kurang lebih 23%, masing-masing pada kisaran 1,5-4,7%. Hasil tangkapan bubu pada bulan Nopember 2010 adalah 12 kg/kapal/hari, berdasarkan atas bobot didominansi oleh kea-kea (Siganus virgattus) 34%, botok laut (Abudefduf saxatilis) 24,5%, kakaktua (Scarus rubroviolaceus) 8,5%, swangi (Sargocentrum rubrum) 7,2%, dan kurang lebih 25% lainnya adalah beberapa jenis kakaktua dan jenis-jenis ikan karang lainnya. Kelimpahan dan komposisi hasil tangkapan bubu pada bulan Juli dan Nopember 2010 disajikan pada Tabel 5.
Kelimpahaan hasil tangkapan bubu ikan di perairan Kepulauan Seribu pada bulan Juli 2010 berkisar 4-14 kg/kapal/hari. Hasil tangkapan dengan mengikuti kegiatan nelayan 9 kg/kapal/hari, berdasarkan atas bobot didominansi oleh ikan kakaktua (Scarus frenatus) 21%, kerapu (Epinephelus fasciatus) 13,2%, kakaktua (Scarus ghobban) 13,1%, Tabel 4. Table 4.
Posisi geografi daerah penangkapan bubu ikan di perairan Kepulauan Seribu The geography position of fish traps fishing ground in the waters of Kepulauan Seribu
Lokasi bubu/ Trap location I II
Tabel 5. Table 5.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Posisi/Position Lintang/Latitude Bujur/Longitude 05º44’02.2” 106º36’44.4” 05º44’57.4” 106º38’05.7”
Posisi/Position Lokasi bubu/ Trap location Lintang/Latitude Bujur/Longitude III 05º43’07.2” 106º36’51.0”
Komposisi hasil tangkapan bubu (%) di perairan Kepulauan Seribu pada bulan Juli dan Nopember 2010 Catch composition of fish traps (%) in the waters of Kepulauan Seribu, July and November 2010 Jenis/Species
Scarus frenatus Scarus ghobban Scarus prasiognathus Scarus rivulatus Scarus niger Scarus fasciatus Scarus rubroviolaceus Scarus Schlegeli Scarus globiceps Chalotomus carolinus Epinephelus fasciatus
Juli/ July 2010 21 13,1 10,8 9,5 4,7 3,9 3,1 1,5
November/ November 2010 2,5 7,2 2,4
No.
8,5 2,3 3,9
13,2
Berdasarkan atas hasil penelitian Hartati et al. (2004), rata-rata hasil tangkapan bubu di perairan Gugusan Pulau Kelapa dan sekitarnya 52 kg/perahu/ hari. Dengan daerah penangkapan yang sama, kondisi ini menunjukkan bahwa hasil tangkapan bubu menurun tajam. Hasil tangkapan bubu di Gugusan Pulau Pari pada tahun 2008 pada kisaran 1-6 kg/ perahu/hari, dengan nilai rata-rata 4 kg/perahu/ hari (Hartati et al., 2010). Jenis ikan hasil tangkapan dominan relatif sama, yaitu kelompok kakaktua (Scaridae), beronang (Siganidae), dan kerapu (Serranidae) hadir pada setiap hasil tangkapan.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Jenis/Species Epinephelus caeruleopunctatus Siganus virgatus Abudefduf saxatilia Epibulus insidiator Sargocentrum rubrum Hemigymnus melapterus Parupeneus barberinus Scolopsis lineatus Jenis-jenis lainnya Total (%) Total (kg)
Juli/ July 2010 3,3 9,2 4,2 2,5
100 9
November/ November 2010 34 24,5 7,2 2,5 1,5 1,5 2 100 12
Pancing Ulur Penangkapan pancing ulur dilakukan pada siang hari dari pukul 07.00-17.00 WIB. Dimensi kapal yang digunakan adalah ukuran panjang berkisar 6-6,5 m, lebar 1,75-2 m, dan dalam 1-1,2 m, mesin dengan kekuatan 7 PK, dan jumlah anak buah kapal 1-2 orang. Pancing yang digunakan nomor 16 dengan bahan monofilamen, dan menggunakan umpan segar berupa potongan ikan dan cumi-cumi. Perairan yang dipilih oleh nelayan pancing ulur adalah terumbu karang dengan tipe substrat dasar berpasir, sehingga mata pancing tidak menyangkut di karang. Daerah
87
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 83-94
penangkapan pancing ulur yaitu sekitar perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Semak Daun, Pulau Kotok, dan Karang Beras. Pada waktu pengamatan posisi geografi daerah penangkapan disajikan pada Tabel 6, dengan jumlah armada penangkapan 40 unit. Kelimpahan hasil tangkapan pancing ulur pada bulan Juli 2010 berkisar 1-87 kg/kapal/hari. Hasil tangkapan dengan mengikuti kegiatan nelayan 11 kg/ kapal/hari, berdasarkan atas bobot didominansi oleh ikan kurisi (Nemipterus fruscosus) 38,1%, kambing (Abalistes stellatus) 10,4%, pasir-pasir (Scolopsis Tabel 6. Table 6.
Lokasi alat tangkap pancing ulur di perairan Kepulauan Seribu The geography position of handline fishing ground in the waters of Kepulauan Seribu
Lokasi pancing/ Handlne location
I
Tabel 7. Table 7.
Posisi/Position Lintang/Latitude Bujur/Longitude
05º44’02.0”
106º37’41.6”
Posisi/Position Lokasi pancing/ Handline location Lintang/Latitude Bujur/Longitude
II
05º44’30.1”
10 º37’57.1”
Komposisi hasil tangkapan pancing ulur (%) di perairan Kepulauan Seribu, bulan Juli dan Nopember 2010 Catch composition of handline (%) in tha waters of Kepulauan Seribu, July and November 2010
No.
Jenis/Species
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Epinephelus maculatus Epinephelus amblycephalus Epinephelus malabaricus Epinephelus areolatus Carangoides chrysophiris Carangoides bajad Caranx melampygus Lutjanus malabaricus Lutjanus vitta Lutjanus madras Nemipterus fruscosus
Juli/ July 2010 2,4 8,8
1,1 1,2 1,4 3,7 1,6 38,1
November/ Jenis/Species November No. 2010 12. Nemipterus isacanthus 13. Scolopsis taeniopterus 10,8 14. Scolopsis affinis 9,8 15. Abilistes stellatus 16. Priacanthus tayenus 17. Selaroides leptolepis 41,2 18. Chromileptes altivelis 19. Rastrelliger kanagurta Total(%) Total (kg)
Hasil tangkapan pancing ulur di Pulau Tikus pada tahun 2008 berkisar antara 6-50 kg/perahu/hari, dengan nilai rata-rata 28 kg/perahu/hari. Jenis hasil tangkapan yang dominan adalah ikan ekor kuning, Caesio cunning dan Caesio caerulauria (Hartati et al., 2010).
S
88
taeniopterus), 10,1%, kurisi (Nemipterus isacanthus), 9,4%, kerapu lokal (Ephinephelus amblycephalus) 8,8%, pasir-pasir (Scolopsis affinis) 7,9%, dan jenisjenis lainnya 24,1%, masing-masing jenis pada kisaran 1,2-4,1%. Hasil tangkapan pada bulan Nopember 7 kg/kapal/hari, berdasarkan atas bobot didominansi oleh ikan kuwe 41,2%, selar kuning (Selaroides leptolepis) 21%, kerapu bebek (Chromileptes altivelis) 12,3%, kerapu (Epinephelus malabaricus) 10,8%, kerapu coklat (Epinephelus areolatus) 9,8%, dan kembung (Rastrelliger kanagurta) 4,9% (Tabel 7).
Juli/ July 2010 9,4 10,1 7,8 10,4 4,1
100 11
November/ November 2010
21 12,3 4,9 100 7
Produksi dan Upaya Penangkapan Ikan ekor kuning Produksi ikan ekor kuning dari Kepulauan Seribu pada tahun 1969-1977 berkisar 793-1.339 ton, dan mencapai puncaknya pada tahun 1970-1974, lebih dari 1.000 ton/tahun (Subani, 1978). Dengan tingkat upaya penangkapan 17-26 unit muroami, hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit of effort) 34,48-69,94 ton/unit/tahun (Tabel 8).
Hasil Tangkapan dan Upaya Penangkapan ..... di Perairan Kepulauan Seribu (Hartati, S.T., et al.)
Tabel 8.
Hasil tangkapan ikan ekor kuning, upaya penangkapan, dan hasil tangkapan per unit upaya di Kepulauan Seribu, tahun 1969-1977 Catch, effort, and catch per unit of effort of yellow tail in the waters of Kepulauan Seribu, from 1969-1977
Table 8.
Tahun/ Years 1969 1970 1971 1972 1973
Catch (ton) 890 1.157 1.189 1.304 1.339
Effort (unit muroami) 17 17 17 21 23
CPUE (ton/unit muroami) 52,35 68,06 69,94 62,10 58,22
Kondisi pada periode tahun 1969-1977 berbeda dengan periode tahun 2001-2007 (Anonimus, 2007), yaitu hasil tangkapan menurun setiap tahun, pada kisaran 0,49-33,70 ton/tahun. Dengan tingkat upaya penangkapan relatif tinggi pada setiap tahunnya yaitu mencapai 53 unit muroami, catch per unit of effort Tabel 9.
Effort (unit muroami) 24 23 26 16
CPUE (ton/unit muroami) 42,33 34,48 35,35 58,63
menurun tajam, 0,64 ton/unit/ pada tahun 2001 dan 0,03 ton/unit pada tahun 2007 (Tabel 9). Pada Tabel 9 yang disajikan, terlihat bahwa kondisi populasi ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu semakin terancam, untuk itu diperlukan pengelolaan yang tepat, agar lestari, dan hasil tangkapan berkesinambungan.
Hasil tangkapan ikan ekor kuning, upaya penangkapan, dan hasil tangkapan per unit upaya di Kepulauan Seribu, tahun 2001-2007 Catch, effort, and catch per unit of effort of yellow tail in the waters of Kepulauan Seribu, from 2001-2007
Table 9.
Tahun/ Years 2001 2002 2003 2004
Tahun/ Catch (ton) Years 1974 1.016 1975 793 1976 919 1977 938
Catch (ton) 33,70 30,81 32,99 13,30
Effort (unit muroami) 53 53 53 53
CPUE (ton/unit muroami) 0,64 0,58 0,62 0,25
Salah satu upaya yang sudah dilakukan adalah pengurangan unit upaya penangkapan, dan ini diberlakukan mulai tahun 2008. Marine Protected Area merupakan instrumen yang sangat penting dalam pengendalian sumber daya ikan yang lestari. Dengan adanya Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, peningkatan pengawasan secara terpadu diharapkan akan lebih efektif. Selama periode tahun 2008-2009, produksi ikan ekor kuning mengalami peningkatan cukup tajam, yaitu 154-194 ton/tahun (Anonimus, 2010). Upaya penangkapan menurun dari 53 unit muroami pada tahun 2007, menjadi 15 unit pada tahun 2008 dan 2010, artinya catch per unit of effort meningkat menjadi 10,26 dan 12,26 ton/unit/tahun.
Tahun/ Catch (ton) Years 2005 4,87 2006 0,49 2007 1,53
Gambar 1. Figure 1.
Effort (unit muroami) 53 53 53
CPUE (ton/unit muroami) 0,09 0,01 0,03
Produksi ikan kerapu di Kepulauan Seribu pada tahun 2008-2010. Monthly production of groupers in Kepulauan Seribu, from 2008-2010.
Ikan kerapu
Ikan kakaktua
Produksi ikan kerapu di Kepulauan Seribu selama tiga tahun terakhir (tahun 2008-2010) berfluktuasi pada setiap bulannya. Tahun 2008 produksi ikan kerapu 108 kg/tahun, kemudian tahun 2009 mengalami kenaikkan yaitu mencapai 505 kg/tahun dan tahun 2010 menurun kembali menjadi 75 kg/tahun (Gambar 1).
Produksi ikan kakaktua di Kepulauan Seribu pada tahun 2008-2010 mengalami kenaikan, berturut-turut 2.359, 2.795, dan 3.269 kg/tahun. Produksi selama tahun 2008-2010 berfluktuasi pada setiap bulannya. Gambar 2 menunjukkan bahwa produksi relatif tinggi antara bulan Maret sampai April dan bulan Oktober sampai Nopember.
89
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 83-94
Biologi Ikan Sebaran ukuran panjang Ikan ekor kuning
Gambar 2. Figure 2.
Gambar 3. Figure 3.
Produksi ikan kakaktua di Kepulauan Seribu pada tahun 2008-2010. Monthly production of parrot fishes in Kepulauan Seribu, from 20082010.
Sebaran ukuran panjang Caesio cuning di perairan Kepulauan Seribu pada bulan Juli dan Nopember 2010. Length frequency distribution of Caesio cuning in the waters of Kepulauan Seribu, July and November 2010.
Ikan kakaktua Sebaran panjang ikan kakaktua bulan Juli berkisar 14,8-26,5 cm, rata-rata 19,72 cm, dan modus pada panjang 16,5; 18,5; 21,5;, dan 25,5 cm. Bulan
Gambar 4. Figure 4.
90
Sebaran panjang ikan ekor kuning bulan Juli berkisar 14,5-30,2 cm, rata-rata 19,8 cm, dan terlihat ada tiga modus atau kelompok umur, panjang 16,5; 19,5; dan 25,5. Bulan Nopember sebaran panjang 13,1-29,5 cm, rata-rata 18,67 cm, dan modus pada panjang 15,5; 19,5; dan 28,5 cm (Gambar 3). Banyaknya kelompok ukuran menunjukkan banyaknya frekuensi pemijahan dalam satu tahun.
Nopember 2010 sebaran panjang 12,8-38,7 cm, ratarata 22,8 cm, dan modus pada panjang 14,5; 23,5; dan 33,5 cm (Gambar 4). Frekuensi pemijahan berlangsung beberapa kali dalam setahun.
Sebaran panjang ikan kakaktua di Kepulauan Seribu pada bulan Juli dan Nopember 2010 di Kepulauan Seribu. Length frequency distribution of parrot fishes in the waters of Kepulauan Seribu, July and November 2010.
Hasil Tangkapan dan Upaya Penangkapan ..... di Perairan Kepulauan Seribu (Hartati, S.T., et al.)
Hubungan Panjang dan Bobot Analisis hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning, kakaktua, dan kerapu disajikan pada Tabel 10. Kisaran bobot ikan ekor kuning bulan Juli adalah 37,6-394,7 g, rata-rata 119,7 g. Hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning menunjukkan pertumbuhan bersifat allometrik negatif mendekati isometrik. Kisaran bobot ikan ekor kuning bulan Nopember 48520 g, rata-rata 163,5 g. Hubungan panjang dan bobot menunjukkan pertumbuhan bersifat isometrik. Kisaran Tabel 10. Table 10.
Hubungan panjang dan bobot Caesio cuning, Scarus fasciatus, dan Epinephelus areolatus di Kepulauan Seribu pada bulan Juli dan Nopember 2010 Length and weight relationship of Caesio cuning, Scarus fasciatus, and Epinephelus areolatus in Kepulauan Seribu, July and November 2010
Tingkat Kematangan Gonad dan Nisbah Kelamin (Sex Ratio) Ikan ekor kuning Perbandingan jantan dan betina ikan ekor kuning pada bulan Juli adalah 1:1,19. Tingkat kematangan gonad contoh jantan tersebar pada stadia I (86,5%) dan II (13,5%), dan betina tersebar pada stadia I-IV, tertinggi stadia I sebesar 52,3% (Tabel 11). Tabel 11. Table 11.
Perbandingan jantan dan betina ikan ekor kuning bulan Nopember 1:1,42. Tingkat kematangan gonad tersebar pada stadia I-IV, tertinggi stadia IV sebesar Waktu 30,6 dan 54% (Tabel 12). Kondisi tingkat kematangan No. Juli/July 2010 gonad ikan Jenis ekor ikan/Species kuning pada bulan Nopember a siap b mengindikasikan bahwa ikan tersebut sudah Caesio cuning 1. 0,016 0, untuk memijah, sehingga dapat diduga bulan 2,953 Scarus fasciatus 2. 0,026 0, Nopember sampai Desember berlangsung musim 2,897 Epinephelus areolatus 3. 0,080 3,203 0, pemijahan.
Tingkat kematangan gonad dan nisbah kelamin ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu pada bulan Juli 2010 Gonad maturity stage and sex ratio of Caesio cuning in the waters of Kepulauan Seribu, July 2010
Jenis kelamin/ Sex Jantan betina Un identified
bobot ikan kakaktua bulan Juli 63,2-340, 5 g, ratarata 160,67 g. Hubungan panjang dan bobot menunjukkan pertumbuhan bersifat allometrik negatif mendekati isometrik. Kisaran bobot ikan kakaktua bulan Nopember 41,0-940 g, rata-rata 246,5 g. Hubungan panjang dan bobot menunjukkan pola pertumbuhan bersifat mendekati isometrik. Kisaran bobot ikan kerapu bulan Juli 93,6-196,6 g, rata-rata 138,91 g. Hubungan panjang dan bobot menunjukkan pola pertumbuhan allometrik positif, mendekati isometrik.
∑ 37 44 26
Tingkat kematangan gonad/Gonad maturity stage I II III IV n (%) n (%) n (%) n (%) 32 86,5 5 13,5 23 52,3 14 31,8 5 11,4 2 4,5
Nisbah kelamin/ Sex ratio 1:1,19
91
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 83-94
Tabel 12. Table 12.
Tingkat kematangan gonad dan nisbah kelamin ikan ekor kuning di Kepulauan Seribu pada bulan Nopember 2010 Gonad maturity stage and sex ratio of Caesio cuning in the waters of Kepulauan Seribu, November 2010
Jenis kelamin/ Sex Jantan Betina
Tingkat kematangan gonad/Gonad maturity stage I II III IV N (%) n (%) n (%) n (%) 7 19,4 7 19,4 11 30,6 11 30,6 11 22 6 12 6 12 27 54
∑ 36 50
Ikan kakaktua Perbandingan jantan dan betina ikan kakaktua bulan Juli 1:1,23. Tingkat kematangan gonad pada contoh ikan kakaktua jantan tersebar pada stadia IIV, tertinggi stadia I sebesar 53,3%, dan untuk betina tersebar pada stadia I-IV, tertinggi stadia I sebesar 43,3% (Tabel 13).
Tabel 13. Table 13.
Jantan betina UnIdentified
Table 14.
∑ 30 37 2
Tingkat kematangan gonad/Gonad maturity stage I II III IV n (%) n (%) n (%) n (%) 16 53,3 9 30 3 10 2 6,7 16 43,3 13 35,1 7 18,9 1 2.7
∑ 25 25
Tingkat kematangan gonad/Gonad maturity stage I II III IV n (%) N (%) n (%) N (%) 6 24 13 52 3 12 3 12 12 48 6 24 0 0 7 28
Ikan kerapu Contoh ikan kerapu yang diamati pada bulan Juli 2010 menunjukkan perbandingan jantan dan betina 1:6. Tingkat kematangan gonad jantan terdapat pada stadia I dengan persentase 100%, dan untuk betina
92
Perbandingan jantan dan betina ikan kakaktua bulan Nopember adalah 1:1. Tingkat kematangan gonad ikan kakaktua jantan tersebar pada stadia IIV, tertinggi stadia II sebesar 52%, sedangkan betina tersebar pada stadia I, II, dan IV, tertinggi stadia I sebesar 48% (Tabel 14). Data tingkat kematangan gonad ikan kakaktua pada bulan Juli dan Nopember 2010 belum dapat digunakan untuk menduga berlangsungnya musim pemijahan.
Nisbah kelamin/ Sex ratio 1:1,23
Tingkat kematangan gonad dan nisbah kelamin ikan kakaktua di Kepulauan Seribu pada bulan Nopember 2010 Gonad maturity stage and sex ratio of Scarus fasciatus in the waters of Kepulauan Seribu, November 2010
Jenis kelamin/ Sex Jantan betina
1:1,42
Tingkat kematangan gonad dan nisbah kelamin ikan kakaktua di Kepulauan Seribu pada bulan Juli 2010 Gonad maturity stage and sex ratio of Scarus fasciatus in the waters of Kepulauan Seribu, July 2010
Jenis kelamin/ Sex
Tabel 14.
Nisbah kelamin/ Sex ratio
Nisbah kelamin/ Sex ratio 01:01
tersebar pada stadia I dan II, dengan persentase pada stadia I 83,3%. Hasil analisis tingkat kematangan gonad menunjukkan bahwa pada bulan Juli kondisi kerapu belum matang gonad. Preparat jaringan gonad ikan ekor kuning dan kakaktua di Kepulauan Seribu pada stadia 1-4 disajikan pada Gambar 5.
Hasil Tangkapan dan Upaya Penangkapan ..... di Perairan Kepulauan Seribu (Hartati, S.T., et al.)
Ekor Kuning stage 1
Ekor Kuning stage 2
Ekor Kuning stage 3
Ekor Kuning stage 4
Kakaktua stage 1
Kakaktua stage 2
Kakaktua stage 3
Kakaktua stage 4
Gambar 5. Figure 5.
Preparat jaringan gonad ikan ekor kuning dan kakaktua di Kepulauan Seribu. Gonad tissue preparation of Caesio cuning and Scarus fasciatus in Kepulauan Seribu.
KESIMPULAN DAN SARAN
Saran
Kesimpulan
Rendahnya kelimpahan hasil tangkapan ikan kerapu, serta minimnya informasi biologi karena sulitnya memperoleh contoh menunjukkan bahwa kondisi populasi ikan kerapu di Kepulauan Seribu sudah terindikasi terdegradasi. Pengaturan ukuran ikan yang boleh ditangkap, penutupan daerah asuhan bagi penangkapan, dan peningkatan pengawasan pada daerah konservasi adalah beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk kelestarian dan kesinambungan ketersediaan stok ikan ekor kuning, kakaktua, dan terutama ikan kerapu.
1. Kelimpahan hasil tangkapan muroami berkisar 161222 kg/perahu/hari, didominansi oleh ikan ekor kuning (35,6-44,5%), bubu 9-2 kg/kapal/hari, didominansi oleh ikan kakaktua 50% dan kerapu 13%, pancing ulur 1-87 kg/kapal/hari, didominansi oleh ikan kurisi dan kuwe (38,1-41,2%) dan kerapu 11,2-20,6%. Sebaran panjang ikan ekor kuning bulan Juli dan Nopember adalah 14,5-30,2 cm dan 13,1-29,5 cm, ikan kakaktua 14,8-26,5 cm dan 12,8-38,7 cm, dan kerapu pada bulan Juli 18,423,5 cm.
PERSANTUNAN
2. Data sebaran ukuran panjang menunjukkan bahwa ikan ekor kuning dan kakaktua mempunyai beberapa kelompok umur, yang mengindikasikan ada beberapa frekuensi pemijahan dalam setahun. Namun demikian berlangsungnya musim pemijahan secara umum belum dapat diprediksi, karena kurangnya data dan informasi tingkat kematangan gonad.
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan riset status populasi sumber daya ikan karang ekonomis (ikan kerapu, ekor kuning, dan kakaktua) di perairan Kepulauan Seribu. T.A 2010, di Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Ancol, Jakarta.
3. Trend catch per unit of effort muroami memiliki kecenderungan meningkat kembali pada tahun 2008 dan 2009, yaitu 12,99 dan 10,26 ton/unit/ tahun, setelah mengalami penurunan yang tajam antara tahun 2000-2007 yaitu 0,03-0,64 ton/unit/ tahun. Produksi ikan kerapu dan kakaktua relatif rendah, tahun 2008-2010 pada kisaran 75-505 kg/ tahun, dan 2.359-3.267 kg/tahun, dan berfluktuasi pada setiap bulannya.
Anonimus. 2006. Terumbu Buatan di Kepulauan Seribu. Sub Dinas Kelautan dan Perikanan Kelautan Kepulauan Seribu. 8 pp.
DAFTAR PUSTAKA
___. 2007a. Peningkatan daya dukung sumber daya perikanan melalui rehabilitasi habitat di perairan Kepulauan Seribu. Laporan Teknis Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. 70 pp.
93
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 83-94
___. 2007b. Data Pendaratan Ikan. TPI Muara Angke. Sub Dinas Kelautan dan Perikanan. Jakarta Utara. 20 pp.
Seminar Nasional Ikan VI dan Kongres. Masyarakat Ichtiologi Indonesia III. Cibinong. 475486.
___. 2008. Pengkajian habitat dan pengukuran parameter akustik ikan karang ekonomis penting di perairan Pulau Kongsi dan sekitarnya. Laporan Teknis Balai Riset Perikanan Laut. 71 pp.
Holden, M. J. & D. F. S. Raitt (eds). 1974. Manual of fisheries science. Part 2. Methods of Resource Investigations and their Application. Food and Agriculture Organization Fish. Tech. Pap. 115. Rev.1. 255 pp.
___. 2010. Data Produksi Ikan-Ikan Karang Ekonomis. Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Seribu. Buku 1 dan 2. 329 pp. Carpenter, K. E.; V. H. Niem (eds). 1998. Food and Agriculture Organization Species Identification Guide for Fihsery Puroses. The Living Resource of the Western Central Pacific. 4: 2,069-2,795. Effendie, I. M. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 pp. Hartati, S. T, Awwaluddin, & Indar, S. W. 2004. Kelimpahan dan komposisi jenis ikan hasil tangkapan bubu di perairan Gugusan Pulau Kelapa Kepulauan Seribu. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia: Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. 10 (4): 9-19. Hartati, S. T, I, S. Wahyuni., & I J. Indarsyah. 2010. Pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (1) Maret: 2937. Hartati, S. T. & I. N. Edrus. 2011. Struktur komunitas ikan dan kesehatan terumbu karang di beberapa wilayah perairan Gugusan Pulau Pari. Prosisding
94
Kuiter, R. H. 1992. Tropical Reef Fishes of the Western Pacific Indonesia and Adjacent Waters. Gramedia. Jakarta. 314 pp. Lieske, E. & R. Myers. 1997. Reef Fishes of the World. Periplus Edition. Jakarta. Indonesia. 400 pp. Lazuardi, M. E. & S. W. Nugroho. 2000. Perubahan kondisi terumbu karang di Gugusan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu, Jakarta. Prosiding Loka Pengelolaan dan Ilmu pengetahuan Teknologi Terumbu Karang Indonesia. 214-221. Subani, W. 1978. Studi Perikanan Muroami sebagai Penunjang Perikanan Rakyat. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 18 pp Tarp, T. G. & J. K. Patricia. 1984. Trawled Fishes of Southern Indonesia and Northwestern Australia. 406 pp. Warsa, A. & B. I. Purnawati. 2010. kondisi lingkungan dan terumbu karang di daerah perlindungan laut Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. BAWALWidya Riset Perikanan Tangkap. 3 (2): 115-121.
Kepadatan Stok Ikan Demersal ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Sumiono, B., et al.)
KEPADATAN STOK IKAN DEMERSAL DAN BEBERAPA PARAMETER KUALITAS AIR DI PERAIRAN TEGAL DAN SEKITARNYA 1)
Bambang Sumiono, 2)Tri Ernawati, dan 2)Suprapto
1)
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta 2) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 11 Januari 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 April 2011; Disetujui terbit tanggal: 25 Mei 2011
ABSTRAK Penelitian sumber daya ikan demersal dan parameter kualitas perairan dilakukan dengan menggunakan Kapal Riset Sardinela (68 GT) pada bulan April, Juli, dan Nopember 2009 di perairan Tegal dan sekitarnya. Penghitungan kepadatan stok menggunakan metode swept area dengan panjang tali ris atas dari jaring trawl 21 m, kecepatan kapal waktu menarik jaring berkisar 1,5-2,0 knot dan lama penarikkan jaring di setiap stasiun penangkapan maksimal 1 jam. Posisi stasiun penangkapan dan oseanografi relatif sama pada kedalaman berkisar 10-50 m. Laju tangkap pada 41 stasiun penangkapan rata-rata 10,86 kg/jam dengan kepadatan stok 0,498 ton/km2 dan biomassa 23.082 ton. Sepuluh famili dominan tertangkap, yaitu Leiognathidae, Apogonidae, Sciaenidae, Nemipteridae, Pomadasydae, Synodontidae, Tetraodontidae, Carangidae, Teraponidae, dan Priacanthidae. Dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu (tahun 1976-2005), terdapat kecenderungan laju tangkap yang meningkat bagi famili Sciaenidae, Nemipteridae, dan Pomadasydae. Kelompok ikan yang cenderung menurun terdapat pada famili Synodontidae. Sementara famili Leiognathidae selalu mendominansi hasil tangkapan trawl. Kepadatan stok tertinggi (1,0 ton/km2) terdapat pada strata kedalaman 40-<50 m dan terendah (0,2 ton/km2) terdapat pada strata kedalaman antara 10-<20 m. Biomassa tertinggi (15.059 ton) terdapat pada strata kedalaman 30-<40 m dan terendah (1.410 ton) pada strata kedalaman 10-<20 m. Korelasi positif yang nyata terjadi antara kepadatan stok ikan demersal dengan kepadatan makrozoobentos, kedalaman perairan, suhu, dan oksigen terlarut pada dasar perairan. Penyebaran kepadatan stok tidak dipengaruhi oleh salinitas dan pH dasar perairan. KATA KUNCI:
kepadatan stok, ikan demersal, lingkungan perairan, Tegal
ABSTRACT:
Stock density of demersal fish and some parameters of water quality in Tegal and its adjacent waters. By: Bambang Sumiono, Tri Ernawati, and Suprapto
Research on the demeral fish resources and some parameters of water quality using Sardinela Research Vessel (68 GT) were carried out during April, July, and November 2009 in Tegal and its adjacent waters. Stock density was estimated by swept area method. The trawl used has 21 m head rope, trawling speed of 1.5-2.0 knot, and the maximum towing time was 1 hour. The main fishing ground was 10-50 m water depth. Sampling position of trawling and oceanography parameters were set up relativelly the same position. Based on the result of 41 successful haul’s station, the average of catch rate of demersal fish was estimated to be 10.86 kg/hour with stock density of 0.5 ton/km2 and biomass of 23,082 ton. The ten dominant families were Leiognathidae, Apogonidae, Sciaenidae, Nemipteridae, Pomadasydae, Synodontidae, Tetraodontidae, Carangidae, Teraponidae, and Priacanthidae. Compared with research in the previous years (1976-2005), the catch rates of familiy of Sciaenidae, Nemipteridae, and Pomadasydae tend to increase. Meanwhile, catch rate of family of Synodontiade tend to decrease. The family of Leiognathidae in the overall years were always dominant. According to the depth stratum, the highest stock density of 1.8 ton/km2 was found in the depth between 41-50 m, while the lowest density of 0.2 ton/km2 was found in the depth between 10-20 m. Meanwhile, the highest biomass of 15,059 ton was found in the depth between 30-40 m, and the lowest of 1,410 ton in the depth between 10-20 m. A high correlation occured significantly between stock density of demersal fish and the water’s depth, temperature, and dissolved oxygen on the bottom. Meanwhile, correlation between stock density of demersal fish with pH and salinity on the bottom did not significantly different. KEYWORDS:
stock density, demersal fish, water quality, Tegal
PENDAHULUAN Laut Jawa merupakan salah satu daerah penangkapan ikan yang cukup penting untuk
perikanan skala kecil di Indonesia. Eksploitasi sumber daya ikan demersal di Laut Jawa telah berlangsung sejak lama dan mencapai puncaknya pada periode tahun 1975-1980 dengan menggunakan trawl. Pada
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) 64711940, Fax. (021) 6402640, E-mail:
[email protected]
95
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 95-103
saat ini alat tangkap cantrang dan arad sebagai pengganti trawl berkembang demikian pesat sehingga kekhawatiran akan overfishing dari sumber daya ikan demersal perlu mendapatkan perhatian. Informasi mengenai penyebaran dan kepadatan stok ikan demersal sesuai dengan tempat dan waktu (musim) merupakan salah satu dasar bagi keberhasilan usaha penangkapan dan sangat penting untuk diketahui sebagai bahan masukkan dalam pengelolaan yang rasional (Blaber et al., 1994). Hasil penelitian dengan trawl yang meliputi variasi laju tangkap (catch rate) dan komposisi hasil tangkapan ikan demersal pada periode sebelum penghapusan trawl telah banyak dibahas oleh beberapa penulis terdahulu (Martosubroto & Pauly, 1976; Losse & Dwiponggo, 1977; Beck & Sudradjat, 1978). Kegiatan penelitian sesudah tahun 1980 tidak dilakukan secara kontinu dan bersifat parsial menurut lokasi dan waktu. Data terbaru tentang laju tangkap dan kepadatan stok ikan demersal di suatu perairan (sub area) perlu mendapat perhatian sehubungan dengan penyediaan data bagi kepentingan pengelolaan sumber daya di Laut Jawa. Asumsi laju tangkap ikan (catch rate) yang dikatakan sebagai hasil tangkapan per jam proporsional dengan biomassa ikan demersal yang ada di alam, maka angka yang diperoleh merupakan salah satu indeks kelimpahan stok yang terbaik bagi pendugaan besarnya stok. Perbedaan nilai kepadatan stok yang diperoleh kemungkinan disebabkan oleh perbedaan waktu penelitian atau perbedaan musim (seasonal differences). Komunitas ikan di suatu perairan berkaitan erat dengan faktor lingkungan sebagai suatu ekosistem dengan komponen-komponennya (Effendie, 2002). Hasil penelitian tentang sumber daya perikanan demersal di Laut Cina Selatan dan Laut Jawa menunjukkan adanya pengelompokkan jenis ikan tertentu. Pengelompokkan itu diduga erat hubungannya dengan variasi faktor lingkungan di perairan tersebut (Laevastu & Hayes, 1981). Menurut Bianchi et al. (1996) selain lingkungan perairan, musim merupakan faktor yang penting terhadap keberadaan ikan demersal. Munro & Rainer (1982) menduga terdapat hubungan antara pola distribusi spesies ikan tertentu dengan lingkungan perairan seperti kedalaman dan salinitas. Sumiono (2008) mengatakan bahwa terdapat pengaruh kedalaman terhadap penyebaran sumber daya ikan demersal di
96
perairan Selat Malaka. Pada strata kedalaman 41-50 m diperoleh rata-rata laju tangkap lebih tinggi dibandingkan dengan strata kedalaman 20-30 m dan 31-40 m. Korelasi yang cukup kuat terjadi antara laju tangkap dengan salinitas, laju tangkap dengan oksigen terlarut, dan dengan kedalaman perairan. Selama ini penelitian tentang ikan demersal hanya terbatas pada sumber daya ikannya tanpa mencoba mengkaji keterkaitannya dengan faktor lingkungan. Tulisan ini membahas tentang 1) kepadatan stok ikan demersal menurut kedalaman dan musim yang meliputi musim peralihan barat ke timur musim timur dan musim peralihan timur ke barat, dan 2) keterkaitan antara kepadatan ikan demersal dengan faktor lingkungan perairan yaitu kedalaman perairan, kepadatan benthos, suhu, salinitas, dan oksigen terlarut perairan dasar. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di perairan Tegal dan sekitarnya pada bulan April, Juli, dan Nopember 2009, menggunakan sarana Kapal Riset Sardinela (68 GT), dilengkapi dengan trawl dasar (bottom trawl), peralatan akustik dan peralatan oseanografi perikanan. Sebaran stasiun penangkapan dijelaskan pada Gambar 1. Prosedur pemilihan stasiun penangkapan ditentukan dengan menggunakan global positioning system dan scientific echosounder dengan kedalaman berkisar 10-50 m. Rancangan survei yang digunakan adalah acak berlapis (stratified rhandom sampling) (Steel & Torrie, 1991), yaitu mengamati sebaran ikan menurut kedalamannya (strata kedalaman 10 m). Penangkapan ikan dilakukan pada siang hari dengan kecepatan kapal waktu menarik jaring berkisar 1,5-2,0 knot. Identifikasi jenis ikan mengacu pada Fischer & Whitehead (1974); GloerfeltTarp & Kailola (1985). Perhitungan kepadatan stok ikan menggunakan metode sapuan (swept area method) berdasarkan atas luas daerah yang diliput, kecepatan kapal waktu menarik jaring, lebar bukaan mulut jaring, dan hasil tangkapan (Sparre & Venema, 1992) sebagai berikut: a.n = t x v x h x e x 1,852 x 0,001 ................... (1 D = (1/a.n)x(c/f) ............................................ (2
Kepadatan Stok Ikan Demersal ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Sumiono, B., et al.)
6.0°
-6
-6.05
6.1°
A
-6.1
-6.15
6.2°
-6.2
-6.25
6.3°
-6.3
Lintang Selatan
-6.35
6.4°
-6.4
-6.45
4
6.5° 6.6°
13
11
14
2
7
10
1
8
9
15
0 nmi
6
18
16
17
Stasiun trawl
-6.8
-6.85
6.9°
12
-6.7
-6.75
6.8°
12
-6.6
-6.65
6.7°
5
6
-6.5
-6.55
Brebes
-6.9
Pekalongan
Pemalang
Tegal
-6.95
-7 108.5
7.0° 108.5° 108.6° 108.7° 108.8° 108.9° 109.0° 109.1° 109.2° 109 108.55
108.6
108.65
108.7
108.75
108.8
108.85
108.9
108.95
109
109.05
109.1
109.15
109.2
109.25
109.3
109.35
109.4
109.45
109.5
109.55
109.6
109.65
109.7
109.75
109.8
109.85
109.9
109.95
110
.3° 109.4° 109.5° 109.6° 109.7° 109.8° 109.9° 110.0°
Bujur Timur
6.0°
-6
-6.05
B
6.1°
-6.1
-6.15
6.2°
-6.2
-6.25
6.3°
-6.3
Lintang Selatan
-6.35
6.4°
-6.4
-6.45
6.5°
-6.5
13
14
15
16
12
11
10
9
5
6
7
8
4
1
2
3
-6.55
6.6°
-6.6
-6.65
0 nmi
6
12
18
6.7°
-6.7
-6.75
Stasiun trawl
6.8°
-6.8
-6.85
Brebes
6.9°
-6.9
Pekalongan
Pemalang
Tegal
-6.95
7.0° 108.5° 108.6° 108.7° 108.8° 108.9° 109.0° 109.1° 109.2° 109 -7 108.5
108.55
108.6
108.65
108.7
108.75
108.8
108.85
108.9
108.95
109
109.05
109.1
109.15
109.2
109.25
109.3
109.35
109.4
109.45
109.5
109.55
109.6
109.65
109.7
109.75
109.8
109.85
109.9
109.95
110
.3° 109.4° 109.5° 109.6° 109.7° 109.8° 109.9° 110.0°
Bujur Timur
6.0° 6.1°
1
C
2
6.2° 3
Lintang Selatan
6.3° 9
6.4°
5
8
6.5° 10
4
6
6.6°
0 nmi 7
6.7°
13
6.8° 6.9°
Brebes
Tegal
7.0° 108.5° 108.6° 108.7° 108.8° 108.9° 109.0° 109.1° 109.2° 109
6
12
18
11
12
Pemalang
Pekalongan
Stasiun trawl
.3° 109.4° 109.5° 109.6° 109.7° 109.8° 109.9° 110.0°
Bujur Timur
Gambar 1. Figure 1.
Penyebaran stasiun trawl di perairan Tegal dan sekitarnya (A = bulan April 2009; B = bulan Juli 2009; C = bulan Nopember 2009). Distribution of trawl stations in Tegal and its adjacent waters (A = April, 2009; B = July, 2009; C = November, 2009) Keterangan/Remarks: a.n = panjang jalur yang dilalui jaring (km); t = lama penarikkan jaring (jam); v = rata-rata kecepatan kapal waktu menarik jaring (knot); h = panjang tali ris atas (= 21,0 m); e = konstanta bukaan mulut jaring (menurut Shindo, 1973 nilai e = 0,66); 1,852 = konversi dari mil ke km; 0,001 = konversi dari m ke km; D = kepadatan stok; c = hasil tangkapan (kg/jam); f = escapment factor (= 0,5)
Pengambilan contoh air dilakukan sesuai dengan posisi stasiun penangkapan ikan. Parameter yang diamati meliputi kedalaman perairan, suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan kepadatan makrozoobentos. Kedalaman perairan dideteksi menggunakan echo sounder portable. Salinitas dan suhu dideteksi menggunakan current meter “Valeport” tipe-308 CTD
yang diturunkan dari permukaan sampai kedalaman mendekati dasar. Oksigen terlarut dianalisis dengan metode Winkler, pH diukur dengan menggunakan pHmeter contoh bentos dan substrat diambil dengan menggunakan grab bottom sampler ukuran 20x20 cm, kemudian disaring bertingkat dengan ukuran bukaan (mess size) ayakan 0,5; 1,0; dan 2,0 mm. Kepadatan
97
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 95-103
makrozoobentos dihitung menurut jumlah individu per satu satuan luas (m2) sebagai berikut (Brower et al., 1990): K = (10.000 *Ni)/A ........................................ (3 di mana: K = kepadatan bentos (ind./m2) Ni = jumlah individu A = luas bukaan Ekman grab (cm2) Nilai 10.000 = konversi dari cm2 ke m2 Identifikasi benthos mengacu kepada Tan & Peter (1988); Zim & Ingle (1995). Korelasi antara kelimpahan (laju tangkap) ikan dengan kualitas lingkungan perairan (kedalaman perairan, pH, salinitas, oksigen Tabel 1. Table 1.
HASIL DAN BAHASAN Secara keseluruhan telah diamati 41 stasiun penangkapan ikan yang berhasil (successful hauls), terdiri atas 18 stasiun pengamatan pada bulan April 2009 (musim peralihan I dari musim barat ke timur), 13 stasiun pengamatan pada bulan Juli 2009 (musim timur) dan 10 stasiun pengamatan pada bulan Nopember 2009 (musim peralihan II dari musim timur ke barat) (Tabel 1). Ketidakberhasilan operasi penangkapan ikan (unsuccessful hauls) antara lain disebabkan oleh
Laju tangkap dan kepadatan stok ikan demersal menurut waktu penelitian di perairan Tegal dan sekitarnya, tahun 2009 Catch rate and stock density of demersal fish by survey periods in Tegal and its adjacent waters, 2009
Periode/ Survey periods
Jumlah stasiun/ Station numbers
April Juli Nopember
18 13 10
Laju tangkap/catch rate kg/jam (kg/hr) Kisaran/ Rata-rata/ Range Average 0,42-49,43 15,2 0,01-16,31 7,06 0,02-15,84 6,82
bukaan sewakan (otter board) yang tidak terbentang sempurna, jaring melintir atau oleh sebab-sebab lain seperti tingginya ombak. Dengan memperhatikan Tabel 1 diperoleh rata-rata laju tangkap ikan demersal selama periode survei 10,86 kg/jam dan rata-rata kepadatan stok 0,498 ton/km2 (dibulatkan = 0,5 ton/ km2). Laju tangkap ikan demersal menurut familinya disajikan pada Gambar 2. Pada Gambar 2 dapat dikatakan sepuluh famili ikan demersal yang mempunyai laju tangkap tertinggi, yaitu famili Leiognathidae (14,08 kg/jam), diikuti oleh famili Apogonidae (13,22 kg/jam), Sciaenidae (11,33 kg/jam), Nemipteridae (10,47 kg/jam), Pomadasydae (8,94 kg/jam), Synodontidae (9,29 kg/jam), Tetraodontidae (5,96 kg/jam), Carangidae (4,26 kg/ jam), Teraponidae (3,34 kg/jam), dan famili
98
terlarut, dan kepadatan makrozoobentos) dianalisis dengan korelasi linier sederhana dari Pearson (Conover, 1985).
Kepadatan stok/Stock density 2 (ton/km ) Kisaran/ Rata-rata/ Range Average 0,025-1,975 0,716 0,145-0,659 0,322 0,010-0,837
Priacanthidae (2,20 kg/jam). Famili lainnya mempunyai laju tangkap kurang dari 2 kg/jam. Dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu oleh Dwiponggo (1981); Sumiono et al. (2002); Ernawati (2005) pada lokasi yang sama, terdapat kecenderungan laju tangkap yang meningkat bagi kelompok ikan tigawaja (Sciaenidae), kurisi (Nemipteridae), dan gerot-gerot (Pomadasydae). Laju tangkap kelompok ikan yang cenderung menurun adalah jenis ikan beloso (Synodontidae). Sementara kelompok ikan petek (Leiognathidae) mendominansi hasil tangkapan trawl. Jenis ikan serinding (Apogonidae), kerong-kerong (Teraponidae), dan buntal (Tetraodontidae) akhir-akhir ini banyak tertangkap oleh trawl (Tabel 2).
Kepadatan Stok Ikan Demersal ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Sumiono, B., et al.)
Gambar 2. Figure 2.
Tabel 2. Table 2.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Rata-rata laju tangkap famili ikan demersal hasil tangkapan trawl di perairan Tegal dan sekitarnya, tahun 2009. The average catch rates of demersal fish by families caught by trawl in the Tegal and its adjacent waters, 2009. Rata-rata persentase laju tangkap sepuluh famili ikan demersal dominan tertangkap trawl di perairan Tegal dan sekitarnya, tahun 1976-2009 The average percentage of catch rate of ten dominant families of demersal fish caught by trawl in the Tegal and its adjacent waters, 1976-2009
Famili/Family Leiognathidae Apogonidae Sciaenidae Nemipteridae Pomadasydae Synodontidae Tetraodontidae Carangidae Teraponidae Priacanthidae
Keterangan/Remarks:
1)
1976 7,6 0,0 0,0 1,1 0,0 3,2 0,0 5,7 0,0 0,6
1)
Dwiponggo (1981);
1)
1978 1,4 0,0 0,2 2,0 0,2 1,3 0,0 3,9 0,0 5,6
1)
Sumiono et al. (2002);
3)
1977 8,4 0,0 0,2 11,4 0,2 3,1 0,0 7,0 0,0 0,7 2)
Kepadatan Stok dan Biomassa Berdasarkan atas perhitungan dengan metode swept area dengan rata-rata laju tangkap ikan demersal 10,86 kg/jam, rata-rata daerah yang disapu seluas 0,977 km2 serta memperhitungkan faktor daya tangkap (escapment factor) 0,5 maka diperoleh nilai kepadatan stok di perairan Tegal dan sekitarnya 0,498 ton/km2 (dibulatkan 0,5 ton/km2) dengan simpangan baku 0,04 ton. Dengan mengetahui luas perairan, laju tangkap, dan kepadatan stok dari berbagai strata
1)
1979 23,1 0,0 0,3 1,7 0,2 0,9 0,0 4,8 0,0 4,0
2)
2000 49,2 0,0 0,9 10,5 0,4 7,4 0,0 0,0 0,0 1,6
3)
2005 38,9 0,0 0,8 10,6 0,7 10,8 2,3 0,0 0,5 3,2
2009 9,5 9,0 7,7 7,1 6,3 5,7 4,0 2,9 2,3 1,5
Ernawati (2005)
kedalaman, maka dapat dihitung biomassa total maupun biomassa masing-masing strata kedalaman (Tabel 3). Ditinjau menurut kedalaman perairannya, kepadatan stok tertinggi (1,0 ton/km2) terdapat pada strata kedalaman 40-<50 m dan terendah (0,2 ton/ km2) pada strata kedalaman 10-<20 m. Biomassa tertinggi (15.059 ton) terdapat pada strata kedalaman 30-<40 m dan terendah (1.410 ton) pada strata kedalaman 10-<20 m.
99
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 95-103
Lingkungan Perairan Parameter lingkungan perairan yang diamati adalah salinitas, suhu, oksigen terlarut, dan kepadatan makrozoobentos. Kepadatan makrozoobentos di perairan Tegal pada bulan April 2009 berkisar 25-3.025 ind./m2. Pada bulan Juli diperoleh kepadatan benthos berkisar 250-2.625 ind./ m2 dan pada bulan Nopember berkisar 4.250-1.625 ind./m2. Parameter laju tangkap, kedalaman, dan kualitas lingkungan perairan yang digunakan untuk analisis korelasi disertakan pada Lampiran 1. Hasil analisis menunjukkan kepadatan stok ikan demersal berkorelasi positif terhadap kedalaman perairan, kepadatan makrozoobenthos, oksigen terlarut, dan suhu dasar perairan. Hubungan antara kepadatan stok dengan pH dan salinitas menunjukkan korelasi negatif. Kepadatan makrozoobenthos Tabel 3. Table 3.
10-<20 20-<30 30-<40 40-<50
Table 4.
D K B O P S T
Luas daerah penangkapan/ Fishing areas) (km2) 7,78 10,16 18,74 3,42
n 11 12 16 2
Rata-rata laju tangkap (km/jam)/ Average of catch rate (km/hr) 4,4 6,9 16,6 23,6
Rata-rata densitas/ Average of density (kg/km²)
Biomassa/ Biomass (ton)
181,3 280,7 803,7 1.099,9
1.410,9 2.852,7 15.059,2 3.759,2
Matrik korelasi antara laju tangkap dengan kualitas lingkungan perairan di perairan Tegal dan sekitarnya Correlation between catch rates and water quality parameter in the Tegal and its adjacent waters D 1,00 0,60 0,36 0,10 -0,06 -0,20 0,18
K
B
O
P
S
T
1,00 0,37 0,08 0,26 -0,004 0,02
1,00 0,25 0,05 -0,14 -0,10
1,00 0,48 -0,33 -0,59
1,00 0,04 -0,49
1,00 0,53
1,00
Hubungan antara kepadatan ikan demersal dengan kedalaman perairan, kepadatan makrozoobenthos, oksigen terlarut, dan suhu dasar perairan berkorelasi positif. Nilai koefisien korelasi antara kepadatan stok dengan benthos adalah lebih kecil (r = 0,36) dibandingkan dengan kedalaman perairan (r = 0,60). Sebaliknya, nilai koefisien korelasi negatif ditunjukkan
100
Konsentrasi penyebaran laju tangkap sumber daya ikan ada kaitannya dengan kesesuaian ikan terhadap faktor lingkungan setempat. Widodo (1991) mengatakan bahwa kondisi lingkungan perairan baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi produktivitas perairan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap perilaku pengelompokkan ikan. Menurut Munro & Rainer (1982); McManus (1996) terdapat hubungan antara penyebaran spesies ikan dengan faktor lingkungan seperti kedalaman air, salinitas, dan tipe sedimen. Namun penyebaran ikan demersal lebih dipengaruhi oleh salinitas dan kadar oksigen terlarut dari pada oleh kedalaman perairan.
Laju tangkap, kepadatan stok, dan biomassa ikan demersal menurut strata kedalaman di perairan Tegal dan sekitarnya, tahun 2009 Cacth rate, stock density, and biomass of demersal fish by depth stratum in the Tegal and its adjacent waters, 2009
Strata kedalaman/ Depth stratum (m)
Tabel 4.
berkorelasi negatif dengan salinitas dan suhu, sedangkan terhadap oksigen terlarut dan pH berkorelasi positif. Oksigen terlarut berkorelasi negatif dengan salinitas dan suhu, sedangkan terhadap pH berkorelasi positif (Tabel 4).
pada hubungan antara kepadatan stok dengan salinitas (r = -0,20) dan pH (r = -0,22). Nilai salinitas dasar perairan di Tegal dan sekitarnya berkisar 31,0029,96o/oo dengan kadar oksigen berkisar 3,6-5 ml/L. Menurut Bianchi (1996) kadar oksigen terlarut dan suhu yang tinggi serta salinitas yang relatif rendah
Kepadatan Stok Ikan Demersal ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Sumiono, B., et al.)
merupakan ciri-ciri daerah pantai terutama daerah estuaria. Korelasi positif antara kepadatan stok ikan dengan kepadatan makrozoobentos menunjukkan indikasi bahwa sebagian besar ikan yang tertangkap adalah pemakan bentos. Menurut Suprapto et al. (2005); Sumiono (2008) kelompok ikan demersal yang menyukai salinitas relatif rendah dengan substrat lumpur atau liat sebagaimana di perairan Bengkalis terdiri atas famili Sciaenidae (Johnius spp. dan Nibea spp.), famili Pomadaydae (Pomadsys argyreus, Pomadsys hasta) dan famili Trichiuridae (Trichiurus savala dan Trichiurus lepturus). KESIMPULAN 1. Laju tangkap rata-rata ikan demersal dengan trawl di perairan Tegal dan sekitarnya adalah 10,86 kg/ jam, kepadatan stok 0,5 ton/km2 dan biomassa 23.082 ton. Kepadatan pada musim peralihan I (bulan April) lebih tinggi daripada musim timur (bulan Juli) dan musim peralihan II (bulan Nopember). 2. Laju tangkap ikan dominan terdiri atas famili Leiognathidae (14,08 kg/jam) diikuti oleh famili Apogonidae (13,22 kg/jam), Sciaenidae (11,33 kg/ jam), Nemipteridae (10,47 kg/jam), Pomadasydae (8,94 kg/jam), Synodontidae (9,29 kg/jam), Tetraodontidae (5,96 kg/jam), Carangidae (4,24 kg/ jam), Teraponidae (3,34 kg/jam), dan Priacanthidae (2,20 kg/jam). 3. Dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu, terdapat kecenderungan laju tangkap yang meningkat bagi kelompok ikan tigawaja (Sciaenidae), kurisi (Nemipteridae), dan gerot-gerot (Pomadasydae). Laju tangkap yang cenderung menurun adalah jenis ikan beloso (Synodontidae) dan kelompok ikan petek (Leiognathidae) selalu mendominansi hasil tangkapan trawl. 4. Kepadatan stok tertinggi (1,099 ton/km2) terdapat pada strata kedalaman antara 40-<50 m dan terendah (0,181 ton/km2) pada strata kedalaman antara 10-<20 m. Biomassa tertinggi (15.059 ton) terdapat pada strata kedalaman antara 30-<40 m dan terendah (1.410 ton) pada strata kedalaman antara 10-<20 m. 5. Korelasi yang cukup kuat terjadi antara kepadatan stok ikan demersal dengan kepadatan makrozoobenthos, kedalaman perairan dan oksigen terlarut pada dasar perairan, dan kepadatan tidak dipengaruhi oleh salinitas dan pH dasar perairan.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset Balai Riset Perikanan Laut di perairan Tegal dan sekitarnya (Losari transect), T. A. 2008 dan 2009, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Beck, U. & A. Sudradjat. 1978. Variations in size and composition of demersal trawl catches from the northcoast of Java with estimated growth parameters for three important food fish species. Contrib. of the Dem. Fish. Project No.4/1978. 3, 1977. Mar. Fish. Res. Inst. Jakarta. 1-80. Brower, J. E., J. H. Zar, & C. N. V. Ende. 1990. Field and Laboratory Method for General Ecology. Third Edition. Wm. C. Brown Publisher. Dubuque. Iowa: 40-120. Bianchi, G. 1996. Demersal fish assemblages of trawlable grounds off Northwest Sumatera. In Pauly, D. & P. Martosubroto (Eds.). 2006. Baseline Studies of Biodiversity. The Fish Resources of Western Indonesia. ICLARM Stud. Rev. 23. Philippines. 123-130. Blaber, S. J. M., Brewer, D. T., & A. N. Harris. 1994. Distribution, biomass, and community structure of demersal fishes of the gulf of Carpentaria, Australia. Australian Journal of Marine and Freshwater Research. Special Isssue Ecology of the Gulf Carpentaria. 45: 375-396. Conover, W. J. 1985. Practical Non Parametric Statistics. John Wiley and Sons. New York. vi+169 pp. Dwiponggo, A. 1981. Special Report. Review of the Demersal Resources and Fisheries in the Java Sea. Contrib. of the Dem. Fish. Proj. 9/1981. Research Institute for Marine Fisheries. ISSN. 0216-2857: 23-28. Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama.Yogyakarta. 163 pp. Ernawati, T. 2005. Distribusi dan komposisi jenis ikan demersal yang tertangkap trawl pada musim barat di perairan utara Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV. Masyarakat Iktiologi Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap-Departemen Kelautan dan Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Pusat Penelitian Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 95-104.
101
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 95-103
Fischer, W. & P. J. P. Whitehead. 1974. Identification Sheets for Fishery Purpose. Eastern Indian Ocean (Fishery Area 71). Vol. I-IV. Food and Agriculture Organization Rome. 106 pp. Gloerfelt-Tarp, T. & P. Kailola. 1985. Trawled Fishes of Southern Indonesia and Northern Australia. ADAB/GTZ/DGF. Indonesia. 406 pp. Laevastu, T. & M. L. Hayes. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News Books Ltd. England. 46-57. Losse, G. F. & A. Dwiponggo. 1977. Report on the Java Sea SE Monsoon Trawl Survey. JuneDecember 1976. Spec. Rep. Contrib. of the Dem. Fish. Project No.3, 1977. Mar. Fish. Res. Inst. Jakarta. 45 pp. Martosubroto, P. & D. Pauly. 1976. R/V Mutiara IV Survey Data November 1974-July 1976. Contrib. of the Dem. Fish. Project.No.2. LPPL/GTZ. 28 pp. Munro, I. S. R. & S. F. Rainer. 1982. Demersal fish and cephalopod communities of an unexploited coastal environment in Northern Australia. Australian. Journal of Marine and Freshwater Research. 33: 1,039-1,055. McManus, J. W. 1996. Marine bottom communities from the Indian Ocean coast of Bali and to mid Sumatera. In Pauly, D. & P. Martosubroto (Eds.). 2006. Baseline Studies of Boidiversity. The Fish Resources of Western Indonesia. ICLARM Stud. Rev. 23, Philippines. 91-101. Shindo, S. 1973. General Review of the Trawl Fishery and the Demersal Fish Stocks of the South China Sea. Food and Agriculture Organization Fish. Tech. Pap. (120): 49 pp. Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik: Suatu Pendekatan Biometrik.
102
Penerjemah Bambang Sumantri. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 77-84. Sparre, P. & S. C. Venema. 1992. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. Part 1. Manual. Food and Agriculture Organization Fish. Tech. Pap. (306/1) Rev. 1: 376 pp. Sumiono, B., Sujianto, Y. Soselisa, & T. Murtoyo. 2002. Laju tangkap dan komposisi jenis ikan demersal dan udang yang tertangkap trawl pada musim timur di perairan utara Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia: Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 8 (4):15-22. Suprapto, B. Sumiono, & N. Hendriyatna. 2005. Struktur komunitas makrozoobentos dan kondisi perairan dasar pantai timur Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia: Edisi Sumber Daya dan Penangkapan. 11 (2): 39-45. Sumiono, B. 2008. Sumber daya ikan demersal dan struktur komunitas makrozoobentos di perairan Selat Malaka. Thesis. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Program Pasca Sarjana. Program Studi Ilmu Kelautan. Universitas Indonesia. 28-32. Tan, L. W. H. & K. L. Peter. 1988. A Guide to Seashore. Science Centre. Singapore. 159 pp. Widodo, J. 1991. Petunjuk teknis. Pemanfaatan dan Pengelolaan Beberapa Spesies Sumber Daya Ikan Demersal Ekonomis Penting (Kakap Merah, Bawal Putih, Manyung, dan Peperek). Seri Pengembangan Penelitian hasil Perikanan Nomor PHP/KAN/PT.16/ 1991. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 33 pp. Zim, H. S. & L. Ingle. 1955. A golden guide: Seashores. A Guide to Animals and Plants a Long the Beaches. Golden Press. New York. 160 pp.
Kepadatan Stok Ikan Demersal ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Sumiono, B., et al.)
Lampiran 1. Appendix 1.
Laju tangkap, parameter kualitas perairan, dan kepadatan makrozoobentos di perairan Tegal dan sekitarnya Catch rates, water quality parameters, and density of macrozoobenthos in the Tegal and its adjacent waters)
No.
Kepadatan/ Density 2 (kg/km )
Kedalaman/ Depth (m)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
101,2 252,0 1.558,3 1.237,8 734,4 1.595,8 604,1 1.339,8 1.975,3 1.748,0 183,8 770,0 220,9 164,1 25,6 135,9 211,7 216,6 356,8 229,6 540,9 156,2 249,5 145,1 562,1 659,9 236,4 175,7 168,7 459,1 267,0 689,6 837,7 369,5 559,4 70,9 118,1 50,0 256,8 180,5 10,1
23 14 31 35 38 40 41 38 34 30 22 33 25 14 15 13 10 23 27 14 17 24 29 34 30 30 12 30 30 36 38 31 25 33 24 18 13 26 21 27 16
Kepadatan benthos/ Density of benthos (ind./m2) 275 25 375 775 475 3.025 2.125 1.025 500 700 1.200 3.325 925 825 975 775 250 525 1.075 1.300 1.200 475 925 1.562 2.200 2.625 800 575 1.475 1.625 775 550 600 1.025 1.025 425 1.375 425 1.200 650 825
O2 dasar/ DO in the bottom (ppm)
pH Dasar/ pH in the bottom
4,2 4,0 4,1 3,5 5,0 4,3 4,2 4,2 4,4 3,6 3,6 4,5 3,2 4,3 3,9 4,0 4,3 5,1 4,7 4,6 4,9 4,9 5,0 5,6 5,0 5,4 5,0 3,7 5,1 4,14 4,14 4,37 4,48 3,8 3,14 4,09 3,75 4,09 4,37 4,31 4,31
7,2 7,2 7,2 7,2 7,3 7,4 7,4 7,3 7,7 7,3 7,3 7,2 7,2 7,2 7,2 7,2 7,3 7,5 7,6 7,4 7,4 7,7 7,7 7,6 7,6 7,6 7,5 7,6 7,6 7,37 7,44 7,37 7,47 7,57 7,33 7,54 7,35 7,59 7,35 7,43 7,39
Salinitas dasar/ Salinity in the bottom (‰) 32,31 32,25 32,20 32,28 32,23 32,12 32,29 32,29 32,23 32,30 32,31 32,31 32,28 32,27 32,31 32,34 31,88 31,93 31,95 31,98 32,01 31,94 31,98 32,09 32,21 32,07 32,09 32,12 32,42 34,09 34,14 34 34,21 34,14 34,18 34,18 34,11 34,14 34,18 33,97 34,33
suhu dasar/ Temperature in the bottom (oC) 29,96 29,99 29,94 29,78 29,88 30,05 30,05 30,11 30,01 29,99 29,85 29,94 29,98 30,08 30,06 30,21 28,76 28,96 28,96 28,54 28,64 28,84 28,86 28,86 28,85 28,87 28,64 28,90 28,85 29,61 29,59 29,62 30,19 29,54 30,26 30,26 30,26 30,17 30,19 29,96 31,05
103
Dampak Variabilitas Iklim Terhadap ..... yang Berbasis PPN Pekalongan (Prasetyo, A.P., et al.)
DAMPAK VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA PERIKANAN PUKAT CINCIN YANG BERBASIS PPN PEKALONGAN Andhika Prima Prasetyo, Kamaludin Kasim, Setiya Triharyuni, dan Aisyah Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 11 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 21 April 2011; Disetujui terbit tanggal: 30 Mei 2011
ABSTRAK Posisi Indonesia yang diapit oleh dua benua, yaitu Benua Australia dan Benua Asia serta diapit dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasifik) menjadikan kondisi cuaca dan iklim Indonesia dipengaruhi oleh variabilitas iklim regional yaitu el nino southern oscillation. Variabilitas iklim dapat berdampak terhadap populasi perikanan dengan berbagai cara, serta memberikan pengaruh yang berbeda untuk komoditas, lokasi dan waktu yang berbeda. Laut Jawa yang merupakan sentra perikanan pelagis kecil, di mana 75% hasil tangkapan total didaratkan oleh pukat cincin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabilitas iklim terhadap aktivitas perikanan di Laut Jawa, khususnya perikanan pukat cincin. Parameter yang digunakan adalah data hasil tangkapan, southern oscillation indices dan suhu permukaan laut. Pengaruh parameter southern oscillation indices dan suhu permukaan laut dianalisis menggunakan regresi linear ganda serta uji-t untuk melihat pengaruh perbedaan kondisi el nino southern oscillation. Hasil analisis menunjukkan bahwa southern oscillation indices dan suhu permukaan laut lebih nyata berpengaruh terhadap upaya pukat cincin mini (r = 62,5%; R2 = 70%) dibandingkan upaya pukat cincin besar (r = 39,8%; R2 = 51,8%). Nilai catch per unit of effort pukat cincin mini lebih terpengaruh (r = 65,8%; R2 = 76,1%) oleh perubahan nilai southern oscillation indices dan suhu permukaan laut dibandingkan dengan catch per unit of effort pukat cincin besar (r = 47,6%; R2 = 63,3%). Perbedaan kondisi el nino southern oscillation tidak menunjukkan pengaruh yang nyata (P > 0,05) terhadap upaya dan catch per unit of effort baik pukat cincin besar maupun pukat cincin mini. KATA KUNCI: ABSTRACT:
variabilitas iklim, dinamika perikanan, pukat cincin, Pekalongan The effect of climate variability on the dynamics of fisheries in the North Java purse seine fisheries which based on Pekalongan. By: Andhika Prima Prasetyo, Kamaludin Kasim, Setiya Triharyuni, and Aisyah
Indonesia’s position is lying between Australia and the Asian Continent as well as Indian and Pacific Oceans. It will make Indonesia weather and climatic conditions are influenced by regional climate variability namely el nino southern oscillation. Climate variability impact on fisheries populations in various ways, and provide a different effect for the commodity, location, and different time. Java Sea as the center of the small pelagic fishery, where 75% of total catches landed by purse seine. This study aims to obtain the influence of climate variability on fisheries activities in the Java Sea, especially the purse seine fishery. The parameters used are southern oscillation indices and sea surface temperature. Effect of southern oscillation indices and sea surface temperature parameters were analyzed using multiple linear regression and using t-test to see effect of different el nino southern oscillation conditions. The results showed that the southern oscillation indices and sea surface temperature more influence for the mini purse seine effort (r = 62.5%; R2 = 70%) compared to large purse seine effort (r = 39.8%; R2 = 51.8%). Mini purse seine catch per unit of effort value is more affected (r = 65.8%; R2 = 76.1%) by changes in southern oscillation indices and sea surface temperature values compared with the large purse seine catch per unit of effort (r = 47.6%; R2 = 63.3%). But t-test results effect of different el nino southern oscillation conditions showed no significant effect (P > 0.05) on the effort and catch per unit of effort both large and mini purse seine. KEYWORDS:
climate variability, fishery dynamic, purse seine, Pekalongan
PENDAHULUAN Perikanan pelagis di Laut Jawa sejak lama dimanfaatkan, terutama oleh pukat cincin. Pukat cincin berkembang pesat sejak pelarangan trawl tahun 1976, terutama di daerah Pekalongan dan Juwana.
Hampir 90% hasil tangkapan didaratkan di sana (Potier & Sadhotomo, 2003b). Armada pukat cincin yang berkembang di perairan utara Jawa saat ini ada dua macam, yaitu pukat cincin mini (LOA 10-18 m; 1-3 hari/trip) dan pukat cincin besar (LOA 40-65 m; 25-40 hari/trip) (Potier & Sadhotomo, 2003a). Spesies
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) 64711940, Fax. (021) 6402640, E-mail:
[email protected]
105
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 105-114
pelagis yang umum dimanfaatkan adalah layang (Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma), produksinya mencapai 60% dari produksi total. Laut Jawa termasuk perairan yang subur, Soegiarto & Nontji (1966) vide Durand & Petit (2003) mengatakan produktivitas primer Laut Jawa tinggi terutama pada saat musim timur dibandingkan musim barat. Adapun suhu permukaan laut di Laut Jawa menurut Potier et al. (1989) vide Durand & Petit (2003) mengatakan bahwa Laut Jawa memiliki stabilitas suhu yang baik, sehingga suhu tidak terlalu berfluktuasi dengan suhu rata-rata sekitar 28ºC serta gradien suhu berkisar 23ºC. Kondisi geografis Indonesia menyebabkan kondisi cuaca dan iklim di Indonesia terkait dengan variabilitas iklim regional yaitu el nino southern oscillation. El nino southern oscillation merupakan suatu fenomena alam yang mempengaruhi lokal tertentu dengan dampak yang berbeda. Susanto (2000) mengatakan perubahan iklim regional akan menyebabkan perubahan pada kondisi oseanografis perairan sehingga mempengaruhi distribusi, kelimpahan dan struktur komunitas. National Oceanic and Atmospheric Administration (2006) mengatakan el nino southern oscillation diduga memberikan pengaruh pada perubahan pola migrasi ikan serta berdampak pada proses reproduksi dan rekruitmen beberapa jenis ikan khususnya ikan-ikan pelagis. Durand & Petit
Gambar 1. Figure 1.
106
(2003) mengatakan intrusi massa air oseanik selama periode musim tenggara sedikit banyak terpengaruh oleh kondisi el nino southern oscillation. Penelitian Prasetyo & Suwarso (2010) mengatakan bahwa el nino southern oscillation berpengaruh terhadap suhu permukaan laut dan klorofil, perubahan terhadap kondisi lingkungan tersebut secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kelimpahan ikan layang. Berdasarkan atas paparan di atas, maka sangat menarik bila dilakukan kajian mengenai pengaruh variabilitas iklim dalam hal ini digunakan dua parameter yaitu el nino southern oscillation dengan indikator southern oscillation indices dan suhu permukaan laut terhadap dinamika perikanan pukat cincin di Laut Jawa. Pengetahuan mengenai dampak variabilitas iklim dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk mitigasi dan kebijakan untuk menjaga stabilitas usaha perikanan. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Lokasi yang menjadi fokus kajian ini adalah Laut Jawa dengan armada pukat cincin yang berbasis di Pekalongan (Gambar 1). Penelitian mengenai pengaruh variabilitas iklim menggunakan studi kasus tahun 1999-2009.
Lokasi penelitian. Research location.
Dampak Variabilitas Iklim Terhadap ..... yang Berbasis PPN Pekalongan (Prasetyo, A.P., et al.)
Pengumpulan Data
Standardized Darwin =
SLP aktual Darwin - rataan SLP Darwin SD Darwin
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data hasil tangkapan (per bulan) serta upaya penangkapan armada pukat cincin (mini dan besar) yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan dan beroperasi di Laut Jawa untuk periode tahun 1999-2009; komposit bulanan suhu permukaan laut dari citra MODIS Aqua level 3 (National Acronautics and Space Administration, 2011); serta el nino southern oscillation yang diindikasi oleh southern oscillation indices yang diperoleh dari National Oceanic and Atmospheric Administration (2002).
di mana: N = jumlah bulan MSD = monthly standard deviation/standar deviasi bulanan SLP = sea level pressure/tekanan laut SD = standar deviasi
Analisis Data
Regresi Berganda dan Uji-t
Suhu permukaan laut
Pengaruh southern oscillation indices dan suhu permukaan laut terhadap upaya penangkapan dan catch per unit of effort dengan satuan ton/haul dianalisis dengan regresi linear ganda.
Data suhu permukaan laut diturunkan dari data citra Aqua MODIS yang diperoleh level 3 (National Acronautics and Space Administration, 2011). Adapun algoritma standar yang digunakan oleh Aqua MODIS untuk data suhu permukaan laut adalah algoritma Long-wave IR algorithm (Long SST) yang dibuat oleh International MODIS/AIRS Processing Package (pada kanal 31 dan 32. Citra suhu permukaan laut disajikan pada Lampiran 1.
∑ (SLP aktual Darwin - rataan SLP Darwin)2
Standardized Deviation Tahiti =
N MSD =
∑ (Standardized Tahiti - Standarized Darwin)2 N
Y = á+âx1+ãx2+äx3+åxi .................................. (2 di mana: Y = variabel tidak besar Xi = variabel bebas á = intercept â, ã, ä, å = koefisien pengaruh
Southern Oscillation Indice Southern oscillation indices adalah indeks standar yang diperoleh dari selisih nilai tekanan permukaan laut antara Tahiti dan Darwin. Periode awal periode nilai southern oscillation indices negatif akan diikuti oleh massa air yang menghangat melintasi timur Pasifik bagian tropis, kondisi tersebut identik dengan periode el niño. Kondisi sebaliknya jika southern oscillation indices bernilai positif, maka massa air dingin akan melintasi timur Pasifik bagian tropis, kondisi tersebut identik dengan periode la niña. Nilai southern oscillation indices diperoleh dari http:// www.ncdc.noaa.gov/teleconnections/soi. Ada beberapa metode untuk menghitung southern oscillation indices, dalam penelitian ini digunakan southern oscillation indices yang diperoleh dari Jika dirumuskan, southern oscillation indices diperoleh dari persamaan (National Oceanic and Atmospheric Administration, 2002): SOI =
di mana:
(Standardi zed Tahiti - Standarize d Darwin) MSD
Standardized Tahiti =
..(1
(SLP aktual Tahiti - rataan SLP Tajiti)
Standard Deviation Tahiti =
SD Tahiti
∑ (SLP aktual Tahiti - rataan SLP Tajiti) 2
Sedangkan perbedaan fluktuasi upaya dan catch per unit of effort saat kondisi el nino dan la nina dianalisis dengan menggunakan uji-t. Kedua analisis tersebut menggunakan bantuan SYSTAT versi 12. HASIL DAN BAHASAN Deskripsi Pukat Cincin di Laut Jawa Pukat cincin pertama kali diperkenalkan kepada masyarakat pada tahun 1968 di Indonesia di pelabuhan Batang, Jawa Tengah, pukat cincin berkembang pesat dalam waktu singkat di berbagai provinsi (Potier & Sadhotomo, 2003a). Alasannya adalah hasil tangkapan yang lebih banyak dan musim penangkapan yang lebih lama dibandingkan jaring lingkar tradisional. Sasaran utama pukat cincin adalah ikan-ikan pelagis. Potier & Sadhotomo (2003a) membagi tipe pukat cincin berdasarkan atas hasil tangkapan yang dimanfaatkan, bentuk pantai, keberadaan sungai, kedalaman perairan, budaya, kebiasaan, dan faktor ekonomi (investor, fasilitas pendaratan, dan pasar yang potensial), yaitu:
N
107
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 105-114
1. Pukat cincin mini; pada umumnya berada sepanjang pantai utara Jawa (kebanyakkan berbasis di Jawa Timur) dan Provinsi Kalimantan Selatan. Beroperasi dengan waktu yang singkat dan hasil tangkapan dipasarkan secara lokal. Ukuran kapal yang digunakan memiliki panjang 10-18 m dengan kapasitas palka 1-2 ton. 2. Pukat cincin sedang; tipe ini khusus ditemukan di Pelabuhan Pekalongan, Jawa Barat. Beroperasi selama 6-15 hari/trip. Hasil tangkapan yang diperoleh dilelang di pasar Jawa. Ukuran kapal yang digunakan memiliki panjang 15-20 m dengan kapasitas palka 20-25 ton. 3. Pukat cincin besar; terkonsentrasi di tiga provinsi yaitu Tegal, Pekalongan-Batang, dan JuwanaRembang. Armada tersebut beroperasi selama 40 hari/trip, hasil tangkapan yang diperoleh dipasarkan di pasar nasional. Ukuran kapal yang digunakan memiliki panjang 40-65 m dengan kapasitas palka 50-80 ton. Pengaruh Variabilitas Iklim terhadap Dinamika Perikanan Pukat Cincin a. Kondisi parameter variabilitas iklim Parameter variabilitas iklim yang digunakan untuk mengambarkan pengaruhnya terhadap perikanan pukat cincin adalah el nino southern oscillation (dengan indikator southern oscillation indices) serta suhu permukaan laut. Gambar 2 dan 3 menunjukkan selama periode tahun 1999-2009 paling tidak terjadi dua kali periode la nina di atas normal (tahun 19992000 dan 2008), di mana southern oscillation indices bernilai positif dan lebih besar dari tiga, sedangkan periode tahun 2002-2005 terjadi fenomena el nino, di mana southern oscillation indices bernilai negatif dan kurang dari -3. Jika dilihat kondisi southern oscillation indices menunjukkan kecenderungan penurunan, namun dengan kondisi yang lambat atau tidak drastis (landai). Hal hampir serupa juga terjadi pada parameter suhu permukaan laut, tren fluktuasi suhu permukaan laut menunjukkan kencenderungan penurunan, agak lebih curam dibandingkan southern oscillation indices Walaupun begitu perubahan tidak dratis, berkisar ±0,20ºC. Hal ini bertolak belakang dengan teori perubahan iklim, di mana perubahan iklim diindikasikan dengan naiknya suhu muka laut. Hal tersebut diduga disebabkan perairan Laut Jawa merupakan perairan yang semi-tertutup. Selama periode tahun 1999-2009 tercatat bahwa suhu
108
permukaan laut tertinggi pernah terjadi pada tahun 2005. (National Oceanic and Atmospheric Administration, 2006) menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu cara untuk mengukur variabilitas lautan, namun suhu juga merupakan indikator dari proses rumit yang terjadi di lautan. Perubahan suhu berhubungan dengan pola sirkulasi lautan yang berakibat perubahan pada arah dan kecepatan angin yang mengerakkan arus laut serta proses pencampuran massa air permukaan dengan perairan dalam yang kaya nutrien. Proses ini akan mempengaruhi kelimpahan dan variasi plankton yang merupakan makanan bagi ikan-ikan kecil. Menurut Potier et al. (1989) vide Durand & Petit (2003) mengatakan bahwa Laut Jawa memiliki stabilitas suhu yang baik, sehingga suhu tidak terlalu berfluktuasi dengan suhu rata-rata sekitar 28ºC serta gradien suhu berkisar 2-3ºC. Kedua parameter tersebut (southern oscillation indices dan suhu permukaan laut) akan digunakan untuk melihat pengaruh variabilitas iklim. Menurut Bureau of Meteorology (2010) bahwa southern oscillation indices akan mempengaruhi fluktuasi suhu permukaan laut. Namun setelah dilakukan pengujian regresi linear ganda untuk melihat pengaruh southern oscillation indices terhadap suhu permukaan laut menunjukkan koefisien determinasi dan korelasi yang rendah (R2 = 5,6%; r = -4,8%). Sehingga menurut penulis untuk Laut Jawa kedua parameter tersebut tidak berhubungan. b. Dinamika perikanan pukat cincin terhadap variabilitas iklim Dampak iklim terhadap perikanan seringkali diduga tidak secara langsung berpengaruh terhadap populasi ikan (ketersedian maupun kelimpahan), namun berpengaruh terhadap lingkungan habitatnya. Selain melihat pengaruh iklim terhadap kelimpahan ikan dengan melihat data pendaratan ikan dirasakan kurang mewakili serta memiliki bias yang besar. Bias yang dimaksud adalah apakah fluktuasi kelimpahan ikan benar dipangaruhi oleh iklim atau sebagai akibat tekanan penangkapan (upaya). Mungkin yang lebih tepat menggambarkan pengaruh variabilitas iklim terhadap dinamika perikanan adalah upaya penangkapan. Di mana kondisi cuaca maupun iklim sangat mempengaruhi kemampuan nelayan untuk melaut, karena kondisi iklim sedikit banyak berpengaruh terhadap cuaca. Walaupun begitu dalam tulisan ini kelimpahan (dengan indikator catch per unit of effort; ton/haul) tetap dikaji pengaruhnya terhadap upaya itu sendiri, southern oscillation indices dan suhu permukaan laut.
Dampak Variabilitas Iklim Terhadap ..... yang Berbasis PPN Pekalongan (Prasetyo, A.P., et al.) 30
12.00 6.00
10 0.00 -10 -6.00 -30
-12.00 n y p n y p n y p n y p n y p n y p n y p n y p n y p n y p n y p Ja aM eS Ja aM eS Ja aM eS Ja aM eS Ja aM eS Ja aM eS Ja aM eS Ja aM eS Ja aM eS Ja aM eS Ja aM eS 1999
2000
2001
2002
2003
SOI+ (La Nina)
Gambar 2. Figure 2.
Gambar 3. Figure 3.
2004
2005
SOI-(El Nino)
2006
2007
2008
2009
SOI Tahunan
Fluktuasi southern oscillation indices bulanan periode tahun 1999-2009. Monthly southern oscillation indices fluctuation in 1999-2009.
Fluktuasi southern oscillation indices tahunan dan suhu permukaan laut periode tahun 1999-2009. Annual southern oscillation indices and sea surface temperature fluctuation in 1999-2009.
Sadhotomo & Durand (1997) mengatakan bahwa peningkatan salinitas dan/atau lama proses salinisasi di Laut Jawa dipengaruhi oleh el nino southern oscillation sebagai akibat perubahan sifat hidrografi Laut Jawa. Kombinasi faktor lokal seperti desalinisasi dan pertukaran massa air sangat penting dalam mempengaruhi aksesibilitas ikan pelagis di Laut
Jawa. Sebagai informasi tambahan Hong (2008) mengatakan pada bulan Maret 2008, la nina menyebabkan penurunan suhu permukaan laut di Asia Tenggara sekitar 2ºC. Hal tersebut menyebabkan hujan lebat untuk negara Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
109
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 105-114
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Figure 4.
Fluktuasi variabilitas iklim terhadap dinamika perikanan pukat cincin (a) variabilitas iklim; (b) dinamika pukat cincin besar; serta (c) dinamika pukat cincin mini. Fluctuation of climate variability to purse seine fisheries (a) climate variability; (b) large purse seine fishery; and (c) mini purse seine fishery.
Pengaruh Variabilitas Iklim terhadap Upaya Penangkapan Pukat Cincin Penelitian ini menggunakan satuan haul (aktivitas penurunan dan menaikkan jaring). Jika dilihat dari upaya penangkapan ada hal yang menarik (Gambar 4b). Upaya pukat cincin besar menunjukkan tren
110
penurunan setiap tahunnya, sedangkan pukat cincin mini menunjukkan kecenderungan peningkatan (Gambar 4c). Adapun southern oscillation indices dan suhu permukaan laut menunjukkan kecenderungan penurunan (Gambar 4a). Ada beberapa hal yang diduga mempengaruhi kondisi tersebut, di antaranya harga bahan bakar minyak, perubahan ukuran
Dampak Variabilitas Iklim Terhadap ..... yang Berbasis PPN Pekalongan (Prasetyo, A.P., et al.)
maupun alat tangkap, kemampuan finansial, tidak melaut karena kondisi cuaca, dan lain-lain. Ada indikasi bahwa usaha pukat cincin besar tidak mampu bertahan, karena hasil tangkapan yang diperoleh tidak mampu mencapai hasil yang menguntungkan atas biaya yang telah dikeluarkan. Selain itu kondisi cuaca yang diduga berpengaruh terhadap perbedaan tren upaya penangkapan pukat cincin mini dan besar diduga karena kapasitas penangkapan pukat cincin besar lebih baik jika dibandingkan dengan pukat cincin mini, namun memerlukan biaya (tetap dan variabel) yang besar. Kapasitas penangkapan yang dimaksud adalah ukuran kapal dan kekuatan mesin. Kapal pukat cincin besar (panjang 40-65 m) lebih stabil menghadapi kondisi laut yang tidak bersahabat (cuaca buruk) dibandingkan dengan kapal pukat cincin mini (panjang 10-18 m). Cuaca buruk yang dimaksud dapat berupa angin, gelombang, hujan deras, dan lain-lain. Solomon et al. (2007) mengatakan pada saat kondisi el nino akan berpengaruh terhadap karakteristik hujan, yaitu intensitas, frekuensi, dan jenis presipitasi. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Tjasyono & Bannu (2003) mengatakan kejadian el nino southern oscillation periode el nino, pada tahun el nino terjadi subsidensi di atas wilayah Indonesia sehingga angin pasat melemah dan sirkulasi Walker menggeser awan-awan konvektif ke Pasifik bagian tengah dan timur. Sirkuliasi zonal di atas wilayah Indonesia pada kondisi el nino menyebabkan udara bawah yang mengandung banyak uap air disebarkan ke arah zonal, sehingga subsidensi udara atas yang mengandung sedikit uap air menyebabkan curah hujan berkurang. Hal yang sebaliknya terjadi pada kondisi la nina, di mana curah hujan tinggi. Hasil anova regresi linear ganda menunjukkan model yang diperoleh cukup mewakili untuk tren upaya pukat cincin besar (R2 = 51,8%) dan mewakili untuk pukat cincin mini (R2 = 70%). Sedangkan nilai koefisien korelasi menunjukkan upaya pukat cincin mini berhubungan (r e” 50%) dengan variabilitas iklim. Sebaliknya upaya pukat cincin besar tidak berhubungan (r d” 50%) dengan variabiliatas iklim. Pengaruh Variabilitas Iklim dan Upaya Penangkapan terhadap Catch Per Unit of Effort Pukat Cincin Catch per unit of effort digunakan sebagai salah satu indikator kelimpahan stok perikanan. Jika dilihat tren catch per unit of effort yang disajikan dalam satuan ton/haul (Gambar 4b dan c), dapat dilihat bahwa catch per unit of effort mengalami kenaikan setiap tahunnya baik pada perikanan pukat cincin mini maupun besar. Kondisi catch per unit of effort sangat terkait dengan upaya penangkapan yang dilakukan
dan tentunya stok ikan itu sendiri. Jika dilihat kondisi upaya penangkapan pukat cincin besar menunjukkan penurunan, namun hasil yang diperoleh meningkat. Hal tersebut diduga disebabkan oleh usaha penangkapan pukat cincin besar tidak mampu bertahan karena tinggi biaya operasional penangkapan. Selain itu karena upaya penangkapan menurun mengakibatkan persaingan antara kapal penangkap menurun, sehingga satu kapal dapat memperoleh lebih banyak hasil tangkapan. Syamsudin (1992) mengatakan ketersedian ikan berhubungan dengan proses dinamika di suatu daerah, sebagai contoh pada proses konvergensi (pertemuan arus yang berbeda) di mana wilayah tekanan rendah dikelilingi oleh tekanan tinggi yang menyebabkan arus yang berputar dan menyebabkan konsentrasi fitoplankton meningkat. Demikian juga proses berpisahnya arus (divergensi) menyebabkan zat hara yang kaya nutrien di kedalaman naik ke permukaan dan mengundang fitoplankton. Menurut Tomascik et al. (1997) vide Afdal & Riyono (2004) suhu mempengaruhi proses fotosintetis di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh suhu secara langsung yaitu mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintetis, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yaitu dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton. Secara umum, laju fotosintetis fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, namun akan menurun secara drastis setelah mencapai suhu tertentu. Hasil anova regresi linear ganda menunjukkan model yang diperoleh cukup mewakili (R2 = 63,3%) tren catch per unit of effort pukat cincin besar terhadap upaya, southern oscillation indices dan suhu permukaan laut. Sedangkan model untuk pukat cincin mini mewakili (R2 = 76,1%) tren catch per unit of effort. Sedangkan nilai koefisien korelasi menunjukkan upaya pukat cincin mini berhubungan (r e” 50%) dengan upaya dan variabilitas iklim. Sebaliknya upaya pukat cincin besar tidak berhubungan (r d” 50%) dengan upaya dan variabiliatas iklim. c. Pengaruh kondisi el nino southern oscillation terhadap dinamika perikanan pukat cincin Penelitian Laksmini & Syamsudin (2009) mengenai pengaruh iklim regional terhadap puncak penangkapan ikan tuna mata besar di selatan Jawa dan Bali menguatkan dugaan korelasi positif antara kondisi el nino southern oscillation terhadap sektor perikanan. Hasilnya adalah pada periode el nino yang diasosiasikan nilai anomali tinggi permukaan laut
111
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 105-114
negatif yang juga sebagai indikator keberadaan upwelling berkorelasi dengan nilai hook rate yang meningkat, sebaliknya pada kondisi la nina nilai anomali tinggi permukaan laut bernilai positif dan nilai hook rate cenderung turun. Perubahan dinamika perikanan pukat cincin dilihat pengaruhnya pada kondisi el nino southern oscillation yang berbeda (el nino dan la nina). Hasil uji-t menunjukkan upaya penangkapan baik pukat cincin besar maupun mini tidak berbeda nyata (P two-tail > 0,05) pada kondisi el nino southern oscillation yang berbeda. Hal yang sama ditunjukkan oleh hasil uji-t untuk catch per unit of effort, bahwa catch per unit of effort tidak berbeda secara nyata (P two-tail > 0,05) pada kondisi el nino southern oscillation berbeda. Sehingga diketahui bahwa kondisi el nino southern oscillation tidak menghalangi usaha penangkapan pukat cincin. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Upaya penangkapan dan catch per unit of effort pada kondisi el nino southern oscillation yang berbeda (el nino dan la-nina) tidak berbeda secara nyata (P-value > 0,05). 2. Pada perikanan pukat cincin besar, fluktuasi suhu permukaan laut dan southern oscillation indices tidak berpengaruh (r d” 50%) terhadap fluktuasi upaya penangkapan dan catch per unit of effort. 3. Pada perikanan pukat cincin mini, fluktuasi suhu permukaan laut dan southern oscillation indices berpengaruh (r e” 50%) terhadap fluktuasi upaya penangkapan dan catch per unit of effort. 4. Perbedaan dampak tersebut disebabkan oleh perbedaan kapasitas penangkapan kedua armada. 5. Fluktuasi nilai suhu permukaan laut lebih berpengaruh terhadap dinamika perikanan pukat cincin dibandingkan dengan fluktuasi nilai southern oscillation indices.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset dampak pada perikanan pelagis kaitannya dengan perubahan iklim global, T. A. 2010, di Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Ancol, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Afdal & S. H. Riyono. 2004. Sebaran klorofil-a kaitannya dengan kondisi hidrologi di Selat Makassar. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 36: 69-82. Bureau of Meteorology. 2010. Climate Glossary. http:/ /www.bom.gov.au/climate/glossary/Climate Glossary-Southern Oscillation Index.htm. Diunduh Tanggal 10 Oktober 2010. Durand, J. R. & D. Petit,. 2003. BIODYNEX 2nd Edition: The Java Sea Environment. The Agency for Marine and Fisheries Research, Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 14-38. Hong, L. 2008. Recent Heavy Rain not Caused by Global Warming. Channel NewsAsia. http:// w w w. c h a n n e l n e w s a s i a . c o m / s t o r i e s / singaporelocalnews/ view/334735/1/.html. Diunduh Tanggal 22 Juni 2008. Laksmini, M. & F. Syamsudin. 2009. Pengaruh perubahan iklim regional terhadap puncak hasil tangkapan ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) di perairan selatan Jawa dan Bali. Jurnal Kelautan Nasional. 2 (Edisi Khusus Januari): 1829. National Oceanic and Atmospheric Administration. 2002. Southern Oscillation Index. http:// www.ncdc.noaa.gov/ teleconnections/enso/ indicators/soi.php. Diunduh Tanggal 16 Juni 2011.
Saran
——-. 2006. Pacific Marine Environmental Laboratory Climate and Marine Fisheries: Climate Variability & Marine Fisheries. http://pfeg.noaa.gov/research/ climatemarine/cmffish/ cmffishery.html. Diunduh Tanggal 16 Maret 2011.
1. Menambah parameter variabilitas iklim maupun variabilitas laut, seperti dipole mode indices, salinitas, angin, curah hujan, dan lain-lain.
National Acronautics and Space Administration. 2011. Aqua MODIS Monthly Sea Surface Temperatute. http: //oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/l3.
2. Melakukan verifikasi dan penambahan data pendaratan ikan di lokasi pendaratan lain di Laut Jawa.
Potier, M. & B. Sadhotomo. 2003a. BIODYNEX 2nd Edition: Seiners Fisheries in Indonesia. The
112
Dampak Variabilitas Iklim Terhadap ..... yang Berbasis PPN Pekalongan (Prasetyo, A.P., et al.)
Agency for Marine and Fisheries Research. Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 49-66. ———. 2003b. BIODYNEX 2nd Edition: Exploitation of the Large and Medium Seiners Fisheris. The Agency for Marine and Fisheries Research. Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 195-214. Prasetyo, A. P. & Suwarso. 2010. Produktivitas primer dan kelimpahan ikan layang (Decapterus spp.) hubungannya dengan fenomena el nino southern oscillation di Selat Makassar bagian selatan. Marine Fisheries. 1 (2) November: 159-168. Sadhotomo & Durand. 1997. General feature of Java Sea ecology. Proceeding of Acoustics Seminar Akustikan 2. 43-55.
Solomon, S., D. Qin, M. Manning, M. Marquis, K. Averyt, M. M. B. Tignor, H. L. Miller, & Z. Chen. 2007. Climate change 2007: The physical science basis. Intergovermental Panel on Climate Change. 105-108. Susanto, D. 2000. El nino dan perpindahan lokasi ikan. Kompas. Tanggal 23 Juli 2000. Syamsudin, F. 1992. Studi arus geostrofik di perairan barat sumatera dan hubungannya dengan sebaran plankton selama musim barat laut dan timur. Skripsi.. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Institut Teknologi Bandung. (Tidak Dipublikasikan) 125 pp. Tjasyono, Bayong, & Bannu. 2003. Dampak el nino southern oscillation pada faktor hujan di Indonesia. Jurnal Matematika dan Sains. 8 (1) Maret: 15-22.
113
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 105-114
Lampiran 1. Appenddix 1.
Citra suhu permukaan laut tahunan perairan Laut Jawa hasil rekaman Aqua MODIS periode tahun 1999-2010 Satellite imaging for annual sea surface temperatute of Java Sea from Aqua MODIS in 1999-2010
Tahun 1999
Tahun 2000
Tahun 2001
Tahun 2002
Tahun 2003
Tahun 2004
Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2007
Tahun 2008
Tahun 2009
114
Respons Radikal Kelebihan Kapasitas Penangkapan Armada ............ di Laut Jawa (Atmaja, S.B., et al.)
RESPONS RADIKAL KELEBIHAN KAPASITAS PENANGKAPAN ARMADA PUKAT CINCIN SEMI INDUSTRI DI LAUT JAWA Suherman Banon Atmaja1), Duto Nugroho2), dan Mohamad Natsir1) 2)
1) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 1 Pebruari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 19 April 2011; Disetujui terbit tanggal: 31 Mei 2011
ABSTRAK Kapasitas penangkapan berlebih sebagai masalah utama bagi pengelola perikanan. Antisipasi penurunan kapasitas penangkapan armada pukat cincin dilakukan dengan cara perubahan radikal wilayah operasi penangkapan melalui relokasi usaha perikanan dari kawasan jenuh tangkap (wilayah pengelolaan perikanan 712 Laut Jawa) ke perairan yang relatif rendah tingkat pemanfaatannya di kawasan timur Indonesia (wilayah pengelolaan perikanan 715, 716) dan Samudera Hindia (wilayah pengelolaan perikanan 573). Analisis produktivitas kapal contoh yang digambarkan berdasarkan atas besarnya hasil tangkapan per upaya (ton/tawur), menunjukkan bahwa hasil tangkapan per upaya tertinggi ditemukan di perairan Kepulauan Kangean dan Laut Maluku sekitar 3 ton/tawur, sedangkan yang terendah di Samudera Hindia sekitar 1,11 ton/tawur. Kapal pukat cincin Pekalongan yang beroperasi di Laut Maluku dan Samudera Hindia melakukan perubahan secara fisik melalui penerapan metode pembekuan plate freezing atau pembekuan cepat (sharp freezing). Sementara itu, terjadinya perubahan radikal untuk meningkatkan efisiensi operasional kapal pukat cincin dari Pekalongan dilakukan dengan cara manual sebagian besar hasil tangkapan di laut sebagai akibat tingginya tingkat kompetisi dan rendahnya peluang keberhasilan. Selain itu terjadi perubahan pada sistem bagi hasil, untuk meningkatkan efisiensi dan peluang keberhasilan operasi penangkapan, dengan memberlakukan sistem kontrak kerja nelayan untuk kali setiap trip. KATA KUNCI :
kapasitas penangkapan, relokasi, perubahan masukan, pukat cincin, Laut Jawa
ABSTRACT :
Radical response on overcapacity of Pekalongan semi industrial purse seiner in the Java Sea. By: Suherman Banon Atmaja, Duto Nugroho, and Mohamad Natsir
The existence of excessive fishing capacity generally recognized as a major problem for the fisheries managers whose have responsibility for the declining of fishery resources and economically wasteful. In some cases, reduction capacity was anticipated not by reducing the boat activities or changing the fishing gear, but through a radical change by relocating of fishing effort from the fully exploited fishing ground (fishery management area 712 Java Sea) to the areas with relatively low or medium exploited levels in eastern part of Indonesia (fishery management area 715, 716) and the Indian Ocean (fishery management area 573). As the boat productivity derrived from catch per unit of effort (ton/haul), the results showed that the highest catch per unit of effort occurred in Kangean Islands waters and the Moluccas Sea with approximately 3 ton/setting, while the lowest catch per unit of effort occurs in the Indian Ocean of 1.11 ton/haul. In relation with these aspects, there are some radical changes on operational aspects in which most of the catch has been transhiped at sea to increase the efficiency due to high level of competitiveness and low probability of successful fishing the boat that operatings in the Maluku Sea and Indian Ocean were modified through some physically treatments on fish hold through freezing method using plates (plate freezing or sharp freezing). In addition, several changes from the sharing system occurred to increase the probability of successful trips, most of the fishermen was contracted for each fishing trip. KEYWORDS:
fishing capacity, relocation, input change, purse seine, Java Sea
PENDAHULUAN Perkembangan sistem penangkapan pada armada perikanan pukat cincin secara terus-menerus menyesuaikan aktivitasnya sejak tahun 1980 sampai saat ini. Peningkatan kemampuan tangkap dilakukan melalui perubahan masukan secara fisik yaitu
perkembangan teknologi dan adaptasi taktik dan strategi pemanfaatannya. Laju eksploitasi pukat cincin meningkat pesat seiring dengan tingginya permintaan pasar lokal terhadap jenis ikan pelagis kecil di mana salah satu indikator peningkatan tersebut dapat digambarkan dengan bertambahnya jumlah kapal sejak tahun 1980-1995 dan peningkatan kemampuan
___________________ Korespondensi penulis: Jl.Muara Baru Ujung, Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudera-Jakarta 14440, Telp.(021) 6602044
115
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 115-123
tangkap dan kapasitas penangkapan serta perluasan daerah penangkapan ke wilayah pengelolaan perikanan yang berbeda (Potier, 1998; Atmaja, 2008). Kebanyakan kajian pengelolaan perikanan berdasarkan atas proses biologi dan pemahaman dinamika nelayan. Hilborn & Walters (1992) mengatakan bahwa model-model dinamika jangka panjang, kurang mempertimbangkan perubahan upaya yang cepat yang berkaitan dengan keputusan harian, seperti kapan, di mana, dan ikan apa?. Dalam hal ini, keputusan nelayan sehari-hari kurang dieksplorasi dari perubahan jangka panjang dalam dinamika armada perikanan, meskipun memiliki relevansi khusus dalam adaptasi nelayan. Peningkatan kapasitas penangkapan mencerminkan kebutuhan pengusaha dalam mengeksploitasi sumber daya ikan di mana fenomena ini berlangsung tanpa kendali. Peningkatan tersebut berjalan sampai berada di atas ambang batas maksimum kemampuan pemulihan biomassa ikan tersebut. Kapasitas berlebih tersebut dipercaya menjadi salah satu alasan utama kegagalan pengelolaan perikanan. Pada kondisi tersebut pengelolaan perikanan tidak mungkin diperbaiki kecuali tingkat kapasitas penangkapan dapat diturunkan selama jangka waktu tertentu sampai tercapainya kesetaraan dengan produktivitas biologis dari biomassa ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan. Perkembangan eksploitasi perikanan pukat cincin semi industri yang berbasis di Pelakongan berada pada suatu masa kemerosotan hasil tangkapan dan penurunan kinerja ekonomi. Dengan demikian berdampak pada meningkatnya peluang terjadinya konflik antar pengguna di wilayah pengelolaan perikanan di Laut Jawa. Perubahan radikal melalui relokasi usaha perikanan ke kawasan timur Indonesia dan Samudera Hindia, serta diversifikasi usaha dengan mengalihkan sebagian kapal penangkap menjadi kapal penangkap cumi-cumi dan berganti alat tangkap dengan menggunakan jaring cantrang merupakan tanggapan pengusaha untuk mempertahankan usahanya (Atmaja, 2008; Atmaja, 2009). Prakarsa perubahan diikuti dengan upaya pengendaliannya telah memberikan indikasi pengurangan kapasitas dan membebaskan tekanan pada stok sumber daya ikan pelagis di Laut Jawa. Dengan demikian diharapkan dapat memperbaiki proses pemulihan sesuai daya dukung biologi ikanikan pelagis kecil yang akan berdampak pada peningkatan profitabilitas kapal yang beroperasi dengan ukuran yang sesuai dengan daya dukung
116
sumber daya ikan. Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran perikanan pukat cincin semi industri di Laut Jawa dan sekitarnya dan prakarsa pengurangan kapasitas armada penangkapan. Pembuktian dilakukan berdasarkan atas serial data kapal pukat cincin dan kapal yang dijadikan contoh di tiga lokasi (Pekalongan, Jakarta, dan Bitung) dengan melibatkan nakhoda kapal sebagai observer. BAHAN DAN METODE Data dikumpulkan dari beberapa kegiatan, yaitu data hasil tangkapan dari catatan nelayan, observasi langsung dengan mengikuti operasi penangkapan, dan melibatkan kapten kapal sebagai observer. Data catatan nakhoda kapal dilengkapi dengan informasi daerah dan lama operasi penangkapan berdasarkan atas wawancara pada saat melakukan pendaratan hasil tangkapan. Kapal pukat cincin yang digunakan sebagai contoh dua kapal yang beroperasi di sekitar Kepulauan Kangean dan satu kapal masing-masing yang beroperasi di Samudera Hindia dan Laut Maluku. Adapun kapal-kapal tersebut mempunyai spesifikasi seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Table 1.
Spesifikasi teknis kapal contoh Technical specification of sample purse seiners Kangean
GT (ton) HP Panjang jaring (m) dalam (m)
125 350 700 70
81 300 65 70
Laut Maluku 68 280 700 90
Samudra Hindia 127 370 1.600 100
Analisis dilakukan secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk grafik untuk menjelaskan produktivitas kapal selama pelayaran berlangsung di beberapa lokasi penangkapan (Samudera Hindia, Laut Maluku, dan Laut Jawa). Produktivitas dinyatakan dalam hasil tangkapan/tawur dan aktivitas penangkapan selama di daerah penangkapan. HASIL DAN BAHASAN Dampak Kelebihan Kapasitas Penangkapan Data pendaratan harian armada pukat cincin selama kurun waktu tahun 1992-2009 memperlihatkan pola fluktuasi hasil tangkapan pukat cincin di Tempat Pendaratan Ikan Pelakongan dan Juwana yang cenderung menurun (Gambar 1). Gambar 2 memperlihatkan adanya dua puncak produksi, yaitu pada tahun 1994 dan 2002. Puncak produksi tahun
Respons Radikal Kelebihan Kapasitas Penangkapan Armada ............ di Laut Jawa (Atmaja, S.B., et al.)
70
600
60
500
50
400
40
300
30
Rataan Hari Laut
Jumlah Kapal aktif
700
20 Jumlah kapal aktif
100
10
Rataan hari laut/trip 0 1990
Gambar 1.
Figure 1.
0 1995
2000
2005
2010
Aspek operasional armada pukat cincin yang berpangkalan di Pekalongan (tahun 1990-2009). Operasional aspects of purse seiners in Pekalongan landing place (1990-2009).
Gambar 3. Figure 3.
150000
Pekalongan Juwana
120000
Total
90000 60000 30000 0 1990
1995
2000
2005
2010
Tahun
Gambar 2.
Figure 2.
Aspek Operasional Armada Pukat Cincin > 30 GT
200
180000 Produksi Pukat Cincin (ton)
1994 merupakan keberhasilan armada dalam berkompetisi dengan penggunaan alat bantu lampu sorot dan ditunjang dengan kemampuan kapal untuk memperluas dan mencari daerah penangkapan baru. Produksi terendah terjadi pada tahun 2001 dan 2006, penurunan produksi setelah tahun 2005 lebih disebabkan oleh penurunan drastis aktivitas penangkapan sebagai akibat dari rendahnya peluang keberhasilan mendapatkan kelompok ikan. Kondisi ini berakibat pada ketidaksesuaian hasil tangkapan per trip dibandingkan biaya operasionalnya. Pada tahun 2009, jumlah kapal aktif di Pekalongan hanya tersisa sekitar 30% dibandingkan pada tahun 2005. Bila dibandingkan dengan jumlah tertinggi pada tahun 1995, perkiraan jumlah kapal berada pada kisaran 18-19%.
Fluktuasi produksi ikan pelagis kecil di Tempat Pendaratan Ikan Pekalongan dan Juwana. Fluctuation of small pelagic fish production in Pekalongan and Juwana.
Penurunan aktivitas penangkapan tersebut tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor kenaikan biaya operasional, tetapi semakin menipisnya hasil tangkapan. Dari analisis dinamika biomassa menunjukkan bahwa krisis perikanan pukat cincin di Laut Jawa dan sekitarnya telah dibuktikan dengan sisa biomassa 1/4 dari biomassa awal dan perikanan telah mencapai kestabilan jangka panjang atau perikanan pelagis kecil telah mencapai titik jenuh (Atmaja & Nugroho, 2006; Atmaja, 2007). Penyusutan stok diterangkan lebih lanjut melalui tiga kemungkinan dari trajektori tren biomassa, yaitu biomassa menurun dratis pada tahun ke-20 sampai 30, biomassa berfluktuasi, pulihnya lebih rendah dari tingkat BMSY (biomassa pada tingkat maximum sustainable yield), pemulihannya stok sangat lambat dan relatif tidak pulih (Gambar 3).
Trajektori dinamis biomassa (non linier chaotic dynamics). Biomass dynamic trajectories (non linier chaotic dynamics).
117
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 115-123
Situasi ini mengisyaratkan krisis perikanan akan berlangsung dalam jangka panjang dan tingkat produksi akan selalu berada di bawah puncak produksi pukat cincin selama periode tahun 1992-1995. Stok ikan pelagis yang tersisa tidak mampu lagi mendukung jumlah armada perikanan yang terlanjur masuk ke dalam usaha perikanan. Krisis perikanan ini bukan karena kurangnya ilmu pengetahuan tentang stok ikan yang dieksploitasi, melainkan faktor eksternal dan kegagalan untuk memahami dan mengelola nelayan. Beddington et al. (2007) mengatakan pengelolaan perikanan komersial jelas memerlukan pemahaman ilmiah yang baik tentang perilaku stok ikan yang di eksploitasi, tetapi penilainya didominansi oleh model populasi yang dikembangkan oleh Beverton dan Holt, untuk penilaian single spesies sekitar 50 tahun yang lalu. Sekarang ilmu pengetahuan perikanan, tidak boleh hanya fokus pada dinamika populasi ikan tetapi juga mengintegrasikan analisis dinamika perilaku nelayan dan armada perikanan. Para ahli ekologis mengkhawatirkan usaha terusmenerus untuk mengembangkan perikanan tangkap secara tidak terkontrol dan tidak terkelola secara baik, berdampak kepada penurunan kualitas ekosistem perairan. Mackinson et al. (1997) mengatakan bahwa selama periode collapse-nya, armada penangkapan cenderung meningkatkan catchability pada banyak stok ikan pelagis kecil, dengan perlengkapan teknologi yang lebih canggih, efektif, dan efisien. Hasil akhirnya adalah bahwa hasil tangkapan per unit upaya penangkapan hampir konstan dan dicapai tanpa ukuran stok. Tiga model catchability digunakan untuk menyoroti konsekuensi perilaku ikan dan teknologi penangkapan ikan selama periode stok ikan collapse yang diungkapkan oleh Pitcher (1995). Pengaruh taktik penangkapan (cahaya dan rumpon) terhadap perilaku ikan membuat gelombolan ikan lebih mudah tertangkap oleh alat tangkap pukat cincin. Kepadatan ikan di sekitar kelompok kapal pukat cincin menunjukkan dua kali lebih tinggi daripada di luar kelompok kapal pukat cincin. Hubungan antara biomassa dan gerombolan ikan pada malam hari, ketika tidak adanya kapal pukat cincin, peningkatan jumlah gerombolan ikan dibangkitkan dari bawah. Sementara di daerah penangkapan di mana kapal pukat cincin hadir, struktur spasial kapal adalah mirip dengan kepadatan ikan. Para nelayan tampaknya dapat mendeteksi konsentrasi ikan pada siang hari
118
sebagai patokan menentukan pemilihan lokasi penangkapan pada malam hari (Potier et al., 1997). Pada rumpon laut dalam, densitas yang paling tinggi ditemukan pada lapisan permukaan sampai kedalaman 25 m. Tingginya aktivitas penangkapan pukat cincin di sekitar rumpon mengakibatkan kelimpahan ikan di sekitar rumpon turun drastis (Priatna et al., 2010). Pada dasarnya praktek penangkapan adalah memindahkan jumlah besar dari spesies ikan, yang mendorong ke arah perubahan jaringan makanan. Sementara tekanan ekologis, degradasi fisik habitat hayati (degradasi mangrove, kerusakkan terumbu karang, dan pencemaran (sedimentasi, eutrofikasi, dan kekurangan oksigen) berimplikasi langsung terhadap penurunan produktivitas primer perairan dan proses pemulihan (renewable) biota laut termasuk ikan, secara langsung akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas stock ikan. Perubahan iklim memperburuk situasi perikanan dengan meningkatnya kadar keasaman laut dan pemutihan terumbu karang, mengancam habitat ikan bertelur dan daerah asuhan (nursery), pergeseran arus-arus lautan dan planktonnya serta ikan kecil dalam rantai makanan laut (Jackson et al., 2001; Maguire, 2005). Secara umum, ahli perikanan telah mengenali penurunan sumber daya ikan dunia, kerugian keanekaragaman hayati laut akibat overfishing, polusi, dan tekanan lain seperti perubahan iklim (Mongabay.com., 2006). Berdasarkan atas data kapal regristrasi Pekalongan yang telah dipasang vessel monitoring surveillance menjelaskan adanya korelasi yang erat antara menurunnya jumlah armada kapal perikanan yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan dan perpindahan daerah penangkapan di luar wilayah pengelolaan perikanan 712 Laut Jawa, di mana pada umumnya telah melakukan relokasi usaha penangkapan (Gambar 4). Produktivitas Pukat Cincin Berdasarkan atas kapal contoh dan data vessel monitoring surveillance memperlihatkan ekspansi daerah penangkapan ke kawasan timur Indonesia (Laut Maluku) dan ke Samudera Hindia (selatan Selat Sunda) dan bagian timur Laut Jawa berada di sekitar Kepulauan Kangean. Daerah penangkapan tersebut sudah masuk bagian wilayah pengelolaan perikanan Makasar dan Laut Flores (Gambar 5).
Respons Radikal Kelebihan Kapasitas Penangkapan Armada ............ di Laut Jawa (Atmaja, S.B., et al.)
4
4 26
3 10
Bitung Juwana Jakarta Balikpapan Tegal 180
Gambar 4. Figure 4.
Pekalongan
Jumlah kapal registrasi di Pekalongan yang telah dipasang vessel monitoring surveillance dan wilayah operasionalnya. Number of Pekalongan registered vessel that already vessel monitoring surveillance installed. Sumber/Sources: Satuan Kerja Pengawasan SDKP Pekalongan, P2SDKP/Fishing monitoring and surveillances, Pekalongan unit
5°N
Gambar 5. Figure 5.
Relokasi daerah penangkapan pukat cincin Pekalongan. 0° Purse seine fleet relocation fishing grounds.
Pemilihan daerah penangkapan untuk kapal yang beroperasi di Samudera Hindia dan Laut Maluku berkaitan dengan keberadaan rumpon laut dalam. Sebaliknya kapal di perairan Kepulauan Kangean merupakan keputusan jangka pendek nakhoda dengan mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan dalam penangkapan. Sementara durasi trip kapal yang beroperasi di perairan Kepulauan Kangean dan Laut Maluku, tidak dibatasi oleh ukuran palka, tetapi pendapatan per trip.
Produktivitas Kapal Contoh 95°E
105°E
115°E
125°
Rekaman data hasil tangkapan dari kapal contoh yang beroperasi di perairan Kepulauan Kangean, Laut Maluku, dan Samudera Hindia menunjukan bahwa produktivitas tertinggi terjadi di perairan Kepulauan Kangean dan Laut Maluku sekitar 3 ton/tawur, sedangkan yang terendah di Samudera Hindia sekitar 1,11 ton/tawur (Gambar 6). Kondisi ini dapat dijelaskan lebih lanjut dengan hasil tangkapan per tawur dan aktivitas selama di daerah penangkapan (Gambar 7, 8, dan 9), variabilitas hasil tangkapan per tawur harian menjadi salah satu karakteristik utama suatu usaha perikanan.
119
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 115-123
Gambar 6. Figure 6.
Produktivitas kapal contoh menurut lokasi penangkapan. Vessel sample productivity on each location.
Daerah Penangkapan di Perairan Kepulauan Kangean
Hasil Tangkapan (ton)
Kapal Kasih Setia 1 (bulan Agustus sampai Nopember selama 78 hari laut) selama 71 hari di daerah penangkapan melakukan tawur 53 kali (75%) dengan total hasil tangkapan 204,77 ton, sedangkan 19 hari (25%) tidak melakukan tawur akibat cuaca buruk dan berlindung dengan cara masuk ke pulau terdekat pada saat terang bulan (Gambar 7). Hasil monitoring di Pelabuhan Pekalongan tercatat bahwa
kapal tersebut hanya mendaratkan hasil tangkapan sejumlah 47,79 ton (atau hanya 23,3% dari total hasil tangkap). Sementara kapal Samudera Indonesia (bulan Juni sampai Agustus selama 78 hari laut) hanya melakukan tawur 58 hari dengan hasil tangkapan 118,34 ton, sedangkan yang tercatat di pelabuhan hanya 66,931 ton (atau 56,6% dari total hasil tangkap). Dari informasi ini menunjukkan sebagian besar hasil tangkapan telah dijual di laut. Selain itu, sistem bagi hasil 25 juga telah berubah, pada umumnya nelayan dikontrak setiap tripnya. 20 15 10 5 0
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 4 Hari ke di Daerah Penangkapan
Gambar 7. Figure 7.
Aktivitas tawur dan hasil tangkapan kapal contoh di perairan Kepulauan Kangean. Setting activity and cacth of sampel vessel in Kangean island waters.
Kapal contoh Beroperasi di Samudera Hindia Kapal pukat cincin telah menggunakan metode pembekuan dengan lempeng pendingin (plate freezing atau sharp freezing (pembekuan cepat), di mana ruangan pembeku berlempeng logam memiliki ruang
120
yang terinsulasi dengan rak-rak yang terbuat dari kumparan-kumparan pipa yang menyalurkan pendingin. Ruangan pembeku jenis ini digunakan untuk membekukan ikan utuh. Rekaman data observasi dari empat trip
Respons Radikal Kelebihan Kapasitas Penangkapan Armada ............ di Laut Jawa (Atmaja, S.B., et al.)
menerangkan fluktuasi hasil tangkapan dan terendah terjadi pada trip ketiga (Gambar 8 dan 9). Penurunan tersebut diakibatkan lebih banyak oleh kegagalan tawur dan tidak melakukan aktivitas penangkapan yang
Gambar 8. Figure 8.
disebabkan kondisi cuaca yang buruk (menurut informasi dari nelayan karena arus timur yang kuat dan angin barat yang kencang).
Aktivitas tawur dan hasil tangkapan kapal contoh di Samudera Hindia. Setting activity and cacth of sampel vessel in Indian Ocean.
6
trip 4
4
2
0 1
3
Gambar 9. Figure 9.
5
7
9 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 Waktu Tawur Hasil Tangkapan (ton)
Hasil Tangkapan (ton)
trip 3
Aktivitas tawur dan hasil 6tangkapan kapal contoh di Samudera Hindia. Setting activity and cacth of sampel vessel in Indian Ocean.
Kapal Contoh yang Beroperasi di Laut Maluku Dalam melaksanakan operasi penangkapannya, kapal ini didukung oleh penggunaan rumpon laut-dalam (payaos) dan lampu di bawah air (under water lamp). Penggunaan rumpon laut-dalam setiap kapal sekitar 10-12 payaos, under water lamp delapan buah dengan daya 2.000 watt/lampu yang dibawa oleh kapal bantu (GT<20). Untuk menjaga kualitas hasil tangkapan, telah digunakan metode pembekuan seperti halnya
3
yang digunakan oleh pukat cincin yang beroperasi di Samudra Hindia serta dilayani dengan kapal angkut 0 kapal. Selama operasi penangkapan, lama tinggal 10 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 di 1laut lebih dari empat bulan,Waktur untuk kajian ini Tawur menggunakan data bulan Juni sampai Nopember 2010 (Gambar 10). Dari catatan aktivitas tawur, terlihat bahwa hasil tangkapan per tawur pada bulan Juli cenderung lebih tinggi (3,3 ton/tawur) dibandingkan pada bulan Agustus 2010 (1,4 ton/tawur).
121
39 41 43 45 47
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 115-123 9 Jul-10 Hasil Tangkapan (ton)
Agust-10 6
3
0 1
2
3
4
5
6 7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 H a r i tawur ke
Gambar 10. Figure 10.
Aktivitas tawur dan hasil tangkapan kapal contoh di Laut Maluku. Setting activity and cacth of sampel vessel in Mollucas Sea.
KESIMPULAN 1. Akibat terjadinya kelebihan kapasitas penangkapan di wilayah Laut Jawa khususnya armada purse seine besar mengakibatkan adanya perubahanperubahan radikal pada armada penangkapan. Perubahan-perubahan tersebut berupa relokasi beberapa kapal pukat cincin ke wilayah perairan Indonesia Timur, perubahan sistem bagi hasil menjadi kontrak, transaksi jual beli ikan di laut dan perubahan input fisik berupa sistem pendingin atau lempengan (plate freezing). 2. Pada periode collapse-nya stok ikan armada penangkapan cenderung meningkatkan koefisien catchability yang lebih efektif dan efisien dalam memodifikasi perilaku agregasi ikan. 3. Monitoring hasil tangkapan menunjukkan bahwa rata-rata hasil tangkapan per tawur tertinggi ditunjukkan oleh armada yang beroperasi di perairan Kangean dan Laut Maluku, sementara yang memiliki rata-rata hasil tangkapan per tawur terendah adalah armada penangkapan yang beroperasi di Samudera Hindia.
kasus perikanan pukat cincin di Pekalongan dan Juwana. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 12 (1): 57-68. Atmaja, S. B. 2007. Ketidakpastian besaran stok ikan dari model produksi surplus. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 13 (1): 1-9. ——. 2008. Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil dan Dinamika Perikanan Pukat Cincin di Laut Jawa dan Sekitarnya. Balai Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 100 pp. ——. 2009. Dampak peningkatan koefisien teknologi (catchability) terhadap ambruknya stok ikan pelagis. Seminar Nasional Perikanan Tangkap III. Institut Pertanian Bogor. Tanggal 9-10 Nopember. Beddington, J. R., D. J. Agnew, & C. W. Clark. 2007. Current problems in the management of marine fisheries. Science. 316 (5,832): 1,713-1,716. Hilborn, R. & C. Walters. 1992. Quantitative fisheries stock assessment. Choice, Dynamics, and Uncertainty. Chapman and Hall. New York.
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset dinamika perilaku perikanan pukat cincin: Perubahan pola eksploitasi dan substitusi alat tangkap, T. A. 2010, di Balai Riset Perikanan LautMuara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B. & D. Nugroho 2006. Interaksi antara biomassa dengan upaya penangkapan: Studi
122
Jackson, J. B. C., M. X. Kirby, W. H. Berger, K. A. Bjorndal, L. W. Botsford, B. J. Bourque, R. H. Bradbury, R. Cooke, J. Erlandson, J. A. Estes, T. P. Hughes, S. Kidwell, C. B. Lange, H. S. Lenihan, J. M. Pandolfi, C. H. Peterson, R. S. Steneck, M. J. Tegner, & R. R. Warner. 2001. Historical overfishing and the recent collapse of coastal ecosystems. Science. 293: 629-638.
Respons Radikal Kelebihan Kapasitas Penangkapan Armada ............ di Laut Jawa (Atmaja, S.B., et al.)
Mackinson, S., U. R. Sumaila, & T. J. Pitcher. 1997. Bioeconomic and catchability: Fish and fishers behaviour during stock collapse. Fisheries Research. 31: 11-17.
Potier, M., P. Petitgas, & D. Petit. 1997. Interactions between fish and fishing vessels in the Javanese purse seine fishery. Aquatic Living Resources. 10: 149-156. Web of Science.
Maguire, J. J. 2005. Factors of unsustainability and overexploitation: Summary and findings. Food and Agriculture Organization Project GCP/INT/788/ JPN. 18 pp.
Potier, M. 1998. Pêcherie de layang et senneurs semi industriels Javanais: Perspective historique et approche système. Phd Thesis. Université de Montpellier II. 280 pp.
Mongabay.com. 2006. All Stocks of Wild Seafood Species to Collapse by 2048 Says New Study. November 2, 2006. www.mongabay.com/news-index /fishing2.html-25k.
Priatna, A., D. Nugroho, & Mahiswara. 2010. Pengamatan terhadap keberadaan ikan pelagis rumpon laut-dalam pada musim timur di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Teluk Pelabuhan Ratu dengan metode hidroakustik. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (2): 83-171.
Pitcher, T. J. 1995. The impact of pelagic fish behaviour on fisheries. SCI. MAR. 59 (3-4): 295-306.
123
Kelolosan Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus) ..... Devices pada Jaring Arad (Hufiadi & Mahiswara)
KELOLOSAN IKAN KURISI (Nemipterus japonicus) MELALUI JUVENILE AND TRASH EXLUDER DEVICES PADA JARING ARAD Hufiadi dan Mahiswara Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 15 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 29 April 2011; Disetujui terbit tanggal: 31 Mei 2011
ABSTRAK Permasalahan utama pada perikanan jaring arad adalah banyaknya jumlah hasil tangkap sampingan berukuran kecil yang belum layak tangkap. Dalam upaya untuk mengurangi tangkapan ikan muda yang belum layak tangkap telah dilakukan observasi dan ujicoba operasi penangkapan melalui penggunaan perangkat juvenile and trash exluder devices pada alat tangkap jaring arad yang dioperasikan nelayan di Pekalongan. Perangkat juvenile and trash exluder devices yang digunakan dibedakan pada ukuran jarak antar kisi, yaitu 10,0; 17,5; dan 25,4 mm. Analisis selektivitas kisi menggunakan model kurva logistik dengan bantuan solver pada Microsoft Excel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan juvenile and trash exluder devices pada jaring arad dapat meloloskan ikan kurisi (Nemipterus spp.) berukuran kecil. Ukuran jarak antar kisi 25,4 mm mempunyai selektivitas yang paling baik terhadap ikan kurisi berdasarkan atas ukuran panjang baku dan jarak antar kisi 17,5 mm mempunyai selektivitas paling baik berdasarkan atas ukuran lingkar tubuh ikan kurisi. KATA KUNCI:
juvenile and trash exluder devices, arad, jarak antar kisi, kurisi, selektivitas
ABSTRACT:
The escape of threadfin breams (Nemipterus japonicus) by juvenile and trash exluder devices. By: Hufiadi and Mahiswara
The main problem on bottom mini trawl was the large number of bycatch caught especially for juvenile and trash fish. Improvement to reduce catches of juvenile was conducted through observation and experimental fishing using juvenile and trash exluder devices of mini bottom trawl in Pekalongan. The juvenile and trash excluder devices (juvenile and trash exluder devices in the experimental fishing with different space bar of the juvenile and trash exluder devices i.e. 10.0; 17.5; and 25.4 mm. The selectivity analysis of logistic curve by using solver on Microsoft Excel was applied. The results showed that juvenile and trash excluder devices might reduce catches of threadfin breams juvenile. The 25.4 mm of space bar was the best selectivity according to the size of threadfin breams fork length and 17.5 mm space bar was the best selectivity according to the size of threadfin breams body girth. KEYWORDS:
juvenile and trash exluder devices, bottom mini trawl, bar, threadfin breams, selectivity
PENDAHULUAN Perikanan jaring arad (bottom mini trawl) telah berkembang di perairan utara Jawa. Berdasarkan atas rancang bangun, konstruksi, dan cara operasinya jaring arad tergolong kelompok alat tangkap trawl. Seperti halnya perikanan trawl pada umumnya, pengoperasian jaring arad telah memunculkan dampak tertangkapnya berbagai jenis ikan sebagai hasil tangkap sampingan. Perikanan jaring arad di perairan utara Jawa telah memunculkan permasalahan; ikut tertangkapnya ikan ukuran kecil yang diduga sebagian merupakan ikan muda (juvenile). Hasil tangkap sampingan (bycatch) pada umumnya ikan-ikan berukuran kecil (juvenile) dari sasaran spesies dan spesies yang non sasaran, telah menarik perhatian dunia (Andrew & Pepperell, 1992;
Alverson et al., 1994). Juvenile dan trash fish seperti ubur-ubur, bintang laut, dan kekerangan yang ikut tertangkap trawl dan alat tangkap sejenisnya pada umumnya dibuang kembali ke laut dalam keadaan mati dan diistilahkan sebagai discards (buangan). Buangan dapat berdampak buruk terhadap sumber daya dan lingkungan (Pascoe, 1997). Hasil tangkapan juvenile dan trash fish pada perikanan jaring arad yang dioperasikan nelayan di pantai utara Jawa, pada umumnya dimanfaatkan. Namun tertangkapnya juvenile dapat berpengaruh terhadap penurunan sumber daya ikan secara cepat, oleh karena ikan belum sempat mengalami fase dewasa dan bertelur serta bereproduksi untuk kepentingan rekruitmen. Upaya yang perlu terus dilakukan dalam memanfaatkan potensi sumber daya yang berkelanjutan, secara seimbang dengan usaha
___________________ Korespondensi penulis: Jl.Muara Baru Ujung, Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudera-Jakarta 14440, Telp.(021) 6602044
125
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 125-132
konservasi sehingga kelestarian terjaga, antara lain melalui peningkatan selektivitas alat tangkap. Alat tangkap yang selektif mampu mengurangi hasil tangkapan sampingan baik dalam bentuk tangkapan juvenile, trash fish, maupun jenis non sasaran spesies lainnya. Selektivitas alat tangkap adalah kemampuan menentukan sasaran dalam menangkap ikan menurut jenis, kelamin, dan ukuran atau kombinasi ketiganya selama proses penangkapan dan memungkinkan semua hasil tangkapan bukan sasaran diloloskan tanpa cidera (Food and Agriculture Organization, 1995). Selektivitas juga merupakan fungsi dari alat tangkap untuk menangkap ikan yang terbatas pada jenis dan ukuran ikan tertentu pada suatu populasi yang ditemui di daerah penangkapan atau status populasi (Arimoto, 1999; Tokai, 1996; Ferno & Olsen, 1994). Upaya yang dilakukan untuk meloloskan juvenile ikan adalah dengan menggunakan perangkat juvenile and trash exluder devices yang telah dikembangkan oleh SEAFDEC sejak tahun 2002. Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta telah melakukan penelitian penggunaan perangkat juvenile and trash exluder devices pada alat tangkap jaring arad untuk mengetahui kinerja selektifnya terhadap hasil tangkap sampingan. Penelitian pengaruh jarak antar kisi pada perangkat juvenile and trash exluder devices dilakukan bersamaan dengan penelitian kinerja juvenile and trash exluder devices untuk mengetahui tingkat pelolosan ikan pada jaring arad. Tulisan ini menyajikan selektivitas juvenile and trash exluder devices pada jaring arad terhadap ikan kurisi. BAHAN DAN METODE Penelitian penggunaan perangkat juvenile and trash exluder devices pada jaring arad dilakukan pada tahun 2007 di perairan utara Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan dengan mengoperasikan perangkat juvenile and trash exluder devices tipe rigid sorting grid yang dipasang di bagian kantong jaring arad. Kapal dan Jaring Arad Kapal jaring arad berukuran (LoA) 12,0 m, lebar (B) 3,5 m, dan dalam (D) 0,8 m atau 10 GT, dengan mesin penggerak 22 HP. Jaring arad bertali ris atas (head rope) 12 m, tali ris bawah (ground rope) 14 m,
126
mata jaring bagian kantong dengan ukuran 1 inci. Lokasi penangkapan pada kedalaman 20-30 m. Lama penarikan jaring rata-rata 1 jam dengan kecepatan kapal rata-rata 3 knot. Perangkat Juvenile and Trash Exluder Devices Konstruksi front part dibuat dengan menggunakan besi dia 10 mm. Lebar kisi juvenile and trash exluder devices yang diujicobakan adalah 10,0; 17,5; dan 25,4 mm seperti terlihat pada Gambar 1. Berdasarkan atas ketiga perlakuan kisi juvenile and trash exluder devices, pada jarak kisi yang semakin rapat, diharapkan adanya perbedaan ikan yang berukuran kecil (juvenile) sebelum masuk ke kantong arad memungkinkan akan tertahan oleh kisi juvenile and trash exluder devices lalu keluar melalui pintu pelolosan dan tertampung di cover net. Dengan bertambahnya ukuran lebar kisi juvenile and trash exluder devices adanya perbedaan yang semakin meningkat dan paling baik dari nilai selektivitas pelolosan ikan tersebut. Uji-coba pengoperasian secara langsung di lapangan, dilakukan dengan memasang juvenile and trash exluder devices pada bagian antara badan dan kantong jaring arad (Gambar 1). Sebagai perlakuan adalah perbedaan jarak antar kisi, yaitu 10,0; 17,5; dan 25,4 mm. Untuk masing-masing ukuran jarak antar kisi dilakukan ulangan masing-masing sejumlah tujuh kali. Data yang dikumpulkan meliputi ukuran tinggi tubuh ikan (body height), panjang cagak (fork length), tebal tubuh (body width), dan lingkar tubuh (body girth). Data lain adalah jumlah ikan yang lolos melewati kisi dan tertampung pada kantong jaring (codend) serta jumlah ikan yang keluar dan terdapat pada cover net. Masing-masing hasil tangkapan yang masuk ke kantong (codend) dan cover net masingmasing diidentifikasi jenisnya dan ditimbang secara total. Identifikasi jenis ikan mengacu pada referensi Fischer & Whitehead (1974). Untuk bahan kajian selektivitas, ikan kurisi yang tertangkap diukur panjang cagaknya, tinggi tubuh, dan lingkar tubuh. Tingkat kelolosan ikan yang tertangkap jaring arad yang dilengkapi juvenile and trash exluder devices dihitung dengan menggunakan formula:
Kelolosan Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus) ..... Devices pada Jaring Arad (Hufiadi & Mahiswara)
600 mm
400 mm
600 mm
600 mm
B
Lebar kisi (bar) 10,0; 17,5; dan 25,4 mm besi beton dia. 6 mm
Besi beton dia. 10 mm
A
Gambar 1. Figure 1.
A-B desain dan konstruksi juvenile and trash exluder devices yang diuji-coba. Design and construction of experimental juvenile and trash exluder devices.
Wcov x100 … (1 Wcod + Wcov
Tingkat pelolosan (%) =
di mana: Wcov = bobot tangkapan (kg) yang keluar (lolos) melalui juvenile and trash exluder devices dan tertampung dalam cover net Wcod = bobot tangkapan (kg) yang masuk ke kantong jaring arad Rasio pelolosan yang dikalkulasikan berdasarkan atas rasio tinggi tubuh terhadap ukuran kisi diformulasikan:
S(l) =
1 [(1 + exp(α * l + β)]
……………….........….. (3
di mana: á dan â = parameter-parameter dari model logistik dihitung melalui pendekatan maximum likelihood method (Tokai, 1997) S(l) = fungsi dari selektivitas juvenile and trash exluder devices terhadap panjang ikan Kemiringan dari kurva selektivitas (selection span) dihitung dengan rumus:
Rt=L/d ……………………………………….…… (2 SR=-2 ln (3)/á ............................................. (4 di mana: Rt = nilai rasio tinggi tubuh L = tinggi tubuh d = kisi (grid space) Analisis: Rt>1: ikan tidak dapat lolos dari kisi Rt<1: ikan dapat lolos melalui kisi Rt=1: ikan dapat lolos atau tidak melalui kisi Data yang digunakan untuk analisis kurva selektivitas kisi juvenile and trash exluder devices meliputi data ukuran jarak antar kisi (space bar) panjang cagak dan lingkar tubuh untuk ikan kurisi yang keluar melalui cover net (Tokai, 1997). Parameter model logistik diperoleh dengan menggunakan solve (pada program Microsoft Excell), digunakan untuk menghitung kurva selektivitas dari juvenile and trash exluder devices. Formula yang digunakan untuk menghitung kurva selektivitas model logistik adalah:
Data yang digunakan dalam analisis kurva selektivitas ini adalah panjang cagak dan lingkar tubuh ikan kurisi. HASIL DAN BAHASAN Hasil Tangkapan Selama ujicoba juvenile and trash exluder devices (21 stasiun), total hasil tangkapan ikan kurisi famili Nemipteridae dari masing-masing stasiun bervariasi. Ikan kurisi yang tertangkap dan masuk ke kantong jaring berkisar 0,04-1,48 kg dengan total tangkapan ikan kurisi yang masuk kantong 13,320 kg (42,93%). Sedangkan ikan kurisi yang lolos dan tertampung pada cover net berkisar 0,07-2,20 kg dengan total tangkapan 17,71 kg (57,07%).
127
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 125-132
Pada kisi 10,0 mm persentase meloloskan ikan kurisi lebih tinggi dibandingkan kisi 17,5 dan 25,4 mm (Tabel 1). Tingginya rata-rata persentase pelolosan ikan kurisi untuk kisi 10,0 mm, menunjukkan ukuran ikan yang tertangkap selama ujicoba pengoperasian juvenile and trash exluder devices didominansi oleh ikan kurisi berukuran kecil yaitu berukuran di bawah lebar celah kisi juvenile and trash exluder devices tersebut. Secara logis, ukuran tubuh ikan kurisi yang dapat lolos melalui kisi juvenile and trash exluder devices adalah ikan yang mempunyai nilai rasio tinggi tubuh terhadap ukuran kisi lebih kecil dari satu atau sama dengan satu (Rt<1 atau Rt=1). Fenomena tertangkapnya ikan-ikan berukuran kecil (ikan muda) selama ujicoba juvenile and trash exluder devices sulit dihindari, namun demikian, melalui pemasangan kisi juvenile and trash exluder devices pada jaring arad, peluang lolosnya ikan-ikan berukuran kecil (juvenile) dapat ditingkatkan. Fenomena yang sama dialami dalam penelitian bubu yang dilengkapi celah pelolosan bahwa tertangkapnya bycatch sulit dihindari, namun telah membuktikan ikan-ikan kakap berukuran kecil dapat meloloskan diri melalui perangkap tersebut (Purbayanto et al., 2006). Tabel 1. Table 1.
Persentase pelolosan ikan dari tiga kisi juvenile and trash exluder devices Percent age of fishes escaping from three of the space bar of juvenile and trash exluder devices
Kisi/Lattice (mm) 10,0 17,5 25,4
Rata-rata/Average (%) 65,81 51,33 52,54
Secara umum, hasil uji-coba juvenile and trash exluder devices pada jaring arad membuktikan bahwa ketiga ukuran kisi juvenile and trash exluder devices yaitu kisi 10,0; 17,5; dan 25,4 mm dapat meloloskan ikan kurisi dengan ukuran Lc
128
sotong, dan biota invertebrata lainnya. Ikan kurisi (Nemipteridae 12,27%), merupakan jenis tangkapan yang dominan setelah ikan beloso (Synodontidae 19,41%) dan ikan petek (Leiognathidae 15,51%). Jenis ikan kurisi, beloso (Saurida undosquamis), dan pepetek (Leiognathus spp.) yang mendominansi hasil tangkapan jaring arad memberikan informasi yang sama dibanding dengan spesies hasil tangkapan trawl mini di Laut Jawa pada bulan September, Oktober, dan Desember (Hufiadi et al., 2008), trawl di Selat Malaka pada bulan Agustus 2003 (Hufiadi & Nurdin, 2006) dan hasil tangkapan trawl di Laut Jawa pada bulan Oktober 2002 (Pujiyati et al., 2007) menunjukkan bahwa ketiga famili ikan tersebut (Nemipteridae, Synodontidae, dan Leiognathidae) tersebar luas dan dapat beradaptasi di berbagai perairan. Ikan kurisi adalah salah satu jenis ikan demersal ekonomis penting yang cukup banyak tertangkap dengan alat tangkap yang dioperasikan di dasar perairan seperti trawl dan cantrang (Losse & Dwiponggo,1977; Beck & Sudradjat, 1979). Daerah penyebaran ikan kurisi tersebar dari perairan pantai sampai lepas pantai yaitu pada umumnya meliputi kedalaman 20-225 m (De Bruin et al., 1994). Sebaran ikan kurisi meliputi kedalaman 10-60 m dan kebanyakan terkonsentrasi pada perairan dasar yang berlumpur (Fischer & Whithead, 1974). Ukuran Ikan Hasil pengukuran terhadap panjang cagak, tinggi tubuh dan lingkar tubuh ikan contoh kurisi (Nemipterus japonicus) dapat dilihat pada Tabel 2. Ukuran ikan dibedakan antara ikan yang masuk kantong jaring arad dan jaring pembungkus juvenile and trash exluder devices dari masing-masing ukuran kisi yaitu ukuran 10,0; 17,5; dan 25,4 mm. Pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa rata-rata ukuran ikan contoh dari ketiga perlakuan kisi juvenile and trash exluder devices, yang lolos atau masuk cover net cenderung berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata ukuran ikan yang masuk kantong. Demikian pula berdasarkan atas ukuran kisi juvenile and trash exluder devices, diperoleh bahwa semakin besar ukuran kisi, rata-rata ukuran contoh ikan (fork length) yang lolos atau tertampung pada cover net semakin meningkat.
Kelolosan Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus) ..... Devices pada Jaring Arad (Hufiadi & Mahiswara)
Tabel 2.
Rata-rata ukuran contoh ikan yang masuk ke kantong arad dan juvenile and trash exluder devices dengan tiga macam ukuran kisi juvenile and trash exluder devices 10,0; 17,5; dan 25,4 mm The average of fish length sample in codend and juvenile and trash exluder devices cover net of 10.0; 17.5; and 25.4 mm of the space bar
Table 2.
1.
Perlakuan kisi-kisi JTEDs/ Treatment grade JTEDs 10,0 mm
2.
17,5 mm
3.
25,4 mm
No.
Kantong arad/Arad bag Jenis/ Species
Nemipterus japonicus Nemipterus japonicus Nemipterus japonicus
FL (cm)
Tinggi/ Depth (cm)
Lingkar/ Girth (cm)
n
FL (cm)
Tinggi/ Depth (cm)
Lingkar/ Girth (cm)
n
8,41
2,24
5,56
120
6,31
1,62
4,13
118
8,05
2,24
5,39
106
8,01
2,24
5,25
68
8,52
2,33
5,58
80
7,49
2,06
1,12
100
Kantong (codend)
Kisi-kisi 10,0 mm
Kisi-kisi 17,5 mm
Lolos (cover net)
90,00 80,00
Kantong (codend) Lolos (cover net)
120,00
70,00 60,00 50,00
Persentase(%)
Persentase(%)
JTEDs
40,00 30,00 20,00
100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00
10,00 0,00
R<1 R<1
R=1 Tebal tubuh
R=1
R>1
Tebal tubuh
R>1
Kisi-kisi 25,4 mm
Kantong (codend) Lolos (cover net)
Persentase(%)
120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 R<1
R=1
R>1
Tebal tubuh
Gambar 2. Figure 2.
Pesentase rasio tebal tubuh ikan kurisi untuk kisi 10,0; 17,5; dan 25,4 mm. Percent age of threadfin breams body width ratio by 10.0; 17.5; and 25.4 mm space bar of juvenile and trash exluder devices
Rasio kelolosan Berdasarkan atas ukuran contoh ikan kurisi, rasio pelolosan tebal tubuh terhadap ukuran kisi-kisi juvenile and trash exluder devices, dapat dilihat pada Gambar 2. Diprediksikan ukuran ikan kurisi dengan tebal tubuh lebih dari ukuran kisi tidak akan dapat lolos melewati celah kisi-kisi juvenile and trash exluder devices dan atau ukuran tebal tubuh yang lebih kecil daripada ukuran kisi akan lolos melewati juvenile and trash exluder devices. Namun kenyataan bahwa banyak ukuran dengan rasio tebal tubuh (Rw) bernilai lebih
dari satu (Rw>1) dapat lolos melewati kisi juvenile and trash exluder devices. Hal ini diduga karena sifat tubuh ikan kurisi yang lentur memungkinkan ikan dengan ukuran tinggi tubuh yang lebih besar dari lebar kisi dapat lolos keluar melewati kisi. Hal tersebut dapat pula terjadi karena kelenturan kisi yang tidak stabil karena pengaruh mekanika arus. Sebaliknya ukuran rasio tinggi tubuh ikan kurisi (Rt) bernilai kurang dari satu (Rw<1) banyak masuk ke dalam kantong. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan kemampuan penglihatan ikan sehingga celah pelolosan tidak terlihat dan kekuatan renang ikan untuk melawan arus
129
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 125-132
sehingga ikan-ikan kurisi yang berukuran kecil dari jarak kisi akan masuk ke dalam codend. Selain itu terdapatnya ikan-ikan kurisi di dalam codend berkaitan dengan pemasangan juvenile and trash exluder devices yang tidak penuh menutupi seluruh bagian codend. Distribusi frekuensi panjang cagak ikan kurisi yang paling banyak lolos melalui celah kisi juvenile and trash exluder devices pada kisi kisi 10,0; 17,5; dan 25,4 mm adalah berukuran 9,0-10,5 cm. Untuk ikan dalam selang kelas yang sama, kisi yang efektif meloloskan ikan adalah yang mampu meloloskan ikan dalam jumlah terbanyak. Gambar 3 menunjukkan kisi 10,0 mm meloloskan ikan terbanyak untuk panjang cagak 4-7,5 cm sedangkan ukuran ikan 8-9,5 cm banyak diloloskan oleh ukuran kisi 24,5 mm diikuti oleh kisi 17,5 mm (Gambar 3).
Gambar 4.
Kurva selektivitas arad yang dilengkapi juvenile and trash exluder devices terhadap ikan kurisi. Mini trawl net selectivitiy curve with juvenile and trash exluder devices for threadfin breams based on fork length.
Figure 4.
Selektivitas Juvenile and Trash Exluder Devices Perhitungan kurva selektivitas kisi juvenile and trash exluder devices dilakukan dengan menggunakan metode cover net (Tokai, 1997). Data yang digunakan untuk menghitung kurva selektivitas terdiri atas dua jenis data yaitu panjang cagak lingkar tubuh ikan. Pada Gambar 4 terlihat tiga kurva yang menunjukkan nilai yang masuk ke dalam codend. Kurva selektivitas ini dibentuk oleh tiga kisi berbeda. Pada kisi 10 mm nilai á (-0,7975) dan â (5,8452) dengan nilai L50% (7,33). Hal ini menunjukkan bahwa ikan kurisi yang mempunyai panjang cagak ( 7,33 cm akan mempunyai peluang 50% untuk masuk ke dalam kantong arad atau cover net. Panjang cagak maksimum ikan kurisi yang tertangkap di codend 17,0 cm sehingga ikan kurisi yang yang memiliki panjang cagak lebih besar dari 17,0 cm akan tertangkap di kantong arad.
130
1
individu
Figure 3.
Histogram jumlah pelolosan ikan menurut ukuran panjang cagak. Histogram of the escape number of fish by the fork length.
Selektivitas kisi 25,4 mm
20
Sedangkan nilai á (-0,6081) dan â (5,1208) dengan 10 0,8 nilai L50% (8,42 cm) adalah nilai-nilai yang menyusun 0 2-3,5 4-5,5,5 8-9,5 10-11,5 kurva 0,6 selektivitas untuk kisi 25,46-7,5 mm. Bila melihat (cm) Fork length nilai L50% (8,42), maka ikan yang mempunyai peluang masuk0,4ke dalam codend atau cover net (50%) berukuran panjang cagak 8,42 cm. Selectivity
Gambar 3.
Pada kisi 17,5 mm kurva selektivitas dibentuk oleh nilai á (-0,4530) dan â (3,0763) dengan nilai L50% (7,07). Nilai L50% (7,07), ikan kurisi dengan panjang cagak 7,07 cm akan mempunyai peluang untuk masuk ke dalam kantong arad atau cover net 50%, sedangkanKisi-kisi 10,0 mm 60 17,5 mm Kisi 10,0 data panjang cagak maksimum yang tertangkap 15,5 cmKisi-kisi Kisi-kisi 24,5 mm 50 Selektivitas kisi 10,0 mm 1,2 kisi 17,5 data dengan demikian ikan yang lebih besar dari 15,5 cm 40 Selektivitas kisi 17,5 mm Kisi data akan tertangkap30 di25,4 kantong arad.
12-13,5
0,2
Bila dibandingkan antara kisi terlihat pergerakkan kurva ke0 arah kanan dengan semakin bertambahnya 5 FL (fork 10length ) semakin 15 bahwa dengan lebar kisi. Hal ini0 menunjukkan kisi maka ikan yang masuk ke dalam codend ratarata panjang cagak akan semakin besar. Hasil analisis selektivitas menunjukkan bahwa panjang cagak ikan kurisi pada tingkat seleksi 50% (FL50%) untuk kisi 10,0; 17,5; kisi 25,4 mm masingmasing 7,33; 7,03; dan 8,42. Berdasarkan atas nilai tersebut, kisi 25,4 mm dapat meloloskan ikan kurisi dengan panjang cagak yang lebih besar dibandingkan dengan kisi 10,0 dan kisi 17,5 mm pada tingkat selektivitas 50%.
20
14-14,5
kelolosan Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus) ..... Devices pada Jaring Arad (Hufiadi & Mahiswara)
Nilai kemiringan kurva selektivitas untuk kisi 10,0; 17,5; dan 25,4 mm berurutan masing-masing 2,75; 5,05; dan 3,61. Berdasarkan atas nilai tersebut menunjukkan bahwa kisi 17,5 mm memiliki kemiringan kurva selektivitas yang lebih besar atau lebih landai dibandingkan kisi 10,0 dan 25,4 mm. Kisi 25,4 mempunyai kemiringan lebih landai dibandingkan kisikisi 10,0 mm. Kemiringan kurva sangat menentukan kisaran ukuran ikan yang terseleksi pada tingkat selektivitas 50% yaitu semakin besar nilai kemiringan kurva, maka kisaran ukuran ikan yang terseleksi semakin lebar (Purbayanto et al., 2006). Pada Gambar 5 selektivitas kurisi berdasarkan atas lingkar tubuh pada kisi 10,0 mm nilai á (-1,0676) dan â (5,2064) dengan nilai L50% (4,87). Dengan demikian ikan yang memiliki peluang 50% untuk masuk ke codend dan cover net adalah ikan-ikan yang memiliki lingkar tubuh 4,87 cm. Pada kisi 17,5 mm nilai á (0,5482) dan â (2,7086) dengan nilai L50% (4,94). Berdasarkan atas nilai tersebut, ikan kurisi yang mempunyai lingkar tubuh 4,94 cm memiliki peluang 50% untuk masuk ke dalam kantong arad atau cover net. Sedangkan pada kisi 25,4 mm nilai á (-0,7299) dan â (4,0338) dengan nilai L 50% (5,52). Hal ini menujukkan bahwa ikan kurisi yang mempunyai lingkar tubuh 5,52 akan memiliki peluang masuk dalam kantong arad atau cover net 50%. 1,2 Kisi 10,0 data Selektivitas kisi 10,0 mm Kisi 17,5 data Selektivitas kisi 17,5 mm Kisi 25,4 data Selektivitas kisi 25,4 mm
Selectivity
1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
5 10 lingkar tubuh ( body girth)
Gambar 5.
Figure 5.
15
Kurva selektivitas arad yang dilengkapi juvenile and trash exluder devices terhadap ikan kurisi. Mini trawl net selectivitiy curve with juvenile and trash exluder devices for threadfin breams based on body girth.
Hasil analisis selektivitas menunjukkan bahwa lingkar tubuh ikan kurisi pada tingkat seleksi 50% (BG-50%) untuk kisi 10,0; 17,5; dan kisi 25,4 mm masing-masing 4,87; 4,94; dan 5,52 cm. Berdasarkan atas nilai tersebut, kisi 25,4 mm dapat meloloskan ikan-ikan kurisi dengan lingkar tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan kisi 10,0 dan 17,5 mm pada
tingkat selektivitas 50%. Sementara untuk kisi-kisi 17,5 mm dapat meloloskan ikan kurisi dengan ukuran body girth sedikit lebih besar dibandingkan kisi 10,0 mm. Nilai kemiringan kurva selektivitas untuk kisi 10,0; 17,5; dan 25,4 mm berurutan 2,09; 4,00; dan 3,01. Berdasarkan atas nilai tersebut, kisi 17,5 mm memiliki kemiringan kurva selektivitas yang lebih besar atau lebih landai dibandingkan kisi 10,0 dan 25,4 mm. Hal ini menunjukkan bahwa kisi 17,4 memperoleh kisaran ukuran ikan yang terseleksi lebih lebar dibandingkan dengan kisi 10,0 dan 25,4 mm pada tingkat selektivitas 50%. Kurva selektivitas ikan kurisi mengalami pergeseran ke arah kanan dengan semakin bertambahnya jarak kisi, sehingga menujukkan bahwa jarak kisi pada juvenile and trash exluder devices akan meningkatkan rata-rata lingkar tubuh ikan yang masuk ke dalam kantong arad. KESIMPULAN 1. Melalui pemasangan kisi juvenile and trash exluder devices pada jaring arad, peluang lolosnya ikan kecil (juvenile) kurisi dapat ditingkatkan. 2. Tingkat kelolosan ikan kurisi relatif tinggi untuk setiap kisi mencapai rata-rata di atas 50% dengan ukuran tertinggi terjadi pada kisi 10,0 mm yaitu 65,81% dan kisi lainnya masing-masing 51,33 mm dan 52,54% untuk kisi 17,5 dan 25,4 mm. 3. Kisi 25,4 mm mempunyai selektivitas ikan kurisi yang paling baik berdasarkan atas ukuran panjang cagak kurisi dan kisi 17,5 mm mempunyai selektivitas paling baik berdasarkan atas ukuran lingkar tubuh ikan kurisi. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari hasil kegiatan riset selektivitas unit penangkapan pukat dasar (bottom seine net) di utara Jawa, T. A. 2005 dan 2006, di Balai Riset Perikanan Laut, Muara BaruJakarta. DAFTAR PUSTAKA Andrew, N. L. & J. G. Pepperell. 1992. The bycatch of shrimp trawl fisheries oceanogr. Mar. Biol. Ann. Rev. 30: 527-565.
131
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 125-132
Alverson, D. L., M. H. Freeberg, S. A. Murawski, & J. G. Pope. 1994. A global assessment of fisheries bycatch and discards. Food and Agriculture Organization Fish. Tech. Pap. 339: 233 pp.
Hufiadi, Mahiswara, & E. Nurdin. 2008. Selektivitas kisi juvenile and trash excluder devices pada alat tangkap trawl mini di perairan utara Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14 (4): 353-361.
Arimoto, T. 1999. Fish behaviour for improving fish capture technology. Tokyo University of Fisheries. Japan. 55 pp.
Losse, G. F. & A. Dwiponggo. 1977. Report on the Java Sea southest monsoon trawl survey June until December 1976. Special Report. Contrib. of Dem. Fesh Pro. No.3. LPPL GTZ. 119 pp.
Beck, U. & A. Sudradjat. 1979. Variation in size and composition of demersal trawl catches from the north coast of Java with estimated growth parameters Pro three importand food fish species. Special Report Contrib of Dem. Fish. Pro. No 71979 LPPL. GTL. 80 p.
Pascoe, S. 1997. Bycatch management and the economic of discarding. Food and Agriculture Organization Fisheries Technical Paper. Food and Agriculture Organization. Rome. 370: 1-27; 87-96.
De Bruin, G. H. P., B. C. Russell, & A. Bogusch. 1994. The Marine Fishery Resources of Sri Langka. Food and Agriculture Organization. Rome. 400 pp.
Purbayanto, A., R. I. Wahyu, & S. Tirta. 2006. Selektivitas bubu yang dilengkapi dengan celah pelolosan terhadap ikan kakap (Lutjanus sp. Bleeker). Gakuryoku. XII (1): 92-98.
Fischer, W. & P. J. P. Whitehead. 1974. Food and Agriculture Organization spesies identification sheets for fishery purposes. Eastern Indian Ocean (Fishing area 57) and Western Central Pacific (Fishing Area 71). Rome. Food and Agriculture Organization. 4 Vols:pag.var.
Pujiyati, S., Wijopriono, Mahiswara, B. P. Pasribu, I. Jaya, & D. Manurung. 2007. Estimasi Hambur Balik Dasar Perairan dan Sumber Daya Ikan Demersal Menggunakan Metode Hidroakustik. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.13 (2): 145155.
Ferno, A. & S. Olsen. 1994. Marine Fish Behaviour in Capture Abundance Estimation. Fishing News Book. London. 69-81.
Tokai, T. 1996. Trawl with separator Panel for by-catch reduction and evaluation methodology of the selective performance. Symposium on Marine Fisheries Beyond the Year 2000. Sustainable Utilization of Fisheries Resources. National Taiwan Ocean University. 7 pp.
Food and Agriculture Organization. 1995. Code of conduct for responsible fisheries. Food and Agriculture Organization Technical Paper. Rome. Hufiadi & E. Nurdin. 2006. Laju tangkap dan kepadatan stok ikan demersal di perairan sekitar Pulau Berhala, Selat Malaka. In Sondita, M. F. A., M. P. Sobari, D. Simbolon, G. Puspito, & A. B. Pane (eds). Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 128-133.
132
Tokai, T. 1997. Maximum likelihood parameter estimates of a mesh selectivity logistic model through SOLVER on MS-Excel. Bull. Jpn. Soc. Fish. Oceanogr. 61: 288-298.
Pengaruh Perbedaan Umpan dan Waktu .………….. Tangkapan Tuna di Samudera Hindia. (Bram. A,. et,. al)
PENGARUH PERBEDAAN UMPAN DAN WAKTU SETTING RAWAI TUNA TERHADAP HASIL TANGKAPAN TUNA DI SAMUDERA HINDIA Abram Barata, Andi Bahtiar dan Hety Hartaty Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali Teregistrasi I tanggal: 4 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 25 Mei 2011; Disetujui terbit tanggal: 31 Mei 2011
ABSTRAK Rawai tuna merupakan alat tangkap yang efektif untuk menangkap tuna dan ikan pelagis besar lainnya di perairan laut dalam. Pengoperasian rawai tuna bersifat pasif, sehingga tertangkapnya tuna ditentukan oleh tertariknya ikan untuk memakan umpan. Jenis umpan yang sering digunakan adalah lemuru, layang, bandeng dan cumi. Perbedaan waktu setting pada rawai tuna mempengaruhi jenis umpan yang akan digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis umpan yang digunakan pada rawai tuna terhadap hasil tangkapan tuna, pada saat setting pagi dan sore hari. Metode penelitian dengan ujicoba penangkapan selama 2 trip menggunakan KM Putra Jaya 05 di Samudera Hindia. Trip 1 pada tanggal 18 Maret sampai 29 April 2007, sedangkan trip 2 pada tanggal 15 Juli sampai 23 September 2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jenis umpan layang, lemuru dan cumi pada setting sore hari berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan tuna, sedangkan penggunaan jenis umpan bandeng, lemuru dan cumi pada setting pagi hari tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan tuna. Cumi adalah jenis umpan terbaik yang digunakan untuk setting sore hari pada rawai tuna di Samudera Hindia. KATA KUNCI :
rawai tuna, umpan, waktu setting, Samudera Hindia
ABSTRACT :
The Influence of different bait and setting time of tuna longline on the tuna catch in Indian Ocean. By : Abram Barata, Andi Bahtiar and Hety Hartaty.
Tuna longline is an effective fishing gear to catch tuna and other large pelagic fish in the ocean. As a passive gear, the capture of tuna depend on the attraction of fish to bait. The type of baits commonly used are sardine, milkfish, scad and squid. The different in setting time on tuna longline also influences the type of bait to be used. This research aims to determine the influence of bait used in the tuna longline on tuna catch, during setting in the morning and afternoon. Research methods to test the capture for 2 trips using the KM Putra Jaya 05 in Indian Ocean. First trip was on 18 March to 29 April 2007,and second trip was on 15 July to 23 September 2008. The results showed that the use of bait type, i.e., scad, sardine and squid on the afternoon setting significantly affected on tuna catch , while the use bait, of milkfish, sardine and squid in the morning setting did not significantly affect the tuna catch. Squid is the best type of bait used for the afternoon setting on tuna longline in the Indian Ocean. KEYWORDS :
tuna longline, bait, time of setting, Indian Ocean
PENDAHULUAN Tuna merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan yang utama di Indonesia. Pemanfaatan sumberdaya tuna di perairan Samudera Hindia dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat. Hal ini terindikasi dengan semakin bertambahnya armada rawai tuna yang beroperasi di wilayah perairan tersebut. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2010) mencatat bahwa ada sekitar 999 unit kapal rawai tuna yang beroperasi di Samudera Hindia. Jumlah tersebut meningkat bila dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2009 yang hanya berjumlah 918 unit. Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Benoa (2010) mencatat jumlah armada rawai tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa ___________________ Korespondensi penulis: Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali Jln. Pelabuhan Benoa-Bali
sebanyak 757 unit. Seiring dengan meningkatnya permintaan pasar, maka semakin tinggi pula eksploitasi terhadap tuna, khususnya di perairan Samudera Hindia Rawai tuna bersifat pasif namun efektif dalam menangkap tuna karena konstruksinya mampu menjangkau kedalaman renang tuna. Tertangkapnya ikan pada rawai tuna sangat ditentukan oleh tertariknya ikan untuk memakan umpan. Faktor umpan merupakan hal yang penting dalam usaha mengembangkan industri perikanan rawai tuna. Beberapa jenis umpan yang sering dipakai adalah bandeng (Chanos chanos), lemuru (Sardinella longiceps), layang (Decapterus spp) dan cumi (Loligo sp). Panjang umpan berkisar 15 – 25 cm dengan berat
133
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 133-138
65 – 150 gram. Umpan ini harus berasal dari ikan yang benar-benar segar dan mendapat perlakuan dengan baik agar tahan dalam waktu lama. Penggunaan umpan oleh armada rawai tuna yang berbasis di Pelabuhan Benoa, umumnya dalam bentuk umpan beku maupun umpan hidup. Rata-rata kapal rawai tuna di Benoa menggunakan 2-3 jenis umpan, namun ada beberapa armada yang hanya menggunakan 1 jenis umpan dengan alasan penghematan biaya operasional kapal. Adanya perbedaan waktu setting pada rawai tuna akan mempengaruhi jenis umpan yang akan digunakan. Untuk menunjang usaha penangkapan tuna dengan rawai tuna, maka sangat diperlukan penelitian tentang jenis umpan yang cocok agar mendapatkan hasil tangkapan yang optimal. Penelitian perbedaan jenis umpan terhadap hasil tangkapan rawai tuna di sekitar perairan Kepulauan Enggano menunjukkan tidak berpengaruh nyata (Santoso, 1995). Informasi terkini hasil penelitian tentang penggunaan jenis umpan pada rawai tuna dengan waktu setting yang berbeda di Samudera Hindia belum tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis umpan yang digunakan pada rawai tuna terhadap hasil tangkapan tuna, pada waktu setting pagi dan sore hari di Samudera Hindia. METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat jenis umpan, yaitu : bandeng (Chanos chanos) hidup dengan panjang badan 12-15 cm, lemuru (Sardinella longiceps) beku dengan panjang badan 14-16 cm, layang (Decapterus spp) beku dengan panjang badan 18-20 cm dan cumi-cumi (Loligo sp) beku dengan panjang badan 22-25 cm. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah rawai tuna, GPS (Global Positioning System), meteran dan handy tally counter. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode uji coba penangkapan dengan perlakuan umpan dan waktu setting pada kegiatan operasi penangkapan KM Putra Jaya 05 selama 2 trip di Samudera Hindia. Trip 1 berlangsung pada tanggal 18 Maret sampai 29 April 2007, sedangkan trip 2 pada tanggal 15 Juli sampai 23 September 2008. Kegiatan setting rawai tuna berlangsung pada pagi dan sore hari, mengikuti kondisi bulan terang dan gelap. Pengumpulan data hasil tangkapan tuna per jenis umpan untuk setting sore diambil dari data trip 1 sebanyak 10 kali setting,
134
sedangkan data hasil tangkapan tuna per jenis umpan untuk setting pagi diambil dari trip 2 sebanyak 21 kali setting. Pada trip 1, jumlah pancing antar pelampung sebanyak 4 buah, penggunaan jenis umpan pada masing-masing posisi nomor pancing dilakukan secara acak dengan perbandingan 2 cumi, 1 layang dan 1 lemuru. Trip 2 menggunakan sebanyak 5 dan 7 buah pancing namun dioperasikan secara bersamaan dalam satu rangkaian rawai tuna. Penggunaan umpan pada trip 2 dengan komposisi 2 bandeng, 2 layang dan 1 lemuru, namun terkadang menggunakan komposisi 2 bandeng, 2 layang dan 3 lemuru. Analisis Data Data yang dihasilkan disajikan dalam bentuk tabel, kemudian dianalisis dengan perhitungan analisis ragam (Riduwan, 2009). Analisis ragam adalah suatu metode untuk menguji hipotesis kesamaan rata-rata dari tiga atau lebih populasi, dengan asumsi bahwa setiap sampel diambil secara random dan saling bebas, populasi berdistribusi normal dan mempunyai kesamaan variansi (Murwaningtyas, 2009). HASIL PENELITIAN Deskripsi Pengoperasian Rawai Tuna Rawai tuna yang dioperasikan termasuk jenis rawai tuna permukaan (drift longline). Pada penelitian ini pengoperasian rawai tuna dilakukan dengan sistem non arranger (manual). Sistem non arranger meliputi sistem blong dan basket ataupun perpaduan keduanya. Perbedaaan dengan sistem arranger terletak pada bahan tali, mesin hauler, penyusunan main line dan pemasangan branch line (Barata dan Iskandar, 2009). Bahan tali terbuat dari monofilamen yang berdiameter 2,8 mm untuk main line dan 1,8 mm untuk branch line. Panjang tali pelampung 18 m, panjang branch line 23 m dan jarak antar branch line adalah 56 m. Jumlah total pelampung sebanyak 200 sampai 270 buah. Jumlah pancing yang dioperasikan antara 800 sampai 1400 buah. Gambar 1 menunjukkan konstruksi rawai tuna dalam 1 basket dengan jumlah 7 pancing antar pelampung. Sebelum memulai setting anak buah kapal menyiapkan umpan, baik umpan hidup maupun beku. Penebaran main line dilakukan secara manual oleh anak buah kapal. Branch line dipasang pada tali penghubung (join line) yang dipasang pada tali utama. Pemasangan branch line pada join line menggunakan snape. Total waktu setting antara 6-7 jam dan pada akhir setting alat tangkap dihanyutkan ke perairan dalam kurun waktu 3-4 jam. Saat hauling, seluruh anak buah kapal dilibatkan. Ada yang bertugas
Pengaruh Perbedaan Umpan dan .………….. Tangkapan Tuna di Samudera Hindia. (Bram. A,. et,. al)
memegang kendali main line hauler, bertugas menyusun main line pada blong, menyusun branch line pada basket dan yang lainnya bersiap-siap jika terdapat ikan yang tertangkap ataupun terjadi kusut pada branch line. Total waktu hauling antara 10-12 jam. Gambar 2 menunjukkan posisi penangkapan di Samudera Hindia antara 1130 sampai 1170 BT dan 90 sampai 130 LS. Posisi ini berada di selatan Jawa Timur sampai Nusa Tenggara dan berada di dalam maupun di luar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Wudianto et al. (2003), menunjukkan bahwa daerah penangkapan kapal rawai tuna yang berasal dari Cilacap dan Benoa yaitu di perairan selatan Jawa Tengah antara 108-1180 BT dan 8-220 LS dimana sebagian besar (>70%) melakukan penangkapan di luar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Gambar 2. Figure 2.
Gambar 1. Figure 1.
Konstruksi rawai tuna dalam 1 basket Construction of tuna longline in one basket
Daerah penangkapan KM Putra Jaya 05 di Samudera Hindia Fishing ground of KM Putra Jaya 05 in the Indian Ocean
Komposisi Hasil Tangkapan Tuna Hasil tangkapan tuna dengan rawai tuna pada trip 1 (setting sore hari) seluruhnya 64 ekor. Hasil tangkapan didominasi oleh bigeye tuna (Thunnus obesus) sebanyak 48 ekor (75 %), diikuti yellowfin tuna (Thunnus albacares) sebanyak 15 ekor (23,44 %) dan albacore (Thunnus alallunga) sebanyak 1 ekor (1,56 %). Berdasarkan jenis umpan yang digunakan, hasil tangkapan tuna paling banyak diperoleh dengan menggunakan umpan cumi, yaitu 42 ekor (65,63 %), diikuti jenis umpan layang dan lemuru. Tabel 1 menunjukkan hasil tangkapan terbanyak pada setting
ke 6 sebanyak 15 ekor tuna dan yang paling sedikit pada setting ke 5. Pada trip 2 (setting pagi hari), hasil tangkapan tuna seluruhnya sebanyak 255 ekor. Hasil tangkapan didominasi oleh albacore sebanyak 131 ekor (51,37 %), diikuti yellowfin tuna sebanyak 75 ekor (29,41 %) dan bigeye tuna sebanyak 49 ekor (19,21 %). Hasil tangkapan tuna paling banyak diperoleh dengan menggunakan jenis umpan bandeng, yaitu 116 ekor (45,49 %), diikuti lemuru dan cumi. Tabel 2 menunjukkan hasil tangkapan terbanyak pada setting ke 9 sebanyak 37 ekor dan yang paling sedikit pada setting ke 2 dan 13.
135
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 133-138
Tabel 1. Table 1.
Setting
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total Rata-rata
Tabel 2. Table 2.
Setting
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Total Rata-rata
Hasil tangkapan tuna per jenis umpan pada trip 1 Tuna catch per type of bait on trip 1 Hasil tangkapan tuna per jenis umpan / Tuna catch per type of bait Cumi / Layang / Lemuru / Squid Scad Sardine 5 2 0 2 1 0 2 3 0 5 2 3 12 0 3 10 4 0 3 0 0 1 0 0 0 0 0 2 2 2 42 14 8 4,2 1,4 0,8
Total
7 3 5 10 15 14 3 1 0 6 64 6,4
Hasil tangkapan tuna per jenis umpan pada trip 2 Tuna catch per type of bait on trip 2 Hasil tangkapan tuna per jenis umpan / Tuna catch per type of bait Bandeng / Lemuru / Cumi / Milkfish Sardine Squid 4 1 1 0 0 0 11 8 6 1 3 0 7 11 2 2 0 0 0 1 1 0 2 2 13 11 13 16 12 6 1 6 3 2 3 3 0 0 0 5 3 2 1 0 1 3 4 0 10 9 10 21 5 0 7 0 1 7 3 1 5 4 1 116 86 53 5,52 4,09 2,52
Total
6 0 25 4 20 2 2 4 37 34 10 8 0 10 2 7 29 26 8 11 10 255 12,14
Pengaruh Jenis Umpan Berdasarkan analisis ragam terhadap hasil tangkapan tuna dengan 3 jenis umpan berbeda pada waktu setting sore hari (trip 1), diperoleh nilai F hitung lebih besar dari F tabel 5 %. Tabel 3 menunjukkan nilai F hitung yaitu 5,122 dan nilai F tabel 3,35. Hasil ini menunjukkan pengaruh jenis umpan pada rawai tuna terhadap hasil tangkapan tuna pada waktu setting sore hari berbeda nyata. Hal ini berarti penggunaan 3
136
jenis umpan berbeda berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan tuna pada waktu setting sore hari. Analisis uji beda nyata terkecil untuk menentukan jenis umpan terbaik, diperoleh bahwa umpan cumi adalah jenis umpan terbaik yang digunakan pada waktu setting sore hari. Untuk analisis ragam terhadap hasil tangkapan tuna dengan 3 jenis umpan berbeda pada waktu setting pagi hari (trip 2), diperoleh nilai F hitung lebih kecil daripada nilai F tabel 5 %. Tabel 4 menunjukkan nilai F hitung yaitu 2,294 dan nilai F tabel 3,15. Hasil ini menunjukkan pengaruh jenis umpan pada rawai tuna terhadap hasil tangkapan tuna pada waktu setting pagi hari tidak berbeda nyata. Hal ini berarti penggunaan 3 jenis umpan berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan tuna pada waktu setting pagi hari. Tabel 3. Table 3.
Sumber Variansi / Source of Variance Perlakuan Galat Total
Tabel 4. Table 4.
Sumber Variansi / Source of Variance Perlakuan Galat Total
Hasil analisis ragam pengaruh jenis umpan pada trip 1 Results analysis of variance of the influence of type of bait on trip 1
Db
JK
KT
Fhitung
2 27 29
65.866 173.6 239.466
32.933 6.429 -
5.122 -
Ftabel 5% 3.35
Hasil analisis ragam pengaruh jenis umpan pada trip 2 Results analysis of ragam of the influence of type of bait on trip 2
Db
JK
KT
Fhitung
Ftabel 5%
2 60 62
94.571 1236.285 1330.857
47.285 20.604 -
2.294 -
3.15 -
PEMBAHASAN Pengaruh Perbedaan Umpan Berdasarkan analisis statistik terhadap data hasil tangkapan tuna per jenis umpan pada trip 1 (setting sore), menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji 95 % (Tabel 3). Jenis umpan cumi memberikan hasil tangkapan tuna terbanyak, yaitu 65,63 % (42 ekor). Ada 2 jenis cumi yang biasa digunakan oleh kapal rawai tuna, yaitu cumi putih dan cumi hitam. Pada penelitian ini menggunakan cumi putih. Cumi putih harganya lebih murah dari pada cumi hitam, warnanya
Pengaruh Perbedaan Umpan dan .………….. Tangkapan Tuna di Samudera Hindia. (Bram. A,. et,. al)
menarik sehingga mudah dilihat pada jarak yang jauh, tidak cepat membusuk, tidak mudah lepas dari pancing bila tidak disambar ikan, mempunyai bau yang cukup tajam dan merangsang serta disukai oleh ikan yang dipancing. Cumi adalah salah satu binatang penghuni Samudera Hindia yang tersebar luas bila dibandingkan dengan layang dan lemuru. Penyebaran cumi hampir di seluruh perairan laut di dunia, mulai dari pantai sampai laut lepas dan mulai menghuni di permukaan perairan sampai kedalaman beberapa ribu meter (Rodhouse, 2005). Cumi adalah salah satu jenis makanan yang di sukai oleh tuna. Menard et al. (2000) mengungkapkan bahwa, ikan madidihang (yellowfin tuna) yang ditangkap di laut lepas, salah satu jenis makanannya adalah dari kelompok Cephalopoda dan spesies Loligo sp (cumi) termasuk di dalamnya. Menurut Gardief dalam Mardlijah (2008), salah satu jenis makanan yang terdapat dalam lambung ikan madidihang adalah jenis cumi-cumi (Loligo sp). Berdasarkan wawancara dengan nahkoda, pada bulan purnama tuna lebih suka memburu cumi sebagai makanannya. Berdasarkan analisis statistika, penggunaan 3 jenis umpan berbeda pada waktu setting pagi tidak menunjukkan perbedaan jumlah hasil tangkapan yang nyata (Tabel 4). Hal tersebut dikarenakan ikan tuna tidak selektif dalam mencari makanannya. Djatikusumo (1975), menyatakan bahwa tuna dari jarak jauh bisa melihat mangsanya, tetapi pada jarak yang relatif dekat kurang bisa membedakan mangsanya. Semua jenis umpan yang digunakan telah memenuhi persyaratan sebagai umpan rawai tuna, sehingga umpan-umpan tersebut mempunyai peluang yang sama untuk dimakan tuna. Namun berdasarkan data hasil tangkapan per jenis umpan, menunjukkan adanya perbedaan. Jenis umpan bandeng memberikan hasil tangkapan tuna terbanyak sebesar 45,49 % (116 ekor). Bandeng merupakan jenis umpan yang telah memenuhi persyaratan untuk keberhasilan suatu usaha penangkapan dengan rawai tuna. Umpan yang dipakai harus memenuhi beberapa syarat, antara lain mempunyai warna sisik mengkilap di dalam air, tidak cepat busuk, memiliki rangka tulang yang kuat, bentuk badan memanjang dan dalam keadaan segar. Sudirman dan Mallawa (2004), menyebutkan bahwa umpan bandeng memiliki keunggulan dibandingkan jenis umpan lainnya, yaitu dalam keadaan hidup, sehingga dapat bergerak melayang di dalam air yang dapat menarik perhatian tuna untuk memakannya. Selain itu pula, sisik bandeng lebih mengkilap dan tahan di dalam air. Berdasarkan pengamatan di lapang, saat kegiatan hauling umpan bandeng masih ada yang ditemukan dalam keadaan hidup. Menurut Fitzgerald (2004), bandeng hidup merupakan jenis umpan yang efektif digunakan pada rawai tuna dan
mampu meningkatkan hasil tangkapan tuna sebesar 64 % bila dibandingkan dengan jenis umpan lainnya. Perbedaan Waktu Setting Nahkoda kapal dalam menentukan waktu setting didasarkan pada fase bulan gelap dan terang. Pada kondisi bulan gelap, setting dimulai pagi hingga siang hari. Secara umum tuna lebih aktif mencari makan pada siang hari. Menurut Gunarso (1998), albakora mencari makan pada siang hari, walaupun pada malam hari cukup aktif memburu mangsa, sedangkan puncak aktif mencari makannya antara pagi dan sore hari. Begitu juga madidihang aktif memburu mangsa pada siang hari. Komposisi hasil tangkapan tuna pada trip 2 didominasi oleh albakora dan madidihang. Kedua spesies tuna ini memiliki lapisan renang (swimming layer) di permukaan perairan, sedangkan spesies tuna mata besar memiliki lapisan renang paling dalam sehingga pada siang hari aktif mencari makan pada lapisan dalam. Tipe rawai tuna permukaan memungkinkan penangkapan tuna jenis albakora dan madidihang lebih berhasil. Pada kondisi terang bulan, kegiatan setting dimulai pada sore sampai malam hari. Saat purnama, ikanikan kecil dan cumi-cumi naik ke lapisan perairan yang lebih atas dan menyebar ke sekitar perairan. Tuna termasuk jenis ikan pelagis besar yang memiliki sifat fototaxis positif, artinya ikan tersebut menyukai sumber cahaya dengan tujuan mencari makan. Komposisi hasil tangkapan tuna pada trip 1 didominasi tuna mata besar. Spesies ini memiliki swimming layer paling dalam bila dibandingkan dengan tuna lainnya, tetapi pada malam hari tuna mata besar gemar memburu mangsa dengan cara naik ke lapisan perairan yang lebih atas. Pengoperasian tipe rawai tuna permukaan pada kondisi terang bulan memungkinkan tuna mata besar tertangkap lebih dominan (Soepriyono, 2009). Nahkoda kapal dalam mengoperasikan rawai tuna pada setting sore hari tidak menggunakan umpan bandeng. Hal ini sia-sia karena umpan bandeng akan lebih dulu disambar cumi sebelum dimakan tuna. KESIMPULAN 1. Penggunaan jenis umpan yang berbeda pada setting sore hari berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan tuna pada rawai tuna di Samudera Hindia dan cumi adalah jenis umpan terbaik. 2. Penggunaan jenis umpan yang berbeda pada setting pagi hari tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan tuna pada rawai tuna di Samudera Hindia.
137
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 133-138
PERSANTUNAN Kegiatan dari hasil riset program observer tuna Samudera Hindia pada kapal-kapal tuna longline di Pelabuhan Benoa, T.A. 2005-2009, kerjasama antara Pusat Riset Perikanan Tangkap dengan Australian Centre for International Agricultural Research.
Menard, F., B. Stequert, A. Rubin, M. Herrera, & E. Marchal. 2000. Food consumption of tuna in the Equatorial Atlantic Ocean. FAD Associated Versus Unassociated Schools. Aquatic Living Resources. (13). 233-240. Murwaningtyas, E. 2009. Analisis Variansi. files.wordpress.com/05/.
DAFTAR PUSTAKA Barata, A. & B. Iskandar. 2009. Beberapa Jenis Ikan Bawal (Angel fish, Bramidae) Yang Tertangkap Dengan Rawai Tuna (Tuna Longline) Di Samudera Hindia Dan Aspek Penangkapannya. Bawal. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 223-227. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2010. Statistik Perikanan Tangkap. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Djatikusumo, E. W. 1975. Biologi Ikan Ekonomis Penting. Akademi Usaha Perikanan. Jakarta. Fitzgerald, W. J. 2004. Milkfish Aquaculture In The Pacific: Potential For The Tuna Longline Fishery Bait Market. Secretariat for The Pacific Community Aquaculture Section Noumea. New Caledonia. ISSN 1683-7568. Gunarso, W. 1998. Tingkah Laku Ikan dan Perikanan Pancing. Diktat Kuliah. Laboratorium Tingkah Laku Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 119pp. Mardlijah, S. 2008. Analisis Isi Lambung Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Dan Ikan Madidihang (Thunnus albacares) Yang Didaratkan Di Bitung, Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 227-235.
138
Riduwan. 2009. Pengantar Statistika Sosial. Penerbit Alfabeta. Bandung. Rodhouse, P. G. (2005). World Squid Resources. Review Of The State Of World Marine Fishery Resources: Fisheries Technical Paper. FAO. (447). ISBN 95-5-105267-0. Santoso, H. 1995. Pengaruh Perbedaan Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkap Rawai Tuna Di Sekitar Kepulauan Enggano. Skripsi. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 52 pp. Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Benoa. 2010. Laporan Tahunan Tahun 2010. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Benoa. Soepriyono. 2009. Teknik Dan Manajemen Penangkapan Tuna Melalui Metode Longline. Penerbit Bilas Utama. Denpasar. Sudirman H. dan Mallawa A. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Wudianto, K.Wagiyo dan B. Wibowo. 2003. Sebaran Daerah Penangkapan Ikan Tuna di Samudera Hindia. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 9. (7).
Komposisi Hasil Tangkapan, Musim ..... Perairan Kendari, Laut Banda (Hariati, T.)
KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN, MUSIM PENANGKAPAN, DAN INDEKS KELIMPAHAN IKAN PELAGIS YANG TERTANGKAP PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN KENDARI, LAUT BANDA Tuti Hariati Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 16 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 20 Mei 2011; Disetujui terbit tanggal: 31 Mei 2011
ABSTRAK Perairan Kendari dan sekitarnya, bagian dari Laut Banda, memiliki berbagai jenis sumber daya ikan pelagis yang telah dieksploitasi dengan bermacam-macam alat tangkap. Pengelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan agar pemanfaatannya optimum dan berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang komposisi hasil tangkapan, musim penangkapan, dan indeks kelimpahan (catch per unit of effort) ikan pelagis yang tertangkap pukat cincin mini (pajeko). Data harian hasil tangkapan pukat cincin dan jumlah hari operasi selama tahun 2006-2008 dikumpulkan dari Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari pada bulan Mei 2007, Maret dan Juni 2009, dan Maret 2010. Data ditabulasi dan disusun grafis menurut bulan. Hasil penelitian menunjukkan, selama periode tahun 2006-2008 hasil tangkapan didominansi ikan layang (Decapterus macrosoma dan Decapterus macarellus) 30-36% dan ikan tongkol (Auxis spp. dan Euthynnus spp.) 60%). Peningkatan jumlah hari operasi (upaya) tahun 2006 2007 menyebabkan hasil tangkapan ikan layang dan tongkol cenderung naik, sedangkan indeks kelimpahan (catch per unit of effort) cenderung tetap. Penurunan upaya pada tahun 2008 menyebabkan hasil tangkapan ikan layang cenderung turun dan hasil tangkapan ikan tongkol cenderung tetap, hasil tangkapan per upaya layang turun namun hasil tangkapan per upaya ikan tongkol naik. Hal ini diduga stok ikan layang di perairan Kendari relatif kecil. Puncak musim penangkapan pajeko di perairan Kendari berlangsung pada bulan Maret sampai Mei (musim peralihan 1) dan pada bulan September sampai Nopember (musim peralihan 2). KATA KUNCI:
hasil tangkapan, indeks kelimpahan, ikan pelagis, pukat cincin mini, Laut Banda
ABSTRACT:
Catch composition, the fishing season and index of abundant of pelagic fish resources caught by small purse seine in Kendari Waters, Banda Sea. By: Tuti Hariati
Kendari waters and its surroundings, a part of Banda Sea, have high diversity of pelagic fish resources exploited by many types of fishing gear. In order to sustain the resources, a research on a management plan should be applied. Research aimed to obtain the information on the catch composition, fishing season, and index of abundant (catch per unit of effort) small purseine pelagic fish resources was carried out. Daily catch data of the small purse seine landed from years 2006-2008 was gathered from the Kendari Fishing Port, then tabulated graphically. The result shows that the catch of Kendari small purse seine was dominated by scads (Decapterus macrosoma and Decapterus macarellus) 30-36% and little tunas (Auxis spp. and Euthynnus spp.) 60%. The rising of days at sea from 2006 to 2007 catch tended to rise, while the catch per unit of effort remainded constant. The decreased of days at sea in 2008 the catch of scads tended to decrease and the catch of litlle tunas was constant. The catch per unit of effort of scads was also decreasing and of little tuna was increasing. Probably the scad’s stock in this area is relatively small. The peak of fishing season of the small purse seine happened during March to May (intermoonson 1), and from September to November (intermoonson 2). KEYWORDS:
catch, index of abundance, fishing season, pelagic fish resource, little tuna, scads, small purse seine, Banda Sea
PENDAHULUAN Perairan pantai Kendari (dan sekitarnya) di wilayah Sulawesi Tenggara merupakan bagian dari Laut Banda sebelah barat, di kawasan timur Indonesia. Sumber daya ikan yang terdapat di perairan Kendari terdiri
atas sumber daya ikan karang (Hartati & Pralampita, 1993), pelagis, demersal, dan biota laut lainnya (Linting et al., 1994). Sumber daya ikan pelagis terdiri atas kelompok-kelompok ikan pelagis besar kelompok ikan pelagis kecil.
___________________ Korespondensi penulis: Jl.Muara Baru Ujung, Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudera-Jakarta 14440, Telp.(021) 6602044
139
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 139-146
Menurut Dalzell & Pauly (1989) sumber daya ikan pelagis kecil di kawasan timur Indonesia diperkirakan rendah, karena luas paparan yang tersedia kurang memadai, kecuali di Laut Arafura. Namun fakta menunjukkan bahwa Laut Banda memiliki banyak kepulauan dengan perairan relatif dangkal terletak di dalamnya. Di perairan-perairan dangkal tersebut banyak ditangkap jenis-jenis ikan pelagis kecil antara lain ikan layang atau momar (Decapterus spp.) di perairan Kepulauan Lease (Yusuf & Hamzah, 1995); ikan julung-julung (Hemirhampus far), selar (Selar
Gambar 1. Figure 1.
spp.), dan ikan layang di perairan Halmahera serta di perairan sekitar Fakfak dan Manokwari (Hurasan & Banjar, 1993). Di perairan Kendari juga tersebar pulau-pulau kecil yang di sekitarnya merupakan daerah penangkapan pukat cincin mini (nama lokal: pajeko) yaitu Pulau Wowoni, Pulau Saponda, dan Pulau Menui sampai Pulau Umbele dekat perbatasan wilayah perairan pantai timur Sulawesi Tenggara dengan wilayah Sulawesi Tengah (Gambar 1).
Perairan Laut Banda. Kotak hitam adalah daerah penangkapan armada pukat cincin mini yang berbasis di Kendari, Sulawesi Tenggara. Banda Sea waters. Black box is fishing ground of small purse seiners based at Kendari fishing harbour, South East Sulawesi.
Beberapa kondisi oseanografis di perairan Kendari antara lain suhu permukaan laut, salinitas, dan kandungan klorofil-a dipengaruhi oleh musim. Suhu permukaan laut rata-rata tertinggi terjadi pada musim peralihan 1 (30,39ºC), sedangkan yang terendah pada musim timur (27,50ºC). Salinitas rata-rata dan kandungan klorofil-a rata-rata tertinggi terjadi pada musim peralihan 2, masing-masing 34,23 psu dan 0,47 mg/m3, sedangkan salinitas rata-rata yang terendah pada musim timur (32,79 psu) dan kandungan klorofil-a rata-rata terendah (0,13 mg/m3) pada musim peralihan 1 (Hariati et al., 2010).
komposisi hasil tangkapan, indeks kelimpahan, dan musim penangkapan ikan pelagis yang tertangkap pukat cincin mini (pajeko) di perairan Kendari pada periode tahun 2006-2008.
Dari analisis sebaran frekuensi panjang ikan layang abu-abu (Decapterus macrosoma) dan layang biru (Decapterus macarellus) bulan Maret 2009 sampai Pebruari 2010, telah disimpulkan bahwa tingkat pemanfaatan (eksploitasi) ikan layang abu-abu dan layang biru masing-masing mencapai 0,56 dan 0,50 (Hariati et al., 2011).
Jenis dan Sumber Data
Tulisan ini menyajikan tentang informasi
140
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Pengumpulan data dilakukan di tempat pendaratan ikan Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari pada bulan Mei 2007, Maret dan Juni 2009, dan Maret 2010.
Data yang dikumpulkan antara lain: 1. Karakteristik armada pukat cincin mini (pajeko) berdasarkan atas pengamatan langsung dan wawancara di atas kapal. 2. Jumlah dan jenis ikan hasil tangkapan yang didaratkan oleh kapal-kapal pajeko dari tanggal 1 Januari 2006 sampai 31 Desember 2008.
Komposisi Hasil Tangkapan, Musim ..... Perairan Kendari, Laut Banda (Hariati, T.)
3. Jumlah hari di laut kapal pajeko yang mendaratkan hasil tangkapan pada periode yang sama, yang dikutip dari catatan hasil tangkapan harian purse seine mini di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari tahun 2006-2008 yang dikeluarkan oleh Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari, memuat antara lain nama kapal, tanggal berangkat dan tanggal tiba (untuk menghitung lama operasi), serta hasil tangkapan tiap jenis ikan dan hasil tangkapan total.
di mana: Xrata-rata µrata-rata n IM
= produksi rata-rata bulanan untuk tahun tertentu = produksi bulanan rata-rata untuk keseluruhan tahun = jumlah tahun (dalam hal ini n = 3) = indeks musim penangkapan ikan (Balai Riset Perikanan Laut, 2004).
Penentuan bulan tertentu merupakan musim berdasarkan atas nilai IM>0.
Analisis Data HASIL DAN BAHASAN a. Data hasil tangkapan (catch) dan lama operasi atau jumlah hari di laut (effort) Data hasil tangkapan total, hasil tangkapan menurut jenis ikan dan jumlah hari di laut tiap kapal dikelompokkan setiap bulan. Komposisi hasil tangkapan tiap jenis ikan dihitung dari persentase tiap jenis ikan terhadap hasil tangkapan total. b. Indeks kelimpahan Indeks kelimpahan (laju tangkap/catch per unit of effort/catch rate) total maupun indeks kelimpahan tiap jenis ikan tiap tahun dihitung dengan rumus berikut: CPUE=C/O ................................................... (1 di mana: CPUE = indeks kelimpahan tiap tahun (tahun 2006-2008) C = hasil tangkapan total atau tiap jenis ikan tiap tahun O = jumlah hari di laut atau lama operasi tiap tahun c. Musim penangkapan Musim penangkapan ikan ditentukan melalui indeks musim, yaitu dengan menghitung rata-rata dari jumlah total (µ¯) dan rata-rata tiap bulan (Xi ¯ ) :
Karakteristik Armada Pukat Cincin Mini (Pajeko) Berbagai jenis alat tangkap telah digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil di Laut Banda seperti jaring insang (gillnet), pancing (line), bagan (lift net), dan pukat cincin mini (small purse seine) (Hurasan & Banjar, 1993). Di perairan Kendari pemanfaatan ikan pelagis dilakukan dengan alat tangkap pukat cincin mini dengan nama lokal pajeko. Jumlah kapal pukat cincin mini yang aktif dan berbasis di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari pada tahun 2008 sebanyak 92 unit berasal dari Kota Kendari dan wilayah-wilayah Sulawesi Selatan (Makassar dan sekitarnya) dan Sulawesi Barat (Mamuju) yang melakukan andon. Bobot kapal pajeko asal Kota Kendari berkisar antara 12-30 GT, sedangkan yang berasal dari luar Kendari pada umumnya berukuran lebih kecil dari 10 GT. Kekuatan mesin penggerak tiap kapal berkisar antara 16-170 HP dan lama operasi per trip 1-3 hari. Jaring pukat cincin mini yang digunakan selama tahun 2006-2008 berukuran panjang 300 m dan dalam 60 m, ukuran mata jaring 1-4 inci yang digunakan untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis kecil. Operasi penangkapan dilakukan dengan bantuan rumpon dan cahaya lampu. Rumpon yang dimiliki oleh tiap kapal dipasang di lokasi penangkapan sedangkan lampu neon dipasang di bagian atas kapal berjumlah 30 buah.
Xrata-rata=∑ Xij/n................................................ (2) Komposisi Hasil Tangkapan 12 n µrata-rata=(∑ i∑ j)/i.j. ...........................................(3) i=1 j=i IM=Xrata-rata/µ rata-rata-1 ........................................ (4)
Pada Tabel 1 disajikan komposisi hasil tangkapan pukat cincin mini di perairan Kendari yang terdiri atas jenis-jenis ikan pelagis kecil (33-38%) dan jenis-jenis ikan pelagis besar (62-67%).
141
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 139-146
Tabel 1. Tabel 1.
Komposisi hasil tangkapan pukat cincin mini di perairan Kendari, Laut Banda Catch composition of small purse seiner in the Kendari waters, Banda Sea Komposisi hasil tangkapan (%) pada tahun:/ The composition of the catch (%) in the year: 2006 2007 2008 38,0 37,8 33,2 36,2 36,3 30,7 1,3 0,7 2,2 0,2 0,2 0,1 0,2 0,4 0,1 0,1 0,2 0,1 62,0 62,2 66,7 59,8 59,8 59,8 0,8 1,0 4,9 0,4 0,7 1,7 1,0 0,7 0,3 6.250,6 8.667,5 7.885,9
Jenis ikan/ Kind of fish Pelagis kecil Layang Banyar Siro Tembang Selar Pelagis Besar Tongkol Cakalang Tuna Lainnya Total (ton)
Selama periode tahun 2006-2008, jenis ikan pelagis kecil yang dominan tertangkap hanya ikan layang (Decapterus macrosoma dan Decapterus macarellus) sedangkan jenis ikan pelagis besar didominansi oleh jenis ikan tongkol (Auxis spp. dan Euthynnus spp.). Persentase jenis-jenis ikan pelagis kecil lainnya yaitu ikan banyar (Rastrelliger kanagurta), siro (Ambligaster sirm), tembang (Sardinella gibbosa), dan selar (Selar crumenophthalmus dan Selaroides leptolepis) tiap tahun berkisar antara 0,1-2,2% dan ikan pelagis besar lainnya yaitu ikan cakalang (Katsowonus pelamis) dan tuna (Thunnus spp.) berkisar antara 0,3-4,9%. Pada Gambar 2, ikan tongkol hampir tiap bulan tertangkap dan dominan di dalam hasil tangkapan. Persentase ikan tongkol yang rendah hanya terjadi antara bulan Mei sampai September 2006 dan bulan
Mei, Juni, dan Juli 2007 juga bulan Juni dan September 2008, sebaliknya dengan persentase ikan layang, pada bulan-bulan tersebut tinggi. Peningkatan persentase ikan tongkol terjadi lagi pada bulan Juli sampai Agustus 2008 serta bulan Oktober sampai Desember 2008, kecuali pada bulan September 2008. Ikan tongkol pada bulan September 2008 tidak tertangkap dan posisinya digantikan oleh ikan layang, cakalang, dan tuna. Ikan layang tertangkap pada setiap bulan dengan persentase yang bervariasi. Persentase ikan layang yang tinggi terjadi pada bulan Juni sampai Juli 2006, Mei sampai Juli 2007 serta bulan Juni dan September 2008. Persentase ikan layang yang rendah di bawah 20% terjadi pada bulan Desember 2006, Nopember 2007, dan April 2008 (Gambar 2).
Catch composition
100% 80% 60% 40% 20% 0% J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D J F M A M J J A S O N D Month (2006-2008) Layang
Gambar 2. Figure 2.
142
Banyar
Siro
Tembang
Selar
Tongkol
Tuna
Cakalang
Tenggiri
Lain2
Komposisi hasil tangkapan pukat cincin mini bulanan dari perairan Kendari dan sekitarnya. Monthly catch composition of the small purse seine from Kendari waters and surrounding.
Komposisi Hasil Tangkapan, Musim ..... Perairan Kendari, Laut Banda (Hariati, T.)
Ikan layang adalah sasaran utama dalam pengoperasian pajeko di perairan Kendari, karena merupakan komoditas ekspor. Mengingat perairan Kendari merupakan bagian dari Laut Banda yang oseanik, maka persentase jenis-jenis ikan pelagis besar pada umumnya lebih tinggi (62-67%) dari persentase jenis-jenis ikan pelagis kecil (33-38%).
dan kecil, didominansi oleh ikan tongkol (pelagis besar) dan layang (pelagis kecil). Di Laut Jawa selama tahun 2002-2007, ikan layang (Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma) tetap merupakan jenis ikan yang dominan di dalam hasil tangkapan pukat cincin yang terjadi hampir di setiap daerah penangkapan (Zamroni & Suwarso, 2009).
Selama periode tahun 2006-2008, persentase ikan pelagis besar naik, sedangkan ikan pelagis kecil turun masing-masing 5%. Pada tahun 2006, 2007, dan 2008, persentase ikan tongkol di dalam hasil tangkapan adalah tetap (59,8%). Persentase ikan layang yang pada tahun 2007 sama dengan tahun 2006 (36,3%) pada tahun 2008 turun menjadi 31,7%. Diduga stok ikan layang lebih kecil dibandingkan dengan stok ikan tongkol.
Hasil Tangkapan Total, Upaya (Jumlah Hari Operasi) dan Catch Per Unit of Effort Total
Pada tiap bulan hasil tangkapan ikan tongkol dan layang juga dominan dengan persentase yang bervariasi (Gambar 2). Sedangkan kelompok ikan pelagis kecil dan besar lainnya masing-masing terdapat dalam persentase yang kecil dengan variasi yang sangat kecil. Dengan demikian hasil tangkapan pajeko yang terdiri atas jenis-jenis ikan pelagis besar Tabel 2. Table 2.
Tabel 2 menyajikan hasil tangkapan total (catch) dan jumlah hari operasi (effort = upaya) dan catch per unit of effort (indeks kelimpahan) total pukat cincin mini di perairan Kendari selama tahun 2006, 2007, dan 2008. Pada tahun 2007 hasil tangkapan total naik dari tahun 2006, kemudian turun pada tahun 2008. Begitu juga dengan jumlah hari operasi, pada tahun 2007 naik kemudian pada tahun 2008 turun lagi. Sebaliknya dengan indeks kelimpahan (catch per unit of effort) total pada tahun 2006-2008 cenderung tetap. Naik-turunnya hasil tangkapan total pukat cincin di perairan Kendari pada tahun 2006-2008 diduga terkait dengan turun-naiknya jumlah hari operasi.
Hasil tangkapan total, jumlah hari operasi pukat cincin mini, dan indeks kelimpahan total di perairan Kendari tahun 2006-2008 Total catch per year, day at sea, and total index of abundance of small purse seiner in Kendari waters from 2006-2008
Parameter/Parameters Hasil tangkapan total (ton) Jumlah hari operasi Indeks kelimpahan total (kg/hari) Pada periode yang sama catch per unit of effort total cenderung tetap, artinya untuk keseluruhan hasil tangkapan jumlah upaya belum berpengaruh, namun belum tentu tidak berpengaruh terhadap tiap stok jenis ikan. Di Laut Jawa, peningkatan jumlah hari operasi yang disebabkan oleh peningkatan lama trip dari 46 menjadi 61 hari menyebabkan laju tangkap terus menurun dari 1.000,7 kg/hari pada tahun 2002, menjadi 409 kg/hari pada tahun 2007 (Zamroni & Suwarso, 2009). Hasil Tangkapan Per Jenis/Kelompok Ikan Pada tahun 2007 terjadi peningkatan hasil-hasil tangkapan daripada tahun 2006, terutama untuk ikan layang dan ikan tongkol. Pada tahun 2008 hasil tangkapan ikan tongkol relatif tetap, namun hasil tangkapan ikan layang turun, sedangkan hasil
2006 6.250,6 6.003 1.209
2007 8.667,5 7.509 1.154
2008 7.885,9 6.162 1.280
tangkapan ikan pelagis kecil lainnya dan pelagis besar lainnya meningkat. Selanjutnya dari Gambar 3, hasil tangkapan ikan tongkol tiap tahun selalu lebih tinggi dari hasil tangkapan jenis-jenis ikan lainnya. Pada tahun 2007 hasil tangkapan ikan tongkol dan layang meningkat (Gambar 3), disebabkan meningkatnya jumlah hari operasi. Pada tahun 2008 turunnya jumlah hari operasi memberikan perbedaan pengaruh terhadap jenis-jenis hasil tangkapan; di mana untuk hasil tangkapan ikan tongkol cenderung tetap, namun untuk ikan layang turun, sedangkan untuk dua kelompok jenis ikan pelagis lainnya cenderung naik. Turunnya jumlah upaya pada tahun 2008 dapat menyebabkan peningkatan hasil tangkapan setiap jenis ikan. Perubahan jumlah upaya yang terjadi pada tahun 2008 tersebut diduga berpengaruh terutama terhadap stok ikan layang.
143
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 139-146
Pada tahun 2007 dengan kenaikan jumlah upaya (jumlah hari operasi) pukat cincin mini di perairan Kendari, nilai-nilai indeks kelimpahan ikan tongkol dan layang cenderung tetap. Pada tahun 2008 terjadi penurunan jumlah upaya yang menyebabkan peningkatan indeks kelimpahan ikan tongkol; sedangkan dampaknya terhadap stok ikan layang adalah terjadinya penurunan indeks kelimpahan.
6000
Catch (Ton)
5000 4000 3000 2000 1000 0 2006
2007
2008
Year Tongkol
Layang
Gambar 3.
Pelagis kecil lainnya
Pelagis besar lainnya
Hasil tangkapan pukat cincin mini menurut jenis dan kelompok ikan di perairan Kendari. Catch of small purse seine by species and group of species in Kendari waters.
Figure 3.
Di perairan barat Sumatera catch per unit of effort total pukat cincin rapat pada bulan Januari sampai Juli tahun 2005 (pasca tsunami) sebesar 1.087 kg/ hari, naik dibandingkan dengan bulan Januari sampai Juli tahun 2003 (pra tsunami) yaitu 673 kg/hari yang disebabkan turunnya jumlah upaya. Catch per unit of effort ikan layang (Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma) relatif tetap, catch per unit of effort jenisjenis ikan banyar, bentong (Selar crumenophtalmus), tetengkek (Megalapsis cordyla), dan tembang naik, sedangkan catch per unit of effort ikan tongkol turun (Hariati & Sadhotomo, 2007). Dugaan Musim Ikan
Pada Tabel 2, indeks kelimpahan total tahun 20062008 cenderung tetap di sekitar 1.200 kg/hari. Pada Gambar 4 indeks kelimpahan ikan tongkol tahun 20062007 cenderung tetap di sekitar 700 kg/hari kemudian naik pada tahun 2008 sehingga hampir mencapai 900 kg/hari. Catch per unit of effort ikan layang pada tahun 2007 cenderung tetap di sekitar 400 kg/hari, kemudian pada tahun 2008 turun menjadi sekitar 300 kg/hari.
Berdasarkan atas hasil analisis indeks musim hasil tangkapan tahun 2006-2008 di perairan Kendari (Gambar 5A-5D), puncak musim ikan pelagis total terjadi pada bulan Maret sampai April, Agustus sampai September, dan Nopember sampai Desember (Gambar 5A); Khusus musim ikan tongkol terjadi pada bulan Januari sampai April, Agustus sampai September, dan Nopember sampai Desember (Gambar 5B), musim ikan banyar pada Pebruari sampai Maret, Agustus dan Oktober (Gambar 5C) sedangkan musim ikan cakalang hanya pada bulan September sampai Nopember dengan puncak pada bulan Oktober (Gambar 5D). Diduga terkait dengan pola pertumbuhan ikan cakalang yang pada musim peralihan 2 ukuran ikan mulai besar. Musim ikan pelagis lainnya seperti ikan tuna, siro, tembang, dan selar tidak dapat diestimasi dan karena selain hasil tangkapannya rendah, tidak tertangkap setiap bulan.
c.p.u.e (kg/day)
Indeks Kelimpahan
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 2006
2007
2008
Year Tongkol
Gambar 4.
Figure 4.
144
Layang
Pelagis kecil lainnya
Pelagis besar lainnya
Catch per unit of effort ikan tongkol, layang, pelagis kecil lainnya, dan pelagis besar lainnya yang tertangkap pukat cincin mini di perairan Kendari. Catch per unit of effort of little tuna, scads, other small pelagic, and other large pelagic fishes caught by small purse seines in Kendari waters.
Saat paceklik bagi setiap jenis ikan pelagis terjadi pada bulan Juni dan Juli (Gambar 5A) diduga karena rendahnya suhu permukaan laut (27,5oC) ketika itu tidak sesuai bagi kehidupan ikan pelagis kecil. Tingginya hasil tangkapan ikan pelagis antara bulan Maret sampai Mei dan antara Agustus sampai Desember diduga didukung oleh kondisi oseanografis, seperti suhu permukaan laut yang hangat (29-31oC) dan suburnya perairan pantai pada musim peralihan 1; serta tingginya kandungan klorofil-a pada musim peralihan 2 dari proses upwelling di Laut Banda (Hariati et al., 2010). Dalam Hariati et al. (2010), puncakpuncak hasil, tangkapan ikan layang pada tahun 2006
Komposisi Hasil Tangkapan, Musim ..... Perairan Kendari, Laut Banda (Hariati, T.)
dan 2007 terjadi pada musim peralihan 1 terjadi pada bulan Maret sampai Mei dan musim peralihan 2 (bulan September sampai Nopember) sedangkan pada tahun 2008 terjadi satu bulan lebih cepat. Di perairan Natuna, puncak musim ikan layang juga terjadi pada musim peralihan 1 dan 2 (Hariati et al., 2009).
Gambar 5. Figure 5.
Menurut Chodriyah & Hariati (2010), tingginya hasil tangkapan ikan layang di Laut Jawa selama dan sesudah musim timur diduga karena unsur hara dari Laut Banda yang terbawa arus sampai di Laut Jawa, menyebakan suburnya perairan tersebut serta berlimpahnya plankton makanan pokok ikan layang.
Dugaan musim ikan total dan beberapa jenis ikan pelagis yang tertangkap pukat cincin mini di perairan Kendari, pada tahun 2006-2008. The estimation of fishing season, of total and several pelagic fishes caught by small purse seine in Kendari waters, during 2006-2008.
Di Laut Jawa, Suwarso (2009) mengatakan puncak musim ikan tongkol terjadi dua kali dalam setahun, yaitu dari akhir musim barat sampai awal musim peralihan 1 dan dari akhir musim timur sampai awal musim peralihan 2. Musim paceklik terjadi pada bulan Juni (awal musim timur). Di perairan Laut Jawa dari tahun 2002-2007, puncak musim penangkapan tiap jenis ikan pelagis kecil yang tertangkap dengan pukat cincin tidak terjadi dalam bulan yang sama, selain itu daerah penangkapan ikan berbeda pada tiap musim. Misalnya pada musim barat dan peralihan 1 daerah penangkapan adalah di perairan Selat Makassar, musim timur di Laut Cina Selatan dan musim peralihan 2 di perairan Masalima (Chodriyah & Hariati, 2010).
KESIMPULAN 1. Hasil tangkapan pukat cincin mini di perairan Kendari tahun 2006-2008 terdiri atas kelompok jenis ikan pelagis kecil (33-38%) dan ikan pelagis besar (62-67%). Jenis ikan yang dominan terdiri atas ikan layang (Decapterus macrosoma dan Decapterus macarellus) 30-36% dan ikan tongkol (Auxis spp. dan Euthynnus spp.) 59,8%. 2. Peningkatan jumlah hari operasi pada tahun 2007 dari tahun 2006 menyebabkan hasil tangkapan ikan layang dan ikan tongkol naik. Adapun indeks kelimpahan ikan layang maupun ikan tongkol cenderung tetap.
145
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 139-146
3. Penurunan jumlah hari operasi pada tahun 2008 menyebabkan hasil tangkapan ikan layang menurun, sedangkan hasil tangkapan ikan tongkol cenderung tetap. Indeks kelimpahan ikan tongkol naik, namun ikan layang turun. Stok ikan layang di perairan Kendari pada tahun 2008 diduga semakin kecil. 4. Puncak musim hasil tangkapan pajeko di perairan Kendari berlangsung pada musim peralihan 1 (bulan Maret sampai Mei) dan musim peralihan 2 (bulan September sampai Nopember). PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan gabungan kontribusi dari hasil 2 kegiatan riset, yaitu 1) riset sumber daya ikan dan lingkungan perairan dan sistem perikanan di Laut Banda, tahun 2007 dan 2) studi hubungan filogenetik ikan layang (Decapterus spp.) di Indonesia tahap II: Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Flores, dan Laut Banda, tahun 2009, di Balai Riset Perikanan LautMuara Baru, Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada BapakBapak Kepala Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari periode tahun 2007-2010 beserta para Staf dan Enumerator (Sdr. Sugiono cs.) atas bantuan dan kerja sama yang baik.
Hurasan, S. & H. Banjar. 1993. Alat tangkap, komposisi, dan dugaan potensi sumber daya ikan pelagis kecil di perairan utara Maluku, Sorong, dan Fakfak. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 80: 4652. Hariati, T. & B. Sadhotomo. 2007. Aktivitas kapal pukat cincin Sibolga tahun 2002-2005 dan laju tangkap pukat rapat dan pukat jarang pada periode bulan Januari sampai Juli 2005 (pasca tsunami). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 13 (3) Desember: 179-190. Hariati, T., U. Chodriyah, & M. Taufik. 2009. Perikanan pukat cincin di Pemangkat, Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 15 (1): 7991. Hariati, T., K. Amri, & U. Chodriyah. 2010. Fluktuasi hasil tangkapan ikan layang (Decapterus spp.) di perairan Kendari dan sekitarnya serta kaitannya dengan sebaran suhu permukaan laut, salinitas, dan kandungan klorofil-a permukaan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (2): 135-146. Hariati, T., Moh Fauzi, & U. Chodriyah. 2011. Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang Abu-Abu (Decapterus macrosoma) dan Layang Biru (Decapterus macarellus) dari Perairan Kendari. In press.
DAFTAR PUSTAKA Balai Riset Perikanan Laut. 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 116 pp. Chodriyah, U. & T. Hariati. 2010. Musim penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 16 (3): 217-223. Dalzell, P. & D. Pauly. 1989. Assessment of the fish resources of South East Asia, with emphasis on the Banda and Arafura Seas. Netherlands Journal of Sea Research. 24 (4): 641-650. Hartati, S. T. & W. A. Pralampita. 1993. Potensi dan tingkat pengusahaan sumber daya perikanan karang ekonomis penting di perairan Kendari, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 76: 59-66.
146
Linting, M., Badrudin, & N. Wirdaningsih. 1994. Indeks kelimpahan stok sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 87: 48-55. Suwarso. 2009. Fluktuasi hasil tangkapan ikan tongkol di Laut Jawa. Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI. Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan di Yogyakarta. 15 pp. Yusuf, S. A. & M. S. Hamzah. 1995. Pengaruh musim terhadap produksi ikan momar (Decapterus sp.) dikaitkan dengan kondisi hidrologi di perairan Kepulauan Lease, Maluku Tengah. Dalam Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I Buku II: Bidang Sumber Daya Perikanan dan Penangkapan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 93-101. Zamroni, A. & Suwarso. 2009. Perkembangan hasil tangkapan ikan pelagis kecil di sekitar Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 15 (4): 307312.
Hubungan Antara Ikan Indikator …. Pesisir Pulau Biak dan Kepulauan Padaido (Lorwens J.)
HUBUNGAN ANTARA IKAN INDIKATOR (CHAETODONTIDAE) DAN KONDISI KARANG DI PESISIR PULAU BIAK DAN KEPULAUAN PADAIDO Jonas Lorwens Peneliti pada UPT Loka Konservasi Biota Laut-Pusat Penelitian OseanografiLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Papua-Biak Teregistrasi I tanggal: 4 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 12 Mei 2011; Disetujui terbit tanggal: 30 Mei 2011.
ABSTRAK Tulisan ini membahas tentang keeratan hubungan antara ikan kepe-kepe terhadap kondisi terumbu karang. Kajian dilakukan di 13 titik pengamatan di wilayah pesisir Pulau Biak dan Kepulauan Padaido pada tahun 2007 yang merupakan bagian dari program Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pada setiap titik pengamatan, metode transek garis (line intercept transek (LIT)) dipakai untuk mendapatkan data tentang kelimpahan (jumlah ikan atau specimen) dan keanekaragaman (jumlah jenis/species) ikan kepe-kepe serta kondisi karang (yang dinyatakan dalam persentase tutupan karang hidup). Analisis regresi digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara kelimpahan dan keanekaragaman ikan kepe-kepe terhadap kondisi karang. Hasil penelitian tersensus sejumlah 28 spesies ikan kepe-kepe (22 jenis dari marga Chaetodon, dua jenis marga Forcipiger, dan empat jenis marga Heniocus) dengan kelimpahan total 661 individu (ekor). Kondisi persentase tutupan karang hidup berkisar antara 9,1-46,3% dengan nilai rata-rata 25,8% (terumbu dalam kondisi sedang). Dari 13 stasiun pengamatan, dua set data tidak digunakan karena terlalu tinggi. Kelimpahan (jumlah individu) ikan kepe-kepe berkorelasi sangat kuat dengan keanekaragaman jenis (jumlah spesies) (R2=0,95). Kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan kepe-kepe juga berkorelasi cukup kuat terhadap kondisi karang (persen tutupan karang hidup). Dari total 28 spesies ikan kepe-kepe, tujuh spesies memiliki persen kehadiran (FA) > 50% dengan peringkat tertinggi mulai dari Chaetodon klenii, Chaetodon trifaciatus, Chaetodon vagabundus, Chaetodon rafflesii, Chaetodon trifacialis, Chaetodon baronessa, dan Chaetodon citrinellus, Beberapa dari spesies tersebut memiliki keeratan hubungan yang kuat dengan kondisi terumbu karang. KATA KUNCI:
ikan kepe-kepe, korelasi, kelimpahan, keanekaragaman, kondisi terumbu karang, Biak, Kepulauan Padaido
ABSTRACT:
Relationship between indicators of fish (Chaetodontidae) and reefs conditions at coastal of Biak islands Padaido. By: Jonas Lorwens
This paper discusses about the relationship between the butterfly fish and the condition of coral reef. This study was conducted in 13 observation sites of Biak and Padaido Islands coastal zones in 2007 as a part of Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia programs. In each observation site, line intercept transect method was used to collect the abundance (number of fish or specimen) and the diversity (number of species) data of butterfly fishes and the reef condition (expressed as percentage of living coral covers). Regression analysis was applied to Investigate the relationship between the abundance and diversity of butterfly fishes to the reef condition. The result shows that there are 28 butterfly fishes consisted of 22 species belong to genus Chaetodon, 2 species belong to Forcipiger, and 4 species belong to Heniocus recorded, with the total abundance of 661 fishes. The percentage of living coral covers ranged between 9.1 and 46.3% with an average of 25.8% (coral reef in medium condition). From 13 observation sites, 2 sites were excluded due to high bias. The abundance of butterfly fishes (number of fishes/specimen) and their diversity (number of species) shows very significant correlation (R2=0.95). The abundance and the diversity of butterfly fishes show also significant relationship with the coral reef condition (percentage of living coral covers). From 28 species, 7 species have high percentage of frequency with the highest rank to the lowest are Chaetodon klenii, Chaetodon trifaciatus, Chaetodon vagabundus, Chaetodon rafflesii, Chaetodon trifacialis, Chaetodon baronessa, and Chaetodon citrinellus. Among of those 7 individual species, some are strongly correlated with the percentage of living corals. KEYWORDS:
butterfly fish, abundance, diversity, correlation, coral reef conditions, Biak and Padaido Islands
___________________ Korespondensi penulis: Jl. Bosnik, Biak Timur Biak Numfor, Papua. Tel / fax : 0981 - 81112 / 81112
147
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 147-156
PENDAHULUAN Ikan kepe-kepe (butterfly fish) termasuk famili Chaetodontidae. Ikan ini terdiri atas 116 jenis yang mewakili 10 marga (genus), di mana 78% masuk dalam marga Chaetodon. Sembilan puluh persen (sekitar 80 jenis) dari ikan kepe-kepe berada di wilayah Indo-Pasifik. Kekayan jenis ikan ini semakin menurun seiring dengan menjauhnya jarak dari wilayah IndoPasifik Barat (Allen et al., 1998). Seluruh ikan kepekepe berwarna-warni cerah dengan garis di mata atau noktah pada bagian tubuh, sehingga menjadikannya sebagai salah satu jenis ikan hias penting pada perdagangan ikan hias laut. Ikan kepe-kepe sangat sering dijadikan bahan penelitian. Menurut Kulbicki et al. (2005), penelitian yang dilakukan pada ikan ini pada umumnya meliputi tiga topik luas utama, yaitu 1) deskripsi tentang sebaran serta korelasi keanekaragaman dan kelimpahan ikan ini terhadap faktor lingkungan; 2) biologi dan ekologi umum ikan ini, dan 3) penggunaan ikan ini sebagai indikator atau status ekologi terumbu karang. Berbagai alasan penggunaan ikan ini dalam dunia penelitian antara lain karena ikan ini mudah diidentifikasi, pada umumnya ikan ini tidak mudah terganggu oleh pengamat, kelimpahan, dan keanekaragamannya cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pembanding dalam skala ruang dan waktu. Sebagai tambahan ikan kepe-kepe merupakan famili ikan yang kehidupannya hanya tergantung dari jaringan hidup polip terumbu karang sebagai sumber makanan (obligate coral feeder), sehingga ikan ini sering dikaitkan dengan kesehatan suatu terumbu karang atau dipakai sebagai indikator perubahan ekosistem pada terumbu karang (Khalaf & Crosby, 2005). Sebaliknya, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa tidak seluruh jenis ikan kepe-kepe dapat digunakan sebagai indikator perubahan di suatu terumbu karang. Jenis ikan kepe-kepe yang memakan planton (Planktivores) bergerak di atas karang
148
menghadap ke arah datangnya arus untuk menangkap plankton. Hal ini menyebabkan tidak peka terhadap terumbu karang yang berada di bawahnya (Crosby & Reef, 2005). Pulau Biak dan Kepulauan Padaido yang menghadap langsung ke Samudera Pasifik memiliki sebaran terumbu karang yang cukup luas termasuk pula ikan karangnya. Dari hasil studi terdahulu, tidak kurang dari 30 jenis ikan kepe-kepe pernah ditemukan pada perairan ini (Wouthuyzen, 1995), namun penelitian khusus yang melihat hubungan antara kelimpahan ikan karang dan kondisi terumbu karang di perairan Indonesia sangat jarang dilakukan, apalagi di perairan Pulau Biak dan Kepulauan Padaido, sehingga hipotesis apakah ikan kepe-kepe dapat digunakan sebagai indikator kesehatan karang belum dapat dijawab. Lebih lanjut, adanya pertentangan pendapat tentang ikan kepe-kepe sebagai indikator tidak memungkinkan untuk menolak atau menerima secara utuh hipotesis ini. Oleh karena itu, kajian ke arah hal tersebut perlu segera dilakukan. Tulisan ini bertujuan untuk melihat hubungan antara keanekaragaman jenis dan kelimpahan ikan kepekepe terhadap kondisi terumbu karang, sehingga dapat menjawab hipotesis apakah benar ikan kepekepe dapat dipakai sebagai ikan indikator. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan bagian dari program Coremap (Coral Reef Rehabilitation and Management Program)-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang memantau kondisi terumbu karang di sepanjang pantai Pulau Biak bagian timur dan di beberapa Pulau Padaido atas yang mencakup Pulau Owi, Aoki, Yumni, dan Pulau Pai. Sejumlah 13 stasiun penelitian terumbu karang dan ikan karang (Gambar 1) ditetapkan di sepanjang pantai Pulau Biak (enam titik) dan di empat pulau di Padaido Atas (tujuh titik). Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2007.
Hubungan Antara Ikan Indikator …. Pesisir Pulau Biak dan Kepulauan Padaido (Lorwens J.)
Gambar 1. Figure.
Peta sebagian Pulau Biak dan Padaido Atas, serta titik penelitian. Map of a part of Biak and upper Padaido Islands, and sampling sites.
Pengamatan terumbu karang dilakukan menggunakan metode LIT (line intercept transect) yang dikembangkan oleh Asean Australia Project (Dartnall & Jones, 1986). Metode ini membutuhkan waktu pengamatan yang jauh lebih lama dibandingkan dengan metode rapid reef assessment (RRA), karena pengamatan dilakukan dengan menggunakan alat selam SCUBA, namun hasil pengamatan dapat lebih rinci. Pengamatan ikan karang dilakukan pada garis transek yang sama dengan pengamatan terumbu karang menggunakan metode visual sensus sepanjang 70 m, dengan lebar pengamatan sejauh 2,5 m dari sisi kiri dan kanan garis transek, sehingga luas bidang pengamatan ikan yang disensus adalah 350 m2 (70x (2,5 m + 2,5 m)) (Gambar 2). Pesensus ikan karang melakukan pengamatan terlebih dahulu, lalu diikuti pengamat karang. Hal ini dilakukan agar ikan yang diamati tidak terlalu terganggu. Sensus ikan dilakukan pada kedalaman antara 3-10 m. Identifikasi jenis ikan dibantu melalui buku panduan ikan karang yang kedap air karangan Kuiter (1992; 1993; 1996);
Leiske & Myers (1995). Jenis dan kelimpahan ikan pada transek dihitung, dan kemudian diklasifikasikan atas tiga kelompok besar (English et al., 1994), yaitu: 1. Jenis ikan target adalah ikan konsumsi atau pangan yang memiliki nilai ekonomis yang hidup berasosiasi erat dengan perairan karang dan menjadi sasaran tangkapan nelayan. 2. Jenis-jenis ikan indikator, ikan yang hidupnya berasosiasi sangat erat dengan terumbu karang, seperti ikan kepe-kepe (butter fly fishes) dari suku Chaetodontidae yang sebagian besar hanya memangsa polip karang, sehingga dihipotesiskan dapat dipakai sebagai indikator kesehatan karang. Pada penelitian ini hanya kelompok ikan ini yang dianalisis. 3. Jenis ikan-ikan lainnya (mayor grup) merupakan semua kelompok yang tidak termasuk di kedua kelompok di atas, pada umumnya kelompok ikan ini berukuran kecil dengan warna-warni yang menarik, sehingga sebagian besar kelompok ikan ini merupakan ikan hias.
70 m
2,5 m 2,5 m
Panjang transek (L) 70 m; Lebar (W): 5 m (kiri 2,5 m; kanan 2,5 m) 2 Total luas pengamatan 350 m
Gambar 2. Figure 2.
Ilustrasi mengenai sensus visual ikan karang. Ilustration of reef fishes census method.
149
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 147-156
Untuk melihat keeratan hubungan antara kondisi terumbu karang dengan keanekaragaman dan kelimpahan ikan indikator (ikan kepe-kepe) dilakukan analisis regresi menggunakan berbagai macam persamaan regresi (linier, eksponensial, logaritmik, polinomial, dan power). Persamaan yang memberikan nilai koefisien determinasi (R2) atau koefisien korelasi (r) yang tertinggi dianggap dapat menggambarkan erat tidaknya hubungan tersebut. Di samping itu, analisis regresi dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan keeratan hubungan antara kedua parameter untuk seluruh lokasi, dan untuk lokasi di Pantai Biak atau di Padaido, untuk jenis ikan kepekepe yang memiliki persentase kehadiran yang tinggi (> 50%). HASIL DAN BAHASAN Kondisi Terumbu Karang serta Keanekaragaman dan Kelimpahan Ikan Karang Hasil pengamatan terumbu karang dan ikan karang, khususnya ikan kepe-kepe (Chaetodon spp.) disajikan dalam Tabel 1. Dari 13 stasiun pengamatan, kondisi karang Pantai Biak Timur (enam titik) menunjukkan bahwa persentase tutupan karang hidup berkisar antara (12-43%) dengan nilai rata-rata 22,5% (terumbu karang berada pada kondisi buruk), hanya dua titik, yaitu stasiun dua dan tiga yang karangnya berada pada kondisi sedang (tutupan karang hidup 25-50%). Di Kepulauan Padaido atas (tujuh titik pengamatan), persentase tutupan karang hidup berkisar antara 12-47% dengan nilai rata-rata 31,9% atau karang berada dalam kondisi sedang. Hanya dua titik pada perairan ini memiliki kondisi karang buruk, sedangkan lima titik lainnya memiliki terumbu dengan kondisi sedang, Terumbu karang di lokasi pengamatan tidak dalam kondisi yang baik (50-75%). Sejumlah 28 jenis (spesies) ikan karang kelompok indikator yang terdiri atas 22 jenis marga Chaetodon,
150
dua jenis marga Forcipiger, dan empat jenis marga Heniocus tersensus selama pengamatan dengan total jumlah individu (specimen) 661 ekor (Tabel 1). Dari jumlah tersebut, ikan yang memiliki kelimpahan tertinggi adalah Chaetodon kleini (205 ekor), disusul C. vagabundus (50 ekor), C. barronesa, dan C. trifasciatus (38 ekor), C. citrinellus (36 ekor), dan C. Rafflessii (30 ekor). Ditinjau dari frekuensi kehadirannya, C. Kleini memiliki nilai tertinggi (92,3%), disusul C. trifasciatus (84,6%), C. vagabundus (76,9%), C. Rafflessii (69,2%), C. trifasciatus, dan C. Ornatissimus (61,4%), serta C. Citrinellus dan C. barronesa (53,8%). Walaupun kelimpahannya tinggi, belum tentu jenis tersebut memiliki frekuensi kehadiran yang tinggi pula. Hal ini tampaknya mengindikasikan bahwa masing-masing jenis ikan kepe-kepe memiliki sebaran yang berbeda yang kemungkinan berkaitan dengan kondisi karang. Dua jenis ikan kepe-kepe, yaitu: C. kleini dan C. trifasciatus dapat dikatakan sebagai jenis ikan indikator yang bersifat kosmopolitan, karena memiliki sebaran yang luas mulai dari Indonesia bagian barat hingga bagian timur. Kedua jenis ini lebih mampu beradaptasi pada lingkungan yang memiliki tingkat kecerahan perairan yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis-jenis ikan kepe-kepe lainnya. Hubungan Kondisi Karang dan Keanekaragaman serta Kelimpahan Ikan Indikator Hubungan antara keanekaragaman (jumlah jenis/ species) dan kelimpahan (jumlah individu/ specimen) dari ikan indikator (ikan kepe-kepe) disajikan dalam Gambar 3. Gambar ini memperlihatkan bahwa ada keeratan hubungan antara jumlah jenis dan jumlah individu ikan kepe-kepe untuk seluruh lokasi, baik yang analisisnya digabungkan (Biak Timur + Padaido), maupun yang terpisah untuk lokasi Biak Timur dan Kepulauan Padaido. Gambar ini memperlihatkan bahwa hubungan lebih kuat terjadi untuk lokasi Kepulauan Padaido.
Tabel 1. Table 1.
Pengamatan terumbu karang dan ikan karang indikator (ikan kepe-kepe) di pantai timur Biak (stasiun 1-6) dan Padaido Atas (stasiun 7-13) Observation data of coral reefs and indicator fish (butterfly fishes) in east cost of Biak (station 1-6) and Padaido Islands (station 7-13)
St.1
St.2
St.3
St.4
St.5
St.6
St.7
St.8
St.9
St.10
St.11
St.12
BIA02
BIA07
BIA12
BIA18
BIA21
BIA22
BIA28
BIA29
BIA30
BIA31
BIA32
BIA35
14.30
42.83
30.86
12.53
12.23
22.10
12.63
40.33
37.76
11.60
32.76
47.23
St.1 2 2 4 4 4 8 2 2 4 2 2 2 4 4 7 60 6 2 121 18
St.2 4 12 2 38 2
St.3 4 8 2 6 2 19 2 4 2 4 4 2 6 4 4 4 12 4 2 20 6 121 21
St.4 1 6 1 85 3 2 2 -
St.5 1 4 3 4 2 3 3 20 6
St.6 5 1 2 1 1 3 8 3 4 2 30 10
St.7 2 -
St.8 14 1 2 1 2 20 40 6
St.9 10 2 3 5 1 6
St.10 4 2 2 10 4 6 2 2 4 30 4 4 2 76 13
St.11 4 2 -
St.12 2 6 2 12 4 2 2 4 4 4 6 6 5 59 13
2 8 4 4 4 12 6 6 2 6 112 15
2 20 122 9
2 4 2
6 2 7 5 47 10
6 2 2 2 2 2 22 9
151
Hubungan Antara Ikan Indikator …. Pesisir Pulau Biak dan Kepulauan Padaido (Lorwens J.)
Stasiun penelitian/ Research station Contoh/Sampel ID Persen tutupan karang hidup/ Percent live coral cover No. Jenis Ikan Indikator Chaetodon auriga 1. Chaetodon baronessa 2. Chaetodon bennetti 3. Chaetodon citrinellus 4. Chaetodon ephippium 5. Chaetodon guentheri 6. Chaetodon guttatissimus 7. 8. Chaetodon kleini Chaetodon lineolatus 9. 10. Chaetodon lunula 11. Chaetodon melannotus 12. Chaetodon meyeri 13. Chaetodon ocellicaudus 14. Chaetodon ornatissimus 15. Chaetodon punctatofasciatus 16. Chaetodon rafflesii 17. Chaetodon trifascialis 18. Chaetodon trifasciatus 19. Chaetodon ulietensis 20. Chaetodon unimaculatus 21. Chaetodon unifasciatus 22. Chaetodon vagabundus 23. Forcipiger flavissimus 24. Forcipiger longirostris 25. Hemitaurichthys polylepis 26. Heniochus acuminatus 27. Heniochus chrysostomus 28. Heniochus monoceros 29. Heniochus varius Total indvidu (Specimen) Total jenis (Species)
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 147-156
Gambar 3. Figure 3.
Hubungan antara jumlah jenis (species) dan jumlah individu (specimen) ikan kepe-kepe. Relationship between species and individual numbers of butterfly fishes in each observation site.
Hubungan antara kondisi terumbu karang terhadap keanekaragaman jenis (jumlah spesies) dan kelimpahan (jumlah individu/specimen) diperlihatkan pada Gambar 4, baik untuk seluruh lokasi, maupun lokasi di Pantai Biak Timur dan Kepulauan Padaido. Gambar ini menunjukkan bahwa hubungan antara kondisi terumbu karang yang dikatakan dalam persen tutupan karang hidup terhadap jumlah jenis dan jumlah individu ikan kepe-kepe relatif lebih rendah jika seluruh
Gambar 4. Figure 4.
152
data digabungkan, koefisien determinasi meningkat jika analisis lokasi dipisahkan antara Biak Timur dan Padaido. Sama seperti pada Gambar 3, tampak pula bahwa koefisen determinasi memiliki nilai yang lebih tinggi untuk Kepulauan Padaido dibandingkan dengan Biak Timur. Hal ini dapat dipahami karena kondisi terumbu karang di Padaido lebih baik (kondisi sedang) dibandingkan dengan pantai timur Biak (kondisi buruk).
Hubungan antara kondisi karang dengan keanekaragaman dan kelimpahan ikan indicator. Relationship between reef condition and individual numbers (upper graph) and species numbers (lower graph) in each observation site.
Hubungan Antara Ikan Indikator …. Pesisir Pulau Biak dan Kepulauan Padaido (Lorwens J.)
Hubungan Kondisi Karang dan Jenis Ikan Indikator
kelimpahan ikan-kan tersebut disajikan dalam Gambar 5a-d serta Tabel 2.
Untuk melihat jenis-jenis ikan indikator memiliki hubungan erat dengan konsisi terumbu karang, maka dipilih ikan-ikan yang memiliki frekuensi kehadiran yang tinggi, anatara lain C. kleini, C. trifasciatus, C. vagabundus, C. rafflessii, T. trifascialis dan C. crtinellus. Plot antara antara kondisi karang dan
Kondisi karang berkorelasi kuat terhadap kelimpahan C. kleini. Korelasi lebih menguat jika dilakukan analisis terpisah untuk pantai timur Biak dan Kepulauan Padaido, namun korelasi terkuat adalah untuk Kepulauan Padaido (Gambar 5a).
Gambar 5a. Figure 5a.
Hubungan antara kondisi karang dengan jumlah jenis Chaetodon Kleini. Relationship between coral reef condition and Chaetodon kleini in each site.
Kondisi karang tidak memiliki korelasi sama sekali terhadap kelimpahan C. trifasciatus jika data dari pantai timur Biak digabung dengan data dari kepulauan Padaido. Koefisien determinasi (R2) meningkat tajam setelah data dianalisis untuk masing-masing lokasi, khususnya untuk Biak Timur (R2= 0.801), namun tidak begitu untuk data dari Kepulauan Padaido (R2= 0.651) (Gambar 5 b). Hal ini tampaknya bertentangan dengan C. kleini. Pada Gambar 5c ditampilkan hubungan antara
Gambar 5b. Figure 5b.
kondisi terumbu karang dengan kelimpahan C. vagabundus yang menunjukkan korelasi yang cukup baik untuk semua lokasi. Sama halnya dengan C kleini dan C. trifasciatus, hubungan semakin kuat jika dilakukan analisis yang terpisah untuk masing-masing lokasi, namun di pantai Biak timur, nilai R2 dari C. vagabundus lebih tinggi dari pada di Kepulauan Padaido sama seperti C. trifasciatus.
Hubungan antara kondisi karang dengan jumlah jenis C. Trifasciats. Relationship between coral reef condition and number of C. trifasciats in each site.
153
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 147-156
Gambar 5c. Figure 5c.
Hubungan antara kondisi karang dengan jumlah jenis C. vagabundus. Relationship between coral reef condition and number of C. vagabundus in each site
Hubungan antara kondisi karang dengan kelimpahan C. rafflessii dituang dalam Gambar 5d. Gambar ini memperlihatkan hubungan yang tidak terlalu kuat. Analisis untuk masing-masing lokasi memperlihatkan bahwa, meskipun tampak ada kenaikan nilai koefisien determinasi R2, namun kenaikannya tidak terlalu signifikan. Hubungan antara kondisi terumbu karang dengan beberapa jenis ikan indikator lainnya yang memiliki frekuensi kehadiran yang lebih rendah (~ 50 %) dirangkumkan dalam Tabel
Gambar 5d. Figure 5d.
Hubungan antara kondisi karang dengan jumlah jenis C. Rafflessii. Relationship between coral reef condition and number of C.rafflessii in each site.
Kajian ini memperlihatkan bahwa secara umum keaneka-ragaman dan kelimpahan ikan kepe-kepe di perairan Biak dan kepulauan Padaido memiliki keeratan hubungan dengan kondisi karang (Gambar
154
2. Kondisi karang memiliki hubungan sangat kuat dengan ikan Heniochus varuius untuk lokasi gabungan, disusul C. baronessa untuk lokasi gabungan dan lokasi di Kepulauan Padaido. Jenis lainnya memiliki hubungan yang cukup kuat untuk lokasi gabungan, namun sangat kuat untuk lokasi di Biak Timur seperti C. ornatissimus. Jenis yang sama sekali tidak menunjukkan keeratan hubungan adalah C. melannotosus.
4). Hasil analisis ke tingkat species juga memperlihatkan dengan jelas bahwa setidaknya 8 jenis ikan kepe-kepe memiliki hubungan erat dengan kondisi Terumbu karang (Gambar 5a-5d dan Tabel 2).
Hubungan Antara Ikan Indikator …. Pesisir Pulau Biak dan Kepulauan Padaido (Lorwens J.)
Tabel 2. Table 2.
Nilai koefisien determinasi (R 2) hubungan antara kondisi terumbu dan kelimpahan beberapa ikan indikator dengan frekuensi kehadiran < 50%. Coefficient determination (R2) of relationship between coral reef condition and the abundance of indicator fish with frequency of occurance <50%
Jenis Ikan Indikator Chaetodon baronessa Chaetodon citrinellus Chaetodon melannotus Chaetodon ornatissimus Chaetodon trifascialis Heniochus varius
Biak+Padaido 0.906 0.780 0.043 0.635 0.711 0.923
Biak Timur --0.773 --0.988 -----
Kep. Padaido 0.893 ------0.439 ---
Bentuk Regres Eksponensial Eksponensial Eksponensial Eksponensial Eksponensial Eksponensial
KESIMPULAN
PERSANTUNAN
1. Total sejumlah 28 jenis ikan kepe-kepe dengan jumlah individu sebanyak 818 ekor ikan tersensus selama kajian dilakukan. Keaneka-ragaman jenis dan kelimpahan ikan kepe-kepe di sekitar Pulau Biak dan Kepulauan Padaido tergolong tinggi dibandingkan dengan beberapa perairan di Indonesia bagian Barat.
Penulis menyampaikan terima kasih yang sangat dalam kepada Drs. Anna Manuputty M.Sc. yang telah memberikan dan mengijinkan penggunaan data terumbu karang dan ikan karang hasil monitoring program Coremap – LIPI di Biak dan Kepulauan Padaido. Ucapan yang sama kami sampaikan kepada Dr. Sam Wouthuyzen M.Sc. yang telah membantu dalam analisa data.
2. Keaneka-ragaman ikan kepe-kepe memiliki hubungan erat terhadap kelimpahannya. Kedua parameter ikan ini juga berkorelasi cukup kuat terhadap kondisi terumbu karang (persentasi tutupan karang hidup). 3. Dari tujuh jenis ikan kepe-kepe yang memiliki frekuensi kehadiran lebih besar dari 50%, 5 jenis diantaranya, yakni C. kleini, C. trifasciatus, C. vagabundus, C. rafflessii, dan C. crtinellus) memiliki sebaran merata baik di Pulau Biak (6) dan pulau-pulau di Padaido Atas (7) serta memiliki hubungan yang erat terhadap kondisi karang, sedangkan 2 jenis lainnya, yaitu C. citrinellus dengan sebaran lebih banyak di Pulau Biak dan C. barronssa yang lebih menyebar di pulau-pulau Padaido atas memiliki hubungan yang erat dengan kondisi terumbu karang. 4. Ikan kepe-kepe yang memiliki frekuensi kehadiran sekitar 50%, 3 jenis diantaranya, yaitu C. ornatissimus, C. trifascialis dan Heniochus varius memperlihatkan hubungan yang erat terhadap kondisi terumbu karang, kecuali jenis C. melannotus yang tidak menunjukkan keterkaitan sama sekali terhadap kondisi karang. 5. Dari 28 jenis ikan Kepe-kepe yang tersensus, 10 jenis memperlihatkan keeratan hubungannya dengan terumbu karang, sehingga hipotesa bahwa ikan Kepe-kepe dapat digunakan sebagi sebagai ikan indikator dapat .
DAFTAR PUSTAKA Allen, G.R., R. Steene, & M. Allen, 1998. A guide to Angelfishes and Butterflyfishes. Odysey Publishing, San Diego, CS. Crosby, M.P. & E. Reese, 2005. Relationship of habitat stability and intra-specific population dynamics of an obligate corallivore buterflyfish. Aquatic Conserv. Mar. Freshw. Ecosyst. 15: S13-S25. Dartnal, A.J & M. Jones, 1986. A Manual of survey methods for living resources in coastal area. Asean Australia Cooperative Program in Marine Science Australia Institute of Marine Science. 168 pp. De Vantier, L.M., G.R. Barnes, P.A. Daniel & D.B. Johnson., 1985. Studies in the assessment of coral reef ecosystems. Assessment Protocol, AIMS, Townsville 168 pp. English, S. C., Wilkinson & V. Baker (Eds.), 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Asean – Australia Marine Science Project : Living Coastal Resource, Australian Institute of Marine Science. Townsville, Australia. 368 pp.
155
J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 2 Juni 2011 : 147-156
Khalaf, M. & M.P. Crosby, 2005. Middle east regional science symposium and workshop: Butterflyfish (Family Chaetodontidae) Research and Monitoring. Aquatic Conserv. Mar. Freshw. Ecosyst. 15: S3-S11. Kulbicki, M., Y.M. Bozec, & A. Green, 2005. Implication of biogeography in the use of butterflyfishes (Chaetodontidae) as indicator for Western and Central Pasific Areas. Aquatic Conserv. Mar. Freshw. Ecosyst. 15: S109-S126. Lesike, E & R. Myers. 1995. Coral reef fishes of Indo Pacific and Caribean. Harper collin. Publsh. 400 pp. Kuiter, R.H., 1992. Tropical reef fishes of the Western Pacific Indonesia and Adjacent Waters, Gramedia Jakarta. 314 pp.
156
Kuiter, R.H., 1993. The complete diver’s and fisherman’s guide to coastal fishes of the southeastern australia. Crawford House Publishing, Bathurst, 437 pp. Kuiter, R.H., 1996. Guide to sea fishes of Australia. A comprehensive reference for divers and fisherman. New Holland Ltd., 433 pp. Temraz, T.A & M.M. Abou Zaid., 2005. Distribution of butterflyfishes (Chaetodontidae) along the Egyptian Red Sea and its relation to coral health. Aquatic Conserv. Mar. Freshw. Ecosyst. 15: S59-S70. Wouthuyzen, S., 1995. Status ekosistim wilayah pesisir Pulau Biak dan sekitarnya. Laporan Akhir 1994/1995. Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut Ambon. P2O-LIPI, 138 pp.