Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah): KEDAULATAN RAKYAT, 6 Januari 1991
Mengingat Usmar Ismail Diantara Film yang Terasing di Negeri Sendiri Oleh KOES YULLI
SEJARAH hanya akan mencatat orang-orang atau peristiwa-peristiwa yang mampu merubah atau memperbaiki sutu kondisi. Dan menjadi suatu kemuliaan jika kita membuka cakrawala baru di tahun ini dengan introspeksi lewat sejarah. Sejarah perfilman Indonesia pernah mencatat bahwa Usmar Ismail dengan film Krisis-nya (Krisis Perumahan) mampu menggeser keberadaan film-film import di bioskop kelas satu. Pada masa itu belum pernah terjadi sebuah film mampu bertahan selama 35 hari, dengan penonton yang relatif besar jumlahnya. Apalagi, untuk film Indonesia. Rekor masa putar di atas baru saja dalam sejarah perfilman Indonesia sampai saat ini. Sejak awalnya memang Usmar Ismail mencoba menawarkan sendiri film komedi tersebut kepada pemilik-pemilik bioskop elite. Satu-satunya bioskop elite yang menaruh perhatian pada film Krisis adalah Bioskop Metropole (Megaria). Metropole justru bioskop termegah di Indonesia pada saat itu. Sikap pemiliknya yang berani menanggung resiko pantas dihormati. Bahkan dilihat dari sudut sejarah perfilman Indonesia, sikap itu harus dicatat sebagai perkembangan sosial-politik dikalangan perbioskopan. Namun di balik peristiwa yang menggembirakan itu, pemilik bioskop Metropole menghadapi situasi yang rumit. AMPAI (America Motion Picture Association in Indonesia) memberikan satu ultimatum. Jika Metropole tidak menghentikan pemutaran Krisis, maka akan dicabut haknya sebagai pemutar film-film MGM. Ancaman semacam ini sudah tentu membuat manajer Metropole dalam kondisi dualistis. Menghentikan pemutaran Krisis berarti kerugian, namun menolak ancaman tersebut akan berakibat fatal untuk masa depan bioskopnya. Peristiwa yang menimpa Metrtopole ini adalah metafora situasi konflik antara film asing dan film nasional. Film Indonesia memang harus selalu berhadapan dengan dominasi film import, tidak saja secara komersial-ekonomis tetapi juga sosial-politis. Peristiwa yang menimpa Krisis pada 30-an yang lalu adalah sebuah cermin, dimana problem pemasaran masih terletak pada sikap pengusaha bioskop. Namun di tengah-tengah khalayak menuntut mutu karena semakin tinggi tingkat persepsinya disebabkan perkembangan sosio-kultur negeri ini, mengapa masih ada juga kejadian pencabutan pemutaran sebuah film negeri? Seperti kita tahu, baru-baru ini film Langitku Rumahku karya Slamet Rahardjo dihentikan pemutarannya di salah satu bioskop Jakarta. Kemudian menyusul dibatalkan secara demonstratif (karena tiket masuk sudah habis terjual) di sebuah gedung bioskop Yogyakarta. Alasan pencabutannya adalah LR belum mempunyai Surat Ijin Putar di Wilayah Yogyakarta. Padahal motivasi yang melandasi pemutaran film tersebut sangat bagus dan relevan untuk kepentingan studi. Sebab pada malam harinya akan diselenggarakan diskusi antara sutradara dengan penonton, pengamat, budayawan dan pelajar di Yogyakarta. Sudah tentu peristiwa tersebut mengakibatkan terjadinya pertentangan antara Perfin dan Ekapraya Film selaku produser. Padahal kalau kita boleh menilai, secara kualitatif LR bisa dipertanggungjawabkan
keberadaannya. Sebagai bukti LR mendapatkan penghargaan di festival tiga benuna (Asia, Amerika Latin, Afrika) di Nantes. Saat ini kita memang perlu bertanya, namun jangan dulu kepada pinggul yang bergoyang seperti yang dikatakan Linus Suryadi AG. Karena di sana kita tidak pernah menemukan jawab. Kita hanya akan melihat sebuah fenomena yang membikin nafsu rendah kita bangkit dan kemudian menguasai pikiran. Ia adalah sebuah obyek yang banyak dieksplor oleh sebagian orang yang ingin menjual film secara kodian. Persoalan ini semakin jelas ketika di tengah gema yang dicetuskan oleh almarhum H. Jamaludin Malik “film Indonesia harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri”, tapi mengapa LR sulit beredar di negeri sendiri? Kalau kita benar-benar mau terbuka, sebenarnya siapa yang harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Filmnya atau orangnya yang membuat film (disini sutradara dan produser?). Mestinya kita setuju dengan Soemardjono: Film Indonesia tidak mungkin menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hal ini dikarenakan film itu hanya benda mati. Hanya sikap “manusia” yang menciptakan dan menggunakan film itu dalam kehidupan sosio-kultural bangsa Indonesia, menentukan sejauh mana semboyan patriotik itu dapat terwujud sebagai kenyataan yang wajar, tapi potensial. Seruan “kultural-edukatif-tuntunan dan tontonan, tuang rumah di negeri sendiri” agaknya kini sedang mencari jawaban dan terus mencari. Namun kapan, sementara fajar sudah menyingsing membuka jaman baru. Mestikah kita harus menunggu lagi fajar di tahun yang akan datang atau entah kapan?. Padahal berdasar refleksi-yuridis, pada 60 telah muncul perlindungan politis melalui TAP MPRS No. II 1960 yang didalamnya terkandung nilai-nilai manusiawi. Film bukan semata-mata barang dagangan, melainkan alat pendidikan dan penerangan. Dalam import film, perlu ditentukan keseimbangan sesuai politik luar negeri yang bebas aktif. Dan pernyataan yang terakhir; Film Indonesia perlu dilindungi dari persaingan dengan luar negeri. Hanya dengan demikian ia terjamin dalam kemajuan dan perkembangannya. Namun sayang sekalli pernyataan yang secara politis sangat potensial itu belum pernah dijabarkan dengan program yang konseptual dan diyakini bersama. Sehingga ketika Langitku Rumahku tertatih-tatih berusaha berdiri tegak untuk mengharumkan taman dimana “merah putih” berkibar, tidak banyak pihak yang mendukung dengan tanggung jawab ingin mendudukan film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. LR justru seakanakan terasing di rumahnya sendiri. Lepas dari kalah dan menang di FFI`9 yang pasti LR produksi Ekapraya Film telah berusaha mengemban konsep kultural-edukatif. Diawali deengan produksi Djut Nya` Dhien yang memenangkan FFI `89 juga mendapatkan penghargaan dari Academi of Motion Picture Art`s and Sciences California, Ekapraya film bukanlah membuat proyek yang mengeksploitir wilayah dada dan paha. Eros Jarot menampilkan semangat’Indonesia’ dalam filmnya. Namun mengapa pemasarannya justru tersendat
dibanding film-film lain yang lebih banyak menanggung dosa moral. Adalah suatu hal yang ironis dan menyedihkan ketika ada film, yang diproduksi oleh orang-orang film yang sungguh-sungguh ingin membawa film nasional ke tingkat yang lebih maju, pada saat kita telah menentukan bahwa film adalah produksi kebudayaan, bahwa ia merupakan alat politik, diplomasi dan perjuangan, justru pada saat itu kita diperkenalkan pada fenomena yang sangat menggetirkan. Kebanyak film nasional kita tidak dikendalikan oleh gagasan-gagasan dari orang-orang yang berniat baik terhadap film, tidak oleh Departemen Penerangan yang menurut Undang-undang ditugaskan untuk membina film, tidak oleh Dewan Film Nasional yang didirikan untuk mengembangkan perfilma, namun oleh sekelompok perantara yang menganggap film sebagai barang dagangan semata. Mereka adalah ‘diktator-diktator kebudayaan’ (istilah Asrul Sani) yang lebih kuasa dari siapapun juga di republik ini yang menentukan apakah sebuah film nasional dapat dinikmati oleh masyarakat atau tidak. Mereka adalah mata rantai yang menurut Asrul selalu hadir dalam kehidupan perekonomian tradisional Indonesia. Tapi sekarang mereka bukan merupakan mata rantai lagi yang membantu dalam penyaluran. Sekarang mereka sudah berkembang menjadi suatu kekuatan yang berhak menentukan nilai. Akan beginikah kejadiannya jika Usmar Ismail masih mampu hadir di perfilman Indonesia saat ini? Pada jaman Usmar telah tumbuh semangat untuk mandiri, menentukan kehendak sendiri dengan modal yang dimilikinya. Beliau tidak akan membiarkan siapapun merebut hak-hak yang dimilikinya baik sebagai produser, sutradara, pengedar, bahkan importir film. Ia adalah penentu dan bukan yang ditentukan. Sejaman dengan Usmar-pun sebagian besar produser film Indonesia tidak berani mengeksploitir selera dan nafsu rendah khalayak Indonesia. Hati nuraninya sebagai bangsa yang mewarisi kebudayaan luhur, tidak tega menjerumuskan atau membina khalayak kearah dehumanisasi. Jika kondisi ini bisa kembali lagi dalam rimba perfilman Indonesia, maka akan kikislah suasana perfilman Indonesia yang lebih mengandalkan ‘motto’ daripada ‘mutu’. Hari depan perfilman Indonesia bagaikan buah sedap yang hanya dapat dipetik oleh yang berani.-h (Koes Yulli ISI Yogyakarta Karangmalang PO BOX 12 Bulaksumur)