Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
Pengaruh El Nino Modoki Terhadap Curah Hujan di Indonesia SONA TRISTANIA Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK Kata modoki yang dalam Bahasa Jepang mempunyai arti ’serupa tapi tak sama’ digunakan untuk menamai kejadian El Nino yang terjadi tidak seperti biasanya. Perbedaan mekanisme antara El Nino Modoki dan El Nino konvensional menyebabkan perbedaan dampak dari kedua kejadian tersebut. Penelitian mengenai pengaruh El Nino terhadap curah hujan di Indonesia sudah banyak dilakukan, tetapi pengaruh El Nino Modoki terhadap curah hujan di Indonesia masih belum banyak dijadikan kajian sehingga topik ini menjadi menarik untuk dibahas. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data curah hujan yang didapat dari Global Precipitation Climatology Centre (GPCC) dan El Nino Modoki Index yang diolah dengan menggunakan tiga metode, yaitu perhitungan perubahan nilai curah hujan, analisis hubungan dengan menggunakan perhitungan korelasi Pearson, dan analisis lead/lag time dengan menggunakan perhitungan korelasi silang. Analisis perubahan nilai curah hujan dan korelasi Pearson memberikan hasil bahwa perubahan nilai curah hujan dan hubungan yang paling erat antara El Nino Modoki dan curah hujan di Indonesia terjadi paling besar pada wilayah dengan tipe curah hujan lokal atau pada saat musim kemarau (JJA). El Nino Modoki menyebabkan terjadinya penurunan curah hujan pada wilayah dengan tipe curah hujan lokal diatas 30%. Hasil korelasi silang antara EMI dan curah hujan di Indonesia menunjukkan korelasi tinggi hingga sekitar 3 bulan sebelum dan sesudah puncak dari El Nino Modoki dengan korelasi tertinggi berada di wilayah tipe curah hujan lokal. Kata Kunci : El Nino, El Nino Modoki, GPCC, EMI, korelasi Pearson, korelasi silang
1.
El Nino / La Nina, Osilasi Selatan, dan Dipole Mode Event (DME) atau Indian Ocean Dipole (IOD) (Tjasyono dkk., 2008). Fenomena EL Nino / La Nina terjadi akibat adanya penyimpangan kondisi interaksi antara lautan dan atmosfer di sepanjang Samudera Pasifik ekuator dari keadaan normalnya. Penelitian mengenai fenomena ini sudah banyak sekali dilakukan, termasuk di Indonesia. Peristiwa El Nino di Indonesia diidentikkan dengan terjadinya musim kering yang melebihi kondisi normalnya. Hal ini berbanding terbalik dengan peristiwa La Nina yang mampu menghasilkan curah hujan melebihi batasan normalnya (Ropelewski dan Halpert, 1987). EL Nino / La Nina dapat menimbulkan bencana, seperti kekeringan dan banjir, yang dapat mengacaukan dan merusak berbagai bidang kehidupan manusia, diantaranya pertanian, perikanan, lingkungan, kesehatan, kebutuhan energi, ataupun juga kualitas udara (Tjasyono dkk., 2008). Pengertian El Nino itu sendiri menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) of the United States of America adalah suatu fenomena di Samudera Pasifik ekuator yang karakternya dikenali dengan terjadinya peningkatan suhu muka laut dari normalnya (yang menggunakan periode dasar 1971 – 2000) di wilayah Nino3.5 dengan nilainya lebih besar atau sama dengan 0,5 ºC dan terjadi
Pendahuluan
Gambar 1.1 Peta wilayah Indonesia (Sumber: http://www.lib.utexas.edu) Indonesia sebagai negara yang berwujud kepulauan (sering disebut sebagai benua maritim Indonesia), seperti yang terlihat pada Gambar 1.1, mempunyai cuaca dan iklim yang unik. Dua sirkulasi global, yaitu Hadley dalam arah meridional dan Walker dalam arah zonal, berpadu dan menambah keragaman cuaca dan iklim di Indonesia. Posisi matahari yang bergerak semu dari 23,5° Lintang Utara (LU) ke 23,5° Lintang Selatan (LS) menyebabkan pengaruh monsun sangat dominan terhadap cuaca dan iklim di Indonesia (Wiratmo, 2005). Walaupun monsun tersebut terjadi secara periodik, tetapi kedatangan dan lama musim hujan dan kemarau tidak selalu sama setiap tahun. Ini disebabkan musim di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena global seperti
1
minimal selama tiga bulan berturut-turut. Sayangnya, pengertian ini tidak dapat menjelaskan kejadian pada tahun 2004 dimana terjadi pemanasan di Pasifik tengah (sekitar wilayah Nino4) dan diapit oleh anomali suhu muka laut yang lebih dingin di barat dan timurnya. Sehingga pada tahun 2004 tersebut, Toshio Yamagata menjelaskan fenomena El Nino yang terjadi tidak seperti biasanya itu dengan menggunakan istilah baru, yaitu El Nino Modoki (Yamagata dkk., 2007). Pengaruh dari El Nino Modoki akhirnya menjadi bahasan yang menarik untuk dikaji dan sudah cukup banyak peneliti yang melakukan penelitian mengenai topik tersebut hingga saat ini. Tetapi, belum banyak yang melakukannya untuk wilayah kajian Indonesia. Karena itu, pengaruh dari fenomena El Nino Modoki di Indonesia sangat menarik untuk dikaji. Karakteristik dari El Nino Modoki yang berbeda dari El Nino biasanya jelas akan memberikan dampak yang berbeda yang pula. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Windari (2012) memberikan hasil bahwa terjadi penurunan curah hujan dari keadaan normal akibat El Nino Modoki sebesar 26% dan 33% akibat El Nino konvensional di wilayah kajiannya, yaitu Lampung, Indramayu, Makasar, Banjar Baru, dan Sumbawa Barat. Sedangkan wilayah mana saja yang akan terpengaruh oleh kejadian El Nino Modoki secara kuat dan juga bagaimana pengaruhnya terhadap tipe-tipe curah hujan lainnya di Indonesia belum dibahas. Untuk itu, pengaruh El Nino Modoki di wilayah Indonesia akan dibahas dalam penelitian ini.
dimana ‘Komp Modoki’ adalah komposit nilai curah hujan berdasarkan tahun-tahun terjadinya El Nino Modoki, yaitu 1986, 1990, 1991, 1992, 1994, 2002, dan 2004. Sedangkan ‘Komp Normal’ adalah komposit nilai curah hujan selama 30 tahun, yaitu tahun 1981 – 2010. Pemilihan tahun-tahun terjadinya El Nino Modoki didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Yamagata (2007) dan Windari (2012).
2.
3.
Gambar 2.1 Metodologi penelitian Perhitungan persentase perubahan nilai curah hujan ǣ ܲ݁ ܪܥ݄ܾ݊ܽܽݑݎൌ
Metodologi
Hasil dan Pembahasan
3.1. Analisis Hubungan antara EMI dan Nilai CH di Indonesia
Data yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini adalah data curah hujan dari Global Precipitation Climatology Centre (GPCC) yang diunduh dari situs resmi milik (National Oceanic and Atmospheric Administration, NOAA) dan El Nino Modoki Index (EMI) yang diunduh dari situs resmi milik (Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology, JAMSTEC). Kedua data tersebut diunduh dalam bentuk data bulanan untuk tahun 1981 – 2010 dan diolah dengan menggunakan tiga metode sehingga menghasilkan tiga analisis yang dapat menjelaskan pengaruh El Nino Modoki di Indonesia. Secara umum, metodologi yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan oleh diagram alir pada Gambar 2.1. Pengukuran hubungan antara nilai curah hujan (variabel x) dan EMI (variabel y) dengan jumlah data n dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi linear atau korelasi Pearson yang didefinisikan dengan persamaan berikut (Storch dan Zwiers, 1999): ݎൌ
݅݇݀ܯ݉ܭെ ݈ܽ݉ݎܰ݉ܭ ͲͲͳݔΨ ݈ܽ݉ݎܰܪܥݐ݅ݏ݉ܭ
Korelasi antara EMI dan nilai curah hujan di Indonesia menggunakan data tahun 1981 - 2010 ditampilkan secara spasial pada Gambar 3.1. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa wilayah yang menunjukkan hubungan yang lebih erat dengan El Nino Modoki dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia adalah wilayah Kepulauan Maluku, Ambon, dan Irian Jaya bagian barat laut dengan korelasi sekitar 0,3 – 0,5. Untuk wilayah-wilayah lainnya, masih dapat dikatakan bahwa wilayah-wilayah tersebut memiliki hubungan dengan fenomena El Nino Modoki. Hal ini dikarenakan nilai korelasi yang dihasilkan masih berada di atas nilai kritis, yaitu sekitar 0,09. Tetapi, secara umum terlihat bahwa wilayah Sumatera, khususnya Sumatera bagian tengah, merupakan wilayah yang hubungannya paling kecil dengan El Nino Modoki.
݊σܻܺ െ ሺσܺሻሺσܻሻ ൫ඥ݊σܺ ଶ െ ሺσܺሻଶ ൯൫ඥ݊σܻ ଶ െ ሺσܻሻଶ ൯
Sedangkan perhitungan korelasi silang yang menghasilkan lamanya lead/lag time dan perhitungan perubahan nilai curah hujan di Indonesia akibat El Nino Modoki dilakukan untuk analisis pengaruh El Nino Modoki terhadap curah hujan di Indonesia.
2
bagaimana pengaruh dari El Nino Modoki terhadap curah hujan di Indoensia secara spasial. Hasilnya tidak jauh berbeda walaupun nilai korelasi tertingginya bukan terletak di sekitar Kepulauan Maluku dan Ambon. Secara umum, wilayah yang menunjukkan nilai korelasi paling tinggi berada di sekitar Indonesia timur dan wilayah yang menunjukkan nilai korelasi paling rendah berada di sekitar Indonesia barat, yaitu wilayah Sumatera bagian tengah dan wilayah Kalimantan bagian tengah dan utara. Indeks negatif pada skala nilai menunjukkan bahwa kedua variabel mempunyai fase yang berlawanan. Analisis mendalam mengenai korelasi spasial antara EMI dan curah hujan di Indonesia dilakukan dengan melihat korelasi tersebut berdasarkan data tahun 1981 – 2010 dan membagi waktunya berdasarkan aktivitas monsun. Hasil plot korelasi pada bulan Desember–Januari–Februari (DJF) menunjukkan nilai korelasi spasial yang bervariatif antara sekitar -0,5 hingga 0,2. Saat DJF, sebagian besar wilayah Kalimantan dan Sumatera bagian tengah dan selatan memberikan nilai korelasi positif rendah, mengindikasikan bahwa El Nino Modoki tidak terlalu mempengaruhi curah hujan di wilayah ini.
Gambar 3.1 Korelasi spasial antara EMI dan CH di wilayah Indonesia berdasarkan data tahun 1981 – 2010.
Gambar 3.2 Korelai spasial antara EMI dan CH di Indonesia berdasarkan tahun-tahun terjadinya El Nino Modoki Selanjutnya, korelasi antara EMI dan CH di Indonesia juga diplot untuk semakin memperlihatkan
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 3.3 Korelasi spasial antara EMI dan CH di Indonesia pada bulan (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON Bulan Juni–Juli–Agustus (JJA) menjadi bulan dimana hampir seluruh wilayah Indonesia menunjukkan bahwa curah hujan berkorelasi negatif dengan EMI. Nilai korelasi yang dihasilkan umumnya berada dibawah -0,3 (menunjukkan nilai negatif yang semakin besar dan mendekati -1) yang berarti hubungan diantara keduanya lebih erat dibandingkan pada bulan DJF dan MAM. Pada bulan JJA ini pula terlihat nilai korelasi negatif yang cukup tinggi tersebut terdapat di banyak tempat di wilayah Indonesia. Korelasi negatif yang cukup tinggi tersebut masih terlihat pada bulan SON, walaupun nilainya
tidak sebesar dan sebarannya tidak seluas bulan JJA. Nilai korelasi negatif yang cenderung lebih tinggi pada saat JJA dan SON berkaitan dengan puncak aktivitas El Nino Modoki yang berlangsung pada pertengahan tahun atau musim kemarau (JJA) dan berlanjut hingga masa transisi dari musim kemarau ke musim penghujan (Asy-syakur, 2010). 3.2. Analisis Lead/Lag Correlation antara EMI dan Nilai CH di Indonesia
3
(a)
(g)
(b)
(h)
(c)
(i)
(d)
(j)
(e)
(k)
(f) (l) Gambar 3.4 Korelasi spasial EMI dan curah hujan di wilayah Indonesia dengan (a) Lag 1 bulan, (b) Lag 2 bulan, (c) Lag 3 bulan, (d) Lag 4 bulan, (e) Lag 5 bulan, (f) Lag 6 bulan, (g) Lead 1 bulan, (h) Lead 2 bulan, (i) Lead 3 bulan, (j) Lead 4 bulan, (k) Lead 5 bulan, dan (l) Lead 6 bulan
4
Gambar 3.4 menunjukkan peta hasil perhitungan korelasi silang saat lead/lag 1 hingga 6 bulan. Hasil korelasi menunjukkan bahwa korelasi tinggi terlihat hingga lead/lag 3 bulan. Korelasi negatif tinggi tampak pada tipe curah hujan lokal, serta tipe curah hujan ekuatorial dan monsun bagian timur. Ini mengindikasikan bahwa curah hujan di daerah tersebut berkaitan dengan El Nino Modoki hingga sekitar 3 bulan sebelum/sesudah puncak dari kejadian El Nino Modoki dibandingkan dengan daerah lain. Korelasi tertinggi dicapain dicapai di bulan puncak kejadian El Nino Modoki (Gambar 3.5).
timur, khususnya di Kepulauan Maluku dan Ambon yang mempunyai tipe curah hujan lokal dan mengalami penurunan curah hujan sekitar 30% 40%.
Gambar 3.6 Peta perubahan nilai CH wilayah Indonesia akibat El Nino Modoki Perubahan nilai curah hujan untuk waktu-waktu sesuai aktivitas monsun selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 3.7. Gambar tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan curah hujan untuk wilayah tipe curah hujan lokal dan sebagian besar Indonesia bagian timur pada bulan DJF dan MAM. Sedangkan sebagian wilayah tipe curah hujan monsunal dan ekuatorial menunjukkan variasi penurunan dan peningkatan curah hujan yang tidak terlalu signifikan (sekitar 10%). Gambar 3.7 juga menunjukkan bahwa pada bulan JJA terjadi perubahan nilai curah hujan yang paling besar, yaitu berupa penurunan nilai curah hujan. Hal ini terjadi di hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan ketiga tipe curah hujannya. Penurunan curah hujan terbesar terjadi di wilayah Ambon yang mempunyai tipe curah hujan lokal. Dengan melihat hasil pada Gambar 3.7, dapat dikatakan bahwa El Nino Modoki secara umum memberikan pengaruh paling besar terhadap curah hujan di Indonesia pada bulan JJA. Jadi, El Nino Modoki merupakan salah satu penyebab Indonesia mengalami kondisi lebih kering saaat JJA.
Gambar 3.5 Korelasi spasial antara EMI dan CH di Indonesia saat zero lead/lag Gambar 3.5 menunjukkan bahwa curah hujan pada wilayah tipe lokal mempunyai korelasi yang lebih tinggi dengan EMI dibandingkan dengan wilayah lainnya, dengan korelasi negatif berkisar diantara nilai 0,3 dan 0,6. Pada saat ini, hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai korelasi negatif dengan EMI mengindikasikan penurunan curah hujan di saat puncak El Nino Modoki. 3.3. Analisis Perubahan Nilai CH di Indonesia Secara umum, Gambar 3.6 menunjukkan bahwa El Nino Modoki menyebabkan terjadinya penurunan nilai curah hujan di Indonesia. Bersesuaian dengan hasil pada Gambar 3.1 dan 3.5, Gambar 3.6 juga menunjukkan bahwa penurunan nilai curah hujan tersebut terjadi paling besar di Indonesia bagian
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 3.7 Peta perubahan nilai CH akibat El Nino Modoki pada bulan (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
5
4.
hubungan antara El Nino Modoki dengan variabelvariabel lainnya, seperti suhu muka laut, tekanan udara, serta arah dan kecepatan angin agar hubungan antara sirkulasi dari El Nino Modoki dan curah hujan di Indonesia dapat lebih terjelaskan, dan juga, apabila memungkinkan, gunakan data dengan resolusi yang lebih tinggi atau bahkan data dari stasiun-stasiun pegamatan cuaca di Indonesia.
Kesimpulan
Dari semua analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara El Nino Modoki dan curah hujan di Indonesia serta pengaruh dari fenomena El Nino Modoki terhadap curah hujan di Indonesia terjadi paling besar pada musim kemarau (JJA) dan diikuti oleh musim peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan (SON). Pengaruh yang tinggi pada bulan JJA dapat dilihat dari peta hasil perhitungan korelasi yang menunjukkan nilai negatif tinggi dan cakupan wilayah paling luas pada Bulan JJA. Hal yang serupa juga dapat dilihat pada peta hasil perhitungan perubahan nilai curah hujan akibat El Nino Modoki yang menunjukkan terjadinya ekstrim kering hampir di seluruh wilayah Indonesia pada bulan JJA dan diikuti oleh bulan SON. Selain itu, dapat disimpulkan juga bahwa tipe curah hujan lokal menjadi tipe curah hujan yang paling dipengaruhi oleh El Nino Modoki dibandingkan dengan kedua tipe curah hujan lainnya, yaitu monsunal dan ekuatorial. Hal ini dapat dilihat dari korelasi antara curah hujan di wilayah lokal dan EMI yang menunjukkan nilai paling tinggi diantara wilayah-wilayah lainnya, serta perubahan nilai curah hujan yang paling besar dibandingkan dengan kedua tipe curah hujan lainnya. Perubahan nilai curah hujan di wilayah tipe curah hujan lokal tersebut berupa penurunan nilai curah hujan sebesar 20% - 40% dari normalnya. Korelasi dengan EMI menunjukkan bahwa hampir di seluruh wilayah Indonesia mengalami penurunan curah hujan saat puncak kejadian El Nino Modoki. Penurunan curah hujan tertinggi terutama tampak pada tipe curah hujan lokal. Korelasi tinggi ini tampak hingga 3 bulan sebelum dan sesudah puncak kejadian El Nino Modoki. Selain tipe curah hujan lokal, korelasi yang lebih tinggi daripada daerah lain juga dapat dilihat pada tipe curah hujan ekuatorial / monsun bagian timur. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pelemahan sirkulasi Walker saat kejadian El Nino Modoki. Pada saat suhu muka laut di Pasifik tengah menghangat, angin pasat menuju wilayah Indonesia melemah dan sirkulasi Walker juga melemah. Hal ini menyebabkan penurunan curah hujan di wilayah Indonesia. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan mekanisme yang menyebabkan perbedaan pengaruh dari El Nino Modoki di wilayah Indonesia. Penelitian selanjutnya yang akan membahas mengenai pengaruh El Nino Modoki di Indonesia dapat melanjutkan penelitian ini. Saran yang penulis berikan berkaitan dengan penelitian ini untuk penelitian selanjutnya adalah lakukan analisis
REFERENSI As-syakur, A. R. (2010). Pola Spasial Pengaruh Kejadian La Nina terhadap Curah Hujan di Indonesia Tahun 1998/1999; Observasi Menggunakan Data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) 3B43. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XVII, (hal. 230234). National Oceanic and Atmospheric Administration. (t.thn.). NOAA Home Page. Dipetik September 24, 2013, dari NOAA News: http://www.noaanews.noaa.gov/stories/s2095.htm Ropelewski, C. F., dan Halpert, M. S. (1987). Global and Regional Scale Precipitation Patterns Associated with the El Nino / Southern Oscillation. Monthly Weather Review , 115 (8), 1606-1626. Storch, H. v., dan Zwiers, F. W. (1999). Statistical Analysis in Climate Research. New York: Cambridge University Press. Tjasyono, B., Ruminta, Lubis, A., Harijono, S. W., dan Juaeni, I. (2008). Dampak Variasi Temperatur Samudra PAsifik dan Hindia Ekuatorial terhadap Curah Hujan di Indonesia. Jurnal Sains dan Dirgantara , 83-95. Windari, E. H. (2012). El Nino Modoki dan Pengaruhnya Terhadap Curah Hujan Monsunal di Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wiratmo, J. (2010, Oktober 29). Docstoc. Dipetik Juli 19, 2013, dari Anomali Cuaca dan Iklim: http://www.docstoc.com/docs/58712455/Anomalicuaca-dan-iklim Yamagata, T., Ashok, K., Behera, S. K., Rao, S. A., dan Weng, H. (2007). El Nino Modoki and Its Possible Teleconnection. Journal of Geophysical Research , 112 (C11).
6