Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) : MERDEKA, 30 Maret 1994
Menyongsong Hari Film Nasional, 30 Maret
Rekontruksi Pemikiran Usmar Ismail UNTUK pertama kalinya Hari Film Nasional (HFN), 30 Maret, pada tahun ini direncanakan diperingati secara agak istimewa. Yakni dengan acara Bulan Film Indonesia 1994, sekaligus sebagai pengganti FFI yang dimulai 25 Maret. Menyongsong kegiatan ini, penting pula direkontruksikan pemikiran almarhum H. Usmar Ismail. Sebab, dia selain tokoh dan Bapak Perfilman Nasional, sebuah filmnya Darah dan Doa yang mulai digarapnya pada 30 Maret 1950 juga menjadi tonggak kelahiran sejarah perfilman Indonesia, dan penetapan HFN pun mengacu pada tanggal tersebut. Karenanya, beralasan bahwa sejarah perfilman di negeri ini tak terpisahkan dari sejarah hidup dan perjuangan Usmar Ismail. Almarhum bukan saja sebagai peletak dasar perfilman Indonesia, namun juga seorang creator yang nasionalis sejati. Simbol-simbol kebangsaan selalu menandai dan mewarnai sikap dan tindakannya. Dia, misalnya, membiasakan menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari di antara teman-teman sesama siswa AMS-A di Yogyakarta. Sikap dan tindakan semacam ini dipertahankannya hingga dia menekuni dunia film. Wajarlah bila Usmar Ismail merupakan sineas pertama yang memperjuangkan dengan gigih diakuinya film nasional, kendati untuk itu harus berhadapan dengan pemilik-pemilik bioskop yang pada zamannya kebanyakan warga asing. Dia telah menancapkan tonggak terpenting dalam sejarah perfilman nasional, dengan menunjukkan tekadnya bahwa orang-orang pribumi (baca: sineas Indonesia dan karya-karyanya) pun mampu menjadi “tuan di rumahnya sendiri”. Dilahirkan dari keluarga baik-baik, di Bukittinggi, 20 Maret 1921. Usmar mengecap pendidikan di antaranya melalui HIS, MULO, AMS-A Yogyakarta, dan mendapat gelar sarjana muda bidang sinematografi pada Universitas California di Los Angeles, AS. Semenjak masih sekolah, Usmar Ismail sudah dikenal sebagai penyair dan dramawan. Bahkan ketika dewasa, karya-karya dramanya termasuk bagian penting dalam khazanah kesusasteraan (khususnya peteateran) Indonesia terutama di jaman penjajahan Jepang. Bersama Abu Hanifah, Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, Sudjono (pelukis) dan H.B. Jassin, dia mendirikan sebuah perkumpulan sandiwara “Maya”. Aktivitasnya di bidang teater inilah yang mendorong dan membekali Usmar untuk kemudian menekuni dunia sinematografi. Pada tahun 1945 sesudah proklamasi, Usmar melibatkan diri dalam dunia pers. Ketika itu dia menjadi Pemimpin Redaksi Harian Rakyat di Jakarta. Tatkala Belanda kembali bersama Tentara Sekutu, dia pindah ke Yogyakarta dan kemudian menjadi anggota TNI dengan pangkat mayor sampai tahun 1949. Meski perang kemerdekaan terus berkecamuk, namun Usmar tetap aktif sebagai sastrawan, dramawan, dan wartawan. Pada masa yang sama dia pun menjadi pemimpin Redaksi Patriot, Arena, serta mengetuai Badan Permusyawaratan Kebudayaan Indonesia, Serikat Artis Sandiwara dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Keterlibatannya di dunia pers mulai berkurang terutama sesudah dia ditawan Belanda dengan tuduhan melakukan subversiv.
Menekuni Dunia Film Sesudah bebas dari tawanan Belanda, dan tetap dengan jiwa dan semangat nasionalis, selanjutnya Usmar menekuni dunia film. Bermula dari membantu (menjadi asisten) Anjar Asmara yang menyutradarai film Gadis Desa (1948). Setelah film ini barulah Usmar dipercayakan menyutradarai film Harta Karun (1949). Sejak ini pula debutnya di dunia sinema makin terbuka dan berkibar. Di awal tahun 1950, Usmar bersama beberapa temannya berhasil mendirikan sebuah perusahaan film yakni Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia). Melalui perusahaan ini, dengan menggunakan modal, pemain film, karyawan dan sineas pribumi, Usmar berhasil membuat film perdana yang amat monumental dan dianggap sebagai kelahiran film Indonesia pertama, yaitu dengan judul The Long March of Siliwangi (1950). Masih di bawah naungan Perfini, karya-karya terpentingnya dalam tahun-tahun berikutnya makin memperkuat eksistensi Usmar Ismail dalam peta perfilman nasional. Terutama, digarap secara serius dan kian memperlihatkan warna keIndonesiaan. Di antara karyanya dalam rentang waktu tahun 50 hingga 60-an adalah Tjitra, Enam Jam di Yogya (1950), Dosa Tak Berampun (1951), Terimalah Laguku (1952), Toha Pahlawan Bandung Selatan dan Anak Perawan di Sarang Penyamun (1962). Setelah meluncurkan filmnya Liburan Seniman (1965), Usmar istirahat dari dunia film sampai 1969 ketika dia menyutradarai Ya Mualim. Usmar Ismail meninggal dunia pada 2 Januari 1971, dalam masa pembuatan film Ananda. Film terakhir Usmar ini merupakan debut bagi aktris cantik Lenny Marlina. Sebelumnya Usmar pun telah melahirkan banyak aktor dan aktris tangguh macam Sukarno M. Noer, Bambang Hermanto, Masito Sitorus, Rahmat Hidayat, dan Chitra Dewi. Sumbangkan Pikiran Usmar Mencermati proses dan karya-karya kreatifnya, tampak nyata betapa besar andilnya Usmar Ismail dalam merintis dunia perfilman nasional, terutama dengan memanfaatkan semua potensi yang dimiliki sineas pribumi. Dia tentu saja ingin menunjukkan kepada dunia bahwa manusia Indonesia juga bisa membuat film-film berkualitas. Idealisme dan dedikasinya selalu penting diaktualisasikan dalam proses kreatif para sineas kita di masa kini. Film, bagi Usmar, adalah bagian dari kebudayaan yang harus dibuat dengan landasan moral dan penuh tanggung jawab. Sikap seperti itu patut dimiliki dan seyogyanya menjadi panutan para sineas penerus Usmar. Seorang Sjumanjaja, misalnya. Sutradara ini sesungguhnya mencoba mengikuti jejak Usmar. Sjuman mempunyai perusahaan sendiri, dan membuat film dengan pijakan budaya bangsa yang di dalamnya. Hasilnya, memang tidak sia-sia. Ingat saja, filmnya yang berjudul Lewat Tengah Malam (1971), Si Doel anak Betawi (1972), dan Yang Muda Yang Bercinta (1977). Pemikiran Usmar berikutnya adalah hal menjaga citra perusahaan sehingga menjadi barometer dalam menelurkan aktor-aktris tangguh dan film-film bermutu. Citra Perfini pada masanya memang sangat berpengaruh terhadap para pemain dan film-film yang mereka perankan. Mereka begitu mendambakan bisa main di Perfini, sebab bila sudah bisa main melalui perusahaan ini predikat aktor dan aktris layak disandang.
Nyatanya memang demikian banyak aktor/aktris handal yang lahir melalui perusahaan ini. Sekarang di Indonesia memang banyak perusahaan film yang dikelola orangorang pribumi. Tapi tampaknya masih sedikit yang seperti Perfini. Kebanyakan adalah perusahaan yang terlampau berorientasi dagang, sehingga yang lahir pun pemain-pemain “karbitan” dan kerap dijuluki bom seks atau pun tokoh sadistis. Perusahaan-perusahaan film seperti ini tidak bakal menjadi barometer prestasi perfilman nasional. Karena para pemain yang direkrutnya dan film-film yang diproduksinya tak ubahnya para badut dan kerajinan tangan. Bukan seniman peran dan hasil kebudayaan. Adanya perusahaan film semacam ini pernah disinyalir dan disindir Usmar dalam sebuah tulisannya di majalah Siasat. Katanya, “Pada suatu saat tampaklah di Indonesia ini akan muncul beberapa puluh perusahaan film. Keinginan untuk membikin film kebanyakan didorong oleh nafsu untuk menjadi lekas kaya, dan dibutakan oleh sukses film Indonesia yang pertama. Dasar pertumbuhan yang sehat sama sekali tidak ada. Selain tidak adanya pengalaman, juga kurangnya pengetahuan si pengusaha ternyata menjadi penghalang yang terutama.” (1953:33). Usmar juga menyayangkan sikap para produser yang terlampau berorientasi ke selera penonton, sebagaimana yang cenderung terlihat sekarang. “Para produser yang memang berminat untuk mengorek kantung penonton itu sebanyakbanyaknya, senantiasa berusaha untuk memberikan suguhan-suguhan yang dahsyat kepadanya, yang kalau mungkin dapat mengguncang-guncangkan sendi-sendi urat syarafnya, seperti adegan seks, kekejaman, dan tarian yang bisa menyebabkan dia lupa daratan, pendeknya segala sesuatu yang tidak akan pernah dapat dijumpainya di dalam hidupnya.” Demikian tulis Usmar dalam majalah Gelanggang No. 1, 1966. Hal ini merupakan salah satu fenomena perfilman kita yang oleh Sjumanjaja dikatakan sebagai mimpi buruk, mimpi-mimpi yang tidak bertanggung jawab. Mengenai masalah sensor film di Indonesia, Usmar menginginkan kebijakan yang bersifat demokratis. Artinya, sensor yang dikenakan harus adil dan tidak memasung kemerdekaan kreativitas para sineas (Catatan: di zaman Usmar, lembaga sensor bukan BSF, tapi PPF – Panitia Pengawas Film). Namun sikap Usmar dalam menilai penyensoran terhadap film-film yang mengekspos sadisme dan erotisme, pada prinsipnya sama dengan kita kini. “Sensor tidak boleh menjadi momok, kecuali bagi pengusaha-pengusaha film yang tidak mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat dan meracuni selera dan adab penonton dengan film-film yang sematamata ingin menyenangkan hati dengan berspekulasi pada instink penonton yang
serendah-rendahnya,” tulis Usmar dalam Aneka No. IV, Mei 1953. Kecuali itu, Usmar juga seorang sineas yang meletakkan film inheren dengan bidang kebudayaan, bahkan dengan revolusi bangsa. Pemikiran Usmar yang dapat ditelusur pada beberapa tulisannya memang memperlihatkan betapa dia dengan sangat gigihnya memperjuangkan legitimasi film nasional yang mampu mengemban misi bagi perubahan-perubahan manusia Indonesia. Dia menghendaki karya film Indonesia dapat menyumbangkan nilai-nilai positif bagi pembangunan budaya terutama yang menyangkut dinamika dunia film nasional. Dalam ungkapan klise, mengusahakan film Indonesia menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, dan memfungsikan film sebagai media tontonan dan tuntunan. (Zaenuddin H.M/P215)