PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN BUBU PADA TERUMBU BUATAN BAMBU DAN BAN DI SEKITAR PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU
DINA MAYASARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : ‘Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu pada Terumbu Buatan Bambu dan Ban di Sekitar Pulau Pramuka Kepulauan Seribu” adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2008
Dina Mayasari NRP C451060181
ABSTRACT DINA MAYASARI. Comparison of Catch by Trap between Bamboo and Tire Artificial Reefs around Pramuka Island Kepulauan Seribu. Under supervision of MULYONO S BASKORO and M FEDI A SONDITA. The objectives of the research were to compare fish composition and abundance between tire and bamboo reefs and to compare yields traps. The study was conducted in 4 steps i.e ; survey location, make the design tire and bamboo artificial reefs, construction and maintenance of artificial reefs, determination of physics parameters, collection of perifiton sample, observation fish abundance among artificial reefs, operation by fish traps, fish identification, determination of fishing catch and analyze data using t-test. The result showed that no difference fish composition collected in around artificial reefs. The fish collected consists of 15 family, 19 genus and 27 species with 789 and 402 fishes in tire and bamboo artificial reefs respectively. Dominant species were collected in artificial reefs are Caesio cuning, Scolopsis sp, Siganus sutor and Sargocentron cornutum. Catch of traps between tire and bamboo artificial reefs is significant (thit 3,6 dan ttab 1,7, α 0,05) which artificial reef made of tire more bigger than bamboo. Keywords : tire artificial reef, bamboo artificial reefs, fish traps, Seribu Islands
RINGKASAN DINA MAYASARI. Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu pada Terumbu Buatan Bambu dan Ban di Sekitar Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh MULYONO S BASKORO dan M FEDI A SONDITA. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan komposisi serta jumlah ikan karang yang terkumpul di sekitar terumbu buatan bambu (TB-bambu) dan ban (TB-ban) dan membandingkan hasil tangkapan bubu yang dipasang pada terumbu buatan bambu dan ban. Metode penelitian yang digunakan adalah experimental fishing. Tahap penelitian meliputi pra penelitian, penelitian tahap 1, penelitian tahap 2 dan analisis data. Pra penelitian meliputi survei lokasi dan pembuatan surat ijin penelitian. Penelitian tahap 1 meliputi pembuatan desain terumbu buatan, pemasangan terumbu buatan dan pemeliharaan terumbu buatan. Penelitian tahap 2 meliputi pengukuran parameter fisik, pengambilan sampel perifiton, pengamatan kelimpahan ikan disekitar terumbu buatan, pengoperasian alat tangkap bubu dan identifikasi serta pengukuran hasil tangkapan. Analisis data hasil tangkapan menggunakan ‘uji t’ menyimpulkan tidak ada perbedaan komposisi ikan yang berkumpul diantara kedua jenis terumbu buatan. Jenis ikan yang berkumpul tersebut terdiri dari 15 famili, 19 genus dan 27 spesies dengan jumlah ikan 789 ekor (TB-ban) dan 402 ekor (TBbambu). Jenis ikan yang dominan berkumpul di kedua terumbu adalah Caesio cuning, Scolopsis sp, Siganus sutor dan Sargocentron cornutum. Jumlah ikan yang tertangkap pada kedua jenis terumbu buatan ban dan bambu menggunakan alat tangkap bubu ‘berbeda nyata’ (thit 3,6 dan ttab 1,7, α 0,05), dimana terumbu buatan ban lebih banyak dibandingkan dengan terumbu buatan bambu. Kata kunci : terumbu buatan ban, terumbu buatan bambu, bubu, Kepulauan Seribu
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Mustaruddin, S.Tp
PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN BUBU PADA TERUMBU BUATAN BAMBU DAN BAN DI SEKITAR PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU
DINA MAYASARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
LEMBARAN PENGESAHAN
Judul Tesis
: Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu pada Terumbu Buatan Bambu dan Ban di Sekitar Pulau Pramuka Kepulauan Seribu
Nama Mahasiswa
: Dina Mayasari
Nomor Pokok
: C 451060181
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Ketua
Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc Anggota
Diketahui,
Program Studi Teknologi Kelautan Ketua,
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc
Prof. Dr. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 19 Maret 2008
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT senantiasa penulis panjatkan karena atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nyalah sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Terumbu buatan (artificial reefs) merupakan salah satu dari sekian banyak alternatif yang dapat digunakan untuk mengurangi tekanan penangkapan ikan dan perusakan terumbu karang alami, yaitu melalui penciptaan daerah penangkapan ikan baru yang produktif. Tesis dengan judul “Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu pada Terumbu Buatan Bambu dan Ban di Sekitar Pulau Pramuka Kepulauan Seribu ” bertujuan untuk membandingkan komposisi dan jumlah ikan karang disekitar terumbu buatan serta membandingkan hasil tangkapan bubu yang dipasang di terumbu buatan. Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya kepada Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc dan Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, arahan, saran, nasehat, semangat dan dorongan moral dalam penyusunan tesis ini, serta Dr. Mustaruddin, S.Tp selaku penguji luar komisi atas koreksi, saran dan pertanyaan yang memberikan bobot tersendiri tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Mahmudin (Pak Mai) beserta keluarga, Bapak Sairan, Bapak Nelson, Bapak Loknga, Kapten, keluarga besar Taman Nasional Kepulauan Seribu, Isnaini S.Si, Erma Prihastanti, Anolita Dewi, Mutmainah, rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Teknologi Kelautan 2006, staf pengajar program studi TKL, sekretariat TKL dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu dalam proses penelitian dan penyelesaian tesis ini. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada ayahanda Safrudin M Noor, S.Sos, MM dan Ibunda Tri Rinawati, S.E yang tercinta, serta Fandy Farisa adikku yang kusayangi atas segala dukungan, bantuan, pengorbanan, doa, keikhlasan dan kesabaran yang diberikan secara tulus selama penulis menempuh pendidikan. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, April 2008 Dina Mayasari
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Salatiga Jawa Tengah pada tanggal 20 Januari 1985 dari ayah Safrudin M Noor dan ibu Tri Rinawati. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis di SD Negeri 1 Pabelan pada tahun 1996. Pendidikan menengah pertama diselesaikan di SLTP Negeri 1 Salatiga pada tahun 1999, kemudian lulus dari SMU Negeri 1 Ungaran pada tahun 2002. Pada tahun yang sama melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) penulis diterima sebagai mahasiswa Universitas Diponegoro pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan lulus srata satu pada tahun 2006. Tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan strata dua di Program Studi Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISTILAH Artificial reefs
Terumbu karang buatan yaitu suatu konstruksi buatan dari bahan-bahan atau benda-benda keras seperti ban mobil bekas, fibre glass, bambu dan bahan beton lainnya, yang ditempatkan didasar perairan dan dikhtiarkan menyamai peranan terumbu karang alami dalam berbagai hal, seperti tempat berlidung, berpijah, bernaung dan mencari makan bagi ikan-ikan dan biota laut serta pelindung pantai.
Biomassa
Bobot total seluruh bahan hidup (organik) pada satuan luas atau volume suatu badan air.
Bubu
Alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan, ikan dapat masuk dengan mudah tanpa adanya paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar keluar karena terhalang dengan berbagai cara, yaitu pintu masuknya yang berbentuk corong.
Degradasi
Kerusakan
Densitas
Massa persatuan volume, yang biasanya dihitung dalam gram per sentimeter kubik atau jumlah sel per milliliter.
Distribusi
Pemindahtanganan ikan dan produk akhirnya, termasuk pengangkutan, penyimpanan dan penyerahannya.
Diurnal
Organisme yang aktivitasnya tinggi pada siang hari
Ekosistem
Fungsi bersama komunitas biologi dan lingkungan tidak hidup.
Fishing ground
Daerah penangkapan ikan.
Fouling Organism
Organisme yang menyerang permukaan buatan manusia dalam lingkungan akuatik, seperti jaring, pipa air, kurungan dan lambung kapal dan menimbulkan kerusakan terhadap obyek yang diserang. Contohnya oyster, kepiting, kerang, bryozoans, dan koral.
Habitat
Tempat hidup suatu organisme.
Hidrodinamilk
Ciri-ciri fisik gerakan air.
Ikan karang
Organisme dengan jumlah ikan terbanyak dan merupakan organisme besar yang dapat ditemui di terumbu karang.
Juvenile
Individu muda pada hewan krustacea yang telah mengalami beberapa kali pergantian kulit. Biasanya antara postlarva hingga saat mereka matang kelamin.
Kolonisasi
Suatu proses penempatan atau penghunian suatu daerah atau tempat oleh suatu organisme.
Mitigasi
Upaya pencegahan dan perbaikan kerusakan terumbu karang baik yang dilakukan secara non struktural melalui penyadaran, sosialisasi dan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap manfaat terumbu karang, maupun yang dilakukan secara structural melalui transplantasi atau melalui penanaman terumbu buatan.
Nokturnal
Organisme yang aktifitasnya tinggi pada malam hari.
Perifiton
Mikroflora yang tumbuh menempel pada substrat yang tenggelam. Perifiton, mikroplankton, dan fitoplankton adalah biota utama yang menentukan tingkat produktivitas primer perairan. Kemampuan suatu perairan menumbuhkan organisme
Produktivitas Produktivitas primer
Kecepatan pembentukan jaringan yang diproduksi oleh produser primer (produksi bahan organik dari bahan anorganik oleh organisme fotoautotrof.
Rehabilitasi
Proses perbaikan ekosistem atau populasi yang telah rusak ke kondisi yang tidak rusak, yang mungkin berbeda dari kondisi semula.
Suksesi
Suatu proses pergantian dari suatu atau sekelompok jenis organisme oleh yang lainnya dengan komposisi dan struktur yang berbeda.
Shelter
Tempat berlindung.
Substrat
Tempat menempel biota atau organisme laut.
Thigmotaksis
Tingkah laku ikan atau pergerakan organisme mendekati objek padat
Upwelling
Naiknya massa air di bagian bawah perairan akibat perbedaan suhu sangat mendorong peningkatan produktivitas pertumbuhan terumbu karang.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ......................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
xiv
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..........................................................................
1
1.2 Permasalahan ...........................................................................
3
1.3 Hipotesis ...................................................................................
5
1.4 Tujuan .......................................................................................
5
1.5 Manfaat .....................................................................................
5
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Buatan .......................................................................
7
2.2 Bahan dan Kontruksi Terumbu Buatan .....................................
9
2.3 Penentuan Lokasi ....................................................................
10
2.4 Asosiasi Komunitas Ikan pada Terumbu Buatan ......................
12
2.5 Alat Tangkap Bubu....................................................................
13
2.6 Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan ...................................
14
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................
16
3.2 Alat dan Bahan..........................................................................
16
3.2.1 Kontruksi terumbu buatan...............................................
17
3.2.2 Kontruksi alat tangkap bubu ...........................................
18
3.3 Prosedur Penelitian...................................................................
19
3.4 Analisis Data .............................................................................
21
3.5 Asumsi Penelitian......................................................................
23
4 HASIL PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ............................................
24
4.1.1 Keadaan daerah .............................................................
24
4.1.2 Keadaan perairan ...........................................................
24
4.1.3 Kondisi penangkapan ikan..............................................
25
4.1.4 Kondisi terumbu karang di Pulau Pramuka ....................
29
4.1.5 Alat tangkap bubu...........................................................
34
4.2 Jenis dan Komposisi Hasil Tangkapan .....................................
34
4.3 Kelimpahan Ikan Karang...........................................................
35
4.4 Berat dan Panjang Hasil Tangkapan ........................................
38
4.5 Perifiton .....................................................................................
41
5 PEMBAHASAN 5.1 Uji Coba Alat Tangkap Bubu.....................................................
45
5.2 Pengaruh Parameter Fisik Terhadap Hasil Tangkapan ............
46
5.3 Pengaruh Jenis Material Terumbu Buatan Terhadap Kelimpahan dan Komposisi Hasil Tangkapan ..........................
48
5.4 Pengaruh Perifiton Terhadap Kelimpahan dan Komposisi Hasil Tangkapan.......................................................................
55
6 KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan ...............................................................................
59
6.2 Saran.........................................................................................
59
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
60
LAMPIRAN ...............................................................................................
70
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kajian terhadap penelitian terdahulu ......................................
15
2
Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan di 11 pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2004
26
Jumlah nelayan dan produksi ikan konsumsi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2004...................
27
Parameter fisik lokasi pemasangan terumbu buatan bambu dan ban di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 3 November - 1 Desember 2007 ............................................
33
Komposisi hasil tangkapan ikan menggunakan alat tangkap bubu di terumbu buatan 15 kali ulangan (3 November - 1 Desember 2007) di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu ....................................................................................
35
Kelimpahan ikan karang yang diamati di sekitar terumbu buatan bambu mulai pukul 09.00-17.00 WIB penyelaman selama 45 menit dengan ulangan sebanyak 2 kali di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November -1 Desember 2007) .....................................................................
36
Kelimpahan ikan karang yang diamati di sekitar terumbu buatan ban mulai pukul 09.00-17.00 WIB penyelaman selama 45 menit dengan ulangan sebanyak 2 kali di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November -1 Desember 2007) .....................................................................
37
Komposisi kelimpahan perifiton di terumbu buatan ban dan bambu setelah satu (2) bulan pemasangan (9 September - 3 November 2007) di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu .....................................................................................
41
3 4
5
6
7
8
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Alur pemikiran penelitian ........................................................
6
2
Tahap penelitian .....................................................................
16
3
Terumbu buatan ban bekas ....................................................
17
4
Terumbu buatan bambu .........................................................
18
5
Alat tangkap bubu ...................................................................
19
6
Sketsa lokasi penempatan terumbu buatan ...........................
20
7
Ikan hasil tangkapan bubu pada lokasi pemasangan terumbu buatan ban dan bambu di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November - 1 Desember 2007).............
30-32
Komposisi berat empat (4) jenis famili ikan dominan yang tertangkap menggunakan alat tangkap bubu pada terumbu buatan ban dan bambu di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November - 1 Desember 2007).............
39
Komposisi panjang (total length) empat (4) jenis famili ikan dominan yang tertangkap menggunakan alat tangkap bubu pada terumbu buatan ban dan bambu di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November - 1 Desember 2007).......................................................................................
40
Kelimpahan perifiton di terumbu buatan ban (A) dan terumbu buatan bambu (B) setelah dua (2) bulan pemasangan terumbu buatan pada kedalaman 24 meter (9 September - 3 November 2007) di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu .....................................................................................
42
Jenis perifiton yang ditemukan pada terumbu buatan ban dan bambu setelah dua (2) bulan pemasangan terumbu buatan pada kedalaman 24 meter (9 September - 3 November 2007) di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu .....................................................................................
43
Jaringan makanan pada terumbu buatan dari bahan bambu dan ban mobil bekas di Danau Smith Mountain, modifikasi dari Prince dalam D’Itri (1985) ................................................
57
8
9
10
11
12
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Peta lokasi penelitian ..............................................................
70
2
Peta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu....................
71
3
Uji kenormalan dan homegenitas ...........................................
72
4
Perhitungan uji t hasil tangkapan total ikan di terumbu buatan ban dan bambu ...........................................................
73
Perhitungan uji t hasil tangkapan per ikan konsumsi di terumbu buatan ban dan bambu.............................................
74
Hasil tangkapan menggunakan alat tangkap bubu per hari ulangan di terumbu buatan ban dan bambu ...........................
78
7
Analisis finansial terumbu buatan ban dan bambu .................
83
8
Tabel sebaran t .......................................................................
84
5 6
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas terumbu karang di wilayah perairan Indonesia diperkirakan setidaknya 50 000 km2, atau merupakan seperdelapan terumbu karang yang ada di dunia. Setiap kilometer persegi hamparan terumbu karang yang baik dapat menghasilkan 36 ton ikan per tahun. Indonesia memiliki lebih dari 700 jenis karang. Sayangnya, lebih dari 70% terumbu karang Indonesia sudah rusak. Bila ditinjau dari potensi perikanannya, setidaknya Indonesia mengalami kerugian 2 juta ton ikan per tahun akibat kerusakan terumbu karang (Ikawati et al. 2001; Murdiyanto 2003; Rachmawati 2001). Perairan Kepulauan Seribu adalah sebuah kawasan terumbu karang di utara Jakarta yang telah mengalami degradasi akibat kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di daerah itu. Kegiatan pengeboman, peracunan karang untuk diambil biotanya terutama ikan dan pemungutan karang untuk dijual sebagai hiasan akuarium adalah penyebab utama kerusakan terumbu karang di daerah itu. Disamping itu kegiatan transportasi laut dan pariwisata yang tidak terencana semakin memperparah kondisi gugusan terumbu karang ini. Padahal kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan daerah penyangga bagi pesisir utara Jakarta. Secara tidak langsung keberadaan terumbu karang dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan penghalang dan pemecah ombak yang dapat mengikis daerah pesisir di DKI Jakarta dan Tangerang (Ditjen PHPA 2003). Sehubungan dengan permasalahan yang ada serta upaya untuk mencari alternatif lain guna meningkatkan eksploitasi sumber daya tanpa menimbulkan tekanan terhadap sumber daya itu sendiri dan meningkatkan produktivitas lingkungan serta taraf hidup nelayan, maka telah dicoba suatu paket teknologi sederhana yang dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya dan lingkungan. Paket teknologi sederhana tersebut adalah pembuatan unit-unit terumbu buatan (artificial reefs) di sekitar perairan pantai. Terumbu buatan atau artificial reefs merupakan salah satu dari sekian banyak alternatif yang dapat digunakan untuk mengurangi tekanan penangkapan ikan dan perusakan terumbu karang alami, yaitu melalui penciptaan daerah penangkapan ikan baru yang produktif. Dengan demikian, terumbu karang alami yang telah mengalami degradasi diharapkan secara berangsur-angsur dapat pulih kembali. Terumbu buatan telah digunakan dalam berbagai tujuan (Rilov dan Benayahu 2002), tetapi
1
2
sebagian besar untuk meningkatkan potensi fishing ground (Bohnsack et al. 1991; Bombace et al. 1994), sementara manfaat lainnya adalah sebagai alat mitigasi kerusakan lingkungan (Seaman dan Sprague 1991). Berbagai
laporan
menyebutkan
bahwa
terumbu
buatan
dapat
meningkatkan produksi perikanan dan pendapatan nelayan (Ruskin 1988; Montemayor 1991; Sinanuwong 1991; Hung 1991; Polovina 1991a; Munro dan Balgos 1995; Yip 1998). Biomassa di terumbu buatan umumnya tujuh kali lebih besar daripada biomassa di habitat alami (Stone et al. 1979). Pickering dan Whitemarsh (1997) melaporkan bahwa terdapat sejumlah fakta empiris tentang pengaruh biologis pada terumbu buatan, dan beberapa diantaranya mendukung hipotesis bahwa terumbu buatan dalam kondisi spesifik mampu meningkatkan produksi. Ambrose dan Swarbrick (1989) melaporkan bahwa densitas ikan di terumbu buatan lebih tinggi daripada habitat alami dan daerah sekitarnya. Santos dan Monteiro (1997) yang melakukan penelitian di Ria Formosa Portugis juga melaporkan bahwa keragaman species dan jumlah ikan yang tertangkap dengan gillnet pada habitat buatan lebih tinggi dibandingkan di habitat alami. Menurut
Bohnsack
et
al.
(1991),
interaksi
dari
beragam
tujuan
pengelolaan, perbedaan material yang digunakan dan lokasi penempatannya serta bagaimana pengaruhnya terhadap ekologi terumbu buatan sangat minim diketahui. Untuk memaksimumkan hasil terumbu buatan perlu dirancang bentuk dan material terumbu buatan yang sesuai dengan target yang ingin dicapai. Berbagai bahan digunakan untuk membuat terumbu buatan, seperti kendaraan bekas (becak, mobil), kapal-kapal bekas, besi tua, bongkaran bangunan, ban bekas, rumpon bambu yang diberi pemberat maupun struktur yang dibuat secara khusus seperti reef ball, hallow box, piramida beton dan sebagainya, untuk kemudian ditenggelamkan ke dasar laut (Wong 1991; Seaman 2000; Ikawati et al. 2001; Rachmawati 2001; Dirjen KP3K 2005). Bentuk terumbu mengacu pada struktur tiga dimensi dan profil atau relief terumbu. Beberapa studi menunjukkan bahwa ukuran terumbu secara nyata mempengaruhi biomassa, jumlah total dan jumlah individu species (Bohnsack et al. 1994). Ukuran terumbu buatan juga penting dalam hubungan dengan kemungkinan menarik species ikan yang berbeda-beda (Bombace et al. 1995). Ukuran, terutama tinggi terumbu, dapat bertindak sebagai suatu visual pilihan spasial (Anderson et al. 1989) yang pengaruhnya nyata terhadap kedalaman air. Distribusi vertikal sebagian besar ikan-ikan dasar berada pada kisaran 3 m dari
3
dasar laut (Grove dan Sunu 1985), sehingga tinggi terumbu yang lebih tinggi tidak efektif untuk species tersebut. Tinggi terumbu yang kurang dari 1 m adalah efektif untuk ikan karang bentik (Patton et al. 1985). Struktur terumbu yang kompleks dengan adanya celah-celah yang beragam, secara nyata dapat mendukung komposisi species dan produktivitas biologi di daerah terumbu (Chandler et al. 1985; Anderson et al. 1989). Sebaliknya beberapa species tertentu, memilih struktur yang kurang kompleks (Sale dan Douglas 1984). Desain rongga di dalam dan keseluruhan desain terumbu bergantung pada target species dan atribut biologisnya (Beets dan Hixon 1994). Dean (1983) menyatakan bahwa, ikan tidak akan bertualang dalam kegelapan pada bagian tertutup dengan hanya satu jalan keluar, tetapi memilih obyek dengan banyak pembukaannya (celah) untuk memberikan cahaya dan aliran air yang bebas. Untuk ikan kecil yang membutuhkan tempat istirahat, penempatan unit terumbu harus berada pada sudut tepat terhadap arah arus, sehingga memberikan shelter yang memadai. 1.2 Permasalahan Desain terumbu buatan sangatlah bervariasi, baik menggunakan material tunggal maupun kombinasi, atau struktur blok yang sederhana sampai matriks kompleks dan bentuk campuran (Meier dan Eskridge 1994). Sifat dasar dari material yang digunakan untuk terumbu buatan harus memenuhi syarat-syarat antara lain tahan lama, tidak mengeluarkan bahan kimia beracun di air, murah dan mudah diperoleh serta mudah ditangani dan diangkut ke tempat tujuan. Terumbu buatan yang terdiri atas bambu dan ban bekas merupakan ekosistem yang menyerupai terumbu karang yang dapat mengundang biota lain untuk tinggal dan menyediakan substrat sebagai tempat organisme menempel serta diharapkan dengan semakin banyaknya biota lain yang tertarik datang ke terumbu karang buatan ini maka produktivitas dapat ditingkatkan (Delemendo 1991; Montemayor 1991; Silalahi 2001). Material yang digunakan dalam kontruksi terumbu buatan umumnya dapat mempengaruhi komunitas atau assemblages dari fouling organism (Woodheads dan Jacobson 1985). Ban bekas merupakan material terumbu yang digunakan secara berhasil di berbagai tempat di dunia seperti Australia (Branden et al. 1994), Malaysia (Hung 1991), Philippines (Montemayor 1991), Thailand (Sinanuwong 1991), dimana ban bekas dianggap non-toxic, tahan lama dan mudah diperoleh. Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa tekstur permukaan yang kasar dapat meningkatkan hunian
4
bentik dan mempengaruhi komposisi ikan (Hixon dan Brostoff 1985; Chandler et al. 1985). Pertimbangan menggunakan material dari bambu dan ban bekas mudah diperoleh; mudah dipasang dalam air; ekonomis, biaya yang dibutuhkan untuk setiap unit terumbu buatan dapat ditekan tanpa mengurangi perannya (murah dan efektif); mudah dalam penanganan dan pengangkutan; memiliki celah yang dapat dipergunakan sebagai tempat berlindung (Delemendo 1991; Montemayor 1991; Rachmawati 2001). Modul ban bekas dipilih karena harganya yang murah dan tahan lama selain itu ban bekas yang selama ini ditakuti mengandung racun bagi lingkungan sekitar ternyata tidak terurai dalam air laut maupun mengeluarkan racun kimiawi. Sebaliknya tidak disarankan penggunaan mobil bekas atau kendaraan lain yang mengandung logam karena logam tersebut akan tereduksi oleh karat dan korosi dalam 4-6 tahun. Modul bambu merupakan bahan organik yang mudah dan murah diperoleh terutama bagi masyarakat nelayan serta cepat mengalami suksesi, sehingga bambu dapat dijadikan pembanding bahan terumbu buatan ban (Wong 1991; Yip 1998). Pembuatan terumbu buatan dengan model limas sama sisi dipilih karena hasil dari model terumbu buatan ini yaitu membentuk lubang atau celah yang cukup banyak. Sebagaimana pendapat Haris dan Rani (1992) bahwa prinsip dasar pembuatan terumbu buatan adalah terbentuknya celah-celah atau lubang tempat perlindungan ikan dan biota-biota laut lainnya. Kemudian pertimbangan lain adalah faktor kestabilan desain dan kontruksinya yang cukup baik dan ekonomis sehingga lebih memudahkan dalam penempatannya di dasar perairan atau lokasi yang diinginkan. Menurut Bortone et al. (2000) beberapa species grouper memilih untuk bersembunyi di dalam celah-celah, dimana ukuran celah tersebut membatasi ukuran ikan yang dapat menetap dalam asosiasi dengan terumbu. Celah-celah atau rongga terumbu dalam berbagai bentuk dengan relief berbeda menarik species tertentu. Alat tangkap yang digunakan untuk membandingkan hasil tangkapan dan komposisi dari kedua terumbu karang buatan adalah bubu dasar. Bubu dikatakan merusak atau tidak tergantung dari cara pengoperasiannya. Alasan pemilihan bubu sebagai alat menangkap ikan karang karena memiliki beberapa keuntungan antara lain : (1) pembuatan alat murah dan mudah; (2) pengoperasiannya mudah; (3) kesegaran hasil tangkapan baik; dan (4) daya tahan tinggi dan dapat
5
dioperasikan di tempat-tempat dimana alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan (Monintja dan Martasuganda 1991; Martasuganda 2005). Berdasarkan hal tersebut diatas maka diperlukan suatu informasi tentang sejauh mana pengaruh bahan terumbu buatan pada hasil tangkapan dengan menggunakan bubu. 1.3 Hipotesis Sebagai hipotesis pada penelitian ini adalah material terumbu buatan yang berbeda berpengaruh terhadap hasil dan komposisi tangkapan. 1.4 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : (1)
Membandingkan komposisi serta jumlah ikan karang yang terkumpul di sekitar terumbu buatan bambu dan ban.
(2)
Membandingkan hasil tangkapan bubu yang dipasang pada terumbu buatan bambu dan ban.
1.5 Manfaat Hasil penelitian diharapkan dapat berguna sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam pemilihan material terumbu buatan yang efektif dan efisien dalam mengumpulkan ikan.
6
Kerusakan terumbu karang di pulau Pramuka sebagai akibat dari kegiatan penangkapan ikan - pengeboman - peracunan karang - penggunaan potassium - kegiatan transportasi laut dan pariwisata
Paket teknologi sederhana adalah pembuatan unit-unit terumbu buatan (artificial reef) di sekitar pantai untuk mengurangi tekanan penangkapan ikan dan perusakan terumbu alami melalui penciptaan daerah penangkapan ikan baru yang produktif
Permasalahan Material apa yang ekonomis tapi tidak mengurangi peranannya dan memenuhi sifat dasar material yang digunakan untuk terumbu buatan serta dapat berfungsi untuk mengumpulkan ikan?
Pemecahan Masalah Penggunaan ban bekas dan bambu dan percobaan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bubu disertai pengamatan ikan karang di sekitar terumbu buatan
Hipotesis Material terumbu buatan yang berbeda berpengaruh terhadap hasil dan komposisi tangkapan
Gambar 1 Alur pemikiran penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Buatan Terumbu buatan adalah habitat buatan yang dibangun di laut dan diletakkan di dasar perairan yang tidak produktif dengan meniru beberapa karakteristik terumbu alami dengan maksud memperbaiki ekosistem yang rusak, sehingga dapat memikat jenis-jenis organisme laut untuk hidup dan menetap serta meningkatkan produksi perikanan, biasanya terbuat dari timbunan bahanbahan yang sifatnya berbeda satu sama lain seperti ban bekas, cetakan semen atau beton, bangkai kerangka kapal, badan mobil bekas, bambu dan sebagainya (Mottet 1981; Pickering et al. 1998; Yip 1998; Baine 2001; Dirjen KP3K 2005). Perkembangan terumbu buatan dimulai dari Jepang pada abad XVIII (Wasilun dan Murniyati 1997; Yip 1998). Pada awalnya nelayan Jepang melakukan penangkapan ikan di sekitar kapal tenggelam dan ternyata hasil tangkapannya lebih tinggi dibandingkan di tempat lain. Mereka mencoba membuat kerangka kayu yang diberi beban karung pasir, ditenggelamkan pada kedalaman sekitar 36 m dan ternyata hasil tangkapannya tinggi. Di Malaysia perkembangan terumbu buatan dimulai sejak tahun 1976 dan dalam kurun waktu 12 tahun (1976-1988) telah mengeluarkan dana sekitar 8,88 juta Ringgit (Wasilun dan Murniyati 1997). Thailand mengembangkannya sejak tahun 1978 sampai 1991, pemerintah menyediakan dana sebesar 200 juta Baht. Di Indonesia melalui Ditjen Perikanan telah mengembangkan terumbu buatan sejak tahun anggaran 1990/1991 di beberapa propinsi. Pembuatan terumbu buatan didasari oleh teori yang mengatakan bahwa jenis-jenis ikan tertentu mempunyai kecenderungan untuk mendekati atau menyukai benda-benda keras, untuk berkumpul satu sama lainnya, mencari perlindungan serta untuk memperoleh makanan (Sukarno 1988; White et al. 1990). Terumbu buatan sebaiknya diletakkan di dasar laut yang mendatar berdasar pasir atau lumpur yang miskin akan jenis-jenis ikan buruan yang bersifat menetap sementara di habitat keras atau di daerah tanaman alga yang lebat, dan pada kedalaman tidak lebih dari 20 meter, sehingga diharapkan dengan diletakkannya terumbu buatan ini akan mendatangkan ikan-ikan buruan tersebut (D’Itri 1985; Sukarno 1988; Ikawati et al. 2001; Rachmawati 2001). Beberapa ikan tertarik pada terumbu buatan selama siklus hidupnya dan yang lainnya hanya sebagian dari siklus hidupnya. Fungsi utama terumbu buatan
7
8
(D’Itri 1985; Hutomo 1991; Montemayor 1991; Dirjen KP3K 2005) adalah sebagai berikut : (1) Naungan terhadap arus yang kuat dan tempat berlindung terhadap pemangsaan. (2) Mengubah pola arus dan gelombang. (3) Substrat untuk menempel biota. (4) Meningkatkan kompleksitas habitat dengan menyediakan ruang vertikal tertentu. (5) Sumber makanan dalam bentuk alga dan organisme penempel atau menjalar lainnya maupun ikan-ikan kecil dan invertebrata yang biasa hidup bersamanya. (6) Sebagai titik orientasi bagi beberapa organisme pelagis. (7) Restorasi atau rehabilitasi fungsi-fungsi penting terumbu karang alami yang rusak, yang ada di sekitarnya. (8) Untuk menarik dan mengumpulkan organisme (ikan dan bukan ikan) sehingga upaya penangkapannya lebih mudah dan efisien. (9) Melindungi daerah penangkapan tradisional dari beroperasinya kapal pukat (trawl). (10) Membuka peluang baru bagi usaha pariwisata bahari dalam bentuk kegiatan penyelaman, snorkeling, pemancingan dan sebagainya. (11) Untuk melindungi organisme kecil, anak ikan (juvenile) dan ikan muda terhadap pemanenan dan penangkapan dini. (12) Untuk melindungi daerah asuhan terhadap cara-cara pemanfaatan dan penangkapan yang bersifat merusak. (13) Mengurangi laju erosi pantai dalam jangka panjang. (14) Dalam jangka panjang, meningkatkan produktivitas alami melalui suplai habitat baru bagi ikan dan organisme yang menempel secara permanen atau organisme kecil serta menyediakan substrat bagi pertumbuhan karang baru dan berbagai jenis biota yang akan merupakan sumber makanan bagi ikan. Terumbu buatan memiliki ciri khas, yaitu peningkatan biomassa ikan berasal dari species yang benar-benar menghabiskan sebagian besar siklus hidupnya dalam zona terumbu buatan. Hal ini berbeda dengan rumpon atau Fish Aggregation Device (FAD) yang memperoleh peningkatan produksi dari menarik perhatian ikan-ikan dewasa yang bermigrasi melewati daerah FAD untuk dipanen (Mottet 1981).
9
2.2 Bahan dan Kontruksi Terumbu Buatan Berbagai jenis bahan yang digunakan untuk pembuatan kontruksi terumbu buatan antara lain ban mobil bekas digunakan di beberapa negara seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Philipina dan Indonesia. Kendaraan bekas digunakan di Kepulauan Seribu. Beton dikembangkan di Thailand, Singapura, Brunai, Indonesia dan Malaysia. Kapal rusak dikembangkan di Jepang dan di Indonesia khususnya di Bali (Delemendo 1991; Montemayor 1991; Wasilun dan Murniyati 1997; Yip 1998). Di Asia Tenggara, bahan-bahan yang umum digunakan untuk terumbu buatan adalah ban bekas, bambu, kapal bekas, beton dan kadangkala kendaraan bekas (White et al. 1990). Delemendo (1991) dalam Reppie (2006) mengatakan bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk membangun terumbu buatan terdiri dari concrete cylindrical, culvert cement pipes, concrete rings dan rubber wood. Selanjutnya menurut Soedharma (1995) terumbu buatan bisa dibuat dari karang-karang bebas (mobil, kapal, ban bekas dan bahan-bahan buatan lainnya) diletakkan di dasar laut secara mendatar pada dasar perairan berpasir halus atau lumpur dengan tujuan untuk merubah habitat yang miskin menjadi habitat yang kaya akan ikan serta biota lainnya. Banyak
penelitian
telah
dilakukan
untuk
melihat
seberapa
jauh
keberadaan terumbu buatan ini meningkatkan produksi perikanan di suatu tempat. Stone et al. (1979) dalam Wong (1991) memperkirakan hasil biomassa sebuah terumbu ban di Florida sebesar 68 ton/km2 sementara Wong (1991) memperkirakan besarnya produksi terumbu ban di Selandia Baru sebesar 68,5 ton/km2. Perkiraan hasil terumbu buatan di Jepang mencapai 16-20 kg/m3 per tahun. Di Thailand, bahan-bahan untuk terumbu buatan dalam percobaan di Rayong menggunakan tiga tipe yaitu ban bekas, konkrit dan batu. Hasil studi memperlihatkan adanya peningkatan species komposisi ikan dan ditemukan bahwa penggunaan ban bekas dan konkrit sangat tepat dibanding batu karena kontruksi batu sering menyebar di sana-sini sehingga ikan-ikan yang masuk lebih sedikit (Sinanuwong 1991). Razak dan Pauzi (1991) menyatakan bahwa ban tidak terdegradasi di laut dan tidak beracun. Ban sangat baik bagi substrat penempel habitat baru ikan dan kehidupan biota laut lainnya. Pemilihan bahan dan kontruksi terumbu buatan memilki kriteria jumlah materi yang dicapai dan luasan dasar yang ditempati,
10
relief vertikal, kompleksitas terumbu (bentuk, susunan spatial, jumlah lubang persembunyian dan ruang antara tekstur serta komposisi materi terumbu (Hutomo 1991). Desain modul terumbu buatan yang paling cocok untuk tipe dasar seharusnya memiliki tinggi modul 1-2 meter (Sinanuwong 1991). Untuk memaksimumkan hasil terumbu buatan perlu dirancang bentuk dan bahan terumbu buatan yang sesuai dengan target yang ingin dicapai. Dalam menentukan kontruksi terumbu buatan yang perlu diperhatikan (Seaman dan Sprague 1991; Wong 1991; Seaman 2000) yaitu: (1) Bahan tidak beracun di dalam air, tahan lama, mudah diperoleh, mudah ditangani dan mudah diangkut; (2) Memperhatikan skala dimensi yang efisien; (3) Memperhatikan kestabilan hidrodinamik; (4) Bersifat fungsional artinya bahan-bahan terumbu buatan ini mampu mengumpulkan ikan; (5) Bahan yang digunakan harus memiliki celah untuk tempat berlindung serta permukaan. Dari penjelasan mengenai penentuan kontruksi terumbu buatan maka bahan-bahan yang selama ini telah digunakan kebanyakan berupa ban, beton dan pipa PVC. Candle (1985) menyatakan bahwa sekitar 220 juta ban bekas terbuang percuma tiap tahunnya dan menjadi salah satu masalah sampah utama. Perwakilan pabrik Goodyear ini mendukung penggunaan ban bekas sebagai bahan terumbu buatan karena murahnya biaya dan masalah sampah akan berkurang. Riset yang dilakukan oleh perusahaannya maupun badan– badan lain juga membuktikan bahwa bahan ban tidak beracun bagi lingkungan perairan dan daya tahannya pun lama. 2.3 Penentuan Lokasi Terumbu buatan ditempatkan pada habitat yang mengalami penurunan dan area yang memiliki produktivitas rendah (White et al. 1990; Yahmantoro dan Budiyanto 1991). Menurut Hung (1991) bahwa penempatan terumbu buatan seharusnya cukup dalam sehingga tidak mempengaruhi hempasan gelombang dan badai. Kedalaman yang dianjurkan 15-35 m. Beberapa kriteria dalam peletakan terumbu buatan : (1) Lokasi dekat dengan pemukiman nelayan (Hutomo 1991); (2) Terpisah dari terumbu karang alami (Yahmantoro dan Budiyanto 1991);
11
(3) Perairan cukup jernih (Hung 1991; Razak dan Pauzi 1991; Sinanuwong 1991); (4) Kedalaman berdasarkan jarak dari pesisir perairan dan kemampuan penyelam melakukan pengamatan pada kedalaman yang bersangkutan (Yahmantoro dan Budiyanto 1991); (5) Kondisi perairan memenuhi persyaratan hidup terumbu karang (sirkulasi, salinitas, kecerahan, sedimentasi dan kedalaman) (Razak dan Pauzi 1991); (6) Lokasi jauh dari area penangkapan ikan terutama trawl (Razak dan Pauzi 1991; Sinanuwong 1991); (7) Keadaan substrat cukup keras dan berbentuk flat (rata) untuk mencegah terumbu buatan tertanam ke dasar (Hung 1991; Sinanuwong 1991; Razak dan Pauzi 1991); (8) Orientasi (letak) dalam hubungan dengan pola migrasi ikan dan arus (Hutomo 1991; Hagino 1991); (9) Tidak membahayakan navigasi (Hung 1991; Razak dan Pauzi 1991). Di Thailand, pemilihan tempat instalasi terumbu buatan tidak begitu jauh dari desa nelayan. Umumnya 3 km dari desa dan dipertimbangkan tidak membahayakan alur pelayaran pantai. Hal ini dikarenakan ikan-ikan predator lebih menyukai hidup di daerah perairan yang intensitas cahaya matahari tinggi dan termasuk perairan jernih. Kedalaman rata-rata sekitar 15 m dengan jarak ke pantai 5 km (Sinanuwong 1991). Menurut Razak dan Pauzi (1991) bahwa peletakan terumbu buatan mayoritas dekat dengan daratan dan jarak berkisar 200-500 m dari garis pantai. Untuk memperoleh hasil maksimal terdapat kecenderungan untuk menempatkan terumbu buatan pada daerah yang dalam. Namun hal ini menimbulkan kesulitan dalam pengambilan hasil oleh nelayan kecil. Karena itu terumbu buatan biasanya ditempatkan pada kedalaman dan jarak dari pantai yang berbeda-beda. Makin dangkal perairan maka makin mudah kegiatan eksploitasi, namun yang diperoleh biasanya ikan-ikan kecil. Sebaliknya, perairan yang makin dalam akan menarik ikan-ikan yang lebih besar walaupun sulit diperoleh. Matthews (1985) menyatakan bahwa kedalaman 20-60 m sangat cocok untuk menempatkan terumbu buatan, karena pada kedalaman tersebut sangat disukai ikan dari kelompok ikan predator dalam jumlah besar. Akan tetapi kedalaman tersebut sangat sulit bagi penyelam melakukan pengamatan.
12
Keberadaan terumbu buatan di laut akan bertindak sebagai benda penghalang lintasan arus, dengan membuat orientasi posisi secara benar maka terumbu buatan akan efektif menahan arus yang dapat menimbulkan olakan dan arus bayangan di belakang terumbu, kondisi ini akan menyediakan tempat berlindung ikan dari arus yang terlalu kuat baginya, dan keberadaan terumbu itu juga dapat menahan lintasan ikan yang umumnya bergerak bersama arus, serta terakumulasinya organisme planktonik dalam arus bayangan (Matthews 1985). 2.4 Asosiasi Komunitas Ikan pada Terumbu Buatan Hasil biomassa ikan dalam ekosistem terumbu buatan berasal dari ikanikan yang benar-benar menghabiskan sebagian besar daur hidupnya dalam zona terumbu buatan. Hal ini berbeda dengan rumpon yang menarik ikan-ikan migrator dari areal lain (Mottet 1985). Berkaitan dengan fungsi terumbu buatan sebagai tempat hidup ikan karang maka terdapat tiga kategori besar ikan-ikan yang datang ke terumbu buatan (Mottet 1985; Rachmawati 2001) yaitu : (1) Ikan migratory permukaan dan kolom air (migratory surface and mid waterfish); (2) Ikan migratory dasar perairan (migratory bottom fish); (3) Ikan-ikan menetap (resident) atau seluruh hidupnya berhubungan dengan terumbu buatan. Berdasarkan distribusi spasial vertikal, kelompok ikan dibedakan atas kelompok ikan bagian atas dan bagian bawah sedangkan berdasarkan distribusi spasial horizontal terdiri dari ikan ruaya dan ikan menetap. Berdasarkan posisi terhadap terumbu buatan dapat dibagi menjadi kelompok yang hidup ’jauh’ dari terumbu, ’dekat’ dengan terumbu dan di ’dalam’ terumbu (Grove dan Sonu 1985; Ikawati et al. 2001; Rachmawati 2001). Beberapa jenis ikan yang terdapat di daerah terumbu karang dapat juga berada di sekitar terumbu buatan (Morton 1990 dalam Tarigan 1995). Ikan-ikan yang dijumpai di terumbu buatan adalah snappers (Lutjanidae), groupers (Serranidae), fussiliers (Caesionidae), sweetlips (Haemulidae), rabbitfish (Siganidae), parrotfish (Scaridae), jacks (Carangidae) dan damselfishes (Pomacentridae) (Razak dan Pauzi 1991; Hutomo 1991; Hung 1991). Lebih lanjut Hung (1991) menambahkan bahwa groupers, jacks dan snappers banyak ditemukan di jenis modul ban berdasarkan pengamatannya di Malaysia. Pada
13
terumbu
buatan
yang
berukuran
kecil
ditemukan
kurang
lebih
30-40
groupers/individu (Hung 1991; Razak dan Pauzi 1991). Adrim (1997) membagi 3 kategori ikan yang paling sering dijumpai di terumbu karang yaitu : (1) Ikan target yang sering dimanfaatkan oleh nelayan meliputi Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Haemulidae dan sebagainya. (2) Species indikator, yaitu jenis kepe-kepe (Chaetodontidae) melimpahnya species ini menunjukkan kesuburan suatu perairan terumbu karang alami. (3) Major thropic categories yang belum diketahui peranannya kecuali dalam rantai makanan dan umumnya berukuran kecil serta memiliki kelimpahan dominan, meliputi Scaridae, Siganidae, Labridae, Mullidae dan Apogontidae. 2.5 Alat Tangkap Bubu Bubu adalah alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan, ikan dapat masuk dengan mudah tanpa adanya paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar keluar karena terhalang dengan berbagai cara, yaitu pintu masuknya yang berbentuk corong (Brandt 1984). Perangkap memiliki sifat pasif, dibuat dari anyaman bambu, anyaman rotan, anyaman kawat, kere bambu, misalnya bubu, sero, cager yang dibuat dari anyaman bambu (Subani dan Barus 1989). Secara garis besar bubu terdiri dari bagian-bagian yaitu badan (body) dan mulut (funnel). Badan berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu (funnel) berbentuk seperti corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar (Subani dan Barus 1989). Menurut Rounsefelt dan Everhart (1962), bubu merupakan alat tangkap yang sangat efektif untuk menangkap organisme yang bergerak lambat di dasar perairan, baik di laut maupun danau. Bubu banyak digunakan oleh nelayan tradisional untuk menangkap udang, ikan demersal, ikan karang dan ikan hias. Bubu digunakan sebagai alat untuk menangkap ikan-ikan karang karena mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya adalah : (1) Pembuatan alat mudah dan murah; (2) Pengoperasiannya mudah; (3) Kesegaran hasil tangkapan baik; (4) Daya tahan tinggi dan dapat dioperasikan di tempat-tempat dimana alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan (Tirtana 2003).
14
Monintja dan Martasuganda (1990) dalam Nasution (2001) menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan ikan dasar, ikan karang dan udang terperangkap pada bubu, yaitu : (1) Tertarik umpan; (2) Digunakan sebagai tempat berlindung; (3) Karena sifat thigmotaksis ikan itu sendiri; dan (4) Digunakan sebagai tempat beristirahat sewaktu ikan bermigrasi. 2.6 Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan Penelitian mengenai terumbu buatan belum banyak dilakukan dan masih cenderung parsial. Beberapa studi mengenai terumbu buatan dilakukan oleh Yuspardianto (1998), Risamasu (2000), Alfian (2005) dan Reppie (2006) (Tabel 1).
Tabel 1 Kajian terhadap penelitian terdahulu No Kajian Yuspardianto (1998)
Risamasu (2000)
Alfian (2006) Terumbu Karang Buatan sebagai Alternatif Perbandingan Material Terumbu Karang Buatan Daerah Penangkapan Ikan Mengidentifikasi Membandingkan 3 distribusi dan struktur material TKB (Beton, komunitas Kayu dan Bambu) berdasarkan species, Mengetahui pengaruh kelimpahan, material TKB keanekaragaman, terhadap kelimpahan keseragaman dan ikan karang dan dominansi ikan perifiton karang pada TKB dan Mendeskripsikan TKA bentuk struktur Mengkaji kemungkinan komunitas ikan TKB sebagai alternatif karang dan perifiton di DPI dengan TKB menggunakan fish pot
Aspek yang dikaji
Efektifitas Terumbu Karang Buatan (TKB)
2
Tujuan
Mengetahui dan membandingkan komposisi ikan karang di sekitar TKB dan terumbu karang alami (TKA) Membandingkan hasil tangkapan bubu antara TKB dan TKA
3
Bahan TKB
Ban
Beton, Kayu dan Bambu bentuk persegi empat
Beton bentuk trapesium
Kesimpulan
TKB yang digunakan efektif sebagai pengumpul ikan dan dapat digunakan untuk memperbaiki habitat alami yang rusak
Material atau bahan TKB yang cocok digunakan sebagai alat pengumpul ikan adalah kayu, beton daripada bambu
Hasil tangkapan menggunakan bubu relatif stabil dan tertangkapnya ikan ekonomis menunjukkan TKB layak dijadikan daerah penangkapan ikan alternatif
1
4
Reppie (2006) Desain, Kontruksi dan Kinerja Terumbu Buatan
Memperoleh desain terumbu buatan yang efektif sebagai habitat nursery ground ikanikan karang
Beton bentuk kubus, trapesium dan kombinasi Desain dasar TKB yang memadai sebagai habitat nursery ground adalah material beton dalam bentuk kubus, segitiga, trapesium dan bentuk kombinasi yang disusun piramid 15
7
7
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian mengambil tempat di pulau Pramuka Kepulauan Seribu, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Peta Lokasi Lampiran 1). Penelitian dilakukan 6 (enam) bulan, yaitu mulai dari Juli 2007 sampai Desember 2007. Kegiatan penelitian meliputi : (1) Survei terhadap lokasi penelitian untuk merancang percobaan penelitian pada bulan Juli 2007. (2) Pemasangan terumbu buatan ban dan bambu dilaksanakan di perairan pulau Pramuka Kepulauan Seribu pada bulan September 2007. (3) Percobaan
penangkapan
dengan
menggunakan
alat
tangkap
bubu
dilaksanakan setelah 2 bulan masa pemasangan terumbu buatan. Adapun tahap penelitian ditunjukkan pada Gambar 2. PRA PENELITIAN : - survei lokasi - pembuatan surat ijin penelitian
PENELITIAN TAHAP 1: - pembuatan desain terumbu buatan - pemasangan terumbu buatan - pemeliharaan terumbu buatan PENELITIAN TAHAP 2: - pengukuran parameter fisik - pengambilan sampel perifiton - pengamatan kelimpahan ikan di sekitar terumbu buatan - pengoperasian alat tangkap bubu - identifikasi dan pengukuran hasil tangkapan
ANALISIS DATA
Gambar 2 Tahap penelitian 3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada saat pengumpulan data di lapangan terdiri dari ban bekas, bambu, tali ijuk, perahu, perlengkapan selam, penggaris, papan tulis kedap air, pensil 4B, buku identifikasi ikan dan perifiton,, alat tulis, botol film, underwater camera, timbangan, Global Positioning System (GPS), currentmeter, handrefractometer, decom, kantong plastik, formalin 4%, mikroskop, pisau, gergaji dan paku.
16
17
3.2.1 Kontruksi terumbu buatan Terumbu buatan yang digunakan terdiri dari dua jenis material, yaitu terumbu buatan bambu dan ban. Ban-ban bekas dan bambu tersebut kemudian dirakit model limas dengan bantuan tali polyethylene sebagai pengikat. Pembuatan terumbu buatan dengan model limas sama sisi dipilih karena hasil dari model terumbu buatan ini yaitu membentuk lubang atau celah yang cukup banyak. Sebagaimana pendapat Haris dan Rani (1992) bahwa prinsip dasar pembuatan terumbu buatan adalah terbentuknya celah-celah atau lubang tempat perlindungan ikan dan biota-biota laut lainnya. Kemudian pertimbangan lain adalah faktor kestabilan desain dan kontruksinya yang cukup baik dan ekonomis sehingga lebih memudahkan dalam penempatannya di dasar perairan atau lokasi yang diinginkan. Desain terumbu buatan model tersebut diuraikan sebagai berikut : (1) Terumbu buatan material ban bekas model limas (Gambar 3) ini dimulai dengan mengikat dua buah ban dan disusun menjadi bentuk segitiga dibagian alasnya. Kemudian untuk tingginya 3 buah ban dirangkai menjadi 1 dengan cara diikat menggunakan tali dan digabungkan dengan bagian alasnya dan 1 buah ban dibagian puncaknya. Jumlah ban keseluruhan 10 buah ban. Ukuran setiap sisi limas 150 cm.
Gambar 3 Terumbu buatan ban bekas
18
(2) Terumbu buatan material bambu model limas (Gambar 4) ini menggunakan bambu dengan panjang 150 cm 6 buah dengan diameter 9-10 cm. Selanjutnya potongan bambu dirangkai sedemikian rupa dengan bantuan tali polyethylene sebagai pengikat hingga terbentuk sebuah model limas.
Gambar 4 Terumbu buatan bambu 3.2.2 Kontruksi alat tangkap bubu Bubu dasar (Gambar 5) ini berbentuk empat persegi panjang, dengan panjang 120 cm, lebar 90 cm, tinggi 45 cm, mesh size 2,5 cm. Bahan rangka bubu terbuat dari bambu dan badan bubu terbuat dari kawat kemudian diikat dengan tali serta dibungkus dengan jaring yang dimaksudkan agar ikan-ikan kecil tidak masuk ke dalam bubu memakan umpan. Pemberat bubu digunakan batu yang diikatkan dikedua ujung bubu untuk menenggelamkan alat tangkap tersebut. Penelitian tentang hasil tangkapan bubu dilakukan dengan metode pengambilan sampel hasil tangkapan (Suryabrata 1983), yaitu dengan mengoperasikan bubu pada dua tempat yang berbeda yaitu di terumbu buatan ban dan terumbu buatan bambu dianggap sebagai perlakuan. Kondisi perairan, jarak antar bubu, jarak antara bubu dengan terumbu buatan ban dan bambu, kedalaman pemasangan bubu, komposisi dan kepadatan perifiton yang tumbuh dan menempel pada terumbu buatan, serta kondisi oseanografi lainnya dianggap tetap berpengaruh, tetapi tidak merupakan perlakuan dalam penelitian ini.
19
b
a
e f
Gambar 5 Alat tangkap bubu Keterangan : a. Panjang bubu (120 cm) b. Lebar bubu (90 cm) c. Mulut luar (55 cm) d. Mulut dalam (32 cm) e. Tinggi bubu (45 cm) f. Mesh size (2,5 cm) 3.3 Prosedur Penelitian Terumbu buatan yang telah dirangkai tersebut selanjutnya dilengkapi dengan pemberat berupa batu yang diikatkan pada setiap sisi dari masingmasing jenis terumbu buatan tersebut. Kemudian terumbu buatan tersebut diletakkan pada lokasi yang ditentukan sesuai dengan hasil survei.
20
Lokasi terumbu buatan terletak di perairan pantai pulau Pramuka Kepulauan Seribu dengan persyaratan menurut (Hagino 1991) jarak ± 200 meter dari pantai; struktur tidak mempengaruhi terumbu karang alami; kualitas air baik dan stabil, perubahan suhu dan salinitas harian kecil, atau kualitas air relatif sama dengan yang dibutuhkan terumbu alami; kedalaman perairan cukup memadai (15-35 meter) untuk meminimalkan resiko badai, memungkinkan akses penyelam dan perawatan, serta memanfaatkan pertukaran dan pencampuran massa air di dekat pantai; daerah berpasir, tandus atau krikil dengan kecerahan baik; kecepatan arus ± 3 knot, tidak lebih, tidak ekstrim dan tidak pula terlalu rendah; dan daerah aliran tenang sekitar upwelling dan mixing (20-30 meter). Terumbu buatan yang terdiri dari dua jenis material ditempatkan pada jarak antar terumbu buatan ± 50-100 meter dengan dasar perairan pasir berlumpur. Sedangkan penempatan alat tangkap bubu pada terumbu buatan berjarak ± 30 cm.
50 – 100 meter
Terumbu alami
50 – 100 meter TB-bambu
TB-ban
Gambar 6 Sketsa lokasi penempatan terumbu buatan Setelah dua bulan terumbu buatan diletakkan pada lokasi penelitian dan diperkirakan telah terhuni oleh beberapa organisme yang diharapkan, maka pemasangan alat tangkap bubu segera dilakukan. Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan metode experimental fishing, yaitu berupa uji coba penangkapan pada masing-masing terumbu buatan sebanyak 15 kali dengan menggunakan sepasang bubu pada masing-masing terumbu buatan sebagai obyek penelitian dengan alat bantu perahu dan perlengkapan selam. Waktu yang dibutuhkan dari setting ke hauling adalah 2 x 24 jam.
21
Ikan yang tertangkap diidentifikasi dengan menggunakan buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut I (Sardjono 1979; Kuiter 1992; Lieske dan Myers 2001). Sampel tersebut selanjutnya dihitung dalam satuan berat dan ekor. Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah hasil tangkapan yang dihitung dalam jumlah (ekor) dan bobot (gram) pada setiap jenis material terumbu buatan. Parameter penunjang dalam penelitian ini adalah parameter fisik pada lokasi penelitian meliputi kecepatan arus, salinitas, suhu dan kecerahan. Pengamatan juga dilakukan terhadap jenis-jenis ikan yang terkumpul di kedua terumbu buatan tersebut. Ikan-ikan yang diamati yaitu: kelompok species target, kelompok species indikator dan kelompok species mayor. Pengamatan terhadap tingkah laku ikan di sekitar terumbu buatan dilakukan dengan cara pengamatan secara langsung (visual method) dengan melakukan penyelaman. Pada saat pengamatan secara langsung dilakukan pula pengambilan gambar dengan underwater camera. Pengamatan dengan penyelaman dilakukan pada saat kecepatan arus rendah atau skala kecil dari 2 knot. Hal ini dikarenakan jika kecepatan arus lebih dari 2 knot maka akan membahayakan keselamatan penyelam. Pengamatan dilakukan setelah 2 bulan terumbu buatan terpasang di perairan dimulai pukul 09.00-17.00 WIB, dengan mengadakan penyelaman selama 45 menit di setiap terumbu buatan dengan ulangan sebanyak 2 kali. Selama pengamatan di dalam air, pengamat dikawal oleh dua rekan selam (buddy) yang mengontrol lamanya pengamatan dan selalu siap membantu pengamat bila ada kesulitan di bawah air serta pemotretan bawah air. 3.4 Analisis Data Dalam perhitungan dan pengujian data selain dilakukan secara manual juga menggunakan software SPSS versi 10.0, Minitab 13 dan Microsoft Excel 2003 dengan tujuan untuk mengurangi resiko kesalahan. Untuk menarik kesimpulan dari hasil pengamatan maka dilakukan beberapa tahap pengujian data yang meliputi : (1) Tabulasi Data Yaitu memasukkan data dalam tabel kombinasi antar perlakuan, Kemudian membandingkan dua kombinasi terumbu buatan dan menguji antar perlakuan (2) Uji Kenormalan Data Metode yang digunakan dalam pengujian kenormalan data adalah metode Liliefors (Sudjana 1992). Jika pada kenormalan data menunjukkan bahwa
22
data menyebar normal, maka untuk selanjutnya diuji dengan menggunakan metode statistik parametrik, sedangkan apabila data yang diperoleh tidak menyebar normal, maka data diuji dengan menggunakan metode statistik non parametrik. (3) Uji Keragaman (Homogenitas) Sesudah data diuji kenormalannya, apabila data menyebar normal dilakukan uji ragam atau uji homogenitas. (4) Uji Hipotesis Apabila ternyata diperoleh dalam pengujian ragam homogen, maka dilanjutkan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji t-student untuk penarikan kesimpulan. (5) Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : H0
: Diduga perbedaan material terumbu buatan tidak berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan bubu.
H1
: Diduga perbedaan material terumbu buatan berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan bubu.
Kaidah pengambilan keputusannya adalah : (1) Jika t
hit
> ttabel maka tolak H0, dimana perbedaan material terumbu
buatan berpengaruh nyata terhadap jumlah hasil tangkapan. (2) Jika t hit < ttabel maka gagal tolak H0, dimana perbedaan material terumbu buatan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah hasil tangkapan. (6) Komposisi jenis hasil tangkapan Persentase komposisi jenis hasil tangkapan selama penelitian dihitung dengan menggunakan rumus:
p=
n
1
N
x100%
dimana : p n1 N
= proporsi satu jenis ikan yang tertangkap = berat satu jenis ikan setiap kali sampling (kg) = berat total tangkapan setiap kali hauling (kg)
(7) Kelimpahan ikan karang Kelimpahan ikan karang dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan Odum (1971) sebagai berikut :
X=
ΣXi n
23
dimana : X
= kelimpahan ikan
Xi
= jumlah ikan pada stasiun pengamatan ke-i
n
= luas terumbu buatan yang diamati (m2)
(8) Kelimpahan perifiton Sampel perifiton yang telah diawetkan dalam botol film diambil dengan menggunakan pipet kemudian diteteskan ke dalam alat Sedwick Rafter Counting Cell (SRC) sampai volumenya penuh sekitar 1 ml. Sebelum sampel diambil, botol film dikocok-kocok terlebih dahulu agar sampel di dalam botol film tercampur dan tidak ada yang mengendap. Volume SRC yang penuh ditandai dengan menutupnya cover glass SRC dengan sendirinya. Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop dengan perbesaran 40x10, kemudian sampel dalam SRC dihitung dengan menggunakan metode sensus tanpa ulangan. Sampel perifiton diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi Needham dan Needham (1969). Kelimpahan perifiton dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (APHA 1995) : K = n×
T 1 V × × L W v
Keterangan : K = jumlah total perifiton (ind/cm2) N = jumlah perifiton yang diamati T = luas penampang permukaan Sedgewick Rafter (1000 mm2) L = luas amatan (mm2) V = volume konsentrat pada botol contoh (ml) v = volume konsentrat dalam Sedgewick Rafter (1 ml) W = luas substrat yang dikerik (3x8 cm2) Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis isi perut ikan (stomach content) yang bertujuan untuk mengetahui jenis makanan yang disukai ikan hasil tangkapan. Karena itu untuk mengetahui bahwa indikasi ikan-ikan berkumpul di terumbu buatan antara lain disebabkan oleh proses pembentukan rantaimakanan lokal dilakukan melalui studi pustaka. 3.5 Asumsi Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian menggunakan beberapa asumsi yaitu setiap letak terumbu buatan memiliki karakteristik perairan yang sama dan waktu perendaman (soaking) alat tangkap bubu dianggap sama.
38
4 HASIL 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Keadaan daerah Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta Utara, Propinsi DKI Jakarta. Secara geografis Kelurahan Pulau Panggang terletak antara 05°41’41” - 05°41’45” LS hingga 05°47’00” - 05°45’15” LS dan antara 106°19’30” - 106°44’50” BT (Lampiran 1). Batas-batas wilayah Kelurahan Pulau Panggang adalah : di sebelah utara
: wilayah perairan Kelurahan Pulau Kelapa;
di sebelah selatan
: wilayah perairan Kelurahan Pulau Untung Jawa;
di sebelah barat
: wilayah perairan Kelurahan Pulau Tidung;
di sebelah timur
: wilayah perairan Jawa Barat.
Kelurahan Pulau Panggang terdiri atas 13 pulau dimana 2 pulau diantaranya adalah pusat pemukiman, yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Luas Pulau Pramuka mencapai sekitar 19 hektar dengan tingkat kepadatan sedang (80 org/ha). Topografi Pulau Pramuka merupakan tanah dataran rendah dengan ketinggian antara 1-2 m diatas permukaan laut. Pulau Pramuka didiami oleh 1 625 jiwa yang tergabung dalam 457 KK. Profesi penduduk sebagian besar adalah nelayan (sekitar 85 %); sisanya adalah sebagai PNS dan wirausahawan. Penduduk pulau ini merupakan masyarakat pendatang dari Jawa Barat, Jakarta, Makasar dan Sumatera, sehingga masyarakat pulau ini bersifat multikultural (Ditjen PHPA 2003; BPS 2006). 4.1.2 Kedaan perairan Konfigurasi dasar perairan Pulau Pramuka relatif datar dengan sedikit cekungan (Lampiran 1). Kedalaman rata-rata pada rataan terumbu di sekeliling pulau bervariasi antara 1 sampai dengan 5 m. Kedalaman laut di luar rataan terumbu bervariasi antara 20 sampai dengan 40 m. Rataan terumbu membentang di sekeliling pulau sampai dengan jarak 500 m dari garis pantai. Ada tiga musim yang mempengaruhi kondisi perairan Pulau Pramuka, yaitu musim angin barat, musim angin timur dan musim peralihan. Musim angin barat berlangsung dari bulan Desember sampai pertengahan bulan Maret. Pada musim ini angin bertiup kencang dari arah barat ke timur, dengan arus kuat disertai hujan cukup deras. Kondisi ini mengakibatkan perairan keruh. Kecepatan
24
25
arus rata-rata pada musim barat di Kepulauan Seribu adalah 0,13-0,17 m/s. Keadaan angin bervariasi dengan kecepatan antara 7-20 knot (Ditjen PHPA 2003; Dinas Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta 1998; Effendi 1993). Musim angin timur berlangsung dari bulan Juni hingga September. Angin bertiup kencang dari arah timur ke barat yang disertai dengan arus laut sedang. Pada musim timur hujan jarang turun sehingga air laut jernih. Kecepatan angin bervariasi antara 7-15 knot. Musim peralihan berlangsung pada bulan Maret sampai dengan Mei dan bulan September sampai dengan November. Karakter angin dan gelombang relatif lemah dan kondisi perairan tidak keruh. Penelitian ini dilaksanakan dalam periode musim peralihan. 4.1.3 Kondisi penangkapan ikan 4.1.3.1 Unit penangkapan ikan Sesuai dengan kondisi perairan yang relatif berkarang, kegiatan penangkapan ikan di Pulau Pramuka didominasi oleh unit penangkapan ikan yang ditujukan untuk ikan karang dan pelagis. Nelayan Pulau Pramuka berasal dari daerah Bugis, Tangerang dan Palembang. Latar belakang budaya pun bercampur baur sehingga menciptakan corak budaya tersendiri. Nelayan Pulau Pramuka umumnya bekerja sebagai nelayan penuh kecuali nelayan bubu sedang (bubu karang). Nelayan jaring, pancing dan bubu selat (bubu besar) (Tabel 2) umumnya melaut hampir sepanjang tahun kecuali pada musim barat. Dengan demikian
nelayan
Pulau
Pramuka
umumnya
melaksanakan
kegiatan
penangkapan ikan sekitar 8 (delapan) bulan dalam satu tahun, yaitu mulai dari bulan April sampai dengan November. Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki kapal dan alat tangkap sendiri. Nelayan pemilik alat tangkap pancing dan bubu sedang, mengoperasikan sendiri alat tangkap yang dimilikinya. Nelayan pemilik payang, muroami, jaring gebur dan bubu besar, mengoperasikan alat tangkap dan mempekerjakan nelayan lain untuk membantu dalam pengoperasian alat tangkap. Nelayan buruh untuk setiap alat tangkap tidak dapat dipastikan jumlahnya, karena selalu berpindah pemilik dan alat tangkap. Upah nelayan buruh ditetapkan dengan cara bagi hasil untuk semua alat tangkap yang mempekerjakan nelayan buruh Tabel 3).
38
Tabel 2 Jenis dan jumlah alat penangkapan ikan di 11 pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2004 Alat Tangkap No Nama Pulau Jumlah Jaring Jaring Jaring Jaring Muroami Muroami Bubu Bubu Bagan Bagan Jaring Pancing Payang Gebur Rampus Rajungan Besar Mini Tambun Besar Tancap Apung Ikan Hias Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 1 P Panggang 190 79 25 10 0 0 15 215 50 0 4 85 673 2 P Pramuka 75 20 15 3 0 0 12 180 0 0 2 15 322 3 P Kelapa 130 50 20 4 0 3 7 240 100 0 30 0 584 4 P Kelapa Dua 25 52 2 1 0 0 0 0 0 0 2 0 82 5 P Harapan 85 5 15 2 0 3 8 100 210 0 2 0 430 6 P Sebira 15 50 1 1 2 0 0 0 0 0 0 0 69 Jumlah 520 277 78 21 2 6 42 735 360 0 40 100 2181 Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 7 P Tidung 125 0 4 65 0 5 10 200 0 0 3 0 412 8 P Payung 80 0 15 2 1 0 1 120 10 0 0 0 229 9 P Pari 50 6 8 6 2 0 0 85 15 0 0 0 172 10 P Lancang 20 0 6 7 35 0 0 120 0 90 3 0 281 11 P Untung Jawa 270 0 2 1 0 0 0 0 800 0 0 0 1073 Jumlah 545 6 35 81 38 5 11 525 825 90 6 0 2167 Total 1065 283 113 102 40 11 53 1260 1185 90 46 100 4348 Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka (2006)
26
24
27
Tabel 3 Jumlah nelayan dan produksi ikan konsumsi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2004 Jenis Nelayan Daerah No Nama Pulau Tujuan Daerah Pemasaran Tetap Musiman Jumlah Penangkapan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara 1 P Panggang 1400 145 1545 Perairan Kepulauan Seribu, TPI Muara Angke Jakarta 2 P Pramuka 800 97 897 Bangka Belitung, Karimun Jawa, TPI Muara Baru Jakarta 3 P Kelapa 1850 315 2165 Bawean, Lampung, Belanahan, TPI Kamal Muara Jakarta 4 P Kelapa Dua 500 95 595 Tanjung Karang TPI Rawa Saban Tangerang 5 P Harapan 645 200 845 TPI Dadap Banten 6 P Sebira 300 35 335 Jumlah 5495 887 6382 Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan 7 P Tidung 1600 300 1900 8 P Payung 170 30 200 9 P Pari 300 80 380 10 P Lancang 600 75 675 11 P Untung Jawa 750 55 805 Jumlah 3420 540 3960 Total 8915 1427 10342 Sumber : Kepulauan Seribu dalam Angka (2006)
Keterangan Produksi rata-rata per bulan = 4203,4 ton : 12 bulan = 350,2 ton/hari Untuk rata-rata per hari produksi = 350,2 : 22 hari = 15,9 ton/hari
27
28
4.1.3.2 Musim penangkapan ikan Musim penangkapan ikan di Pulau Pramuka dipengaruhi oleh musim yang berlangsung di laut. Umumnya nelayan melaut pada musim peralihan dan musim timur. Pada musim peralihan, kondisi perairan tenang, sehingga semua nelayan dari semua alat tangkap pergi melaut. Musim ini dianggap nelayan sebagai musim yang ideal, karena resiko kegagalan yang disebabkan oleh kondisi alam sedikit sekali. Nelayan juga intensif menangkap ikan untuk persiapan tidak melaut pada musim barat. Pada musim timur, nelayan pergi melaut walaupun intensitasnya tidak sesering pada musim peralihan. Hal ini disebabkan hembusan angin yang cukup kencang walaupun arus relatif tenang. Kondisi tersebut berbahaya untuk nelayan pancing yang menggunakan perahu dengan alat bantu layar. Pada musim barat, nelayan lebih memilih tinggal di rumah, karena kondisi perairan berangin kencang dan berombak besar, serta arus yang kuat. Kondisi seperti ini membahayakan
keselamatan
nelayan
dan
juga
kesuksesan
operasi
penangkapan, karena arus yang kuat menyebabkan alat tangkap hanyut dan terbelit saat dioperasikan. Nelayan umumnya mengoperasikan bubu karang pada saat ada kesempatan atau waktu luang dan kondisi cuaca yang “teduh”, dalam arti arus dan ombak tenang. 4.1.3.3 Daerah penangkapan dan hasil tangkapan Daerah penangkapan ikan untuk nelayan Pulau Pramuka di sekitar perairan Kepulauan Seribu (Tabel 2). Jarak daerah penangkapan ikan tergantung alat yang dioperasikan dan kekuatan kapal yang digunakan. Nelayan akan mengoperasikan alat tangkap dengan tujuan penangkapan ikan pelagis di perairan
terbuka
dengan
kedalaman
lebih
dari
20
m.
Nelayan
akan
mengoperasikan alat tangkap dengan tujuan ikan karang di daerah terumbu karang dengan kedalaman kurang dari 20 m. Hasil tangkapan utama nelayan Pulau Pramuka berupa ikan-ikan karang seperti kerapu (Epinephelus sp), ekor kuning (Caesio sp), lencam, beronang (Siganus sp), selar, tongkol, layang, kembung dan bermacam ikan hias (Gambar 7). Beberapa hasil tangkapan berupa ikan karang dan pelagis, didaratkan di Muara Angke dan Muara Baru. Beberapa nelayan memilih mendaratkan hasil tangkapannya di Pulau Pramuka, karena permintaan ikan cukup tinggi. Nelayan cepat mendapatkan keuntungan, karena ikan hasil tangkapan tersebut langsung terjual habis. Ikan hias umumnya dikumpulkan oleh seseorang pengumpul yang
29
berdomisili di Pulau Panggang. Ikan hias didapat dari nelayan-nelayan bubu dan muroami, untuk selanjutnya dijual ke perusahaan ikan hias di Jakarta (Tabel 3). 4.1.4 Kondisi terumbu karang di Pulau Pramuka Tutupan karang hidup di perairan Gosong Pramuka mempunyai nilai 24% atau berkategori ’buruk’. Prosentase Abiotic mencapai 31% yang didominasi rubble (19%) mengindikasikan kerusakan telah terjadi akibat tingginya aktivitas manusia dikarenakan Gosong Pramuka ini terletak di Pusat Pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Kerusakan di sekitar pemukiman lebih banyak diakibatkan eksploitasi batu karang dan pasir, penggunaan sianida (menangkap ikan dengan metode pembiusan), sedimentasi dasar laut, dan kontaminasi disposal limbah. Dalam upaya menanggulangi masalah kerusakan ekosistem karang dan produksi perikanannya serta mencari alternatif untuk mengurangi tekanan terhadap pemanfaatan sumber daya di Pulau Pramuka dikembangkan karang buatan (artificial reef) dan teknik transplantasi karang (coral transplantation) (Ditjen PHPA 2003). Keberadaan ikan-ikan karang yang terdapat di suatu ekosistem terumbu karang tergantung kepada karakteristik habitatnya, diantaranya meliputi kondisi terumbu karang dan parameter fisik lingkungan. Persyaratan untuk tumbuh dengan baik bagi organisme karang adalah suhu perairan antara 20-29°C sepanjang tahun, salinitas yang cukup tinggi antara 32-35‰ tingkat kecerahan yang baik dan kedalaman antara 50-70 m (Nybakken 1988). Kondisi fisik perairan perlu diperhatikan untuk menentukan lokasi penempatan terumbu buatan sehingga akan mendapatkan hasil yang maksimal. Hasil pengukuran parameter fisik di lokasi penelitian menunjukkan bahwa secara umum suhu perairan berkisar antara 29-30°C, kecepatan arus berkisar antara 0,12-0,17 m/det, kecerahan perairan berkisar antara 5-10 m dan salinitas berkisar antara 32-33‰ (Tabel 4).
30
1 Caesio cuning fuscoguttatus
2 Epinephelus
3 Lutjanus russeli
4 Lutjanus mahogany
5 Lethrinus lencam
6 Sargocentron cornutum
7 Parupeneus barberinoides
8 Aethaloperca rogaa
Gambar 7 Ikan hasil tangkapan bubu pada lokasi pemasangan terumbu buatan ban dan bambu di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November - 1 Desember 2007)
31
9 Scarus ghobban
10 Chaetodon octofasciatus
11 Cheilinus chlorourus
12 Myripristis pralinia
13 Scolopsis margaritifer
14 Cheilinus fasciatus
15 Parupeneus heptacanthus
16 Scolopsis affinis
Gambar 7 (lanjutan) Ikan hasil tangkapan bubu pada lokasi pemasangan terumbu buatan ban dan bambu di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November - 1 Desember 2007)
32
17 Scolopsis bimaculatus
18 Scolopsis ciliatus
19 Scolopsis lineatus
20 Siganus suttor
21 Chaetodontoplus mesoleucus
22 Siganus virgatus
23 Apogon multitaeniatus
24 Chromis ovatiformis
Gambar 7 (lanjutan) Ikan hasil tangkapan bubu pada lokasi pemasangan terumbu buatan ban dan bambu di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November - 1 Desember 2007)
33
Tabel 4 Parameter fisik lokasi pemasangan terumbu buatan bambu dan ban di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan November - 1 Desember 2007 Pengamatan (hari) keNo Parameter yang diukur 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 Permukaan 1 Kecepatan arus (m/det) 0,13 0 0,13 0,12 0,12 0,14 0,17 0,15 0,14 0,15 0,13 0,14 0,13 2 Salinitas (‰) 33 32 32 32 33 33 33 32 33 32 32 32 33 3 Suhu (°C) 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 4 Kecerahan (m) 9 12 9 10 9 9 5 9 9 9 9 10 9 Kedalaman 24 meter 1 Kecepatan arus (m/det) 0,13 0,1 0,15 0,14 0,13 0,14 0,17 0,15 0,14 0,15 0,14 0,15 0,13 2 Salinitas (‰) 33 32 32 32 33 33 33 32 33 32 32 32 33 3 Suhu (°C) 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 4 Kecerahan (m) 9 10 7 9 8 7 5 7 7 7 7 9 8
Seribu pada tanggal 3 28
30
Rata-Rata
0,13 0,13 33 32 30 30 9 10
0,13 32,5 30,0 9,1
0,13 0,14 33 32 29 29 9 9
0,14 32,5 29,0 7,9
33
34
4.1.5 Alat tangkap bubu Proses pengambilan hasil tangkapan menggunakan alat tangkap bubu yang bertipe buton dengan rangka bubu terbuat dari bambu dan badan bubu terbuat dari kawat. Pengoerasian bubu terdiri atas tahap pemasangan (setting), perendaman (soaking) dan pengangkatan bubu dari perairan (hauling). Bubu tersebut memiliki beberapa kelebihan berikut kekurangannya. Bentuk bubu yang rata dibagian bawah memudahkan saat pemasangannya di dasar perairan dan di sela-sela gugusan karang. Bentuk mulut yang mengerucut dan posisi mulut dalam menghadap ke bawah menyulitkan ikan untuk lolos setelah masuk ke dalam bubu. Mulut bubu berbentuk bulat pada bagian luar dan mengecil terus ke dalam dengan bentuk lonjong atau oval menyerupai bentuk lingkar tubuh ikan (body girth). Panjang total bubu ini 120 cm dengan tinggi 45 cm dan lebar 90 cm (Gambar 6). Ukuran mata anyaman bubu 2,5 cm. Lama perendaman bubu 2 x 24 jam dengan jarak pemasangan antara bubu dengan terumbu buatan ± 30 cm pada kedalaman berkisar 21-24 meter. Penempatan terumbu buatan ban dan bambu beserta bubu di daerah berkarang di luar daerah tubir (reef crest), daerah rataan pasir yang disekelilingnya terdapat karang mati dan hidup. Tempat ini umumnya menjadi lintasan renang ikan karang. 4.2 Jenis dan Komposisi Hasil Tangkapan Ikan hasil tangkapan yang dijadikan target adalah ikan-ikan karang yang dikonsumsi oleh masyarakat. Total hasil tangkapan selama 15 kali ulangan adalah sebanyak 868 ekor. Hasil tangkapan terdiri atas 15 famili dengan 27 species. Jenis ikan yang banyak tertangkap selama pengoperasian bubu di terumbu buatan ban (TB-ban) dan terumbu buatan bambu (TB-bambu) adalah ikan dari famili caesionidae dan nemipteridae. Ekor kuning (Caesio cuning) dari famili caesionidae tertangkap sebanyak 221 ekor dari 567 total ekor di TB-ban (39%) dan 113 ekor dari 301 ekor di TB-bambu (37,5%). Dari famili nemipteridae ikan pasir selat (Scolopsis affinis, Scolopsis ciliatus, Scolopsis bimaculatus, Scolopsis lineatus dan Scolopsis margaritifer) tertangkap 207 ekor di TB-ban (36,5%) dan 103 ekor di TB-bambu (34,2%) (Tabel 5). Hasil uji kenormalan menunjukkan bahwa data menyebar nomal dengan nilai p-value (0,15) > 5%, dilanjutkan dengan uji homogenitas yang menunjukkan nilai p-value (0,345) > 5% yang berarti bahwa ragam homogen (Lampiran 3).
35
Analisis statistik (uji t) menyimpulkan bahwa jenis material terumbu buatan secara spesifik berpengaruh terhadap hasil tangkapan total per hari ulangan (hauling) (thit 3,6 dan ttab 1,7, α 0,05). Hasil perhitungan ’uji t’ untuk jenis ikan konsumsi bernilai ekonomis seperti ikan ekor kuning mempunyai nilai thit 2,0 dan ttab 1,8, ikan pasir selat nilai thit 1,8 dan ttab 1,7, ikan swangi nilai thit -1,5 dan ttab 1,7 dan ikan beronang nilai thit 4,1 dan ttab 1,8 pada α 0,05 (Lampiran 4 dan 5). Tabel 5 Komposisi hasil tangkapan ikan menggunakan alat tangkap bubu di terumbu buatan 15 kali ulangan (3 November - 1 Desember 2007) di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu TB-bambu TB-ban No Famili ∑ spesies % ∑ekor % ∑ekor Ikan Target 1 Caesionidae 1 221 39,0 113 37,5 2 Serranidae 2 2 0,4 8 2,7 3 Lutjanidae 2 0 0,0 3 1,0 4 Lethrinidae 1 9 1,6 0 0,0 5 Holocentridae 2 22 3,9 35 11,6 6 Nemipteridae 5 207 36,5 103 34,2 Ikan Indikator 7 Chaetodontidae 3 6 1,1 8 2,7 8 Pomacanthidae 1 2 0,4 0 0,0 Ikan Mayor 9 Scaridae 1 0 0,0 2 0,7 10 Siganidae 2 52 9,2 0 0,0 11 Labridae 2 7 1,2 2 0,7 12 Mullidae 2 33 5,8 24 8,0 13 Apogonidae 1 5 0,9 0 0,0 14 Pomacentridae 1 0 0,0 2 0,7 15 Tetraodontidae 1 1 0,2 1 0,3 567 301 Total Keterangan : TB-ban = terumbu buatan ban TB-bambu = terumbu buatan bambu 4.3 Kelimpahan Ikan Karang Secara keseluruhan ikan karang yang teramati di TB-ban dan TB-bambu dengan luas masing-masing terumbu buatan 6,75 m² terdiri dari 27 species ikan yang termasuk dalam 15 famili. Selama 15 kali pengamatan jumlah total ikan yang ditemukan di TB-ban dan TB-bambu sebanyak 1191 ekor, dimana 66,2% diantaranya (789 ekor) ditemukan disekitar TB-ban sedangkan di TB-bambu berjumlah 402 ekor (33,8%) (Tabel 6 dan 7). Kelimpahan total ikan karang disekitar TB-ban dan TB-bambu didominasi oleh famili caesionidae, nemipteridae, siganidae dan holocentridae.
36
Tabel 6 Kelimpahan ikan karang yang diamati di sekitar terumbu buatan bambu mulai pukul 09.00-17.00 WIB penyelaman selama 45 menit dengan ulangan sebanyak 2 kali di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November -1 Desember 2007) Famili Ikan Target Caesionidae Serranidae Lutjanidae Lethrinidae Holocentridae Nemipteridae
Ikan Indikator Chaetodontidae Pomacanthidae Ikan Mayor Scaridae Siganidae Labridae Mullidae Apogonidae Pomacentridae Tetraodontidae
2
4
6
8
10
Pengamatan (Hari) ke12 14 16 18 20 22
24
26
28
30
Caesio cuning Aethaloperca rogaa Epinephelus fuscoguttatus Lutjanus russeli Lutjanus mahogani Lethrinus lencam Myripristis pralinia Sargocentron cornutum Scolopsis affinis Scolopsis ciliatus Scolopsis bimaculatus Scolopsis lineatus Scolopsis margaritifer
5 0 0 1 0 0 0 0 0 5 5 0 5
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0
25 0 0 2 1 0 0 5 0 0 0 0 0
7 1 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 5
10 0 0 0 0 0 0 5 0 0 5 0 0
25 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 10
12 1 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 6
15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 0 0 1 0 0 0 0 0 3 5 0 3
16 1 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 1
18 0 0 0 0 0 0 5 0 0 3 0 5
14 1 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 3
17 0 0 1 0 0 0 3 0 0 2 0 3
11 0 0 0 0 0 0 3 0 0 2 0 3
Chaetodon octofasciatus Chelmon rostratus Parachaetodon ocellatus Chaetodonplus mesoleucus
0 0 1 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 1 0
0 0 0 0
0 0 1 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 1 0
0 0 0 0
Scarus ghobban Siganus sutor Siganus virgatus Cheilinus fasciatus Cheilinus chlorourus Parupeneus heptacanthus Parupeneus barberinus Apogon multitaeniatus Chromis ovatiformis Cyclichthys schoepfi
0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
1 0 0 0 0 0 0 1 0 0
0 5 0 1 0 0 0 0 0 1
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 2 0 4 0 0 0 0
1 0 0 1 0 3 0 0 0 0
0 0 0 0 0 1 0 0 0 0
1 0 0 0 0 0 1 1 0 0
0 3 0 1 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 0 2 0 0 0 0
0 0 0 1 0 2 0 0 0 0
0 2 0 1 0 1 0 0 0 0
Species
Total
Kelimpahan (%)
13 0 0 1 0 0 0 1 0 2 3 0 2
213 4 0 7 2 0 0 42 0 10 29 0 46
31,56 0,59 0,00 1,04 0,30 0,00 0,00 6,22 0,00 1,48 4,30 0,00 6,81
0 0 0 0
0 0 1 0
0 0 5 0
0,00 0,00 0,74 0,00
1 0 0 0 0 0 0 1 0 0
0 0 0 0 0 0 1 1 0 0
5 10 0 8 0 13 3 4 0 1
0,74 1,48 0,00 1,19 0,00 1,93 0,44 0,59 0,00 0,15
36
37
Tabel 7 Kelimpahan ikan karang yang diamati di sekitar terumbu buatan ban mulai pukul 09.00-17.00 WIB penyelaman selama 45 menit dengan ulangan sebanyak 2 kali di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu (3 November -1 Desember 2007) Famili Ikan Target Caesionidae Serranidae Lutjanidae Lethrinidae Holocentridae Nemipteridae
Ikan Indikator Chaetodontidae Pomacanthidae Ikan Mayor Scaridae Siganidae Labridae Mullidae Apogonidae Pomacentridae Tetraodontidae
2
4
6
8
10
Pengamatan (Hari) ke12 14 16 18 20
22
24
26
28
30
17 0 0 0 0 5 0 8 6 7 5 0 5
30 1 0 0 0 0 0 0 0 0 6 5 5
20 1 1 0 0 0 5 5 0 0 5 6 0
20 0 1 0 0 0 0 5 0 0 0 0 10
25 0 1 0 0 3 0 8 11 0 10 0 5
30 0 0 0 0 0 0 8 10 5 0 0 5
23 0 0 0 0 0 0 0 0 6 5 0 0
20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
23 0 0 0 0 3 0 4 3 4 6 3 5
20 1 1 0 0 0 3 5 0 0 3 3 5
28 0 0 0 0 2 0 8 11 3 5 0 5
22 0 0 0 0 0 0 0 0 3 3 0 0
24 0 0 0 0 1 2 7 6 2 4 2 5
19 1 0 0 0 0 0 3 0 0 3 3 5
22 0 0 0 0 3 1 4 3 1 2 1 3
343 4 4 0 0 17 11 65 50 31 57 23 58
50,81 0,59 0,59 0,00 0,00 2,52 1,63 9,63 7,41 4,59 8,44 3,41 8,59
Chaetodon octofasciatus Chelmon rostratus Parachaetodon ocellatus Chaetodonplus mesoleucus
0 0 1 0
1 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 1 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
1 0 1 0
0 0 0 0
0 1 0 0
0 0 0 0
0 1 0 0
1 0 0 0
0 0 0 0
3 3 2 0
0,44 0,44 0,30 0,00
Scarus ghobban Siganus sutor Siganus virgatus Cheilinus fasciatus Cheilinus chlorourus Parupeneus heptacanthus Parupeneus barberinus Apogon multitaeniatus Chromis ovatiformis Cyclichthys schoepfi
0 0 0 0 0 2 0 0 0 0
0 0 0 0 1 0 0 3 0 1
0 12 5 0 0 0 1 0 0 0
0 0 7 0 2 0 2 0 0 0
0 7 0 0 0 2 1 0 0 0
0 8 0 0 0 0 0 0 0 0
0 6 0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
0 0 0 0 1 1 0 2 0 1
0 6 6 0 1 0 2 0 0 0
0 8 0 0 0 1 1 0 0 0
0 3 0 0 0 0 0 0 1 0
0 7 3 0 1 1 2 0 0 0
0 0 0 0 1 0 0 2 0 0
0 4 0 0 0 0 1 0 0 0
0 61 21 0 7 7 10 7 3 2
0,00 9,04 3,11 0,00 1,04 1,04 1,48 1,04 0,44 0,30
Species Caesio cuning Aethaloperca rogaa Epinephelus fuscoguttatus Lutjanus russeli Lutjanus mahogani Lethrinus lencam Myripristis pralinia Sargocentron cornutum Scolopsis affinis Scolopsis ciliatus Scolopsis bimaculatus Scolopsis lineatus Scolopsis margaritifer
Total
Kelimpahan (%)
37
38
4.4 Berat dan Panjang Hasil Tangkapan Di antara sekian banyak jenis yang tertangkap, 4 (empat) jenis diantara ikan yang tertangkap selama penelitian umum dikonsumsi masyarakat. Keempat jenis tersebut adalah ekor kuning (Caesio cuning), pasir selat (Scolopsis sp), swanggi (Sargocentron cornutum) dan beronang (Siganus sutor). Oleh karena itu hanya keempat famili ini yang dianalisis berat dan panjangnya, Selama penelitian ini telah berhasil ditangkap 342 ekor kuning (dengan kisaran panjang total 19-21 cm 75 ekor dan berat 100-152 gram 65 ekor); 310 ekor pasir selat (dengan kisaran panjang total 13-14 cm 142 ekor dan berat 7099 gram 147 ekor); 52 ekor swanggi (dengan kisaran panjang total 11-12 cm 21 ekor dan berat 74-97 gram 23 ekor); dan 50 ekor beronang (dengan kisaran panjang total 19-20 cm 16 ekor dan berat 170-184 gram 14 ekor). Diantara keempat jenis ikan hasil tangkapan, Caesionidae yang memilki berat hingga 600 gram per ekor, jenis lainnya umumnya hanya kurang dari 300 gram per ekor (Gambar 8). Keempat jenis ikan tersebut didominasi oleh individu ikan yang berukuran kurang dari 21 cm (total length) (Gambar 9).
24
39
Famili Caesionidae
Jumlah ikan (ekor)
70 60 50 40 30 20 10 0 100-152 153-205
206-258
259-311
312-364 365-417
418-470
471-523 524-576
577-629
Berat ikan (gram)
Famili Holocentridae
Jumlah ikan (ekor)
25 20 15 10 5 0 50-73
74-97
98-121
122-145
146-169
170-193
194-217
Berat ikan (gram)
Jumlah ikan (ekor)
Famili Nemipteridae 200 150 100 50 0 40-69
70-99
100-129
130-159
160-179
180-209
210-239
240-279
280-309
Berat ikan (gram)
Famili Siganidae
Jumlah ikan (ekor)
15 10 5 0 80-94
95-109
110-124
125-139
140-154
155-169
170-184
Berat ikan (gram)
Gambar 8 Komposisi berat empat (4) jenis famili ikan dominan yang tertangkap menggunakan alat tangkap bubu pada terumbu buatan ban dan bambu di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November -1 Desember 2007)
40
Jumlah (ekor)
Famili Caesionidae 80 60 40 20 0 13-15
16-18
19-21
22-24
25-27
28-30
Panjang ikan (cm)
Jumlah (ekor)
Famili Nemipteridae 150 100 50 0 9-10
11-12
13-14
15-16
17-18
19-20
21-22
Panjang ikan (cm)
Jumlah (ekor)
Famili Holocentridae 25 20 15 10 5 0 11-12
13-14
15-16
17-18
Panjang ikan (cm)
Jumlah (ekor)
Famili Siganidae 20 15 10 5 0 11-12
13-14
15-16
17-18
19-20
Panjang ikan (cm)
Gambar 9 Komposisi panjang (total length) empat (4 ) jenis famili ikan dominan yang tertangkap menggunakan alat tangkap bubu pada terumbu buatan ban dan bambu di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu (3 November -1 Desember 2007) Keterangan : batas layak tangkap
41
4.6 Perifiton Terumbu buatan selain dimanfaatkan oleh ikan juga oleh beberapa jenis biota karang antara lain : anemon, moluska, bivalva, sponge, echinodermata, alga koralin dan lain-lain. Pertambahan umur terumbu buatan di lokasi perairan diikuti oleh peningkatan keberadaan biota karang yang menyebabkan terumbu buatan menyerupai struktur terumbu karang alami. Keberadaan berbagai jenis biota yang menempel (perifiton) pada terumbu buatan diantaranya merupakan makanan ikan. Perifiton yang ditemukan di TB-ban dan TB-bambu selama penelitian pada kedalaman 24 meter terdiri dari satu (1) kelas yaitu dari kelas nabati Bacillariophyceae (Diatoms) dengan empat (4) famili. Jenis perifiton yang paling melimpah di terumbu buatan selama penelitian adalah Navicula sp. Jenis perifiton yang ditemukan di kedua terumbu buatan berjumlah 9 spesies, yaitu Navicula sp dengan jumlah 3777,8 ind/mm2 (TB-ban) dan 1703,7 ind/mm2 (TBbambu), Nitzchia sigma 1429,6 ind/mm2 (TB-ban) dan 962,9 ind/mm2 (TBbambu), Pleurosigma 345,9 ind/mm2 (TB-ban) dan 222,2 ind/mm2 (TB-bambu), Melosira sp berjumlah 170,4 ind/mm2 (TB-bambu), Fragilaria cylindris 271,9 ind/mm2 (TB-bambu), Netrium berjumlah 197,8 ind/mm2 (TB-bambu), Frustulia berjumlah 98,5 ind/mm2 (TB-ban), Closterium berjumlah 74,1 ind/mm2 (TB-ban) dan Rhopuladia paling sedikit dengan jumlah 49,63 ind/mm2 (TB-bambu) (Tabel 8 dan Gambar 10). Tabel 8 Komposisi kelimpahan perifiton di terumbu buatan ban dan bambu setelah dua (2) bulan pemasangan (9 September - 3 November 2007) di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu Filum Chrisophyta
Kelas Bacillariophyceae (Diatoms)
Keterangan : TB-ban TB-bambu + -
Famili
Species
TB ban
TB bambu
Fragilariaceae
Fragilaria cylindris
+
-
Bacillariaceae Melosiraceae Nitzschiaceae
Navicula sp Melosira sp Nitzschia sigma Pleurosigma Frustulia Closterium Netrium Rhopuladia
+ + + + + -
+ + + + + +
= terumbu buatan ban = terumbu buatan bambu = ada = tidak ada
42
A
Closterium 1,3 %
Rhopuladia 0,9 %
Frustulia 1,7 %
Navicula 65,4 %
Pleurosigma 6,0 % Nitzschia 24,8 %
B Fragilaria 7,7 %
Melosira 4,8 %
Netrium 5,6 % Navicula 48,3 %
Pleurosigma 6,3 %
Nitzschia 27,3 %
Gambar 10 Kelimpahan perifiton di terumbu buatan ban (A) dan terumbu buatan bambu (B) setelah dua (2) bulan pemasangan terumbu buatan pada kedalaman 24 meter (9 September - 3 November 2007) di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
43
Navicula sp
Fragilaria cylindris
Melosira sp
Nitzschia sigma
Pleurosigma
Frustularia
Closterium
Netrium
Gambar 11 Jenis perifiton yang ditemukan pada terumbu buatan ban dan bambu setelah dua (2) bulan pemasangan terumbu buatan pada kedalaman 24 meter (9 September - 3 November 2007) di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
5 PEMBAHASAN Salah satu upaya meniadakan atau mengurangi penangkapan ikan di terumbu karang adalah dengan membangun terumbu buatan di sekitar terumbu karang, sehingga nelayan tidak lagi menangkap ikan di terumbu karang, tetapi berpindah di terumbu buatan. Potensi ekonomi pemanfaatan terumbu buatan cukup
tinggi
karena
keberadaan
ikan
yang
bernilai
ekonomis
tinggi.
Penangkapan ikan di terumbu buatan wajib memperhatikan keberlanjutan populasi ikan dan pertumbuhan karang sehingga tidak terjadi tangkap lebih. Dalam kurun waktu tertentu disediakan waktu untuk ikan melakukan regenarasi tanpa gangguan dari manusia. Pada masa ini sebaiknya tidak dilakukan penangkapan dengan lama waktu disesuaikan kondisi setempat, tetapi disarankan minimal selama empat bulan dalam kurun waktu satu tahun (Ikawati 2001; Rachmawati 2001; Spieler et al. 2001; Indrawadi 2007). Berdasarkan jumlah total individu spesies yang teramati dan tertangkap menggunakan alat tangkap bubu di kedua terumbu buatan, maka kelimpahan dan hasil tangkapan terbanyak terjadi di terumbu buatan ban, baik spesies target, mayor maupun indikator (Tabel 4). Kenyataan ini dapat memberikan harapan bahwa terumbu buatan dapat memperbaiki habitat yang telah rusak dan dapat menyediakan daerah penangkapan (fishing ground) yang baru, sehingga nelayan tidak lagi melakukan penangkapan di terumbu alami yang mengakibatkan kerusakan habitat. Lebih lanjut Rilov dan Benayahu (1998) mengemukakan bahwa penciptaan terumbu buatan yang terencana dengan baik akan memberikan shelter alternatif, dimana dapat merekrut juveniles dan ikan-ikan muda, kemudian memperbesar keseluruhan populasi ikan. Disamping itu, terumbu buatan dipandang dari perspektif ekologi, juga memiliki potensi yang nyata sebagai alat untuk rehabilitasi ekosistem perairan pantai (Pickering et al. 1998). Terumbu buatan disamping dapat meningkatkan produksi perikanan, juga telah digunakan di berbagai tempat sebagai alat yang potensial untuk membantu memulihkan habitat perairan. FAO (1995) melalui Code of conduct for Responsible Fisheries, menyarankan pengembangan kebijakan penggunaan terumbu
buatan
untuk
meningkatkan
stok
populasi
ikan
dan
peluang
pemanfaatannya, serta melakukan penelitian-penelitian tentang impak struktur buatan terhadap organisme laut dan lingkungan. Tetapi penempatan terumbu buatan untuk tujuan penangkapan ikan, tidak akan memberikan manfaat ekonomi
44
45
jika tidak diikuti langkah-langkah pengelolaan yang memadai; terutama untuk menghindari kelebihan tangkap dan konflik sosial diantara kelompok-kelompok pengguna. Recruitment over fishing merupakan impak yang paling nyata pada semua habitat buatan. Oleh karena itu dalam perencanaan terumbu buatan sebagai daerah penangkapan ikan sangat penting disertai dengan terumbu buatan sebagai nursery ground yang harus disepakati oleh semua pihak secara konsisten, sebagai kawasan yang diproteksi dan diawasi bersama. 5.1 Uji Coba Alat Tangkap Bubu Reaksi ikan terhadap pemasangan bubu dapat dilihat dengan melakukan pengamatan terhadap gerombolan ikan yang berada di sekitar bubu. Karena keterbatasan alat
maka pengamatan hanya dilakukan pada siang hari saja.
Jenis ikan yang biasanya langsung mendekat pada saat pemasangan bubu adalah kakatua (Scarus sp), pasir serat (Scolopsis sp), dan ikan-ikan lainnya. Namun pada kenyataannya, ketika bubu (soaking 2x24 jam), ikan yang tertangkap dalam bubu berbeda dengan ikan yang masuk pada awal pengamatan saat pemasangan. Ikan ini berbeda baik segi ukuran maupun jenis. Ikan yang tertangkap diduga mencari tempat berlindung dari arus maupun ikan predator yang lebih besar. Karena bubu yang dioperasikan tanpa umpan, maka kemungkinan besar ikan masuk ke dalam bubu karena tingkah laku ikan tersebut. Beberapa famili ikan karang mendekati bubu karena rasa keingintahuan dari ikan tersebut terhadap benda asing atau dikenal dengan sifat tigmotaksis. Beberapa famili menjadikan bubu sebagai area mencari makan, seperti ikan dari famili Scaridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae dan Siganidae. Selain itu diduga bubu diduga sebagai tempat beristirahat atau menunggu mangsa lewat, ikan karnivora masuk ke dalam bubu karena tertarik oleh mangsa yang terperangkap di dalam bubu. Sebagaimana hasil pengamatan yang dilakukan oleh High dan Beardsley (1970) pada bubu tanpa umpan dimana jenis ikan Squirefish dan Goatfish (Mullidae) masuk ke dalam bubu secara bergerombol (schooling) sedangkan jenis Parrotfish (Scaridae) dan big eye (Priacanthidae) masuk ke dalam bubu secara individu. High dan Ellis (1973) mengamati ikan Four-eyed butterfly (Chaetodon sp) dan Spotted goat fish (Pseudupeneus maculatus) disekitar bubu berenang maju mundur ketika melihat ikan lain terperangkap ke dalam bubu. Munro et al. (1971) mengamati spesies ikan di sekitar bubu berenang beriringan pada sisi lain mata jaring kawat.
46
Lolosnya ikan-ikan yang terlihat pada waktu pengamatan awal lebih disebabkan oleh ukuran mata bubu yang lebih besar dari ukuran ikan, sehingga ikan dengan mudah meloloskan diri. Selektivitas bubu bergantung pada hubungan antara keliling tubuh maksimum ikan (body girth) dan keliling mata bubu (mesh perimeter) dan juga hubungan antara panjang tubuh ikan dan ukuran mata bubu (mesh size). Lebih lanjut FAO (1999) menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk mengurangi atau mengeluarkan tangkapan yang tidak sesuai ukuran (unwanted catch) atau ikan-ikan tangkapan yang tidak diinginkan (incidental catch) dan selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan. Bubu dikatakan selektif ukuran apabila ukuran badan ikan pada bagian operculum (tutup insang) lebih kecil dari keliling mata bubu atau keliling maksimum badan ikan lebih besar dari keliling mata bubu. Sebaliknya jika ukuran badan ikan pada bagian operculum sangat besar atau keliling maksimum badan ikan sangat kecil dibandingkan dengan keliling mata bubu, ikan kemungkinan tidak tertangkap (lolos) (Matsuoka 1995; 1997). 5.2 Pengaruh Parameter Fisik Terhadap Hasil Tangkapan Pengukuran kondisi oceanografi lokasi penelitian dilakukan setelah alat tangkap bubu ditempatkan pada posisi yang dikehendaki dan dilakukan pada setiap pengambilan sampel. Kondisi oceanografi yang diukur meliputi arus, suhu, salinitas dan kedalaman. Pengamatan kondisi cuaca juga dilakukan mengingat faktor cuaca merupakan salah satu faktor yang cukup banyak mempengaruhi kondisi perairan. Secara umum kondisi fisik perairan di lokasi penelitian merupakan daerah yang dapat mendukung kehidupan organisme laut dan untuk pengembangan terumbu buatan. Berdasarkan hasil pengukuran kecepatan arus yang ada selama penelitian berkisar antara 0,12-0,17 m/det. Kecepatan arus ini tidak mempengaruhi posisi terumbu buatan dan alat tangkap bubu. Hal ini terbukti dengan posisi terumbu yang tidak mengalami pergeseran tempat serta hasil tangkapan yang tetap ada untuk tiap trip pengambilan sampel. Bahkan dengan kecepatan arus ini, pertumbuhan organisme karang cukup optimal. Terbukti dengan banyaknya organisme karang yang menempel pada unit terumbu buatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Harisson (2000)
bahwa arus dapat
47
mentransfortasikan larva dan telur ikan serta makanan ikan (plankton) searah dengan arah arus. Dihubungkan dengan keberadaan sumber daya perairan (berbagai spesies ikan), arus dalam hal ini kecepatan arus merupakan faktor penunjang yang memungkinkan terumbu buatan menjadi tempat penyedia makanan bagi organisme perairan. Walau dengan kisaran kecepatan yang relatif kecil tersebut, tetapi cukup menunjang dalam memperlancar distribusi makanan menuju unit terumbu buatan. Jadi kecepatan arus disekitar terumbu tidak boleh nol. Sebagaimana disebutkan Nybakken (1982) bahwa salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam penempatan terumbu buatan adalah kecepatan arus tidak boleh nol. Lebih lanjut Hutomo 1991 dan Hagino 1991 mengemukakan bahwa orientasi (letak) terumbu buatan berhubungan dengan pola migrasi dan arus. Reppie (2006) memprediksi dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa lokasi penempatan terumbu sebaiknya memiliki kecepatan arus tidak melebihi 3 knot ( v ≤ 3 knot), tetapi hal ini bergantung pula pada kondisi struktur dasar perairan. Terumbu buatan untuk perikanan yang ditempatkan di sepanjang area dengan arus yang optimal akan menciptakan aliran maksimum yang membawa nutrien atau makanan, kelarutan oksigen yang tinggi dan meningkatkan ketersediaan makanan untuk organisme terumbu serta dapat meningkatkan daya perekat untuk telur-telur ikan. Hasil pengukuran suhu di lokasi penelitian berkisar antara 29-30°C. Kisaran suhu ini merupakan kisaran yang baik untuk pertumbuhan organisme karang. Lebih lanjut Nontji (1987) mengemukakan bahwa kisaran suhu untuk pertumbuhan organisme karang di perairan tropis sekitar 25-35°C. Terbukti, banyak organisme karang yang tumbuh dengan subur menempel pada unit-unit terumbu buatan. Keberadaan organisme penempel ini memicu kedatangan organisme yang memanfaatkan organisme ini sebagai sumber makanan. Selain itu keberadaan sumber daya perairan (ikan), juga tidak terlepas dari kisaran suhu optimum bagi aktivitas metabolisme dan reproduksi setiap spesies ikan tersebut. Faktor kedalaman merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penempatan terumbu buatan. Karena faktor ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan organisme karang. Nybakken (1982) mengemukakan pendapat bahwa kedalaman perairan untuk pertumbuhan karang dan organisme karang tidak boleh lebih dari 25 meter. Hal ini erat kaitannya dengan peristiwa fotosintesis. Terumbu buatan yang menyediakan
48
habitat bagi organisme fotosintetik (alga), dimana ketersediaan nutrien di terumbu buatan membuat pertumbuhan organisme fotosintetik tersebut cukup baik sehingga peran alga sebagai filter CO2 dalam proses fotosintesis tetap berjalan. Kedalaman perairan tempat kedua terumbu buatan diletakkan berkisar antara 21-24 meter. Sebagaimana pendapat Hung (1991) bahwa terumbu buatan ditempatkan pada habitat yang mengalami penurunan dan area yang memiliki produktivitas rendah, selain itu terumbu buatan dianjurkan diletakkan pada kedalaman 15-35 meter dengan maksud agar tidak dipengaruhi oleh hempasan gelombang dan badai serta masih terdapat penetrasi sinar matahari. Lebih lanjut D’Itri (1985) menyebutkan bahwa kedalaman 20-60 m sangat cocok untuk menempatkan terumbu buatan, karena pada kedalaman tersebut sangat disukai ikan dari kelompok predator. Razak dan Pauzi (1991) mengemukakan bahwa peletakan terumbu buatan mayoritas dekat dengan daratan atau pulau terdekat dengan jarak berkisar 200-500 m dari garis pantai. 5.3 Pengaruh Jenis Material Terumbu Buatan Terhadap Kelimpahan dan Komposisi Hasil Tangkapan Berdasarkan
jumlah
total
individu
spesies
yang
teramati,
maka
kelimpahan tertinggi terjadi di TB-ban (Tabel 7) dengan spesies yang mendominasi Caesio cuning. Spesies target mulai terlihat di terumbu buatan sebagai transient atau visitor setelah dua bulan pemasangan terumbu buatan dengan jumlah yang beragam setiap pengamatan. Kelimpahan spesies di masing-masing terumbu berbeda dalam hal jumlah tetapi mempunyai persamaan dalam jenisnya, beberapa jenis ikan yang terdapat di TB-ban juga berada di sekitar TB-bambu (Tabel 6 dan 7). Sebagaimana hasil penelitian terdahulu ikanikan yang dijumpai terumbu buatan adalah Lutjanidae, Serranidae, Caesionidae, Haemulidae, Siganidae, Scaridae, Carangidae dan Pomacentridae (Razak dan Pauzi 1991; Hutomo 1991; Hung 1991). Lebih lanjut Hung (1991) menambahkan Serranidae, Carrangidae, Caesionidae dan Snappers banyak ditemukan di jenis modul ban berdasarkan pengamatannya di Malaysia. Menurut Rilov dan Benayahu (1998), penciptaan terumbu buatan yang terencana dengan baik akan memberikan shelter alternatif, dimana dapat merekrut juveniles dan ikan-ikan muda, kemudian memperbesar keseluruhan populasi ikan. Fluktuasi kelimpahan ikan dapat disebabkan oleh berbagai faktor luar terutama faktor makanan dan waktu makan dari ikan, kondisi perairan yang bergelombang akibat angin menyebabkan terjadinya turbulensi sehingga air
49
menjadi keruh dan ikan sulit untuk melihat makanan yang berada di terumbu buatan (Bortone et al. 2000; Rachmawati 2001). Pengambilan data panjang dan berat ikan hasil tangkapan dilakukan pada seluruh jenis ikan yang tertangkap, yaitu panjang dan berat ikan yang dikonsumsi dan ikan hias yang dijual oleh nelayan setempat. Secara umum ikan yang tertangkap oleh bubu memiliki berat dan ukuran yang hampir sama untuk setiap jenisnya. Ini membuktikan bahwa sifat ikan karang adalah hidup atau tinggal secara berkelompok menurut jenis dan ukuran tertentu. Hasil tangkapan pada TB-ban dan TB-bambu didominasi spesies Caesio cuning (Tabel 5), yang menunjukkan bahwa hasil tangkapan sama dengan kelimpahan spesies yang mendominasi di sekitar terumbu buatan. Hal ini diduga karena kelimpahan dan biomassa spesies Caesio cuning tinggi di daerah yang bersangkutan dan lokasi penempatan terumbu buatan merupakan swimming layer dari spesies ini yaitu kedalaman < 60 meter. Hasil tangkapan ikan target, indikator dan mayor di TBban
71% dari kelimpahan ikan TB-ban. Untuk hasil tangkapan ikan target,
indikator dan mayor di TB-bambu 74% dari kelimpahan ikan di TB-bambu. Dari perbandingan hasil tangkapan dengan kelimpahan ikan di kedua terumbu buatan menunjukkan bahwa terumbu buatan dapat digunakan sebagai daerah penangkapan ikan. Berdasarkan
hasil
perhitungan,
terdapat
perbedaan
jumlah
hasil
tangkapan baik dari segi jumlah (ekor) maupun berat yang diperoleh. Perbedaan ini tidak terlepas dari adanya bahan material yang berbeda pada terumbu buatan. Pada hasil analisis statistik diperoleh hasil yang ‘berbeda nyata’ (thit 3,6 dan ttab 1,7, α 0,05) antara hasil tangkapan total di TB-ban dan TB-bambu (Lampiran 4 dan 5). Dimana hasil tangkapan di TB-ban mempunyai jumlah hasil tangkapan yang lebih besar dibanding TB-bambu. Hal ini disebabkan model konstruksi TBban lebih variatif, dalam hal ini jumlah celah atau lubang yang dimiliki cukup banyak. Begitu juga untuk keempat jenis ikan konsumsi yang dianalisis menunjukkan hasil yang ‘berbeda nyata’ kecuali untuk ikan swanggi thit < ttab. Ini menunjukkan bahwa TB-ban mampu atau efektif dalam mengumpulkan ikan. Beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa terumbu buatan yang dibuat dari ban mobil bekas pertama kali dikonstruksi oleh Silliman University Marine Laboratory pada tahun 1977 di Dumaguete City untuk memonitor produktivitas ikan (Miclat dan Miclat 1989). Razak dan Pauzi (1991) menyatakan bahwa ban tidak terdegradasi di laut dan tidak beracun. Ban sangat baik bagi
50
substrat penempel habitat baru ikan dan berbagai biota laut. Sebaliknya, ban bekas di Eropa diduga sebagai sumber polusi (polluting leachate) yang potensial sehingga jarang digunakan. Di Amerika lebih menekankan pada material opportunity seperti lambung kapal, beton sisa, ban mobil, stone rubble dan kerangka bekas anjungan pengeboran minyak lepas pantai (Stone et al. 1991). Kelebihan bahan bekas sering diperoleh dengan tanpa biaya dan tanpa modifikasi berarti dalam penebaran, kecuali hanya membersihkan bahan-bahan yang mungkin membahayakan lingkungan (Woodhead et al. 1985). Tingginya kelimpahan dan hasil tangkapan spesies di TB-ban, diduga berkaitan dengan ukuran rongga (shelter) yang lebih kecil dan lebih kompleks dibanding TB-bambu (Gambar 3 dan 4). Beberapa studi yang menunjukkan bahwa ukuran rongga (hole size) dan jumlahnya mempengaruhi assemblages (Bortone dan Kimmel 1991). Walsh (1985) menemukan komposisi rongga hanya berpengaruh kecil terhadap assemblages pada siang hari, tetapi penting bagi ikan pada malam hari sebagai tempat berlindung di lepas pantai Hawai. Shulman (1984) juga menemukan bahwa rongga mampu menghindarkan ikan dari predator, kemudian meningkatkan rekrut juvenile, jumlah spesies dan densitas total ikan pada terumbu kecil di Kepulauan Virgin. Studi lain mengindikasikan bahwa terumbu dengan rongga ukuran besar kurang memberikan perlindungan terhadap ikan-ikan kecil dari predator, sehingga kelimpahan ikan dan keragaman spesiesnya rendah (Shulman 1984; Hixon dan Beets 1989). Ogawa (1982) melaporkan bahwa ikan tidak akan menempati rongga dengan ukuran bukaan 2 m atau lebih, dan merekomendasikan bukaan rongga yang terbaik untuk tujuan perikanan adalah berkisar antara 0,15 m sampai 1,5 m. Untuk analisis berat hasil tangkapan pada TB-ban dan TB-bambu tidak memberikan beda yang nyata terhadap berat hasil tangkapan. Tidak adanya perbedaan yang nyata dapat disebabkan oleh keseragaman ukuran tiap jenis ikan yang tertangkap, sehingga dapat dipastikan jumlah jenis ikan yang tertangkap dalam satu bubu akan diikuti dengan jumlah berat ikan yang hampir sama untuk setiap jenis. Sehingga dapat dikatakan jumlah hasil tangkapan berbanding lurus dengan berat hasil tangkapan bubu untuk setiap jenis ikan. Spesies yang muncul pada pengamatan di kedua terumbu buatan tidak selalu menjadi hasil tangkapan bubu. Kemungkinan spesies tersebut terdesak oleh competitor dan predator, atau hanya menggunakan terumbu buatan sebagai habitat sementara dan berpindah ketika shelter tidak sesuai lagi dengan ukuran
51
tubuhnya. Hal ini mungkin juga berkaitan dengan ukuran unit volume rangka terumbu yang dikontruksi relatif kecil yaitu hanya 1,3 m3, sehingga kurang memadai sebagai shelter permanen. Terumbu ukuran kecil memang mempunyai keterbatasan nilai sebagai nursery ground dan sebagai sumber peningkatan produksi (Moffit et al. 1989). Untuk keseimbangan produksi ikan, maka terumbu yang lebih besar akan lebih efektif dalam menawarkan peningkatan habitat, dan menyanggah kondisi lingkungan yang merugikan (Ambrose dan Swarbrick 1989). Kurangnya spesies residen di terumbu buatan, juga berkaitan dengan ukuran unit dan kompleksitas terumbu. Tingkah laku ikan dapat berbeda diantara terumbu, misalnya suatu spesies mungkin residen pada terumbu yang besar, tetapi hanya sebagai transient (visitor) pada struktur terumbu kecil, karena tidak ada sumber makanan dan shelter yang memadai untuk mendukung suatu populasi permanen, atau dapat juga ikan akan berpindah-pindah di antara habitat terumbu yang berdekatan (Bohnsack et al. 1991). Tersedianya rongga-rongga besar,
menyebabkan
peningkatan
kelimpahan
ikan-ikan
ukuran
besar,
khususnya dimana mangsanya terkonsentrasi di daerah dekat terumbu (Eggleston et al. 1990; 1992), yang kemudian pada gilirannya menurunkan populasi ikan-ikan kecil. Tingkat survival mangsa dalam skenario ini dapat menjadi lebih tinggi di daerah jauh dari terumbu daripada di dekat terumbu (Eggleston et al. 1994). Rongga-rongga kecil dengan ukuran hanya beberapa cm telah menunjukkan berperan penting untuk survival juvenile ikan-ikan karang (Shulman 1984; Hixon dan Beets 1989; Bohnsack et al. 1994). Disadari bahwa kelimpahan dan hasil tangkapan (Tabel 5-7) berbagai spesies
ikan
di
terumbu
buatan,
tidak
secara
nyata
menggambarkan
assemblages spesies di terumbu buatan, karena berbagai kendala teknis dan singkatnya waktu pengamatan (short-term monitoring). Jumlah individu dan biomassa ikan mungkin diestimasi terlampau tinggi atau sebaliknya, dimana kondisi lingkungan disekitarnya kurang dipertimbangkan. Setiap metode mengklasifikasikan assemblages memiliki bias, seperti dalam mencatat ikan secara taksonomi sederhana. Sebagai contoh, perubahan ukuran tubuh ikan seiring dengan pertumbuhan, dapat mengaburkan perubahan ontogenetic niche secara drastis, karena perubahan ekologi dan morfologi individual (Bohnsack et al. 1991), dimana perubahan ontogenetic tersebut dapat berlanjut terus atau terhenti mendadak, tetapi sering bergantung pada jenis spesies ikan.
52
Ukuran spesies target kurang dari 9 cm sulit sekali dikenali secara taksonomi dalam penelitian ini, karena disamping liar, bentuk dan warnanya kadang-kadang sangat berbeda dengan ikan dewasa, sehingga biota tersebut dikategorikan sebagai criptic spesies dan diabaikan. Bahkan Bortone dan Kimmel (1991) mengungkapkan bahwa penyelam terlatih sekalipun akan kesulitan dalam menentukan kelompok ukuran 5 cm secara tepat. Beberapa jenis ikan yang sering bergerombol tetapi bergerak cepat, juga sangat sulit didekati pada jarak 5 m, dan segera melarikan diri dengan adanya kehadiran penyelam (shy of scuba divers). Menurut Nybakken (1992), ikan karang merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak dan juga merupakan organisme yang mencolok yang dapat ditemui di sebuah terumbu karang. Kecenderungan dari ikan-ikan karang adalah mereka tidak berpindah-pindah dan selalu berada pada daerah tertentu dan sangat terlokalisasi walaupun masih banyak luasan terumbu yang lain. Famili Caesionidae merupakan jenis ikan konsumsi yang melimpah di sekitar terumbu buatan dan paling banyak tertangkap menggunakan alat tangkap bubu. Caesio biasanya ditemukan menggerombol (schooling) dalam jumlah besar bahkan sampai beberapa ratus ekor. Famili ini merupakan pemakan zooplankton yang berada di atas terumbu karang. Melimpahnya ikan dari famili ini disekitar terumbu buatan dan hasil tangkapan diduga karena terumbu buatan dijadikan sebagai tempat untuk beristirahat karena sifat ikan dari famili ini yang bermigrasi secara kelompok. Sebagaimana dikemukakan oleh Mottet (1981) berkaitan dengan fungsi terumbu buatan sebagai tempat hidup ikan karang dibagi menjadi tiga kategori besar dimana spesies caesio termasuk dalam kategori pertama yaitu ikan migrator permukaan dan kolom air (migratory surface and mid water fish). Selain itu di perairan pulau Pramuka jenis ikan Caesio cuning memiliki schooling yang besar dan memiliki penguasaan territorial tinggi. Rata-rata ukuran ikan ekor kuning (Caesio cuning) yang tertangkap adalah pada kisaran panjang 22-25 cm atau dengan ukuran nelayan setempat 5 ekor dalam 1 kg (Gambar 9). Ikan ekor kuning pada umumnya mencapai tahap dewasa pada ukuran 25-45 cm dan pada selang ukuran 33-46 cm atau 2 ekor dalam 1 kg baru merupakan ukuran tangkap yang optimal, dalam arti memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi.
Ikan konsumsi dari famili Nemipteridae merupakan hasil tangkapan yang mendominasi kedua setelah Caesionidae. Famili Nemipteridae (pasir selat) hidup soliter atau dalam group kecil. Mempunyai warna terang dan kelihatan selalu
53
diam tapi bila terusik berenang dengan cepat. Makanan terdiri dari invertebrate kecil, cacing dan binatang bentik lainnya. Famili ini mencari makan di daerah berpasir dengan mematuk-matuk dasar. Ikan dari famili ini termasuk diurnal dan malam hari beristirahat diantara karang. Diduga malam hari banyak berlindung di terumbu buatan dan tertangkap bubu karena sifat tigmotaksis, ikan langsung berenang disekeliling bubu pada saat bubu dipasang. Spesies ikan dari famili Nemipteridae yang banyak tertangkap adalah genus Scolopsis. Ukuran maksimal dari genus Scolopsis 25 cm. Scolopsis yang tertangkap selama pengoperasian bubu berada pada kisaran panjang 9-22 cm. Ukuran yang banyak tertangkap pada kisaran panjang 13-14 cm (Gambar 9). Ikan konsumsi dari famili Holocentridae (swanggi) terkenal dengan sebutan nocturnal predator atau predator malam hari. Ikan ini aktif mencari makan pada malam hari dan dilengkapi oleh mata yang besar untuk beradaptasi di kegelapan. Ikan ini terkenal dengan perilaku teritorial yang tinggi, hidup menyendiri sesama jenis dan menguasai wilayah karang tertentu. Penyebab tertangkapnya ikan ini diduga karena tempat pemasangan bubu merupakan wilayah teritorial mereka. Penentuan layak tangkap untuk ikan swanggi dari famili Holocentidae yang merupakan ikan konsumsi masyarakat juga berdasarkan ukuran panjangnya. Ukuran panjang maksimum swanggi adalah 20 cm (www.fishbase.org). Swanggi yang tertangkap saat penelitian memiliki kisaran panjang 11-18 cm. Ukuran swanggi yang banyak tertangkap berada pada kisaran 11-12 cm (Gambar 9). Length at first maturity dari swanggi berukuran 17,5 cm. Hal ini menunjukkan bahwa swanggi yang tertangkap belum sepenuhnya layak tangkap. Hal ini mungkin disebabkan kedalaman pemasangan bubu yang bukan habitat dari swanggi berukuran besar. Ikan konsumsi dari famili Siganidae mudah dikenali dengan bentuk tubuh pipih, mulut yang tebal dan duri-duri dorsal dan anal yang keras. Umumnya berwarna cerah dengan corak yang khas. Ikan ini umumnya merupakan herbivor pemakan alga. Famili ini mencari makan dalam kelompok yang besar namun terkadang hidup soliter atau berpasangan (Burgess 1973). Hidup di kedalaman 20-50 meter (www.fishbase.org) sehingga menjadi salah satu spesies yang mendominasi hasil tangkapan. Penentuan layak tangkap beronang (Siganus sutor) didasarkan pada ukuran panjangnya. Ukuran panjang maksimum beronang adalah 35 cm (Dirjen Perikanan 1979; FAO 1988; www.fishbase.org). Panjang beronang yang siap memijah berukuran mulai dari 19,8 cm (Madeali
54
1985). Beronang yang tertangkap selama pengoperasian bubu pada kisaran 1120 cm. Ukuran yang banyak tertangkap selama pengoperasian bubu berada pada kisaran panjang 19-20 cm (Gambar 9). Ikan dari famili Scaridae adalah ikan diurnal, yaitu ikan yang aktif pada siang hari. Ikan ini termasuk dalam ikan herbivora pemakan karang yang hidup secara bergerombol untuk mencari makan. Tertangkapnya ikan-ikan dari famili Scaridae mempunyai presentase kecil diduga karena ikan ini hidup bergerombol di perairan dengan kedalaman yang lebih rendah dibandingkan dengan tempat pemasangan bubu dan terumbu buatan. White (1987) mengemukakan bahwa ikan kakatua (parrot fish) memiliki pengaruh besar terhadap erosi karang dan perubahan susunan pasir. Satu ekor ikan dewasa diperkirakan mampu merusak 500 kg pasir per tahun pada terumbu. Ikan dari famili Pomacentridae adalah jenis ikan omnivora (pemakan segalanya dari ganggang sampai anemon, dan dari siput laut sampai ikan) yang aktif mencari makan pada siang hari terdapat di semua laut tropis dan penyebarannya luas (Depdikbud 1992, TERANGI 2004). Ikan kepe-kepe dari famili Chaetodontidae juga tertangkap, namun dalam jumlah kecil. Ikan omnivora ini memiliki mulut kecil yang giginya digunakan untuk mematuk cacing kecil dan hewan tidak bertulang belakang lainnya dari celah batu karang. Famili Chaetodontidae dan Pomacanthidae terkenal akan keindahan warnanya. Famili Chaetodontidae memakan hard coral dan soft coral, alga, zoantharians, tunicates dan gorgonian. Kedua famili aktif mencari makan di siang hari, umumnya berpasangan dan monogami. Kedua famili memiliki dan mempertahankan daerah teritorialnya (Allen 1987) Ikan-ikan dari famili Labridae atau lebih dikenal dengan sebutan ikan bibir karena memiliki bibir yang dapat disembulkan. Ikan ini merupakan ikan omnivora yang sering memakan kerang-kerangan dengan cara menyembulkan mulutnya keluar. Mangsanya berupa moluska, cacing, krustacea dan ikan kecil (Allen 1987). Selanjutnya ikan dari famili Serranidae yaitu ikan kerapu (Epinephelus sp) merupakan ikan predator ganas yang memangsa ikan-ikan pada struktur trofik yang lebih rendah dan aktif mencari makan pada malam hari sampai menjelang subuh. Ikan ini diduga tertarik oleh bubu karena sifat tigmotaksis ikan yang selalu ingin bersembunyi di karang dan menunggu mangsanya lewat. Sehingga pendapat Gunarso (1985) bahwa penyediaan tempat-tempat bersembunyi maupun berlindung ikan-ikan, sebagai salah satu jenis pikatan cukup beralasan
55
dan sudah lama dipraktekkan nelayan. Hal tersebut tidak hanya meliputi berbagai bentuk seperti gua-gua agar ikan dapat berlindung dan bersembunyi, tetapi juga berupa tempat-tempat berteduh dan berbagai tempat tertentu agar ikan dapat berkumpul. 5.4 Pengaruh Perifiton Terhadap Kelimpahan Dan Komposisi Hasil Tangkapan Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan yang tertangkap selama penelitian adalah jenis ikan karang yang menjadi konsumsi masyarakat (target) dan jenis ikan hias. Kelimpahan organisme di habitat terumbu buatan ini tidak terlepas dari fungsinya sebagai tempat tinggal dan berlindung, dimana terumbu buatan memberikan agregasi yang kuat untuk mengumpulkan ikan supaya tinggal di dalamnya sekaligus berlindung. Dengan lubang atau celah yang cukup memungkinkan organisme karang (ikan karang) untuk menetap. Kemudian terumbu buatan juga merupakan habitat penyedia makanan. Keberadaan organisme penempel memicu kehadiran organisme (ikan) yang membutuhkan makanan darinya. Selain itu terumbu buatan juga menyediakan makanan melalui fungsinya sebagai perangkap organisme plankton. Plankton yang melewati terumbu akan dimakan oleh ikan-ikan kecil (plankton feeder) dan ikan-ikan kecil ini merupakan sumber makanan bagi ikanikan yang ukurannya lebih besar. Jadi dengan ketersediaan ruang, perlindungan dan makanan ini menyebabkan organisme karang yang hidup didalamnya cukup melimpah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Wagiyo (1996) yang menyebutkan bahwa terumbu buatan dibuat sebagai tempat tinggal dan memberi perlindungan, sumber makanan dan sebagai tempat berkembang biak. Jadi semakin banyak celah atau lubang yang terdapat pada satu unit terumbu buatan, maka semakin banyak pula tempat yang tersedia disana, sehingga jumlah huniannya dapat lebih banyak. Wasilun dan Murniyati (1997) mengemukakan bahwa terumbu buatan setelah beberapa waktu ditempatkan di dasar perairan, akan ditumbuhi oleh berbagai jenis biota penempel seperti algae, karang lunak dan biota penempel lainnya yang diantaranya merupakan jenis makanan ikan, sehingga dengan demikian ikan akan datang ke terumbu, selain untuk mencari tempat berlindung juga mencari makan dan pada akhirnya akan berkembang biak di terumbu buatan tersebut. Berkumpulnya ikan di terumbu buatan disebabkan karena adanya proses kolonisasi dan suksesi. Kolonisasi adalah suatu proses penempatan atau
56
penghunian suatu daerah atau tempat oleh suatu organisme, sedangkan suksesi merupakan suatu proses pergantian dari suatu atau sekelompok jenis organisme oleh yang lainnya dengan komposisi dan struktur yang berbeda. Kolonisasi pada terumbu buatan pertama kali diawali dengan adanya perifiton dan kemudian diikuti dengan biota lain, selanjutnya kolonisasi ini diikuti oleh proses suksesi lainnya sehingga mencapai keadaan stabil (D’Itri 1985; Atmadja 1986). Keberadaan perifiton yang menempel pada terumbu buatan merupakan sumber makanan mengakibatkan ikan-ikan berkumpul baik dalam jumlah individu maupun spesies. substrat
yang
Perifiton adalah mikroflora yang tumbuh menempel pada
tenggelam
(Weitzel
1979).
Perifiton,
mikroplankton,
dan
fitoplankton adalah biota utama yang menentukan tingkat produktivitas primer perairan. Perifiton yang menempel pada terumbu buatan (TB-ban dan TB-bambu) didominasi dari kelas Bacillariphyceae (diatom) (Tabel 8 dan Gambar 10). Tingginya persentase kepadatan Bacillariphyceae yang ditemukan karena diatom (Bacillariphyceae)
merupakan
komponen
utama
dari
lumpur
laut
(Mc
Connanghey 1986). Selain itu organisme dari kelas ini pada umumnya dilengkapi dengan alat berupa tangkai gelatin yang dapat membantu dirinya untuk melekat pada substrat tertentu. Organisme yang memiliki alat perekat lebih mudah menempel pada substrat yang lebih keras dan kasar, dalam hal ini kelas Bacillariphyceae lebih mudah menempel pada ban mobil daripada bambu. Tangkai gelatin ada yang bercabang pendek atau panjang, dan dengan alat ini organisme memiliki kemampuan untuk menahan arus yang relatif deras (Arnofa 1997). Eksistensi diatom dapat pula dipergunakan sebagai indicator kualitas air, dimana mereka hidup. Sebagai contoh Navicula dan Nitzchia yang merupakan indikator perairan yang dihuninya sudah tercemar (Schubert 1984). Penelitian terdahulu oleh Syam (1994) menunjukkan bahwa perifiton yang ditemukan di terumbu buatan ban mobil bekas dan bambu terdiri dari 48 spesies yang dikategorikan ke dalam tujuh kelas. Empat kelas berasal dari golongan hewani yaitu Sarcodina, Chromonadae, Ciliata dan Crustaceae dan tiga dari golongan nabati yaitu Bacillariophyceae (diatom) yang terdiri dari 26 spesies, kemudian diikuti kelas Crustaceae sebanyak tujuh spesies, kemudian Sarcodina sebanyak enam spesies, Ciliata sebanyak tiga spesies, Chromonadae dua spesies dan Cyanophyceae sebanyak dua spesies.
57
Lebih
lanjut
hasil
penelitian
FAO
(1990)
menyebutkan
bahwa
perkembangan biota penempel pada terumbu buatan diawali oleh jenis diatom dan algae lalu akan tumbuh dan berkembang jenis kerang-kerangan (oyster, teritip, dan barnacles) dan coral atau karang. Miclat dan Miclat (1969) menyatakan bahwa ikan yang pertama berkumpul di terumbu karang adalah ikan pemakan algae, setelah itu ikan juvenile dan akan diikuti ikan yang lebih besar yang akan memakan ikan juvenile. Dalam waktu dua bulan ikan-ikan akan sangat cepat berkumpul di terumbu buatan (Gambar 12).
Gambar 12 Jaringan makanan pada terumbu buatan dari bahan bambu dan ban mobil bekas di Danau Smith Mountain, modifikasi dari Prince dalam D’Itri (1985) Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa ikan-ikan berkumpul di terumbu buatan antara lain disebabkan oleh proses pembentukan rantai makanan lokal. Proses ini diawali dengan terbentuknya akumulasi atau kolonisasi perifiton yang yang diikuti dengan terkumpulnya pemangsa perifiton, dan kemudian plankton feeder. Kolonisasi oleh mikroorganisme, baik mikroba maupun mikroalga akan menarik perhatian juvenile ikan, ikan berukuran kecil sampai ikan berukuran besar sehingga akan menyebabkan terjadinya food web di sekitar terumbu buatan (Russel et al. 1974; Werner 1986: Bohnsack et al. 1991). Nybakken (1992) mengemukakan bahwa dalam setiap komunitas, spesies tidak terisolasi, tetapi berinteraksi dengan spesies lain pada daerah yang sama sehingga akan terjadi proses makan dan dimakan dalam komunitas tersebut.
58
Sebagian besar ikan mempunyai peranan ekologis yang berbeda-beda, dan bergantung pada ukuran dan tahapan pertumbuhan dalam siklus hidupnya (Bohnsack et al. 1991). Perubahan ukuran tubuh akibat pertumbuhan akan mempengaruhi kemampuan pemanfaatan makanan, terutama jenis dan kisaran ukuran makanan, serta pengurangan resiko predasi. Ikan ketika masih kecil cenderung tinggal dekat struktur buatan sebagai proteksi, tetapi ketika ukurannya lebih besar dan lebih tahan terhadap predasi akan cenderung lebih lama jauh dari habitat. Walaupun assemblages di terumbu buatan, tetapi terdapat kecenderungan bahwa ikan karnivora mendominasi habitat terumbu buatan. Sebagai contoh, Brock dan Grace (1987) menemukan bahwa ikan karnivora mendominasi biomassa ikan (70%) di habitat buatan Hawai, kemudian diikuti oleh herbivore, planktivora dan omnivore. Beberapa fakta di daerah tropis menunjukkan bahwa shelter terhadap predasi lebih penting daripada makanan dalam mendeterminasi kelimpahan ikan (Bohnsack et al. 1990). Berdasarkan analisis isi perut ikan menunjukkan makanan bukanlah alasan utama mengapa ikan berkumpul di sekitar terumbu (Kakimoto 1982). Shelter merupakan pusat dari pola tingkah ikan-ikan muda yang sedang mengalami proses pertumbuhan, sehingga terumbu buatan yang memiliki rongga beragam dan didominasi oleh ukuran kecil (0,15-1 m) adalah sesuai sebagai habitat nursery grund. Kompleksitas terumbu buatan terutama tekstur permukaan berperan penting dalam mendukung kehadiran biota penempel (sessile organisms). Karena struktur buatan yang memiliki densitas pertumbuhan sessile organisms tertinggi cenderung lebih efektif menarik ikan, dan biologicalsounder yang diciptakannya (seperti acorn barnacles dan crustaceans) juga akan menarik ikan untuk berkumpul (Ogawa 1982). Disamping itu, kelimpahan organic hasil sekresi sessile organisms yang larut dalam air (mungkin berupa feromon), mensiptakan suatu kondisi lingkungan yang memberikan rasa nyaman bagi beberapa spesies ikan (Kuroki 1982). Walaupun masih terus diperdebatkan, tetapi pada dasarnya terumbu buatan dapat meningkatkan produksi perikanan melalui dua mekanisme. Pertama, tambahan shelter akan dapat mengumpulkan ikan disekitarnya untuk masuk ke dalam biomassa ikan. Kedua, produksi primer baru dan produksi sekunder organisme penempel dasar yang didukung oleh terumbu, akan menyokong rantai makanan baru yang akhirnya akan meningkatkan biomasa ikan.
6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Tidak ada perbedaan komposisi ikan yang berkumpul diantara kedua jenis terumbu buatan. Komposisi dan jumlah ikan yang berkumpul di sekitar terumbu buatan ban lebih banyak dibandingkan terumbu buatan bambu. Jenis ikan yang berkumpul tersebut terdiri dari 15 famili, 19 genus dan 27 spesies dengan jumlah ikan 789 ekor (TB-ban) dan 402 ekor (TB-bambu). Jenis ikan yang dominan berkumpul di kedua terumbu adalah Caesio cuning, Scolopsis sp, Siganus sutor dan Sargocentron cornutum. Jumlah ikan yang tertangkap pada kedua jenis terumbu buatan ban dan bambu menggunakan alat tangkap bubu ‘berbeda nyata’ (thit 3,6 dan ttab 1,7, α 0,05), dimana terumbu buatan ban lebih banyak dibandingkan dengan terumbu buatan bambu. 6.2 Saran Saat ini terdapat banyak ban bekas yang sudah tidak layak digunakan oleh
kendaraan,
terumbu
buatan
merupakan
salah
satu
cara
untuk
memanfaatkan limbah padat tanpa perlu pengolahan. Memperhatikan keefektifan terumbu buatan dari ban bekas, disarankan untuk menggunakan ban bekas sebagai material dasar. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai analisis perut ikan (stomach content) pada ikan hasil tangkapan untuk mengetahui apakah ikan berkumpul di terumbu buatan karena adanya proses food web.
59
DAFTAR PUSTAKA Adrim M. 1997. Metodologi penelitian ikan-ikan karang. Materi Kursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. Diselenggarakan oleh P3O-LIPI, Jakarta. 100 hlm. Alfian F. 2005. Pemanfaatan terumbu karang buatan sebagai daerah penangkapan ikan alternatif di perairan pulau Sebesi, Lampung [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 67 hlm. Allen G R, R C Steene. 1987. Reef Fishes of The Indian Ocean. TFH Publication Inc. Canada. pg : 27-151. Ambrose RF, Swarbrick SA. 1989. Comparison of fish assemblages on artificial and natural reefs off the coast of southern California. Bulletin of Marine Science 44 : 718-733. American Public Health Association.1995. Standard Methods for Examination of Water and Waste Water. 19th edition. APHA, AWWA (American Water Work Association) and WPCF (Water Pollution Contol Federation). Washington, D. C. 33464 p Anderson T W, De Martini E E, Roberts D A. 1989. The relationship between habitat structure, body size and distribution of fishes at a temperate artificial reef. Bulletin of Marine Science 44 : 681-697. Arnofa. 1997. Ekostruktur perifiton pada padang lamun di perairan Sekantung, teluk Banten, Jawa Barat [skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan. IPB. hlm 31-64. Atmadja W S. 1986. Kolonisasi dan Suksesi pada Algae Laut Bentik : Oseano Vol. XI No. 1. P30-LIPI. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2006. Kepulauan Seribu dalam Angka. BPS. Kotamadya Jakarta Utara. hlm 2-78. Baine M. 2001. Artificial reefs : a review of their design, application, management and performance. Ocean and Coastal Management. 44 : 241-259. Beets J, Hixon M A. 1994. Distribution, persistence and growth of grouper on artificial and antural patch reef in the Virginia Island. Bulletin of Marine Science 55 (2-3) : 470-483. Bohnsack J A, Johnson D L, Ambrose R F. 1991. Ecology of artificial habitats and fishes, In Seaman W Jr, Sprague L M. (eds). Artificial Habitats for Marine and Freshwater Fisheries. Academic Press. San Diego. Pg 61-107. Bohnsack JA, Harper DE, McClellan DB, Hulsbeck M. 1994. Effect of reef size on colonization and assemblage structure of fishes at artificial reefs off eastern Florida, USA. Bulletin of Marine Science 55 (2-3) : 796-823.
60
61 Bombace G, G Fabi, L Fiorentini, S Speranza. 1994. Analysis of the efficacy of artificial reefs located in five different areas of the Adriatic Sea. Bulletin of Marine Science 55 (2-3) : 559-580. Bombace G, G Fabi, L Fiorentini, S Speranza. 1995. Artificial reefs and mariculture : the Italian experiences. Proceeding of the international conference on ecological system enhancement technology for aquatic environtment, Tokyo, Japan. Pg 830-835. Bortone S A, Kimmel JJ. 1991. Environmental assessment and monitoring of artificial reefs (177-236). In : Seaman W Jr, Sprague L M. (eds). Artificial habitats for marine and freshwater fisheries. Academic Press. San Diego. Bortone S A, Samoilys M A, Francour P. 2000. Fish and macroinvertebrate evaluation methods. In : Seaman W Jr. Artificial Reef Evaluation, with Application to Natural Marine Habitats. CRC Press New York. Pg 127-164. Branden K L, Pollard D A, Reimers H A. 1994. A review of recent artificial reef developments in Australia. Bulletin Marine of Science 55 (2-3) : 982-994. Brandt A V. 1984. Fish Catching Methods of The World. Fishing news book. Ltd. London. 418 pg. Burgess W F, H R Axelrood. 1973. Fishes of The Southern Japan and The Ryukyus. Book I. TFH Publication Inc., Canada. Pg : 35-224. Candle R B. 1985. Scrap tires as artificial reefs. In Frank M. D’Itri (ed). 1985. Artificial Reef : Marine and Freshwater Applications. Lewis Publisher, Inc. Michigan. Pg 293-302. Chandler R, Sanders R M, Landry A M Jr. 1985. Effects of three substrate variables on two artificial reef fish communities. Bulletin of Marine Science 37 : 129-142. Cesar H. 1996. Economis analysis of Indonesian coral reefs. Environment Departement. Work in progress. Toward environmentally and socially sustainable development. The World Bank. 97 pg. Dean L. 1983. Undersea oases made by man : artificial reefs create new fishing grounds. Ocean 26 (May-June). Pg 27-29. Delemendo M. N. 1991. A review of artificial reefs development and use of fish aggregating devices (FADs) in the ASEAN region. Symposium on Artificial Reefs and Fish Aggregating Devices as tools for The Management and Enhancement of Marine Fishery Resources. Colombo, Srilanka : 14-17 May 1990. Regional Office for Asia and the Pacific (RAPA) Food and Agriculture Organization of the United Nations Bangkok. Pg 116-141. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1992. Ensiklopedia Indonesia. Seri Fauna Ikan. PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Hlm : 171-225.
62 Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 2005. Pedoman Pengelolaan Terumbu Buatan dan Transplantasi Karang. Departemen Kelautan dan Perikanan. 93 hlm. Direktorat Jenderal Perikanan. 1979. Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya Perikanan Laut. Bagian I Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting. Departemen Pertanian. Jakarta. 170 hlm. Dirjen PHPA. 2003. Laporan Kegiatan Pembangunan Percontohan Budidaya Terumbu Karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. Departemen Kehutanan. 36 hlm. D’Itri F M. 1985. Artificial Reef, Marine and Freshwater Application. Lewis publisher, Michigan. USA. 589 hlm. Effendi. 1993. Studi habitat dan kepadatan vertikal bulu babi Diadema setosum (leske), di perairan Pulau Pramuka Kepulauan seribu [skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. 69 hlm. Eggleston D B, Lipcius R N, Miller D L, Coba Centina L. 1990. Shelter scaling regulates survival of juvenile Caribbean spiny lobster, Panulirus argus. Marine Ecology Progress Series. 682:79-88. Eggleston D B, Lipcius R N, Miller D L. 1992. Artificial shelter and survival of juvenile Caribbean spiny lobster Panulirus argus: spatial habitat and lobster size effects. Fisheries Bulletin 90 (4) : 691-702. Eggleston D B, Lipcius R N, Miller D L. 1994. Artificial shelter and survival of juvenile Caribbean spiny lobster Panulirus argus: spatial habitat and lobster size effects. Bulletin of Marine Science. 55 (2-3). 1334. FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Food and Agriculture Organization of United Nations, Rome. 41p FAO. 1999. Regional Guidelines for Responsible Fisheries in Southeast Asia. South Asian Fisheries Development Centre. 71 pp. Grove R S, Sonu C J. 1985. Fishing reef planning in Japan. In Frank M. D’Itri (ed). 1985. Artificial Reef : Marine and Freshwater Applications. Lewis Publisher, Inc. Michigan. Pg 187-252. Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 149 hlm. Hagino S. 1991. Artificial reefs planning and fishing-effect in Japan. IPFC Symposium on Artificial Reefs and Fish Aggregating Devices as tools for The Management and Enhancement of Marine Fishery Resources. Colombo, Srilanka : 14-17 May 1990. Regional Office for Asia and the Pacific (RAPA) Food and Agriculture Organization of the United Nations Bangkok. Pg 303-313.
63 Haris A, Chair Rani. 1992. Pembuatan Terumbu Karang Buatan di Perairan Pantai Pulau Barrang Lompo Kotamadya Ujung Pandang. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan dan Perikanan UNHAS. Ujung Pandang. 65 hlm. Harrison P J dan T R. 2000. Fisheries Oceanography (An Integrative Approach to Fisheries Ecology and Management). Blackwell Scince. Kanada. High W L, Beardsley A J. 1970. Fish Behaviour Studies From and Undersea Habitat. Comm. Fish Ref. 31-7. High W L, Ellis I E. 1973. Underwater Observation of Fish Behaviour In Traps. Helgollander Wiss. Meeresunters. 24. 341-7. Hixon M A, Brostoff W N. 1985. Substance characteristic, fish grazing and epibenthic assemblages off Hawai. Bulletin of Marine Science 37: 200-213. Hixon M A, Beets J P. 1989. Shelter characteristic and Carribean and fish assemblages: experiment with artificial reefs. Bulletin of Marine Science 44 (2) : 666-680. Hung E W F. 1991. Artificial reef and management in Malaysia. IPFC Symposium on Artificial Reefs and Fish Aggregating Devices as tools for The Management and Enhancement of Marine Fishery Resources. Colombo, Srilanka : 14-17 May 1990. Regional Office for Asia and the Pacific (RAPA) Food and Agriculture Organization of the United Nations Bangkok. Pg 392-422. Hutomo M. 1991. Teknologi terumbu buatan suatu upaya untuk meningkatkan sumber daya hayati laut. Oseana Vol. XVI. No. 1 LIPI Jakarta. Hlm 23-34. Ikawati Y, Puji S Hanggarawati, Hening Parlan, Hendrati Handini, Budiman Siswodihardjo. 2001. Terumbu Karang di Indonesia. Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. 198 hlm. Indrawadi. 2007. Rumah ikan dari http://www.bunghatta.info/content?article.173
terumbu
karang
buatan.
Indonesia Coral Reef Foundation. 2004. Panduan Dasar untuk Pengenalan Ikan Karang secara Visual. TERANGI. 23 hlm. Kakimoto H. 1982. Fish gathering mechanism of reefs: on reef function and fish attraction (257-259). In: Vik SF. (Ed). Japanese artificial reef technology. Aquabio, Inc. Annapolis, MD, Tech. Rep. 604. Kuroki T. 1982. Reefs and food organisms: attachment of sessile organisms (268-269). In: Vik SF. (Ed). Japanese artificial reef technology. Aquabio, Inc. Annapolis, MD, Tech. Rep. 604. Kuiter R H. 1992. Tropical Reef-Fishes of The Western Pacific Indonesia and adjacent Waters. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 186 hlm.
64 Lieske E dan R Myers. 2001. Reef Fishes of The World. Revised Edition. Harper Collins Publisher. London. 400 hlm. Ludwig J A, Reynolds J F. 1988. Stastitical Ecology. A primer on methods and computing. John Wiley and Sons. New York. 337 pg. Madeali M I. 1995. Penelitian pendahuluan beberapa aspek biologi ikan beronang, Malaja (Siganus canalicatus Park) di perairan Bajoe, Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai No. 21/1985. Balai Penelitian Budidaya Pantai, Maros. Hlm : 21-26. Martasuganda S. 2005. Bubu (Traps). Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 85 hlm. Matsuoka T. 1995. Selectivity of Fishing Gear and Its Application for Sustainable Development of Fisheries. Kagoshima University. Japan : 31 pp. Matsuoka T, Takafumi A. 1997. Fish Behaviour for Improving Fish Capture Technology and Selectivity of Fishing Gear. Kanagawa International Fisheries Training Centre. Japan International Cooperation Agency. Japan : 55 pp. Matthews H. Physical and geographical aspects of artificial reef site selection. In Frank M. D’Itri (ed). 1985. Artificial Reef : Marine and Freshwater Applications. Lewis Publisher, Inc. Michigan. Pp 141-148. Mc Connanghey B H. 1978. Introduction to Marine Biology. The C.V Mosby Company Toronto. 624 p. Meier M H, Eskridge J B. 1994. Made in Virginia – the past, present and potential future of Virginia’s artificial reef program. Bulletin of Marine Science 55 (2-3) : 1346. Miclat R, E Miclat. 1989. Artificial reefs : a fisheries management tool for Ligayen Gulf. ICLARM Conference Proceeding 17. p : 109-117. Monintja D R, S Martasuganda. 1991. Teknologi Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Laut II. Bogor. Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. 42 hlm. Montemayor J. R. 1991. A review of developments on artificial reefs for fishery enhancement in the Philippines. Symposium on Artificial Reefs and Fish Aggregating Devices as tools for The Management and Enhancement of Marine Fishery Resources. Colombo, Srilanka : 14-17 May 1990. Regional Office for Asia and the Pacific (RAPA) Food and Agriculture Organization of the United Nations Bangkok. Pg 229-243. Moffit R B, Parrish F A, Polovina J J. 1989. Community structure, biomass and productivity of deepwater artificial reefs in Hawaii. Bulletin of Marine Science 44 (2) : 616-630.
65 Morton J. 1990. The shore of the Tropical Pacific. Unesco Regional Office Science and Technology for South-East Asia. Jakarta. 215 pg. Mottet M G. 1981. Enhancement of the marine environment for fisheries and aquaculture in Japan. In Frank M. D’Itri (ed). 1985. Artificial Reef : Marine and Freshwater Applications. Lewis Publisher, Inc. Michigan. pp 141-148. Mottet M G. 1985. Enhancement of the marine environment for fisheries and aquaculture in Japan. In Frank M. D’Itri (ed). 1985. Artificial Reef : Marine and Freshwater Applications. Lewis Publisher, Inc. Michigan. pp 187- 251. Munro J L, Reeson P H, Gant V C. 1971. Dynamic Factors Affecting Performance of The Antilean Fish Traps. Proceeding. Gulf Caribb. Fish. Inst. 23 : 184-94. Munro J L, M C Balgos. 1995. Artificial reefs in the Philippines. International Center for Living Aquatic Resources Management (ICLARM). 61 pg. Murdiyanto B. 2003. Mengenal, Memelihara dan Melestarikan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta : COFISH Project. 78 hlm. Nakamura M. 1982a. The planning and design of artificial reefs and tsukiiso (49-65). In : Vik S F. (Ed). Japanese artificial reef technology. Aquabio, Inc., Annapolis, MD, Technical Report.604 Nakamura M. 1982b. Structures of materials and designing installation (165-200). In : Vik S F. (Ed). Japanese artificial reef technology. Aquabio, Inc., Annapolis, MD, Technical Report.604 Nasution H A. 2001. Uji coba bubu buton di perairan pulau Batanta, kabupaten Sorong, propinsi Papua [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hlm 9-11. Needham J G, P R Needham. 1969. A guide to the study of Fresh Water Biology. Fifth Ed. Holden Day. Inc. San Fransisco. hlm 8-11. Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 368 hlm. Nybakken J W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Diterjemahkan oleh H M Eidman, Koesoebiono, D G Bengen, M Hutomo, S Sukardjo. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 459 hlm. Odum E P. 1971. Fundamental Ecology. W B Sauders, Co, London. 574 pg. Ogawa Y. 1982. The present status and future prospects of artificial reefs : development trends of artificial reef unit. In: Vik S F. (Ed). Japanese artificial reef technology. Aquabio Inc. Tech. Rep. 604. pp 23-41. Patton M L, Grove R S, Harman R F. 1985. What do natural reef tell us about designing artificial reefs in southern California. Bulletin of Marine Science 37 : 279-298.
66 Pickering H, Whitemarsh D. 1997. Artificial reefs and fisheries exploitation : a review of the attraction versus production debate, the influence on design and its significant for policy. Fisheries Research 31: 39-59. Pickering H, Whitemarsh D, Jensen A. 1998. Artificial reefs as a tool to aid rehabilitation of coastal ecosystem: Investigating the potential. Marine Pollution Bulletin. Vol 37 No. 8 : 505-514. Polovina J J. 1991a. A global perspective on artificial reefs and fish aggregation devices. Symposium on Artificial Reefs and Fish Aggregating Devices as tools for The Management and Enhancement of Marine Fishery Resources. Colombo, Srilanka : 14-17 May 1990. Regional Office for Asia and the Pacific (RAPA) Food and Agriculture Organization of the United Nations Bangkok. Pg 251-257. Rachmawati R. 2001. Terumbu Buatan (Artificial Reef). Pusat Riset Teknologi Kelautan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 53 hlm. Razak A, M Pauzi. 1991. Artificial reef in Malaysia. Symposium on Artificial Reefs and Fish Aggregating Devices as tools for The Management and Enhancement of Marine Fishery Resources. Colombo, Srilanka : 14-17 May 1990. Regional Office for Asia and the Pacific (RAPA) Food and Agriculture Organization of the United Nations Bangkok. Pg 229-243. Reppie E. 2006. Desain, kontruksi dan kinerja (fisik, biologi dan sosial ekonomi) terumbu buatan sebagai nursery ground ikan-ikan karang [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 158 hlm. Rilov G, Benayahu Y. 1998. Vertical artificial structures as an alternative habitat for coral reef fishes disturbed environments. Marine Environmental Research. 45 : 431-451. Rilov G, Benayahu Y. 2002. Rehabilitation of coral reef-fish communities : the importance of artificial reefs relief to recruitment. Bulletin of Marine Science 70 (1) : 185-197. Risamasu F J L. 2000. Studi perbandingan terumbu karang buatan : modul kayu, modul bambu dan modul beton di perairan Hansisi, Semau Kupang [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 127 hlm. Rounsefelt, W H Everhart. 1962. Fishery Science. John Willey and Sons Inc. New York. Pg 147-151. Ruskin F R. 1988. Fisheries Technologies for Developing Countries. National Academy Press. Washington D C. 177 pg. Sainsburry J C. 1971. Commercial Fishing Methods, An Introduction To Vessels and Gears. Third Edition. Fishing News Books. London. 354 pg. Sale P F, Douglas W. 1984. temporal variability in the community structure to reef structure. Ecology. 65 : 409-422.
67 Santos MN, Monteiro CC. 1997. The Olhao artificial reef system (South Portugal) : Fish assemblages and fishing yield. Fisheries Research 30 : 33-41. Sardjono I. 1979. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut Bagian I. Jenisjenis Ikan Ekonomis Penting. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. 83 hlm. Schubert L.F. 1984. Algae as Ecological Indicates. F. R. Trainor. Indicator Alga Assays. Laboratory and Field Approaches. Academic Press. London. 434 (3-14). Seaman W Jr, L M Sprague. 1991. Artificial Habitats for Marine and Freshwater Fisheries. Academic Press. Inc. San Diego. 285 pg. Seaman W Jr. 2000. Artificial Reef Evaluation with Application Natural Marine Habitats. CRC press LLC. Washington DC. USA. 246 hlm. Shulman M. 1984. Resource limitation and recruitment patterns in a coral reef assemblage. Journal Experimental of Marine Biology and Ecology 74 : 85-109. Silalahi S M C. 2001. Komposisi dan kelimpahan perifiton pada terumbu karang buatan bamboo dan ban mobil bekas di perairan Tarahan, Bojonegara, kabupaten Serang, Banten [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 81 hlm. Sinanuwong K. 1991. Artificial reefs in Thailand. Food and Agriculture Organization of the United State Nation. Bangkok. 229-243 pg. Soedharma D. 1995. Studi komunitas perifiton dan komunitas ikan pada terumbu ban dan bambu di teluk Lampung. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Ilmu Kelautan. IPB. Hlm 99-113. Spieler R E, David S. G and Robin L S. 2001. Artificial substrate and coral reef restoration : what do we need to know to know what we need. Buletin of Marine Science. Vol : 69 (2). pg 1013-1030. Stone R B, Pratt H L, Parker R O, Davis G E. 1979. A comparison of fish population on an artificial and a natural reef in the Florida keys. Marine Fisheries Review 42 (9) : 1-11. Stone R B, Mc Gurrin J M, Sprague L M, Seaman Jr W. 1991. Artificial habits of the world : Synopsis and major trend (31-60). In : Seaman W Jr, Sprague L M. (eds). Artificial habitats for marine and freshwater fisheries. Academic Press. San Diego. Subani W dan Barus H R. 1989. Alat penangkapan ikan dan udang laut di Indonesia. Jurnal penelitian perikanan laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 240 hlm. Sudjana. 1992. Metode Statistika. Edisi ke-5. Tarsito. Bandung. 508 hlm.
68 Sukarno. 1988. Terumbu Karang Buatan sebagai Sarana untuk Meningkatkan Produksi Perikanan di Perairan Jepara. Jurnal Perairan Indonesia : Biologi , Budidaya, Kualitas Lingkungan dan Oseanografi Jakarta. Hlm 87-91. Suryabrata S. 1983. Metodologi Penelitian. Universitas Gajah Mada. Rajawali. Jakarta. 80 hlm. Syam A G. 1994. Komposisi dan kelimpahan perifiton pada terumbu karang buatan dari bahan bambu dan ban mobil bekas di Pantai Blebu, Teluk Lampung [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 61 hlm. Tarigan I N. 1995. Kontribusi ekosistem terumbu buatan dari bahan bambu dan ban mobil bekas terhadap struktur komunitas ikan di perairan pantai Blebu, Teluk Lampung [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 81 hlm. Tirtana S. 2003. Selektivitas ukuran ikan kakap (Lutjanus sp) pada bubu yang dilengkapi dengan celah pelolosan (escaping gates) [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hlm 4-8. Wagiyo K. 1996. Ekosistem terumbu karang buatan untuk meningkatkan sumber daya hayati dan diversifikasi usaha masyarakat. Kumpulan Makalah Seminar Benua Maritim Indonesia tanggal 18-19 Desember 1996. Kerjasama BPPT dan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional Ujung Pandang. Walsh W J. 1985. Reef fish community dynamics on small artificial reefs: The influence of isolation, habitat structure and biogeography. Bulletin of Marine Science. 36 : 357-376. Wasilun, Murniyati. 1997. Pengembangan terumbu buatan sebagai alternatif teknologi kerusakan terumbu karang. Penelitian Perikanan Indonesia Warta Vol III. No. 2. Hlm 10-14. Weitzel R L. 1979. Periphyton measurement and applications. In methods and measurement of periphyton communities. American Society for Testing and Animal, Philadelpia. Hlm 3-20. White A T. 1987. Coral Reefs : Valuable Resources of Southeast Asia. ICLARM Education series I. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines. Page : 19-22. White A. T, L. M Chon, M. W. R. N de Silva, F. Y Guarin. 1990. Artificial Reefs for Marine Habitat Enhancement in Southeast Asia. ICLARM Education. International Center for Aquatic Resources Management, Philipines. Series. II. 45pg. Woodhead P M J, Jacobson M E. 1985. Epifaunal settlement, the process of community development and succession over two years on an artificial reef in the New York Bight. Bulletin of Marine Science. 37 : 364-376.
69 Wong E F H. 1991. Artificial reef development and management in Malaysia. Symposium on Artificial Reefs and Fish Aggregating Devices as tools for The Management and Enhancement of Marine Fishery Resources. Colombo, Srilanka : 14-17 May 1990. Regional Office for Asia and the Pacific (RAPA) Food and Agriculture Organization of the United Nations Bangkok. Pg 392-415. www.fishbase.org.2008. FishBase MC PO Box 2631 0718 Makati, Philippines. [20 Januari 2008]. Yahmantoro, A Budiyanto. 1991. Teknik Pembuatan Terumbu Buatan di Goba Soa Besar Pulau Tikus, Gugus Pulau Pari. OSEANA, 17 : 45-53. Yip M. 1998. An overview of artificial reefs, advantages and disadvantages of artificial reefs design, material and concepts of realization around the Globe. Colloquial Meeting of Marine Biology I. Saizburg. The International Year of the Reef. 12 Pg. Yuspardianto. 1998. Studi tentang efektifitas terumbu karang buatan sebagai ‘fish aggregation device’ di perairan pulau Sauh, Sumatera Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 72 hlm.
Lampiran
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
25 m 5m
15 m
25 m
15 m 5m
70
71
Lampiran 2 Peta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu
72
Lampiran 3 Uji kenormalan dan homogenitas Uji kenormalan galat percobaan
.999 .99
Probability
.95 .80 .50 .20 .05 .01 .001
10
30
50
70
Jumlah tangkapan per ulangan
Average: 28.9333 StDev: 15.9589 N: 30
Kolmogorov-Smirnov Normality Test D+: 0.119 D-: 0.078 D : 0.119 Approximate P-Value > 0.15
Uji kehomogenan ragam ralat percobaan 95% Confidence Intervals for Sigmas
Factor Levels A
B 10
15
20
25
F-Test
Levene's Test
Test Statistic: 1.676
T est Statistic: 0.369
P-Value
P-Value
: 0.345
: 0.549
Boxplots of Raw Data
A
B
0
10
20
30
40
C8
50
60
70
73
Lampiran 4 Perhitungan ‘uji t’ hasil tangkapan total ikan di terumbu buatan ban dan bambu Hari 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
TB-ban Jumlah (ekor) Berat (gram) 60 8963.5 71 13485 60 8862 28 3484.5 35 6527 49 6794 33 7163 38 6907.5 23 6568 30 4621 29 5213 22 3546 29 5481 31 5753 29 7745
Keterangan : TB-ban TB-bambu
TB-bambu Jumlah (ekor) Berat (gram) 12 2764 34 4546 44 9659 9 555 17 3986 15 5011 25 2866 42 5790 13 1120 18 2737 18 3475 4 247 16 3861 13 4411 21 3023
: terumbu buatan ban : terumbu buatan bambu
t-Test Two-Sample Assuming Unequal Variances jumlah tangkapan Mean Variance Observations Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 41.46666667 399.1238095 15 0 22 3.600294469 0.000795176 1.717144335 0.001590351 2.073873058
Variable 2 20 134.1428571 15
t-Test Two-Sample Assuming Unequal Variances berat tangkapan Mean Variance Observations Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 6740.9 6172698.9 15 0 28 3.586822908 0.000628452 1.701130908 0.001256903 2.048407115
Variable 2 3603.4 5304577.971 15
74
Lampiran 5 Perhitungan ‘uji t’ hasil tangkapan per ikan konsumsi di terumbu buatan ban dan bambu IA Ikan ekor kuning Hari 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
TB-ban Jumlah (ekor) Berat (gram) 10 3981.5 28 9466 35 7091 2 630 15 4799 16 3683 6003 15 10 2990 15 5791 11 2730 12 3637 8 1871 15 4309 14 3975 15 6040
TB-bambu Jumlah (ekor) Berat (gram) 0 0 4 2055 40 9199 0 0 13 3361 9 4011 1 320 2360 9 0 0 4 1254 11 2971 0 0 9 3024 8 3611 5 1231
t-Test Two-Sample Assuming Unequal Variances jumlah tangkapan Mean Variance Observations Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
10 15.07143 64.53297 14 0 25 2.021718 0.027016 1.708141 0.054032 2.059539
0 8.071429 103.3022 14
t-Test Two-Sample Assuming Unequal Variances berat tangkapan Mean Variance Observations Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
3981.5 4501.071 5137463 14 0 26 2.385701 0.01231 1.705618 0.02462 2.055529
0 2385.5 5871626 14
75
Lampiran 5 (lanjutan) Perhitungan ‘uji t’ hasil tangkapan per ikan target di terumbu buatan ban dan bambu B Ikan pasir selat Hari 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
TB-ban Jumlah (ekor) Berat (gram) 44 4000.5 16 1112 20 1398 13 1146.5 8 676 20 1501 566 7 23 1740.5 8 777 6 510 2 62 10 1087 11 984 17 1778 2 135
TB-bambu Jumlah (ekor) Berat (gram) 5 352 23 1772 1 40 4 247 0 0 0 0 14 1545 612 11 10 829 12 1093 3 259 4 247 5 457 0 0 11 1135
t-Test Two-Sample Assuming Unequal Variances jumlah tangkapan Mean Variance Observations Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
44 11.64286 45.17033 14 0 26 1.823999 0.039834 1.705618 0.079667 2.055529
5 7 45.53846 14
t-Test Two-Sample Assuming Unequal Variances berat tangkapan Mean Variance Observations Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
4000.5 962.3571 292019.4 14 0 26 1.738896 0.046941 1.705618 0.093883 2.055529
352 588.2857 355853.5 14
76
Lampiran 5 (lanjutan) Perhitungan ‘uji t’ hasil tangkapan per ikan target di terumbu buatan ban dan bambu C Ikan swanggi Hari 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
TB-ban Jumlah (ekor) Berat (gram) 0 0 4 260 0 0 2 160 2 162 0 0 260 4 0 0 0 0 3 210 2 162 0 0 0 0 0 0 0 0
TB-bambu Jumlah (ekor) Berat (gram) 0 0 0 0 0 0 5 308 2 245 6 1000 3 244 631 9 3 244 0 0 4 480 0 0 0 0 3 500 0 0
t-Test Two-Sample Assuming Unequal Variances jumlah tangkapan Mean Variance Observations Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
0 1.214286 2.489011 14 0 21 -1.4992 0.074353 1.720743 0.148706 2.079614
0 2.5 7.807692 14
t-Test Two-Sample Assuming Unequal Variances berat tangkapan Mean Variance Observations Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
0 86.71429 11701.3 14 0 16 -2.02048 0.0302 1.745884 0.060399 2.119905
0 260.8571 92297.82 14
77
Lampiran 5 (lanjutan) Perhitungan ‘uji t’ hasil tangkapan per ikan target di terumbu buatan ban dan bambu D Ikan beronang Hari 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
TB-ban Jumlah (ekor) Berat (gram) 0 0 9 1250 0 0 9 1261 0 0 5 680 520 4 4 577 0 0 5 747 6 750 2 301 0 0 0 0 6 850
TB-bambu Jumlah (ekor) Berat (gram) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
t-Test Two-Sample Assuming Unequal Variances jumlah tangkapan Mean Variance Observations Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
0 3.571429 10.87912 14 0 13 4.051437 0.000686 1.770933 0.001373 2.160369
0 0 0 14
t-Test Two-Sample Assuming Unequal Variances berat tangkapan Mean Variance Observations Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
0 495.4286 208897.5 14 0 13 4.055818 0.000681 1.770933 0.001361 2.160369
0 0 0 14
78
Lampiran 6 Hasil tangkapan menggunakan alat tangkap bubu per hari ulangan di terumbu buatan ban dan bambu Hari ulangan 2 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Spesies Caesio cuning Scolopsis affinis Scolopsis ciliatus Scolopsis bimaculatus Scolopsis margaritifer Parupeneus heptacanthus Cyclichthys schoepfi Parupeneus barberinus Chelmon rostratus Scarus ghobban Total
∑
TB-ban H' 11 0.3 1 0.1 13 0.3 30 0.3 0 0.0 4 0.2 1 0.1 0 0.0 0 0.0 0 0.0 60
∑
TB-bambu H' 0 0 0 0 5 2 1 1 2 1 12
0.0 0.0 0.0 0.0 0.4 0.3 0.2 0.2 0.3 0.2
Hari ulangan 4 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Spesies Caesio cuning Lethrinus lencam Siganus sutor Parupeneus barberinus Parachaetodon ocellatus Cheilinus chlorourus Sargocentron cornutum Scolopsis affinis Scolopsis bimaculatus Scolopsis margaritifer Parupeneus heptacanthus Scarus ghobban Total
TB-ban ∑ H' 28 0.4 3 0.1 9 0.3 8 0.2 1 0.1 3 0.1 4 0.2 1 0.1 4 0.2 10 0.3 0 0.0 0 0.0 71
TB-bambu ∑ H' 4 0 0 1 3 0 0 0 10 13 2 1 34
TB-ban ∑ H' 35 0.3 1 0.1 9 0.3 1 0.1 2 0.1 1 0.1 4 0.2 7 0.3 60
TB-bambu ∑ H' 40 3 1 0 0 0 0 0 44
0.3 0.0 0.0 0.1 0.2 0.0 0.0 0.0 0.4 0.4 0.2 0.1
Hari ulangan 6 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Spesies Caesio cuning Aethaloperca rogaa Scolopsis margaritifer Myripristis pralinia Cheilinus chlorourus Apogon multitaeniatus Scolopsis lineatus Scolopsis bimaculatus Total
0.1 0.2 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
79
Lampiran 6 (lanjutan) Hasil tangkapan menggunakan alat tangkap bubu per hari ulangan di terumbu buatan ban dan bambu Hari ulangan 8 No 1 2 3 4 5 6 7
Nama Spesies
∑
Caesio cuning Parupeneus barberinus Scolopsis bimaculatus Scolopsis lineatus Scolopsis margaritifer Sargocentron cornutum Siganus sutor Total
TB-ban H' 2 0.2 2 0.2 6 0.3 4 0.3 3 0.2 2 0.2 9 0.4 28
∑
TB-bambu H' 0 0 0 0 4 5 0 9
0.0 0.0 0.0 0.0 0.4 0.3 0.0
Hari ulangan 10 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Spesies
∑
Caesio cuning Parupeneus barberinus Myripristis pralinia Sargocentron cornutum Siganus virgatus Scolopsis margaritifer Apogon multitaeniatus Cheilinus chlorourus Aethaloperca rogaa Total
TB-ban H' 15 0.4 4 0.2 2 0.2 2 0.2 1 0.1 8 0.3 2 0.2 1 0.1 0 0.0 35
∑
TB-bambu H' 13 0 0 2 0 0 0 0 2 17
0.2 0.0 0.0 0.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.3
Hari ulangan 12 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Spesies Caesio cuning Scolopsis bimaculatus Scolopsis affinis Sargocentron cornutum Parachaetodon ocellatus Lethrinus lencam Siganus sutor Parupeneus heptacanthus Scolopsis margaritifer Total
∑
TB-ban H' 16 0.4 12 0.3 5 0.2 0 0.0 2 0.1 2 0.1 5 0.2 4 0.2 3 0.2 49
∑
TB-bambu H' 9 0 0 6 0 0 0 0 0 15
0.3 0.0 0.0 0.4 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
80
Lampiran 6 (lanjutan) Hasil tangkapan menggunakan alat tangkap bubu per hari ulangan di terumbu buatan ban dan bambu Hari ulangan 14 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Spesies
∑
Caesio cuning Scolopsis ciliatus Chaetodon octofasciatus Scolopsis margaritifer Sargocentron cornutum Chaetodonplus mesoleucus Scolopsis affinis Cheilinus fasciatus Siganus sutor Parupeneus heptacanthus Total
TB-ban H' 15 0.4 4 0.3 1 0.1 0 0.0 4 0.3 2 0.2 3 0.2 0 0.0 4 0.3 0 0.0 33
∑
TB-bambu H' 1 0 0 14 3 0 0 1 0 6 25
0.13 0.00 0.00 0.32 0.25 0.00 0.00 0.13 0.00 0.34
Hari ulangan 16 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nama Spesies Epinephelus fuscoguttatus Siganus sutor Caesio cuning Aethaloperca rogaa Cheilinus fasciatus Sargocentron cornutum Scolopsis ciliatus Scolopsis bimaculatus Parachaetodon ocellatus Scolopsis margaritifer Parupeneus heptacanthus Lutjanus russeli Lutjanus mahogani Chromis ovatiformis Total
TB-ban ∑ H' 1 0.1 4 0.2 10 0.4 0 0.0 0 0.0 0 0.0 10 0.4 13 0.4 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 38
TB-bambu ∑ H' 0 0 9 1 1 9 0 0 2 11 5 1 1 2 42
0.0 0.0 0.3 0.1 0.1 0.3 0.0 0.0 0.1 0.4 0.3 0.1 0.1 0.1
Hari ulangan 18 No 1 2 3 4 5
Nama Spesies Caesio cuning Scolopsis ciliatus Scolopsis margaritifer Scolopsis bimaculatus Sargocentron cornutum Total
∑
TB-ban H' 15 0.3 4 0.3 0 0.0 4 0.3 0 0.0 23
∑
TB-bambu H' 0 0 10 0 3 13
0.0 0.0 0.2 0.0 0.3
81
Lampiran 6 (lanjutan) Hasil tangkapan menggunakan alat tangkap bubu per hari ulangan di terumbu buatan ban dan bambu Hari ulangan 20 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Spesies
∑
Caesio cuning Scolopsis bimaculatus Scolopsis margaritifer Lutjanus russeli Chaetodon octofasciatus Siganus sutor Parupeneus heptacanthus Parupeneus barberinus Sargocentron cornutum Total
TB-ban H' 11 0.4 6 0.3 0 0.0 0 0.0 1 0.1 5 0.3 0 0.0 4 0.3 3 0.2 30
∑
TB-bambu H' 4 6 6 1 0 0 1 0 0 18
0.3 0.4 0.4 0.2 0.0 0.0 0.2 0.0 0.0
Hari ulangan 22 No 1 2 3 4 5 6 7
Nama Spesies Caesio cuning Parupeneus barberinus Myripristis pralinia Siganus virgatus Scolopsis margaritifer Sargocentron cornutum Siganus sutor Total
TB-ban ∑ H' 12 0.4 4 0.3 2 0.2 1 0.1 2 0.2 2 0.2 6 0.3 29
TB-bambu ∑ H' 11 0 0 0 3 4 0 18
0.3 0.0 0.0 0.0 0.3 0.3 0.0
Hari ulangan 24 No 1 2 3 4 5 6
Nama Spesies
∑
Caesio cuning Parupeneus barberinus Scolopsis lineatus Scolopsis margaritifer Siganus sutor Scolopsis bimaculatus Total
TB-ban H' 8 0.4 2 0.2 4 0.3 3 0.3 2 0.2 3 0.3 22
∑
TB-bambu H' 0 0 0 4 0 0 4
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Hari ulangan 26 No 1 2 3 4 5 6
Nama Spesies Caesio cuning Scolopsis margaritifer Scolopsis bimaculatus Apogon multitaeniatus Aethaloperca rogaa Cheilinus chlorourus Total
∑
TB-ban H' 15 0.3 6 0.3 5 0.3 2 0.2 0 0.0 1 0.1 29
∑
TB-bambu H' 9 5 0 0 2 0 16
0.3 0.4 0.0 0.0 0.3 0.0
82
Lampiran 6 (lanjutan) Hasil tangkapan menggunakan alat tangkap bubu per hari ulangan di terumbu buatan ban dan bambu Hari ulangan 28 No 1 2 3 4 5 6 7
Nama Spesies
∑
Caesio cuning Scolopsis bimaculatus Parupeneus barberinus Chelmon rostratus Scolopsis ciliatus Scolopsis affinis Sargocentron cornutum Total
TB-ban H' 14 0.4 9 0.4 0 0.0 0 0.0 3 0.2 5 0.3 0 0.0 31
∑
TB-bambu H' 8 0 1 1 0 0 3 13
0.3 0.0 0.2 0.2 0.0 0.0 0.3
Hari ulangan 30 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Spesies Caesio cuning Siganus sutor Parupeneus barberinus Lethrinus lencam Parachaetodon ocellatus Scolopsis affinis Scolopsis bimaculatus Scolopsis margaritifer Parupeneus heptacanthus Total
∑
TB-ban H' 15 0.3 6 0.3 1 0.1 4 0.3 1 0.1 1 0.1 1 0.1 0 0.0 0 0.0 29
∑
TB-bambu H' 5 0 0 0 0 0 0 11 5 21
0.3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.3 0.3
83
Lampiran 7 Analisis finansial terumbu buatan ban dan bambu Material Jumlah Harga per unit (Rp) Ban 32 buah 2500 Tali PE 12 kg 12000 Total biaya terumbu ban - Umur ekonomis 5 tahun Bambu 2 batang (Ø 9-10 cm) 30000 Tali Ijuk 1 ikat 25000 Paku 1 kg 12000 Total biaya terumbu bambu - Umur ekonomis 1 tahun Bubu 4 buah 110000 Upah 4 orang (15 hari) 15000 Total biaya Total Hasil Tangkapan Terumbu buatan ban 101,114 kg x Rp. 8000.00 Terumbu buatan bambu 54,051 kg x Rp. 8000.00 Total
Total Biaya (Rp) 80000 144000 224000 60000 25000 12000 152000 440000 900000 1716000 808912 432408 1241320
84
Lampiran 8 Tabel sebaran t