Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
ANALISIS WATER BUDGET DAERAH ALIRAN SUNGAI SUKABUMI UNTUK KASUS KEKERINGAN PADA SEPTEMBER 2009
Haris Nuril Huda (12807013) ABSTRAK Analisis water budget merupakan faktor penting dalam mengatasi masalah kekeringan di suatu daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan penyebab terjadinya kekeringan di Sukabumi pada September 2009 dan untuk menunjukkan daerah surplus air yang dapat menyuplai air di daerah minus air agar tidak terjadi kekeringan. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini difokuskan pada penyebab kekeringan dan penentuan daerah surplus air di Sukabumi. Sumber data diperoleh dari BMKG, BPS, IAASA, dan CGIAR-CSI. Data-data tersebut dianalisis dengan metode perhitungan dan visualisasi grafis dengan MS. Excel, perhitungan neraca air dengan F.J Mock, dan visualiasi dengan GIS, Pada September 2009, tren curah hujan menurun dari tahun 2000 sampai dengan 2009. Kekeringan di Sukabumi disebabkan oleh kelembaban tanah yang tidak tercukupi di DAS 5. DAS yang mengalami kekeringan adalah DAS 5 (Ciletuh, Cikarang, Ciseureuh, dan Cikaso) Kata Kunci : bulan basah, DAS, surplus air, defisit, klimatologi, topografi, kelembaban tanah
1.
LATAR BELAKANG Pada September 2009, terdapat lebih kurang 280 hektar sawah dilanda kekeringan dan beberapa daerah di Sukabumi selatan dilanda permasalahan kurangnya ketersediaan air untuk penduduk lokal. Daerah yang menjadi rawan kekeringan yakni daerah bagian Kabupaten Sukabumi Selatan adalah di wilayah kecamatan Pajampangan, Jampang, Surade, Tegalbuleud, dan Cidolog. Kekeringan ini ditandai dengan tidak tercukupinya air untuk mengairi sawah penduduk dan tanah pertanian menjadi retakretak. Pada September hingga Desember 2009 juga diidentifikasi
sebagai El Nino berkekuatan sedang yang mengakibatkan masa kekeringan di Indonesia(BMKG, 2009). Pada bulan September 2009 memiliki curah hujan yang lebih rendah yaitu sebesar 121 mm dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu pada September 2008 sebesar 135 mm. Selain itu menurut Catatan Akhir Tahun Serikat Petani Indonesia Tahun 2009 kekeringan yang terjadi karena pembukaan lahan di sekitar DAS untuk daerah industri air minum kemasan dan pembukaan perkebunan kelapa sawit. Dua sumber air terbesar dari Aqua yang dimiliki Danone berasal dari Klaten dan Sukabumi.
Upaya untuk mencegah terjadinya kekurangan pasokan air minum adalah indentifikasi bentuk tutupan lahan dan topografi DAS di Sukabumi dan pemetaan terhadap DAS di daerah Sukabumi untuk mengetahui daerah resapan dan daerah yang memiliki koefisian limpasan yang besar.
2. 2 Faktor-Kaktor Kekeringan
2.
2. 3 Siklus Hidrologi
KAJIAN PUSTAKA
2. 1 Definisi Kekeringan Kekeringan merupakan periode ketika cuaca kering tidak normal berkepanjangan, sehingga terjadi kekurangan air yang mengakibatkan ketidakseimbangan hidrologi yang serius di area yang terpengaruh (Huscke, 1959). Sheila B Reed mengklasifikasikah kekeringan sebagai berikut. • Kekeringan meteorologis, berasal dari kurangnya curah hujan dan didasarkan pada tingkat kekeringan relatif terhadap tingkat kekeringan normal atau rata-rata dan lamanya periode kering. • Kekeringan hidrologis mencakup berkurangnya sumber-sumber air seperti sungai, air tanah, danau dan tempat-tempat cadangan air. • Kekeringan pertanian adalah dampak dari kekeringan meteorologi dan hidrologi terhadap produksi tanaman pangan dan ternak. • Kekeringan sosioekonomi berhubungan dengan ketersediaan dan permintaan akan barang-barang dan jasa dengan tiga jenis kekeringan yang disebutkan diatas.
Penyebab
Faktor-faktor penyebab kekeringan menurut Sheila B Reed (1995) adalah lapisan tanah yang tipis, air tanah dalam, tekstur tanah kasar, iklim, vegetasi, dan topografi.
Siklus hidrologi yang melibatkan limpasan dan aliran bawah tanah seperti ini sangat cocok dengan perhitungan neraca air yang dilakukan FJ. Mock(Febrianti, 2008). 2. 4 Surplus dan Defisit Air Perhitungan surplus atau defisit air memerlukan informasi tentang jenis tumbuhan, jenis tanah, jenis batuan, dan kelengasan tanah. Dari hal ini dapat diketahui debit total dari sungai(Wahyudi, 2007). Ketersediaan air dapat dihitung dengan metode FJ. Mock. Metode ini menghasilkan debit total sungai yang nantinya digunakan untuk pemanfaatan kebutuhan air domestik dan non-domestik(Ndoasa, 2007). 2. 5 Analisis Kebutuhan Air Kebutuhan air dari jenis konsumsinya(Ndoasa, 2007). 1. Kebutuhan Air Domestik Kebutuhan air yang difokuskan adalah kebutuhan air untuk kebutuhan domestik atau rumah tangga. 2. Kebutuhan Air Non Domestik Kebutuhan air yang difokuskan adalah kebutuhan air untuk daerah industri. Kebutuhan komersil lainnya dapat
dimasukkan seperti perkebunan dan pertanian.
lainnya untuk menentukan nilai ratarata tingkat curah(Ria, 2008).
2. 6 Perhitungan Neraca Air F.J Mock
2. 8 Sistem Informasi Geografis Untuk Visualisasi DAS
Perhitungan dengan menggunakan metode F.J Mock ini digunakan karena menjelaskan proses siklus hidrologi, mulai dari air hujan, air permukaan sampai air tanah(Febrianti, 2008).
Nelson, Smemoe, dan Zhao (1999) mengemukakan bahwa penggunaan GIS dan DEM untuk memodelkan DAS dapat digunakan untuk mendefinisikan batas drainase basin, membuat jaringan sungai, dan menghitung data drainase basin.
2. 7 Curah Penyebarannya
2. 9 Penggunaaan Standarized Precipitation Index untuk Analisis Kekeringan
Hujan
dan
Curah hujan pada pulau Jawa dikategorikan jenis monsun. Tandatandanya bahwa distribusi curah hujan bulanan berbentuk “V” dengan jumlah curah hujan minimum pada bulan Juni, Juli, atau Agustus. Saat monsun barat jumlah curah hujan melimpah sebaliknya saat monsun timur jumlah curah hujan sangat sedikit. Menurut Schmidt-Ferguson(1951) penentuan termudah untuk menentukan waktu terjadinya bulan basah atau kering adalah dari curah hujan bulanannya. Kategori bulan kering, bulan basah, dan bulan lembab adalah sebagai berikut: a. bulan kering : bulan dengan curah hujan bulanan < 60 mm b. bulan lembab : bulan dengan curah hujan bulanan 60 – 100 mm c. bulan basah : bulan dengan curah hujan bulanan > 100 mm Metode isohyet memiliki banyak kelebihan namun juga memiliki kelemahan. Kelebihan metode isohyet merupakan metode yang paling akurat di dibanding dengan dua metode
Standarized Precipitation Index(SPI) adalah suatu indeks untuk memantau kekeringan. Perhitungannya membutuhkan fitting awal dari distribusi probabilitas untuk akumulasi curah hujan bulanan pada skala waktu yang berbeda (Canceliar dan Bonaccorso, 2009). 3. DATA DAN METODOLOGI Data-data dalam penelitian ini terdiri atas data klimatologi, data satelit, data topografi, data jumlah industri dan penduduk. Data kemudian diolah dengan ArcGIS untuk data topografi, kemudian menggunakan Excel untuk pengolahan tren curah hujan. Setelah itu plot curah hujan wilayah dengan menggunakan metode isohyet beserta klasifikasi DAS menggunakan ArcGIS. Hasil dari plot ini kemudian digunakan untuk perhitungan total runoff dengan metode F.J. Mock. Setelah didapatkan total runoff masing-masing DAS dihitung water budget air dari total
volume air masing-masing DAS dikurangi dengan total kebutuhan air. Rumusnya kebutuhan air dapat dilihat di bawah ini. Kebutuhan air masyarakat = liter/jiwa/hari x jumlah penduduk x waktu…………………….….( 3.1) Kebutuhan air industri = liter/hari x jumlah industri………….( 3.2) Kebutuhan persawahan/perkebunan = luas sawah x konsumsi air tergantung jenis sawah(mm/bulan)…….…….(3.3) Debit sungai didapatkan dari perhitungan debit sintetis atau Total Runoff dari metode F.J Mock. Analisis daerah kekurangan pasokan air didapatkan dari rumus berikut. Surplus/Defisit Air = (Total Runoff x Luas Wilayah) – Kebutuhan Air Total Daerah…………………………….(3.4) Setelah didapatkan surplus/defisit air divisualisasikan menggunakan dengan meng-overlay layer surplus air secara wilayah DAS.
daerah maka ArcGIS daerah dengan
2. 3 Penyimpulan dan Verifikasi Data yang sudah dianalisis selanjutnya disimpulkan dan diverifikasi. Penyimpulan dilakukan secara parsial kemudian disimpulkan secara menyeluruh. Verifikasi dilakukan dengan mengecek akurasi data dari sumber data. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 4.1. Grafik curah hujan rata-rata bulanan Sukabumi tahun 2000-2009 (Sumber: Stasiun Cuaca BMKG Kota Sukabumi dan Pelabuhan Ratu)
Gambar 4.2. Grafik curah hujan bulanan bulan September tahun 2000 sampai 2009 (Sumber: Stasiun Cuaca BMKG Kota Sukabumi dan Kabupaten Sukabumi(Pelabuhan Ratu)) Berdasarkan gambar grafik 4.1 dan 4.2 di atas dapat dijelaskan bahwa selama tahun 2000 sampai dengan 2009 curah hujan rata-rata bulanan di Sukabumi mengalami tren penurunan. Pada gambar 4.1 dapat dilihat curah hujan rata-rata bulanan paling rendah terdapat pada tahun 2004 yaitu sebesar 174 mm. Hal ini terjadi karena pada tahun 2004 memiliki indeks Multivariate ENSO Index (MEI) sebesar 0.6035 yang memiliki El Nino menengah cenderung ke kuat dan Dipole Mode Index (DMI) sebesar 0.0621 yang berarti dipole mode kering. Sedangkan curah hujan tertinggi terdapat pada tahun 2005 yaitu sebesar 266 mm. Hal ini terjadi
karena tahun 2005 memiliki MEI sebesar -0.228 yang memiliki La Nina Menengah cenderung ke kuat dan DMI sebesar -0.1276 yang berarti dipole mode basah. Pada tahun 2009 di Indonesia terjadi fenomena dipole mode dengan indeks DMI sebesar 0.3828 dengan nilai indeks yang positif, sehingga mengakibatkan Indonesia bagian barat kurang terjadi hujan dan fenomena ElNino Southern Oscillation (ENSO) dengan indeks MEI sebesar 0.762. Dengan indeks sebesar itu, Indonesia mengalami fenomena El-Nino. Pada gambar 4.2 menunjukkan adanya tren penurunan curah hukan rata-rata bulan September. Penurunan ini ditandai dengan persamaan regresi linearnya y=-5.630x +159.8. Pada gambar 4.2 dapat dilihat bahwa curah hujan pada bulan September 2009 sebesar 121 mm sedangkan rata-rata curah hujan bulan September tahun 2000 sampai 2009 sebesar 129 mm. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan bulan September 2009 tidak memiliki selisih yang besar dengan rata-rata curah hujan bulan September di Sukabumi dari tahun 2000 sampai 2009. 1. Analisis Faktor Jumlah Penduduk Di Sukabumi
Gambar 4.3. Grafik jumlah penduduk di Sukabumi tahun 2000 sampai 2009
(Sumber: Badan Pusat Statistik) Berdasarkan gambar grafik 4.3 di atas, dapat dijelaskan bahwa pertambahan penduduk di Sukabumi pada tahun 2000 sampai 2009 meningkat. Pertambahan penduduk ini diprediksi terus meningkat setiap tahunnya. Faktor ini menjadi pendorong terjadinya kasus kekeringan di Sukabumi yang disebabkan tren curah hujan selain menurun pada tahun 2000 sampai 2009. 2. Analisis Faktor Industri Besar Di Sukabumi Tahun 2000 – 2009 Hasil analisis faktor industri besar di Sukabumi tahun 2000 – 2009 di atas dapat dilihat pada gambar grafik 4.4 di bawah ini.
Gambar 4.4. Grafik jumlah industri besar yang ada di Sukabumi tahun 2000 sampai 2009 (Sumber: Badan Pusat Statistik dan Ditjen KIMPRASWIL) Berdasarkan gambar grafik 4.4 di atas dapat dijelaskan bahwa jumlah perusahaan industri besar di Sukabumi dalam tahun 2000 sampai 2009 mengalami fluktuasi. Titik tertinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 282 perusahaan, sedangkan titik
terendah terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 49 perusahaan. Penyebab berkurangnya ketersediaan air akibat jumlah industri tidak lah benar. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada gambar 4.4. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2003 adalah puncak banyaknya industri besar di Sukabumi selama periode 2000-2009, namun jumlah konsumsi air justru lebih rendah dibanding tahun 2004, 2007, 2008, dan 2009. Hal ini disebabkan oleh jumlah industri besar pada tahun 2003 sedikit yang membutuhkan air untuk operasi hariannya. Pada tahun 2003 di Sukabumi lebih banyak memiliki industri besar berupa pengolahan kayu untuk peti kemas dan moulding bahan bangunan. Industri seperti ini tidak memerlukan banyak air untuk proses produksi. Industri besar yang membutuhkan konsumsi air dalam jumlah besar untuk proses produksinya seperti industri air minum, pembekuan ikan/biota laut, pembuatan kecap, dan tekstil. Industri yang demikian sangat berkembang pada tahun 2009. Kebutuhan air untuk industri di Sukabumi juga meningkat pada tahun 2009. Pada tahun 2009 konsumsi air untuk industri besar di Sukabumi sebesar 1.9075E+12 liter. Jumlah ini meningkat dari tahun 2008 yaitu 1.8513E+12 liter. Peningkatan ini disebabkan oleh bertambahnya industri air minum kemasan, pembekuan ikan/biota laut, dan tekstil. Tabel 4.1 Kebutuhan air industri berdasarkan jenis proses industri (Sumber : Pedoman Penentuan Kebutuhan Air Baku Rumah Tangga
Perkotaan dan Industri, Ditjen SDA Dep. KIMPRASWIL, Tahun 2003)
Tabel 4.2 Standar kebutuhan air rumah tangga (domestik) menurut jumlah penduduk dan jenis kota (Sumber : Pedoman Penentuan Kebutuhan Air Baku untuk Rumah Tangga Perkotaan dan Industri, Ditjen SDA Dep. KIMPRASWIL, Tahun 2003)
Tabel 4.1 dan 4.2 di atas dapat dijelaskan bahwa standar kebutuhan konsumsi air untuk rumah tangga dan industri. Standar ini berlaku untuk seluruh penduduk dan industri di Sukabumi. Nilai-nilai tabel di atas digunakan untuk perhitungan water budget pada pembahasan selanjutnya. Kekeringan juga dapat terjadi secara hidrologi. Salah satu faktor untuk mendeteksi ketersediaan hidrologi adalah soil moisture. Untuk analisis daerah hidrologi Sukabumi yang nantinya digunakan untuk mengetahui terjadinya kekeringan pada September 2009 dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.6. Sukabumi Gambar 4.5. lahan di Sukabumi
Peta tata guna
Tabel 4.3 Nilai Soil Moisture Capacity untuk berbagai tipe tanaman dan tipe tanah (Sumber: Sudirman (2002))
Jenis tanah di
Berdasarkan tata guna lahan, jenis tanah, tipe tanaman dan nilai Soil Moisture berdasarkan tabel 4.3 maka Sukabumi memiliki soil mouisture capacity sebesar 200 mm.
Gambar 4.8. Sukabumi
Peta Isoyet di
Dari data curah hujan di atas untuk tiap-tiap DAS kemudian digunakan untuk menemukan Soil Moisture Capacity(SMC)/kelembaban tanah. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi kapan tanah di tiap-tiap DAS di Sukabumi kekurangan air sehingga terjadi keretakan tanah. SMC dihitung dengan menggunakan metode F.J. Mock Dapat dilihat pada gambar 4.9 bahwa kekurangan kelembaban tanah dimulai pada bulan April yang memiliki SMC sebesar 175.6 mm kemudian nilai terendah terletak pada bulan Juli yaitu tanah hanya memiliki SMC sebesar 80.64 mm dan ditutup pada bulan Oktober yang memiliki SMC sebesar 189.78 mm. Dengan kurangnya kelembaban tanah di DAS 5 pada September 2009 maka dapat disimpulkan bahwa Sukabumi mengalami kekeringan hidrologis dan pertanian. Hal ini menyebabkan penurunan produksi pertanian karena pertumbuhan tanaman terhambat.
Gambar 4.9. Grafik Moisture Capacity di DAS 5
Soil
4. 2 Analisa Water Budget daerah Sukabumi September 2009 sehingga Dapat Dijadikan Suplai Air untuk Daerah-Daerah yang Kekeringan
Debit aliran sungai total atau Total Runoff di Sukabumi pada bulan September tahun 2009 kemudian dijadikan volume ketersediaan air sebelum dikurangi dengan kebutuhan penduduk. Selain konsumsi rumah tangga dan irigasi persawahan, konsumsi air di Sukabumi juga digunakan oleh sektor industri. Tabel 4.9 menunjukkan bahwa industri besar yang paling banyak konsumsi air perharinya adalah industri air minum. Daerah aliran sungai memliki kepadatan penduduk, sawah, dan industri yang berbeda. Daerah aliran sungai yang memiliki jumlah penduduk terbesar adalah DAS 2 karena di daerah aliran sungai tersebut terdapat Kota Sukabumi. Perbedaan jumlah industri tiap-tiap daerah aliran sungai juga diperhitungkan. Dari peta tata guna lahan didapatkan bahwa pada daerah selatan Sukabumi memiliki luas daerah infrastruktur yang paling luas tepatnya pada DAS 5. Dari tabel 4.9 didapatkan bahwa DAS 5 memliki jumlah industri minuman sampai tekstil skala besar dengan jumlah 67 buah. Dari jumlah ini menyedot kebutuhan air untuk operasi hariannya sebanyak 70.661.047.356 liter pada bulan September. Berdasarkan tabel 4.9 didapatkan bahwa terjadi defisit air di bulan September 2009 yang terjadi di DAS 5. Pada bulan Septermber 2009 terjadi defisit air sebanyak 51.393.847.356 liter. Defisit ini mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan air untuk sawah penduduk dan juga mengakibatkan tanah yang retak-retak. Hal ini disebut sebagai kekeringan
DAS TRO(debit sungai) Kebutuhan Air rumah tangga pertanian industri air minum pembekuan ikan penmbuatan kecap industri tekstil TOTAL Sisa air(TRO-kebutuhan air)
Tabel 4.9 Selisih sisa air di Sukabumi September 2009 1 91,486,598,327
2 193,171,631,248
3 17,988,777,560
4 23,102,284,774
5 19,174,898,227
1,685,814,480 244,431,000 23,861,016,159 0 0 274,863 25,791,536,502 65,695,061,826
2,738,429,280 872,487,000 48,774,154,172 40,500,000 2,910,000 561,845 52,429,042,298 140,742,588,951
1,685,814,480 114,312,000 3,912,232,053 0 0 45,066 5,712,403,599 12,276,373,960
1,685,814,480 113,157,000 12,071,713,907 0 0 139,058 13,870,824,445 9,231,460,329
1,685,814,480 770,154,000 68,160,883,709 40,500,000 2,910,000 785,167 70,661,047,356 -51,486,149,129
sosioekonomi akibat tidak tercukupinya kebutuhan air untuk masyarakat dan perekonomiannya. Perbandingan antara DAS 2 dan DAS 5 tidak memiliki perbedaan yang terlalu besar baik dari secara luas daerah aliran sungainya maupun dari komposisi yang menempati DAS tersebut seperti pemukiman, industri, dan pertanian. Namun yang menjadi permasalahan adalah daerah aliran sungai Sukabumi tidak menyebar rata keseluruh penjuru DAS namun dimulai dari DAS 2 yaitu tepatnya di daerah aliran sungai Cimandiri dan lain-lainnya dimana juga terdapat mata air Gunung Gede dan Gunung Salak kemudian baru dialirkan ke daerah aliran sungai sekitarnya. Kekeringan yang terjadi di DAS 5 kemungkinan besar terjadi karena air lebih dulu dikonsumsi oleh sektor pemukiman, pertanian/perkebunan, dan industri yang berada di DAS 2 dan DAS 1 sisanya kemudian menuju DAS 5. Dari Tabel 4.9 kemudian divisualisasikan berdasarkan DAS di Sukabumi pada gambar 4.9.
Gambar 4.9. Peta surplus air Sukabumi September 2009
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Kesimpulan Faktor utama penyebab kekeringan di Sukabumi pada September 2009 adalah tidak tercukupinya kelembaban tanah atau disebut kekeringan hidrologis. Kekeringan ini terjadi dimana soil moisture capacity yang seharusnya tercukupi sebesar 200 mm hanya tercukupi sebesar 189 mm. Kekeringan ini terjadi di DAS 5
(Daerah aliran sungai Ciletuh, Cikarang, Ciseureuh, dan Cikaso). Daerah surplus air terbesar terdapat di DAS 2 (daerah aliran sungai Citarik, Citatih, dan Cimandiri) yaitu sebesar 140,8 miliar liter air. Sementara itu daerah yang mengalami surplus air terkecil atau defisit terdapat di DAS 5 yaitu sebesar 51.5 miliar liter air 5.2 Saran 1. Nilai konsumsi untuk industri besar harus di survei tiap-tiap industri. 2. Konsumsi persawahan disesuaikan dengan jenis tanaman dan irigasi 3. Menggunakan metode perhitungan air tanah yang dapat menghitung air artesis. REFERENSI Arham, dkk. 2009. Analisis Iklim Dengan Pendekatan Isohyet Normal Pada Curah Hujan (Studi Kasus: Kabupaten Bandung). Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. Ariyanto, D. 2008. Sistem Pemberian Kebutuhan Air untuk Lahan Pertanian: Studi Kasus Jaringan Irigasi Sempor. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Bakhtiar, 2008. Kajian Perbandingan Debit Andalan Sungai Cimanuk Metoda Water Balance dan Data Lapangan. UNDIP. Diponegoro. eprints.undip.ac.id/25074/1/08Bakhtiar_S3_14_Nov.pdf BNPB. 2010. Peta Indeks Resiko Bencana Kekeringan di di Provinsi Jawa Barat/Drought Disaster Risk
Index Map in West Java Province. BNPB Jakarta. Donal, M. 2005. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Analisis Hidrografi Banjir Pada Urban Watershed. ITB. Bandung. http://www.scribd.com/doc/17674280/ Watershed-Planning-Developemnt. Diakses pada 11 Januari 2012. http://www.esrl.noaa.gov/psd//people/ klaus.wolter/MEI/, Wolter and Timlin, 1998. Diakses pada 3 Januari 2012. http://freegeographytools.com/2010/va rying-angle-terrain-views-with-terrainbender. http://www.iiasa.ac.at/Research/LUC/ External-World-soil-database/ Hydrology Project Training Module. 2002. How to compile rainfall data. Hydrology Project Technical Assitance. Juliardi, dkk. 2006. Teknik Mengairi Padi Kalau macak-macak cukup. mengapa harus digenang?. BB Penelitian Padi. Luas Tanah Sawah Menurut Jenis Pengairan Per Kecamatan Di Kabupaten Sukabumi Tahun 2010 (dalam Hektar). Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Sukabumi. 2011. Manaf, A. 2007. Analisis Perubahan Luas Genangan Tahun 2001 dan 2004 berdasarkan pada perubahan tutupan lahan dengan metoda Rational. ITB. Bandung.