Karya Asli YW
Tukar Pikiran Buku 2
imuiman.net
Terpaksa Berjibaku Titik Balik Kerja dimulai... Sesuai kesepakatan, saya, si Vero gadungan, bertugas di dapur. Dapurnya itu dua,.. amat raksasa. Membersihkan dapurnya itu saja,.. dua jam baru kelar setengah. Asisten saya dua orang, sama sekali tidak malas-malasan, tapi memasak untuk tujuh belas orang, terus bolak-balik mensuplai segenap anggota,... oh boy,... itu seperti gerak jalan lintas alam. Area vila itu tidak bertingkat, tapi konturnya naik turun. Saya bukan pemalas. Sebagai Flo, saya jalan kaki satu jam per hari, rata-rata. Tapi,... di situ kaki dipaksa jalan terus. Rehat sebentar, kerja lagi. Asli pontang-panting, pintong, dan puntung. Gempor, gempor deh. Udah gitu, cewek-cewek kecentilan. Ada yang merepetmerepet, ada yang seperti berlomba pamer daleman, dan bahkan ada yang membiarkan saja dari toilet resletingnya blak seperti gerbang wisata menyambut turis. Enggak semua sih memang, tapi ada yang begitu. Banyak. Lalu yang seorang mencolek saya. "Mbak Vero, saudaranya kok pada ganteng sih. Buat saya dong satu", kata Ann yang tubuhnya paling bohai. Arrggghhh! Serasa ingin saya kunyah hidup-hidup tuh anak. "Emangnya lu kira kakak gue sebangsa mangga tinggal dipetik dari pohon?!!" Ada perasaan cemburu. 2
Eh, tapi saya lantas teringat kelakuan sendiri. Ini karma kali ya? Selagi saya jadi Flo, bukannya saya juga pernah kengileran sama kakaknya Vero? Uh, sekarang saya jadi tahu bagaimana rasanya. Ternyata emang nggak enak. Pekerjaan baru selesai saat magrib. Semua orang, bahkan si Azanti yang semula paling antusias, mukanya kosong. Blong. Dalam kelelahan begitu, kesyahduan saat kami sholat bersama serasa hilang. Menelusup rasa nelangsa. What am I doing here? Begitu andaikan saya bisa membatin dalam bahasa Madura. Saya ini kan Flo? Mestinya saya nggak terlibat yang beginian. Ugh. Entar kalau dapat honor, yang menikmati jangan-jangan Vero asli! Eh, tapi bukan urusan honor sih isunya! Kakak-kakak, nada suaranya juga berubah. Mungkin kelelahan, atau karena perhatiannya sudah bergeser ke para mahasiswi? Atau.. mungkin dasarnya semula cuma acting, untuk mengambil hati seorang Vero? Ta'uk deh! "Ihik. Mas, kenapa sih, ada proyek kayak begin?" "Ya buat nyari duitlah", tukas Mas Zack pendek. "Daripada duitnya Pak De ngalir ke orang lain, udah aja sama Mas Zul pekerjaannya diborong." "Oalah, Pakde, Pakde,.. ngapain sih dikau punya vila segede gini? Ini tuh vila apa habitat gajah Sumatra sih? Capek gue. Dibikinin kandang gajah seratus aja vila ini masih sisa banyak space-nya...." "Apalagi kalo dibikin kandang embe!" 3
"Embe batibul! Hahaha..." "Hah? Embe batibul itu apa sih?" Mas Zack bertanya. "Itu tuh daging kambing yang paling lezat katanya." "Ooo.. masak sih daging kambing paling lezat itu daging kambing milik Mbah Timbil?" "Bukan kambing milik Mbah Timbil, Mas. Kambing batibul! Itu singkatan: kambing yang di BA-wah TI-ga BUL-an. Jadi batibul itu di bawah tiga bulan, gitu..." "Ooo.. jadi di bawah sinar bulan... Ngomong-ngomong, kalo Mbah Timbil itu tadi siapa, ya?" "Iiih! Bodo amat dia siapa! Bukan di bawah sinar bulan, Maaas. Tapi.. bawah tiga bulan! Kambing muda, gitu!" "Ya, ya,.. Jadi Mbah Timbil barusan punya istri muda?" "Kok Mbah Timbil lagi?" "Kawin muda kan si Mbah itu?" "Yang bener tuh ya: Mbah Paimin punya kambing, kambingnya timbil. Nah, si kambing timbil itu jadi istri mudanya Mbah Tugiono, gitu Mas. Kawinnya di bawah sinar bulan. Mas kawinnya ulekan sambel. Ulekan dari batu itu, yang paling gede.. terus jdar! Dijedotin deh ke kepala kamu, Mas, Mas... Gemes banget deh." "Hahaha..." ***
4
Mengapa, Mengapa... "Mas, udah deh soal kambing." "Iya. Udah. Ulekan sambel juga udah, ya." "Iya." "Jangan dijedotin ke saya, ya?" "Hihihii.. iya, enggak." "Balik ke soal vila juga boleh!" kata si Mas lucu. "Kalo vila udah di-cleaning begini... mmm... udah ini terus vilanya Pakde buat apa?" "Buat Mbah Timbil kali ya?" "Walah kok ke situ lagiii?!! Serius dong, Mas!!" "Ya, habis ini.. biasanya: vila disewa orang. Kalau kondisi ancur-ancuran,... sewanya murah, atau bahkan mereka tidak mau... Pak De rugi. Karena itulah, dia menyewa tim kebut sehari kayak kita ini.. untuk membersihkan, dan mereparasi dikit-dikit,.. ya, kayak biasanya itu." Kali ini, dia tidak tersenyum lagi. Ugh. "Tapi..." "Sst. Kamu tuh jangan aneh, deh. Dulu kan udah tanya, kok sekarang nanya lagi?" potong Mas Zack. Nadanya mutlak cuwek, tidak seperti kakak penyayang lagi. Udah gitu, Mas Zul ngomel juga. "Vero, jangan berenang lagi!" katanya. "Enggak kok, saya cuma celup-celup kaki aja..." "Jangan! Renang jangan! Celup kaki di kolam jangan! Bahkan celup kaki di selokan juga jangan! Apalagi celup kaki di kandang buaya!" 5
"Idih, kok ada kandang buaya segala? Kenapa, Mas?!" "Jangan, sayang! Pokoknya jangan! Kamu bukan superwoman. Angin-angin pas teler gitu, entar kamu sakit!" "Mas tuh manggil sayang kok galak, sih?" protes saya. "Ini bukan galak! Ini untuk kebaikan kamu", katanya. "Tapi tadi nyebut buaya!" "Lupakan soal buaya! Maksud saya tadi itu kingkong!" "Waduh? Kok gitu?!! Sebeelll!!!" Saya meraung. *** Semua Keluar Aslinya Beneran saya kesal. Lebih gemasnya lagi, walau dengan saya galak,.. dengan cewek-cewek, yang dua belas orang, Mas Zul tidak galak. Huh, dasar pilih kasih. Dibiarkan saja mereka berenang-renang, malah ditontonin. Waktu diprotes, jawabnya ketus. "Ya iyalah mereka saya biarin. Kerjaan udah selesai. Abis ini, mereka mau sakit, mau apa,... itu urusan mereka sendiri. Kalau kamu kan adik saya", Mas Zul masih juga ngotot. "Karena Mas suka nontonin keseksian mereka, ya?" "Bukan Vero. Nonton apaan?! Gelap begini... Kamu jangan nuduh yang enggak-enggak ya!" Ugh.. Entah kemana perginya suara lembutnya. "Kok Mas jadi galak, sih?" "Oh, shut up. Abis kamu nyebelin." Putus Mas Zul. 6
Mas Zack, Mas Vicky, dan bahkan Willy juga sama. Saya dicuwekin. Semua fokus ke mahasiswi perhotelan yang memang satu pun tidak ada yang menyes. Apes deh jadi saudara perempuan kalau sudah begini. Dengan manyun saya memperhatikan mereka bercanda. "Oh, oh... ternyata ada yang bukan mahasiswi! Ada yang masih sma kelas satu? Pantesan imut." Willy pun berbinar menemukan yang sepadan. "Saya Hindri, Mas", kata si imut itu. "Siapa nama kamu? Hindri? Saya Willy. Kakak saya, Mas Zack, Mas Vicky, Mas Zul, dan Mbak Vero, itu tuh, yang paling centil", kata Willy overacting. "Nggak usah pakai kata centil kenapa sih?" protes saya. "Jangan sensitif, Dik", tukas Mas Zul membela Willy. "Idih, kok Vero dimarahin terus?! Janjinya kan Vero di sini untuk disayang-sayang", protes saya. Mas Zack berbisik, "Sst, Vero. Kamu diem deh. Kamu ikuti aja semua apa kata Mas Zul, dan kita akan pulang dengan bebas. Kalau tidak,... bentar lagi ngomelnya tambah bikin kuping sakit", katanya. "Apaan?! Saya nggak mau begitu!" saya melepaskan diri. "Ssst, sst, Vero, tenanglah." Mas Zack membujuk terus. "Kalo diajak nyemplung sumur, apa kita nurut aja?!" "Sst. Jangan bikin gara-gara", Mas Vicky ikutan. 7
Saya telanjur marah. "Mas Zul tuh gitu ya. Janji gombal. Habis manis sepah digoyang." Saya nyerocos. "Peribahasanya tuh habis manis sepah dibuang!" "Hah? Udah diganti ya?" "Bukan ganti, emang dari dulunya begitu. Masak habis manis sepah digoyang. Sepah digoyang tuh gimana?" "Aaah. Udah deh! Bodo amat soal peribahasanya! Ini bukan pelajaran Bahasa Indonesia?" "Tapi mestinya habis manis sepah dibuang!" "Bodo amaaatt!!!" Saya menjerit sekeras-kerasnya... "Yah, orang salah kok ngotot...." Willy bergumam. ***
8