Hasil Ketik Ulang dari Dokumen Asli (Dokumen asli terlampir di bawah) : Media Indonesia, 03 Maret 1991 Teguh Karya: Kita Hadapi Persoalan dengan Kearifan Pengantar: Teguh Karya lahir di Pandeglang, Jawa Barat 22 September 1937, Teguh mulamula dikenal sebagai orang teater. Teater Populer adalah grup yang ia dirikan tahun 1968. Mulai tahun 1971 ia berkiprah ke dunia film dengan menyutradarai film Wajah Seorang Laki-laki. Hingga kini ia merupakan satu-satunya sutradara pengumpul Piala Citra terbanyak. Teguh berusaha pada kondisi obyektif dalam membicarakan suatu persoalan. Karena itulah, dalam ‘ramai-ramai’ MPEAA ini Media mewawancarainya. APAKAH dunia film kita memang benar-benar sudah parah sehingga kita perlu mengundang pihak luar, MPEAA (Motion Picture Export Association) untuk memperbaiki? Begitu, saya selalu mengingatkan bahwa film itu bukan tekstil, bukan plywood, dan bukan garment film adalah salah satu dari bagian budaya. Dan kalau kita tidak setuju kehadiran MPEAA, itu suatu upaya untuk mempertahankan budaya kita. Film adalah sebuah citra yang bisa membentuk masyarakat Indonesia sesuai apa yang kita harapkan. Maka itu, film harus dilindungi, meskipun saya sadar bahwa kepentingan ekonomi juga harus dilindungi. Saya melihat dalam kasus tersebut (kehadiran MPEAA, red), bahwa harapan Amerika adalah harapan materialisme dan harapan Indonesia adalah harapan idealisme. Saya adalah orang yang sangat menyibukkan diri dalam memperjuangkan alat budaya yang namanya film itu. Kalau apa yang saya buat ini industri semata -mata, mungkin problemnya tidak terlalu sulit. Tapi ini menyangkut proteksi terhadap martabat budaya. Kalau ada suara yang mengatakan bahwa film-film Indonesia belum menyangkut martabat itu, belum seperti yang kita harapkan, tolong jangan melihatnya sekarang.
Lho, kapan? Kita masih terus belajar. Perawatannya berdasarkan nilai-nilai kini sudah ada, tolong lebih digalakkan. Lebih disadari. Sebab kalau dikatakan alasannya karena keadaan film kita, saya pribadi terpukul. Tapi kalau keadaan ini bisa kita pakai untuk warning kita, karena budaya kita tidak bisa diatur oleh orang asing. Jadi, kita harus menyadarinya. Menyadari akan bahayanya. ‘Kita’ ini siapa, pemerintah atau seniman film? Kalau pemerintah sudah jelas bersikap menolak bahwa film kita tidak sekedar barang dagangan. Itu tatanan yang sudah ada sejak dulu. Dan Seniman film yang terlibat langsung mestinya lebih menyadari lagi. Film-film Anda mungkin bisa dikatakan bukan barang dagangan. Tapi film-film ‘kacangan’ yang memang untuk mengeruk keuntungan semata, apa bukan sekedar barang dagangan? Mudah-mudahan dengan adanya kejadian ini bisa menjadi cambuk. Kalau ditanya pada saya masalah persaingan dengan film-film asing, secara pribadi saya tidak takut! Tetapi kalau saya bicara film untuk kepentingan negeri yang saya perjuangkan, ini jangan dulu. Tapi MPEAA ini dilematis bagi kita. Kalau menolak kita terkena ancaman Super Act 301 dan kalau kita menerima budaya kita justru yang terancam? Kalau dengan kebijaksanaan kita tidak bisa mencari jalan keluarnya, mari kita pakai kearifan. Saya menyadari ini masalah pelik. Urusan pemerintah bukan hanya film saja. Mengurus negara yang berpenduduk 170 juta lebih dengan berbagai kepentingan, sungguh tidak gampang. Ini memang dilematis tapi belum dihadapkan pada makan buah si Malakama. Tidak kita pada akhirnya harus memilih dan menentukan? Kita sudah menentukan. Saya kira tidak ada orang Indonesia yang tidak mencintai negeri ini, berarti dia juga harus mencintai budayanya. Mari kita tunggu sejauh mana kearifan ini kita pakai. Kalau ditanya pada saya secara pribadi, apakah film saya termasuk dalam industri? Saya jawab film saya bukan. Kalau oran bilang film itu sekarang lesu, saya sebagai kreator di dalam bidang film tidak pernah lesu menghadapi film. Saya orang yang selalu optimis. Bekerja dan bekerja. Mencari dan Mendari. Belajar dan belajar. Untuk mencapai yang lebih baik, inisiatif Kreatif. Modal saya menghadapi segala persoalan itu adalah optimisme dan kearifan. Film sebagai produk budaya seperti yang Anda bilang bagaimana cara meningkatkannya supaya lebih baik? Menggalakkan kesadaran tentang apa yang mau kita buat tentang film itu. Saya juga mendengar suara-suara sumbang yang saya sendiri juga malu mendengarnya. Film saat ini perlu diaktualkan. Meskipun sah-sah adanya tentang segala jenis film, tapi mengapa kita tak mencari berbagai kemungkinan untuk memperoleh sebuah film yang bisa mengangkat martabat bangsa ini?
Saya tak mau kalah dengan sektor pertanian, teknologi, dan yang lainnya. Tapi kenapa kita tidak bisa membuat film yang sesuai dengan kepentingan negeri ini? Menurut Anda apa sih yang menghambat perkembangan film Indonesia? Dengan kasus MPEAA, saya lebih tertantang untuk menciptakan film yang lebih bagus dari film asing tersebut. Tapi kita malah tetap pada tema yang itu-itu juga, cara dan polanya itu-itu juga, teruuus …. Itu-itu juga, ya budaya belajar kita memang rendah! Rendah sekali! Seharusnya kita sudah siap dari dulu sebelum ada ribu-ribut MPEAA. Saya menolak syarat MPEAA itu. Dan saya yakin Anda pun pasti tidak setuju. Tapi saya bukan orang yang ekstrem. Saya melihat segala sesuatu dari berbagai sudut. Sekali lagi saya melihatnya dengan kearifan. Dalam pandangan itu, yang biasanya berniat setahun baru buat film bagus, dan seterusnya. Dan saya sejak dulu selalu mendorong teman-teman saya untuk membuat film bagus. Apakah monopoli yang ada, bukan hambatan utama perkembangan film kita? Kita jangan mau dimonopoli. Kita bikin saja film bagus sebanyakbanyaknya, itu modal orang film. Kalau film kita bagus dari yang sekarang ini, kita akan bisa dialog secara dewasa. Pewawancara: - Djadjat Sudradjat - Arif Tritura.