Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
ANALISIS SPASIAL INDEKS KEKERINGAN THRONTHWAITE MATTER DI WILAYAH GARUT JAWA BARAT ANDRE HERDIAN
Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK Kekeringan merupakan suatu kondisi dimana kurangnya ketersediaan air terhadap kebutuhan. Pertanian merupakan suatu aktifitas yang memerlukan air agar padi yang ditanam tidak mengalami puso atau gagal panen karena kekeringan. Garut merupakan kabupaten penghasil padi terbesar ke-4 setelah Indramayu, Karawang dan Subang Pentingnya informasi mengenai kekeringan sangat dibutuhkan untuk menghindari terjadinya kerugian yang dialami oleh para petani. Kekeringan akan semakin parah jika terjadi fenomena El Nino. Untuk mengetahui karakterisasi kekeringan di suatu wilayah terdapat banyak metode, salah satunya Thronthwaite Matter yang divisualisasikan secara spasial. Analisis spasial untuk indeks kekeringan di wilayah Garut divisualisasikan dengan 9 stasiun curah hujan dengan data curah hujan selama sepuluh tahun dari tahun 2001 sampai 2010. Neraca air dihitung dengan menggunakan metode Thronthwaite-Matter. Indeks kekeringan Thronthwaite Matter merupakan suatu indeks yang dapat menginformasikan suatu wilayah apakah mengalami kekeringadi wilayah in ringan, sedang atau berat. Analisis spasial dilakukan dengan GIS dengan ArcMap 3.3 Hasil yang diperoleh menunjukkan indeks kekeringan terbesar untuk sejumlah kecamatan di Garut terjadi pada bulan Agustus dan September. Penurunan produksi yang terjadi pada tahun-tahun El Nino 2003 dan 2006 berkorelasi dengan besarnya nilai indeks kekeringan di wilayah Garut. Sedangkan jumlah produksi pada dan luas panen yang terbesar selama sepuluh tahun terakhir terjadi pada tahun 2010 yang berkorelasi dengan kecilnya nilai indeks kekeringan di wilayah Garut. Kata kunci: Kekeringan, Thronthwaite Matter, El Nino
1.
terjadi di Indonesia banyak merugikan para petani di beberapa daerah karena padi yang mereka tanam mengalami puso atau gagal panen. Kekeringan yang terjadi di Indonesia memiliki dampak di beberapa daerah, salah satunya Garut yang merupakan kabupaten penghasil padi ke-4 terbesar di Jawa Barat setelah Indramayu, Karawang, dan Subang. Namun, dengan adanya kekeringan yang terjadi di bulan-bulan kering para petani sering mengalami gagal panen. Kekeringan di Garut yang terjadi pada musim kemarau antara bulan Mei sampai dengan September mencapai puncaknya pada bulan Agustus. (Hidayat, 2010). Salah satu usaha untuk mengantisipasi kekeringan yang terjadi di Garut, yaitu memahami karakteristik iklim di wilayah tersebut dengan baik. Karakterisasi kekeringan merupakan analisis sifat-sifat hujan yang dapat menggambarkan kondisi kekeringan secara fisik suatu lokasi, dan analisis indeks kekeringan merupakan analisis yang menunjukkan tingkat kelas atau derajat kekeringan (Triatmoko, 2012). Untuk mengetahui seberapa besar nilai kekeringan masing-masing daerah kajian salah satunya dengan menggunakan metode perhitungan Indeks Kekeringan Thronthwaite Matter.
Pendahuluan
Secara umum kekeringan merupakan suatu kondisi dimana terjadi kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan. Kekeringan juga merupakan kejadian klimatologis yang alami dan dapat terjadi secara bervariasi antara suhu wilayah dengan wilayah lainnya dan biasanya dimulai dengan berkurangnya jumlah curah hujan (dibandingkan dengan kondisi normalnya) dan tergantung berapa lama keadaan tersebut berlangsung (NOAA,2008). Kekeringan merupakan ancaman yang paling sering mengganggu sistem dan produksi pertanian di Indonesia terutama tanaman pangan, khususnya saat terjadi El Nino Southern Oscillation (ENSO) karena pada fenomena ini musim kemarau menjadi panjang dan musim hujan menjadi pendek. Fenomena ENSO ini berlangsung tiap dua hingga tujuh tahun. Adapun yang disebut dengan La Nina, yaitu suatu fenomena atmosfer yang dampaknya mengakibatkan musim hujan semakin panjang di Indonesia. El Nino yang pernah berlangsung di Indonesia menurut As-Syakur (2011) adalah tahun 2002/2003 dan 2006 . Sedangkan fenomena La Nina terjadi pada tahun 2010. Indonesia merupakan negara agraris yang menjadikan pertanian merupakan salah satu pekerjaan bagi masyarakat banyak. Namun, kekeringan yang
1
2.
Tabel 1. Daftar Stasiun Curah Hujan beserta koordinat dan elevasi (sumber : BMKG Cemara Bandung)
Metodologi
2.1. Daerah Penelitian Daerah penelitian adalah wilayah Garut yang terletak di Jawa Barat bagian Selatan. Stasiun hujan yang digunakan adalah stasiun yang tersebar di beberapa kecamatan yang tersebar di Garut, seperti Cibatu, Leles, Talagasari, Wanaraja, Karangpawitan, Taragong, Perk. Pamegatan, Singajaya dan Bungbulang (lihat pada Gambar 1). Daerah Garut memiliki curah hujan sekitar 2500 mm dimana puncak musim kering terjadi pada bulan Agustus dan puncak musim hujan di sebagian besar kecamatan di Garut terjadi pada bulan Maret.
Stasiun
Lintang
Bujur
Leles Taragong Cibatu Bungbulang Pamegatan Singajaya Wanaraja Karangpawitan Talagasari
-7.13 -7.19 -7.10 -7.45 -7.34 -7.49 -7.17 -7.19 -7.04
107.82 107.89 107.98 107.59 107.80 107.91 107.98 107.96 107.90
Elevasi (m) 693 676 627 318 1248 600 645 792 690
2.3. Metode Metode perhitungan neraca air dihitung dengan menggunakan Tabel Neraca Air Thronthwaite Matter dari data meteoroligis dengan melakukan perhitungan empiris. Langkah-langkah tersebut bisa dilihat melalui tahapan perhitungan di bawah. 1.
Pengisian Data Kosong Pengisian data curah hujan yang kosong dalam Tugas Akhir ini menggunakan metode pengisian ratarata aritmatik yang bisa dilihat pada persamaan 1. 1
(1)
Gambar 1. Daerah Kajian Penelitian
dimana: Rx n Ri
2.2. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, data curah hujan selama sepuluh tahun (2001-2010) di 9 titik yang tersebar di Garut, data temperatur sepuluh tahun (2001-2010) di satu titik, data produksi padi, data penggunaan tata guna lahan Garut, data jenis tanah di Garut. Data suhu bulanan diambil hanya satu titik yang digunakan untuk menghitung data suhu untuk stasiun lainnya di Garut. Stasiun yang tidak memiliki data pengamatan suhu diperoleh dengan melakukan pendugaan dari stasiun terdekat. Untuk Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa, variasi suhu yang terjadi setiap tahun tidak terlalu berbeda. Dalam penelitian ini digunakan data suhu Bandung yang disesuaikan dengan ketinggian daerah Garut. Dalam penelitian ini, data curah hujan yang digunakan sebanyak 9 titik yang tersebar di Garut. Untuk Garut Utara terdiri dari Cibatu, Wanaraja dan Talagasari. Untuk di daerah Garut Tengah terdapat Kecamatan Leles, Karangpawitan, dan Taragong. Dan untuk Garut Selatan, terdapat Kecamatan Bungbulang, Perkebunan Pamegatan, dan Singajaya (lihat Gambar 1). Untuk koordinat dan elevasi tiap stasiun bisa diliha pada Tabel 1.
= data curah hujan yang kosong = banyaknya stasiun curah hujan yang = stasiun curah hujan yang digunakan
dengan syarat jumlah stasiun prediktor yang digunakan berkisar 3-6 stasiun yang dipilih berdasar persebaran lokasi, kelengkapan data, dan kesamaan ketinggian lokasi. 2.
Suhu Udara Tidak semua stasiun hujan memiliki data temperatur udara, untuk mengetahui suhu stasiun hujan yang tidak memiliki data digunakan rumus Mock (1973). Rumus ini digunakan untuk menghitung selisih temperatur antara stasiun yang akan dicari suhunya dengan stasiun yang ada datanya (sebagai acuan), dengan menggunakan ketinggian sebagai koreksi (lihat Persamaan 2).
∆T = 0.006(Z1—Z2)
(2)
dimana: ∆T = selisih temperatur udara masing- masing stasiun (°C) = ketinggian stasiun acuan (m) Z1 Z2 = ketinggian curah hujan yang diperhitungkan (m)
2
Karena keterbatasan data suhu, maka dipakai data suhu bulanan historis di satu stasiun yaitu Stasiun Cemara Bandung.
•
3.
Evapotranspirasi Potensial Evapotranspirasi potensial (PE) adalah kemampuan total udara untuk melakukan penguapan saat persediaan kelembaban untuk vegetasi tidak terbatas (Illaco, 1981). Evapotranspirasi potensial untuk tiap bulannya dihitung dengan metode Thornthwaite-Matter dengan persamaan di bawah. .
5
dimana: Pex
Kelengasan Tanah Untuk menghitung kelengasan tanah, nilai didapatkan dengan memperhitungkan bulan basah dan bulan kering. • Pada bulan-bulan basah (P>PE), nilai St untuk tiap bulannya sama dengan WHC. • Pada bulan-bulan kering (P
(3)
St = Sto.e-(APWL/Sto)
10T I
(5) (6)
St Sto (mm) e APWL
= Evapotranspirasi potensial belum terkoreksi (mm/bulan) T = Suhu Udara (°C) i = indeks panas I = Jumlah indeks panas dalam setahun a = Indeks panas Untuk evapotranspirasi potensial terkoreksi dikalikan dengan faktor koreksi yang bisa dilihat pada Persamaan 7. Untuk faktor koreksi bisa dilihat pada Lampiran
= kelengasan tanah (mm) = kelengasan tanah pada kapasitas lapang = Bilangan navier (e = 2,718) = akumulasi hilangnya air potensial (mm)
8.
Perubahan Kelengasan Tanah Perhitungan penambahan air (∆St) dilakukan dengan cara mengurangi nilai St pada bulan yang bersangkutan dengan nilai St pada bulan sebelumnya. 9.
Evapotranspirasi Aktual Nilai bisa didapat dengan memperhitungkan bulan basah dan bulan kering dimana: • Untuk bulan-bulan basah (P>E), maka nilai AE=PE • Untuk bulan-bulan kering (P<E), maka nilai AE=P-∆St
PE = f.Pex (7) dimana: f = Faktor koreksi (dilihat pada tabel koreksi lintang dan waktu) PE = Evapotranspirasi potensial bulanan (mm/bulan)
10. Perhitungan Defisit Defisit atau kekurangan lengas tanah yang terjadi didapat dengan menghitung selisih antara PE dengan AE (lihat Persamaan 9).
4.
Water Holding Capacity (WHC) WHC atau kapasitas lengas tanah adalah tebal air (mm) pada setiap kedalaman lapisan tanah. Nilai WHC tergantung pada jenis tanah (tekstur) dan kedalaman perakaran tanaman. Dengan bantuan tabel pendugaan yang dikombinasikan kedalaman perakaran pada berbagai tekstur tanah, nilai WHC dapat diperoleh. 5.
(8)
dimana:
a=(0.675.106.I3)(0.77.104.I2)+0.01792.I+0.49239
16
7.
(4)
PEx
dengan cara menjumlahkan nilai selisih (P-PE) setiap bulan dengan nilai (P-PE) bulan sebelumnya. Pada bulan-bulan basah (P>PE), maka nilai APWL sama dengan nol.
D = PE – AE
(9)
dimana, D = Defisit PE = Evapotranspirasi Potensial AE = Evapotranspirasi Aktual
Menghitung selisih antara P dengan PE tiap bulan
11. Perhitungan Indeks Kekeringan Indeks kekeringan dihitung dengan nilai prosentase perbandingan antara nilai defisit air dengan Potensial Evaporasi (lihat Persamaan 10).
6.
Accumulation Potential Water Loss (APWL) Menghitung APWL dilakukan dengan cara menjumlahkan angka pada bulan yang negatif, yaitu menjumlahkan nilai APWL bulan sebelumnya dengan nilai P-PB pada bulan ke-i. • Pada bulan-bulan kering atau yang nilai presipitasinya lebih kecil dari nilai evapotranspirasi potensial (P
= dimana,
3
!"
100 (10)
Utara dan Tengah, yaitu Cibatu dan Leles. Sedangkan bulan kering di wilayah Bungbulang yang merupakan wilayah Garut Selatan terjadi pada bulan Juni sampai dengan Agustus.
Ia = Indeks Kekeringan D = Defisit PE = Evapotranspirasi Potensial Selanjutnya nilai indeks kekeringan rerata disajikan dalam peta tingkat kekeringan. Pembagian daerah tingkat kekeringan rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan kelas indeks kekeringan pada Tabel 2.
Cibatu merupakan wilayah dengan curah hujan paling rendah jika dibandingkan dengan Leles dan Bungbulang. Bulan Agustus merupakan bulan dimana Cibatu memiliki curah hujan rata-rata paling minimum, yaitu sebesar 11 mm/bulan. Sedangkan Bungbulang merupakan wilayah Garut yang memiliki curah hujan yang paling tinggi dengan Desember sebagai bulan yang memiliki rata-rata curah hujan paling tinggi sebesar 523.9 mm/bulan. Untuk mengetahui sebaran curah hujan di seluruh Kabupaten Garut dilakukan analisis spasial.
Tabel 2. Tabel Indeks Kekeringan Thronthwaite Matter
Indeks Kekeringan Tingkat Kekeringan (%) <16.77 ringan atau tidak ada 16.77-33.33 sedang >33.33 berat Sumber: Thornthwaite (1957) dalam ILACO (1985) 12. Peta Spasial Peta spasial akan divisualisasikan dengan GIS menggunakan Arc Map untuk memberikan gambaran distribusi keruangan dari kondisi curah hujan dan indeks kekeringan di daerah penelitian. Peta indeks kekeringan dibagi menjadi 3 kelas dengan klasifikasi sebagai berikut : Daerah dengan indeks kekeringan kurang dari 16 % diberi warna pink muda. Daerah dengan indeks kekeringan dengan nilai antara 16% sampai dengan 33% diberi warna pink. Daerah dengan indeks kekeringan lebih dari 33 % diberi warna merah.
100 0 Bulan
(a)
Hasil dan Pembahasan
Curah Hujan Rata-rata Leles Tahun 2001-2010
400 300 200 100 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Curah Hujan (mm/bulan)
3.1. Profil Curah Hujan Wilayah Garut
Bulan
Garut merupakan suatu kabupaten yang terbagi menjadi beberapa daerah, yaitu Garut Utara, Garut Tengah, dan Garut Selatan. Dalam kajian penelitian ini, sembilan stasiun yang telah tersebar merupakan kecamatan bagian dari Garut Utara, Tengah, dan Selatan. Gambar 2 merupakan grafik rata-rata curah hujan Cibatu, Leles dan Bungbulang yang tersebar di Garut. Grafik rata-rata curah hujan di tiap kecamatan menunjukkan pola hujan monsunal dengan curah hujan minimum pada bulan Agustus dan curah hujan maksimum pada bulan Maret untuk wilayah Cibatu dan Leles. Untuk wilayah Bungbulang pola monsun tidak terlalu terlihat jelas yang disebabkan curah hujan di wilayah tersebut terpengaruh oleh faktor lokal, seperti efek orografi karena letak topografinya.
Curah Hujan (mm/bulan)
(b) Curah Hujan Rata-rata Bungbulang Tahun 20012010
600 400 200 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
3.
200
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Curah Hujan (mm/bulan)
Curah Hujan Rata-rata Cibatu Tahun 2001-2010
300
Bulan
(c) Gambar 2. Profil Curah Hujan Wilayah Garut di (a)Cibatu, (b) Leles, dan (c) Bungbulang
Berdasarkan kriteria Oldeman, dimana bulan kering merupakan bulan yang curah hujannya memiliki nilai kurang dari 100mm/bulan, maka secara klimatologis bulan kering di kabupaten Garut terjadi antara bulan Mei sampai dengan September untuk wilayah Garut
4
3.2. Analisis Spasial Curah Hujan Wilayah Garut
Gambar 3. Spasial curah hujan untuk bulan (a) Januari, (b) Februari, (c) Maret, (d) April, (e) Mei, (f) Juni, (g) July, (h) Agustus, (i) September, (j) Oktober, (k) November, (l) Desember di Wilayah Garut.
5
Analisis spasial curah hujan dilakukan untuk melihat daerah mana saja yang memiliki potensi kekeringan dilihat dari besar kecilnya nilai curah hujan itu sendiri. Selain itu, analisis ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan besar kecilnya curah hujan di tiap titik pos hujan. Analisis spasial ini juga bertujuan untuk mengetahui kapan saat terjadinya bulan kering. Hasil analisis spasial curah hujan musiman di wilayah Garut dapat dilihat pada peta kontur isohyet Gambar 3 dari bulan Januari sampai dengan Desember. Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa curah hujan di Garut Utara memiliki nilai curah hujan lebih kecil dibandingkan dengan Garut Selatan.Dari gambar di atas juga terlihat bahwa wilayah yang memiliki curah hujan minimum secara keseluruhan terjadi pada bulan Juli, Agustus, September (lihat Gambar 3f, 3g, 3h). Bungbulang dan Pamegatan yang terletak di Garut Selatan memiliki nilai curah hujan
yang paling tinggi sedangkan Cibatu yang terletak di Garut Utara memiliki curah hujan paling minimum. Curah hujan maksimum yang terdapat di wilayah Bungbulang, Garut Selatan terjadi pada bulan November dan Desember (lihat Gambar 3k dan Gambar 3l). Sedangkan curah hujan minimum yang terdapat pada wilayah Cibatu meiliki nilai curah hujan sebesar 10.95 mm/bulan pada bulan Agustus. Secara keseluruhan di tiap kecamatan Garut memiliki curah hujan maksimum pada bulan Maret dan curah hujan minimum pada bulan Agustus. Wilayah Garut memiliki topografi yang bervariasi dengan orografis yang lebat dan presentase hutannya di atas 30%. Hal ini menyebabkan curah hujan yang terjadi di Garut, selain dipengaruhi oleh angin muson, juga dipengaruhi oleh angin lokal. Seperti pada titik pos hujan Pamegatan yang terletak di kecamatan Cikajang, yang hujannya lebih banyak dipengaruhi oleh iklim lokal.
3.3. Grafik Produksi Padi dan Luas Panen Wilayah Garut Pada gambar 3 grafik produksi padi dan luas panen di bawah bisa dilihat pada tahun 2003 dan 2006 yang merupakan tahun-tahun El Nino, produksi dan luas panen padi mengalami penurunan. Pada tahun 2003, nilai produksi padi merupakan yang terendah selama sepuluh tahun terakhir dimana hal tersebut berbanding dengan luas panen padi tahun 2003 yang juga paling rendah selama sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2010 nilai produksi padi merupakan yang terbesar selama sepuluh tahun terakhir. Untuk produksi padi pada tahun 2010, besar produksi padi mencapai 826939 ton, sedangkan luas panennya mencapai 120567 ha. Untuk tahun 2003, nilai produksi padi di wilayah Garut hanya sebesar 570143 ton dan luas panennya bernilai 102004 ha. Pada tahun ini, produksi dan luas panen padi merupakan yang terkecil dalam sepuluh tahun terakhir. Selain tahun 2003, pada tahun 2006 produksi padi dan luas panen di wilayah ini mengalami penurunan. Untuk produksi padi pada tahun ini nilainya sebesar 586434 ton dan luas panennya bernilai sebesar 105022 ha. Besar
kecilnya nilai produksi padi dan luas panen padi disebabkan oleh banyak factor, mislnya faktor meteorologis, hidrologis maupun antropogenik. Untuk faktor meteorologis, seperti besar kecilnya curah hujan yang turun sangat mempengaruhi tingktat produksi dan luas panen padi karena semua air yang terdapat di permukaan bumi yang dimanfaatkan para petani berasal dari air hujan. Faktor hidrologis berhubungan dengan air permukaan, sungai, danau yang bisa dimanfaatkan biasanya sebagai irigasi oleh para petani. Faktor antropogenik merupakan faktor yang disebabkan oleh manusia. Besar kecilnya nilai produksi padi dan luas panen bisa dipengaruhi oleh faktor manusia, misalnya lalai dalam memberikan pupuk, lalai dalam memberikan pestisida sehingga hama dapat merusak padi itu sendiri, kurangnya memberikan pengairan pada padi dan lain-lain. Namun dari semua itu, faktor meteorologis yang paling kuat mempengaruhi produksi dan luas panen padi di Garut.
Grafik Produksi Padi Garut Tahun 2001-2010
Grafik Luas Panen Wilayah Garut Tahun 2001-2010
Tahun
Tahun
(a)
(b)
Gambar 4. Grafik (a)Produksi padi dan (b) Luas Panen Padi Wilayah Garut
6
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2001
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
500000
2003
600000
130000 120000 110000 100000 90000 2002
700000
ha
ton
800000
3.4. Analisis Spasial Indeks Kekeringan Tahun 2003 Kekeringan di Garut mencapai puncaknya pada bulan Agustus dimana kekeringan maksimum terjadi di Garut bagian utara dengan indeks kekeringan skala berat mencapai 74 % di Cibatu dan Wanaraja (lihat Gambar 5c). Hanya Singajaya saja yang tidak mengalami indeks kekeringan skala berat.
Pada tahun ini merupakan tahun El Nino dimana jumlah produksi dan luas panen padi mengalami penurunan. Pada gambar 5 bulan-bulan kering di tahun ini, kekeringan skala berat mulai terlihat di Garut Utara kecamatan Cibatu, Talagasari, Karangpawitan dan Wanaraja. Kekeringan tersebut semakin meluas ke Garut Selatan. Namun, hanya Singajaya saja yang tidak terkena dampak kekeringan di bulan-bulan ini (lihat Gambar 5).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5. Spasial Indeks Kekeringan Tahun 2003 untuk bulan (a) Juni, (b) July, (c) Agustus, (d) September
3.5. Analaisis Spasial Indeks Kekeringan Tahun 2006 Pada tahun ini, terjadi fenomena El Nino menurut As-Syakur dan Tjasyono yang mengakibatkan penurunan produksi padi dan luas panen. Pengaruh El Nino tidak terlihat pada bulan Juni. Pengaruh tersebut mulai terlihat pada bulan Juli dimana seluruh kecamatan di Garut mengalami indeks kekeringan skala berat (lihat gambar 6b). Rata-rata indeks kekeringan pada bulan Juli sebesar 44.37%.
(a)
Pada bulan Agustus dan September di tahun 2006 ini, indeks kekeringan untuk seluruh titik stasiun daerah kajian mengalami kekeringan yang berat. Pada tabel indeks di tahun 2006, indeks kekeringan bernilai di atas 33,33 %. Dengan daerah Cibatu merupakan daerah yang memiliki indeks kekeringan terbesar. Rata-rata Indeks kekeringan maksimum terjadi pada bulan September dengan nilai 72.23 %.
(b)
(c)
(d)
Gambar 6. Spasial Indeks Kekeringan Tahun 2006 untuk bulan (a) Juni, (b) July, (c) Agustus, (d) September
3.6. Analisis Spasial Indeks Kekeringan Tahun 2010 Menurut As-Syakur (2011), pada tahun ini Indonesia mengalami fenomena La Nina dimana nilai curah hujan mengalami peningkatan dari normalnya. Untuk wilayah Garut sendiri fenomena tersebut memiliki dampak signifikan untuk wilayah tersebut. Untuk seluruh kecamatan di Garut pada bulan Mei indeks menunjukkan angka nol yang berarti tidak ada kekeringan/ringan. Untuk bulan Juni dan Juli pada gambar 7 hanya kecamatan Cibatu saja yang terdapat indeks kekeringan sedang.
7
Spasial indeks kekeringan di tahun ini menunjukkan curah hujan yang rendah yang berkorelasi dengan kecilnya tingkat kekeringan. Hal ini dibuktikan dengan besarnya luas panen dan tingkat produksi padi pada tahun ini yang dihasilkan di Garut. Selain itu, tingkat produksi dan luas panen padi pada tahun ini merupakan yang terbesar dalam 10 tahun terakhir.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 7. Spasial Indeks Kekeringan Tahun 2010 untuk bulan (a) Juni, (b) July, (c) Agustus, (d) September
4.
Kesimpulan NOAA. 2008. Drought, National Oceanic and Atmosphere Administration National Weather Service.
Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah: • Berdasarkan rata-rata curah hujan (tahun 2001 hingga 2010), kekeringan meteorologis di sebagian besar wilayah Kabupaten Garut terjadi pada periode Mei hingga September. Sedangkan, untuk Garut bagian Selatan bulan kering terjadi pada bulan Juni hingga September. • Garut bagian Utara merupakan wilayah Garut yang paling kering karena kecilnya curah hujan. Sedangkan Garut Selatan merupakan wilayah terbasah karena besarnya nilai curah hujan. • Pada tahun 2006 yang merupakan tahun El Nino, produksi padi menurun berkorelasi dengan nilai indeks kekeringan yang besar pada tahun itu. • Pada tahun 2010, produksi padi merupakan yang terbesar selama 10 tahun terakhir dari tahun 2001 sampai dengan 2010 berkorelasi dengan rendahnya nilai indeks kekeringan yang rataratanya hanya bernilai 1.9%. • Fenomena atmosfer seperti El Nino dan La Nina mempunyai dampak pada kondisi cuaca di Wilayah Garut.
Rakheja,P.r.2009.Aplied Hydrometeorology. Delhi: Capital Publishing Company.
New
Suseno, W. 2008. Pola Kekeringan Pertanian di Pulau Jawa. Skripsi : Departemen Geografi FMIPA UI. Tjasyono, Bayong H.K,. Klimatologi. . 2004. Bandung: Penerbit ITB. Institut Teknologi Bandung Tjasyono, B. H. K. dan Bannu. 2003 Dampak ENSO pada Faktor Hujan di Indonesia, Jurnal Matematika dan Sains, Vol.8, No.1, Maret 2003, hal 15-22. Tjasyono, Bayong H.K,. 2008. Dampak Variasi Temperatur Samudra Pasifik dan Hindia Ekuatorial terhadap Curah Hujan di Indonesia Triatmoko, D. 2012. Penggunaan Metode Standardized Precipitacion Index Untuk Identifikasi Kekeringan Meteorologi di Wilayah Pantura Jawa Barat. Tugas Akhir S1 Intstitut Teknologi Bandung.
REFERENSI Anggraeni, Y. 2009. Analisis Kekeringan Menggunakan Metode Standardized Precipitacion Index (SPI) di Indonesia. Tugas Akhir S1 Institut Teknologi Bandung. As-syakur, A.R., 2007. Identifikasi Hubungan Fluktuasi Nilai SOI Terhadap Curah Hujan Bulanan Di Kawasan Batukaru-Bedugul, Bali. Jurnal Bumi Lestari, 7(2), pp. 123-129. Hidayat, Tatang. 2012. Pikiran Rakyat. Halaman 1. Nasution, Ch. 2005. Analisis Spasial Indeks Kekeringan Daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat. Jurnal BPPT. National Drought Mitigation Center. 2006. What is Drought? Understanding and Defining Drough, http://drought.unl.edu/whatis/what.htm
8