Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) : Mutiara, 27 Januari 1997, Hal. 23 TAMU KITA
Teguh Karya:
Saya Cinta Tanah Abang Teguh Karya, seorang sutradara film dan pimpinan Teater Populer, merupakan seorang tokoh yang cukup dipandang di daerah Tanah Abang. Rumah, yang sekaligus sanggar yang asri, tampak begitu menyatu dengan lingkungan warga di Kebon Pala, Tanah Abang. Teguh Karya, yang lahir di Pandeglang, Jawa Barat, pada 22 September 1933, mendiami rumah itu sejak tahun 1983. Oleh karena itulah, wilayah sekitar tempat tinggalnya, yakni wilayah Tanah Abang, telah dikenalnya dengan baik. Kini, Teguh tengah menggarap sinetron terbaru berjudul Mainan dari Gelas yang dibintangi oleh pendatang baru Paquita Wijaya. Kepada wartawan Mutiara, Arief Suharto, Yusak Irianto, dan John Kapahang, Teguh menuturkan berbagai hal dan kejadian sekitar tempat tinggalnya yang dialaminya selama bertempat tinggal di rumahnya itu. Berikut, kutipan percakapan wartawan Mutiara dengan Teguh Karya. Bagaimana menurut Anda daerah Tanah Abang ini? Tanah Abang merupakan tempat dimana terdapat jagoan-jagoan, dan juga sebagai tempat yang banyak maling. Saya kira itu bagian dari masa lalu, dan lebih merupakan problema kota besar. Tanah Abang adalah daerah pasar. Semakin hari semakin marak. Di seberang Kebon Pala, ada mess Irian. Kita juga sering dengar mereka sering konflik dengan geng di seberangnya. Orang-orang pasar sekarang mulai didatangi pendatang dari Sumatra. Umumnya mereka menjual baju dan cita. Saya sebagai pendatang merasa ini lingkungan saya. Saya suka. Saya Protestan, tapi mereka mengatakan 'Pak Teguh saudara kami', dan saya mensyukurinya. Tapi saya juga melihat bagaimana makin lama makin banyak orang Sumatra di daerah ini. Jadi yang biasanya dibicarakan 'Mau ke mane' itu makin lama makin hilang. Saya juga tidak menyalahkan orang Sumatra yang umumnya pedagang. Saya tidak lihat problemanya, kesenjangan-kesenjangan itu. Jakarta jadi kota yang seimbang. Jadi ndak lihat saya, kesenjangan apa pun. Saya juga sangat memahami, seperti juga kota-kota besar lain, maraknya urbanisme. Urban selalu mendesak. Di Hawaii begitu, di New York, atau Australia, ya, sama. Kalau kita lihat bandingannya antara Melbourne dan Sydney, Sydney pendatangnya banyak sekali, sementa ra Melbourne jadi kayak Yogya, gitu. Ada semacam (perasaan) yang tak terucapkan, ya, kadang-kadang (akhirnya) pecah. Misalnya, 'Kenapa sih, kami kan dari dulu di sini. Sekarang merata, banyak
Padang'. Saya ndak merasakan begitu, karena saya suka masakan Padang. Mereka baik. Dulu pilih tinggal di sini, kenapa? Cocok buat sanggar saya. Lingkungannya, tempatnya. Tempat lama yang saya harus ikut lestarikan. Bangunan ini bangunan tua, tahun 1800 sekian. Saya perlu melindungi. Saya suka. Jadi pertimbarigan itu yang diambil, bukan pertimbangan sosialnya? Nggak tahu saya. Banyak nasihat masuk, banyak maling, banyak apa lagi. Saya juga ketemu maling, (saat) pertama pindah. Akhirnya jadi kawan dengan maling itu. Kawan anak-anak (anggota sanggar), juga kawan saya. Ya ng biasanya suka nyambitin mangga, sekarang nggak ada lagi. Kalau mateng kita petik dan bagi-bagilah. Sempat ketemu dengan maling, ada rasa tertekan tidak? Ndak, saya ndak pernah punya prasangka apa-apa. Saya cuma lihat jalanan di samping dan belakang rumah ini, kok cuma jalan setapak. Padahal di situ ada mesjid, yang menurut orang-orang sini, yang memelopori (pembangunannya) dulu yang punya rumah ini. Lalu diam-diam (batas halaman) saya mundurkan, sampai akhirnya luas gang itu jadi dua meter setengah. Bisa masuk ambulans, bisa taksi kalau ada orang melahirkan. Saya cukup senang. Saya pikir cukup segini saja untuk kita bertemu. Lurah menasihati saya, ’Tolong itu diperbesar gangnya', 'Sudah jadi Pak' saya bilang. Menurut saya, jalan untuk ke rumah ibadah harus cukup luas. Di halaman rumah ini tanahnya luas. Lalu ada tanah lowong. Teman-teman di sini 95 persen Islam. Saya pikir bagus sekali kalau punya musala. Saya suka dan tidak pernah punya konflik soal agama. Saya pernah ke Medan lalu saya dioleh-olehi Ayat Kursi. Saya menganggap bagus sekali sebagai kerajinan tangan, isinya bagus. Lalu, setelah teman-teman yang bisa baca, ternyata jus -nya salah, kurang satu. Tapi ini buat kenang-kenangan saya. Saya selalu ingatkan 'hablumminallah wa hablumminannas' dan saya tahu itu sejak kecil. Daerah saya daerah Banten, dan kakek saya selalu menitipkan saya ke pesantren. Jadi saya tahu 'Mun jadda wan jadda', di Kristen 'Orang yang menabur banyak menuai banyak'. Pada dasarnya, apakah wilayah ini memang potensial konflik karena perbedaanperbedaan itu? Saya menganggap itu nggak. Itu cuma seperti halnya anak sekolah, yang di bus lempar-lemparan batu. Karena ada yang sedang bergolak tapi tidak tersalurkan. Misalnya kami tidak senang itu berdesak-desak. Sementara yang dari Irian juga begitu. Kenapa sih kami kayak macam tamu di negeri ini? Mereka semua teman saya. Saya tidak punya problema etnik, ras, agama. Di rumah saya baru datang teman yang dari Timor Timur, dan Islam. Sama saja seperti kita-kita.
Kalau kita lihat dalam lingkup sosial, Tanah Abang ini punya potensi beragam yang kalau tidak ditata... Harus ditata. Harus ada sebuah kesadaran seperti apa yang saya miliki. Saya cukup dekat dengan kawan-kawan di mess Irian, saya juga cukup dekat dengan kawankawan di gang mess ini yang sering ribut. Sama susahnya. Respek dan simpatik saya itu sama susahnya. Anak Irian, umur 28 tahun, hidup di Jakarta. 'Kan hidup di Jakarta itu susah. Sampai saya pernah mau bikin film Anak Titipan Tuhan, gara-gara itu. Scbenarnya kalau kita mau cari-cari, apa yang menjadi sumber yang mengakibatkan bentrokan fisik? Di mana saja ada, kalau cari-cari. Di Tanah Abang secara khusus, saya Mra nggak ada. Saya bikin Natal, tiga tahun lalu, bersama kawan-kawan dari film, seperti Nico Pelamonia, yang Kristen. Karena ada tempat di sini. Apa salahnya? Saya lapor pada RW saya. Nico mengundang MC wanita, berapi-api. Pendeta Ferdinan khotbah, bagus sekali, dari GKI. 'Bahwa hadiah yang telah diberikan Tuhan adalah bukan kado yang saudara bawa ini, yang tidak seberapa harganya. Tapi kalau kelahiran Yesus Kristus itu hadiah terbesar'. Luar biasa buat saya. Lalu tiba-tiba MC yang tamu ini berkata 'Haleluya! Kalau dulu saya anak hajjah sekarang saya anak Yesus'. Wah, nggak betul dong itu. Saya nggak setuju itu. Kalau di gereja atau di rumahmu bolehlah. Tapi jangan di rumah orang. Lain lagi. Lalu Nico tanya sama saya 'Pak Teguh 'ndak mau salaman dengan MC itu?' 'Ah nggak-lah'. Mesti banyak belajar lagi. Jangan begitu dong. Tetangga-tetangga saya, karena pake mikrofon, kalau mendengar 'kan bisa bilang 'Kok ini begini amat. Jangan cari gara-gara'. Saya nggak mau itu." Masalah ekonomi, apakah bukan juga penyebab perbedaan itu? Kita mesti tahu diri kalau kita ada di tengah-tengah kampung. Kalau saya memasang lampu pekarangan itu, yang penting 'kan terang, tidak merusak pemandangan. Jangan memasang seenaknya. Kalau mau begitu, tinggal saja di hutan. Saya berusaha sekali untuk sejelas mungkin (bagi orang lain) keberadaan saya. Ada yang bagus dari warisan keluarga, ’Cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri.’ Jadi dalam bidang saya juga tak ada kesulitan. Cerita yang saya bawakan juga bagian dari kita. Kadang -kadang mereka mengajar saya, kalau kita mempercayakan orang yang salah, maka warisannya adalah malapetaka. Itu hadist Pak Teguh. Iya, jangan-jangan kita sudah salah tunjuk orang makanya kacau-balau begini. Saya berpikirnya begitu, film begitu. Saya tahu juga di Perjanjian Lama banyak sekali Sulaiman menulis kebijakankebijakan seperti ini. Luar biasa. Apakah Anda tidak melihat ada semacam jaga jarak dengan sekitar Anda ? Jangan tanya itu pada saya, sebab saya tidak berjarak. Sulit sekali buat saya. Saya jalan di atas keterbatasan, kebisaan, kelebihan saya. Tapi saya nggak pasang itu jarak. Waktu buat pagar, saya diingatkan supaya pasang kawat duri, beling. Saya ndak mau. Kenapa saya pagar? Berhubung ini sebuah sanggar. Kalau latihan, saya susah kalau banyak yang nonton. Saya buka saja pintu kalau saya sedang latihan. Malah pagar
saya tanami bougenvile, dan berbunga semua. Malah lingkungan saya jadi ikut membereskan kebunnya. Kenapa Tanah Abang jadi pilihan pendatang? Dekat pasar. Pasar itu sumber uang dan sumber bertemu. Dagangannya hampir sama. Sanggar saya lama-lama merasa fungsinya sebagai padepokan. Saya panggilkan guru bahasa Inggris. Karena orangnya tidak banyak, saya ajak tetangga. Yang aneh, anak sanggamya nggak bisa bahasa Inggris, tetangganya yang bisa. Ternyata gurumu dirimu, tapi kebutuhanmu. Sampai saat ini saya ikuti. Makanya lain-lain. Saya lain, Slamet (Rahardjo) lain. Saya anjurkan terus panggil gurumu itu. Kalau menghadapi saya terus, mudah. Buka laci dirimu, supaya saya tahu isinya apa dan apa yang belum terisi. Misalnya, mulai kita bekerja di atas, menata. Kalau kita dengar berbagai kekacauan, itu karena kita ndak fasih dalam menata. Manajemen itu menata. Lalu bisa menata kalau kita punya tatag, artinya punya diri. Lalu sesudah tatag ada yang titis, menetes. Kalau sudah menetes, ada yang menetas. Baru setelah jadi dia, maka orang Jawa bilang tutug, sampai kepada muaramu. Saya pakai tata, tatag, titis, tetes, tutug. Lalu misalnya soal jalanan. Kalau dihitung-hitung, 60 meter persegi tanah saya dipakai. Tapi kalau dihitung -hitung, tiga tahun kemudian saya dapat tanah lain di seberang, yang jadi rumah saya sekarang. Jumlahnya dua kali lipat. Pada saat itu saya katakan, nyatanya orang yang dapat adalah orang banyak memberi. Bukan yang ingin dapat. Orang Muslim bilangnya 'hidayah', orang Kristen bilang "karunia Tuhan'. Saya masuk di sini dengan lemari buku dua, tempat tidur satu, dan tidak punya tempat duduk. Tapi kok berdatangan. Ada yang menarik di depan, satu kumpulan kursi dari Kompas, satu kumpulan dari Sinar Harapan. Yang besar asalnya dari sini, dia kasih macam-macam. Maling pernah datang ke sini. Saya ajak makan pukul setengah tiga malam. Dia bawa pisau. Saya bilang buang itu pisau. 'Saya berteriak, turun semua dari loteng dan kamu mati'. Saya tanya, dia belum makan. Akhirnya saya goreng telur. Di kantong ada uang lima ribu. ’Ini dua ribu kamu pegang, tiga ribu saya pegang. Bisa buat kamu minum lagi sampai mati, tapi bisa buat kamu gunting rambut'. Besoknya saya lihat maling itu, bolak-balik. Saya datangi, dia lari. Tapi dari jauh dia teriak 'Oom! Oom!' sambil menunjuk rambutnya yang sudah dicukur. Yang Pak Teguh lihat konflik itu apakah karena sesuatu yang alamiah, ditata tapi manajemennya kurang baik? Saya kira temperamen. Betawi begitu; temperamen Irian, kalau berkelahi bawa panah, kayak perang suku. Menarik sekali. Irian ini juga menarik, kalau punya rezeki dia nggak bagi, tapi dia sampaikan kepada saya bahwa dirinya dapat rezeki. Punya prediksi daerah sini akan jadi apa? Kalau kemarin kerusuhan di Tanah Abang itu cuma berebut wilayah dagang saja. Saya kira tidak merembet-rembet. Ada satu yang kepala lapak, ini daerah lapak kami, ini lapak dia, ya macam begitulah. Saya nggak punya kekhawatiran apa-apa. Saya mencintai daerah ini.