Hasil Ketik Ulang dari Dokumen Asli (Dokumen asli terlampir di bawah) : Pencarian jejak Film sebagai alat ekspresi Oleh : Teguh Karya Saya tidak bisa menyangkal bahwa permulaan kehadiran saya kedalam kerja Film melalui dunia kesenian. Dunia panggung yang akrab didalam saya menyatakan hal-hal yang saya endap pikir dan rasakan, juga tidak terelakkan dalam saya berusaha mengerjakan Filmfilm. Didalam kenyataannya media yang terakhir ini ternyata tidak sesederhana dunia panggung, baik dipandang dari sudut arstistik teknis, tapi terlebih-lebih dari penilaian media itu sendiri yang oleh masyarakat umum maupun pemodalnya dipandang lebih sebagai alat perdagangan dari pada alat kesenian. Pergumulan ini saya rasa tidak terlakkan dimanapun, tapi konflik ini pasti akan menjadi tambah ruwet jika dikaitkan dengan kebutuhan spritual di dalam usaha memberi nilai-nilai kebudayaan. Indonesia adalah negara yang sedang berkembang dalam banyak bidang, termasuk perdagangan dan juga kebudayaan. Khususnya tentang hal ini saya batasi pembicaraan pada sekitar keadaan ruang gerak kerja dimana saat ini saya berada; dari sudut pandangan saya, dari pengalaman dan pengamatan yang masih terus berproses. Saya lebih setuju menyebut pembicaraan ini sebagai sebuah pencarian jejak terhadap kemungkinan-kemungkinan bisa dan tidak bisanya kelahiran film sebagai alat ekspresi di negeri saya yang sangat sekali tergantung pada kondisi idial dan tehnis dimana saat ini saya berada; suatu kondisi atau iklim perfilman yang menurut saya masih terus berkembang. Saya membuat fil untuk pertama kali pada tahun 1971 dengan modal idealisme. Dalam film itu nampak bahwa saya kurang tahu tentang teknik. Film-film berikutnya adalah film-film dimana saya belajar tentang tehnik ini tapi pada saat yang sama kekurangan lain muncul yaitu tanggung jawab kesenian sebagai seorang seniman. Hari ini, membuat film bagi saya adalah peperangan yang belum selesai dalam menyatukan idealisme tersebut di atas, penguasaan teknik dan tanggung jawab saya sekaligus. Kekurangan tahu terhadap teknik hanya akan mempengaruhi responsi terhadap idealisme yang saya idam-idami. Sebaliknya teknik tanpa idealisme itu hanya akan melahirkan tukang-tukang yang muncul dengan film-film kering. Lima buah film pertama saya adalah jalan tengah yang saya tempuh untuk menguasai ketiga unsur di atas dalam menuju film sebagai alat ekspresi artistik pada suatu hari kelak. Seperti hal yang sama saya jalankan dalam pembinaan teater modern di negeri saya sehingga didalam waktu yang tidak terlalu lama melalui jalan tengah ini
terbina idealisme artistik, ketrampilan teknis dan relevansinya sekaligus terhadap unsur-unsur kebudayaannya. Sikap ini adalah produk dari sejarah film yang saya telaah, dari pengamatan orang-orang filmnya secara teknis, dari keterbatasan sarana dan permodalan, dari peraturan-peraturan perfilman yang sekian banyaknya dan dari pengenalan lingkungan yang ada. Untuk sementara saya telah menarik kesimpulannya dan memilih jalan keluar bagi kemungkinan lahirnya film-film yang dekat dengan kehidupan lingkungan rakyat dan keadaannya; sebuah jawaban yang mungkin masih harus terus ditata, diolah dan dipikirkan terus. Sejarah pembuatan film di Indonesia tidak menguntungkan bagi pencarian nilainilai di atas. Pengetahuan sedikit dari Griffith yang dibawa Wong bersaudara ke Indonesia (1925), hanya memberi contoh-contoh kepada kita bagaimana melalui sebuah mesin bisa memperoleh duit sebanyak-banyaknya sehingga film menjadi sah hanya sebagai lembaga industri dan perdagangan. Kelahirannya yang dibawa oleh orang dagang tidak mewariskan kepada kita film sebagai lembaga kesenian dan ilmu pengetahuan. Ukuran kemajuan film didasarkan pada pendapatan uang dan bukan nilai artistiknya. Film seperti TERANG BULAN (1937) jadi pola contoh sebuah film tentang boxofficenya dan bukan film PAREH (1934) yang mencari nilai-nilai artistik tapi kurang laku. Orang -orang film perintis seperti Balink, Mannus maupun Kruger yang memulai film dari sudut etnis, tergilas oleh film-film sejenis Terang Bulan di atas; sejenis film jiplakan yang hanya menina bobokan penonton yang sedang melupakan hidupnya karena jaman malaise pada waktu itu. Orang-orang terpelajar yang masuk kedalam film adalah Cuma alat pedagang untuk memperoleh massa yang lebih banyak bagi keuntungan usaha mengeruk duit. Nama-nama dalam sejarah film kami seperti Andjar Asmara, Saeroen, Suska, Rd. Arifin, Ibnu Perbatasari, bahkan Prof. Poerbacaraka yang jadi penasehat Film CIUNG WANARA, tidak memberi ciri kepada film-filmnya kearah nilai filmfilm artistik, kecuali perbaikan bahasa sebagai kelanjutan perjuangan akan adanya kesatuan bahasa. Terang Bulan dan film-film Charly Chaplin berada dalam kurun waktu yang sama tapi film-film yang mempunyai nilai-nilai artistik tidak mengilhami kreativitas mereka dalam menggunakan peralatan mereka yang juga kondisinya sama yaitu serba kekurangan. TERANG BULAN INI MENURUNKAN WARISAN JENIS DAN POLA CERITA YANG DIMUAT DENGAN WARISAN POLA TEKNIS YANG SERAGAM DAN TIDAK DIKEMBANGKAN. Baru kemudian setelah tahun 1945 munculnya beberapa pelajar dari kota Jogya (Jawa Tengah) yang bergerak dalam seni drama dan film membawa sikap baru dalam memandang warisan yang ditinggalkan kurun sebelumnya. Mereka muncul sesudah perang dengan semangat rakyat merdeka; terdiri dari orangorang yang mau berfikir baru, kritis dan berjuang untuk mendudukkan filmnya ke tempatnya sesuai jamannya dan dengan imbangan teknik baru. Film Indonesia
harus dinilai dari sejak munculnya Usmar Ismail; seorang seniman. Film-film dia adalah film-film yang Indonesia, yang jalan fikiran, cerita dan tokoh-tokohnya adalah bangsa Indonesia. Kelompoknya terdiri dari budayawan-budayawan yang berberak dalam drama dan film. Dalam thema film-film pertamanya dia membuat reminesans tentang perjuangan, dimana dia sangat terlibat sebelumnya yang juga adalah reminesans masyarakatnya. Dia berusaha mengekspresikan dirinya sehingga film-filmnya dekat dengan masyarakatnya. Dalam menyampaikan ceritanya, dia dan teknisi-teknisinya berusaha bukan saja mengikuti jejak literatur -literatur film pada jamannya tapi juga kemungkinan-kemungkinan dramaturgi yang ada di negerinya. Keinginannya ialah merintis film Indonesia modern, yang tercermin dalam usahausaha pembukaan sekolah teater dan pengiriman pelajar-pelajar film ke luar negeri. Usaha Usmar Ismail cs ini adalah usaha idealisme dengan modal dengkul, tapi sementara itu usaha film sebagai industri yang diwariskan oleh Terang Bulan berjalan lebih pesat. Tapi idealisme Usmar Ismail ini ternyata tidak seimbang dengan modal. Karya-karya yang pada mulanya diniatkan menjadi perintis film-film – selesai idea dan selesai teknik, pada akhirnya juga terlibat pada jenis-jenis film buatan pedagang-pedagang modal besar yang bahkan mendatangkan tenaga-tenaga murahan dari Hongkong dan India sebagai tukang-tukang bikin film secara praktis dalam gaya waktu singkat. Dapat dimengertki bahwa bahasa ini adalah bahasa perdagangan. Usmar Ismail ini harus bersaing dengan film-film sejenis ini yang membanjir serta laris di pasaran. Seperti halnya Kruger, Balink dan Mannus, keterlantaran di dalam mencipta juga akhirnya terjadi pada Usmar dan beberapa tokoh lainnya. DIKURUN WAKTU INIPUN AKHIRNYA FILM SEKALI LAGI BUKAN SUATU ABDI DARI KEBUDAYAAN, TAPI SEMATA-MATA ANAK DARI SEBUAH MESIN YANG PRAKTIS UNTUK KEPERLUAN PERDAGANGAN SEHINGGA WARISAN YANG DITINGGALKAN MEREKA TERPECAH DUA : TENAGA DISATU PIHAK DAN DIPIHAK LAIN WARISAN TENAGA-TENAGA PRAKTEK ATAS DASAR PENGALAMAN DARI POLA-POLA TEKNIS FILM-FILM INDIA DAN HONGKONG. Dalam pengamatan dan pengalaman saya, kedua pola ini telah jadi semacam lembaga atau tradisi yang diwariskan kepada film-film Indonesia dewasa ini. Semacam perdagangan kerja karyawan-karyawannya. Keadaannya begitu rupa sehingga kalau bukan berpola kerja seperti itu dianggap sebagai bukan film. Dengan akibat-akibat bahwa secara umum ditangan mereka ini masih berlaku prinsip-prinsip kerja film hitam putih. Hal ini nampak jelas pada cara penataan lampu dan rias. Masih belum terfikir tentang pengarahan warna. Tidak lahir ahli ketepatan warna dalam hubungannya dengan materi yang dipakai. Film telah berwarna, tapi meteran warna hampir-hampir tidak digunakan. Kamera belum dijadikan alat bicara kecuali perekam gambar.
Ketepatan fungsi lensa. Kita hampir-hampir tidak kenal kamera lain kecuali arriflex. Kita sudah melupakan crane. Fluid head tidak pernah dipakai. Dalam macam-macam pengertian kita miskin, sehingga hanya screen directing adalah penyutradaraan. Pemilihan rumah yang hendak dipakai adalah sudah Art Directing, kebiasaan seseorang yang bebas adalah acting, melodrama disebut tragedi, acting adalah pura-pura, dsb. Perkataan dramaturgi hampir-hampir belum dimengerti. Sebagai pewaris saya diberikan warisan teknis yang miskin, yang mungkin tidak dirasakan oleh mereka yang tidak menginginkan kemajuan kecuali uang. Karena seperti halnya dengan film bisu generasi mereka sebelumnya bisa cari duit, demikian juga hari ini dengan film-film miring yang belum duduk. Kalau semua ini saya beberkan, cumalah sekedar gambaran umum dimana saya saat ini berada, yaitu SEBUAH KURUN WAKTU DIMANA FILM-FILM PERDAGANGAN MENJADI RAJA, KURUN DIMANA TEKNISI-TEKNISI FILM SUDAH BERPOLA, KURUN YANG PINCANG TAHU TERHADAP SARANASARANA DAN KURUN DIMANA BANYAK PERATURAN-PERATURAN PEMERINTAH TENTANG FILM YANG MASIH HARUS DITAFSIR SECARA POSITIF. Bahwa itikad pemerintah yang menginginkan film bukan semata-mata barang dagangan, tapi juga sarana pendidikan penerangan dan hiburan, membutuhkan kesadaran berkebudayaan. Bahkan kesadaran yang terakhir ini justru perlu mendapatkan garis bawah mengingat negeri kami terdiri dari banyak pulau-pulau dan dengan kebudayaan yang majemuk. Karena pada akhirnya tidak akan bisa dielakkan bahwa film adalah gambaran dari bangsanya. Buat saya bukan pekerjaan gampang. Kebudayaan kami yang majemuk ini merupakan tantangan besar bagi sineas-sineas. Keterlibatan emosional ini mungkin bukan apa-apa bagi pedagang. Media film yang bagi seorang seniman merupakan alat ekspresi yang diilhami oleh panggilan tanah airnya juga perlu mendapat tempat. Film adalah kesenian dan ketrampilan teknis memang tidak menutup kemungkinan ini. Tapi media film adalah barang mahal. Pedagang -pedagang mengejar penonton sebanyak-banyaknya, dimana kalau perlu membohonginya dengan impianimpian. Modal tidak akan bisa diperoleh dari mereka, karena film artistik tidak bisa membohongi penonton dengan impian-impian. Dia adalah karya kesenian yang juga hanya akan dihargai oleh penghargaan kesenian. Harapan pembuatan film sebagai alat ekspresi pasti tidak datang dari mereka. Imagi yang ada bagi film-film sejenis tidak akan ada penontonnya memusnahkan kesempatan. Akibatnya total, yaitu juga tidak akan lahir pembuat-pembuat film dengan orientasi kesenian sehingga yang akan ada cumalah tukang -tukang bikin film yang Cuma menganggap film sekedar imitasi dari kehidupan yang tanpa isi. Sedangkan kebutuhan film-film artistik adalah teknisi-teknisi kreatif dan bukan teknisi-teknisi yang mandeg pada suatu pola tertentu. Kemandegan kreatifitas inilah yang sebenarnya membuat film di negeri saya menjadi semacam karikatur,
sebuah kerangka tapi tidak jiwanya. Film artistik menuntut lebih. Dia mau mengambil bahkan yang berada di belakang jiwanya dan akarnya yang berada dibawah. DALAM MENGHADAPI RUANG GERAK DARI BERBAGAI BIDANG SEPERTI YANG SAYA URAIKAN DIATAS, KELAHIRAN FILM ARTISTIK HANYA MUNGKIN ADA, TERNYATA JIKA KITA MEMBUTUHKANNYA SEBAGAI KULTUR BARU; YAITU KULTUR BERKESENIAN FILM DIMANA KUMPUL SENIMAN-SENIMAN DAN SENIMAN-SENIMAN TEKNISI SECARA PROFESIONAL. DILUAR INI ADALAH FILM SEBAGAI KOMODITI DAN FILM SEBAGAI WARISAN TRADISIONIL SEMATA-MATA. Sikap saya sementara dalam memandang gejala ini adalah pendekatan dari keduanya dalam menuju yang pertama. Saya tidak bisa mengingkari bahwa film adalah media yang mahal yang harus kembali modal dari penonton untuk karya berikutnya. Saya harus mengakui bahwa apa yang hendak disampaikan melalui media ini tidak akan terpenuhi andaikata media mesin-mesin yang rumit ini tidak terkuasai. Program saya yang pertama adalah mendudukkan dulu film sebagai hasil kerja sinematografi hingga timbul kepercayaan masyarakat bahwa kita punya kebudayaan film yang tidak ketinggalan jaman. Untuk itu saya merasa berkewajiban mengantar kearahnya, ya produsernya, ya karyawankaryawannya, ya penontonnya. Karena celakalah sebuah generasi jika masyarakatnya dijadikan tambah bodoh oleh film yang mereka buat sendiri. Itulah sebabnya membuat film bagi saya saat ini adalah peperangan yang belum selesai dalam menyatukan idealisme, penguasaan teknis dan tanggung jawab kesenimanan. Saya sedang menuju kearahnya melalui jalan ini secara perlahanlahan. Disamping cara ini, mungkin masih ada cara lain yang ingin saya dengar dan tahu pada kesempatan yang berharga ini.