PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DENGAN KEKERASAN MEMAKSA ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 473 / Pid.Sus/2012/PN.Tsm)
SKRIPSI
Oleh : BAYU ABDUROHMAN E1A109016
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014
i
i
ii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pembuktian Tindak Pidana Dengan Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 473 / Pid.Sus/2012/Pn.Tsm)” Skripsi ini tentunya tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak, antara lain: 1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas HukumUniversitas Jenderal Soedirman. 2. Haryanto Dwiatmodjo SH, MH selaku pembimbing Iyang telah memberikan bimbingan dan motivasi hingga terselesaikannya skripsi ini. 3. Handri Wirastuti S SH, MH selaku pembimbing IIyang telah memberikan bimbingan dan motivasi hingga terselesaikannya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam isi skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan penulis demi penyempurnaan proposal penelitian ini.
Purwokerto, Juli 2014
Penulis
iii
PERSEMBAHAN Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat (memberi segala penghormatan dan kebaikan) ke atas Nabi (Muhammad SAW). Wahai orangorang yang beriman bersalawatlah kamu ke atasnya serta ucapkanlah salam dengan penghormatan. [Al-Ahzab: 56] ﺻ ﱢﻞ اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ َ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ آ ِل َو َﻋﻠَﻰ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َﻋﻠَﻰ Alhamdulillah hirabbil ‘alamiin... Tak kan pernah cukup puji dan syukur kupanjatkan kepada Engkau Yang Maha Tunggal, Allah Ta’ala. Ataslimpahan rahmat-Mu, Engkau berikan kekuatan padatubuh ini untuk senantiasa bertahan dalam sakit dan sehat-Mu. Atas kemurahan-Mu, Engkau berikan kelapangan hati untuk terus bersabar dan berusaha dalam setiap langkah dan do’a, tiada lelah, tiada berputus asa. Atas ridho-Mu, telah Engkau cukupkan bagiku hingga akhirnya sampai ke tahap ini. Juga kepada yang mulia, Rasulullah Muhammad SAW, semoga shalawat dan salam selalu tercurah limpah kepada-Mu, keluarga, sahabat,serta seluruh umat yang mencintaimu. Semoga kita bisa meneladani kesabarandan ketegaran-Mu dalam menghadapi berbagai ujian hidup, meneladani kejujuran dan kepemimpinan-Mu dalam mengemban amanah, meneladani kerendahanhati-Mu dalam menghadapi segala macam kesombongan. Saya persembahkan karya sederhana ini untuk kalian yang teristimewa, untuk kalian yang terus memberikan dukungan, semangat, motivasi, dan do’a tiada henti. Untuk orang tua yang tercinta, KUSMIYATUN.Spd. Terimakasih atas segala kasih sayang dan cintamu selama ini. Terima kasih untuk setiap do’a yang mengalir dalam setiap shalatmu hingga aku bisa seperti sekarang. Bahkan sampai akhir hayatmu pun, tak pernah cukup aku membalassemua kebaikanmu. Juga terima kasih untuk Papahku tersayang, Drs Saeful Hikmat M,Pd Atas segala pengajaran yang engkau beri selama hidup saya, bahwa kita harus selalu jujur dan lurus, tak peduli seberapa sulitnya kejujuran dan kelurusan itu dapat diterima dalam kehidupan saat ini. Terima kasih atas segala pengajaranmu tentang kesederhanaan, karena kesederhanaanlah yang akan menjadikan dirikita berkarakter kuat.Untuk kakak dan adik ku tersayang,Budi M h, Spd.,M.Pd dan Indah Mustikasari, Semoga semua cita dan harapanmu tercapai, dan yang lebih penting lagi, semoga kita menjadi anak-anak yang dapat membaktikan hidup kita untuk Agama, orang tua, teman-teman dan saudara-saudara, sertaorang-orang di sekitar kita. Kepada Prinka Puspa Rengganis yang telah menjadi seorang teman ngobrol dan curhat yang mendengar omelan-omelan yang tak berguna, dan keluhan-keluhan curahatan yang membosankan.
Untuk teman teman kost-an Synergi Groupterimakasih untuk berbagi pengalaman selama hampir 4 tahun di Purwokerto. iv
Untuk teman-teman fakultas hukum Unsoed dari berbagai angkatan 2009., terima kasih atas kebersamaan yang indah selama 4 tahun menuntut ilmu, bersama kalian kita belajar bagaimana caranya mengendalikan ego, belajar bagaimana caranya menyatukan pendapat, belajar bagaimana caranya menghadapi orang dengan berbagai karakter, dan yang lebih penting, bersama kalian, kita belajar bagaimana caranya saling menghargai dan saling memahami sikap dan sifat satu sama lain dengan lebih baik.
v
DAFTAR ISI Halaman PENGESAHAN ..............................................................................................
i
PERNYATAAN..............................................................................................
ii
PRAKATA ......................................................................................................
iii
PERSEMBAHAN...........................................................................................
iv
DAFTAR ISI...................................................................................................
vi
INTISARI .......................................................................................................
xii
ABSTRAK ......................................................................................................
xiii
BAB
BAB
I.
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah..................................................... 1
B.
Rumusan Permasalahan ..................................................... 5
C.
Tujuan Penelitian ............................................................... 5
D.
Kegunaan Penelitian........................................................... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA A.
Pembuktian ........................................................................ 7 1. Pengertian Pembuktian................................................. 7 2. Prinsip-Prinsip Pembuktian.......................................... 9 3. Bentuk-bentuk Alat Bukti ............................................ 12 4. Sistem Pembuktian....................................................... 28
B.
Pengadilan Anak ................................................................ 39 1. Pengertian Anak ........................................................... 39 2. Tanggung Jawab Hukum Anak yang Melakukan Tindak Pidana............................................ 42
vi
3. Asas-asas pengadilan anak. .......................................... 46 C.
Tindak Pidana Pemerkosaan .............................................. 49 1. Pengertian Tindak Pidana ............................................. 49 2. Tindak Pidana Perkosaan.............................................. 50 3. Tindak Pidana Perkosaan yang dilakukan anak............ 53
D.
BAB
BAB
BAB
Hambatan Bagi Hakim Dalam Memutus Perkara Tindak Pidana dengan Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak ................................................................................... 56 \ III. METODE PENELITIAN 1.
Metode Pendekatan ............................................................. 60
2.
Spesifikasi Penelitian .......................................................... 60
3.
Sumber Data........................................................................ 61
4.
Metode Pengumpulan Data. ................................................ 61
5.
Metode Penyajian Data ....................................................... 62
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Hasil.................................................................................... 63
B.
Pembahasan ........................................................................ 68
V. PENUTUP A.
Kesimpulan......................................................................... 91
B.
Saran .................................................................................. 92
DAFTAR PUSTAKA
vii
ABSTRAK
Perlindungan anak dalam suatu kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara, merupakan tolak ukur kesejahteraan masyarakat, bangsa dan Negara yang bersangkutan. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui bagaimana proses pembuktian dan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembuktian Tindak Pidana Dengan Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak dalam Putusan No : 473/ Pid.Sus/2012/Pn.Tsm. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normative. sehingga hasil Putusan menyatakan bahwa terdakwa Dani Mulyana bin Mastur terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana telah didakwakan oleh Penuntut Umum.
Kata Kunci: Anak, KUHAP.UU no 3 tahun 1997.UU no 23 tahun 2002,pembuktian,perkosaan.
viii
ABSTRACT
Protection of children in a life of society, nation and the State, is a measure of the welfare of the community, the nation and the country concerned. Goals to be achieved in this research is to determine how the process of proving and constraints in the implementation of evidence Crime With Violence Forcing Children To Do By Doing Intercourse Children in Decision No: 473 / Pid.Sus / 2012 / Pn.Tsm. The research method used is a normative juridical research methods. so the results of the Decision states that the defendant proven legally and convincingly guilty of committing a crime as has been indicted by the public prosecutor.
Keywords:
children, KUHAP.UU 1997.UU No. 3 No. 23, 2003, evidentiary, rape.
ix
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang sebenar-benarnya atau setidaknya mendekati kebenaran yang sesungguhnya. Hal ini ditegaskan dalam pedoman pelaksanaan KUHAP sebagai berikut: “Tujuan Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindakan pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan”. 1 Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa.Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UNDANG-UNDANG DASAR 1945. Diperlukan pembinaan terus-menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan. Pencabulan merupakan salah satu bentuk tindak pidana kesusilaan yang diatur dalam Buku II Bab 14 yang terdiri dari dua golongan kejahatan 1
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 8.
2
yang masuk golongan ke satu adalah yang termuat dalam Pasal 281-299 KUHP dan yang masuk golongan ke dua adalah yang termuat dalam Pasal 300-303 KUHP.2 Golongan ke satu dari Buku II Bab XIV KUHP inilah yang dinamakan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan sedangkan golongan dua dinamakan terhadap kesopanan.Sudrajat Bassar3, menjelaskan perbedaan antara kesusilaan dengan kesopanan sebagai berikut: “Kesusilaan adalah mengenai adat kebiasaan yang baik dalam perhubungan antara berbagai anggota masyarakat, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (seks) seorang manusia sedangkan kesopanan pada umumnya mengenai adat kebiasaan yang baik”.
Perlindungan anak dalam suatu kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara, merupakan tolak ukur kesejahteraan masyarakat, bangsa dan Negara yang bersangkutan, oleh karena itu upaya untuk mengusahakan perlindungan anak merupakan kewajiban bersama baik pemerintah maupun setiap anggota masyarakat terhadap hak-hak anak di Indonesia terutama di bidang Hukum Pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (1) tentang Perlindungan Anak upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 2
Sudrajat, Bassar, 1986, Hukum Pidana (Pelengkap KUHP),Bandung,CV Armico, Hal.161. Ibid, Hal. 1. 4 Arif Gosita,1983, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, CV Akademika Pressindo, Hal.12. 3
3
(delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif. Pasal 2 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut: 1) 2) 3) 4)
Nondiskriminasi. Kepentingan yang terbaik bagi anak. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan. Penghargaan terhadap pendapat anak. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dalam
pelaksanaan
di
lapangan
belum
berjalan
seperti
yang
diharapkan.Padahal Undang-Undang perlindungan anak ini diadakan dengan tujuan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur mengenai pencabulan terdapat pada Pasal 82 : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”. Begitu banyaknya anak-anak yang berhadapan dengan hukum menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu terkait aparat hukum itu sendiri. Yang menjadi perhatian KPAI sekarang ini adalah jumlah anak yang berhadapan dengan hukum dalam lima tahun terakhir mencapai 6.000 orang setiap tahunnya. Setiap tahun ada 6.000 anak dengan 3.800 anak berakhir di
4
Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) anak.Sisanya ada di Lapas orang dewasa, di tahanan Kepolisian, dan tempat-tempat lain yang tidak layak untuk anak. Hal ini diakibatkan banyaknya putusan pidana terhadap terpidana anak bermuara kepada putusan pidana penjara.Indonesia memiliki payung hukum tentang perlindungan anak tapi sangat disayangkan sarana prasarana tidak ada yang
akhirnya
para
aparat
hukum
mengambil
jalan
pintas
untuk
menyelesaikan permasalahan hukum yang dilakukan oleh anak.Jumlah tahanan anak dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam data Ditjen Permasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, tercatat pada Maret 2008 terdapat 5.630 anak yang menjadi narapidana. Pada periode yang sama 2010, jumlahnya meningkat menjadi 6.271 narapidana anak. Lantaran keterbatasan Lembaga Pemasyarakatan (LP), sekitar 3.575 narapidana anak (57%) terpaksa disatukan dalam satu lingkungan dengan tahanan dewasa, walaupun begitu putusan pidana penjara tetap saja menjadi alternatif favorit bagi hakim untuk memutus perkara yang dilakukan oleh anak. Terjadinya perkembangan kejahatan yang menimbulkan kecemasan terhadap masyarakat ini sudah merambah di kota-kota kecil. Seperti kasus yang terjadi di Tasikmalaya dalam putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor: 473/Pid.Sus/2012/PN.Tsm yakni tindak pidana dengan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan yang dilakukan oleh anak. Oleh karena itulah penulis ingin melakukan penelitian yang menitikberatkan pada aspek normatif dengan judul Pembuktian Tindak Pidana Dengan Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : Pid.Sus/2012/Pn.Tsm).
473 /
5
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan hal-hal yang telah di uraikan dalam Latar belakang di atas, maka penulis merumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana Pembuktian Tindak Pidana Dengan Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak dalam Putusan No : 473/ Pid.Sus/2012/Pn.Tsm? 2. Apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembuktian Tindak Pidana Dengan Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan
Oleh
Anak
dalam
Putusan
Nomor:
473
/
Pid.Sus/2012/Pn.Tsm?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui Pembuktian Tindak Pidana Dengan Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak dalam Putusan No : 473 / Pid.Sus/2012/Pn.Tsm?
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembuktian Tindak
Pidana
Dengan
Kekerasan
Memaksa
Anak
Melakukan
Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak dalam Putusan Nomor: 473 / Pid.Sus/2012/Pn.Tsm
6
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberiakan sumbangan pemikiran sekaligus sebagai bahan infomasi, dokumentasi kepada kalangan akademisi dan juga masyarakat luas tentang Pembuktian Tindak
Pidana
Dengan
Kekerasan
Memaksa
Anak
Melakukan
Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak dalam proses persidangan. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi aparat penegak hukum, praktisi maupun akademisi dalam rangka memberi pengetahuan tentang Pembuktian Tindak Pidana Dengan Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak dalam proses persidangan.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian. Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.5
Proses pembuktian atau membuktikan mengandung
maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga
dapat
diterima
akal
terhadap
kebenaran
peristiwa
tersebut.6Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggung jawabkannya.7Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat 5
Subekti. (2001). Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal. 1 Martiman Prodjohamidjojo. (1984). Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal. 11 7 Darwan Prinst. (1998). Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, hal. 133 6
8
bukti yang dibenarkan Undang-Undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan: 1.
Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa.
2.
Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang.
3.
Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan.8
Sedangkan pengertian pembuktian menurut M. Yahya Harahap adalah9 : “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian 8
M.Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 273 9 M. Yahya Harahap, 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I, Penerbit Pustaka Kartini, halaman 14
9
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-Undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.” Lebih lanjut pengertian Hukum Pembuktian menurut Bambang Poernomo adalah sebagai berikut:10 ”Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan Undang-Undang mengenai kegiatan untuk rekontruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dala perkara pidana.” 2. Prinsip-Prinsip Pembuktian a.
Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 1) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia.
10
Ibid, hal. 6
10
2) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.11 b.
Kewajiban seorang saksi Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana
berdasarkan
ketentuan
Undang-Undang
yang berlaku,
demikian pula dengan ahli. c.
Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis) Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.
11
Hari Sasangka dan Lily Rosita. (2003). Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju , hal 20
11
Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat.12 d.
Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip
ini
merupakan
penegasan
dari
lawan
prinsip
“pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”. e.
Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang
12
Opcit hal 7
12
mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya.13 3. Bentuk-bentuk Alat Bukti Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat diajukan didepan sidang peradilan.Pembuktian alat-alat bukti diluar KUHAP dianggap tidak mempunyai nilai dan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat. Mengenai bentuk-bentuk alat bukti yang boleh dipergunakan dan kekuatan pembuktian serta cara bagaimana dipergunakannya alat-alat bukti tersebut untuk membuktikan di sidang pengadilan, adalah hal paling pokok dalam hukum pembuktian dengan sistem negatif. Ketiga hal pokok itu
telah
tertuang
dalam
Pasal-Pasal
dalam
bagian
keempat
KUHAP.Mengenai macam-macam alat bukti dimuat dalam Pasal 184. Sedangkan mengenai cara mempergunakan alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian alat-alat bukti dimuat dalam Pasal 185 – 189 KUHAP. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut a. Keterangan Saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.
13
Ibid, hal 8
13
Alat bukti sangat penting di dalam usaha penemuan kebenaran atau dalam usaha menemukan siapakah yang melakukan perbuatan tersebut. a. Alat bukti keterangan saksi Pengertian saksi dapat kita lihat pada KUHAP yaitu saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Dalam Pasal 185 KUHAP, berbunyi: (1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan saksi pengadilan (2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa
bersalah
terhadap
perbuatan
yang
didakwakan
kepadanya. (3) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila tidak disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. (4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. (5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
14
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan : a. Penesuaiaan antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. Persesuaiaan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. Alasan yang mengkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu; d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu tang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya; (7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Keterangan saksi dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah suatu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti, adalah “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.” Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana.Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu
15
bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurangkurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Ditinjau
dari
segi
nilai
dan
kekuatan
pembuktian
keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut : 1.
Harus mengucapkan sumpah atau janji. Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP, dan hal ini sudah panjang lebar diuraikan dalam ruang lingkup pemeriksaan saksi. Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3), sebelum saksi memberi keterangan: “wajib mengucapkan” sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji:
2.
dilakukan menurut cara agamanya masing-masing, lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Pada prinsipnya sumpah atau janji wajib diucapkan sebelum saksi memberi keterangan. Akan tetapi, Pasal 160 ayat (4) memberi kemungkinan untuk
16
mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Pada umumnya semua orang dapat menjadi seorang saksi, namun demikian ada pengecualian khusus yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi: Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undangini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b.
Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunya hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa samapi derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Selanjutnya dalam Pasal 171 KUHAP juga menambahkan pengecualian untuk memberikan kesaksiaan dibawah sumpah, yakni berbunyi : a.
Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
17
b. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadangkadang ingatannya baik kembali. Dalam sudut penjelasan Pasal tersebut diatas, Andi Hamzah mengatakan bahwa:14 “Anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, dalam ilmu jiwa disebut psycophaat, mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka itu tidak perlu diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu, keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.” Orang yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya dapat dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian, pada Pasal 170 KUHAP berbunyi sebagai berikut: (1) Mereka yang pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi. (2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. Dalam hal lain juga dalam KUHAP tentang prinsip minimum pembuktian. Hal ini terdapat dalam Pasal 183 yang isinya: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
14
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 24.
18
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dalam Pasal 185 ayat (2) juga menyebutkan sebagai berikut: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya”. Menurut D. Sions:15 “Suatu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan suatu kejadian tersendiri”. M. Yahya Harahapmegungkapkan:16 “Bahwa bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dianggap sebagai suatu alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa (unus testis nullus testis). Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum yang terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.” Namun apabila disuatu pesidangan seorang terdakwa mangaku kesalahan yang didakwakan kepadanya, dalam hal ini seorang
saksi
saja
sudah
dapat
membuktikan
kesalahan
terdakwa.Karena selain keterangan seorang saksi tadi, juga telah dicukupi dengan alat bukti keterangan terdakwa.Akhirnya telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian yakni keterangan saksi dan keterangan terdakwa. 15
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 26
16
M.Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 801
19
e. Alat bukti Keterangan Ahli Keterangan ahli juga merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Mengenai pengertian dari keterangan saksi dilihat dalam Pasal 184 KUHAP yang menerangkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Pasal tersebut tidak mnjelaskan siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Andi Hamzah, menerangkan bahwa:17 “Yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan diperluas pengertianya oleh HIR yang meliputi Kriminalistik, sehingga van Bemmelen mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, ilmu pengetahuan tentang sidik jari dan sebagainya termasuk dalam pengertian ilmu pengetahuan.” Pengertian keterangan ahli sebagai alat bukti menurut M. Yahya Harahap:18 “Hanya bisa didapat dengan melakukan pencarian dan menghubungkan dari beberapa ketentuan yang terpencar dalam Pasal KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 179 dengan jalan merangkai Pasal-Pasal tersebut maka akan memperjelas pengertian ahli sebagai alat bukti : 1. Pasal 1 angka 28 Pasal ini memberi pengertian apa yang dimaksud dengan keterangan ahli, yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperluakan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dari pengertian yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 28,M. Yahya Harahap membuat pengertian:
17
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 268
18
M.Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 297-302
20
a. Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang diperiksa. b. Maksud keterangan Khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa “menjadi terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan. 2. Pasal 120 ayat (1) KUHAP Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Dalam Pasal ini kembali ditegaskan yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah orang yang memiliki keahlian khusus yang akan memberi keterangan menurut pengetahuannya dengan sebaik-baiknya. 3. Pasal 133 (1) KUHAP Dalam hal penyidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. 4. Pasal 179 KUHAP menyatakan: (1) Setiap orang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberi keterangan ahli demi keadilan. (2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.” Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang
suatu
perkara
pidana
guna
kepentingan
pemeriksaan (Pasal 1 angka 28). Apa isi yang harus diterangkan ahli, serta syarat apa yang harus dipenuhi agar keterangan ahli
21
mempunyai nilai mempunyai nilai tidaklah diatur dalam KUHAP, tetapi dapat dipikirkan bahwa berdasarkan Pasal 2 syarat dari keterangan seorang ahli, ialah: 1.
Bahwa apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya.
2.
Bahwa yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. Karenamerupakan syarat, maka apabila ada keterangan
seorang ahli yang tidak memenuhi salah satu syarat atau kedua syarat, maka keterangan ahli itu tidaklah berharga dan harus diabaikan. Ketentuan alat bukti keterangan ahli secara khusus adalah terletak pada 2 syarat tersebut, tetapi secara umum juga terletak pada syarat-syarat umum pembuktian dari alat-alat bukti lain terutama keterangan saksi (Pasal 179 ayat 2 KUHAP). f. Alat bukti Surat KUHAP sedikit sekali mengatur tentang alat bukti surat. Hanya dua Pasal, yakni Pasal 184 dan secara khusus Pasal 187.HIR juga demikian, secara khusus diatur dalam tiga Pasal saja, yakni Pasal 304, 305, 306. Walaupun hanya 3 Pasal yang isinya hampir sama dengan Pasal 187 KUHAP, dalam Pasal 304 HIR, disebutkan bahwa aturan tentang nilai kekeuatan dari alat bukti surat-surat pada umumnya dan surat-surat resmi (openbaar) dalam hukum acara perdata harus dituntut dalam hukum acara pidana. Dengan
22
demikian, mengenai surat-surat pada umumnya (maksudnya di bawah tangan) dan surat-surat resmi (akta otentik) mengenai nilai pembuktiannya dalam perkara pidana harus menurut hukum acara perdata.ketentuan seperti Pasal 304 HIR ini, tidak ada dalam KUHAP. Dulu ketika ketika HIR masih berlaku, berdasarkan Pasal 304 ini praktik hukum perkara pidana mengenai penggunaan dan penilaian alat bukti surat dapat meniru pembuktian dengan alat bukti surat dalam hukum acara perdata. Artinya, pembuktian dengan surat dalam hukum acara perdata berlaku pula pada pembuktian dengan surat dalam perkara pidana, tetapi sekarang setelah berlakunya KUHAP, sudah tidak lagi. Segala sesuatunya diserahkan pada kebijakan hakim, dengan alasan bahwa alat-alat bukti dalam perkara pidana adalah merupakan alat bukti bebas.Tidak ada sesuatu alat bukti pun yang mengikat hakim, termasuk akta otentik.Penilaiannya diserahkan pada hakim. Menurut Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, berpendapat bahwa alat bukti surat atau tulisan adalah :19 “Segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian”.
Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan dengan pemeriksaan saksi-saksi dan persidangan terdakwa, pada 19
http://akubukanmanusiapurba.blogspot.com/2012/04/alat-bukti-surat-petunjuk-dan.html diakses tanggal 18 juli 2013
23
saat pemeriksaan saksi, ditanyakan mengenai surat-surat yang ada keterkaitan dengan saksi yang bersangkutan dan kepada terdakwa pada saat memeriksa terdakwa. Berkaitan dengan alat bukti berupa surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, yang Berbunyi: Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, dalam hal ini diatur dalam Pasal 187 KUHAP adalah: a)Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya. Yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perUndang-Undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c) Surat dari seseorang keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain. Keterangan-keterangan,
catatan-catatan
dan
laporan-
laporan itu sebenarnya tidak berbeda dengan keteranganketerangan saksi, tetapi di ucapkan secara tulisan.Maka dari itu arti sebenarnya dari Pasal tersebut ialah bahwa pejabat-pejabat tersebut dibebaskan dari menghadap sendiri di muka hakim. Surat-surat yang ditanda tangani mereka, cukup dibaca saja dan dengan
24
demikian mempunyai kekuatan sama dengan kalau mereka menghadap di muka hakim dalam sidang dan menceritakan hal tersebut secara lisan. Surat dapat digunakan sebagai alat alat bukti dan mempunyai nilai pembuktian apabilah surat tersebut dibuat sesuai dengan apa yang yang diharuskan oleh Undang-Undang. Apabila surat sudah dibuat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
maka
bukti
surat
mempunyai
kekuatan
pembuktian yang sempurna dan mengikat bagi hakim dengan syarat: 1. Bentuk formil maupun materiil sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang. 2. Bahwa surat tersebut tidak ada cacat hukum 3. Tidak ada orang lain yang mengajukan bukti bahwa yang dapat melemahkan bukti surat tersebut. Dalam menilai alat bukti surat, penyidik, penuntut umum, maupun hakim dalam meneliti alat bukti surat harus cermat, dan hanya alat bukti tersebut di atas yang merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian dalam perkara pidana. Di antara surat-surat bukti yang bukan surat resmi tersebut, ada segolongan yang penting bagi pembuktian, yaitu surat-surat yang berasal dari atau di tanda tanggani oleh terdakwa. Kalau terdakwa menggakui di muka hakim penanda tangannya atau
25
berasal dari atau di tanda tangani oleh terdakwa, maka hal ini akanmemudahkan pemeriksaan perkara. Dalam hukum acara perdata, surat-surat tidak resmi itu kalau diakui tanda tangannya oleh yang bersangkutan, mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat hakim, seperti halnya, akte autentik, ini pun lain bagi hakim hukum pidana, yang leluasa untuk tidak menggangap hal tentang sesuatu telah terbukti oleh surat semacam itu, meskipun tanda tangan diakui oleh terdakwa, yaitu hakim tidak berkeyakinan atas kesalahan terdakwa. g. Alat Bukti Petunjuk Keberadaan dan bekerjanya alat bukti petunjuk ini cenderung merupakan penilaian terhadap hubungan atau persusaian antara isi dari beberapa alat bukti lainnya, dan bukanlah alat bukti yang berdiri sendiri, maka dapat dimaklumi apabila sebagian ahli manaruh sangat keberatan atas keberadaannya dan menjadi bagian dalam hukum pembuktian perkara pidana. Karena alat bukti petunjuk ini adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan atau persusaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektivitas hakim lebih dominan. Oleh karena itu Pasal 188 ayat (3) KUHAP mengingatkan hakim agar dalam menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan tertentu harus dilakukan dengan arif dan bijaksana, setelah hakim memeriksa dengan cermat dan saksama yang didasarkan hati nuraninya.
26
Dasar hukum terhadap alat bukti petunjuk terdapat dalam Pasal 184 ayat (1) huruf d dan Pasal 188 KUHAP Menurut Andi Hamzah alat-alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari beberapa hal, antara lain :20 a) surat-surat yang menguatkan tuduhan maupun yang meringankan terdakwa. Surat-surat dalam hal ini adalah segala bentuk tulisan yang berhubungan dengan kasus tersebut. b) Keterangan dari saksi ahli yang berkompeten terhadap bidang yang berhubungan terhadap kasus tersebut. c) Alat-alat lain yang digunakan dalam membantu penyidik dalam pengungkapan suatu kasus, contohnya penggunaan anjing pelacak dalam menemukan barang bukti yang tersembunyi. Berdasarkan petunjuk-petunjuk tersebut maka akan menjadi bahan pertimbangan bagi hakim untuk memutuskan perkara. Sedang menurut pendapat ahli pidana Wirjono Projodikoro, “alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang paling lemah.” Penilaian atas penilaian pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.21 Dari bunyi Pasal 188 KUHAP, maka dikatakan bahwa alat bukti petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lanya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain. 20
Andi Hamzah, 2009, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, Hal. 273
21
Hari Sasangka dan Lily Rosita. (2003). Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju , hal. 10
27
h. Alat Bukti Keterangan Terdakwa Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri (Pasal 189 ayat 1 KUHAP). Dari uraian Pasal tersebut masih menyimpan sejumlah kesulitan.Tidak ada perbedaan atau penjelasan apakah pengakuan dapat dikategorikan sebagai keterangan terdakwa. Andi Hamzah berpendapat22 : bahwa keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat diantaranya: 1. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan. 2. Mengaku ia bersalah. Sebagai solusi dari permasalahan tersebut, keterangan terdakwa harus ditafsirkan bahwa keterangan yang bernilai sebagai pengakuan maupun penyangkalan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Yang penting keterangan tersebut dinyatakan di sidang pengadilan, mengenai perbuatan yang dilakukan, diketahui atau dialami sendiri, keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri, harus disertai atau ditunjang dengan alat bukti yang lain (Pasal 189
22
Andi Hamzah(2009: 273)
28
KUHAP). Menurut Martiman Prodjohamidjojo :23 “Terhadap keterangan di muka penyidik dan keterangan dalam persidangan harus dibedakan, keterangan yang diberikan di muka penyidik disebut keterangan tersangka, sedangkan keterangan yang diberikan dalam persidangan disebut keterangan terdakwa.” 4. Sistem Pembuktian Pengertian “pembuktian” secara umum adalah ketentuan-ketentuan yang yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan
Undang-Undang
dalam
membuktikan
kesalahan
yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-Undang yang boleh dipergunakan oleh hakim guna membuktikan kesalahan yang didakwakan. Mengenai pengertian dari kata pembuktian dapat dijumpai dalam pendapat para sarjana antara lain : R. Soebekti, menyatakan bahwa : Yang dimaksud dengan “membuktikan” ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.
Martiman Prodjohamidjojo, menyatakan : “membuktikan” mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.
23
Martiman Prodjohamidjojo. (1984). Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal. 137
29
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu kebenaran atau dalil yang diajukan ke depan sidang. Dalil yang dimaksud itu dapat berupa alat bukti yang sah, dan diajukan ke depan persidangan. Dengan demikian pembuktian merupakan suatu kebenaran dari alat bukti yang sah, untuk dinyatakan bersalah atau tidaknya terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan. Masalah pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian terpenting dari acara pidana, karena hak asasi manusia (terdakwa) akan dipertaruhkan. Dalam hal inilah hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, yang berbeda dengan hukum acara perdata yang hanya sebatas pada kebenaran formal. Senada dengan hal tersebut, Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu : a) Mencari dan menemukan kebenaran; b) Pemberian keputusan oleh hakim; c) Pelaksanaan keputusan. Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting adalah fungsi “mencari kebenaran” karena hal tersebut merupakan tumpuan kedua fungsi berikutnya. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan barang bukti, maka hakim akan sampai kepada putusan yang selanjutnya akan dilaksanakan oleh Jaksa.
30
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum acara pidana, termasuk KUHAP adalah untuk mencari kebenaran dengan melakukan pembuktian. Secara teoritis, dikenal empat macam sistem pembuktian dalam perkara pidana, yaitu sebagai berikut : b.
Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif (positif wettelijk);
c.
Sistem
pembuktian
menurut
keyakinan
hakim
melulu
(conviction intime); d.
Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raissonne);
e.
Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negative (negative wettelijk).
a.
Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif (positif wettelijk); Sistem pembuktian positif adalah sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Seorang terdakwa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindakan pidana hanya berdasarkan pada alat bukti yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh Undang-Undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali diabaikan.
31
Pada pokoknya seorang terdakwa sudah memenuhi caracara pembuktian dan alat bukti yang sah yakni yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidanakan. Seorang hakim laksana robot yang menjalankan Undang-Undang. Namun demikian, ada kebaikan dalam sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif. Yaitu menurut cara-cara dan alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang. Sistem pembuktian ini merupakan kebalikan dari sistem pembuktian Conviction in Time. Dalam sistem ini, keyakinan hakim tidak diperlukan, karena apabila terbukti suatu tindak pidana telah memenuhi ketentuan alat bukti yang disebutkan dalam Undang-Undang, seorang terdakwa akan langsung mendapatkan vonis. Pada teori pembuktian formal/positif (positief bewijstheorie) ini, penekanannya terletak pada penghukuman harus berdasarkan hukum. Artinya, seorang terdakwa yang dijatuhi hukuman tidak semata-mata hanya berpegang pada keyakinan hakim saja, namun berpegang pada ketentuan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Teori ini sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim
32
yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut UndangUndang maka terdakwa harus dibebaskan. Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang Maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem
pembuktianini,
yakni
hakim
akan
berusaha
membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut caracara dan alat bukti yang di tentukan oleh Undang-Undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran format, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Teori ini di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor.Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.24
24
D. Simons. Dalam Darwin Prinst, 1998. Halaman 65
33
Mendasar pada pengertian teori tentang sistem pembuktian melulu menurut Undang-Undang (positif wettelijk), Andi Hamzah mengatakan :25 “Pembuktian yang didasarkan kepada pembuktian yang disebut Undang-Undang disetbut sistem atau teori pembuktian berdasar Undang-Undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Undang-Undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga sistem pembuktian formal (formale bewijs theory).” Selanjutnya M. Yahya Harahap mengatakan :26 “Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam membuktikan kesalahan terdakwa.Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan menentukan salah tidaknya terdakwa.Sistem ini berpedoman bahwa pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan Undang-Undang.Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah.Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut Undang-Undang, sudah cukup menentukan kesalah terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.”
b. Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim melulu (conviction intime); Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknyatidaknya terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa 25 26
Andi Hamzah Op.cit, hal 259 Yahya Harahap op.cit hal 257
sepenuhnya
tergantung
pada
keyakinan
34
hakim.Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah.Hakim tidak perlumenyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya.Seseorang bisa dinyatakan bersalah dengan tanpa bukti yang mendukungnya.Demikian sebaliknya, hakim bisa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan, meskipun bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.Akibatnya dalam
memutuskan
perkara
hakim
menjadi
subyektif
sekali.Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada ken-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan.Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan
berdasarkan
metode
ini,
dan
banyak
mengakibatkan putusan bebas yang aneh.27 Berkaitan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim M. Yahya Harahap mengatakan :28 “Sistem pumbuktian menurut keyakinan hakim menentukan salah tidaknya seseorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim.Keyakinan hakim yang 27
Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghana Indonesia, halaman 241 28 Yahya Harahap, Ibid. hal 256
35
menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa.Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinanya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini.Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan.Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alatbukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik dari keterangan atau pengakuan terdakwa.” Sedangkan menurut Andi Hamzah mengatakan :29 “Menerut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalh berdasar keyakinanya, keyakinan mana didasar kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (concluie) yang berlandaskan kepada peraturanperaturan pembuktian tertentu.Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.”
c.
Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raissonne); Sistem pembuktian Conviction In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satusatunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan
oleh
Undang-Undang
tetapi
hakim
bisa
menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan UndangUndang.Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa
29
Andi Hamzah. ibid hal 261
36
keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus “reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.30 d. Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negative (negative wettelijk). Sistem pembuktian negative wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Dalam sistem negatif wetteljik ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh Undang-Undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan
30
Andi hamzah ibid hal 261
37
(nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat). Meskipun terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah menurut Undang-Undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya bila hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut Undang-Undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia. Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau teori pembuktian berdasarkan UndangUndang Negatif (negatief wettelijke). Dalam Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut : "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya".
38
Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus : a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.31 M. Yahya Harahap32 berpendapat :
“Alasan pembuat Undang-Undang merumuskan Pasal 183 KUHAP ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat Undang-Undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.” Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah33 : “Bahwa sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.”
31
Ibid.Hal. 280. Ibid. Hal. 256-259. 33 Andi Hamzah. Hal. 264. 32
39
B. Pengadilan Anak 1. Pengertian Anak Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita.Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri. Anak adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu bangsa dimasa depan, oleh sebab itu anak patut diberikan pembinaan dan perlindungan secara khusus oleh Negara dan Undang-Undang untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial. Untuk melaksanakan pembinaan dan pemberian perlindungan tersebut diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai oleh karena itu anak yang melakukan tindak pidana diperlukan pengadilan anak yang secara khusus menangani kasus anak. Ada beberapa macam mengenai pengertian anak di bawah umur, yang antara lain sebagai berikut : 1. Undang-Undang Pengadilan Anak Undang-Undang Pengadilan Anak (Undang-Undang No. 3 Tahun 1997) Pasal 1 ayat (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai imur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.
Sedangkan
syarat
kedua
si
anak
belum
pernah
kawin.Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai.Apabila si anak sedang terikat
40
dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka sianak dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun. 2. Undang-Undang Perlindungan Anak Undang-Undang Perlindungan Anak (Undang-Undang No. 23 tahun2002) Pasal 1 ayat (1) merumuskan bahwa anak adalah seseorang yangbelum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. 3. Anak menurut KUHP Pasal 45, mendefinisikan anak belum dewasa apabila belum berumur 16(enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkarapidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikankepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidakdikenakan suatu hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkankepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman. KetentuanPasal 45, 46 dan 47 KUHAP ini sudah dihapuskan dengan lahirnyaUndang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 4. Anak menurut Hukum Perdata Pasal 330 KUHPerdata mengatakan, orang belum dewasa adalah merekayang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidaklebih dahulu telah kawin.
41
5. Anak menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 (1) Undang-Undang Pokok Perkawinan (UndangUndang No. 1Tahun 1974) mengatakan, seorang pria hanya dizinkan kawin apabilatelah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telahmencapai (enam belas) tahun. Pemyimpangan atas hal tersebut hanyadimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri. Menurut Atmasasmita, anak adalah :34 ”Seorang yang masih di bawah usia tertentu yang belum dewasa serta belum kawin. Sedangkan Soejono menyatakan bahwa anak menurut hukum adat adalah mereka yang belum menentukan tanda-tanda fisik belum dewasa.” Anak lebih diutamakan dalam pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki substansi yang lemah (kurang) dan di dalam hukum dipandang sebagai subyek hukum
yang
di
tanamkan
dari
bentuk
pertanggungjawaban,
sebagaimana layaknya seorang subyek hukum yang normal. Pengertian anak dalam lapangan hukum pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang (Kejahatan dan pelanggaran pidana) untuk membentuk kepribadian dan tanggungjawab yang akhirnya anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang lebih baik. Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud 34
Made Sadhi Astuti, 1 Maret 1997.Selayang pandang Anak Sebagai Korban dan Pelaku Tindak Pidana, Malang, Arena Hukum.
42
dengan batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak itu. Batas usia anak dalam pengertian hukum pidana dirumuskan secara jelas dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak pada Pasal 1 ayat 3 yang berisi : Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi dapat ditelaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial, sebab anak merupakan suatu anugrah dari Tuhan yang berharga dan tidak dapat dinilai dengan nominal. 2. Tanggung Jawab Hukum Anak yang Melakukan Tindak Pidana. Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan dengan “tindak pidana”, karena tindak pidana baru bermakna
apabila
terdapat
pertanggungjawaban
43
pidana.sedangkanpengertian
pertanggungjawaban
pidana
adalah
diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya.35 Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidanya pembuat adalah asas kesalahan.Hal ini mengandung arti bahwa pembuat atau pelaku tindak pidana hanya dapat dipidana jika seseorang mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dari segi kemasyarakatan, dapat dicela oleh karena perbuatan tersebut. Pertanggung jawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang, seseorang akan di pertanggung jawabkan pidana atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tesebut melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab, maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang akan di pertanggung jawabkan. Seseorang mampu bertanggungjawab secara pidana, dapat dilihat dari keadaan jiwanya maupun kemampuan jiwanya, antara lain :47 35
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. III, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm.235.
44
1. Keadaan jiwanya : a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara(temporair). b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile). c. Tidak terganggu karena terkejut, hipnotisme, amarah yang
meluap,
pengaruh
bawah
sadar
(reflexe
beweging), melindur (slaapwandel), mengigau karena demam (koorst). 2. Kemampuan jiwanya : a. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. Pada prinsipnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah tanggung jawab anak itu sendiri, akan tetapi oleh karena terdakwa adalah seorang anak, maka tidak dapat dipisahkan kehadiran orang tua, wali atau orang asuhnya. Tanggung jawab anak dalam melakukan tindak pidana adalah anak tersebut bertanggung jawab dan bersedia untuk disidik, dituntut dan diadili pengadilan, hanya saja, terdapat ketentuan-ketentuan dimana seorang anak tidak diproses sama halnya dengan memperoses orang dewasa. Hal ini dijelaskan dalam asas di dalam pemeriksaan anak, yaitu :
45
1) Asas praduga tak bersalah anak dalam proses pemeriksaan 2) Dalam suasana kekeluargaan 3) Anak sebagai korban 4) Didampingi oleh orang tua, wali atau penasehat hukum, minimal wali yang mengasuh 5) Penangkapan, penahanan sebagai upaya terakhir setelah dilakukan pertimbangan tertentu, dengan catatan penahanan dipisahkan dari orang dewasa. Pertanggung jawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai criminal responsibility.Pertanggung jawaban pidana yang dimaksudkan
untuk
menentukan
seorang
terdakwa
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak.Apabila ternyata tidaknya bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab maka dipidana.Kemampuan bertanggung jawab tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak berbentuk kesengajaan ataukah kealpaan.Selanjutnya apakah tindakan terdakwa ada alasan pembenar atau pemanfaatannya atau tidak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, setiap anak mampu bertanggung jawab asal jiwa anak
tersebut
sehat,
namun,
terdapat
pemahaman
tentang
kemungkinan untuk tidak memidana seorang anak karena alasan masih sangat muda sehingga belum dapat meninsafi tindakannya yang tercela dan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3
46
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak menegaskan bahwa anak yang dapat diminta pertanggungjawaban adalah berusia delapan tahun belum mencapai 18 (delapan belas) tahun, belum pernah kawin. 3. Asas-asas pengadilan anak. Selanjutnya akan diuraikan beberapa sistimatika RUU pengadilan anak yang berbedadengan pengadilan orang dewasa dipadukan dengan UU yang ada sekarang ini : 1. Batas Umur. (Batas umur yang dapat diajukan ke Pengadilan) : a. Anak nakal, minimum 10 tahun, maximum 18 tahun. Kemudian diubahdengan Pasal 1 Butir 1 jo. Pasal 4 ayat 1 yaitu : minimum 8 tahun danmakximum 18 tahun dan belum pernah menikah. b. Anak terlantar, tidak ada batas umur minimum, maximum 18 tahun. 2. Pengecualian batas umur maximum anak nakal. a. Dalam hal seorang anak melakukan kenakalan sebelum umur 18 tahun dandiajukan ke Pengadilan setelah melampaui umur tersebut, maka
MahkamahAgung
berwenang
untuk
memutuskan
menyimpang dari ketentuan batas umurmaximum anak nakal.Dan apabila belum mencapai umur 21 tahun maka tetapdiajukan ke sidang pengadilan anak. b. Sedang bagi anak yang belum mencapai umur 8 tahun melakukan atau didugamelakukan tindak pidana, maka terhadap anak etrsebut
47
dapat dilakukanpemeriksaan oleh Penyidik, apabila menurut hasil pemeriksaan Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud masih dapat dibina olehorang tua/ walinya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepadaorang tua/walinya, dan apabila menurut hasil pemeriksaan Penyidik berpendapat bahwa anak tersebut tidak dapat dibina lagi oleh orang tua/ walinya maka anak tersebut diserahkan kepada Departemen Sosial setelahmendengar pertimbangan dari Pembimbing Masyarakat 3. Ruang lingkup masalah dibatasi(Pasal 1 ayat 2). a.
Masalah yang diperiksa dalam siding Pengadilan Anak hanyalah terbatasmenyangkut perkara anak nakal.
4. Anak yang bersama-sama orang dewasa melakukan tindak pidana diperiksa olehHakim Anak diubah dengan Pasal 7 karena keharusan splitsing. a. Anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang berstatussipil maupun militer.Kalau terjadi anak melakukan tindak pidana bersamaorang dewasa, maka sianak diadili dalam sisang pengadilan anak, sementaraorang dewasa diadili dalam sidang orang dewasa. 5. Ditangani pejabat khusus(Pasal 1 ayat 5,6, dan 7) Undang-uandang No.3 tahun1997 menetukan perkara anak nakal harus ditangani oleh pejabat-pejabat khusus,seperti : a. Di tingkat penyidik oleh penyidik anak.. b. Di tingkat penuntutan oleh penuntut umum anak.
48
c. Di pengadilan oleh hahim anak, hakim banding anak dan hakim kasasi anak. 6. Suasana pemeriksaan kekeluargaan (Pasal 42 ayat 1) a. Pemeriksaan perkara di pengadilan anak dilakukan dalam suasana kekeluargaan. Oleh karena itu hakim, penuntut umum, penasehat hukum dan petugas lainnya tidak memakai toga. 7. Acara pemeriksaan tertutup (Pasal 8 ayat 1) a. Acara pemeriksaan di siding pengadilan anak dilakukan secara tertutup. Inidemi kepentingan sianak sendiri. Akan tetapi putusan harus diucapkan dalamsiding yang terbuka untuk umum.
8. Perkara diperiksa oleh Hakim Tunggal (Pasal 11, 14, dan 18) a. Hakim yang memeriksa perkara anak, baik ditingkat Pengadilan Negeri,Banding atau Kasasi dilakukan dengan hakim tunggal.
9. Masa penahanan lebih singkat (Pasal 44 sampai dengan 49) a. Masa penahana terhadap anak lebih singkat disbanding masa penahananmenurut KUHP.
10. Hukuman lebih ringan (Pasal 22 sampai dengan 32) a. Hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal lebih ringan dari ketentuanyang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal untuk anak nakal adalah 10 tahun.
49
C. Tindak Pidana Pemerkosaan 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari Het Strafbare Feit. Selain diterjemahkan sebagai tindak pidana, Het Strafbare Feit dalam bahasa Indonesia juga diterjemahkan sebagai “perbuatan yang dapat atau bol dihukum; peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana”, sedangkan perumusan tindak pidana menurut para ahli hukum antara lain: a. Moeljatno, beliau memberi perumusan tindak pidana sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu; b. R. Tresna, beliau mengatakan bahwa peristiwa pidana ialah suatu perbuatan atau rangakaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. c. Wirjono Prodjodikoro, merumuskan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.36 Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
36
Subjek; Kesalahan; Bersifat melawan hukum (dari tindakan); Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta,http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hukum/206711050/bab2.pdf, diakses pada tanggal 5 Juni 2013.
50
5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).37 Kelima unsur tersebut haruslah ada dalam suatu tindak pidana, hal ini sebenarnya dapat membedakan antara tindak pidana dan peristiwa pidana. Berbicara mengenai tindak pidana pada dasarnya harus ada subjek dan orang itu melakukannya dengan kesalahan atau dengan perkatakan lain jika dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana, berarti ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu terdapat kesalahan. Sebaliknya, jika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang memenuhi unsur sifat melawan hukum, tindakan yang dilarang serta diancam dengan pidana oleh Undang-Undang dan faktor-faktor objektif lainnya, tanpa adanya unsur kesalahan, berarti tidak telah terjadi suatu tindak pidana, melainkan yang terjadi hanya suatu peristiwa pidana. 2. Tindak Pidana Perkosaan Menurut Wirjono, kata perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya (Belanda), yakni Verkrachting tidaklah tepat karena istilah perkosaan tidak menggambarkan secara tepat tentang perkosaan menurut arti yang sempit sebenarnya, dari kualifikasi Verkrachting, yakni perkosaan untuk bersetubuh oleh karena itu menurut beliau kualifikasi yang tepat untuk Pasal 285 KUHP ini adalah perkosaan untuk bersetubuh.38
37
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 211. 38 Adam Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Jakarta, Raja Grafindo, 2005, hlm. 62-63.
51
Menurut Z.G. Allen dan Charles F. Hemphill, yang dikutip oleh Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, perkosaan adalah: “an act of sexual intercourse with a female resist and her resistence is overcome by force”.(suatu persetubuhan dengan perlawanan dari perempuan dan perlawanannya diatasi dengan kekuatan).39 Perumusan di atas mengandung pengertian bahwa korban (wanita) tidak memberikan
persetujuan.
Hal ini tampak dengan
digunakannya istilah resists dengan konsekuensi lebih lanjut overcome by force. Menurut R. Sugandhi, yang dimaksud dengan perkosaan adalah ”seorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untukmelakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani.”40 Pendapat itu menunjukkan pada suatu perkosaan yang terjadi secara tuntas, artinya pihak pelaku (laki-laki pemerkosa) telah menyelesaikan perbuatannya hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka secara eksplisit, apa yang dilakukan laki-laki itu belum patut dikategorikan sebagai perkosaan. Tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP, BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Pasal 285 KUHP
39
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Perempuan, Bandung, Refika Aditama, 2001, hlm. 65. 40 Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hukum/206711050/bab2.pdf, diakses pada tanggal 5 Juni 2013.
52
sifatnya adalah Pasal pokok untuk kasus perkosaan. Rumusan dari Pasal 285 KUHP adalah sebagai berikut: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 285 KUHP yang telah diuraikan di atas, yakni: a. Barang siapa Unsur “barang siapa” (subjek tindak pidana) dalam KUHP memang tidak ada penjelasan yang expressis verbis (tegas), namun apabila disimak makna Pasal 2, 44, 45, 45, 48, 49, 50, dan 51 KUHP dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah “orang” atau subjek tindak pidana adalah “orang” atau “manusia”. b. Kekerasan Yang dimaksud dengan “kekerasan” adalah kekuatan fisik atau perbuatan fisik yang menyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya, tidak mampu melakukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekersan dalam tindak pidana perkosaan antara lain berupa perbuatan mendekap, mengikat, membius, menindih, memegang, melukai, dan lain sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan orang yang terkena tidak berdaya. c. Ancaman kekerasan Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan, sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan, tetapi yang menyebabkan orang terkena tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan. d. Unsur memaksa Pada perkosaan menunjukkan adanya pertentangan kehendak antara pelaku dengan korban. Pelaku mau/ingin bersetubuh, sedangkan korban tidak
53
mau/ingin. Oleh karena itu, tidak ada perkosaan apabila tidak ada pemaksaan dalam arti hubungan itu atas dasar suka sama suka, sebagaimana juga tidak ada kekerasan atau ancaman kekerasan bila tidak ada memaksa. e. Adanya persetubuhan KUHP tidak memberikan pengertian mengenai persetubuhan. Persetubuhan dalam arti biologis adalah suatu perbuatan yang memungkinkan terjadinya kehamilan, sehingga harus terjadi: erectio penis; penetration penis ke dalam vagina; dan ejaculation penis ke dalam vagina, namun dalam ilmu hukum hanya mensyaratkan adanya penetrasi penis ke dalam vagina. f. Di luar perkawinan Maksudnya adalah bahwa persetubuhan secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan itu dilakukan terhadap seorang wanita yang bukan istrinya. Hal itu berarti bahwa seorang suami tidak mungkin dituntut telah melakukan perkosaan terhadap istrinya atas dasar Pasal 285 KUHP.41 3. Tindak Pidana Perkosaan Yang Dilakukan Anak Ada beberapa macam mengenai pengertian anak di bawah umur, yang antara lain sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Pengadilan Anak Undang-Undang Pengadilan Anak (Undang-Undang No. 3 Tahun 1997) Pasal 1 ayat (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai imur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin.Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai.Apabila si anak
41
Loc. cit.
54
sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka sianak dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun. 2.
Undang-Undang Perlindungan Anak Undang-Undang Perlindungan Anak (Undang-Undang No. 23 tahun2002) Pasal 1 ayat (1) merumuskan bahwa anak adalah seseorang yangbelum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pemerkosaan dalam kamus hukum adalah memperkosa,
perempuan
yang
bukan
istrinya,
bersetubuh
dengan
dia.
Pemerkosaan terhadap anak biasanya dilakukan dimana pelakur memaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan mengancam dan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Tetapi perlu ditekankan pemerkosaan terhadap anak bukan hanya karena ada unsur pemaksaan tetapi dapat juga karena adanya unsur suka sama suka. Kejahatan yang dimaksudkan diatas adalah dirumuskan dalam KUHP Pasal 287 yang selengkapnya sebagai berikut: a.
b.
Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa Ia belum waktunya untuk kawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Penuntutan hanya dilakukan atas pangaduan, kecuali jika perempuan itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294.
55
Apabila rumusan Pasal 287 ayat 1 dirinci, terdapat unsurunsur sebagai berikut: 1. Unsur-unsur objektif : a. Perbuatannya : bersetubuh Artinya pemerkosaan terhadap anak terjadi karena ada persetubuhan yang terjadi baik diluar kehendak korban maupun didalam kehendak korban sendiri (suka sama senang). Atas dasar suka sama senang korban anak tersebut tidak dipidana kecuali anak tersebut mengetahui bahwa pelaku sudah brsuami, sehingga anak tersebut dapat dipidana dengan 284 KUHP b. Objek: dengan perempuan di luar kawin. Artinya perempuan diluar kawin c. Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas dan belum waktunya untuk kawin. Adapun indikator anak yang belum waktunya disetubuhi ini ada pada bentuk fisik dan psikis. Bentuk fisik terlihat pada wajah dan tubuhnya yang masih anak-anak, seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum tumbuh buah dada atau belum tumbuh rambut kemaluannya, atau mungkin belum datang haid. Adapun bentuk psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masih senang bermain seperti pada umumnya anak belum berumur lima belas tahun. 2. Unsur Subjektif : Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun.
56
Dalam kejahatan ini dirumuskan unsur kesalahannya, yang berupa: Kesengajaan, yakni diketahuinya umurnya belum lima belas tahun dan kealpaan, yakni sepatutnya harus diduganya umurnya belum lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, belum waktunya untuk kawin. Adapun ancaman pidana kejahatan pemerkosaan terhadap anak dibawah umur menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 diatur dalam Pasal 81 ayat (2) sebagai berikut: 1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (Jima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) 2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. D. Hambatan Bagi Hakim Dalam Memutus Perkara Tindak Pidana dengan Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak 42 Kendala-kendala bagi hakim dalam memutus perkara tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak adalah: 1.
42
Kesaksian Terdakwa saat dipersidangan:
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=kendala%20terbatasnya%20alat%20bukti%20di%20 persidangan&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CDcQFjAC&url=http%3A%2F%2Fhukum.ub.a c.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2013%2F01%2FJurnal-Anna-Priscilla-Meilita0910110116.pdf&ei=YxmTUqyqA4OLrQfu7oD4BQ&usg=AFQjCNGw0S3_uO6TbXqUMqTn8 QMT2p4qkw&bvm=bv.56988011,d.bmk diakses tanggal 25 november 2013
57
Kesaksian Terdakwa yang kurang meyakinkan dan tidak mengakui perbuatannya akan menghambat proses persidangan. Perasaan takut yang kemudian membuat Terdakwa tidak leluasa mengatakan kejadian sebenarnya dan khawatir hakim akan mengadili dan memutus dengan sanksi pidana penjara, sehingga kebebasan si anak akan hilang. 2.
Keyakinan hakim terhadap alasan Terdakwa melakukan tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut:
a. Faktor Internal 1). Rasa ingin tahu yang besar: Terdakwa melakukan pencabulan bisa dikarenakan rasa ingin tahu yang besar, dimana anak selalu ingin mencoba hal-hal yang baru termasuk seksualitas. Jadi Terdakwa melakukan aktivitas seksual untuk memenuhi rasa ingin tahunya. 2). Kepribadian yang tidak baik yaitu Terdakwa dengan sengaja melakukan tindak pidana pencabulan untuk menuhi nafsu birahinya: Bahwa sengaja (opzet) sebagai willens en weten, yang dalam arti
harfiah
dapat
disebut
sebagai
menghendaki
dan
mengetahui. Willens et weten artinya bahwa yang melakukan sesuatu perbuatan (dengan sengaja), harus menghendaki perbuatan itu serta harus mengetahui atau menyadari serta mengerti akan akibat dari perbuatan itu. Dalam hal kasus
58
pencabulan yang dilakukan oleh anak, kesengajaan tersebut meliputi kesengajaan untuk melakukan ancaman kekerasan maupun memaksa anak untuk dilakukan perbuatan cabul. 3) Ketidaktahuan Terdakwa bahwa perbuatan yang dilakukan melanggar hukum: Terdakwa yang adalah anak yaitu menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin, terkadang tidak
mengetahui
perbuatan
yang dilakukannya
adalah
perbuatan yang melanggar hukum.
c. Faktor Eksternal 1) Adanya kesempatan yang ditimbulkan oleh korban: Pengaruh pihak lain, pengaruh dari korban sendiri yaitu kesempatan
yang
ditimbulkan
dari
korban
sehingga
merangsang Terdakwa untuk melakukan pencabulan. 2) Melihat video-video porno: Video porno yang diakses oleh anak-anak semakin mudah dengan berkembangannya teknologi saat ini. Saat anak menonton video tersebut, anak akan cenderung untuk meniru/ imitasi dari perbuatan yang ada di dalam video.
59
3) Faktor lingkungan: Lingkungan yang buruk bagi anak bisa mendorong anak tersebut untuk melakukan persetubuhan, karena anak merasa bahwa persetubuhan adalah suatu hal lumrah terjadi. 4) Sumber Daya Manusia (Hakim Anak): Dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak menyatakan bahwa syarat-syarat untuk
dapat
ditetapkan
sebagai
Hakim
adalah
telah
berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak. Jumlah Sumber Daya Manusia (Hakim Anak) di Pengadilan Negeri Kepanjen yang terbatas, mengakibatkan dalam menangani dan memutus perkara dengan Terdakwa anak menjadi lebih susah.
3.
Hakim yang merasa dilematis saat menjatuhkan putusan terhadap kasus tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak: Jika menjatuhkan putusan seperti ini atau seperti itu maka dikhawatirkan tidak akan memberi rasa keadilan bagi korban, masyarakat ataupun bagi Terdakwa sendiri
60
BAB III METODE PENELITIAN
1.
Metode Pendekatan Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah dengan berbagai sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas antara sistem hukum dengan sistem lainnya. 43
2.
Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif44 analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah pemecahan perkara pidana (splitsing) dalam proses pembuktian suatu tindak pidana, dengan menggambarkan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku berkaitan dengan splitsing dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut Tindak Pidana Dengan Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak.
43
Jhonny, Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Cetakan Ketiga, Bayumedia Publishing, Hal. 296. 44
http://lp3madilindonesia.blogspot.com/2011/01/divinisi-penelitian-metode-dasar.html diakses tanggal 20 juni 2013
61
3.
Sumber Data Dalam
penelitian
ini
Penulis
menggunakan
sumber
data
sebagaiberikut: a. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder adalah sejumlah keterangan atau faktafakta yang secara tidak langsung diperoleh melalui bahan dokumen, Peraturan perUndang-Undangan, laporan, arsip, literatur, dan hasil penelitian lainnya.45 Sumber data sekunder yang digunakan Penulis antara lain 1)
Bahan Hukum Sekunder Bahan
hukum
sekunder,
yaitu:
bahan-bahan
yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya darikalangan hukum dalam bentuk buku-buku literatur atau
artikel.
Bahan
hukum
sekunder
digunakan
dengan
pertimbangan bahwa data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukanbahan hukum primer dan sekunder sebagai data sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas. 4.
Metode Pengumpulan Data. Data yang dikumpulkan dilakukan melalui studi kepustakaan.Studi kepustakaan yaitu dengan mencatat dari buku literatur, kumpulan bahan
45
Ibid.,Hal. 51
62
hukum kuliah, dan peraturan perUndang-Undangan, sehingga menjadi pedoman dalam pembuatan karya tulis ini. 5.
Metode Penyajian Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang disusun secara sistematis, maksudnya adalah keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuakan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
63
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil 1. Duduk perkara Awalnya pada hari minggu tanggal 30 September 2012 sekitar jam13.00 WIB, Sdr. GILANG, Sdr. IKI, Sdr. FANI, Sdri. ELSA ELSIANA Binti SUBEKTI RUSLI (pacar Terdakwa yang baru jadian) dan Sdri. DEWI main ke rumah Terdakwa DANI MULYANA Bin MASTUR di CIKIARA Gang Saluyu Kota Tasikmalaya sampai jam 16.00 WIB kemudian dilanjut bermain kerumah Sdr. IKI di Cihideung Balong Kota Tasikmalaya, sekitar jam 19.30 WIB terdakwa menerima telephone dari Sdr. FANI untuk datang ke perempatan Cihideung Balong dan mengajak untuk menginap di rumah Terdakwa bersama dengan Sdr. GILANG, Sdri. ELSA ELSIANA dan Sdr. FANI, tetapi terdakwa menolaknya karena dengan alasan ada kakak terdakwa, kemudian terdakwa menawarkan untuk menginap di Hotel Tasik di Jl. Komalasari di Kota Tasikmalaya setelah itu Terdakwa memesan 1 (satu) buah kamar di Hotel Tasik dan mengobrol di dalam kamar, di sela-sela sedang mengobrol Sdr. FANI menelepon Sdri. DINI untuk meminta uang dan menyuruh Sdri DINI datang ke Hotel Tasik, selang waktu 1 (satu) jam datang Sdri.DINI dengan ditemani temannya yang mengantar, setelah itu teman yang mengantar DINI pulang, kemudian terdakwa, Sdr GILANG.Sdri. ELSA.
64
Sdri.DINI. Dan Sdri. FANI melanjutkan mengobrol, sekitar jam 22.00 WIB Sdr. FANI dan Sdr. GILANG pergi untuk menonton acara dangdutan di Cihideung Balong, sehinggga yang berda di Hotel tersebut hanya Terdakwa, Sdri.ELSA dan Sdri. DINI, sekitar jam 23.00 WIB Sdri. DINI menunjuk obat kapsul bermerk super joss yang tergeletak di kamar sambil bertanya “obat naon eta” (obat apa itu) kemudian Terdakwa menjawab (sok weh hayang mah inum eta ti si GILANG” (silahkan saja minum itu dari Sdr. GILANG) dengan alasan pusing Sdri. DINI meminumnya dan terdakwa pun menyuruh Sdri.ELSA untuk meminumnya dengan alasan supaya kuat, sepuluh menit kemudian Sdri.ELSA merasa pusing dan lemas kemudian Sdri.ELSA yang lahir pada tanggal 10 Juni 1999 atau masih berumur 13 (tigabelas) tiduran ditengah kasur di sebelah kiri Sdri.DINI yang tertidur dengan kepalanya ditutupi selimut sedangkan Terdakwa berda di sebelah kanan yang kemudian mendekati Sdri.ELSA dan mengajak untuk bersetubuh dengan mengancam kalau Sdri. ELSA tidak mau maka terdakwa akan meninggalkan Sdri. ELSA di Hotel Tasik sendirian dan mengatakan bahwa terdakwa sayang dan cinta kepada Sdri. ELSA dan berjanji kalau terjadi sesuatu maka terdakwa akan bertanggung jawab karena mendengar ancaman dan bujukan terdakwa tersebut akhirnya Sdri. ELSA mau melakukan persetubuhan, setelah itu terdakwa memeluk, menciumi dan meraba-raba payudarah Sdri.ELSA setelah itu terdalwa melepaskan celana jean’s dan celana dalam yang digunakan Sdri.ELSA sampai terlepas setelah itu dalam keadaan Sdri.ELSA tertidur sedangkan
65
terdakwa berada di posisi atas kemudian terdakwa memasukan kemaluan terdakwa yang sudah mengeras kedalam kemaluan Sdri. ELSA tetapi susah masuk, kemudian berhenti sejenak, selang kurang lebih 1 (satu) jam kemudian terdakwa mencoba lagi memasukan kemaluannya kedalam kemaluan Sdri. ELSA dan akhirnya masuk dan oleh terdakwa dilakukan berulang-ulang akan tetapi tidak sampai mengeluarkan sperma karena sakit Sdri ELSA meminta berhenti dengan mengatakan “geus ah nyeri” (udah ah sakit) sambil menendang terdakwa. Bahwa pada tanggal 02 Oktober 2012 sekitar jam 13.00 WIB ketika Sdri. ELSA berada dirumah temennya Sdri.DINI yaitu Sdr. LUTFI, terdakwa menjemput Sdri.ELSA dan mengajaknya kerumah terdakwa yang berada di Cikiara Dang Saluyu Kota Tasikmalaya, kemudian setelah sampai di rumah terdakwa, Sdri.ELSA diajak terdakwa kedalam kamarnya, kemudian didalam kamar sambil mendengarkan music terdakwa dan Sdri.ELSA mengobrol, sekitar jam 13.30 WIB ketika Sdri.ELSA sedang tiduran dikasur bersama terdakwa kemudian terdakwa berkata “deui yu juga kamari” (lagi yu seperti kemarin), kemudian Sdri.ELSA menjawab (nanaonan kikituan” (apa-apaan kaya gitu) kemudian terdakwa membujuk Sdri.ELSA dengan perkataan “kamu ih meni gitu banger da aya nanaon mah keg e abdi tanggung jawab (kamu gitu banget nanti kalau ada apa pasti saya tanggung jawab) mendengar perkataan tersebut Sdri.ELSA akhirnya mengikuti kemauan terdakwa menciumi bibir Sdri.ELSA sedangkan tangan kanan terdakwa membuka
66
celana dan celana dalam Sdri.ELSA kemudian langsung meninding tubuh Sdri.ELSA dan membukakan kedua belah paha Sdri.ELSA lalau memasukan batang kemaluan yang sudah menegang kedalam lubang kamaluan Sdri. ELSA dan memasuk keluarkan batang kemaluannya hingga sekitar 5 (lima) menit kemudian Terdakwa mengeluarkan cairan sperma dibagian luar kemaluan Sdri. ELSA. 2. Dakwaan Penuntut Umum PRIMER Perbuatan terdakwa sebagai mana diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. SUBSIDER Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 82 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 3. Tuntutan Penuntut Umum 1. Menyatakan terdakwa DANI MULYANA Bin MASTUR bersalah melakukan tindak pidana “persetubuhan dengan anak dibawah umur” sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, seperti dalam surat Dakwaan Primair Jaksa Penuntut Umum
67
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan dengan perintah Terdakwa tetap ditahan. 3. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah). 4. Putusan Pengadilan 1. Menyatakan Terdakwa DANI MULYANA Bin MANtur telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana
“DENGAN
KEKERASAN
MEMAKSA
ANAK
MELAKUKAN PERSETUBUHAN DENGANNYA”. 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa DANI MULYANA Bin MASTUR oleh karena itu dengan pidana penjara selama : 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) apabila denda tidak dibayar diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan. 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 4. Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan. 5. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah)
68
B. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian terhadap perkara Pembuktian Tindak Pidana Dengan Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No :
473 /
Pid.Sus/2012/Pn.Tsm). Maka dapat dilakukan suatu analisis sebagai berikut : 1.
Pembuktian Tindak Pidana Dengan Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 473 / Pid.Sus/2012/Pn.Tsm). Pembuktian adalah hal yang sangat penting dalam hukum acara pidana sebab apabila terjadi kesalahan dalam proses pembuktian maka putusan akan jauh dari kebenaran dan keadilan dalam menegakan hukum. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan sentral
dalam
proses
pemeriksaan
sidang
pengadilan.
Dengan
pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia akan di pidana atau tidak. Sedangkan pengertian pembuktian menurut M. Yahya Harahap adalah46 : “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-Undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.”
46
M. Yahya Harahap, 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I, Penerbit Pustaka Kartini, halaman 14
69
Lebih lanjut pengertian Hukum Pembuktian menurut Bambang Poernomo adalah sebagai berikut:47 ”Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan Undang-Undang mengenai kegiatan untuk rekontruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dala perkara pidana.” Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari Het Strafbare Feit. Selain diterjemahkan sebagai tindak pidana, Het Strafbare Feit dalam bahasa Indonesia juga diterjemahkan sebagai “perbuatan yang dapat atau boleh dihukum; peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana”, sedangkan perumusan tindak pidana menurut para ahli hukum antara lain: a. Moeljatno : “Tindak pidana sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.” b. R. Tresna : “Peristiwa pidana ialah suatu perbuatan atau rangakaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.” c. Wirjono Prodjodikoro : “Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.”48
47
opcit, hal. 6 Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta,http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hukum/206711050/bab2.pdf, diakses pada tanggal 5 Juni 2013. 48
70
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Subjek; 2. Kesalahan; 3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan); 4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana; 5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).49
Tindak pidana perkosaan diatur dalam Pasal 285 KUHP, BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Pasal 285 KUHP sifatnya adalah Pasal pokok untuk kasus perkosaan. Rumusan dari Pasal 285 KUHP adalah sebagai berikut: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Menurut Wirjono, kata perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya (Belanda), yakni Verkrachting tidaklah tepat karena istilah perkosaan tidak menggambarkan secara tepat tentang perkosaan menurut arti yang sempit sebenarnya, dari kualifikasi Verkrachting, yakni perkosaan untuk bersetubuh oleh karena itu menurut beliau kualifikasi yang tepat untuk Pasal 285 KUHP ini adalah perkosaan untuk bersetubuh.50 Pengertian anak menurut Pasal 1 Undang-Undang No.23 Tahun 2002. yaitu : 48
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 211. 50 Adam Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Jakarta, Raja Grafindo, 2005, hlm. 62-63.
71
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Selanjutnya pengertian anak menurut Pasal 1angka 1 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2002, yaitu : Anak adalah seseorang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah. Pemerkosaan dalam kamus hukum adalah memperkosa, perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia. Pemerkosaan terhadap anak biasanya dilakukan dimana pelakur memaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan mengancam dan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Tetapi perlu ditekankan pemerkosaan terhadap anak bukan hanya karena ada unsur pemaksaan tetapi dapat juga karena adanya unsur suka sama suka. Kejahatan yang dimaksudkan diatas adalah dirumuskan dalam Pasal 287 KUHP yang selengkapnya sebagai berikut: d.
e.
Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa Ia belum waktunya untuk kawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Penuntutan hanya dilakukan atas pangaduan, kecuali jika perempuan itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294.
Hukum acara pidana merupakan suatu sistem dan hukum pembuktian adalah bagian dari sitem tersebut.Sistem berasal dari istilah
72
sistem yang berarti seseuatu yang terorganisir, suatu keseluruhan kompleks.51 Berkaitan dengan sistem pembuktian yang dipakai di Indonesia, menurut Riduan Syahrani :52 Pembuktian tersebut mengandung maksud untuk mencari dan menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.Sistem pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian negative (negative wettelijk stelsel) yang merupakan gabungan dari sistem bebas dengan sistem positif (Pasal 183 KUHAP). Dalam sistem negative hakim hanyalah boleh menghukum terdakwa , kalau berdasarkan bukti-bukti yang sah menurut hukum ia mempunyai keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Pembuktian Tindak Pidana Dengan Kekerasan Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Anak (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No : 473 / Pid.Sus/2012/Pn.Tsm). menganut sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negative (negative wettelijk) dalam sistem ini Undang-Undang menetapkan alat-alat bukti yang mana dapat
dipakai
oleh
hakim,
cara
bagaimana
hakim
dapat
mempergunakannya dan kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti itu,sedemikian rupa, bahwa kalau alat-alat bukti itu sudah dipakai secara yang ditentukan oleh Undang-Undang. Sistem pembuktian yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau teori
pembuktian
berdasarkan
Undang-Undang
Negatif
(negatief
wettelijke). Dalam Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut :
51 52
Maryani Enong, 1997. Antropologi. Grafindo Media Pratama; Bandung hal 45 Opcit hal 6
73
"Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus : a) Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; b) Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.53 Kedua atau lebih alat bukti yang sah itu, harus mampu untuk membangkitkan keyakinan hakim. Dalam perkara putusan Nomor 473/Pid.sus/2012/PN.Tsm dengan terdakwa Dani Mulyana bin Mastur alat bukti yang diajukan di depan pengadilan oleh penyidik hanya berupa : a. Keterangan saksi yaitu Sandra Dewi binti Subekti Rusli, Elsa Elsiana binti Dadan Herdiana, Monalisa Permata Dewi binti Jose Amando, Dini Anggraeni binti Jumadi. b. Surat yaitu hasil penelitian kemasyarakatan (LITMAS) dari balai pemasyarakatan kelas II Garut tertanggal 23 Oktober 2012 dengan nomor register :109/LIT/PN/X/2012 dan Visum et repertum atas nama Elsa Gustiana binti Dadan Herdiana dari rumah sakit umum Tasikmalaya dengan nomor : 353/39/VER/RSUD/X/2012 tertanggal 8
53
opcit.Hal.55.
74
Oktober 2012 yang di tanda tangani oleh dr.H.Triono Edy Mulianto,Sp.OG selaku dokter yang memeriksa. c. Keterangan terdakwa yakni saudara Dani Mulyana bin Mastur yang telah mengakui perbuatan nya. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa terdakwa dalam putusan pengadilan nomor 473 / Pid.Sus/2012/Pn.Tsm bernama DANI MULYANI bin MASTUR yang berumur 15 tahun dengan alat bukti yang diajukan di depan pengadilan oleh penyidik hanya berupa : 4.
Keterangan saksi yaitu Sandra Dewi binti Subekti Rusli, Elsa Elsiana binti Dadan Herdiana, Monalisa Permata Dewi binti Jose Amando, Dini Anggraeni binti Jumadi.
5.
Surat yaitu hasil penelitian kemasyarakatan (LITMAS) dari balai pemasyarakatan kelas II Garut tertanggal 23 Oktober 2012 dengan nomor register :109/LIT/PN/X/2012 dan Visum et repertum atas nama Elsa Gustiana binti Dadan Herdiana dari rumah sakit umum Tasikmalaya dengan nomor : 353/39/VER/RSUD/X/2012 tertanggal 8 Oktober 2012 yang di tanda tangani oleh dr.H.Triono Edy Mulianto,Sp.OG selaku dokter yang memeriksa.
6.
Keterangan terdakwa yakni saudara Dani Mulyana bin Mastur yang telah mengakui perbuatan nya. . Batas usia anak dalam pengertian hukum pidana dirumuskan
secara jelas dalam ketentuan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang
75
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak pada Pasal 1 ayat 3 yang berisi : Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Tedakwa Dani Mulyana dalam hal ini termasuk dalam kategori anak nakal.Oleh karena itu tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa diselesaikan melalui pengadilan anak karena umur tedakwa belum mencapai 18 tahun. Hakim telah memeriksa beberapa alat bukti yaitu : keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa dan syarat-syarat dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 184 KUHAP telah terpenuhi, maka untuk dapat melihat apakah tindak pidana pemerkosaan tersebut benar-benar terjadi harus melihat unsur-unsur dalam tindak pidana tersebut. Oleh karena dakwaan Penuntut Umum disusun secara alternative, maka hakim akan mempertimbangkan dakwaan yang relevan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, yaitu dakwaan kedua melanggar perbuatan sebagaimana Pasal 285 KUHP dengan unsur-unsurnya sebagai berikut. 1.
Setiap Orang
2.
Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
3.
Memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya.
Ad.1. Unsur “Setiap Orang”
76
Unsur ini adalah menunjuk pada subjek hukum atau pelaku timndak pidana, yang mana dalam hukum pidana kita menganut asas bahwa yang bersalah atau dapat dipersalahkan untuk suatu kasus pidana adalah orang atau manusia. Selama persidangan telah dihadapkan Terdakwa bersama Dani Mulyana Bin Mastur, yang identitasnya telah dibacakan diawal persidangan dan dibenarkan oleh Terdakwa, dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta dapat menjawab dengan baik dan tegas semua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Sersidangan Terdakwa, diperlihatkan barang bukti serta adanya petunjuk yang mengarah pada Terdakwa yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana serta dapat diminta pertanggung-jawabkan kepadanya. Dengan demikian Majelis berpendapat bahwa Unsur “Setiap Orang” telah terpenuhi secara sah menurut hukum.
Ad. 2. Unsur “Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan” Sengaja adalah niat pelaku kejahatan sudah ada dalam batin pelaku sebelum dilakukan perbuatan memang disadari dan disamakan dengan kekerasan dalam Pasal 89 KUHP adalah membuat orang pingsan atau tidak berdaya.
77
Kata sengaja menurut kamus besar bahasa indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka memberi penghertian sengaja adalah “dimaksud (direncanakan), memang diniatka begitu, tidak secara kebetulan:. Menimbang, bahwa yang perlu terlebih dahulu diketahui adalah bahwa aUndang-Undang sendiri tidak memberikan definisi atau trimnologi dari unsur sengaja. Kata sengaja adlah sikap batin dalam arti yang lebih mengetahuinya adalah sipelaku sendiri, pihak lain hanya dapat menyimpulkan bahwa empirik dari perbuatan sipelaku itu sendiri. Teori pidana tentang sengaja tidak lagi memberikan definisi secara gramatikal sebagaimana telah diuaraikan di atas akan tetapi telah berkembang sehingga sengaja dapat berupa : 1. Menghendaki 2. Kesengajaan dengan kesadaran akan keniscayaan akibat. 3. Kesengajaan denga kesadaran akan besarnya kemungkinan 4. Kesengajaan bersyarat. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan yaitu dari keterangan saksi-saksi serta keterangan Terdakwa terungkap : 1. Terdakwa menawarkan untuk menginap di Hotel Tasik di Jl. Komalasari di Kota Tasikmalaya setelah itu Terdakwa memesan 1 (satu) buah kamar di Hotel Tasik dan mengobrol di dalam kamar, di sela-sela sedang mengobrol Sdr. FANI menelepon Sdri. DINI untuk
78
meminta uang dan menyuruh Sdri DINI datang ke Hotel Tasik, selang waktu 1 (satu) jam datang Sdri. DINI dengan ditemani temannya yang mengantar, setelah itu teman yang mengantar DINI pulang, kemudian terdakwa, Sdr GILANG. Sdri. ELSA. Sdri. DINI. Dan Sdri. FANI melanjutkan mengobrol, sekitar jam 22.00 WIB Sdr. FANI dan Sdr. GILANG pergi untuk menonton acara dangdutan di Cihideung Balong, sehinggga yang berda di Hotel tersebut hanya Terdakwa, Sdri. ELSA dan Sdri. DINI, sekitar jam 23.00 WIB Sdri. DINI menunjuk obat kapsul bermerk super joss yang tergeletak di kamar sambil bertanya “obat naon eta” (obat apa itu) kemudian Terdakwa menjawab (sok weh hayang mah inum eta ti si GILANG” (silahkan saja minum itu dari Sdr. GILANG) dengan alasan pusing Sdri. DINI meminumnya dan terdakwa pun menyuruh Sdri. ELSA untuk meminumnya dengan alasan supaya kuat, sepuluh menit kemudian Sdri. ELSA merasa pusing dan lemas kemudian Sdri. ELSA yang lahir pada tanggal 10 Juni 1999 atau masih berumur 13 (tigabelas) tiduran ditengah kasur di sebelah kiri Sdri. DINI yang tertidur dengan kepalanya ditutupi selimut sedangkan Terdakwa berda di sebelah kanan yang kemudian mendekati Sdri. ELSA dan mengajak untuk bersetubuh dengan mengancam kalau Sdri. ELSA tidak mau maka terdakwa akan meninggalkan Sdri. ELSA di Hotel Tasik sendirian dan mengatakan bahwa terdakwa sayang dan cinta kepada Sdri. ELSA dan berjanji kalau terjadi sesuatu maka terdakwa akan bertanggung jawab karena
79
mendengar ancaman dan bujukan terdakwa tersebut akhirnya Sdri. ELSA mau melakukan persetubuhan, setelah itu terdakwa memeluk, menciumi dan meraba-raba payudarah Sdri. ELSA setelah itu terdalwa melepaskan celana jean’s dan celana dalam yang digunakan Sdri. ELSA sampai terlepas setelah itu dalam keadaan Sdri. ELSA tertidur sedangkan terdakwa berada di posisi atas kemudian terdakwa memasukan kemaluan terdakwa yang sudah mengeras kedalam kemaluan Sdri. ELSA tetapi susah masuk, kemudian berhenti sejenak, selang kurang lebih 1 (satu) jam kemudian terdakwa mencoba lagi memasukan kemaluannya kedalam kemaluan Sdri. ELSA dan akhirnya masuk dan dikeluar masukan oleh terdakwa berulang-ulang akan tetapi tidak sampai mengeluarkan sperma karena sakit Sdri ELSA meminta berhenti dengan mengatakan “geus ah nyeri” (udah ah sakit) sambil menendang terdakwa. Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas perbuatan mana menurut Hakim dilakukan oleh Terdakwa secara sadar dan diinsafi atau dengan kata lain perbuatan Terdakwa tersebut memang di kehendaki oleh terdakwa sehingga Hakim berkesimpulan unsur pertama “dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan” telah terpenuhi secara hukum. Ad.3. Unsur “Memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya” Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapanbelas) tahun,l termasuk anak yang masih dalam kandungan dan persetubuhan adalah
80
peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk menjalankan anak , jadi anggota laki-laki harus masuk kedalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan yaitu : 2. Bahwa terdakwa menawarkan untuk menginap di Hotel Tasik di Jl. Komalasari di Kota Tasikmalaya setelah itu Terdakwa memesan 1 (satu) buah kamar di Hotel Tasik dan mengobrol di dalam kamar, di sela-sela sedang mengobrol Sdr. FANI menelepon Sdri. DINI untuk meminta uang dan menyuruh Sdri DINI datang ke Hotel Tasik, selang waktu 1 (satu) jam datang Sdri. DINI dengan ditemani temannya yang mengantar, setelah itu teman yang mengantar DINI pulang, kemudian terdakwa, Sdr GILANG. Sdri. ELSA. Sdri. DINI. Dan Sdri. FANI melanjutkan mengobrol, sekitar jam 22.00 WIB Sdr. FANI dan Sdr. GILANG pergi untuk menonton acara dangdutan di Cihideung Balong, sehinggga yang berda di Hotel tersebut hanya Terdakwa, Sdri. ELSA dan Sdri. DINI, sekitar jam 23.00 WIB Sdri. DINI menunjuk obat kapsul bermerk super joss yang tergeletak di kamar sambil bertanya “obat naon eta” (obat apa itu) kemudian Terdakwa menjawab (sok weh hayang mah inum eta ti si GILANG” (silahkan saja minum itu dari Sdr. GILANG) dengan alasan pusing Sdri. DINI meminumnya dan terdakwa pun menyuruh Sdri. ELSA untuk meminumnya dengan alasan supaya kuat, sepuluh menit kemudian Sdri. ELSA merasa pusing dan lemas kemudian Sdri. ELSA yang lahir pada tanggal 10
81
Juni 1999 atau masih berumur 13 (tigabelas) tiduran ditengah kasur di sebelah kiri Sdri. DINI yang tertidur dengan kepalanya ditutupi selimut sedangkan Terdakwa berda di sebelah kanan yang kemudian mendekati Sdri. ELSA dan mengajak untuk bersetubuh dengan mengancam kalau Sdri. ELSA tidak mau maka terdakwa akan meninggalkan Sdri. ELSA di Hotel Tasik sendirian dan mengatakan bahwa terdakwa sayang dan cinta kepada Sdri. ELSA dan berjanji kalau terjadi sesuatu maka terdakwa akan bertanggung jawab karena mendengar ancaman dan bujukan terdakwa tersebut akhirnya Sdri. ELSA mau melakukan persetubuhan, setelah itu terdakwa memeluk, menciumi dan meraba-raba payudarah Sdri. ELSA setelah itu terdalwa melepaskan celana jean’s dan celana dalam yang digunakan Sdri. ELSA sampai terlepas setelah itu dalam keadaan Sdri. ELSA tertidur sedangkan terdakwa berada di posisi atas kemudian terdakwa memasukan kemaluan terdakwa yang sudah mengeras kedalam kemaluan Sdri. ELSA tetapi susah masuk, kemudian berhenti sejenak, selang kurang lebih 1 (satu) jam kemudian terdakwa mencoba lagi memasukan kemaluannya kedalam kemaluan Sdri. ELSA dan akhirnya masuk dan dikeluar masukan oleh terdakwa berulang-ulang akan tetapi tidak sampai mengeluarkan sperma karena sakit Sdri ELSA meminta berhenti dengan mengatakan “geus ah nyeri” (udah ah sakit) sambil menendang terdakwa.
82
3. Terdakwa kedalam kamarnya, kemudian didalam kamar sambil mendengarkan music terdakwa dan Sdri. ELSA mengobrol, sekitar jam 13.30 WIB ketika Sdri. ELSA sedang tiduran dikasur bersama terdakwa kemudian terdakwa berkata “deui yu juga kamari” (lagi yu seperti kemarin), kemudian Sdri. ELSA menjawab (nanaonan kikituan” (apa-apaan kaya gitu) kemudian terdakwa membujuk Sdri. ELSA dengan perkataan “kamu ih meni gitu banger da aya nanaon mah ke ge abdi tanggung jawab (kamu gitu banget nanti kalau ada apa pasti saya tanggung jawab) mendengar perkataan tersebut Sdri. ELSA akhirnya mengikuti kemauan terdakwa menciumi bibir Sdri. ELSA sedangkan tangan kanan terdakwa membuka celana dan celana dalam Sdri. ELSA kemudian langsung meninding tubuh Sdri. ELSA dan membukakan kedua belah paha Sdri. ELSA lalau memasukan batang kemaluan yang sudah menegang kedalam lubang kamaluan Sdri. ELSA dan memasuk keluarkan batang kemaluannya hingga sekitar 5 (lima) menit kemudian Terdakwa mengeluarkan cairan sperma dibagian luar kemaluan Sdri. ELSA. Sesuai fakta-fakta tersebut di atas, Hakim berkesimpulan unsur ketiga “memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya” telah terpenuhi secara hukum. Semua unsur yang terkandung dalam Dakwaan Primer Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah terpenuhi atau terbukti dan hakim dengan memeriksa beberapaalat
83
bukti yakni : keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, maka Hakim berkesimpulan bahwa Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tersebut sehingga oleh karenanya Terdakwa harus dinyatakan bersalah tentang perbuatan yang telah terbukti itu dan karenanya harus dijatuhi pidana. 2.
Hambatan dalam pelaksanaan pembuktian Tindak Pidana Dengan Kekerasan
Memaksa
Dilakukan
Oleh
Anak
Anak
Melakukan Persetubuhan
dalam
Putusan
Nomor:
Yang 473
/
Pid.Sus/2012/Pn.Tsm Mengingat kedudukan anak sebagai sumber daya manusia bagi bangsa, ciri dan sifat anak yang khas, serta faktor-faktor penyebab anak melakukan tindak pidana, maka perlindungan hukum yang bersifat khusus terhadap anak pelaku tindak pidana.Artinya, harus ada perbedaan perlakuan antara anak sebagai pelaku tindak pidana dengan orang dewasa yang juga sebagai pelaku tindak pidana. Pembedaan perlakuan antara pelaku tindak pidana anak dengan pelaku tindak pidana orang dewasa sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana dimaksudakan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak tersebut agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang. Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudakan untuk memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh
jati
dirinya
untuk
menjadi
manusia
yang
mandiri,
84
bertanggungjawab, dan berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa batas usia pertanggungjwaban pidana anak diatur pada Pasal 4 ayat (1) : Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan menurut Pasal 4 ayat (2) dinyatakan : Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai 21 tahun tetap diajukan ke siding anak. Orang yang melakukan tindak pidana akan dikenakan sanski berupa pidana dan pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa yang dibebankan kepada orang yang melakukan suatu perbuatan tertentu.Pemidanaan terdapat tujuan yang hendak dicapai yang bersifat individual (dimensi individu) dan sifat social (dimensi social).Dimensi individu yang hendak diwujudkan dalam tujuan pemidanaan, yaitu, individual deterrence; reform of offenders; retribution.Sedagkan dimensi social tujuan pemidanaan mencakup general prevention; protection society; justice; reparation. Anak sebagai pelaku atau anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka , didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum, dan memerlukan perlindungan. Berdasarkan pada hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor:
85
473/2012/PN.Tsm, terdakwa Danni Mulyana bin Mastur telah terbukti melakukan perbuatan cabul sesuai dengan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 290 ke-2 KUHP. Untuk menjatuhkan pidana terhadap anak nakal yang telah terbukti melakukan tindak pidana harus memperhatikan Pasal 22, 23 dan 24 Undang-Undang Nomor 3 1997 tentang Pengadilan Anak adalah sebagai berikut : Pasal 22 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan “Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini”. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan : i. ii.
Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan tambahan Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah: a.
Pidana penjara ;
b.
Pidana kurungan;
c.
Pidana denda; atau
d.
Pidana pengawasan.
(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barangbarang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. (4) ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan : (1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah :
86
a. Mengembalikan kepada orangtua, wali, atau orang tua asuh; b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja (2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur menenai penjatuhan pidana yang dapat dikenakan terhadap anak kecil. Terdapat 2 (dua) macam penjatuhan pidana yaitu Pidana pokok atau tindakan, sedangkan di dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tindakan yang dapat dijatuhkan terhadap anak nakal adalah mengembalikan kepada orangtua, wali atau pembinaan, dan latihan kerja, atau menyerahkan ke Departemen Sosial, atau Organisasi Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Sehingga berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, terdakwa Dani Mulyana bin Mastur dapat dijatuhkan pidana pokok. Pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan : iii.
(2)
Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dikmaksud dalam Pasal 23 atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Terhadap Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf b, Hakim menjatuhkan Tindakan sebagaimana dimkasud dalam Pasal 24.
87
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengadian Anak mengatur mengenai hakim yang menjatuhkan pidana pokok atau tambahan kepada anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan prbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perUndang-Undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tehadap terdakwa dapat dijatuhkan pidana atau tindakan dan selanjutnya hakim akan mempertimbangkan apakah akan memberikan penjatuhan pidana atau tindakan terhadap terdakwa. Dalam menentukan penjatuhan pidana atau tindakan terhadap terdakwa, hakim harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1.
Berat ringannya pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak;
2.
Keadaan anak;
3.
Keadaan rumah tangga orangtua, wali atau orangtua asuh;
4.
Hubngan antara anggota keluarga dan keadaan lingkungan;
5.
Memperhatikan laporan Pembimbing kemasyarakatan (vide Penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak);
6.
Hakim harus memperhatikan hal-hal yang terbaik untuk masa depan terdakwa sendiri. Penentuan kebijakan pemidanaan terhadap terdakwa anak dalam hal
penjatuhan pidana ataukah tindakan, selain ditentukan berdasarkan kepada
88
ketentuan normative, hakim tetap harus berpedoman dari fakta-fakta hukum yang di peroleh di persidangan. Berdasarkan pada hasil penelitian dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor: 16/Pid. Sus/2011/PN. Pwt., dalam perkara a quo terdakwa didakwa dengan dakwaan yang disusun secara alternatife, sedangkan dakwaan yang terbukti adalah dakwaan Kedua yaitu melanggar ketentuan pada Pasal 290 ke-2 KUHP yang diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun, dan apabila Pasal 290 ke-2 KUHP dihubungkan dengan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal/terdakwa adalah
1/
2
(satu per dua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, dan pidana penjara atas terdakwa yaitu maksimal selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan. Berdasarkan fakta-fakta hukum, terdakwa ini berusia 15 tahun, perbuatan terdakwa tergolong seorang peminum, terdakwa tidak patuh atas perintah orangtua dan perbuatan terdakwa telah menimbulkan terauma yang berkepanjangan bagi korban/saksi Elsa Estiana yang tidak dapat dipulihkan seperti sediakala. Tindak pidana sebagaimana Pasal 290 ke-2 KUHP tergolong ancamannya tinggi, yaitu selama 7 (tujuh) tahun, dan perbuatan terdakwa tergolong perbuatan yang dibenci/dihujat masyarakat dan akan menimbulkan ketakutan bagi para orangtua yang mempunyai anak gadis/perempuan.
89
Berdasarkan ketentuan Pasal 290 ke-2 KUHP, maka terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi
hukuman sesuai dengan perbuatannya.
Karena menurut ilmu hukum/hukum penitentier, pemidanaan itu bukan ditujukan pada upaya balas dendam semata, akan tetapi lebih ditujukan dalam upaya perbaikan diri terdakwa agar kelak di kemudian hari tidak melakukan perbuatan pidana kembali, serta sebagai upaya preventif agar masyarakat tidak melakukan perbuatan yang dapat dihukum. Hal-hal yang memberatkan 1.
Perbuatan terdakwa menyebabkan korban trauma psikologis.
2.
Perbuatan terdakwa menghancurkan masa depan korban
3.
Perbuatan terdakwa bukan mencerminkan tindakan seorang anak.
4.
Korban anak yatim piatu.
Hal-hal yang meringankan 1. Terdakwa mengaku terus terang serta menyesali perbuatannya. 2. Terdakwa bersikap sopan selama pemeriksaan dipersidangan 3. Terdakwa belum pernah di Hukum 4. Keluarga terdakwa sudah meminta maaf ke keluarga korban.
Hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor: 473/Pid. Sus/2012/PN.Tsm., dengan memperhatikan UndangUndang dan peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku, maka Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) apabila denda tidak dibayar diganti
90
dengan kurungan selama 1 (satu) bulan. atas diri terdakwa atas perkara tindak pidana dengan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan. Diputuskan pada hari Kamis tanggal 13 Desember 2012 oleh : ACHMAD HANANTO, SH. M.Hum, sebagai Hakim Tunggal, putusan mana pada hari itu juga diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Hakim tersebut, dibantu oleh AJANG SAEPUDIN PaniteraPengganti dengan dihadiri oleh H.EMAN SUNGKAWA, SH.MH Jaksa Penuntut Umum, terdakwa dan Penasehat Hukum terdakwa serta orang tuanya.
91
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor: 473/Pid.Sus/2012/PN.Tsm. maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Pembuktian tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak berdasarkan keterangan saksi-saksi yang saling bersesuaian dengan keterangan terdakwa dan dihubungkan dengan alat bukti suratvisum et repertumserta barang bukti yang diajukan di persidangan, maka syarat pembuktian sebagaimana datur dalam Pasal 183 KUHP yaitu minimum adanya dua alat bukti yang sah dan adanya keyakinan hakim
bahwa
persetubuhan
terdakwa dengan
bersalah
memeriksa
melakukan beberapa
tindak
alat
bukti
pidana yaitu
keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa, serta unsur-unsur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 telah terpenuhi, sehingga hasil Putusan menyatakan bahwa terdakwa Dani Mulyana bin Mastur terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana telah didakwakan oleh Penuntut Umum, yakni tindak pidana memaksa anak melakukan persetubuhan sesuai Pasal 81 Undang-Undang nomor 23 tahun 2002. 2.
Hambatan-hambatan yang terjadi dalam pembuktian perkara no 473/PID.SUS/2012/PN.TSM adalah kesaksian terdakwa saat di
92
persidangan, adanya perasaan takut yang kemudian membuat terdakwa tidak leluasa mengatakan kejadian yang sebenarnya. Keyakinan hakim terhadap alasan terdakwa melakukan tindak pidana perkosaan yaitu terdakwa dengan sengaja melakukan tindak pidana perkosaan serta terdakwa menghendaki dan mengetahui akibat dari perbuatan itu akan tetapi terdakwa tidak mengetahui perbuatan yang dilakukanya
itu
adalah
perbuatan
yang
melanggar
hukum
dikarenakan adanya kesempatan yang ditimbulkan oleh korban. Serta jumlah Sumber Daya Manusia (Hakim Anak) di Pengadilan Negeri Tasikmalaya yang terbatas, mengakibatkan dalam menangani dan memutus perkara dengan Terdakwa anak menjadi lebih sulit. B. Saran Banyaknya kasus anak yang diputus pidana penjara saat ini, menandakan hakim belum dapat mengefektikan sanksi tindakan terhadap anak. Penegak hukum peradilan pidana anak saat ini masih dominan pada penekanan aspek yuridis (aspek melihat pertimbangan peraturan saja), sehingga aspek kepentingan perlindungan anak cenderung di abaikan. Oleh karena itu putusan pidana penjara atau kurungan bagi anak nakal selalu saja terjadi. maka perlu ada perubahan tentang cara-cara memandang bagi penegak hukum ketika ia mengadili atau menyelesaikan konflik di dalam perkara anak nakal. Terdakwa seharusnya tidak perlu dijatuhkan pidana penjara tetapi berupa tindakan seperti rehabilitasi, karena terdakwa masih tergolong anak-anak yang di khawatirkan apabila dijatuhkan pidana penjara akan mempengaruhi mental terdakwa.
93
DAFTAR PUSTAKA
Gosita, Arief. 2005. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CVAkademika Pressindo. Hamzah, Andi. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. _______,1996. Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika. _______,2001. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta: Sinar Grafika. Ibrahim, Jhonny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Normatif.Malang: Cetakan Ketiga. Bayumedia Publishing.
Hukum
Lamintang, 1984.Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Armico. Marpaung, Laden, 1994. Pemberantasan PidanaEkonomi.Jakarta: Sinar Grafika.
dan
Pencegahan
Tindak
Moeljatno, 1985.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Muhammad, Rusli, 2006. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Jakarta: PTRaja Grafindo Persada. Muladi
dan Barda Nawawi Arief. Pidana.Bandung: PT Alumni.
1984.
Teori-Teori
dan
Kebijakan
Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik danPermasalahannya. Bandung: Alumni. Prinst, Darwan. 2003. Hukum Anak Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Prodjodikoro, Wirjono. Bandung:Eresco.
1986.
Tindak
Pidana
Prodjohamidjojo, Martiman. 1996. Memahami PidanaIndonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Tertentu
di
Dasar-Dasar
_______, 1983. Putusan Pengadilan. Jakarta: Ghalian Indonesia.
Indonesia.
Hukum
94
Salam, Faisal .Moch. 2005. Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia. Bandung:Mandar Maju. Saleh, Roeslan. 1962. Stelsel Pidana Indonesia. Yogyakarta: Yayasan BadanPenerbit Gajahmada. Sholehuddin.M, 2003.Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Sudarto.1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinarbaru. Sudrajat, Bassar, 1986. Hukum Pidana (Pelengkap KUHP). Bandung: CVArmico. Soekanto, Soerjono. 1981. Pengantar CetakanPertama,UII Press.
Penelitian
Sugandhi, R. 1980. Kitab Undang-Undang Penjelasannya.Surabaya: Usaha Nasional.
Hukum
Hukum.
Jakarta:
Pidana
dengan
Waluyo, Bambang. 2002. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.
B. Peraturan Perundangan: Indonesia,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab UndangUndangHukum Pidana (KUHP). ________,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndangHukum Acara Pidana (KUHAP). ________,Undang-Undang Republik TentangPengadilan Anak.
Indonesia
Nomor
3
Tahun
1997
________,Undang-Undang Republik TentangPerlindungan Anak.
Indonesia
Nomor
23
Tahun
2002
C. Sumber lain: Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor: 473 / Pid.Sus/2012/Pn.Tsm.