PLAYBOY DOUBLEINTERVIEW:
KARNI ILYAS
PEMIMPIN REDAKSI ANTV INI BICARA TENTANG KISAH DI BALIK PENYERBUAN MARKAS TERSANGKA TERORIS, TENTANG KEDEKATANNYA DENGAN PEJABAT TERAS KEPOLISIAN, DAN NIATNYA MENJADI LEGENDA DI DUNIA BERITA. Ketika itu hanya ANTV yang mendapatkan gambar menit-menit penyerbuan. Anggota Komisi III DPR sempat mempertanyakan keistimewaan yang diberikan Polri kepada ANTV. Kapolri Jenderal Pol Sutanto membantah. Menurut dia informasi rencana penggerebekan telah disampaikan Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri kepada media lain dua jam sebelumnya. Tapi, tidak ada kru stasiun televisi lain yang datang. Bagaimana ANTV bisa unggul dalam perolehan? Karena di sana ada Karni Ilyas. Bukan sekali itu Karni ‘menang’ dalam perolehan berita ekslusif. Ketika Tommy Soeharto tertangkap di Jakarta Selatan, November 2001, Karni yang masih di SCTV mendapat gambar ekslusif. Setahun kemudian SCTV juga mendapatkan gambar penangkapan Imam Samudra di Pelabuhan Merak. November tahun lalu, ANTV menayangkan gambar ekslusif menit-menit penyerbuan markas Azahari di Batu, Jawa Timur.
Sebuah liputan fenomenal di pekan-pekan awal Karni menjadi direktur pemberitaan ANTV. Seperti juga di Wonosobo, di Batu Karni melakukan laporan langsung dari tempat kejadian, hal yang jarang dilakukan pemimpin redaksi televisi lain. Liputan Karni ampuh menaikkan citra ANTV yang pernah nyaris kolaps karena krisis finansial tapi kembali menghirup udara segar setelah mendapat dana lewat penjualan 20 persen saham ke Star Hong Kong milik Rupert Murdoch. Karni memulai kerja jurnalistiknya tahun 1972 di Harian Suara Karya. Enam tahun di sana ia pindah ke majalah Tempo pada 1978 dan prestasi kewartawanannya mencorong. Jabatan terakhirnya di Tempo redaktur pelaksana, Karni menjadi pemimpin redaksi majalah Forum. Dia pindah ke SCTV pada 1999. Sejak di Tempo, Karni dikenal piawai dalam melobi pejabat, landasan untuk dia mendapatkan berita-berita ekslusif. Dalam kumpulan tulisannya di Majalah Forum
Kalau saya bisa dapat gambar dari polisi, ngapain saya harus turun ke lapangan meski tangan patah. Tunggu jadi saja, tinggal kirim messenger ambil. Ngapain saya harus 15 hari berkubang, sampai patah, dan segala macam.
Kalau stasiun yang udah sukses semua juga bisa. Justru ini televisi yang paling bawah saya angkat. Dari 10 televisi waktu itu ANTV yang paling bawah, dan saya harus mengangkatnya.
Sekarang saya tanya Bapak. Bapak Kapolri, saya sahabat Bapak, saya teman Bapak, saya tembak orang di Hotel Hilton, bapak bisa SP3-kan saya nggak?” Akhirnya tergantung bagaimana saya.
FOTO OLEH BAYU ADHITYA
Penyerbuan rumah kontrakan tersangka kelompok teroris di Wonosobo, Jawa Tengah, 29 April lalu sungguh tontonan menarik. Kejadiannya dimulai ketika hari belum terang. Seorang polisi tanpa pakaian seragam dari balik mobil yang di parkir di seberang rumah dengan pengeras suara meminta penghuni rumah untuk menyerah. Beberapa kali peringatan tak diindahkan. Polisi menggunakan galah panjang untuk meletakkan bom di dekat pintu rumah. Bom meledak. Polisi yang berlarian seperti menghindari percikan bom yang mereka ledakkan. Beberapa menit kemudian polisi melakukan hal sama ke arah genteng rumah. Penyiar ANTV melaporkan penghuni rumah meledakkan bom untuk menghalau polisi. Penyerbuan itu menewaskan Gempur Budi Angkoro, yang dianggap nomor dua dalam kemampuan merakit bom di jaringan teroris setelah Azahari. Sayangnya, target nomor satu, Noordin M Top tidak ada di dalam rumah.
NOVEMBER 2006
45
PLAYBOY DOUBLEINTERVIEW yang telah dibukukan dalam Catatan Hukum I dan II. Sejak kehadiran Karni, ANTV memiliki segmen berita Topik yang tayang enam kali sehari, laporan mendalam Telisik dan Mata Rantai. Karni pun memboyong presenter dari televisi lain seperti Valerina Daniel mantan presenter Metro TV, dari SCTV Grace Natalie, Indy Rahmawaty, Ariana Herawaty, Melati Suryaningtyas, Tengku Fiola, Fessy Alwi serta Rahma Alia. Di dapur pemberitaan Uni Lubis diboyong dari TV7. PLAYBOY mengirim Feature Editor Alfred Ginting untuk mewawancara pria kelahiran 25 September 1952 di Bukit Tinggi, Sumatera Barat ini. Feature Editor kami mengikuti kegiatan Karni Ilyas dari pagi hingga malam hari. Sebagian wawancara dilakukan di dalam mobil. Karni memulai aktivitas Senin pagi dengan rapat bersama dewan direktur di ANTV. Kemudian dia menjalani terapi penyembuhan tangan kirinya yang patah di RS Medistra Jakarta. Karni mengalami cedera karena terjatuh sebelum meliput penyerbuan di Wonosobo. Siang itu, Karni juga mengadakan pertemuan dengan dua anggota Komisi Kepolisian Nasional di sebuah restoran di kawasan Kuningan, Jakarta.
PLAYBOY: Kenapa Anda keluar dari SCTV tahun lalu? KARNI ILYAS: Waktu tahun 2005 itu di SCTV ada perubahan pemegang saham, saya memilih mengundurkan diri. PLAYBOY: Kenapa Anda memilih mengundurkan diri? KARNI ILYAS: Pemegang saham yang lama adalah teman saya. PLAYBOY: Henri Pribadi? KARNI ILYAS: Iya. Yang baru, saya tidak begitu kenal. Saya pikir, ya sudah lah. Enam tahun jadi direktur di SCTV saya mau mengabdi di bidang lain. Saya melamar di Komisi Kepolisian, eh lulus. Tapi pengumumannya nggak keluar-keluar, kan. Lama sekali, sampai setahun. Lucu juga kalau keluar dari SCTV saya nggak kerja. Lalu datang tawaran dari ANTV, kebetulan mau gabung dengan Star. PLAYBOY: Jadi Anda tahu sebelumnya dan bergabung ke ANTV karena Star mau masuk?
46
NOVEMBER 2006
KARNI ILYAS: Oh iya. PLAYBOY: Kalau Star tidak akan masuk? KARNI ILYAS: Mikir [tertawa]. Ada keseriusan berarti membangun stasiun ini. Saya mau karena serius. Saya mau coba lagi, benar nggak saya bisa. Kalau coba beberapa tempat dan bisa, baru saya bisa jadi legenda. Saya ingin jadi legenda langit berita. Makanya dari dulu saya membuat berita yang eksklusif. PLAYBOY: Kalaupun ada modal, tapi mengangkat ANTV dari posisi saat itu, kan tidak mudah? KARNI ILYAS: Itu tantangannya. Kalau itu sukses baru hebat, dan karena itu saya mau. Kalau stasiun yang udah sukses semua juga bisa. Justru ini televisi yang paling bawah saya angkat. Dari 10 televisi waktu itu ANTV yang paling bawah, dan saya harus mengangkatnya. PLAYBOY: Sedekat apa anda dengan Henri Pribadi? KARNI ILYAS: Henri sahabat saya. Sehingga saya bebas sekali ketika di SCTV. Tidak ada campur tangan sama sekali. PLAYBOY: Anda keluar dari SCTV karena khawatir pemegang saham baru akan campur tangan? KARNI ILYAS: Ya minimal [pemegang saham] yang baru tidak mengerti saya. Kan yang enak itu kalau pemiliknya kenal pribadi saya, yang tidak bisa diintervensi. Kalau orang yang tidak mengerti bisa bilang, “Kan gua yang punya!” Kalau Henri mengerti itu. PLAYBOY: Di ANTV Anda merasa bisa independen? KARNI ILYAS: Di sini ada perjanjian dulu saya independen apa tidak. Star ketemu dengan Bakrie di depan saya. Mereka sepakat Star akan menjaga Bakrie tidak campur tangan, Bakrie akan menjaga Star tidak akan campur tangan. Dua-duanya berkepentingan akan tidak adanya campur tangan dari masing-masing pihak. PLAYBOY: ANTV asset keluarga Bakrie. Anda tidak khawatir karena ketika itu Bakrie banyak disorot? KARNI ILYAS: Siapa saja yang punya televisi pasti disorot. PLAYBOY: Apalagi Aburizal Bakrie sedang di sumbu kekuasaan? KARNI ILYAS: Apa jadi Menko Kesra itu berarti dia sumbu kekuasaan?
PLAYBOY: Sebelumnya Perekonomian..
dia
Menko
KARNI ILYAS: Apa Menko Perekonomian jadi sumbu kekuasaan. Menko itu cuma mengoordinir. Lebih berkuasa Menteri Keuangan daripada Menko. Lagi pula dia sudah melepas diri dari bisnis ini. PLAYBOY: Dalam komposisi direktur, Star menempatkan orang? KARNI ILYAS: Ada satu direktur keuangan dari Star Hong Kong. PLAYBOY: Hanya satu dari lima direktur? KARNI ILYAS: Iya. PLAYBOY: Sewaktu melaporkan penyerbuan rumah tersangka teroris di Wonosobo, tangan kiri Anda patah. Bagaimana ceritanya? KARNI ILYAS: Begitu sampai Wonosobo, itu tiga jam dari Yogya, saya makan, jam enam sore sampai di hotel. Saya masuk ke kamar mandi, hidupin shower. Saya pikir air shower jatuhnya hanya di tempat mandi itu. Shower saya hidupin saya keluar, supaya panas dulu airnya. Wonosobo kan dingin. Saya keluar lihat televisi sebentar. Masuk lagi rupanya sudah banjir. Waktu saya injak lantai, langsung terpeleset. Untung kepala tidak kena lantai. Tangan patah. Patah, dilarikan ke rumah sakit Wonosobo. Di Rumah Sakit Wonosobo nggak ada alat. Dari Wonosobo ke Yogya lagi jam tujuh. Sampai di [Rumah Sakit] Sardjito jam 10 malam saya digips. Selesai jam 12 malam. Udah ragu itu saya balik lagi ke Wonosobo apa nggak. Dokter minta saya harus masuk untuk operasi. Saya bilang tidak mau. Saya bilang saya mau operasi di Jakarta saja, digips saja dulu. Dari rumah sakit saya ke hotel, Di situ ragu saya, balik ke Jakarta pagi, tidak ke Wonosobo. Sampai di lobi saya minum kopi dulu. Waktu itu saya putuskan balik ke Wonosobo. Kalau balik ke Jakarta, saya tidak dapat berita eksklusif. Kalau balik ke Jakarta, sudah tangan saya patah, saya tidak dapat apa-apa. Sampai Wonosobo jam tiga pagi. Saya baru dapat informasi jam empat penyerbuan akan dimulai. Jam empat saya sudah di lokasi penyerbuan. Jam lima tembak menembak terjadi. Saya ada di lokasi. Jam 10 saya report pertama pakai telepon, belum gambar. Jam 12 saya harus laporan stand
PLAYBOY DOUBLEINTERVIEW
SAYA INGIN JADI LEGENDA LANGIT BERITA. MAKANYA DARI DULU SAYA MEMBUAT BERITA YANG EKSKLUSIF. up, pakai jaket waktu itu. Mata berkunangkunang, dari jam enam kesakitan, nggak makan, nggak tidur, nggak mandi, tangan patah lagi. Nggak ada sakit yang lebih sakit daripada patah. Sangat sakit. Turun berat saya dua kilogram menahan sakit. PLAYBOY: Dalam kondisi itu kenapa Anda bersikeras, kan di sana ada kru ANTV yang lain? KARNI ILYAS: Nggak mungkin anak buah saya diterima waktu itu karena mereka belum dipercaya satgas. Tidak bisa saya wakilkan. Jangankan anak yang di lapangan, manajer-manajer yang di sini pun nggak mungkin mereka percaya. Karena mau diserbu pagi itu kan tidak boleh ada yang tahu. PLAYBOY: Anda dapat kabar akan ada penyerbuan kapan? KARNI ILYAS: Kabar itu selalu tentatif, tidak pasti. Kebetulan saja ketika itu, daerahnya sudah dikepung, saya ke situ. Pas saya datang ke Wonosobo, besoknya mau diserbu. Kalau Azahari dua minggu saya menunggu di lokasi. Kan tidak pernah pasti ada Noordin atau tidak di rumah itu. Ada Azhari atau tidak. Lokasi sudah
pasti, tapi tersangka tidak kelihatan. Itu mau dipastikan terus. Tapi kalau sudah dianggap saatnya, dipastikan hari ini, besok disebu. Kira-kira begitu. Jadi pas aja saya datang ke sana sudah dekat penyerbuan. Malam itu setelah stand up, berkunang-kunang [mata] saya karena tidak tidur dari jam enam sore sebelumnya. Habis stand up, saya naik mobil, langsung ke Yogya, dan terbang ke Jakarta. PLAYBOY: Dari siapa informasi penyerbuan Anda terima? KARNI ILYAS: Dari beberapa Jenderal yang dekat. PLAYBOY: Siapa yang dekat dengan Anda? KARNI ILYAS: Semua saya dekat, dari Jenderal Gorries, Surya Dharma, Makbul. Semua dekat. PLAYBOY: Untuk Wonsobo? KARNI ILYAS: Mereka semua ikut dalam tim. Dipimpin Jenderal Makbul. PLAYBOY: Kabar rencana penyerbuan markas tersangka teroris di Wonosobo Anda terima begitu cepat. Bagaimana Anda memutuskan semua seperti mengirimkan mobil studio mini dan sebagainya?
KARNI ILYAS: Itu kan rahasia sekali, jadi anak-anak tim ANTV tidak tahu sampai malam itu akan meng-cover ini. Mereka waktu itu masih di Kaliurang, meng-cover Merapi. Malam-malam saya suruh mereka pindah ke Magelang. Mereka bingung. Saya cuma bilang, jangan Kaliurang melulu, gambarnya itu-itu saja. Cari yang lain saya bilang, cari aja suasana di Magelang. Siang itu mereka pindah ke Magelang. Sampai Magelang jam 7 malam, mereka laporan lagi ke saya. Saya sudah di perjalanan dari Yogya ke Wonosobo. Saya minta mereka stay di sana. Jam dua pagi saya sudah balik ke Wonosobo, saya minta mereka ke Wonosobo, menemui saya di hotel. Jam 4 mereka sampai. Penyerangan jam 5, saya cocokkan. Baru saya kasih tahu, mereka akan meng-cover penyerbuan jam 5 pagi. PLAYBOY: Mobil studio mini langsung didatangkan ke lokasi? KARNI ILYAS: Tidak di hotel mereka menunggu. Saya jalan duluan, mereka saya suruh tunggu, kalau saya hubungi mereka boleh masuk. Setelah tembak menembak selesai kira-kira jam 7 atau jam 8 saya telepon mereka untuk masuk, baru mereka jalan. PLAYBOY: Waktu itu benar hanya ANTV dapat hak eksklusif? KARNI ILYAS: Bukan hak. Ya dapat eksklusif. Kalau ada orang lain dapat juga boleh. Kalau hak itu kan kayak Piala Dunia. PLAYBOY: Dari siapa? KARNI ILYAS: Dari lobi yang memungkinkan kita mendapat informasi itu. Jadi bukan hak. Kalau yang lain tahu, mereka boleh meliput. PLAYBOY: Pada faktanya beberapa ratus meter jalan di depan lokasi penyerbuan kan ditutup dan dijaga ketat? KARNI ILYAS: Setertutup-tutupnya tetap saja ada orang di sana. Orang yang tinggal dekat-dekat situ bagaimana. Itu kan pinggir jalan besar. Tetap saja yang lain bisa cover kalau tahu duluan. Yang ditutup itu lalu lintas mobil. Wartawan saya juga dihadang ketika masuk. Saya menyuruh dia mencari jalan setapak untuk sampai ke TKP. PLAYBOY: Suasana pada tayangan gambar ANTV sangat sepi? KARNI ILYAS: Setelah tembak menembak, ANTV juga tidak boleh masuk. Kami
NOVEMBER 2006
47
PLAYBOY DOUBLEINTERVIEW
SEORANG JURNALIS ITU DINILAI DARI PRODUKNYA, BUKAN DENGAN SIAPA DIA PERGI. KALAU DIA TIDAK BOLEH PERGI DENGAN SEMUA ORANG, MAU BIKIN BERITA APA DIA? ngambil dari jauh, pakai long shoot. PLAYBOY: Posisi tersangka Gempur, seberapa penting dalam peta jaringan? KARNI ILYAS: Jabir [alias Gempur] itu orang kedua pakar bikin bom setelah Azahari. Bukan dalam struktur mereka, tapi dalam skill-nya. Kalau Abdul Hadi itu semacam sespri Noordin. Jabir ada di daftar buronan yang dirilis polisi.
empat cameraman. Saya berada di mobil ketiga setelah mobil Makbul. Ngapain beli? Memang polisi jual rekaman? Kalau jual, lebih baik dia jual ke tempat yang bisa lebih mahal. Kalau saya bisa dapat gambar dari polisi, ngapain saya harus turun ke lapangan meski tangan patah. Tunggu jadi saja, tinggal kirim messenger ambil. Ngapain
gara? KARNI ILYAS: Penyerbuan kok rahasia negara.. PLAYBOY: Itu kan berkaitan dengan rahasia negara? KARNI ILYAS: Yang termasuk rahasia negara itu BAP [Berita Acara Pemeriksaan]. Kalau menyerbu bukan rahasia. PLAYBOY: Tersangkanya bukan kelas teri,
PLAYBOY: Ketika itu polisi tidak punya target menangkap tersangka hiduphidup? KARNI ILYAS: Targetnya menangkap Noordin. Mereka pikir Noordin ada di rumah itu. Ternyata tidak. Soal hidup atau mati, bagaimana orang yang di dalam rumah saja. Kalau yang di dalam rumah disuruh menyerah keluar tapi menembak, ya terpaksa ditembak balik. PLAYBOY: Memang ada tembak-menembak, tidak hanya tembakan dari polisi ke arah rumah? KARNI ILYAS: Ada. Mobil Makbul soak kena peluru. PLAYBOY: Banyak tembakan dari dalam? Dari gambar yang diperoleh ANTV tidak terlihat? KARNI ILYAS: Tidak jelas, berapa kali letusan dari dalam. Tempatnya begitu ramai. PLAYBOY: Ada pengeboman dari dalam? KARNI ILYAS: Ada ledakan dari dalam. PLAYBOY: Bukan ledakan dari polisi? KARNI ILYAS: Tidak. Dari dalam ada, dari polisi ada. PLAYBOY: Di gambar ANTV tidak terlihat tembakan dari dalam? KARNI ILYAS: Memang tidak, karena mengenai langit-langit rumah itu. Tidak tertangkap kamera. Tapi kelihatan berasap. Karena targetnya ternyata di atas. PLAYBOY: Dalam penyerangan rumah sewa Azahari di Batu, dikabarkan ANTV membeli rekaman penyerbuan dari polisi? KARNI ILYAS:Tidak. Kami punya rekaman. Cameraman kami punya. Kami kerahkan
saya harus 15 hari berkubang, sampai patah, dan segala macam. PLAYBOY: Tapi kan karena kedekatan Anda dengan pejabat polisi yang membuat Anda bisa memperolehnya? KARNI ILYAS: Ya, seandainya saya mau ambil dari polisi kan saya tidak perlu beli, tinggal minta. PLAYBOY: Tahu sejak kapan rencana penyerbuan di Batu? KARNI ILYAS: Dua minggu sebelumnya. PLAYBOY: Kenapa penyerbuan tidak dilakukan malam hari, baik di Batu maupun Wonosobo? KARNI ILYAS: Bahaya kalau ada penduduk yang keluar, bisa tertembak. Bahaya sekali. Kalau gelap kan hanya bisa melihat bayangan, tidak wajah. PLAYBOY: Sewaktu di Batu terjadi pemadaman listrik sampai seluruh kota? KARNI ILYAS: Karena takut meledak. Kalau bomnya meledak, kebakaran bisa merambat. PLAYBOY: Di sebuah media nasional, ada foto mayat Azahari dengan kaki terikat tali. Kenapa? KARNI ILYAS: Terikat? Nggak ada terikat. Mana bisa. Orang malam itu saja belum berani masuk. Masuk tapi belum berani menyentuh apa-apa karena khawatir masih ada bom sisa. Ternyata memang ada. Paginya polisi harus menjinakkan bom dulu. PLAYBOY: Dengan membagikan informasi kepada orang media tentang rencana penangkapan tersangka teroris, polisi tidak sedang membocorkan rahasia ne-
berkaitan dengan keamanan negara? KARNI ILYAS: Dalam hal itu berlaku trust. PLAYBOY: Maksudnya? KARNI ILYAS: Ya kepercayaan. Ketika dibagikan ini semuanya bisa di-keep. PLAYBOY: Bagi polisi untung tidak membagikan informasi ini? KARNI ILYAS: Tidak. PLAYBOY: Artinya ada yang mempublikasikan progres kerja mereka, lebih daripada faktor kedekatan? KARNI ILYAS: Tidak perlu buat polisi. Lebih karena kedekatan. Kayak Tempo hari ini laporan utamanya membongkar catatan harian Jabir yang didapat dari sumber polisi. Sekarang kalau kita balikkan pertanyaan Anda, apa untungnya buat polisi? Tidak ada. Kalau saya yang dapat catatan harian itu juga akan yang saya ungkapkan. Dari jaman dulu saya bikin berita eksklusif. Tidak harus hubungan manusia itu untung rugi. PLAYBOY: Tapi mereka membagikannya tentu karena ada manfaat yang mereka rasa? KARNI ILYAS: Tidak juga, karena kedekatan saja. Kalau besok mereka umumkan baru menangkap orang hari ini kan enak, gampang. Kalau ada media mereka kan terawasi kerjanya. PLAYBOY: Dalam pemberitaan itu, ANTV hanya memakai informasi dari polisi, tidak ada perimbangan? KARNI ILYAS: Tapi kan kita bicara fakta, bukan opini. Kalau opini baru perlu perimbangan. Kalau orang tabrakan, per-
48
NOVEMBER 2006
PLAYBOY DOUBLEINTERVIEW imbangan apa yang perlu kita hadirkan, orang yang tertabrak sudah mati. Realita yang dilihat masyarakat di sana apa? Itu bukan keterangan polisi saja, kami merekam. Kecuali ada pernyataan polisi begini begitu. PLAYBOY: Sesaat sebelum atau tersangka tewas, ANTV sudah menyebutkan Azahari tewas. Ini kan perlu verifikasi? KARNI ILYAS: Verifikasi perlu. PLAYBOY: Tapi sumbernya waktu hanya polisi yang berkeras pengecekan sidik jari cukup untuk menyimpulkan yang tewas adalah Azahari? KARNI ILYAS: Tapi kemudian sumber itu teruji atau tidak. Setelah diperiksa DNAnya kan ternyata Azahari.
ini, itu boleh. Beda. Masak kalau Anda ikut dengan seorang Megawati, Anda disebut ikut PDI-P. Kalau ikut SBY Anda ikut Partai Demokrat. Kalau saya jalan dengan koruptor, saya dibilang ngebelain koruptor itu. Seorang jurnalis itu dinilai dari produknya, bukan dengan siapa dia pergi. Kalau dia tidak boleh pergi dengan semua orang, mau bikin berita apa dia? Kalau saya ngobrol dengan koruptor nanti dibilang embedded dengan koruptor. Ya tidak begitu. PLAYBOY: Embedded journalist ada dalam sebuah kondisi pertikaian atau perang, dalam hal ini perang melawan terorisme? KARNI ILYAS: Saya sudah bilang saya
PLAYBOY: Lewat siapa? KARNI ILYAS: Lewat semua. Cari saya juga. Ketika ketemu saya bilang, “Pak, kita sahabat tapi secara profesional, berita ini bisa saya pertanggungjawabkan karena dilakukan di depan publik. Telah terjadi pelanggaran berat. Sekarang saya tanya Bapak. Bapak Kapolri, saya sahabat Bapak, saya teman Bapak, saya tembak orang di Hotel Hilton, bapak bisa SP3-kan saya nggak?” Akhirnya tergantung bagaimana saya. Waktu Kapolwil Banyumas bikin pengarahan untuk memilih Mega, kami juga yang beritakan. Kurang dekat apa saya dengan polisi? Nggak jadi [anggota] Kompolnas saya juga dekat. Tapi kritik saya
PLAYBOY: Tapi butuh beberapa hari, sementara di pemberitaan sesaat setelah kejadian langsung disebut nama Azahari? KARNI ILYAS: Iya kalau Anda mau tunggu begitu, telat dong. Kalau Zarkawi yang tertembak, apa harus bilang tunggu dulu, dites dulu apa ini benar Zarkawi. Tunggu dulu, jangan diumumin dulu. Media itu mempertaruhkan nama besarnya. Kalau itu ternyata bukan Azahari, kredibilitasnya akan hancur. Itu saja ukurannya. Dan dalam hal ini media harus berani memilih mana yang dia percaya. Kan ada juga konfirmasi dari tahanan bekas anggota Jamaah Islamiyah. Dia bilang, betul Azahari. PLAYBOY: Tidakkah Anda sebagai embedded journalist dalam penyerbuan itu? KARNI ILYAS: Embedded itu lebih pada melekat seperti tentara Amerika di Irak. Beritanya sesuai briefing yang dilekatkan itu. Saya tidak. Saya bebas. Tidak ada arahan. Jangankan sumber berita, pemilik perusahaan saja saya tidak mau ada pengarahan. Itu kan omongan orang yang cemburu saja. PLAYBOY: Mungkin telah Anda kunci lobi-lobinya? KARNI ILYAS: Ah nggak lah. Nggak mungkin saya bilang kamu nggak boleh bergaul sama ini-ini. Emang kita kasih apa dia? Mau nggak kerja keras, itu saja. Bagaimana mau embedded, tangan saya patah di sana. Saya kirim berita ke Jakarta, ya terserah orang Jakarta mau dikemas seperti apa. Kalau embedded nggak boleh
tidak menyiarkan opini apapun. Hanya fakta yang ada di lapangan. Kecuali sebelumnya ada briefing dari Makbul, seperti pada perang Irak. Komandan briefing… Nggak ada. Silakan publik menilai sendiri setelah melihat fakta yang ada di lapangan. Faktanya begitu, saya siarkan begitu. PLAYBOY: Sehubungan dengan posisi Anda di Komisi Kepolisian? Anda akan jadi Wakil Ketua? KARNI ILYAS: Belum tahu saya. Dilantik juga belum. PLAYBOY: Anda dekat dengan perwiraperwira tinggi polisi. Komisi kepolisian punya tugas-tugas pengawasan, menegur. Posisi Anda sebagai wartawan dan anggota Komisi akan rawan konflik kepentingan? KARNI ILYAS: Rawan. Semua kehidupan itu rawan, tergantung manusianya. Sekarang begini, banyak orang bilang pengadilan diintervensi pemerintah. Bukan itu yang rawan. Dintervensi uang yang rawan. Wartawan juga dibilang begitu, diintervensi Menteri Infokom dan sebagainya. Menurut saya tidak serawan itu. Menurut saya yang paling rawan itu intervensi sogok. Itu lebih membelokkan berita. Hubungannya dengan Kompolnas. Saya teman semua Kapolri termasuk Da’i Bachtiar. Ketika Da’i jadi Kapolri saya orang yang memberitakan bagaimana polisi di Makassar menggebuki mahasiswa. Sampai Kapolda Makassar dicopot. Da’i teriak-teriak, “Kenapa saya punya sahabat di situ [di SCTV], berita bisa begitu?” PLAYBOY: Dia sempat marah? KARNI ILYAS: Marah.
tetap tajam, dibanding yang lain. Harus dipisahkan. Jangan dipikir mentangmentang saya temannya, nggak dong. Teman juga bisa kalau Anda gampang dipengaruhi. Tersangka dengan polisi tidak kenal, bisa juga “86”. Tergantung watak orangnya. Berapa banyak perkara yang tidak dilanjutkan? Kawan kawan, tugas tugas, dua hal yang berbeda. PLAYBOY: Belakangan ANTV membuat warna baru dalam pengemasan berita, seperti dalam OM [Obrolan Malam] Farhan. Sebenarnya bagaimana konsepnya? KARNI ILYAS: Televisi itu biasanya menyiarkan acara berita terakhir itu jam 12 malam atau jam 1 pagi. Dan berita itu sangat serius sementara pemirsa otaknya sudah capek, tapi informasi terakhir tetap dibutuhkan. Lelah pemirsa kalau diberi masalah yang serius lagi, keamanan, hukum. Mereka butuh kita sampaikan berita dengan sangat soft, yang bisa gampang mereka cerna. Dengan demikian timbullah ide dari kami bagaimana menyampaikan itu dengan entertain. Jadi itu semacam program ujicoba, mungkin tidak news itu kita berikan dengan santai. Belum benar berhasil, tapi itu masih ujicoba. PLAYBOY: Kenapa Farhan dipilih? KARNI ILYAS: Karena dia orang yang cocok dekat dengan dunia entertain saat ini. PLAYBOY: Dulu di SCTV banyak TV personality seperti Ira Koesno, Rosiana Silalahi, Arif Suditomo... Memang sejak awal mereka dimunculkan tidak hanya sebagai presenter tapi juga sekaligus
NOVEMBER 2006
49
PLAYBOY DOUBLEINTERVIEW ikon? KARNI ILYAS: Kalau kita lihat dalam berita SCTV itu ada segmen wawancara selama 5 sampai 10 menit, itu kan seperti talkshow. Karena itulah presenter berita populer menjadi ikon televisi itu. Itu yang terjadi pada Arief, Ira Koesno, Rosi, atau Bayu [Setiyono]. Sebetulnya bukan disengaja. Kami dari direksi memberikan kesempatan yang sama terhadap semua presenter untuk bisa menjadi ikon. Pada akhirnya orang itu tumbuh sendiri menjadi ikon. Kemampuan mereka yang akhirnya menyebabkan mereka ter-setting untuk itu. Misalnya, kalau dia menguasai ekonomi, hukum, politik. Semua tamu dari beragam
perusahaan itu kehilangan ikon. Sakit aja perusahaan kehilangan ikon. Kalau presenter lagi sakit, orang malas nonton. Jadi terkadang orang menonton bukan lagi karena content-nya, tapi gara-gara pembaca beritanya. Sebaiknya orang setia itu bukan ke ikon tapi ke content. PLAYBOY: Sejauh mana Anda bisa melihat presenter punya bakat menjadi ikon, seperti Valerina? KARNI ILYAS: Sejauh mana dia bisa menarik pemirsa. Sebelumnya dia [Valerina] pernah mampir di SCTV, tapi terlambat ijazahnya. Waktu penerimaan secara administratif dia terlambat. Sempat kita coba untuk laporan olahraga, bola di
KARNI ILYAS: Saya sih berita TV itu seperti yang saya hasilkan selama ini. Kayak apa itu? Tidak statis, kayak orang mengarang. Seperti apa sih karangannya. Ini karya, bukan pabrik. Harus tetap kreatif. Kalau saya bilang harus cepat, suatu ketika masyarakat juga tidak butuh yang cepat. Setiap hari orang televisi bisa berubah. Tidak ada pakem yang statis. Tapi yang jelas moto kita lebih cepat, lebih dalam, lebih lengkap. PLAYBOY: Seberapa jauh posisi berita menaikkan kredibilitas televisi? KARNI ILYAS: Nomor satu. PLAYBOY: Tidak program hiburan dahulu?
AZAS PRADUGA TAK BERSALAH ITU UNTUK POLISI, BUKAN UNTUK WARTAWAN. PRESUMPTION OF INNOCENCE DIBUAT AGAR POLISI TIDAK MEMUKULI TERSANGKA. latar belakang bisa dia yang menjadi presenter-nya. Dengan sendirinya dia dengan eskalasinya menjadi ikon. Jadi tidak sekadar baca berita. PLAYBOY: Strategi itu seperti diulang di ANTV. Dari yang sebelumnya tidak punya ikon, dari iklan-iklan beritanya, terlihat ANTV menonjolkan presenter seperti Valerina Daniel dan Fiola? KARNI ILYAS: Tentu saja karena televisinya selama ini nomor 10. Bukan hanya tidak punya ikon, televisinya sendiri tidak punya pemirsa, bagaimana lahir seorang ikon. Memang kami berusaha untuk membuat presenter jadi ikon. Ada untungnya ada ruginya. PLAYBOY: Untungnya? KARNI ILYAS: Kalau jadi ikon dia simbol dari perusahaan ini. Orang terbiasa dengan wajah itu, sehingga menimbulkan keinginan untuk nonton. Di lain pihak juga ada ruginya. Ruginya kalau dia pindah,
50
NOVEMBER 2006
SCTV. Di situ saya lihat dia punya karakter. Akhirnya kan dia masuk Metro TV, tapi saya tahu dia punya bakat. PLAYBOY: Dia ditarik atau memang menggabungkan diri ke ANTV ? KARNI ILYAS: Dua-duanya. Dia juga kepengin, kami juga ingin dia masuk. PLAYBOY: Bakat.. Dari mana Anda menyimpulkan bakat seseorang? KARNI ILYAS: Sebetulnya dari wajah saja ketahuan pintar atau tidak pintarnya. Kita ajak bicara. Dalam tes masuk saya kan mengetes pengetahuan umum orang itu. Sejauh dan sedalam apa pengetahuan umumnya, dalam segala bidang. Sehingga ketahuan orang itu layak atau tidak. Seorang presenter tidak cukup itu, dia air look-nya layak tidak. Dia harus enak dilihat, vokalnya harus bagus. Dari wajah sampai suara harus layak. PLAYBOY: Visi pemberitaan seperti apa yang ingin Anda bangun di ANTV ?
KARNI ILYAS: Flag carriers televisi itu kalau orang bicara SCTV misalnya, ya Liputan 6. Kredibilitasnya itu ya Liputan 6. Kalau dari sinetronnya, sinetron apa yang Anda ingat dari SCTV? PLAYBOY: Target Anda masuk menaikkan peringkat ANTV . Bagaimana hasilnya? KARNI ILYAS: Cukup bagus. Sekarang begini, tanya publik sudah mulai lihat berita ANTV belum? Dulu kan tidak ada yang peduli berita ANTV. Tanya masyarakat, ANTV bagaimana. sudah lebih bagus nggak? Pasti jawabannya sudah lebih bagus. Kalau saya bicara rating begitu, konvensional. Sekarang kami cari image, pengakuan publik. Ada atau tidak. Saya mau nantinya orang kalau cari berita ya ke ANTV, Topik ANTV. Kayak dulu orang lihat Liputan 6. Selama di ATNV banyak berita kami yang mendahului yang lain, soal PLN, soal harta
PLAYBOY DOUBLEINTERVIEW karun, Adam Air, narkoba, banyak, tidak hanya kasus terorisme. Cuma kenapa itu [penangkapan tersangka terorisme] ramai karena itu besar dan kebetulan saya turun. PLAYBOY: Selain perolehan berita yang besar. Apa yang mulai naik, pemasukan misalnya? KARNI ILYAS: Saya belum tahu soal yang lebih konkret seperti pemasukan. Tapi dari segi awareness pemirsa mulai meningkat, Fiola mulai terkenal. Berapa pemasukan jangan tanya saya, ke marketing. Saya tidak pikirin. Saya tidak targetkan pemasukan, tapi itu terjadi kemudian. PLAYBOY: Tidak ada permintaan khusus? KARNI ILYAS: Tidak ada. Saya juga tidak tahu harga satu slot berapa. Di SCTV juga
pendidikannya belum ada. Di Indonesia suatu ketika akan ada TV yang jadi sekolah seperti Tempo pada media cetak. PLAYBOY: Banyak kalangan menyoroti televisi hanya mengedepankan kecepatan, tapi kualitas memprihatinkan seperti penayangan wajah tersangka kriminal? KARNI ILYAS: Wajah tersangka di CNN pun disiarkan. Wajah korban kejahatan yang tidak disiarkan. Itu debat kami 30 tahun di jurnalistik. Ada kesalahkaprahan seolah-olah wajah tersangka harus ditutupi matanya. Di majalah Time, Newsweek tidak ada wajah tersangka dikaburkan. Wajah korban ya. Masak maling, rampok harus ditutupi? PLAYBOY: Tapi ada azas praduga tak
Anda pernah lihat wajah orang Turki yang menembak Paus? Pernah kan lihat? Tidak ditutup kan? Tersangka pengebom WTC ditutup nggak? Tidak ada yang ditutup. Masak di Indonesia mau ditutup sendiri. Anda juga tidak menutup wajah Tibo kemarin. Itu salah kaprah. Tidak ada etika terlanggar dalam pemuatan wajah tersangka. Seorang tersangka memang belum tentu bersalah, tapi lebih kuat bersalah daripada benar, kalau nggak ya tidak ditangkap polisi. Apa polisi menangkap orang melanggar azas praduga tak bersalah? PLAYBOY: Ketika di Tempo dulu, siapa pejabat yang cukup intens Anda dekati? KARNI ILYAS: Banyak. Di antaranya Pak
saya tidak tahu. PLAYBOY: Tapi ketika Anda dimasukkan tentu ada target pemilik? KARNI ILYAS: Target pemilik? Terserah dia. Target saya berita yang terbagus saja. Dari jaman di Tempo saya begitu. Intinya bagaimana ANTV jadi nomor satu di pemberitaan, tidak ada urusan uang. PLAYBOY: Apa yang diadopsi dari Star? KARNI ILYAS: Anda lihat saja tayangantayangan hiburannya. Sejauh ini belum ada. Mereka belum kasih program-program hiburan. Berita kita juga masih lokal semua. PLAYBOY: Sejak Anda masuk komposisi antara berita dan hiburan kan naik? Naik. Dulu tidak ada Cakrawala Siang, sekarang ada. Dulu hanya [Cakrawala] petang. Ada current affair. Ada Telisik. PLAYBOY: Kenapa ketika masuk ANTV Anda menarik banyak orang baru dari stasiun lain? KARNI ILYAS: Jelas saja, selama ini Cakrawala belum ada gregetnya. Harus banyak ambil tenaga lain untuk gabung di sini untuk menghidupkan. Kayak barang baru ini. Ada yang baru-baru dari kampus. Tapi banyak dari Metro TV, TV7, Trans TV, SCTV juga ada. Karena televisi ini tidak ada penontonnya. Jadi saya seperti membangun baru, harus ada yang keluar dan masuk yang baru. PLAYBOY: Itu menunjukkan televisi kita kurang sumber daya yang andal. Orangorang yang dipakai hanya itu-itu lagi? KARNI ILYAS:Itu sih wajar saja, industrinya baru berusia 10 tahun. Lembaga formal
bersalah? KARNI ILYAS: Azas praduga tak bersalah itu untuk polisi, bukan untuk wartawan. Presumption of innocence dibuat agar polisi tidak memukuli tersangka. Jaksa, hakim jangan prejudice dulu. Tapi suatu ketika PWI [Persatuan Wartawan Indonesia] itu dikuasai para pengacara yang memasukkan itu ke kode kita, seolah-olah itu untuk pers. PLAYBOY: PWI memasukkan itu ke dalam kode etik? KARNI ILYAS: Ya Suardi Tasrif itu, Ketua Dewan Kehormatan Pers PWI dulu. Tahun 1970-an. Padahal itu azas lahir untuk dunia hukum di Amerika supaya jaksa, hakim tidak prejudice sebelum juri memutuskan seseorang betul-betul bersalah. Sekarang lihat saja, azas itu lahir di Amerika, baca saja media-media Amerika ada nggak wajah orang ditutup? Wajah anak kecil jadi tersangka saja tidak pernah ditutup. Kalau bicara azas praduga tak bersalah ya kita harus pakai parameter Amerika. Yang mengatakan itu kan Amerika, Anglo Saxon. Di sana wajah tersangka tidak pernah ditutup. Bahwa di pengadilan wartawan tidak boleh memotret, ya di separuh negara bagian. Separuh lainnya boleh. Bahkan ada televisi yang 24 jam dari ruang pengadilan. Semua tersangka bisa selama 24 jam bisa ditonton, kecuali korban kesusilaan baru dimosaik. Kalau kekerasan melanggar etika ya, tapi kita tidak bisa mencampuradukkan dengan masalah wajah tersangka. Itu juga KPI [Komisi Penyiaran Indonesia] aneh, melarang wajah tersangka.
Mudjono [Ketua Mahkamah Agung], Pak Ali Said, Ismail Saleh. PLAYBOY: Seberapa dekat Anda dengan Mudjono? KARNI ILYAS: Dekat sekali. Malam dia bekerja sampai jam satu pagi. Hampir tiap hari saya menunggui dia kerja di ruangannya. PLAYBOY: Berapa lama Anda dekat dengan Mudjono? KARNI ILYAS: Dari dia menteri kehakiman saya sudah dekat sampai jadi Ketua Mahkamah Agung. Lama. Jadi menteri saja dia lima tahun. PLAYBOY: Bagaimana ceritanya Anda bisa mendekati dia? KARNI ILYAS: Dia itu orang yang sangat bersih. Salah satu idola saya. Dia sangat bersih sebagai pejabat. Ketika sudah menjadi Ketua Mahkamah Agung dia bilang, “Pak Karni, saya mau libur nih.” “Ke mana, Pak,” saya tanya “Ke Bali.” “Lho kok ke Bali, tidak ke luar negeri?” saya bilang. “Anak saya belum pernah lihat Bali,” katanya. Bayangkan seorang Ketua Mahkamah Agung anaknya belum pernah ke Bali apa tidak orang bersih namanya. Kalau malam, mobil dinasnya dia suruh pulang duluan, dia naik bajaj pulang jam satu atau jam dua pagi. Itu orang sangatsangat bersih. Suatu hari dia bilang ke saya, “Kalau saya kasih Anda surat hari ini untuk Mercy dua biji, pasti dikasih. Tapi saya tidak akan pernah kasih surat itu.” Saya jawab, “Itu lah ruginya berteman dengan Pak Mudjono.” PLAYBOY: Anda menjadikan lobi sebagai prasyarat utama mendapatkan berita eks-
NOVEMBER 2006
51
PLAYBOY DOUBLEINTERVIEW klusif? KARNI ILYAS: Bagaimana Anda tahu persoalan, bagaimana tahu keputusankeputusan. Misalnya satu ketika Pak Mudjono akan memecat tiga hakim pengadilan, pada malam dia memutuskan pemecatan itu saya sudah tahu karena saya ada di situ. Padahal surat pemecatan baru keluar tiga hari kemudian. Ketika surat pemecatan sampai ke kamar hakim-hakim itu, saya sudah ada di kamar mereka dan saya bisa gambarkan ekspresi kemarahan para hakim itu. PLAYBOY: Dalam kasus apa? KARNI ILYAS: Mafia peradilan. PLAYBOY: Ketika itu Anda masih reporter?
PLAYBOY: Kenapa Anda tidak mau wartawan partisan atau oposan? KARNI ILYAS: Karena kita bekerja untuk publik, bukan kepentingan parpol atau organisasi tertentu. Kalau anggota parpol dia pasti akan membawa kepentingan partainya, sementara wartawan untuk seluruh masyarakat. Mau yang Islam, Kristen, Hindu, Buddha. Dia harus menempatkan posisi pada kepentingan yang sama. Kalau dia ikut partai bagimana dia bisa tidak membawakan kepentingan yang lainnya. PLAYBOY: Tidak boleh ikut secara aktif maksudnya? Kalau dia memihak? KARNI ILYAS: Nggak boleh juga. Dia harus berada pada posisi yang netral.
Budiadji [kepala Depot Logistik/Dolog di Kalimantan Timur] dihukum mati yang melibatkan pejabat tinggi Bulog. Saya lebih sebulan di Kaltim. Pernah juga saya dikirim ke Ambon menyelidiki pencurian ikan. Saya hanya dikasih waktu seminggu. Saya bisa bikin cerita bersambung selama seminggu juga setelah saya balik ke Jakarta. Terbongkar semua pencurian ikan itu, baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Terbongkar, sampai-sampai perusahaan resmi yang mendapat izin dari pemerintah ternyata pencuri juga. PLAYBOY: Dalam kasus mega korupsi Pertamina, Anda yang mewawancara Kartika Tahir. Bagaimana ceritanya? KARNI ILYAS: Itu korupsi menahun.
KARNI ILYAS: Sama saja reporter, editor, sampai jadi redaktur pelaksana saya tetap ke lapangan. Ketika saya jadi pemred di majalah Forum dulu, ketika wartawan tidak boleh masuk Gedung Bundar Kejaksaan, saya langsung masuk saja, karena saya sudah telepon pejabat di sana. PLAYBOY: Selain pejabat di Mahkamah Agung dan Kejaksaan? KARNI ILYAS: Semua Kapolri saya kenal baik. Nggak mungkin kenal satu orang Anda bisa bikin berita [eksklusif]. Jaksa Agung sampai Kajari [kepala kejaksaan negeri], Jaksa Agung Muda, saya kenal. PLAYBOY: Apa prinsip Anda dalam melakukan pendekatan pada narasumber penting? KARNI ILYAS: Pendekatan kemanusiaan. Tidak mudah. Tapi kalau kita cukup intens, tidak pas bandrol kerja, bisa. Dan Anda bisa jadi lawan diskusi yang baik akan dekat seterusnya. Kalau Anda jujur, lurus sama orang, biar muka jelek kayak saya, orang juga respect. Kalau Anda kelihatan cheating tidak akan diterima. Maka dari itu wartawan saya harus netral. Saya tidak suka wartawan yang oposan, partisan. PLAYBOY: Di balik kedekatan itu bisa saja ada manfaat yang mereka harapkan dari wartawan? KARNI ILYAS: Kalau pertemanan itu saya tidak melihat mereka mendapat manfaat. Kalau dia ingin manfaat dia cukup bikin konferensi pers, semua media bakal muat. Kedekatan itu bukan berdasar azas manfaat lagi. Sudah kayak orang berteman. Berteman kan tidak melihat manfaat.
PLAYBOY: Apa arti Tempo bagi Anda? KARNI ILYAS: Tempo itu tempat saya belajar jurnalistik yang sesungguhnya. Di sana sangat komprehensif, mendalam, kalau dapat informasi saya harus melakukan check-recheck yang jauh. Tempo itu kampus yang sesungguhnya, selama 16 tahun. Di Forum itu saya ditugaskan oleh Tempo. Sampai Tempo dibredel, nama saya masih di box sebagai Redaktur Senior. Hanya tiga manusia lolos waktu itu sebagai Redaktur Senior, saya, Yusril [Djalinus], Goenawan Muhammad. Kalau Redaktur Senior itu sudah layak semua menulis kolom. PLAYBOY: Media cetak punya kampus seperti Tempo, tapi televisi kan belum punya ‘kampus’, orang media cetak banyak ke televisi, tapi televisi tidak ada ke media cetak? KARNI ILYAS: Ya itu one way traffic. Artinya orang cetak kalau ke televisi nggak balik lagi. Apalagi kalau orang televisi tidak pernah di media cetak, mau ke cetak, susah sekali. Yang paling bagus itu belajar di cetak dulu, karena akan bisa menulis lengkap, televisi selintas beritanya. Kalau tidak dia akan jadi wartawan televisi yang ketika orang rame-rame dia ikut, cuma menyodorkan microphone. Kalau pertanyaan [dari] dia mending, kalau tidak, supir saya juga bisa. Kalau cuma jadi bintang dia tidak pernah jadi wartawan sesungguhnya, dia tidak akan pernah menggarap berita-berita besar. PLAYBOY: Liputan kasus apa di Suara Karya yang paling berkesan bagi Anda? KARNI ILYAS: Di antaranya ada kasus
Saya mengambil ke puncaknya. Setelah [kasus] tanker dan lainnya terbongkar, ada simpanan jutaan dolar milik Kartika Tahir [istri Achmad Tahir, mantan Direktur Keuangan Pertamina] yang digugat pemerintah Indonesia. Itu orang paranoid, nggak berani ketemu orang Indonesia. Saya coba terus dan akhirnya melalui pengacaranya, saya dijanjikan bisa ketemu dia di Genewa. Saya dijanjikan, “Oke kita ketemu di Genewa. Nanti kalau di Genewa kamu nginap di Sheraton bandara.” Saya lakukan. Tapi kan saya tidak tahu dia di mana. Waktu itu handphone belum ada. Pagi saya masuk Genewa, langsung ke hotel. Saya duduk di kamar, dari jam tujuh pagi nunggu telepon. Berjam-jam teleponnya nggak masuk, saya jadi was was, bagaimana kalau dia batalkan sendiri. Malu sekali saya pulang nggak dapat apaapa. Jam 11 tiba-tiba kringgg. Bunyi telepon kayak petir, saking kagetnya karena nunggu begitu lama. Dia suruh saya ke hotel yang lain. Dia bilang di restoran ada private room, saya diminta tunggu. Saya datang ke situ. Sampai situ sudah ada dia. Pertama kali saya lihat wajah sesungguhnya. Ada pengacaranya. Ketika saya terbang dari Jakarta, pengacaranya juga terbang dari Amerika. Kurang ajarnya, pengacaranya itu tidur di hotel saya juga. Rupanya saya sudah dimata-matai. Ada nggak yang ikut saya, karena perjanjiannya begitu. Dia kan takut Benny Moerdani. PLAYBOY: Karena Benny yang ditugaskan Soeharto untuk mengembalikan uang
52
NOVEMBER 2006
PLAYBOY DOUBLEINTERVIEW tahun 1992 sampai Soeharto tumbang ada tekanan tapi tidak banyak. Kadangkadang wartawannya saja berlebihan, lapor ini berita bahaya ini itu. Kembali ke orang-orangnya. Majalah Forum sebelum orang berani, sudah paling berani. Banyak hiperbolanya kawan-kawan. Sekali ditelepon, udah dianggap dapat tekanan. Nggak gitu-gitu amat. PLAYBOY: Dari pejabat tertentu? KARNI ILYAS: Itu perjalanan sehari-hari saja. Seperti Anda di PLAYBOY, kurang tekanan apa coba? Tidak perlu didramatisir jadi romantik. Resiko pekerjaan. Waktu pemred Anda mau datang diwawancara ke sini, siangnya polisi datang ke sini supaya acaranya ditiadakan. Karena kita Pertamina dari simpanan Kartika? KARNI ILYAS: Iya, Benny yang menginteli
KARNI ILYAS: Beberapa kali saya menulis kolom di Tempo.
WARTAWAN TIDAK PERNAH BERHENTI SAMPAI MATI. KALAU LAHIR LAGI PUN SAYA PILIH JADI WARTAWAN LAGI. dia. Bikin promosi dia seolah-olah Ratna Sari Dewi. Benny sempat ketemu dia sebenarnya, Benny dia percayai. Tapi semua bahan dibawa Benny. Jadi dia sudah betul-betul anti-Indonesia. PLAYBOY: Pendekatan Anda untuk pihak Kartika Tahir? KARNI ILYAS: Kan sidangnya berkali-kali di Singapura. Saya coba ke pengacaranya, dua sampai tiga tahun pendekatannya. Pengacaranya kan dari Amerika dan Inggris. Belakangan anak-anaknya saya dekati, meyakinkan saya punya niat yang baik. Saya berangkat ke Genewa Senin, balik ke Jakarta lagi Kamis, pas deadline. Nggak pulang ke rumah itu, langsung ngetik sampai pagi di kantor. Itu jadi laporan utama paling menggemparkan, oplah Tempo sampai 170.000 waktu itu. PLAYBOY: Hobi Anda di waktu senggang? KARNI ILYAS: Tidak ada. PLAYBOY: Golf atau tenis untuk lobi? KARNI ILYAS: Bullsh*t. Hobi ngabisin waktu. PLAYBOY: Masih ingin menulis?
PLAYBOY: Tidak berniat menerbitkan kembali semacam Catatan Hukum? KARNI ILYAS: Tidak sempat lagi. PLAYBOY: Anda berangkat dari media cetak dan di televisi langsung di posisi puncak. Anda mempelajari juga dasar teknis media televisi? KARNI ILYAS: Nggak. Saya terima jadi saja. Saya manajerial saja. Buat apa saya belajar teknik televisi. Sudah ada yang menangani. PLAYBOY: Anda sudah 34 tahun jadi wartawan, belum bosan dengan dunia jurnalistik? KARNI ILYAS: Wartawan tidak pernah berhenti sampai mati. Kalau lahir lagi pun saya pilih jadi wartawan lagi. Sudah 34 tahun jadi wartawan. PLAYBOY: Selama menjadi wartawan, lembaga mana yang menurut Anda paling rajin melakukan tekanan? KARNI ILYAS: Lebih banyak oknum, kalau secara instusional paling ramburambu tentang ini itu. Seperti Pancasila nggak boleh diganggu gugat. Tekanan itu omongan doang. Majalah Forum dari terbit
iklankan. Datang polisi dari Polsek. Saya bilang saja, saya sudah dapat izin dari Polres. Dia bilang ini ada laporan, untuk meredam keresahan. Saya bilang kita tidak menyiarkan pornonya, hanya menyiarkan debat, mewawancara pemrednya, modelnya, wajar-wajar saja. Pulang dia. Semua hidup ada tekanan. Jadi jaksa juga ada tekanan dari tersangka. Biasa. Jadi wartawan juga begitu. Ada pepatah orang Padang, kalau takut dilamun ombak jangan bikin rumah di pinggir pantai. Kalau jadi wartawan, bikin rumahnya bukan di tepi pantai lagi, tapi di tengah laut. Ombaknya kiri kanan depan belakang. Jangan didengungkan tekanan-tekanannya. Tekanan itu banyak, tekanan duit paling banyak. Mau mengakui nggak, problemnya itu. Berita berubah karena duit, lebih berat itu. Yang tidak perlu masuk juga, gara-gara dibayar. PLAYBOY: Kalau pemilik? KARNI ILYAS: Pemilik kalau yang menyangkut dirinya ya nggak mau lah. Saya juga kalau bikin televisi, terus ada berita yang menyerang saya, buat apa saya bikin televisi. Mana pernah, misalnya, koran sebesar Kompas jelek-jelekin Gramedia? Ya nggak lah. Wajar-wajar saja pastinya. PLAYBOY: Tapi perlu dibela? KARNI ILYAS: Dibela mungkin tidak perlu, tapi dijelek-jelekkan juga tidak perlu. Intervensi itu lebih banyak dari diri wartawan sendiri, bukan dari pemilik, pemerintah. Dia ditelepon relasinya, tolong dong kita mau luncurkan produk. Wartawan sih larinya ke kekuasaan, supaya
NOVEMBER 2006
53
PLAYBOY DOUBLEINTERVIEW dramatis. Padahal intervensi itu lebih banyak karena faktor uang. PLAYBOY: Sebenarnya, waktu tahun ‘98 itu, posisi militer bagaimana? KARNI ILYAS: Waktu itu kabinet baru terbentuk, ketika itu yang menarik Pangab itu Wiranto, tapi Menhankam Wiranto juga. Padahal Undang-undang TNI baru berubah. Jadi, Pangab tak boleh merangkap dengan Menhankam. PLAYBOY: Kenapa bisa merangkap? KARNI ILYAS: Soalnya, Presiden Soeharto belum punya calon, akhirnya Pangab merangkap Menhankam. Akhirnya, ada semacam rebutan. Prabowo kepingin pengganti Pangab itu, Bagyo [Subagyo HS, KSAD-Ed]. Karena Bagyo temannya. Ketika itu Prabowo jadi Pangkostrad. Semuanya inilah yang mengakibatkan adanya kubu-kubu. Dalam suasana katakanlah persaingan, dan terjadilah kerusuhan Mei itu. PLAYBOY: Jadi, kerusuhan yang terjadi itu karena… KARNI ILYAS:Saya rasa ada saling tumpang tindih. Krisis ekonomi juga memuncak. Kemudian keinginan untuk reformasi total. Saya ingat, kerusuhan itu tanggal 12 – 13 Mei. Tanggal 11, saya ke Solo. Hari itu, mau rapat menyusun Undang-Undang Pokok Pers yang baru. Malamnya, situasi Jakarta ramai karena ada penembakan mahasiswa Trisakti. Malam itu juga diputuskan, bahwa kami harus balik ke Jakarta. Waktu itu saya terbang ke Jakarta, Solo sudah terbakar. Sampai di Jakarta, Jakarta sudah membara. Hari itu deadline Catatan Hukum di Forum. Saya biasa nulis itu. Ditanya para RedPel, ‘Ini Catatan Hukum abang mana?’ Saya bilang, ganti dengan halaman hitam! Tidak perlu lagi dibuat Catatan Hukum. Sebab hukum sudah mati, kata saya. Karena sangat kecewa dengan kerusuhan itu, pekan berikutnya saya datangi pejabat TNI dari Kodam sampai Pangab satu persatu. Pertama, saya ketemu Asisten Intel Kodam Jaya. Hari kedua ketemu, Sjafrie Samsudin, Pangdam Jaya. Hari berikutnya, saya ketemu siapa itu bekas Pangdam Siliwangi yang jadi Anggota DPR. Habis itu saya ketemu Kasospol TNI, namanya Soesilo Bambang Yudhoyono. Terus, saya ketemu Pangab Wiranto. Saya tanya pada mereka, ‘apa yang terjadi?’ Karena teori
54
NOVEMBER 2006
HABIBIE KAN LAMA DI JERMAN, ADA TENTARA LIMA ORANG SAJA, DIBILANG ADA PASUKAN. saya, tidak ada kerusuhan kalau TNI berani tegas. Kalau perusuh itu ditembak, paling nanti limapuluh Jakarta Pusat, limapuluh Jakarta Selatan, limapuluh Jakarta Utara, di Jakarta cuma ada dua ratus limapuluh korban! Tidak tiga ribu seperti yang terjadi. PLAYBOY: Jawaban mereka apa? KARNI ILYAS: Beda-beda. Waktu saya diundang lagi bicara di Mabes AD, saya diminta bicara, saya bilang, saya kecewa dengan cara TNI mengatasi kerusuhan. Sehingga saya tidak pernah menginjakkan kaki lagi sejak ‘98. Teori saya begitu, kalau perusuh, di Amerika pun ditindak tegas. Jawaban mereka beda-beda soal kerusuhan
itu. Ada yang bilang, TNI tidak menduga kerusuhan itu begitu hebat. Ada lagi yang bilang, TNI tidak bisa melakukan tindakan tegas karena penjarah lebih banyak anakanak dan ibu-ibu. Ada yang bilang, kami memang tidak siap. PLAYBOY: TNI tidak mampu, atau tidak mau? KARNI ILYAS: Saya kira tidak ada perintah. Sementara polisi waktu itu, seolah-olah takut. Karena dituduh yang melakukan penembakan di Trisakti. Sehingga, polisi ada demoralisasi. Waktu itu kan, keamanan di tangan TNI. PLAYBOY: Apakah sengaja dibikin tidak mampu, supaya Soeharto turun? KARNI ILYAS: Saya kira nggak. PLAYBOY: Jadi, pada saat itu, TNI pun tidak mengira Soeharto akan jatuh? KARNI ILYAS: Saya kira nggak ada yang mengira, Soeharto akan jatuh. PLAYBOY: Tapi, mungkin tidak, dengan adanya jaringan mereka, TNI tidak tahu bakal ada kerusuhan? KARNI ILYAS: Bisa tahu. Tapi, bisa tidak tahu sebesar yang terjadi itu. Saya bilang juga, ada eskalasi. Begitu orang lihat berita, ada orang menjarah, ikut menjarah juga. PLAYBOY: Kalau ada yang bilang, kerusuhan itu dirancang, menurut Anda itu murni total chaos? Katanya, ada yang bawa rombongan dengan mobil, ke rumahrumah yang sudah ditandai. KARNI ILYAS: Kalau ditandai sih, menurut saya nggak. Tapi, bahwa ada eskalasi sih iya. Kalau di-rencanakan, apalagi ditandain sih, nggak mungkin. PLAYBOY: Apa yang membuat militer seakan-akan kendor penanganannya? Apa mendadak mulai berpikir mengambil posisi masing-masing? KARNI ILYAS: Kalaupun ada, lebih ke individu-individu. PLAYBOY: Tapi, poinnya pas penembakan itu ya? Dari situ, semua mulai gamang. KARNI ILYAS: Bisa. Bahwa itu, menjadi pemicu, iya. Dan kegamangan-kegamangan itu dipersepsikan macam-macam. PLAYBOY: Apakah penembakan itu juga dirancang? KARNI ILYAS: Kalau penembakan, pasti dirancang, tapi siapa? Dan apakah itu tujuannya untuk menjatuhkan Soeharto?
PLAYBOY DOUBLEINTERVIEW
DI INDONESIA, SEMPAT SEMUA BOLEH DILAKUKAN. BAKAR ORANG AJA BOLEH. APAPUN BOLEH, YANG NGGAK BOLEH CUMA DUA; MEROKOK DI POM BENSIN DAN PAKAI SEPATU KE MESJID. Sampai kini tidak ada jawabannya. PLAYBOY: Sebenarnya, pada saat itu, Soeharto belum terlumpuhkan ya. Dan militer belum pecah. KARNI ILYAS: Mereka pecah internal aja. Separuh dukung, Soeharto turun. Separuh tidak. PLAYBOY: Kenapa Wiranto tidak menggunakan surat yang diberikan pada dia, seperti halnya Soeharto dengan Supersemar? KARNI ILYAS: Saya kira juga, pasukanpasukan ketika Soeharto turun, ada di Prabowo, ada di Syafrie, sedangkan Wiranto Panglima keseluruhan. Kalau ada kubu-kubu, sulit mengaturnya. Kalau ketika G30S, seluruh tentara patuh. Hal yang berbeda. PLAYBOY: Waktu itu Wiranto tidak bisa memegang TNI? KARNI ILYAS: Waktu itu tidak sekuat sebelum Soeharto jatuh. Akhirnya kan diredusir. Katakanlah, TNI termasuk mau yang direformir. PLAYBOY: Selain Angkatan Darat, elemen tentara lain ada pergerakan tidak setelah kerusuhan? Marinir yang katanya saat itu berkonfrontasi dengan AD di lapangan. KARNI ILYAS: Nggak ada konfrontasi. Itu khayalan orang. PLAYBOY: Kalau kudeta, khayalan Habibie? KARNI ILYAS: Itu bukan khayalan Habibie. Itu karena informasi yang salah yang masuk ke Habibie. Kalau menurut saya, nggak ada itu kudeta. Kalau pecah iya. Habibie kan lama di Jerman, ada tentara lima orang saja, dibilang ada pasukan. PLAYBOY: Setelah Soeharto turun, agenda Wiranto apa? Akhirnya kan kita melihat Wiranto mengejar kursi presiden, dan dia punya posisi penting dan punya kesempatan waktu Soeharto turun? Sedangkan SBY ada di belakang Wiranto, ini masalah disalip atau apa?
KARNI ILYAS: Itu by product. Waktu itu SBY tidak memikirkan itu. Dia baru memikirkan, ketika ada Undang-Undang Pemilu yang baru. Sementara ketika zaman ‘98, SBY sebagai Kasospol, tidak by design. PLAYBOY: Akhirnya, posisi militer jadi signifikan tidak setelah kerusuhan ‘98? KARNI ILYAS: Nggak. Orang menginginkan reformasi kekuatan Orde Baru. Berarti kekuatan militer juga mesti direformasi. Kasospol sampai ke atas. Kekuatan politis mereka diredusir habis. Arahnya itu bukan soal pemimpin militer atau tidak. Tapi, lebih ke pemerintahan sipil. Itu juga tercermin dari UndangUndang Polri. PLAYBOY: Pada saat ‘98, posisi strategis Polri di mana? KARNI ILYAS: Polri itu mengalami sesuatu yang besar, dengan kejadian penembakan itu. PLAYBOY: Terus, soal ormas yang ada kaitannya dengan TNI, yang akan digerakkan untuk membubarkan mahasiswa dari MPR? KARNI ILYAS: Itu gimmick aja. Tapi kan, benang merahnya Soeharto jatuh, TNI direformasi. PLAYBOY: Ada asumsi juga yang bilang, seperti halnya ‘66, militer juga ada di balik mahasiswa. Ada militer yang bermain di balik kerusuhan ‘98? KARNI ILYAS: Saya kira secara institusi tidak. Tapi secara individu bisa. Dikatakan bermain, ya dengan misalnya mahasiswa bertanya pada dia. Mungkin karena merasa dekat dengan satu jenderal misalnya. PLAYBOY: Katanya gerbang dibuka dari Kebon Sirih KARNI ILYAS: Saya tidak mengamati pernik-pernik seperti itu. PLAYBOY: Waktu itu, TNI melakukan persuasi ke media? KARNI ILYAS: Persuasi dalam arti kami ketemu Pangab, ya ada. Tapi tidak lebih ke
tekanan. Mungkin ada satu dua media yang menanyakan, akhirnya kami diundang semua. Sampai mempengaruhi, mungkin mereka tidak sempat berpikir ke sana, karena situasi sedang kalut. Media waktu itu kan sudah bebas juga. Jaman Habibie itu, semua jadi pemberani. Sehingga saya pikir, buat apa nerbitin Forum? Semua orang sudah berani. [tertawa]. Nggak aneh lagi, jadi pemberani. PLAYBOY: Bicara soal berani, keberanian apalagi yang bisa dilakukan media? KARNI ILYAS: Saya kira ketika demokrasi udah seperti ini. Tidak ada arti berani lagi. Keberanian melawan diri sendiri yang penting. Bagaimana Anda melawan diri Anda untuk tidak kebablasan. Tidak asal memaki-maki orang. Tidak juga sampai dimanfaatkan orang lain. Karena Indonesia itu pernah lebih bebas dari Amerika. Di Indonesia, sempat semua boleh dilakukan. Bakar orang aja boleh. Apapun boleh, yang nggak boleh cuma dua; merokok di pom bensin dan pakai sepatu ke mesjid. PLAYBOY: Menurut Anda, siapa yang seharusnya bicara soal ‘98 untuk meluruskan sejarah? KARNI ILYAS: Repotnya kan begini. Semua pelaku sejarah, akan menempatkan pada kepentingannya masing-masing. Saya kira semuanya aja suruh bikin buku. PLAYBOY: Soal terbitnya buku Habibie beberapa waktu lalu, apakah ada agenda tertentu yang sudah dia hitung? KARNI ILYAS: Saya kira tidak. Dia hanya mau meninggalkan sebuah kesaksian. Dia tidak ingin jadi presiden lagi. Dan tidak ada juga yang perlu dia bela. PLAYBOY: Ini membuat Habibie terlihat bodoh? KARNI ILYAS: Saya rasa orang itu polos, bukan bodoh. Dia kan nggak banyak kenal dekat dengan orang Indonesia. Nggak seperti kita.
NOVEMBER 2006
55