HADIS ṢALĀT ARBA‘ĪN DI MASJID AL-NABAWĪ AL-MADĪNAH; Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh: Abdul Rizal NIM: 111003400094
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H./2015 M.
ABSTRAK HADIS ṢALĀT ARBA‘ĪN DI MASJID AL-NABAWĪ AL-MADĪNAH; Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis Kata kunci : Ṣalāt Arba‘īn, Masjid al-Nabawī al-Madīnah. Salah satu fenomena yang menarik untuk dicermati ketika para jamaah haji dan umrah mendapat kesempatan mengunjungi al-Madīnah-kota nabi saw-, adalah semangat yang berapi-api mereka untuk mengejar Ṣalāt Arba‘īn di Masjid al-Nabawī , yaitu istilah untuk pelaksanaan Ṣalāt khusus di Masjid al-Nabawī dengan durasi 40 (empat puluh) kali tanpa putus. Jadi dengan melaksanankan 40 kali Ṣalāt fardu berjamaah sehari semalam dan dengan pahala yang dilipatgandakan untuk setiap Ṣalātnya 1000 (seribu), maka seseorang akan mendapatkan pahala sebesar 40.000 (empat puluh ribu). Selain itu, jaminan terbebas dari api neraka dan juga terhindar dari sifat kemunafikan. Sebuah kesempatan emas yang sayang jika lewat begitu saja. Tapi apakah ini disyariatkan dengan berlandaskan dalil yang tenilai maqbūl/diterima? Tampaknya diperlukan adanya sebuah penelusuran lebih lanjut. Faktor lain adalah adanya teks dari kitab-kitab fikih modern yang memberikan keterangan tentang pelaksanaan Ṣalāt ini sekaligus pencantuman sebuah dalil khusus dari hadis nabi saw. Hal ini dapat kita lihat di antaranya dalam kitab yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili (al-Fiqh al-Islāmi wa ‘Adillatuh); dan Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf (al-Taqrīrat al-Sadīdah fi al-Masāil alMufīdah). Namun sayang, dalil hadis terkait yang dicantumkan dalam kitab-kitab tersebut tanpa disertai dengan keterangan tentang validitasnya. Kendatipun banyak digunakan dikalangan jamaah haji atau umrah, serta materinya banyak menghiasi pengajian di masyarakat. Tidak menutup kemungkinan para jamaah haji atau umrah, kurang mengetahui kualitas hadis tersebut. Penulis tertarik untuk mengkajinya lebih dalam lagi, terutama untuk mengetahui kualitas hadis tersebut baik segi sanad maupun matan hadis. Dalam melakukan pengkajian dan penelitian, landasan operasional menggunakan buku-buku yang terkait erat dengan judul yang penulis ambil, maka bisa dibilang metode yang penulis gunakan dalam membuat karya tulis ilmiah ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpulkan data dari sumber primer dan sekunder untuk kemudian disimpulkan.
iv
KATA PEGANTAR Puji syukur saya ucapkan hanya kepada Allah SWT. yang telah memberi taufiq, hidayah dan berbagai pertolongan. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dalam bentuk skripsi dengan judul “HADIS ṢALĀT ARBA‘ĪN DI MASJID AL-NABAWĪ AL-MADĪNAH; Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis” dapat terselesaikan berkat bimbingan dari berbagai pihak. Selawat serta salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. semoga kita semua mendapat syafaatnya kelak di hari kiamat. Dengan terselesaikannya skripsi ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak pihak sebagai berikut: 1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh sivitas Akademika. 2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan berbagai fasilitas kepada penulis. 3. Ibu Dr. Lilik Umi Kaltsum, MA. Ketua jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, yang selalu menyempatkan waktunya untuk memberikan berbagai keperluan yang berkaitan dengan skripsi penulis. 4. Bapak Drs. Maulana, M.ag. Yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas ini. 5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin khususnya jurusan Tafsir Hadis yang tanpa henti memberikan pengajaran serta pemahaman.
vi
6. Ibunda tercinta Kartini yang senantiasa menghadirkan kami dalam setiap doanya, bahkan kami yakin tidak sedikit air matanya yang terjatuh karena kami, maafkan kami yang belum bisa menjadi kebanggaan ibu, belum bisa mengganti air mata dengan senyum tersipu bahagia, maafkan kami. Kami hanya baru bisa mendoakan beliau dalam setiap doa, untuk pengampunan dan rahmat-Nya. Juga Ayah kami M. Sidiq, kami bangga dengan-Mu, kami bangga menjadi anak-Mu. Kau memang pahlawan dalam keluarga kami, mungkin kami tidak bisa menjadi seperti-Mu Ayah, maafkan kami dan segenap keluarga (Kakak dan Saudara) yang senantiasa mendo’akan dan memotivasi penulis untuk terus berkreasi dan berpacu dalam mencari ilmu. 7. Istri tercinta, Nur Solikhah (Hananaiki) dan pangeran kecilku Muhammad Najeeh (Jayeng Palugon). Orang yang senantiasa selalu mendampingi penulis dalam suka maupun duka, yang selalu sabar dalam setiap keadaan, maafkan kami yang tidak focus dalam mengemban amanah, tapi doa kami selalu menyertai kalian semua. Semoga Allah swt membuka jalan hidup yang lebih baik untuk kita semua. 8. Bapak dan Ibu petugas Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan pelayanan kepada penulis dalam mencari referensi. 9. Kawan-kawan penulis yang membantu terselesaikannya skripsi ini baik bantuan moril maupun fasilitasnya. Teman-teman kelas TH C, Paguyuban IMJA, HIMMAH, PAG, semoga Allah membalas semua kebaikan kalian. Serta teman-teman IPRMA. vii
Akhirnya penulis berharap, semoga karya tulis ini merupakan sebuah refleksi studi S1 dan dapat memberikan sumbangan keilmuan, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca yang berminat dengan tulisan ini. Dan dengan harapan karya tulis ini dapat dijadikan amal bagi penulis, Amin ya robbal ‘alamin.
Tangerang, 11 Mei 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK
...........................................................................................................................iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................................... v KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ix BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................................... 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 9 D. Metodologi Penelitian .......................................................................... 10 E. Tinjauan Kepustakaan ........................................................................... 12 F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ṢALĀT ARBA‘ĪN............................ 15 A. Pengertian Ṣalāt .................................................................................... 15 1. Pengertian Ṣalāt menurut istilah umum dan kedudukannya dalam Islam .................................................................................... 15 2. Pengertian Ṣalāt Arba‘īn ................................................................ 25 B. Alasan Melaksanakan Ṣalāt Arba‘īn .................................................... 26
BAB III
TAKHRĪJ HADIS MENGENAI ṢALĀT ARBA‘ĪN ................................ 30 A. Teks Hadis dan Terjemahannya ............................................................ 30 B. Kegiatan Takhrīj Hadis ......................................................................... 31 1. Penelusuran Hadis Melalui Matan ................................................. 32 C. Kegiatan Penelitian Hadis ..................................................................... 33 1. Penelitian Sanad Hadis .................................................................... 33
x
a. I’tibar Sanad ............................................................................. 33 b. Kritik Sanad .............................................................................. 34 2. Penelitian Matan Hadis ................................................................... 48 1. Meneliti Kualitas Sanad Hadis .................................................. 52 2. Meneliti Susunan Matan Yang Semakna .................................. 53 3. Meneliti Kandungan Matan....................................................... 54 a. Bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an ........................... 54 b. Bertetangan dengan hadis yang lebih kuat .......................... 55 c. Bertentangan dengan akal sehat, indra, dan sejarah ............ 56 d. Susunan pernyataannya tidak menunjukan ciri-ciri sabda kenabian .................................................................... 56 BAB IV
PENUTUP .................................................................................................. 58 A. Kesimpulan .......................................................................................... 58 B. Saran ..................................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
ِ ِ ََّ أَنََّّرس ِ َالََّّتَرْكتََّّفِي ُك َّمَّأَمري َِّنَّلَنََّّت َّابَّالل َِّه ََّ َضلُّواَّ َماََّتََسكْتُ ْمََِّّبِِ َماَّكِت َ ََّّولَّالله ْ ْ َ ْ ْ ُ َ َ َصلىَّالل َّهَُّ َعلَْيهََّّ َو َسل ََّمَّق َُ 1ِ ِ ََّو ُسن َّةََّنَبيِّه Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”. (HR. AlImam Malik) Ada dua wasiat nabi saw untuk seluruh umat Islam, manakala umat berpegang teguh pada keduanya niscaya ia akan selamat di dunia dan akhirat. Dua wasiat itu adalah al-Qur‟an dan al-Sunnah (hadis). Perbedaan antara keduanya, bahwa al-Qur‟an dalam periwayatan-nya bersifat mutawatir atau tidak ada keraguan sama sekali atas kebenaran berita yang dibawa, sedangkan hadis masih harus diteliti lagi dengan sungguh-sungguh apakah hadis tersebut sahih-hasan atau daif. Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa hadis adalah perangkat sunnah nabi dan bahwa hadis merupakan tuntunan yang tidak dapat diabaikan dalam memahami wahyu Allah. Sebagai salah satu sumber otoritas Islam kedua setelah al-Qur‟an, sejumlah literatur hadis memiliki pengaruh yang sangat menentukan dan menjadi sumber hukum dalam agama. Para ulama telah berupaya
1
Malik ibn Anas, al-Muwaṭṭa, (al-Imārāt: m. Musṭafa al-„Aẓami, 1425 H/ 2004 M), juz, 5,
h. 1323.
1
2
keras mengumpulkan dan mengklasifikasi serta memilah hadis-hadis yang otentik dan yang palsu.2 Di antara tugas Rasulullah saw adalah menjelaskan hal-hal yang masih global dalam al-Qur‟an yang tentu saja hal ini atas perintah dari Allah SWT. Allah berfirman:
ِ ِّ ََّّوأَنْزلْناَّإِلَيك ِ ِيََّّلِلن َّ 3)٤٤(ََّّاسََّّ َماَّنُِّزَلََّّإِلَْي ِه َّْمَّ َولَ َعل ُه َّْمَّيَتَ َفك ُرو َن َ ْ ََ َ َ ِّ َالذ ْكَرََّّلتُب “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. al-Nahl:44).” Tentu saja penjelasan terhadap isi al-Qur‟an itu bukanlah sekedar membaca al-Qur‟an. Banyak ayat-ayat al-Qur‟an yang memerlukan penjelasan praktis, dan itu sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. Karenanya Rasulullah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari tugas ini. Menolak penjelasan Rasulullah saw terhadap al-Qur‟an juga tidak mungkin, karena al-Qur‟an sendiri telah menegaskan demikian. Oleh karena itu, menolak penjelasan Rasulullah saw terhadap al-Qur‟an sama saja artinya dengan menolak al-Qur‟an.4 Hadis atau yang disebut juga dengan sunnah, sebagai sumber ajaran Islam yang berisi pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi Muhammad saw yang beredar pada masa nabi hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber 2
Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Hikmah, 2009), cet. 1, h. 1. 3 Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. al-Madīnah alMunawwarah: Mujamma‟ Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain al-Mālik Fahd li ṭibā‟at al-Muṣḥaf asy-Syarīf:1971. 4 M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah: Prof. H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. (Jakarta: Pustaka Firdaus,2000),h. 27.
3
ajaran Islam setelah al-Qur‟an dan isinya menjadi hujjah (sumber otoritas) keagamaan. Oleh karena itu, umat Islam pada masa Nabi Muhammad saw dan pengikut jejaknya, menggunakan hadis sebagai hujjah keagamaan yang diikuti dengan mengamalkan isinya dengan penuh semangat, kepatuhan dan ketulusan.5 Dalam praktek, disamping menjadikan al-Qur‟an sebagai hujjah keagamaan, mereka juga menjadikan hadis sebagai hujjah yang serupa secara seimbang, karena keduanya sama diyakini berasal dari wahyu Allah swt. Dalam konteks dimaksud, hadis mereka tempatkan pada posisi yang penting setelah al-Qur‟an. Terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang sebagian besar bersifat umum dan garis besar, hadis selain datang untuk menjelaskan keumumannya, dan datang untuk menafsirkannya, ia juga datang untuk melengkapi hukum yang sejalan dengan semangat al-Qur‟an. Dalam keadaan pengamalan agama demikian dapat dipahami bila umat Islam masa nabi saw memperlihatkan motivasi yang mendalam terhadap hadis baik melalui penuturan lisan, hafalan, maupun penulisan hadis-hadis yang naskah tertulisnya sampai ditangan kita sekarang. Jelasnya, hingga wafat nabi saw, keyakinan umat Islam terhadap hadis tidaklah berubah, bahkan dikuatkannya dengan bukti-bukti pelestarian khazanah hadis. Namun, keadaan hadis Nabi Muhammad saw dalam kesepakatan tersebut, tidaklah demikian keadaannya pasca masa nabi saw. Hadis pasca masa nabi saw telah berada dalam suatu kondisi yang mulai tidak seimbang dengan posisi alQur‟an, karena ia telah berada di tengah-tengah banyak faktor. Pertama, hadis 5
Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Kritik Musthafa al-Siba‟I terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadīṡ dalam Fajr al-Islam, (Jakarta:Kencana,2003), h. 3-4.
4
misalnya dalam periwayatan selain berlangsung secara lafaẓ juga berlangsung secara makna. Kedua, dalam sejarah hadis telah muncul berbagai pemalsuan hadis. Ketiga, hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur‟an yang dibukukan dengan memakan waktu jauh lebih lama dari pembukuan al-Qur‟an. Keempat, periwayatan hadis selain beragam metodenya, juga beragam tingkat validitas masing-masing metodenya.6 Dari faktor-faktor di atas, maka kondisi hadis pasca masa nabi saw, dan memiliki banyak peluang untuk diadakan penelitian dan pengkajian dalam banyak persoalan. Dengan demikian, pada pasca masa nabi saw sampai dengan memasuki abad ke-21 sekarang (2015), keadaan hadis sudah sedemikian rupa, yang membuka tabir melihat keberadaannya sebagai otoritas keagamaan. Melihat posisi hadis yang sangat sentral dan signifikan dalam ajaran Islam, maka penelitian dan pengkajian menjadi bagian penting dalam rangka menjaga dan melestarikan hadis nabi saw. Suatu proses penelitian dan pengkajian suatu hadis memerlukan tiga macam ilmu yang berkaitan dengan ilmu hadis itu sendiri, yaitu „Ilmu Mustalāh al-Hadīṡ, „Ilmu Rijāl al-Hadīṡ, dan „Ilmu Takhrīj al-Hadīṡ. Adapun kualitas suatu hadis dapat diketahui dengan adanya penelitian melalui takhrīj hadis. Mahmud al-Tahhan mengatakan bahwa secara epistimologi takhrīj berarti berkumpulnya dua hal yang saling berlawanan. Secara terminologi takhrīj mempunyai beberapa pengertian di antaranya ialah; Pertama, takhrīj yang 6
Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Kritik Musthafa al-Siba‟I terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadīṡ dalam Fajr al-Islam, h. 5.
5
disinonimkan dengan al-ikhrāj yang berarti mengungkapkan suatu hadis kepada orang lain dengan mengemukakan periwayatnya. Kedua, mengeluarkan atau menampakkan hadis-hadis dari kitab induknya beserta periwayatnya. Ketiga, bermakna al-Dilālah yaitu mengeluarkan hadis-hadis dari kitab induk dan meriwayatkannya kembali.7 Kajian ilmu takhrīj hadis sangat penting bagi orang yang menggeluti ilmuilmu syar‟i. Mempelajari kaidah-kaidahnya dan metodenya, agar ia mengetahui bagaimana bisa sampai kepada hadis tersebut pada sumber-sumbernya yang orisinil. Manfaat takhrīj amat besar, terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam hadis.8 Mahmud al-Tahhan sendiri lebih memilih bahwa takhrīj adalah memberikan petunjuk tentang atau letak hadis pada sumber-sumber aslinya dengan menyebutkan sanadnya kemudian menjelaskan hukum hadis tersebut bila diperlukan.9 Melihat fungsi dan peran ilmu takhrīj al-hadīṡ yang sangat penting dalam sebuah penelitian, karena dengan ilmu ini kita dapat mengetahui apakah suatu hadis itu benar-benar bersumber dari nabi saw.? dan siapa saja yang meriwayatkan hadis itu sampai kepada nabi saw.? Sebab itu, penulis akan mencoba meneliti dan mengkaji hadis yang menyatakan tentang ṣalāt arba„īn di Masjid al-Nabawī al-Madīnah melalui ilmu takhrīj al-hadīṡ sebagaimana definisi yang Mahmud al-Tahhan sebutkan. 7
Mahmud al-Tahhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij, Penerjemah H.S. Agil Husin dan Masykur Hakim, (Semarang: Toha Putra, 1995), h. 7-9. 8 Mahmud al-Tahhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij, h. 21. 9 Mahmud al-Tahhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij, h. 10.
6
Mengingat, salah satu fenomena yang menarik untuk dicermati ketika para jamaah haji dan umrah mendapat kesempatan mengunjungi al-Madīnah-kota nabi saw-, adalah semangat yang berapi-api mereka untuk mengejar arba„īn, yaitu istilah untuk pelaksanaan ṣalāt di Masjid al-Nabawī dengan durasi 40 (kali) tanpa putus. Jadi, dengan melaksanakan 40 kali ṣalāt fardu berjamaah sehari semalam dan dengan pahala yang dilipatgandakan untuk setiap ṣalātnya 1000, maka seseorang akan mendapatkan pahala sebesar 40.000. Selain itu, jaminan terbebas dari api neraka dan kemunafikan juga menanti. Sebuah
kesempatan
emas yang sayang jika lewat begitu saja.
Tapi apakah ini disyariatkan dengan
berlandaskan dalil yang ternilai
maqbūl/diterima)? Tampaknya diperlukan adanya penelusuran lebih lanjut. Faktor lain adalah adanya teks dari kitab-kitab fikih modern (mu„āṣir) yang memberikan keterangan tentang pelaksanaan ṣalāt ini sekaligus pencantuman sebuah dalil khusus dari hadis nabi saw. Hal itu dapat kita lihat di antaranya dalam kitab yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili (al-Fiqh al-lslāmi wa „Adillatuh)10; dan Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf (al-Taqrīrat al-Sadīdah fi al-Masāil alMufīdah).11 Namun sayang, dalil hadis terkait yang dicantumkan dalam kitabkitab tersebut tanpa disertai dengan keterangan tentang validitasnya. Hadis yang menjadi sandaran para pengamal ṣalāt
arba„īn, sebagai
berikut:
10
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-lslāmi wa „ Adillatuh, (Suriah: Dar al-Fikr, 1989), h. 334. Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf, al-Taqrīrat al-Sadīdah fi al-Masāil al-Mufīdah, (Surabaya: Dar al-„Ulūm al-Islamiyah, 2004), cet, 3, h. 521. 11
7
َّوسى َّ َحدثَنَا َّ َعْب َُّد ْ َّ الَّ َّأَبُو َّ َعْبد َّالر ْْحَ َِّن َّ َعْبد َّالل ِهَّ َّ َو ََِس ْعتُهََُّّأَنَا َّ ِم َّْن ْ َّ َحدثَنَا َ َوسى َّق َ اْلَ َك َِّم َّبْ َِّن َّ ُم َ اْلَ َك َُّم َّبْ ُنَّ َّ ُم ِ ِ َطَّبْ ِنََّّ ُع َمَرََّّ َع ْنََّّأَن َِّ الَّ َع َِّنَّنُبَ ْي َِّ الر َج َّ ِالر ْْحَ َِّنَّبْ ُنََّّأ ََّّال َ َصلىَّالل َّهَُّ َعلَْي ِهََّّ َو َسل َمََّّأَنهََُّّق ِّ ََّب ِّ ِسََّّبْ َِّنَّ َمالكََّّ َع ْنََّّالن َ ََّّب ِ ِ تََّّلََّهَُّب راءَّةَّ ِم َّنَّالنا ِرََّّوََنَ َّاةَّ ِم َّنَّالْع َذ ََّّئ ََّ ِصلىَِّفََّّ َم ْس ِج ِديَّأ َْربَع َ ابََّّ َوبَِر َ ْ َ ََُّّص ََلَّةََّلََّّيَ ُفوتُه َ َِّي َ ََّم َّْن ْ َ ََ ْ َص ََلَّةَّ ُكتب َ اق َِّ ِم َّْنَّالنِّ َف “Telah menceritakan pada kami Hakam bin Musa, berkata Abu Abdurrahman Abdullah: Aku mendengar dari Hakam bin Musa (dimana) telah menceritakan pada kami Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik dan Nabi saw bahwasannya beliau bersabda: Barangsiapa melaksanakan ṣalāt (sebanyak) 40 kali ṣalāt di masjidku (dengan) tidak tertinggal satu pun, dicatat baginya terhindar dari api neraka, selamat dari siksa, dan terhindar dari kemunafikan” ( H R. Ahmad)12 Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya dan mutābi‟nya al-Imam Al-Thabarani dalam kitab Mu‟jam al-Awsāṭ dengan jalur dari Abu Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik secara marfū‟ (sampai ke nabi saw). Setelah mencantumkan hadis tersebut. AlThabarani berkomentar: "Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali Nubaith, dan Abdurrahman bin Abi al-Rijal pun sendiri meriwayatkan dari Nubaith". Al-Mundzir dalam al-Targīb wa al-Tarhīb, dan Al-Haitsami dalam Majma‟ al-Zawāid, setelah mencantumkan hadis ini, keduanya berkomentar menguatkan jalur perawinya, sebagaimana tercantum dalam Musnad Ahmad dan Mu‟jam al-Awsāṭ di atas. Juga menyebut bahwa al-Imam Tirmidzi meriwayatkan sebagiannya.
Masalah yang diperdebatkan dalam jalur sanadnya adalah adanya seorang perawi bernama Nubaith bin Umar yang ternilai majhūl (tidak diketahui 12
Abū „Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, (Muasasah al-Risalah, 2001), juz, 20, h. 40.
8
keadaannya), di mana hanya Al-Mundziri dan Al-Haitsami yang menguatkannya dengan mendasarkan pada penilaian Ibnu Hibban dalam “Al-Ṡiqāt”. Namun, di kalangan kritikus hadis , Ibnu Hibban dikenal sebagai kritikus yang dimasukkan dalam kategori mutasāhil (mudah mengangkat derajat penilaian terhadap perawi yang majhūl). Pun dalam kitab-kitab biografi para perawi, tidak akan kita temukan data perawi ini. Matan (isi hadis) yang diriwayatkannya juga berbeda sendiri dengan apa yang diriwayatkan oleh para perawi lain dari Anas bin Malik ra. Maka dalam kajian kritik hadis, keadaan perawi demikian disebut dengan majhūl al-„ain (tidak diketahui data pribadinya sedikitpun). Sementara itu, kritikus hadis modern, Naṣirudin al-Albani dalam Silsilah Al-Ḍaīfah dan Ḍaīf alTargīb, mengomentari hadis di atas dengan munkar (informasi hadis hanya dari satu jalur).
Kendatipun banyak digunakan dikalangan jamaah haji atau umrah, serta materinya banyak menghiasi pengajian di masyarakat. Tidak menutup kemungkinan para jamaah haji atau umrah, kurang mengetahui kualitas hadis tersebut. Penulis mencoba untuk menelitinya dengan mencari sumber hadis tersebut melalui beberapa kamus hadis seperti kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẓ alHadīs al-Al-Nabawī karya A.J. Wensinck, melalui kata kunci atau kata kerja dan kitab Kanz al-„Ummāl karya muhammad al-Sa‟idi Ibn Basyūni dan kitab kamus hadis lain yang dibutuhkan apabila tidak ditemukan dalam dua kamus tersebut di atas.
9
Oleh karena alasan di atas, penulis ingin menuangkan ini kedalam sebuah karya ilmiah dengan judul “Hadis Ṣalāt
a
di Masjid Al-Na aw
Al-
Mad ah; Studi kritik Sanad dan Matan Hadis.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berkaitan dengan permasalahan ṣalāt arba„īn di Masjid Al-Nabawī AlMadīnah, penulis hanya menemukan dua sumber hadis yang dikeluarkan oleh alImam Ahmad bin Hanbal dan al-Imam Al-Thabarani. Ada beberapa permasalahan di dalam pembahasan ṣalāt arba„īn di antaranya; tentang tata cara ṣalāt arba„īn, ṣalāt sunnah atau fardu kah yang termasuk dalam kategori ṣalāt arba„īn, tempat dan waktu pelaksanaan ṣalāt arba„īn, kualitas hadis ṣalāt arba„īn, dan lainnya. Penulis akan membatasi dan memfokuskan pada pembahasan kualitas hadis ṣalāt arba„īn tersebut, untuk dikaji, diteliti, dan dianalisis keotentikan kandungannya dari segi sanad dan matan. Di samping riwayat hadis pokok di atas yang dijadikan sebagai bahan penelitian, penulis juga akan mencari hadis-hadis pendukung namun disertai dengan validitas hadis tersebut secara singkat. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam kajian ini adalah “bagaimana kualitas hadis tentang ṣalāt arba„īn di Masjid Al-Nabawī Al-Madīnah?” ditinjau dari kritik sanad dan matan hadis.
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penulisan skripsi ini selain untuk menyelesaikan kuliah pada program S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadis dan hal-hal yang bersifat administratif, juga tidak terlepas dari tujuan pengembangan keilmuan terutama masalah pemahaman hadis dan ilmu turunannya. Selain hal tersebut di atas, manfaat penulisan skripsi ini juga adalah : 1. Mengetahui validitas hadis tentang ṣalāt arba„īn di Masjid Al-Nabawī AlMadīnah, umum-nya kepada jamaah haji dan umrah, khusus-nya untuk penulis. 2.
Sebagai upaya untuk mensemarakkan literatur keislaman, utamanya berkaitan dengan kajian hadis.
3. Menambah khazanah keilmuan pada lembaga-lembaga yang konsern dalam mengurus perjalanan haji dan umrah.
D. Metodologi Penelitian Dalam melakukan pengkajian dan penelitian, landasan operasional penulisan, menggunakan buku-buku yang terkait erat dengan judul yang penulis ambil, maka bisa dibilang metode yang penulis gunakan dalam membuat karya tulis ilmiah ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpulkan data dari sumber primer dan sekunder kemudian menyimpulkan.
11
Adapun metode dalam kegiatan penelitian hadis ini, yaitu: 1. Melakukan takhrīj hadis dari matan hadis yang telah disebut pada judul, langkah pertama penelitian hadis ini merujuk melalui lafal hadis dari kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Hadīs al-Al-Nabawī
karya A.J
Wensinck dan kitab-kitab lainnya yang berkaitan dengan ini. 2. Mencari data yang telah diperoleh dari kitab kamus dengan merujuk pada kitab asli yang ditunjukkan oleh kitab kamus. 3. I‟tibar al-Sanad, menghadirkan hadis lain yang semakna dengan hadis tersebut. 4. Menguraikan skema jalur-jalur sanad agar terlihat ada tidaknya pendukung yang berstatus mutābi‟ dan syawāhid. 5. Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) dari data yang diambil dari kitab-kitab Rijāl al-Hadīṡ seperti Tahżib al-Kamāl, Tahżib al- Tahżīb, alJarh wa al-Ta‟dīl, dan lain-lain. Dan penelitian sanad ini yaitu menelesuri data setiap periwayat dengan menilai keadaannya, hubungan guru dan murid, tahun kelahiran dan tahun wafat, hingga penilaian para ulama tentang kredibilitas peperawi tersebut. Untuk kemudian menentukan kedudukan hadis dari semua jalur. 6. Melakukan penelitian matan dari hasil penelitian sanad di atas dengan melihat dari segi bahasa, histori, bertentangan atau tidaknya dengan alqur‟an, ada atau tidaknya hadis lain yang semakna (dengan hadis tersebut) yang lebih tinggi atau rendah kualitas hadisnya. Memberikan kesimpulan dari hasil penelitian di atas dan pesan penting dari hadis tersebut. Sedang
12
dalam pembahasan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis, yakni melalui pengumpulan data dan pendapat para ulama dan pakar untuk kemudian diteliti dan dianalisa sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang ilmiah.
Selain itu juga teknik penulisan ini, penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011.
E. Tinjauan Kepustakaan Untuk mendukung kepustakaan di atas, penulis pun melakukan tinjauan pustaka atas beberapa karya tulis yang membahas tema yang sama atau mempunyai kemiripan dengan yang dibahas oleh penulis. Penulis tidak menemukan satupun dari penelitian terdahulu yang mengangkat tema yang sama. Hanya saja ada beberapa skripsi yang mengangkat masalah ṣalāt, namun berbeda di dalam pembahasannya, yang kesemuanya hampir membahas tentang ṣalāt sunnah dan ada yang membahas ṣalāt fardu dengan berjamaah namun tetap juga beda fokus obyek penelitiannya. Skripsi-skripsi hasil tinjauan pustaka penulis sebagai berikut: 1. Ṣalāt Fajar dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah Kajian Tematik Hadis, ditulis oleh Bambang Triatmojo jurusan tafsir hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. Skripsi di atas menjelaskan waktu dan dianjurkannya ṣalāt fajar.
13
2. Fadilah Ṣalāt Sunnah Rawatib dalam perspektif hadis, ditulis oleh Fitriyah jurusan tafsir hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006. dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang fadilah ṣalāt sunnah rawatib dan fungsinya. Skripsi tersebut didapat dari perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Kritik Hadis Tentang Keistimewaan Ṣalāt Sunnah Tobat : Studi analisis Sanad Dan Matan, ditulis oleh Eni Nuraini jurusan tafsir hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2009. 4. Ṣalāt Sunnah Istikharah dalam perspektif hadis, ditulis oleh Bahrudin jurusan tafsir hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011. dalam skripsi tersebut menjelaskan bagaimana pemahaman Ibnu Hajar alAsqalani tentang ṣalāt sunnah istikharah dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat penelitian ṣalāt sunnah istikharah memberikan pemahaman tentang maksud hadis-hadis yang membahas ṣalāt sunnah Istikharah serta menggambarkan pemahaman tentang ṣalāt sunnah Istikharah itu sendiri dari sudut pandang hadis dan ungkapan para ulama fikih. 5. Hikmah Ṣalāt Berjamaah dalam al-Qur‟an menurut penafsiran Ibnu Katsir, ditulis oleh Ardian Maksal Lintang, jurusan tafsir hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010. Di dalam pembahasannya lebih menitik beratkan pada hikmah-hikmah ṣalāt berjamaah.
14
F. Sistematika Penulisan Dalam skripsi ini penulis membahas beberapa bab yang diuraikan dengan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab Pertama, Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab Kedua, merupakan tinjauan umum mengenai ṣalāt
arba„īn yang
berisi tentang pengertian ṣalāt di dalamnya meliputi pengertian ṣalāt menurut istilah umum dan kedudukannya dalam islam dan pengertian ṣalāt arba„īn serta alasan melaksanakan ṣalāt arba„īn. Bab Ketiga, merupakan takhrīj hadis mengenai ṣalāt arba„īn yang berisi tentang teks hadis dan terjemahannya, kegiatan takhrīj hadis, kegiatan penelitian hadis dan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian baik sanad maupun matan hadis. Bab Keempat, Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan yang telah dibahas sebelumnya dan dilengkapi dengan saran-saran yang bersifat membangun serta pada akhirnya adalah daftar pustaka menjadi rujukan penulis juga lampiran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ṢALĀT ARBA‘ĪN A. Pengertian Ṣalāt 1. Pengertian Ṣalāt Menurut Istilah umum dan Kedudukannya Dalam Islam Secara bahasa ṣalāt berasal dari bahasa arab dari kata kerja ( صلىṣallā) yang dalam bahasa arab diartikan dengan ( دعاda„ā).1 Pengertian ini mengandung banyak arti, yaitu; memanggil, mengundang, minta tolong kepada, meminta, memohon,
mendoakan,
menamakan,
meratapi,
menyebabkan,
mendatangkan.2 Sementara kata ( صلىṣallā) sendiri biasanya
mengisi,
memiliki arti doa
atau memohon, ada yang berpendapat arti aslinya dalam bahasa adalah pengagungan.3 Seperti dalam firman Allah swt:
ِ ْ كْس َك ْنِْلمْْوٱلل ْوْ ََِس ِِ ِ ِ ْيم ٌ ُ َ ُ ٌ َ َْ َصلَ َٰوت َ ْْص ِّْلْ َعلَي ِهمْْإِن َ ص َدقَْةًْتُطَ ِّه ُرُىمْْ َوتَُزِّكي ِهمِْبَاْ َو َ ْْ ُخذْْمنْْأَم ََٰوِلم ٌ يعْ َعل ْْ
4
﴾٣٠١﴿
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan5 dan mensucikan6 mereka dan mendoalah untuk mereka. 1
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugah al-„Adab wa al-„Ulūm, (Beirut: al-Mathba’ah alKathulikiyyah, 1960), h. 434. Lihat, Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawwir ArabIndonesia,(Yogyakarta: Pusaka Progresif, 1984), h. 874. 2 Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 438. 3 Mahir Manshur Abdurrajiq, Mu‟jizat Shalat Berjamaah,(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007), h. 24. 4 Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. al-Madīnah alMunawwarah: Mujamma’ Khādim al-Harāmain al-Syarīfain al-Mālik Fahd li ṭibā’at al-Muṣḥaf alSyarīf: 1971. 5 Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebihlebihan kepada harta benda.
15
16
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103) Yang dimaksud dari ayat di atas adalah berdoalah dan beristighfarlah untuk mereka.7 Dan Nabi saw bersabda:
ِ اث ٍ ِ ِِ ْال َ َْىَري َرةَ ْق َ َحدثَنَاْأَبُوْبَك ِر ْب ُن ْأَِِب َ ين َ ْعن ْى َش ٍام َ َص ْب ُن ْغي ُ ْعن ْأَِِب َ َْحدثَن َ َْشيبَة ُ اْحف َ ْعن ْاب ِن ْسري ِ ول ْالل ِو ْصلىْاللو ْعلَي ِو ْوسلم ْإِذَاْد ِعي ْأَح ُد ُكم ْفَلي ِجب ْفَِإن ْ َكا َن ْص ِّل ْ َوإِن ْ َكا َن ُ ال َْر ُس َ َق َ ُْصائ ًماْفَلي َ َ ُ َ َ ُ َ ََ َ ُ ْ ْ.ُْمف ِطًراْفَليَط َعم “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Hisyam dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika salah seorang dari kalian diundang, hendaknya ia penuhi undangan tersebut, jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendo'akannya, dan jika ia sedang tidak berpuasa, hendaknya ia memakannya."8 Ṣalāt menurut istilah adalah ibadah kepada Allah swt yang wajib dilakukan oleh setiap muslim mukalaf, diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam, dilengkapi dengan syarat, rukun, gerakan, dan bacaan tertentu.9 Ṣalāt dapat juga berarti doa untuk mendapatkan kebaikan atau ṣalawāt bagi Nabi Muhammad saw.10 Dengan begitu, ṣalāt Allah swt kepada Nabinya adalah pujian Allah swt kepada Nabinya, dan ṣalāt Malaikat kepada Nabi saw adalah doa.11
6
Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka. 7
Al-Hafiẓ ‘Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Kaṡir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsir alQur‟an al-Azhim,(Beirut: Dar at-Turats al-‘Arabi), jilid 2, h. 386. 8 Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim,(Beirut: Dar al-Fikr), juz 2, h. 106. 9 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), cet. VII, h. 866. 10 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 207. 11 Sa’id bin Ali bin Waqf al-Qahthani, Lebih Berkah dengan Salat Berjamaah, (Surakarta: Qaula, 2008), h. 17.
17
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq ṣalāt adalah “Ibadah yang berisi perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan khusus yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.12Selain dari pengertian di atas, Hasbi Ash-Shiddieqy juga memberikan pengertian tentang ṣalāt, menurut beliau ṣalāt memiliki dua macam pengertian, yang keduanya dilatarbelakangi oleh sudut pandang yang berbeda, yaitu lahiriah dan ruhiah. Dari sudut lahiriah ṣalāt adalah beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan dari sudut ruhiah ṣalāt adalah berharap kepada Allah swt dengan sepenuh jiwa dan segala khusyuk dihadapan Allah swt dan berikhlas bagi-Nya serta hadir dalam berdzikir, berdoa dan memuji.13 Dari pengertian di atas mengandung maksud yang sama, yaitu suatu ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Yang dimaksud dengan perkataan disini adalah bacaan takbir, doa dan sejenisnya. Dan yang dimaksud dengan perbuatan disini terdiri dari berdiri, ruku’, sujud dan lainnya. Pada hakekatnya pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan merupakan suatu unsur yang tidak dapat dipisahkan. Ṣalāt yang sesungguhnya ialah ṣalāt yang memiliki ruh dan jasad, dan bukan sekedar ucapan dan perbuatan secara lahiriah saja, akan tetapi harus dibarengi dengan hati dan pikiran. Hati, pikiran, ucapan dan gerakan-
12
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), jld.1, h. 78. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Salat, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986), cet. 5, h. 62.
13
18
gerakan seperti yang dicontohkan Rasulullah saw. merupakan unsur penting dalam ṣalāt. Ṣalāt mempunyai kedudukan yang tertinggi diantara ibadah-ibadah lainnya, bahkan dalam Islam menempati kedudukan yang tak dapat ditandingi oleh ibadah manapun juga. Kedudukan ṣalāt dalam Islam yaitu: a) Ṣalāt merupakan tiang agama; tidak akan berdiri Islam kecuali dengannya.14 Rasulullah bersabda:
ِ ِ حدثَنَاْابنْأَِِبْعمرْحدثَنَاْعب ُدْالل ِوْبنْمع ٍاذْالصن ع ِاِنُّْعنْمعم ٍرْعن ْْعنْأَِِب َ َ َ َ َ َ َ ْعاص ِمْب ِنْأَِِبْالن ُجود َ َُ ُ َ ََ ُ ُ َ ِ ِ ال ْ ُكنت ْمع ْالنِِْب ْصلىْاللو ْعلَي ِو ْوسلم ِِْف ْس َف ٍر ْفَأَصبحت ْي وماْقَ ِريب ِ ُْاْمنو َ َوائ ٍل َ ِّ َ َ ُ َ َْجبَ ٍل ْق ً ًَ ُ َ َ ْم َعاذ ْب ِن ُ ْعن َ َ ََ َ ُ ِ ِ ِ َ وََننْنَ ِسريْفَ ُقلتْياْرس ْْعن َ َْعنْالنا ِرْق َ ْسأَلتَِِن َ ولْاللوْأَخِِبِِنْبِ َع َم ٍلْيُدخلُِِنْاْلَنةَ َْويُبَاع ُدِِن َ الْلََقد َُ َ ُ ُ ُ َ ِ ِ ِ َْيم ْالص ََلةَ َْوتُؤِِت ْالزَكاة َ ْعلَي ِو ْتَعبُ ُد ْالل َو َْوََل ْتُش ِرك ْبِِو َ ُىْمن ْيَسَرهُ ْاللو َ َعظي ٍم َْوإِنوُ ْلَيَس ٌري َ َْعل َ ًْشيئ ُ اْوتُق ِ َْْْجنةٌ َْوالص َْدقَةُْتُط ِف ُئ ْاْلَ ِطيئَة َ َُْث ْق ُت َ ُّال ْأَََل ْأ َُدل َ وم َْرَم َ ك َ ضا َن َْوََتُ ُّج ْالبَ ي ُص ُ ََوت ُ ْعلَىْأَب َواب ْاْلَ ِري ْالصوُم ِ اَف ْجنوب هم ْعن ْالْمض ِ َكماْيط ِفئ ْالماء ْالنار ْوص ََلةُ ْالرج ِل ِْمن ْجو ْاج ِع ُ ال َ َف ْاللي ِل ْق َ َ َ ُ ُ ُ ُ َ ُْث ْتَََل{ْتَتَ َج ََ َ َُ ُ ُ َ َ ُ ِ ِ ِ ِ ِْولْاللو ِ ِ ِ ِ ِ َ اْر ُس َ َْ}ُْثْق ُ َحَّتْبَلَ َغْيَع َملُو َن ُ ْسنَاموْقُل َ الْأَََلْأُخِبُ َكْبَرأ ِسْاْلَم ِرْ ُكلِّو َْو َع ُمودْهْ َوذرَوة َ َتْبَلَىْي ِ َ َِل ِكْ َذل ِ ِ ِ ُْاْلس ََلمْوعمودهْالص ََلةُْوِذروة ْت ََْالْأَََلْأُخِِبُ َك ِِْب َ َُْثْق ُ اد َ َق ُ ْسنَاموْاْل َه ُ كْ ُكلِّوْقُل ُ ُ ُ َ َ ُ ِ سْاْلَم ِر َ َ َ ُ ال َْرأ ِ ِ ْاخ ُذو َن ِِْبَاْنَتَ َكل ُم ْبِِو َ ََخ َذ ْبِلِ َسانِِو ْْق َ ْعلَي َ ال ْ ُكف ُ ْى َذاْفَ ُقل َ ك َ ت ْيَاْنَِِب ْاللو َْوإِناْلَ ُم َؤ َ بَلَىْيَاْنَِِب ْاللو ْفَأ ِ ِ ِ ْصائِ ُد َ فَ َق ُّ اْم َعاذُ َْوَىل ْيَ ُك َ ك ْأ ُُّم َ ال ْثَ ِكلَت َ ىْو ُجوى ِهم ْأَو َ اس ِِْف ْالنا ِر َ ىْمنَاخ ِرىم ْإَِلْ ْ َح َ َْعل ُ َك ْي ُ َْعل َ ب ْالن ِ ِِ ِ ْ يح ٌْ ْص ِح ٌ اْح ِد َ يس َ ْح َس ٌن َ يث َ ىْى َذ َ أَلسنَتهمْقَا َلْأَبُوْع “Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mu'adz ash Shan'ani dari Ma'mar dari 'Ashim bin Abi an Najud dari Abu Wail dari Mu'adz bin Jabal dia berkata; Saya pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam suatu perjalanan, suatu pagi aku berada dekat dari beliau, dan kami sedang bepergian, maka saya berkata; 'Wahai Rasulullah, kabarkanlah kepadaku tentang suatu amal yang akan memasukkanku kedalam surga dan menjauhkanku dari neraka.' Beliau menjawab: "Kamu telah menanyakan kepadaku tentang perkara yang besar, padahal sungguh ia 14
Ahmad Zubaidi, dkk., Menjawab Persoalan Fiqih Ibadah, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001), cet. I, h. 115.
19
merupakan perkara ringan bagi orang yang telah Allah jadikan ringan baginya, yaitu: Kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, kamu mendirikan Ṣalāt, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, berhaji ke Baitullah." Kemudian beliau bersabda: "Maukah kamu aku tunjukkan pada pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai dan sedekah akan memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan Ṣalāt seorang laki-laki pada pertengahan malam." Kemudian beliau membaca; "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (16) Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (As-Sajdah: 16-17). Kemudian beliau bersabda: "Maukah kamu aku tunjukkan pokok perkara agama, tiang dan puncaknya?" Aku menjawab: "Ya, wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Pokok dari perkara agama adalah Islam, tiangnya adalah Ṣalāt, sedangkan puncaknya adalah jihad.' Kemudian beliau bersabda: "Maukah kamu aku kabarkan dengan sesuatu yang menguatkan itu semua?" Aku menjawab; 'Ya, wahai Nabi Allah.' Lalu beliau memegang lisannya, dan bersabda: "'Tahanlah (lidah) mu ini." Aku bertanya; 'Wahai Nabi Allah, (Apakah) sungguh kita akan diadzab disebabkan oleh perkataan yang kita ucapkan? ' Beliau menjawab; "(Celakalah kamu) ibumu kehilanganmu wahai Mu'adz, Tidaklah manusia itu disunggkurkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan karena hasil ucapan lisan mereka?" Abu Isa berkata; 'Ini hadits hasan shahih”.15 b) Ṣalāt adalah ibadah yang pertama diwajibkan oleh Allah swt atas hambaNya, dan perintah ṣalāt diterima langsung tanpa perantara oleh Rasulullah saw. pada peristiwa Isra Mikraj-nya Nabi Muhammad saw. pada pertengahan tahun ke-12 dari kerasulan beliau.16 Ibadah pada waktu itu belum ada yang diwajibkan. Kalaupun ada menurut sejarah, hanyalah ṣalāt dua rakaat pagi dan dua rakaat petang, itupun hukumnya sukarela, siapa yang mau ṣalāt silahkan, dan siapa yang tidak ṣalāt tidak mengapa.
15
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmizi,(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), juz IV, h. 240. 16 T.A. Lathief Rousydiy, Kaifiyat Salat Rasulullah s.a.w.,(Medan: Rimbow, 1985), cet. II, h. 1.
20
Barulah setelah peristiwa itu, ṣalāt diwajibkan atas umat Nabi Muhammad saw.17 Dalam hal ini sebuah hadis yang berasal dari Anas menjelaskan:
ِ ٍ ِسْب ِنْمال ْال َ َكْق ُّ ْعن ُّ َْي ََيْالن ي َسابُوِر َ اُْمَم ُدْب ُن ِّ ْالزى ِر ُ ََحدثَن َ َْحدثَن َ ي َ اْمع َمٌر َ ي َ ِ َْعنْأَن َ َاْعب ُدْالرزاقْأَخبَ َرن ِ ُ َْخ ِسني ِ فُ ِرضت ْعلَىْالنِِب ْصلىْاللو ْعلَي ِو ْوسلم ْلَي لَةَ ْأُس ِر ْْجعِلَت َ َ َ َ ات ُ ي ْبِو ْالصلَ َو َ ُْث ْنُق َ ِّ َ صت ُ ْْحَّت َ َ ََ َ ُ ِ ُ ََخس ِ ك ِِْبَ ِذهِْاْلَم ْ َْخ ِسني َ س ُ َيْي َ َاُْمَم ُدْإِنوُ ََْلْيُْبَد ُلْال َقو ُلْلَ َدي َْوإِنْل َ اُْثْنُود ً “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya An Naisaburi berkata; telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq berkata; telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Anas bin Malik ia berkata; "Di malam isra‟ Nabi saw. diberi kewajiban untuk melaksanakan Ṣalāt sebanyak lima puluh kali. Kemudian bilangan tersebut dikurangi hingga menjadi lima kali, beliau lalu diseru, "Wahai Muhammad, sesungguhnya ketentuan yang ada di sisiKu tidak bisa dirubah, maka engkau akan mendapatkan pahala lima puluh (waktu Ṣalāt) dengan lima (waktu Ṣalāt) ini.18 c) Ṣalāt merupakan amal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat kelak, rusak dan tidaknya amal perbuatan itu tergantung pada rusak dan tidaknya ṣalāt yang dikerjakan.19 Sabda Rasulullah saw.:
ٍ َ حدثَناْعلِي ْبن ْنَص ِر ْب ِن ْعلِي ْاْلهض ِمي ْحدثَناْسهل ْبن ْْعن ْ َِْحدث َ َاَْه ٌام ْق َ َْحدثَن َ ُِن ْقَتَ َادة َ ال َ َْحاد ُ ُ َ َ َ ُّ َ َ ٍّ َ ُ ُّ َ َ َ ِ الْقَ ِدمتْالم ِدينةَْفَ ُقلتْاللهمْي ِّسر ِِْلْجلِيساْص ِ اْلس ِنْعن ْت َ َاْلًْاْق َ َيصةَْق َ َ ُ ُ ال ْفَ َجلَس َ ً َ َ ِْحَريثْب ِنْقَب َ ُ ُ ُ َ ََ ِ إِ ََل ْأَِِب ْىري رَة ْفَ ُقلت ْإِ ِِّن ْسأَلت ْاللو ْأَن ْي رزقَِِن ْجلِيس ِ ٍ ِ ِ ِ َْسعتَو ْ ِمن ْرس ْول ْالل ِو ُ َ ً َ َُ َ ُ َ ُ َ ُ َ اْصاْلًاْفَ َحدِّث ِِن ِْبَديث َ َُ ِ َ َْسعتْرس ِ َ صلىْاللوْعلَي ِوْوسلمْلَعلْاللوْأَنْي ن َفع ِِنْبِِوْفَ َق ْولْإِن ُ ْعلَي ِو َْو َسل َمْيَ ُق َ ُْصلىْاللو َ ولْاللو َ َ َ َ َ ََ َ ُ َ ُ َ ُ َ ال ِ ِ اَْياسب ْبِِو ْالعب ُد ْي وم ْال ِقيام ِة ِْمن ْْوإِن ْفَ َس َدت َْ ْصلُ َحت ْفَ َقد ْأَف لَ َح َْوأَْنَ َح َ َ ْص ََلتُوُ ْفَِإن َ ْع َملو ََ َ َ َ ُ َ َُ أَو َل َْم ِ ب ْعز ْوجل ْانظُرواْىل ْلِعب ِد ِ فَ َقد ْخاب ْوخ ِسر ْفَِإن ْان تَ َق ْيْمن ْتَطَُّوٍع َ َْشيءٌْق َ يضْتِ ِو َ ص ْمن ْفَ ِر َ َ ُ َ َ َ ُّ ال ْالر َ َ ََ َ َ ِ ِ ُْثْي ُكو ُنْسائِر ِ فَي َكمل ِِْباْماْان تَ َقص ِْمنْال َف ِر َْ ِْعلَىْذَل ك َ َ ْع َملو َ ُ َ َ ُ يضة َ َ َ ُ َ “Telah menceritakan kepada kami Ali bin Nashr bin Ali Al Jahdlami berkata; telah menceritakan kepada kami Sahl bin Hammad berkata; telah 17
Imam Ghazali, Kesilapan Ketika Sembahyang, (Kuala Lumpur: Kalam Ilham, 1993), cet. II, h. 21. 18 Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmizi, juz I, h. 254. 19 Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qahtani, Ensiklopedi Salat Menurut al-Qur‟an dan al-Sunnah jilid I,(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2006), cet. 1, h. 171.
21
menceritakan kepada kami Hammam berkata; telah menceritakan kepadaku Qatadah dari Al Hasan dari Huraits bin Qabishah ia berkata; "Aku datang ke Madinah, lalu aku berdo`a, "Ya Allah, mudahkanlah aku untuk mendapat teman shalih." Huraits bin Qabishah berkata; "Lalu aku berteman dengan Abu Hurairah, aku kemudian berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku telah meminta kepada Allah agar memberiku rizki seorang teman yang shalih, maka bacakanlah kepadaku hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, semoga dengannya Allah memberiku manfaat." Maka Abu Hurairah pun berkata; "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat pertama kali yang akan Allah hisab atas amalan seorang hamba adalah Ṣalātnya, jika Ṣalātnya baik maka ia akan beruntung dan selamat, jika Ṣalātnya rusak maka ia akan rugi dan tidak beruntung. Jika pada amalan fardlunya ada yang kurang maka Rabb 'azza wajalla berfirman: "Periksalah, apakah hamba-Ku mempunyai ibadah sunnah yang bisa menyempurnakan ibadah wajibnya yang kurang?" lalu setiap amal akan diperlakukan seperti itu."20 Hadis ini menunjukan bahwa kalah menangya seorang hamba di hari kiamat nanti, masuk surga atau masuk neraka ditentukan pertama kali oleh ṣalāt. Demikian penting kedudukan ṣalāt itu. d) Ṣalāt juga merupakan wasiat Rasulullah saw. yang terakhir yang ditujukan kepada seluruh umatnya ketika beliau akan menghembuskan nafasnya yang terakhir, berpisah dengan dunia ini. Ṣalāt merupakan garis pembatas antara Islam dan Kafir, dalam arti orang yang meninggalkan ṣalāt dengan mengingkari ke-farduan-nya akan menjadi kafir.21 Dalam hadis Nabi saw ditegaskan:
ٍ َ اكْبن َِ وْالزب ِري ْأَنو ِ ِ َْْس َع َ َْجَري ٍجْق َ َْملَد ُ َُّ ُالْأَخبَ َرِِنْأَب ُ ْعنْاب ِن َ َحدثَنَاْأَبُوْ َغسا َنْالمس َمع ُّي ُ ُ ْحدثَنَاْالضح ِ َ َْسعت ْرس ِ ِ ِ جابِر ْبن ْني ْالشِّر ِك ُ ْعلَي ِو َْو َسل َم ْيَ ُق َ ُْصلى ْاللو َ َ َ َ َ َْني ْالر ُج ِل َْوب َ َول ْب َ ول ْاللو ُ َ ُ َ ْعبد ْاللو ْيَ ُق ُوَل َْوال ُكف ِرْتَرُْكْالص ََل ِة 20
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmizi, juz I, h. 421-422. Mujiyo Nurkholis, Meraih Pahala 27 Derajat ,(Bandung: Al-Bayan, 1995), cet.1, h. 18.
21
22
“Telah menceritakan kepada kami Abu Ghassan al-Misma'i telah menceritakan kepada kami adl-Dlahhak bin Makhlad dari Ibnu Juraij dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu az-Zubair bahwa dia mendengar Jabir bin Abdullah berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang memisahkan antara seorang laki-laki dengan kesyirikan dan kekufuan adalah meninggalkan Ṣalāt."22 e) Ṣalāt merupakan benteng terakhir dari agama, kalau ṣalāt lenyap, lenyap pula agama seluruhnya.23 Sabda Rasulullah saw.:
ِ ِ ِ ُ ْحدثَناْإِسح:ال ِ أَخب رنَاْأََحد ْبن ْيد ْب ُن َ َْق،ي ُّ يم ْال َمرَوِز ُ ْحدْثَنَاْال َول: َ ُ ُ َ ََ َ ال َ َ َ َ َْق،ْعل ِّي ْب ِن ْال ُمثََّن َ اق ْب ُن ْإب َراى ِ ِ ِِ ْْسلَي َما ُنْب ُن َ َْق،يلْب ِنْعُبَ ي ِدْالل ِوْب ِنْأَِِبْال ُم َها ِج ِر َ َْق،ُمسلِ ٍم َ ْحدثَِِن: َ ال َ ال ُ ْحدثَِِن: َ ْعب ُدْال َعزيزْب ُنْإَسَاع ِ ول ْالل ِو ْصلىْاللو ِ ضن ْعُر ْىْاْلس ََلِم ْعُْرَوًة ٍْ َِحب ُ ال َْر ُس َ َْق:ال َ َيب َعن ْأَِِب ْأ َُم َام َة ْق َ ُ َ َ َ ْ"ْلَتُنتَ َق:ْعلَيو َْو َسل َم ِ ِ ْو،ْاْلكم:ْفَأَوُِلنْنَقضا،ثْالناسْبِال ِِتْتَْلِيها "ْالصَلة:آخ ُرُىن َ ْفَ ُكل َماْان تُق،عُرَوًة َ َ ُ ُ ً ُ ُ َ ْتَ َشب،ٌضتْعُرَوة “Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ishaq bin Ibrahim al-Muruziy menceritakan kepada kami, ia berkata: alWalid bin Muslim menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdul Aziz bin Ismail bin Ubaidillah bin Abi al-Muhajir mengatakan kepada saya, ia berkata: Sulaiman bin Habib mengatakan kepada kami dari Abi Umamah berkata: Rasulullah saw. bersabda: Sungguh akan runtuhlah tali Islam satu demi satu, maka setiap kali putus tali yang satu manusia akan bergantung (berpegang) dengan tali berikutnya. Maka yang pertama runtuh ialah hukum Islam dan yang terakhir ialah Ṣalāt”. Hadis ini mengungkapkan, bahwa yang pertama kali akan hilang dan runtuh dari ajaran Islam ialah hukum dan peraturannya. Banyak orang yang mengaku muslim dan mukmin, akan tetapi tidak mematuhi dan memperdulikan hukum dan peraturan Islam. Muhammad Abduh pernah menjelaskan bahwa tidak ada yang tinggal dari al-Qur’an itu kecuali hurufnya, dan tidak ada yang tinggal dari Islam itu kecuali namanya.
22
Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj, Ṣahīh Muslim, juz 1,h. 347. Dewan Hisbah Persatuan Islam, Risalah Salat, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet.1, h. 75. 23
23
Bahkan lebih dari itu lagi, banyak orang yang mengaku beragama Islam, tetapi mencaci dan merendahkan ajaran agamanya.24 Runtuhnya ajaran Islam yang terakhir ialah ṣalāt. Maksudnya apabila perintah ṣalāt sudah tidak dihiraukan lagi, apabila suara azan yang merupakan panggilan untuk menunaikan ibadah ṣalāt sudah tidak lagi menggugah perasaan, tidak menarik perhatian lagi dari umat Islam sendiri. Maka itu artinya Islam sudah terkubur dari muka bumi. Demikianlah pentingnya kedudukan ṣalāt itu menurut ajaran Islam, sebab itu Allah swt memperingatkan umat Islam berulang-ulang dalam berpuluhpuluh ayat untuk menegakkan ṣalāt, baik di rumah maupun dalam perjalanan, baik waktu aman atau dalam peperangan, baik waktu sehat maupun sakit. Intinya selama hayat masih dikandung badan, ṣalāt wajib ditegakkan menurut kemampuan. f) Ṣalāt merupakan ibadah yang menjadi jaminan untuk masuk surga.25 Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
ٍ ِ َْيَيْب ِن ِ ُْْْمَ ِريي ٍز ْأَنْْ َر ُج ًَل ِْمنْبَِِن َ ُْمَم ِدْب ِن ُ ْعنْاب ِن ُ ْعن َ ْحبا َن َ ْسعيد َ ْعن َْمال َ وحدثَِِن َ َْي ََيْب ِن َ َ َ َ كْعن ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ُ اُْمَمد ْي ُق ْال ْال ُمخ َدج ُّي َ ب ْفَ َق َ كِنَانَةَ ْيُد َعىْال ُمخ َدجي َ ُ ََْس َع َْر ُج ًَل ْبالشام ْيُ َكَّن ْأَب ٌ ول ْإن ْال ِوت َر َْواج ِِ ْوُْمَم ٍد َ َت ْلَوُ َْوُى َو َْرائِ ٌح ْإِ ََل ْال َمس ِج ِد ْفَْأَخبَ رتُوُْبِال ِذيْق ُ ُال ْأَب ُ ت ْإِ ََل ْعُبَ َاد َة ْب ِن ْالصامت ْفَاعتَ َرض ُ فَ ُرح ٍ َْخسْصلَو ِ َ َْسعتْرس ِ ٍ ُ الْعبادةُْ َك َذبْأَب ُْاتْْ َكتَبَ ُهنْاللو ُ ْعلَي ِو َْو َسل َمْيَ ُق َ َُ َ فَ َق َ ُْصلىْاللو َ ولْاللو ُ َ ُ َ ُ َ وُْمَمد َ َ ُ َ ول ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ْْعه ٌدْأَن ِْ ضيِّع َ ْمن ُهن َ ُْجاءَِْبنْ ََلْي َ ْشيئًاْاستخ َفافًاِْبَ ِّق ِهنْ َكا َنْلَوُْعن َدْاللو َ َعز َْو َجل َ ْعلَىْالعبَادْفَ َمن ِ ِ ِِ ِ ِ ْ .َْشاءَْأَد َْخلَوُْاْلَنة َ ْعذبَوُ َْوإِن َ ْعه ٌدْإِن َ َْشاء َ سْلَوُْعن َدْاللو َ يُدخلَوُْاْلَنةَ َْوَمنْ ََلْيَأتِْبنْفَلَي
“Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yahya bin Sa'id dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari Ibnu Muhairiz, bahwa ada seorang lakilaki Bani Kinanah yang bernama Al-Mukhdaji, mendengar seorang laki-laki yang 24
Imam Ghazali, Kesilapan ketika Sembahyang, h. 27. T.A. Lathief Rousydiy, Kaifiyat Shalat Rasulullah s.a.w., h. 3.
25
24
diberi julukan Abu Muhammad berkata di wilayah Syam, "Witir itu wajib." AlMukhdaji berkata; "Aku kemudian menemui Ubadah bin Shamit, aku mencegatnya saat ia berangkat ke masjid. Aku lalu kabarkan kepadanya dengan apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad. Ubadah pun berkata, "Abu Muhammad telah berdusta. Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Lima Ṣalāt Allah Azza Wa Jalla telah mewajibkannya kepada-Nya. Barangsiapa melaksanakan dan tidak meninggalkan satupun darinya karena meremehkan kewajiban, niscaya baginya janji Allah untuk memasukkannya ke surga. Barangsiapa tidak melakukannya, niscaya dia tidak mendapatkan janji Allah (untuk memasukkannya ke surga) . Jika berkehendak Allah akan menyiksanya, dan jika berkehendak maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”26 g) Ṣalāt adalah syiar agama Islam yang utama dan merupakan tali penghubung antara hamba dengan Tuhannya. Ṣalāt adalah ibadah yang menunjukan keimanan dan ke-Islaman seseorang dan merupakan ibadah yang meninggalkan kesan dalam jiwa manusia, karena itulah agama meninggikan derajat dan membesarkan martabat. Ṣalāt itu merupakan ibadah yang terbesar yang dapat mendekatkan manusia kepada Allah swt.27 Sebab itu Rasulallah saw bersabda:
ٍ وفْوعمروْبن ٍ ِ ٍ اْعب ُدْاللْ ِوْبنْوى ْْعن َ ْعم ِروْب ِنْاْلَا ِرث َ ْعن َ ب َ َْحدثَن َ َوحدثَن َ ْسوادْقَ َاَل َ َ ُ ُ َ َ اْى ُارو ُنْب ُن َْمع ُر َُ َِ َْسيْموََلْأَِِبْبك ٍرْأَنو ْولْالل ِو َ ْىَريَْرَةْأَن َْر ُس ُ اْصالِ ٍحْذَك َوا َن ُ َْيَد َ ِّث َ عُ َم َارَةْب ِنْ َغ ِزي َة ُ ْعنْأَِِب ُ َ َ ََْس َعْأَب َ ٍّ َُ ْعن ِ الْأَق ربْماْي ُكو ُنْالعبد ِْمنْربِِّوْوىو ِ ِ صلىْاللو ْ .َُّعاء َ ْساج ٌدْفَأَكث ُرواْالد َُ َ َ َ ُ َ َ َْعلَيو َْو َسل َمْق َ ََُ َ ُ َ “Dan telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma'ruf dan Amru bin Sawwad keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb dari Amru bin al-Harits dari Umarah bin Ghaziyyah dari Sumai, maula Abu Bakar bahwasanya dia mendengar Abu Shalih Dzakwan bercerita dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Keadaan seorang hamba yang paling dekat dari Rabbnya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.”28
26
Abu Abdullah bin Malik bin Anas, Al-Muwaṭṭa‟, (Beirut: Dar al-Jil), h. 114. Imam Ghazali, Kesilapan ketika Sembahyang, h. 30. 28 Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj, Ṣahīh Muslim, juz II, h. 438. 27
25
Sujud merupakan posisi yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya dan posisi yang paling dicintai Allah swt. Siapa saja yang memperbanyak sujud, ia akan semakin dekat dengan Allah swt. Karena, sujud merupakan muara ibadah dan kerendahan. Hanya milik Allah-lah puncak kemuliaan dan milik-Nya kemuliaan yang tidak terukur. Semakin seseorang menyelami sifat-sifatNya, semakin dekat ia dengan Allah swt. 2. Pengertian Ṣalāt Arba‘īn Arba„īn atau Arba„ūn dalam bahasa arab berarti empat puluh. Yang dimaksud dengan Ṣalāt Arba„īn adalah melakukan ṣalāt empat puluh waktu di Masjid al-Nabawī secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbirah al-ihrām bersama imam29. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madīnah alMunawwarah selama 8 hari (minimal) agar bisa menjalankan ṣalāt arba„īn. Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadis dari Anas bin Malik bahwa Nabi saw. bersabda:
ِِ ِ ِ ْوَْنَاةٌ ِْمنْالْع َذ،ْ ُكتِبتْلَوُْب راءةٌ ِْمنْالنا ِر،ٌَْلَْي ُفوتُوُْصَلة،ًنيْصَلة ِ ْصل ْ،اب َ َ َ َ َ ىِْف َْمسجديْأَربَع َ َمن َ َ َ َ َ ََ .اق ِْ ئ ِْم َنْالنِّ َف َ َوبَِر “Barang siapa Ṣalāt di masjidku empat puluh Ṣalāt tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan.” (HR. Ahmad)
29
Sumuran Harahap, Kamus Istilah Haji & Umrah, (Jakarta: Mitra Abadi Press), Jld 1, h,
689.
26
B. Alasan Melaksanakan Ṣalāt Arba‘īn
Ada sejumlah hadis yang menjelaskan keistimewaan Masjid al-Nabawī. Dalam sebuah hadis disebutkan larangan untuk melakukan perjalanan jauh selain ketiga masjid, yaitu Masjid al-Harām (Makkah), Masjid al-Nabawī (al-Madīnah), dan Masjid al-Aqṣā (Palestina). Sabda Rasulullah saw.:
ِ ْالْْإَِلْْإِ ََلْْثَََلثَِْة ُ الر َح َ َصلىْالل ْوُْ َعلَي ِوْْ َو َسل َْمْق ِّ ْْالََْْلْْتُ َش ُّد ِّ َِعنْْأَِِبْْ ُىَري َرَْةْ َرض َيْْاللوُْْ َعنوُْْ َعنْْالن َ ِْْب ِِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِِ صى َ صلىْالل ْوُْ َعلَيوْْ َو َسل َْمْ َوَمسجدْْاْلَق َ َْْم َساج َْدْال َمسجدْْاْلََرامْْ َوَمسجدْْالر ُسول Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah ditekankan untuk berziarah kecuali untuk mengunjungi tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu 'alaihi wasallam dan Masjidil Aqsha".(HR. al-Bukhari)30 Orang yang ṣalāt di Rawḍah Masjid al-Nabawī itu sama dengan ṣalāt di salah satu taman surga. Rasulullah saw. bersabda:
ِ َض ْةٌْ ِم ْنْ ِري اضْْاْلَن ِْة ْ ِ نيْْ ِمن َِِبيْ َوبَي َ ِتْ َرو َ ََماْب "Tempat antara mimbarku dan rumahku adalah satu taman dari tamantaman surga." (HR. Muslim)31
ِِ ِ ِ ْوَْنَاةٌ ِْمنْالْع َذ،ْ ُكتِبتْلَوُْب راءةٌ ِْمنْالنا ِر،ٌَْلَْي ُفوتُوُْصَلة،نيْصَل ًة ِ ْصل ْ،اب َ َ َ َ َ ىِْف َْمسجديْأَربَع َ َمن َ َ َ َ َ ََ ِْ ئ ِْم َنْالنِّ َف .اق َ َوبَِر “Barang siapa Ṣalāt di masjidku empat puluh Ṣalāt tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan.” (HR. Ahmad).32
30
Muhammad ibn Ismaīl Abū ‘Abdillah al-Bukhāri, al-Jāmi’ al-Sahīh, (Dar Tūq al-Najāh, 1422 H), juz, 2, h. 60. 31 Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj, Ṣahīh Muslim, juz II, h. 1010.
27
Pahala orang yang ṣalāt di Masjid al-Nabawī sama dengan orang yang ṣalāt seribu kali di Masjid lainnya. Beliau bersabda:
ِ فْصَلَةٍْفِيم ِ اْخي ر ِْمنْأَل ْْإَِلْاملس ِج َدْاْلََر َام،ُاْس َواه يْى َذ صَلَةٌ ِِْف َْمس ِج ِد َ َ َ َ ٌ َ َ “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram”. (HR. al-Bukhari).33 Alasan-alasan inilah yang menunjukkan bahwa berziarah ke Masjid alNabawī memiliki arti sangat penting. Jika ṣalāt sekali di Masjid al-Nabawī itu sama dengan ṣalāt seribu kali di masjid lain maka ṣalāt arba„īn (ṣalāt 40 kali secara berjamaah di Masjid Nabawī) itu bisa disamakan dengan Ṣalāt 40.000 kali di masjid lain atau selama 24 tahun. Mengingat pahala yang sangat besar inilah Rasulullah saw. menganjurkan umatnya untuk melakukan ṣalāt arba„īn di Masjidnya. Orang yang ingin mengerjakannya hanya membutuhkan waktu 8 hari saja.34 Dengan demikian, melaksanakan jamaah ṣalāt arba„īn di Masjid alNabawī bagi orang yang telah selesai menunaikan rangkaian amalan ibadah haji, atau sebelum melaksanakan ibadah haji adalah termasuk ibadah yang sangat mulia, pahalanya sebagaimana disebutkan, dijauhkan dari api neraka dan sifat kemunafikan, akan tetapi ini bukanlah sebagai syarat maupun rukun haji, melainkan menjadi rentetan kegiatan dari jamaah haji semisal dari Indonesia atapun dari Negara lain. 32
Abū ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: Muasasah al-Risālah, 2001), juz, 20, h. 40. 33 Muhammad ibn Ismaīl Abū ‘Abdillah al-Bukhāri, al-Jāmi‟ al-Ṣahīh, juz, 2, h. 60. 34 ‘Ablah Muhammad al-kahlawi, Buku Induk Haji dan Umrah Untuk Wanita, Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin, (Jakarta: Zaman, 2009), cet.1, h, 416.
28
Ṣalāt Arba„īn adalah sebenarnya ṣalāt yang biasa dilakukan oleh umat Islam pada umumnya, yaitu ṣalāt fardu yang biasa dilakukan dalam seharisemalam sebanyak 5 (lima) waktu. Hanya saja di sini, para jamaah haji dituntut untuk melaksanakannya secara berjamaah di Masjid al-Nabawī sebanyak 40 waktu tanpa terputus satu kalipun. Maka ketika salah satunya ditinggalkan, gugurlah pahala ṣalāt arba„īnnya. Maka, para jamaah haji yang niatnya sudah bulat dan ikhlas untuk beribadah kepada Allah swt, mereka akan merasa menyesal sekali (jika tidak dikatakan berdosa) bila ketinggalan dalam ṣalāt arba„īn ini. Karena pahala yang akan mereka dapat sungguh sangat besar sekali. Sesungguhnya ṣalāt berjamaah merupakan suatu perbuatan yang dipenuhi dengan pahala. Sejak kita keluar dari rumah menuju masjid sampai selesai ṣalāt dan kembali kerumah, maka para malaikatpun sibuk untuk mencatat pahalanya. Melaksanakan ṣalāt berjamaah merupakan perbuatan seorang hamba yang hanya mengharap akan mendapatkan keutamaan dari Allah swt, dan suatu perbuatan yang menghapus dosa serta mengangkat beberapa derajat kita di sisi Allah swt.35 Mendudukkan ibadah ṣalāt diniatkan untuk mencari pahala tidaklah tepat, salah satu dari tujuan ṣalāt adalah untuk mengingat Allah swt dan mencari keridlaan-Nya sebagaimana dalam firman Allah swt:
ْ )٤١(ْإِن ِِنْأَنَاْاللوَُْلْإِلَوَْإَِلْأَْنَاْفَاعبُدِِن َْوأَقِ ِمْالصلْوةَْلِ ِذك ِري
35
Abdullah bin Jarullah, Keutamaan Salat Berjamaah, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), cet. 1, h. 30.
29
“ Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.(Q.S. Thaaha;14)36
ِ ِّ َلِتْونُس ِكيْوَُميايْوَمََ ِاِتْلِل ِوْر ِ َ قُلْإِن ْ )٤٦١(ْني َ بْال َعالَم َ َ َ َ َ ُ َ ْص “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.(Q.S. al-An’am;162)37
36
Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. (al-Madīnah alMunawwarah: Mujamma’ Khādim al-Harāmain al-Syarīfain al-Mālik Fahd li ṭibā’at al-Muṣḥaf alSyarīf:1971). 37 Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya.
BAB III TAKHRĪJ HADIS MENGENAI ṢALĀT ARBA‘ĪN A. Teks Hadis dan Terjemahannya Hadis mengenai ṣalāt arba„īn ialah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang berbunyi; Redaksi dalam kitab musnad Ahmad ibn Hanbal :
الر حْحَن الر حْحَن َعحبد اللَّو َو ََس حعتو أَنَا م حن ح َحدَّثَنَا ح َ َوسى ق َّ وسى َحدَّثَنَا َعحبد َّ ال أَبو َعحبد َ اْلَ َكم بحن م َ اْلَ َكم بحن م صلَّى َ َصلَّى اللَّو َعلَحيو َو َسلَّ َم أَنَّو ق ِّ بحن أَب ِّ الر َجال َعن ن بَ حيط بحن ع َمَر َع حن أَنَس بحن َمالك َع حن الن َ ال َم حن َ َّب ئ م حن النِّ َفاق َ ت لَو بََراءَة م حن النَّار َوََنَاة م حن الح َع َذاب َوبَر ص ََلة كتبَ ح َ ف َم حسجدي أ حَربَع َ ص ََلة َل يَفوتو َ ي “Telah menceritakan pada kami Hakam bin Musa, berkata Abu Abdurrahman Abdullah: Aku mendengar dari Hakam bin Musa (dimana) telah menceritakan pada kami Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik dan Nabi saw bahwasannya beliau bersabda: “Barangsiapa melaksanakan ṣalāt (sebanyak) 40 kali ṣalāt di masjidku (dengan) tidak tertinggal satu pun, dicatat baginya terhindar dari api neraka, selamat dari siksa, dan terhindar dari kemunafikan” ( H.R. Ahmad)1 Redaksi hadis dalam kitab al-Mu‟jam al-Awsaṭ al- Tabarani:
َع حن ن بَ حيط،الر َجال ثَنَا ح:ال َ َيِن ق َ َوسى ق َّ ثَنَا َعحبد:ال ِّ الر حْحَن بحن أَب ُّ َحدَّثَنَا ُمَ َّمد بحن َعل ٍّي الح َمد َ اْلَ َكم بحن م ي َ َ ق:ال َ َ َع حن أَنَس بحن َمالك ق،بحن ع َمَر َ صلَّى ف َم حسجدي أ حَربَع َ َم حن:صلَّى اهلل َعلَحيو َو َسلَّ َم َ ال َرسول اللَّو َوََنَاة م َن الح َع َذاب،ب اللَّو لَو بََراءَة م َن النَّار َ ص ََلة َل يَفوتو َ َ َ َكت،ص ََلة
1
Abū „Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: Muasasah al-Risālah, 2001), juz, 20, h. 40.
30
31
“Telah menceritakan pada kami Muhammad bin „Ali al-Madini, berkata Muhammad bin „Ali: telah menceritakan pada kami Hakam bin Musa, berkata Hakam bin Musa: telah menceritakan pada kami Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik dan Nabi saw bahwasanya beliau bersabda: “Barangsiapa melaksanakan ṣalāt (sebanyak) 40 kali di masjidku (dengan) tidak tertinggal satu pun, dicatat baginya terhindar dari api neraka, selamat dari siksa” (H.R. al-Tabrani)2
B. Kegiatan Takhrīj Hadis Sebelum melakukan kegiatan takhrīj, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa arti kata takhrīj. Takhrīj berasal dari kata kharaja ( )خزجyang berarti mengeluarkan.3 Dalam kamus al-Munawwir lafaz
خزج: اخزج: اختزج: استخزج
bermakna ( ضذ ادخلlawannya memasukan).4 Pada kitab usūl al-Takhrīj wa Dirāsat alAsānid kata takhrīj diartikan dengan : pertama, Istinbaṭ berarti mengeluarkan. Kedua, Tadrīb bermakna meneliti atau melatih. Ketiga, Tawjīh artinya memperhadapkan.5 Adapun menurut istilah Takhrīj adalah:
اجة صليَّة الَّت اَ حخَر َجحتو ب َسنده ثَّ بَيَان َم حرتَبَحتو عحن َد ح ى َو ال ِّدَللَة َعلَى َم حوضع ح صادر حالَ ح َ اْلَديحث ف َم َ َاْل
“menunjukan posisi hadis dalam sumber-sumber asli yang di keluarkan dengan sanadnya. Kemudian menjelaskan kedudukan hadis ketika dibutuhkan”.
Di dalam men-takhrīj hadis, seorang peneliti harus juga mengetahui metodemetode dalam men-takhrīj hadis. Metode-metode tersebut adalah: 1. Men-takhrīj hadis melalui periwayat pertama. 2. Men-takhrīj hadis melalui awal matan 2
Sulaiman ibn Ahmad al- Tabrani, al-Mu‟jam al-Awsaṭ, (Mesir: Dar al-Qāhirah), juz V, h.
325. 3
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 155. A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya Agung : Pustaka Progresif, 1997), h. 330. 5 Mahmud al-Tahhan, Usūl at-Takhrīj wa al-Dirāsah al-Asānid, (Riyad: Maktabah al-Ma‟arif, 1991), h. 8. 4
32
3. Men-takhrīj hadis melalui kata-kata yang ada dalam matan 4. Men-takhrīj hadis melalui tema. 5. Men-takhrīj hadis melalui status hadis. 1. Penelusuran Hadis Melalui Matan
Penulis berusaha menelusuri hadis melalui kata-kata yang ada dalam matan hadis dengan menggunakan kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Hadīṡ, namun penulis tidak menemukan informasinya, begitu juga penulis mencari pada kitab Tuhfah al-Asrāf bi Ma‟rifah al-Atrāf, Mausū„ah al-Atrāf, Miftah al-Kunūz, al-Jāmi‟ al-Ṣagīr min Hadīṡ al-Basyīr al-Nażīr, hal yang sama juga penulis tidak mendapatkan informasinya. Lalu penulis mencarinya dengan menggunakan kitab Kanz al-„Ummāl yang ditulis oleh „Ali al-Mutqi bin Hisyam al-Din al-Hindi ditemukan keterangan di kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal. Redaksi dalam kitab Kanz al-„Ummāl pada bab Faḍāil al-madīnah wa Mā Hawlaha.
ئ َ ت لَو بََراءَة م َن النَّار َوََنَاة م َن الح َع َذاب َوبَر ص ََلة كتبَ ح َ صلَّى ف َم حسجد حي أَحربَع ح َ ص ََلة َل يَف حوتو َ ي َ " َم حن
(6 عن أنس- " )حم.م َن النِّ َفاق
6
„Ala al-Din al-Muttaqin Ibn Hisyam al-Din al-Hindi, Kanz al-„Ummāl Fi Sunan al-Aqwāl wa al-Af‟āl, ( Beirut: Mu‟assasah al-Risalah,1989),juz 12,h. 259.
33
Berikut redaksi dalam kitab musnad Ahmad ibn Hanbal :
الر حْحَن الر حْحَن َعحبد اللَّو َو ََس حعتو أَنَا م حن ح َحدَّثَنَا ح َ َوسى ق َّ وسى َحدَّثَنَا َعحبد َّ ال أَبو َعحبد َ اْلَ َكم بحن م َ اْلَ َكم بحن م صلَّى َ َصلَّى اللَّو َعلَحيو َو َسلَّ َم أَنَّو ق ِّ بحن أَب ِّ الر َجال َعن ن بَ حيط بحن ع َمَر َع حن أَنَس بحن َمالك َع حن الن َ ال َم حن َ َّب ئ م حن النِّ َفاق َ ت لَو بََراءَة م حن النَّار َوََنَاة م حن الح َع َذاب َوبَر ص ََلة كتبَ ح َ ف َم حسجدي أ حَربَع َ ص ََلة َل يَفوتو َ ي C. Kegiatan Penelitian Hadis 1. Penelitian Sanad Hadis a. I’tibar Sanad I‟tibar sanad penelusuran atas jalur-jalur periwayatan sebuah hadis untuk mengetahui ada atau tidaknya persamaan riwayat dengan jalur lain. Dalam I‟tibar ini pula, akan diketahui apakah hadis yang diteliti memiliki syawāhid (hadis yang periwayat di tingkat sahabat Nabi lebih dari seorang) atau mutābi‟ (hadis yang diriwayatkan lebih dari satu orang dan terletak bukan pada tingkat sahabat) dari jalur lain. I‟tibar sanad akan jelas terlihat pada skema sanad yang tertera pada berikut ini. Namun di sini akan diuraikan terlebih dahulu keadaan sanad hadis tersebut secara rinci. Melalui penelitian yang dilakukan dengan menelusuri kitab-kitab induk hadis, nampak bahwa hadis tentang “Ṣalāt Arba„īn di Masjid al-Nabawī al-Madīnah” hanya memiliki satu jalur riwayat yang berakhir pada sahabat Anas ibn Malik. Berarti hadis ini tidak memiliki syawāhid karena hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat.
34
Namun hadis ini memiliki mutābi‟ pada thabaqāt kelima setelah al-Hakam ibn Musa. Hal ini ditunjukkan sebagaimana yang tertera pada skema.
Skema Hadis
ص ََلة َل قَ صلَّى ف َم حسجدي أ حَربَع َ ال َرسول اللَّو َ صلَّى اهلل َعلَحيو َو َسلَّ َمَ :م حن َ ي َ ئ م حن النِّ َفاق ت لَو بََراءَة م حن النَّار َوََنَاة م حن الح َع َذاب َوبَر َ ص ََلة كتبَ ح يَفوتو َ أنس بن مالك
نبيط بن عمر عبد الرْحن بن أب الرجال
اْلكم بن موسى أْحد بن حنبل
محمد بن علي المديني الطرباين
35
b. Kritik Sanad Sanad menurut bahasa berarti “bagian tanah yang tinggi”, “puncak gunung”, “naik”, “sandaran”7. Sedangkan menurut istilah adalah rangkaian para periwayat hadis yang mengutip matan dari sumber awal (Rasulullah saw)8 Terbunuhnya Umar ibn al-Khattab pada tahun 24 H tidak banyak mempengaruhi perkembangan ilmu kritik hadis. Namun terbunuhnya Utsman ibn „Affan pada tahun 36 H, begitu pula terbunuhnya al-Husein ibn Ali pada tahun 61 H, yang diiringi lahirnya kelompok-kelompok politik dalam tubuh umat Islam, sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu kritik hadis. Karena untuk memperoleh legitimasinya, masing-masing kelompok itu mencari dukungan dari hadis Nabi saw apabila hadis yang dicarinya tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadis palsu. Maka sejak saat itu para ulama kritikus hadis dalam menyeleksi hadis tidak hanya mengkritiknya dari segi matan (materi)-nya, melainkan juga dengan meneliti identitas periwayat hadis tersebut. Imam Muhammad ibn Sirrin (33-110 H) menuturkan, “Pada mulanya kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad (transmisi hadis). Namun setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman ibn „Affan), apabila mendengar hadis mereka selalu menanyakan dari siapa hadis itu diperoleh.
7
Ibn Manzur, Lisān al-„Arab, (Beirut:Dar Beirut, 1968), jilid II, h. 215. Muhammad „Ajaj al-Khatib, Uṣūl al-Hadīṡ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 32.
8
36
Apabila diperoleh dari “Ahl al-Sunnah”, hadis itu diterima sebagai dalil dalam agama, dan apabila diperoleh dari orang-orang penyebar bid‟ah, hadis itu ditolak9. Di sinilah sebenarnya letak urgensinya sanad hadis, sebab tanpa sanad, setiap orang dapat mengaku dirinya pernah bertemu dengan Nabi saw; karenanya, tepat sekali ucapan Abdullah ibn al-Mubarak (w 181 H), “ Sistem sanad itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam. Sebab tanpa adanya sistem sanad setiap orang dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Bahkan sistem sanad itu merupakan salah satu keistimewaan umat Islam, dimana sistem itu tidak dimiliki umat-umat yang lain. Dalam penelitian ini, penulis hanya mendapatkan keterangan pada kitab musnad al-Imām Ahmad ibn Hanbal dari kitab Kanz al-„Ummāl, jalur riwayat Imam Ahmad ibn Hanbal diriwayatkan oleh beberapa periwayat. Urutan nama periwayat Imam Ahmad ibn Hanbal yang penulis teliti adalah: Periwayat I
: Anas ibn Malik
Periwayat II
: Nubaith ibn Umar
Periwayat III : Abdurrahman ibn Aby al-Rijal Periwayat IV : al-Hakam ibn Musa Periwayat V 9
: Ahmad ibn Hanbal
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet. 5, h. 3-4.
37
Dalam kritik sanad ini penulis memulai dari periwayat terakhir (mukharij), yakni Ahmad ibn Hanbal lalu diikuti oleh periwayat sebelumnya dan seterusnya. 1. Ahmad ibn Hanbal (w 241 H)10 a. Nama Lengkapnya: Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad al-Syaibani Abu Abdurrahman al-Bagdady. Beliau lahir di Bagdad tahun 164 H dan meninggal dunia di Bagdad pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 241 H pada usianya yang ke 77 tahun. Dalam mencari ilmu beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Selain itu beliau pernah belajar kepada Imam Syafi‟I pada masa khalifah Mu‟tasim. Beliau pernah di penjarakan selama kurang lebih dua puluh delapan bulan dikarenakan tidak mau mengakui bahwa al-Qur‟an itu makhluk. Selama dalam penjara beliau disiksa dan disakiti sampai beliau tidak berdaya. Setelah tahun 220 H beliau dibebaskan kemudian setelah itu pula ia muncul sebagai seorang Imam hadis. Ahmad Ibn Hanbal telah banyak menulis kitab, akan tetapi dari sekian banyak kitab yang paling terkenal adalah al-Musnad . isinya kurang lebih 300.000 hadis yang terpilih dari 750.000 hadis. b. Guru-gurunya: Hasyim ibn Basyir, Sufyan ibn Uyainah, Ibrahim ibn Sa‟ad, Yahya ibn „Adam, Abu Mu‟awiyah al-Duari, al-Hakam ibn Musa,
10
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, (al-Hindi: Dāirah al-Ma„ārif al-Niẓamiyah, 1326 H), Juz, 5, h. 320-383. Al-Mizzy, Tahżīb al-Kamāl, juz, 1, h. 56.
38
Abdul Razzaq al-Maliki ibn Muslim, Imam al-Syafi‟I, al-Qadi Abu Yusuf, dan lainnya. c. Murid-muridnya: „Ali ibn al-Madany, Yahya ibn Ma‟in, Duhaim alSyamy, Ahmad ibn Shalih al-Mishri, Ahmad Ibn Abi al-Hawari, dan lainnya. d. Pendapat Ulama Hadis: 1) Yahya ibn Ma‟in menuturkan; Aku tidak pernah melihat seseorang yang meriwayatkan hadits karena Allah kecuali tiga orang; Ya‟la Ibn „Ubaid, Al-Qa‟nabi, Ahmad Ibn Hanbal. 2) Dzahaby; Ahmad Ibn Hanbal adalah orang yang Hāfiẓ, Ṣāduq. 2. Al-Hakam ibn Musa (w 232 H)11 a. Nama Lengkapnya: al-Hakam ibn Musa ibn Abi Zuhair al-Bagdady. b. Guru-gurunya: Isma‟il ibn „Iyas, al-Khalil ibn Abi al-Khalil, Sabrah ibn „Abdul „Aziz ibn al-Rabi‟i ibn Sabrah, Sa‟id ibn Maslamah al-Umawi, Su‟aib ibn Ishaq al-Dimsyiqi, Sadaqah ibn Khalid, „Ubad ibn „Ubad alMahlaby, „Abdullah ibn Ziyyad al-Falisthiny, ‘Abdurrahman ibn Aby al-Rijal, Ghasan ibn „Ubaid, dan lainnya. c. Murid-muridnya: al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibrahim ibn Aby Dawud al-Barlisy, Ahmad ibn Ibrahim al-Dawraqy, Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Ahmad ibn Mansur al-Ramady, Abu Bakr Ahmad ibn „Ali ibn Sa‟id al-Maruzy al-Qadi, dan lainnya. 11
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 440.
39
d. Pendapat Ulama Hadis: 1) Yahya ibn Ma‟in; Laisa Bihi Ba‟ṡ. 2) Abu Hatim; Ṣāduq. 3) Musa ibn Harun; Syaikhu al-Ṣālih 4) Ibnu Hibban; disebutkan dalam “al-Ṡiqāt” 3. Abdurrahman ibn Abi al-Rijal12 a. Nama Lengkapnya: Muhammad ibn Abdurrahman ibn Abdullah ibn Haritsah ibn al-Nu‟man al-Anshary al-Najjary. b. Guru-gurunya: Ishaq ibn Yahya ibn Talhah ibn „Ubaidillah, Haritsah ibn Abi al-Rijal (saudaranya), Rabi‟ah ibn Abi Abdurrahman, Abdullah ibn Abi Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm, Abdurrahman ibn Amr alAwza‟iy, dan lainnya. c. Murid-muridnya: Isma‟il ibn Qais ibn Sa‟ad ibn Zaid ibn Tsabit alAnshary, Basyar ibn al-Hakam al-Naisabury, al-Hakam ibn Musa, Sulaiman ibn Abdurrahman al-Dimsyiqi, Suwai ibn Sa‟id al-Hadatsaniy, Abdullah ibn Yusuf al-Tanisy, Abdul „Aziz ibn Abdullah alUwaisy,‟Amran ibn Khalid ibn Abi Jamil, dan lainnya. d. Pendapat Ulama Hadis: 1) Yahya ibn Ma‟in: Ṡiqāh. 2) Abu Hatim: Ṣālih. 12
89.
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 169. Al-Mizzi, Tahżīb al-Kamāl,juz,17, h, 88-
40
3) Ibnu Hibban: disebutkan dalam “al-Ṡiqāt” terkadang juga salah. 4. Nubaith ibn Umar a. Nama lengkapnya: Tidak dikenal. b. Guru-gurunya: Tidak dikenal. c. Murid-muridnya: Tidak dikenal. d. Pendapat Ulama Hadis: 1) Ibnu Hibban: Ṡiqāh (disebutkan dalam “al-Ṡiqāt”). Hanya Ibnu Hibban yang memberikan penilaian terhadap Nubaith ibn Umar, dikuatkan oleh al-Mundziri dan al-Haitsami. 5. Anas ibn Malik (w 92 H)13 a. Nama Lengkapnya: Anas Ibn Malik ibn an-Nadr ibn Damdam ibn Zaid ibn Haram ibn Jundab ibn „Amir ibn „Ady ibn an-Najar al-Ansary. Anas ibn Malik adalah urutan ketiga dari sahabat yang banyak meriwayatkan hadis. Ada 2286 hadis yang ia diriwayatkan. Anas adalah Khādam (pembantu) Rasulullah ketika berusia sepuluh tahun, Ibunya Ummu Sulaim, Ayahnya bernama Malik ibn al-Nadir. Anas tidak ikut berperang dalam peperangan badar akbar, karena pada waktu itu usianya masih sangat muda, tetapi banyak mengikuti peperangan lainnya sesudah itu. Pada waktu Abu Bakar meminta pendapat „Umar mengenai pengangkatan Anas menjadi pegawai di Bahrain, „Umar memujinya: “Dia adalah anak muda yang cerdas, bisa membaca dan menulis”. Ia terkenal dengan wara‟ 13
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 390-392.
41
dan taqwa karena pergaulannya yang lama dengan Rasulullah saw. pada hari-hari terakhir masa kehidupannya, Anas berpindah ke Basrah. Ia wafat pada tahun 92 H, ada yang mengatakan 93 H, adalah sahabat terakhir yang meninggal di Basrah. Usianya melampaui seratus tahun, pada hari wafatnya, muwarriq berkata: “Telah hilang separuh ilmu, jika ada seseorang yang suka memperturutkan kesenangannya bila berselisih dengan kami, kami berkata kepadanya: “Marilah menghadap orang yang pernah mendengar dari Nabi saw.14 b. Guru-gurunya: Nabi Muhammad saw., Abu bakar, „Umar, „Utsman, „Abdullah ibn Ruahah, Fatimah Az-Zahra, Abdurrahman ibn „Auf, Abi Talhah, Mu‟adz ibn Jabal. c. Murid-muridnya: al-Hasan, Sulaiman at-Tamimy, Abu Qilabah, Ishaq ibn Abi Talhah, Qatadah, Tsabit al-Banany, Muhammad ibn Sirin, dan lainnya. d. Pendapat Ulama Hadis: 1. Ali ibn al-Ja‟di berkata dari Syu‟bah dari Tsabit; Abu Hurairah berkata: Saya tidak pernah melihat seorang pemuda yang ṣalāt bersama Rasulallah saw, dari Ibn Ummi Salim. „Ali ibn al-Madiny berkata: Orang yang terkhir menetap di Basrah dari sahabat-sahabat Rasulallah saw adalah Anas.
14
336.
Subhi al-Sālih,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis(terjemahan),(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h.
42
Hadis ini mempunyai mutābi‟ dari Imam al-Tabarani, dalam kitabnya alMu‟jam al-Awsaṭ pada bab “Man Ismuhu Muhammad”.15 Namun al-Tabarani mengatakan; "Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali Nubaith, dan Abdurrahman ibn Abi al-Rijal pun sendiri meriwayatkan dari Nubaith". Redaksi hadis dalam kitab al-Mu‟jam al-Awsaṭ al-Tabarani:
َع حن ن بَ حيط،الر َجال ثَنَا ح:ال َ َوسى ق َ َيِن ق َّ ثَنَا َعحبد:ال ِّ الر حْحَن بحن أَب ُّ َحدَّثَنَا ُمَ َّمد بحن َعل ٍّي الح َمد َ اْلَ َكم بحن م ي َ َ ق:ال َ َ َع حن أَنَس بحن َمالك ق،بحن ع َمَر َ صلَّى ف َم حسجدي أ حَربَع َ َم حن:صلَّى اهلل َعلَحيو َو َسلَّ َم َ ال َرسول اللَّو َوََنَاة م َن الح َع َذاب،ب اللَّو لَو بََراءَة م َن النَّار َ ص ََلة َل يَفوتو َ َ َ َكت،ص ََلة Urutan nama periwayat Imam al-Tabarani yang penulis teliti adalah: Periwayat I
: Anas ibn Malik
Periwayat II
: Nubaith ibn Umar
Periwayat III : Abdurrahman ibn Aby al-Rijal Periwayat IV : al-Hakam ibn Musa Periwayat V
: Muhammad ibn Ali al-Madiny
Periwayat VI : al-Tabrani Dalam kritik sanad ini penulis memulai dari periwayat terakhir (mukharij), yakni al-Tabarani lalu diikuti oleh periwayat sebelumnya dan seterusnya.
15
Al-Tabrani, al-Mu‟jam al-Awsaṭ,(Mesir: Dar al-Haramain), juz, 5, h. 325.
43
1. Al-Tabarani (w 360 H) a. Nama Lengkapnya: Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayub ibn Matir al-Lakhmy al-Syamy al-Tabrani. Yang memiliki tiga kitab alMu‟jam al-Kabīr, al-Mu‟jam al-Awsaṭ, al-Mu‟jam al-Ṣagīr16. b. Guru-gurunya: Aby Zur‟ah al-Dimasyqy, Ishaq ibn Ibrahim al-Dabiry, Idris ibn Ja‟far al-„Athar, Basyar ibn Musa, Miqdam ibn Dawud alRa‟any, Yahya ibn Ayub al-„Alaf, Abdullah ibn Muhammad ibn Sa‟id ibn Aby Maryam, Ahmad ibn Abd al-Wahab al-Huthy, Ahmad ibn Dawud alBisry, Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal, dan lainnya. c. Murid-muridnya: Abu Khalifah al-Jamhy, al-Hafidz ibn „Uqdah, Ahmad Ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Sahaf, ibn Mandah, Abu Bakar ibn Mardawih, Abu Nu‟aim al-Asbahany, Abu „Umar Muhammad ibn alHusain al-Busthamy, dan lainnya.17 d. Pendapat Ulama Hadis: 1) Abu Bakar ibn Abi „Ali: Kaṡīrah hadīṡuh. 2) Al-Hafidz Abu „Abdillah ibn Mundah: ahad al-hafiẓ al-Manẓūrin18. 2. Muhammad ibn ‘Ali al-Madini a. Nama Lengkapnya: tidak dikenal b. Guru-gurunya: tidak dikenal 16
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah,(Dār ihyā al-Turaṡ, 1408/1988), juz, 11, h. 288. Lihat juga al-Dzahaby, Siyaru „Alāmi al-Nubalā,( Beirut: Muassasah al-Risālah, 1405/1985), juz, 10, h. 64. 17 al-Dzahaby, Siyaru „Alāmi al-Nubalā, juz, 10, h. 65. 18 Al-Tabrani, al-Mu‟jam al-Awsaṭ, jld, 1, h, 9.
44
c. Murid-muridnya: tidak dikenal d. Pendapat Ulama Hadis: tidak dikenal 3. Al-Hakam ibn Musa (w 232 H)19 a. Nama Lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. c. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. 4. Abdurrahman ibn Abi al-Rijal20 a. Nama Lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. c. Murid-muridnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. d. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. 5. Nubaith ibn Umar a. Nama lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. c. Murid-muridnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. d. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. 6. Anas ibn Malik (w 92 H)21 a. Nama Lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. 19 20
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 440. Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 169. Al-Mizzi, Tahżīb al-Kamāl,juz,17, h, 88-
21
Ibnu Hajar al-„Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 390-392.
89.
45
c. Murid-muridnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. d. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. Penelitian sanad hadis di atas tentang ṣalāt arba„īn di Masjid al-Nabawī alMadīnah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dan mutābi‟nya Imam alTabarani, setelah penulis mencari data perawi tersebut dari kitab Rijāl al-Hadīṡ, bahwa ada dua periwayat yang tidak dikenal/tidak diketahui keadaannya (Nubaith ibn Umar dan Muhammad ibn „Ali al-Madani). Imam al-Tabarani setelah mencantumkan hadis tersebut beliau berkomentar: “Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali Nubaith, dan Abdurrahman ibn Abi Al-Rijal pun sendiri meriwayatkan dari Nubaith”. Namun ada peneliti terdahulu Al-Mundziri dalam al-Targīb wa al-Tarhīb, dan AlHaitsami dalam Majma‟ al-Zawāid wa Manba‟ al-Fawāid nomor hadis 587822, setelah mencantumkan hadis ini, keduanya berkomentar menguatkan jalur perawinya, sebagaimana tercantum dalam Musnad Ahmad dan al-Mu‟jam Al-Awsaṭ di atas.
Masalah yang dipersoalkan dalam jalur sanadnya adalah adanya seorang perawi yang bernama Nubaith bin Umar, yang ternilai majhūl (tidak diketahui keadaannya), dimana hanya Al-Mundziri dan Al-Haitsami yang menguatkannya dengan mendasarkan pada penilaian Ibnu Hibban dalam “Al-Ṡiqāt”23. Namun, di kalangan kritikus hadis, Ibnu Hibban dikenal sebagai kritikus yang dimasukkan dalam kategori mutasāhil (mudah mengangkat derajat penilaian terhadap perawi yang 22
Abu al-Hasan Nur al-Din „Ali Ibn Abi Bakar Ibn Sulaiman al-Haitsami, Majma‟ al-Zawāid wa Manba‟ al-Fawāid, (Kairo: Maktabah al-Qudsiy, 1414 H/ 1994 M), juz, 4, h. 8. 23 Ibnu Hibban, “al-Ṡiqāt”, (Dairah al-Ma‟arif al-„Utsmaniyah), juz, 5, h. 483.
46
majhūl). Maka dalam kajian kritik hadis, keadaan perawi demikian disebut dengan majhūl „ain (tidak diketahui data pribadinya sedikitpun). Sementara itu, kritikus hadis modern, Nashirudin Al-Albani dalam Silsilah al-Ahādīṡ al-Ḍa„īfah24 pada bab 364 dan Ḍa„īf al-Targīb wa al-Tarhīb 25 pada bab Kitāb al-Haj, mengomentari hadis di atas dengan mengatakan: “Sanad hadis ini daif, Nubaith tidak dikenal kecuali dalam hadis ini, hadis ini munkar (informasi hadis hanya dari satu jalur). Sementara Muhammad Ibn „Ali al-Madani tidak diketahui informasinya. Dalam hal ini,26 penulis sepakat dengan apa yang dikatakan oleh al-Albani bahwa perawi yang bernama Nubaith ibn Umar itu majhūl „ain, tidak diketahui keadaannya dalam beberapa kitab Rijāl al-Hadīṡ. Menurut disiplin ilmu hadis, manakala terdapat perawi yang tidak diketahui keadaannya maka sanad perawi hadis tersebut menurut jumhur ulama hadis, hukum riwayatnya tertolak dan hadisnya termasuk daif.
24
Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahādiṡ alḌai'fah,(Riyadh: Dar al-Ma‟arif, 1412 H / 1992 M), juz, 1, h. 540. 25 Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin al-Albani, Ḍa'if al-Targīb wa al-Tarhīb, juz, 1, h. 189. 26 Dalam hal yang lain, penulis antipati terhadap syekh al-Albani, karena banyak di dalam karya-karyanya, beliau mengidentifikasi setidaknya ada 990 hadis yang dianggap autentik oleh mayoritas sarjana Muslim, namun oleh al-Albani dianggap lemah. Memang, ia menyatakan lemah sejumlah hadis yang terdapat dalam sahih Muslim, salah satu koleksi hadis yang paling bergengsi. (lihat dalam bukunya Kamarudin Amin; Menguji kembali keakuratan Metode Kritik Hadis, halaman 72).
47
2.
Penelitian Matan Hadis
Untuk mengetahui sahih atau tidaknya suatu matan hadis diperlukan suatu penelitian matan yang biasa disebut kritik matan (naqd matan). Kritik matan ini adalah upaya mengkritisi materi atau pembicaraan yang disampaikan oleh sanad yang terakhir untuk diketahui ke-sahih-an matan hadis tersebut. Perlunya penelitian matan hadis tidak hanya karena keadaan matan itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga karena dalam periwayatan, matan hadis dikenal adanya periwayatan secara makna (riwayat bil makna).27 Adanya periwayatan secara makna menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Kesulitan tersebut terjadi karena matan tersebut terlebih dahulu telah beredar pada sejumlah periwayat yang berbeda generasi dan tidak jarang juga berbeda latar belakang budaya dan kecerdasannya, sehingga menyebabkan timbulnya perbedaan penggunaan dan pemahaman dalam suatu kata ataupun istilah. Penggunaan pendekatan bahasa dalam penelitian matan sangat diperlukan selain pendekatan semantik karena sangat membantu kegiatan penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan. Untuk penelitian matan hadis dari segi kandungannya, acapkali diperlukan penggunaan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran islam. Penelitian matan dengan beberapa macam pendekatan tersebut ternyata memang 27
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 26.
48
masih tidak mudah dilakukan, apalagi kandungan matan hadis berhubungan dengan masalah keyakinan tentang hal-hal yang ghaib dan petunjuk-petunjuk agama yang bersifat ta‟abudi. Dengan begitu, penelitian matan hadis memang membutuhkan kecerdasan penelitian dalam menggunakan cara pendekatan yang relevan dengan masalah yang diteliti. Kesulitan penelitian matan juga disebabkan masih sangat langkanya kitab-kitab yang secara khusus membahas kritik matan.28 Dalam memahami matan sebuah hadis diperlukan juga sebuah penafsiran situasional. Sebagaimana yang dikutip oleh Fazlur Rahman, bahwa pemahaman beberapa doktrin pokok harus dimodifikasi dan ditegaskan kembali. Harus ditafsirkan menurut perspektif historisnya yang tepat dan menurut fungsinya yang tepat dalam konteks kesejarahan. Harus dikemukakan secara tegas bahwa suatu revaluasi terhadap aneka ragam unsur dalam hadis dan reinterpresentasi yang sempurna selaras dengan perubahan-perubahan kondisi sosial dan moral dewasa ini meski dilakukan.29 Dalam buku metodologi penelitian hadis Nabi saw. karya M. Syuhudi Ismail dijelaskan langkah-langkah metodologi kegiatan penelitian matan hadis, yaitu: I.
Meneliti matan dengan kualitas sanadnya. a). Meneliti matan sesudah meneliti sanad. b). Kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanadnya.
28
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, h. 26. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1995), cet. 6, h. 73. 29
49
c). Kaidah kesahihan matan hadis, yakni terhindar dari syudzudz dan „illat.30 Adapun tolok ukur penelitian matan, Shalahuddin al-Adibi menyimpulkan ada empat macam yaitu: a). Tidak bertentangan dengan al-Qur‟an. b). Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. c). Tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera dan sejarah. d). Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.31 II.
Meneliti matan yang semakna Menurut ulama hadis, perbedaan lafaẓ yang tidak mengakibatkan perbedaan
makna, asalkan sanadnya sama-sama sahih, dapat ditolerir. Bila terjadi perbedaan lafaẓ pada berbagai matan yang semakna, maka metode muqaranat (perbandingan) sangat penting dilakukan. Dengan metode ini dapat diketahui adanya perbedaan lafaẓ pada matan, adanya ziyādah, idraj dan lain-lain yang berpengaruh pada matan hadis.32 III.
Meneliti kandungan matan a). Membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan.
30
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, h. 122. Salahuddin bin Ahmad al-Adabi, Manhaj al-Naqd al-Matan, (Beirut: Dar al-Afaq alJadidah, 1993), h. 238. 32 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, h 131. 31
50
b). Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak bertentangan.33 Ibnu Hajar al-Asqalani menempuh empat cara untuk penelitian terhadap kandungan yang tidak sejalan atau tampak bertentangan, yaitu: 1). Al-Jam‟u 2). Al-Naskh wa al-Mansukh 3). Al-Tarjih 4). Al-Taufiq34 Untuk mengetahui status ke-hujjah-an hadis, maka penelitian sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama penting. Meskipun dalam prakteknya penelitian sanad didahulukan atas penelitian matan. Menurut ulama hadis, barulah suatu hadis dinyatakan berkualitas sahih (ṣahīh lizātih) apabila sanad dan matan-nya berkualitas sahih.35 Dalam penelitian ini, langkah-langkah metodologisnya telah penulis kemukakan di atas, dinukil dari buku M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi saw. Esensi yang menjadi unsur-unsur utama yang harus dipenuhi oleh
33
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, h. 145. Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Nuzhatu al-Nazar Syarh Nukhbah al-Fikr, (Semarang: Maktabah al-Munawar), h. 24-25. 35 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, h. 122. 34
51
suatu matan yang berkualitas sahih adalah terhindar dari syudzudz dan terhindar dari „illat. Dalam kegiatan kritik matan ini, penulis akan berusaha mengikuti dari langkah-langkah kritik matan yang dikemukakan oleh M. Syuhudi Ismail. 1. Meneliti kualitas sanad hadis. Dari hasil penelitian sanad yang telah dilakukan di atas, terdapat satu perawi yang majhūl (tidak diketahui keadaannya), baik guru dan muridnya tidak mencantumkan perawi tersebut. Dalam hal ini, penulis sepakat dengan al-Bani yang mengatakan hadis ini sanadnya daif. 2. Meneliti susunan matan yang semakna. Susunan matan dari dua mukharrij itu mempunyai makna sama, namun apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal ada sedikit penambahan dan ini tidak menjadikan perbedaan yang menonjol. Untuk mengetahui penambahan tersebut, berikut penulis cantumkan kedua hadis di bawah ini:
ت لَو بََراءَة م حن النَّار َوََنَاة م حن الح َع َذاب ص ََلة كتبَ ح َ صلَّى ف َم حسجدي أ حَربَع َ ص ََلة َل يَفوتو َ ي َ َم حن ئ م حن النِّ َفاق َ َوبَر َوََنَاة م َن،ب اللَّو لَو بََراءَة م َن النَّار َ صلَّى ف َم حسجدي أ حَربَع َ ص ََلة َل يَفوتو َ ي َ َم حن َ َ َكت،ص ََلة الح َع َذاب
52
Dari kedua matan di atas, tampak ada perbedaan sedikit, seperti pada teks matan hadis mukharrij Imam Ahmad Ibn Hanbal. Ia menggunakan lafaẓ
ت لَو بََراءَة كتبَ ح
َّ َ َكت. Dan َ َ ب اللو لَو َ
sedangkan pada mukharrij Imam al-Tabrani menggunakan lafaẓ بَراءة
juga terdapat penambahan lafaẓ pada matan hadis Imam Ahmad, tetapi tidak merubah maksud dari matan hadis tersebut, perubahan dan penambahan dalam matan hadis tersebut masih dalam koridor yang tidak merubah makna matan hadis tersebut. 3. Meneliti kandungan matan. Memahami hadis yang sepintas terkandung busyra (kabar gembira) yang begitu menjanjikan memang perlu dicermati. Karena salah satu faktor kemunculan dan indikasi sebuah hadis palsu (maudhu‟) adalah berlebih-lebihan dalam hal keutamaan suatu amalan dan pahala yang didapatnya. a. Bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an Para komentator hadis, seperti al-Mubarakfuri memahami hadis di atas dengan mengatakan, bahwa kebanyakannya mengarah pada anjuran agar setiap muslim senantiasa berusaha menggiatkan ṣalāt jamaah, dengan salah satu indikatornya adalah mendapati takbirah al-ihrām bersama imam. Mendapatkan ganjaran berupa terhindar dari api neraka dan kemunafikan, dimaksudkan bahwa kita akan dihindarkan di dunia ini dari sifat-ciri beramalnya kaum munafik, seperti rasa malas dalam menunaikan ṣalāt. sebagaimana termaktub dalam firman-Nya:
53
َّاس َول يَ حذكرو َن َّ ي ُيَادعو َن اللَّ َو َوى َو َخادعه حم َوإذَا قَاموا إ ََل َ إ َّن الحمنَافق َ الصلوة قَاموا ك َس َاَل ي َراءو َن الن )٢٤١( اللَّوَ إل قَليَل “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka bordiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan ṣalāt) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali.” (Qs. An-Nisa: 142)36 Mendudukkan ibadah ṣalāt diniatkan untuk mencari pahala tidaklah tepat, salah satu dari tujuan ṣalāt adalah untuk mengingat Allah swt dan mencari keridlaanNya sebagaimana dalam firman-firman Allah swt yang artinya:
)٢٤( الصلوةَ لذ حكري َّ اعب حدين َوأَقم إنَِّن أَنَا اللَّو ل إلَوَ إل أَنَا فَ ح “ Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku”.(Q.S. Thaaha;14)37
)٢٦١( ي ِّ اي َوَمََاِت للَّو َر َ ب الح َعالَم َ ق حل إ َّن َ َصَلِت َونسكي َوَحُمي “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.(Q.S. al-An‟am;162)38 b. Bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.
ضم ُّي قَ َال َحدَّثَنَا أَبو ق تَ حيبَةَ َس حلم بحن ق تَ حيبَةَ َع حن ُ حع َم َة بحن َع حمرو صر بحن َعل ٍّي ح َ اْلَ حه َحدَّثَنَا ع حقبَة بحن مكَحرم َونَ ح صلَّى للَّو َ َال ق َ ََع حن َحبيب بحن أَب ثَابت َع حن أَنَس بحن َمالك ق َ صلَّى اللَّو َعلَحيو َو َسلَّ َم َم حن َ ال َرسول اللَّو 39 ت لَو بََراءَتَان بََراءَة م حن النَّار َوبََراءَة م حن النِّ َفاق َ اعة ي حدرك التَّكحب َريَة حاْل وَل كتبَ ح َ َي يَ حوما ف ََج َ أ حَربَع
36
Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. (al-Madīnah alMunawwarah:Mujamma‟ Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain al-Mālik Fahd li ṭibā‟at al-Muṣḥaf asySyarīf:1971.) 37 Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. 38 Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya.
54
“Telah menceritakan pada kami Uqbah bin Mukram dan Nashr bin Ali: Telah menceritakan pada kami Salam bin Qutaibah dari Tu'mah bin Amru dari Habib bin Abi Tsabit dari Anas bin Malik berkata: bersabda Rasulullah: "Siapa mengerjakan shalat dengan ikhlas karena Allah selama empat puluh hari berjamaah dengan mendapatkan takbiratul ihram, dicatat untuknya dua kebebasan, yaitu bebas dari neraka dan bebas dari kemunafikan.” (H R.Tirmidzi) Di akhirat nanti Allah swt akan menyelamatkan dari berbagai amal yang menyebabkan orang munafik disiksa Allah swt. Dan Allah swt akan menjadi saksi, bahwa dia bukanlah seorang munafik. Maka barang siapa yang menjaga ṣalāt jamaahnya di masjid mana pun, baik di Makkah, Madinah, Jakarta, Medan, Surabaya, atau di Eropa dan belahan bumi mana pun, hingga dapat mempertahankannya selama empat puluh hari, maka ia akan mendapatkan balasan dari Allah berupa terhindar dari api neraka dan kemunafikan.
c. Bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah.
Perlu direnungkan, bagaimana mungkin amalan dengan pahala sebesar ini tidak populer di kalangan sahabat dan hanya diriwayatkan oleh satu sahabat lalu oleh satu tabi‟in yang tidak dikenal keadaannya dan tidak memiliki riwayat sama sekali (tidak dalam hadis sahih maupun daif) kecuali hadis ini?40 Maka sesungguhnya pensahihan ini tidak bisa diterima, dan pendapat yang melemahkan hadis ini adalah pendapat yang lebih kuat.
39
Muhammad Ibn „Isa Ibn Saurah Ibn Musa Ibn al-Dahhak al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1395 H/ 1975 M), juz, 2, h. 7. 40 Al-Bahṡul Amin fī Hadiṡ al-Arba„īn, diterbitkan dalam Majalah al-Jāmi‟ah al-Islāmiyyah edisi 41.
55
d. Susunan pernyataannya tidak menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian. Pada hal ini bisa kita lihat dari matan hadis yang diteliti, tidak menunjukkan susunan bahasa kenabian, juga tidak termasuk kalam arab yang baligh. Di dalam matan hadis itu ada pembedaan antara النارdengan العذاب, dengan bukti pemisahan dua kalimat tersebut dengan maksud yang sama, padahal seyogyanya memang satu, apakah memakai neraka atau azab. Bukankah neraka itu azab/siksaan? Bukankah azab/siksa itu juga pelaksanaan dari neraka?. Setelah orang itu selamat dari neraka dan azab dikabarkan lagi dia terbebas dari sifat munafiq, tentu sudah menjadi maklum, orang yang dijamin selamat dari neraka/siksa bukanlah orang yang munafiq baik di waktu sekarang ataupun kemudian.41
Dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas maka telah memenuhi syarat matan hadis dinyatakan tidak terhindar dari syudzudz dan „illat. Itu pula berarti kaidah kesahihan matan tidak terpenuhi. Jadi kesimpulannya matan hadis yang diteliti berkualitas daif, mengingat sanad hadisnya juga berkualitas daif, maka dengan demikian hadis tersebut berkualitas daif. Jelasnya hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah.
41
Al-Bahṡul Amin fī Hadiṡ al-Arba„īn, diterbitkan dalam Majalah al-Jāmi‟ah al-Islāmiyyah
edisi 41.
BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Dari uraian di atas yang cukup panjang, menurut disiplin ilmu hadis, manakala terdapat perawi yang tidak diketahui keadaannya maka sanad perawi hadis tersebut (jumhur ulama hadis), hukum riwayatnya tertolak dan hadisnya termasuk daif. Dari kesimpulan ini dapat diketahui beberapa poin yang perlu digaris bawahi sebagai berikut:
Pertama dari segi sanad: 1. Setelah penulis meneliti hadis dari mukharrij Ahmad ibn Hanbal juga pada semua perawi yang ada di dalamnya seperti; al-Hakam ibn Musa, ‘Abdurrahman ibn Aby al-Rijal, Nubaith ibn Umar, Anas ibn Malik dan sampai kepada Nabi s.a.w. terdapat satu orang periwayat yang bernama Nubaith ibn Umar bersifat Majhūl „ain (tidak diketahui keadaannya), dikarenakan ada perawi yang Majhūl „ain maka penulis menyimpulkan hadis ini daif sebagaimana juga yang telah disimpulkan oleh syekh alAlbani. 2. Setelah penulis meneliti hadis dari mukharrij al-Tabarani sebagai mutābi‟ juga pada semua perawi yang ada di dalamnya seperti; Muhammad ibn
56
57
‘Ali al-Madani, al-Hakam ibn Musa, ‘Abdurrahman ibn Aby al-Rijal, Nubaith ibn Umar, Anas ibn Malik dan sampai kepada Nabi s.a.w. terdapat dua orang yang tidak diketahui keadaannya yaitu; Muhammad ibn ‘Ali al-Madani dan Nubaith ibn Umar. Dari sini pula penulis mengambil kesimpulan yang sama terhadap sanad hadis ini yaitu sanad hadis ini daif. Kedua, dari segi matan penulis memberi kesimpulan pada hadis tersebut bahwa matan hadis ini tidak memenuhi syarat-syarat kesahihan yang ada pada matan, maka dari itu matan hadis ini juga berkulitas daif. Al-Hasil hadis yang menerangkan tentang salāt arba„īn di Masjid al-Nabawī al-Madīnah tidak bisa dijadikan hujjah.
B. SARAN Di dalam menjalankan suatu amalan ibadah bagi umat Islam seyogyanya berdasarkan dalil-dalil yang sudah ter-Nash, baik di dalam al-Qur’an maupun alSunnah/al-Hadis. Hadis sebagai sumber hukum ke-dua setelah al-Qur’an, tentu mempunyai peran yang sangat signifikan. Oleh karena hadis di dalam proses perjalanannya mengalami berbagai macam kondisi, yang terkadang juga tidak sedikit yang mempunyai kepentingan pribadi ataupun kelompok dengan menisbatkan kepada hadis Nabi, guna memperoleh kepentingannya itu. Maka oleh karena itu, perlu diadakan pengkajian atau penelitian hadis agar dapat diketahui apakah hadis-hadis tersebut bernilai sahih dan berasal dari Rasulallah s.a.w. atau sebaliknya.
58
Penelitian ini jauh dari kata sempurna, karena penulis menyadari betul akan kelemahan yang ada pada diri penulis. Maka penulis berdoa agar kiranya tulisan ini bisa menjadi manfaat untuk diri sendiri juga kepada khalayak yang cinta akan ilmu pengetahuan. Penulis juga berharap, kepada para pembaca untuk sudi kiranya memberikan saran dan masukan serta ilmunya, guna pencapaian hasil yang lebih baik lagi.
59
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Jarullah. Keutamaan Salat Berjamaah, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995. Abdurrajiq, Mahir Manshur. Mu‟jizat Salat Berjamaah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007. Abū Isa Muhammad bin Isa bin Saurah. Sunan al-Tirmizi, Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Abū Abdullah bin Malik bin Anas. Al-Muwaṭṭa‟, Beirut: Dar al-Jil. Abū Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal. Musnad al-Imām Ahmad ibn Hanbal, Beirut: Muasasah al-Risalah, 2001. al-Adabi, Ṣalahuddin bin Ahmad. Manhaj al-Naqd al-Matan, Beirut: Dar al-Afaq alJadidah, 1993. Adnan Amal, Taufik. Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1995. al-‘Asqalāni, Ibnu Hajar. Tahżīb al-Tahżīb, al-Hindi: Dāirah al-Ma‘ārif al-Niẓamiyah, 1326 H. ----------. Nuẓatu al-Nażar Syarh Nukhbah al-Fikr, Semarang: Maktabah al-Munawar. al-Albani, Abu Abdurrahman Muhammad Naṣiruddin. Silsilah al-Ahadīṡ al-Ḍa„ifah, Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1412 /1992a. ---------. Ḍa„if al-Targīb wa al-Tarhīb, Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1412 /1992b. Amin, Kamarudin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta: Hikmah, 2009. Al-‘Aẓami, M.Musṭafa. Hadīṡ Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah: Prof. H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Al-Bahṡul Amin fī Hadīṡ al-Arba‘īn, diterbitkan dalam Majalah al-Jāmi‘ah alIslamiyyah edisi 41.
60
al-Bukhāri, Muhammad ibn Ismaīl Abū ‘Abdillah. al-Jāmi‟ al-Ṣahīh, Dar Tūq alNajāh, 1422 H. Dewan Hisbah Persatuan Islam. Risalah Salat, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. Harahap, Sumuran. Kamus Istilah Haji & Umrah, Jakarta: Mitra Abadi Press. Al-Hafiẓ ‘Imāduddin Abul Fidā’ Ismā‘il bin Kaṡir al-Qurasyi ad-Dimasyqi. Tafsir alQur‟an al-Aẓim, Beirut: Dar at-Turaṡ al-‘Arabi. al-Haiṡami, Abu al-Hasan Nur al-Din ‘Ali Ibn Abi Bakar Ibn Sulaiman. Majma‟ alZawāid wa Manba‟ al-Fawāid, Kairo: Maktabah al-Qudsiy, 1414 H/ 1994 M. al-Hindi, ‘Ala al-Din al-Muttaqin Ibn Hisyam al-Din. Kanz al-„Ummāl Fi Sunan alAqwāl wa al-Af‟āl, Beirut: Mu’assasah al-Risalah,1989. Ibnu Hibban. “al-Ṡiqāt”, Dairah al-Ma’arif al-‘Utsmaniyah, 1393/1973. Ibnu Katsir. al-Bidayah wa al-Nihayah. Dār ihyā al-Turaṡ, 1408/1988. Ibn Manzur. Lisān al-„Arab,Beirut: Dar Beirut, 1968. Imam Ghazali. Kesilapan ketika Sembahyang, Kuala Lumpur: Kalam Ilham, 1993. Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. al-Kahlawi, ‘Ablah Muhammad. Buku Induk Haji dan Umrah Untuk Wanita, Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin, Jakarta: Zaman, 2009. al-Kaf, Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim. al-Taqrīrat al-Sadīdah fi alMasāil al-Mufīdah, Surabaya: Dar al-‘Ulum al-Islamiyah, 2004. al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. Uṣūl al-Hadīṡ, Beirut: Dar al-Fikr, 1989. Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. al-Madīnah alMunawwarah:Mujamma’ Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain al-Mālik Fahd li ṭibā’at al-Muṣḥaf asy-Syarīf:1971. Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughah al-„Adab wa al-„Ulum, Beirut: al-Mathba’ah al-Kathulikiyyah, 1960.
61
Al-Mizzy. Tahẓīb al-Kamāl, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1400/1980. Muslim bin al-Hajjaj, Imam Abul Husain. Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr. Nurkholis, Mujiyo. Meraih Pahala 27 Derajat, Bandung: Al-Bayan, 1995. al-Qahtani, Said bin ‘Ali bin Wahf. Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur‟an dan asSunnah jilid I, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2006. --------. Lebih Berkah dengan Shalat Berjamaah, Surakarta: Qaula, 2008. Rousydiy, T.A. Lathief. Kaifiyat Salat Rasulullah s.a.w., Medan: Rimbow, 1985. Sābiq, Sayid. Fiqhus Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1977. al-Sālih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (terjemahan), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. Al-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis,Jakarta:Bulan Bintang, 1976. ---------. Pedoman Salat, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986. Soebahar, Erfan. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Kritik Musthafa al-Siba’I terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadīṡ dalam Fajr al-Islam, Jakarta: Kencana,2003. Al-Tabarani, al-Mu‟jam al-Awsaṭ, Mesir: Dar al-Haramain. al-Tahhan, Mahmud. Usūl at-Takhrīj wa al-Dirāsah al-Asānid, Riyad: Maktabah alMa’arif, 1991. ---------. Dasar-Dasar Ilmu Takhrīj, Penerjemah H.S. Agil Husin dan Masykur Hakim,Semarang:Toha Putra,1995. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996. al-Tirmidzi, Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Saurah Ibn Musa Ibn al-Dahhak. Sunan alTirmidzi,Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1395 H/ 1975 M.
62
Warson Munawir, Ahmad. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984. Wensink, A.J. al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadīṡ al-Nabawi „an al-Kutub alSittah wa „an Sunan al-Darimi wa Muwatta Malik wa Musnad Ahmad bin Hanbal,Leiden: Maktabah Bril,1936. Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989. al-Żahaby. Siyaru „Alāmi al-Nubalā. Beirut: Muassasah al-Risālah, 1405/1985. Zubaidi, Ahmad dkk. Menjawab Persoalan Fiqih Ibadah, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001. Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-lslāmi wa „Adillatuh, Suriah: Dar al-Fikr, 1989.