Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
ANALISIS NILAI KOEFISIEN RUNOFF UNTUK PENGENDALIAN DIRECT RUNOFF (Studi Kasus DAS Citarum Hulu) KARIN NADIRA DAUWANI Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK Beralih fungsinya hutan dikawasan DAS Citarum Hulu akibat maraknya pembangunan yang terjadi diduga faktor penyebab berubahanya nilai koefisien runoff. Besar dan perubahan nilai koefisien runoff inilah yang akan menjadi pemicu terjadinya banjir. Pada penelitian ini, pengamat mencoba menyajikan hasil model perbandingan nilai Artificial Runoff saat kondisi inisial dengan kondisi saat ini dengan menggunakan metode NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Perhitungan NDVI akan menggambarkan nilai koefisien limpasan permukaan. Selanjutnya, digunakan metode rasional untuk melakukan perhitungan debit dengan membagi area kajian menjadi lima sub DAS. Peningkatan nilai debit terbesar terjadi di sub DAS Cikapundung untuk tahun 1989 sampai 1997 sebesar 162.06 m3/s dan sub DAS Ciwidey untuk tahun 1997 sampai 2006 sebesar 46.43 m3/s. Penurunan nilai debit terbesar terjadi di sub DAS Ciwidey untuk tahun 1989 sampai 1997 sebesar 27.05 m3/s dan sub DAS Cikapundung untuk tahun 1997 sampai 2006 sebesar 125.55 m3/s. Kata kunci: DAS Citarum Hulu, Perubahan Tataguna Lahan, Koefisien Runoff, Artificial Runoff, NDV.:
1.
35.306 ha dan Sub DAS Ciwidey 23.831 ha. Kajian waktu dalam kajian ini dibatasi pada tahun 1989, 2007, dan 2006 untuk memperlihatkan pola perubahan yang mungkin terjadi.
Pendahuluan
Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk mengakibatkan terjadinya perubahan tata guna lahan. Menurut Wibowo, 2004 Luas Hutan di DAS Citarum Hulu untuk tahun 1984 sampai dengan 1996 telah berkurang 21,15%. Sedangkan luas Hutan di DAS Citarum Hulu pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2002 telah berkurang sebanyak 44%. Sifat permukaan tanah dapat menjadi pengaruh yang paling penting pada limpasan di beberapa daerah. Bahan permukaan kedap air, pemadatan tanah, penggundulan hutan, merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan di permukaan tanah. Oleh karena itu, tutupan atau penggunaan lahan sangat penting dalam menentukan kondisi limpasan permukaan di suatu daerah. Dalam penelitian ini sangat penting dilakukan pengamatan terhadap nilai Natural Runoff dan Artificial Runoff . Natural Runoff adalah laju limpasan permukaan karena sistem penggunaan lahan atas wilayah di suatu daerah masih alami yang nantinya akan kita sebut Zero Artificial Runoff, dan Artificial Runoff nilai laju limpasan permukaan di suatu wilayah karena sistem tata guna lahan di daerah tersebut sudah mengalami banyak perubahan melalui modifikasi manusia. Pembahasan masalah dalam studi ini dibatasi pada wilayah DAS Citarum Hulu dengan koordinat 6°43'26.344"S sampai 7°15'9.395"S dan 107°22'24.204"E sampai 107°56'53.38"E. DAS Citarum Hulu mempunyai luas sebesar 181.027 ha yang terdiri dari lima Sub DAS utama yaitu Sub DAS Cikapundung 38.708 ha, Sub DAS Citarik 48.418 ha, Sub DAS Cirasea 34.285 ha, Sub DAS Cisangkuy
2. 2.1
Tinjauan Pustaka Perubahan Tata Guna Lahan DAS Citarum Hulu
Meningkatnya perkembangan penduduk dan krisis ekonomi sejak tahun 1997 telah berdampak cukup signifikan terhadap kondisi lingkungan. Tidak terkendalinya konversi lahan dari lahan resapan air menjadi lahan terbangun merupakan awal kerusakan lingkungan yang terjadi di DAS Citarum Hulu, walaupun sejak tahun 1982 Pemda Propinsi Jawa Barat telah mengeluarkan SK Gubernur No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara (BPLHD, 2004). Berdasarkan hasil analisis (Wangsaatmaja dkk., 2006), terjadi perubahan tata guna lahan sejak 1983, 1993, hingga 2002. Berkurangnya area hutan dan lahan bervegetasi lainnya sebesar 54% dan meningkatnya area terbangun sebesar 223% selama 1983-1002, telah memberikan dampak yang signifikan (nilai korelasi >0,9) terhadap meningkatnya jumlah lahan kritis sebesar 66% dalam periode tersebut. Selain itu, perubahan tata guna lahan juga berpengaruh terhadap menurunnya jumlah lahan yang memiliki kondisi baik dari 14,15% pada 1983, 11,30% pada tahun 1993, menjadi 6,81% pada tahun 2002.
1
2.2
runoff. (University Corporation for Atmospheric Research; The-COMET-Program;, 2006). Artificial runoff, maksudnya adalah kondisi limpasan permukaan di suatu wilayah karena sistem tata guna lahan di daerah tersebut sudah mengalami banyak perubahan melalui modifikasi manusia, misalnya dengan menjadikannya sebagai perumahan, pertokoan, gedung bertingkat, wilayah industri, usaha pertanian, dan lain- lain. (Irawan dkk, 2011). Artificial Runoff dapat juga disebut sebagai limpasan perkotaan, seperti yang telah diteliti oleh Horner dkk. pada tahun 1994. Limpasan perkotaan menurutnya, didefinisikan sebagai aliran sungai atau jumlah dari limpasan permukaan dan limpasan bawah permukaan. Limpasan permukaan terjadi ketika penyimpanan permukaan dan tanah menjadi jenuh, infiltrasi berhenti dan curah hujan berikutnya menjadi limpasan permukaan. Limpasan bawah permukaan adalah air hujan yang infiltrat permukaan dan mengalir lebih lambat dalam perjalanan ke aliran dari limpasan permukaan (Horner, 1994). Zero Artificial Runoff, berarti kondisi limpasan permukaan karena sistem penggunaan lahan atas wilayah di suatu daerah masih alami. Dengan demikian, jumlah limpasan yang terjadi sangat sedikit. (Irawan dkk., 2011).
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), merupakan suatu metode untuk mendeteksi tingkat kerapatan vegetasi yang menutupi suatu area, melalui analisa data citra satelit penginderaan jauh (Direktorat-Jendral-Penataan-Ruang, 2007). Transformasi NDVI adalah salah satu teknik yang telah digunakan secara luas untuk berbagai aplikasi (Wibowo dkk., 2008). NDVI merupakan indeks vegetasi sederhana namun memiliki sensitifitas yang paling tinggi terhadap perubahan kerapatan tajuk vegetasi dibanding indeks vegetasi lainnya (Wibowo dkk., 2008). Selain keunggulannya dalam membedakan kerapatan vegetasi, nilai NDVI juga berasosiasi dengan persentase permukaan kedap air pada tiap- tiap piksel (Xian, 2003). Tutupan permukaan kedap air dengan persentase rendah akan memiliki nilai NDVI tinggi karena adanya tutupan vegetasi yang dominan, demikian juga sebaliknya. Dasar NDVI adalah menghitung seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun, yang berkisar antara -1 sampai dengan +1 (WWF-Uni-Eropa-ITB, 2007). 2.3
2.5 Koefisien Limpasan
Curah Hujan
Estimasi nilai koefisien limpasan secara sederhana dapat didekati dengan kondisi dan komposisi kerapatan vegetasi dan tutupan permukaan kedap air dalam suatu DAS. Pada tutupan vegetasi yang rapat, aliran permukaan yang dihasilkan lebih sedikit karena peran intersepsi oleh tajuk dan meningkatnya laju infiltrasi akibat tingginya kapasitas penyerapan seresah (Wibowo dkk., 2008).
Curah hujan dan kondisi tanah adalah penyebab langsung dari limpasan perkotaan. Curah hujan dapat mengambil salah satu dari beberapa rute setelah mencapai permukaan bumi. Air hujan dapat diserap oleh tanah di permukaan tanah, dicegat oleh vegetasi, langsung disita di banyak fitur permukaan yang berbeda dari depresi kecil ke danau besar dan lautan, atau menyusup melalui permukaan dan bawah permukaan tanah ke air tanah. Rute lain yang diambil oleh presipitasi jatuh adalah limpasan. Tanah karakteristik DAS memiliki pengaruh langsung pada proses curah hujan-limpasan dan ini termasuk ketebalan lapisan tanah, permeabilitas, laju infiltrasi, dan tingkat kelembaban dalam tanah sebelum acara hujan. Semakin besar permeabilitas tanah, atau kemampuan untuk menyusup curah hujan untuk strata lebih rendah, kurang tersisa untuk menjadi limpasan (Horner, 1994). 2.4
3.
Data dan Metodologi
3.1 Data 3.1.1 Data Landsat 7 dan Landsat 5 TM (Thematic Mapper) Data ini dipakai karena TM merupakan alat scanning mekanis yang mempunyai resolusi spektral, spasial dan radiometrik. Data Landsat yang digunakan adalah data Landsat 7dan Landsat 5 path: 121 row: 64 kombinasi band 3 dan 4 Tahun 1989, 2006, dan 2011 yang di unduh dari (http://glovis.usgs.gov/).
Limpasan Permukaan (Run Off) Limpasan permukaan/ runoff sering didefinisikan sebagai bagian dari curah hujan, salju yang meleleh, dan / atau air irigasi yang berjalan di atas permukaan tanah menuju sungai bukan menyusup ke dalam tanah. Namun untuk beberapa tujuan, definisi limpasan juga mencakup air yang membuat jalan yang relatif cepat untuk jalur aliran tersebut tepat di bawah permukaan. Hal ini kadang-kadang disebut interflow atau stormflow bawah permukaan, dan bersama-sama dengan limpasan permukaan meningkatkan volume air biasanya disebut sebagai
3.1.2 Data Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) Data yang digunakan dalam program IFAS adalah data TRMM curah hujan 3B42RT. Data curah hujan 3B42RT ini mempunyai dua versi, V6 (Oktober 2008 sampai sekarang) dan V5 (Februari 2002 – Februari 2009). 3B42RT memiliki resolusi 0.25° atau kurang
2
lebih sama dengan 25 Km dengan interval 3 jam terhitung dari pukul 00.00 sampai 21.00. 3.2
1) Pendekatan Persentase Tutupan Permukaan Kedap Air (TPKA). Metode pendekatan ini digunakan apabila nilai NDVI yang dihasilkan persamaan menghasilkan nilai < -0,0607.
Metodologi
#$%& = −'(. *'+, − **'. '+ + -'. .//
3.2.1 Curah Hujan Wilayah
Dengan: TPKA : Nilai persentase Tutupan Permukaan Kedap Air (TPKA) x : Nilai NDVI
Pengolahan data curah hujan dalam kajian ini digunakan metode aritmatik karena bentuk luasan data TRMM berupa persegi. Metode ini dipakai untuk daerah-daerah datar dengan pos pengamatan hujan tersebar merata, dan masing-masing pos mempunyai hasil pengamatan yang tidak jauh berbeda dengan hasil rata-ratanya. Metode ini dapat dilakukan dengan cara membagi rata pengukuran pada semua pos hujan terhadap sejumlah stasiun dalam daerah aliran yang bersangkutan. Pr =
Nilai TPKA di atas akan digunakan untuk melakukan estimasi koefisien dengan persamaan matematis: C = 0.05 +0.91TPKA Dengan: C = Koeffisien Aliran
1+ 2+ 3+⋯+
2) Pendekatan Persentase Kerapatan Vegetasi (LPT). Metode pendekatan ini digunakan apabila nilai NDVI yang dihasilkan menghasilkan nilai > 0,4202.
dimana: Pr = Tinggi hujan rata-rata. P1, P2, P3, P4, Pn = Tinggi hujan pada tiap stasiun pengamatan. n = Jumlah stasiun pengamatan
3.2.2
LPT = 127.9x – 2.479 Dengan: LPT : Nilai persentase Kerapatan Vegetasi (LPT) x : Nilai NDVI
Distribusi Kumulatif
Diasumsikan bahwa pola curah hujan yang terjadi 1989 – 2006 tidak memiliki perubahan yang signifikan. Adapun metode penentuan probabilitas nilai curah hujan ekstrim yang mungkin terjadi dengan metode Fungsi Distribusi Kumulatif (cumulative distribution function /distribution function) didefinisikan sebagai : ( )= ( ≤ )=
Persamaan matematis untuk estimasi koefisien aliran pendekatan di atas, adalah:
melakukan berdasarkan
C = -LPT +1
3) Sedangkan untuk nilai NDVI antara -0,0607 sampai 0,4202, akan mendapatkan nilai koefisien limpasan (C) sebesar 0,5
p(ξ)
dimana X adalah variabel acak yang diasumsikan sebagai nilai curah hujan.
3.2.5
3.2.3
Waktu konsentrasi tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan kontribusi aliran di tiap outlet. Laju masukan pada system (IA) adalah hasil dari curah hujan dengan intensitas I pada DAS denagn luas A. Hal diatas diekspresikan dalam formula Rasional sebagai berikut:
Ekstraksi Nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
Secara umum, untuk memperoleh nilai NDVI dari citra satelit, persamaan yang digunakan adalah (Suprakto, 2005): =
!
− ! + !
Q=CIA
" "
Keterangan : Q: debit puncak (m3/dtk) C: koefisien runoff, tergantung pada karakteristik DAS (tak berdimensi) I: intensitas curah hujan (mm/s) A: luas DAS (m2)
Harus diperhatikan bahwa nilai NDVI pada perhitungan di atas berkisar antara -1 sampai dengan +1. 3.2.4
Metode Rasional
4.
Transformasi Nilai NDVI Menjadi Koefisien Limpasan
Hasil dan Pembahasan
4.1 Curah Hujan Berdasarkan pola curah hujan tahunan, dapat diasumsikan bahwa tidak adanya perubahan pola curah hujan yang sangat signifikan sepanjang tahun
Di dalam transformasi nilai NDVI menjadi koefisien limpasan, ada tiga pendekatan yang akan digunakan.
3
pengamatan. Nilai curah hujan sepanjang tahun pengamatan kemudian diolah dengan menggunakan metode distribusi kumulatif. Dari kelima Sub DAS yang memiliki probabilitas Intensitas hujan terbesar adalah Sub DAS Cikapundung dengan nilai 9.2763 mm untuk Intensitas 95%, 6.0219 mm untuk Intensitas 90%, dan 4.2251 mm untuk Intensitas 85%.
Perubahan nilai koefisien runoff pada tahun 1997 sampai 1996 mengalami penurunan untuk sub DAS Cikapundung dari 0.4298 menjadi 0.3045 dan sub DAS Citarik dari 0.4054 menjadi 0.3261. Peningkatan terjadi untuk sub DAS Ciwidey sebesar 0.2157, sub DAS Cisangkuy sebesar 0.103, dan sub DAS Cirasea sebesar 0.0682. Tabel 4.3
Tabel 4.1
Tabel Nilai CDF Sub DAS Citarum Hulu Sepanjang Tahun Pengamatan
Nama Sub DAS
240.15
Cikapundung
388.79
Citarik
495.11
Cisangkuy
355.42
Cirasea
343.53
I95 I90 I85 I95 I90 I85 I95 I90 I85 I95 I90 I85 I95 I90 I85
9.6799 5.195 3.4124 27.829 18.0658 12.6754 14.6248 9.7771 7.1238 8.2678 4.8758 3.0693 6.3289 3.3944 2.1721
Delta Koefisien Runoff 97-06
0.4308
0.3051
0.5208
-0.1257
0.2157
Cikapundung
0.2680
0.4298
0.3045
0.1618
-0.1253
Citarik
0.3167
0.4054
0.3261
0.0887
-0.0793
Cisangkuy
0.3569
0.3652
0.4682
0.0083
0.1030
Cirasea
0.3155
0.3525
0.4207
0.0370
0.0682
4.3
Perhitungan Debit
Pada perhitungan debit ini, nilai curah hujan yang dugunakan adalah nilai probabilitas curah hujan TRMM sepanjang tahun pengamatan (1998 – 2010) untuk setiap sub DAS.
Tabel Nilai CDF Sub DAS Citarum Hulu Berdasarkan Pola Musiman
Tabel 4.4
Tabel perhitungan debit sepanjang tahun pengamatan Nama Sub DAS Ciwidey
Cikapundung
Citarik
Cisangkuy
Cirasea
Δ debit (m3/s) 89 - Δdebit (m3/s) 97 97 06 -27.05 46.43 -14.52 24.92 -9.54 16.37 162.06 -125.55 105.20 -81.51 73.81 -57.19 59.48 -53.19 39.76 -35.56 28.97 -25.91 2.25 28.02 1.33 16.52 0.84 10.40 7.46 13.73 4.00 7.37 2.56 4.71
Peningkatan nilai debit terbesar terjadi di sub DAS Cikapundung untuk tahun 1989 sampai 1997 dan sub DAS Ciwidey untuk tahun 1997 sampai 2006. Penurunan nilai debit terbesar terjadi di sub DAS Ciwidey untuk tahun 1989 sampai 1997 dan sub DAS Cikapundung untuk tahun 1997 sampai 2006.
Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pola musiman, probabilitas intensitas hujan tertinggi dimiliki Sub DAS Cikapundung pada bulan basah (DJF) dan Sub DAS Citarik pada bulan kering (JJA). Probabilitas intensitas hujan terendah dimiliki Sub DAS Cirasea baik pada bulan basah (DJF) maupun bulan kering (JJA). 4.2
Delta Koefisien Runoff 89-97
Perubahan nilai koefisien runoff pada tahun 1997 sampai 1996 mengalami penurunan untuk sub DAS Cikapundung dari 0.4298 menjadi 0.3045 dan sub DAS Citarik dari 0.4054 menjadi 0.3261. Peningkatan terjadi untuk sub DAS Ciwidey sebesar 0.2157, sub DAS Cisangkuy sebesar 0.103, dan sub DAS Cirasea sebesar 0.0682.
Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pola musiman, probabilitas intensitas hujan tertinggi dimiliki Sub DAS Cikapundung pada bulan basah (DJF) dan Sub DAS Citarik pada bulan kering (JJA). Probabilitas intensitas hujan terendah dimiliki Sub DAS Cirasea baik pada bulan basah (DJF) maupun bulan kering (JJA). Tabel 4.2
Koefisien RunOff Rata-Rata 1989 1997 2006
Ciwidey
Nama Sub DAS Luas Sub DAS (km2) Curah Hujan TRMM (mm)
Ciwidey
Tabel nilai koefisien runoff di masing– masing Sub DAS
Koefisien Runoff
4
Tabel 4.5
Tabel Perubahan Nilai Debit pada Pola Musiman Nama Sub DAS
Cikapundung
Cirasea
Cisangkuy
Citarik
Ciwidey
ΔQ (m3/s) 89-97 DJF JJA 117.80 153.81 204.22 4.49 6.62 10.30 1.43 2.07 3.14 44.82 56.50 77.65 -15.31 -21.71 -37.93
8.74 21.45 469.00 0.02 0.92 70.54 0.27 0.44 104.19 1.95 7.66 286.05 -3.70 -5.43 58.32
dari tahun 1989 sampai 1997 berbanding lurus dengan pola perubahan koefisien runoff direntang tahun pengamatan yang sama. Namun perubahan nilai debit dari tahun 1997 sampai 2006 tidak lagi identik dengan perubahan nilai koefisien runoff. Perubahan pola debit pada rentang tahun 1997 samapai 2006 dimungkinkan karena pengaruh perubahan tutupan lahan yang dapat dilihat pada sub bab 4.4. Penurunan jumlah lahan dengan vegetasi sedang sampai rimbun yang terjadi antara tahun 1989 sampai 1997 memungkinkan terjadinya peningkatan nilai debit. Sebaliknya, peningkatan jumlah vegetasi terjadi diselang waktu berikutnya diindikasikan sebagai penyebab perubahan pola debit.
ΔQ (m3/s) 97-06 DJF JJA -91.27 -119.16 -158.22 8.28 12.20 18.98 17.76 25.78 39.07 -40.08 -50.53 -69.44 26.28 37.26 65.10
-6.77 232.51 -158.22 0.03 66.50 18.98 3.40 97.71 39.07 -1.75 172.63 -69.44 6.35 76.79 65.10
Perubahan debit maksimum untuk tahun 1989 sampai 1997 terjadi di sub DAS Cikapundung, sedangkan perubahan debit minimum terjadi pada sub DAS Ciwidey. Untuk tahun 1997 – 2006 perubahan debit maksimum terjadi di sub DAS Ciwidey, sedangkan perubahan minimum terjadi di sub DAS Citarik. 4.4
Parameter yang Mempengaruhi Perubahan Nilai Debit
5. •
•
Nilai
Perubahan Nilai debit berbanding lurus dengan perubahan nilai koefisien runoff. Perubahan maksimum nilai koefisien runoff untuk tahun 1989 sampai 1997 terjadi pada sub DAS Cisangkuy dan perubahan minimum terjadi di sub DAS Ciwidey. Namum secara kumulatif perubahan minimum terjadi di sub DAS Citarik. Perubahan nilai koefisien runoff dari tahun 1997 sampai 2006. Perubahan nilai maksimum terjadi pada sub DAS Ciwidey, sedangkan perubahan nilai minimumnya terjadi pada sub DAS Cisangkuy. Namun secara kumulatif perubahan minimum terjadi pada sub DAS Cikapundung. Tabel 4.6
• •
Faktor yang mempengaruhi nilai perubahan debit untuk sepanjang tahun pengamatan
Kesimpulan
Nilai perubahan koefisien runoff dari tahun1989 sampai 1997 menunjukkan penurunan sebesar 0.0662 dan dari tahun 1997 sampai 2006 menunjukkan peningkatan sebesar 0.0294. Peningkatan nilai debit terbesar terjadi di sub DAS Cikapundung untuk tahun 1989 sampai 1997 sebesar 162.06 m3/s dan sub DAS Ciwidey untuk tahun 1997 sampai 2006 sebesar 46.43 m3/s. Penurunan nilai debit terbesar terjadi di sub DAS Ciwidey untuk tahun 1989 sampai 1997 sebesar 27.05 m3/s dan sub DAS Cikapundung untuk tahun 1997 sampai 2006 sebesar 125.55 m3/s. Hal tersebut menunjukkan nilai koefisien runoff merupakan faktor utama dalam peningkatan debit banjir. Faktor perubahan nilai debit tidak hanya ditentukan oleh perubahan nilai koefisien runoff. Kondisi tutupan lahan juga diindikasikan besar pengaruhnya terhadap pola perubahan nilai debit REFERENSI
Tabel 4.3
BPLHD. (2004). West Java Annual State of The Environment Report. Bandung: Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat,.
Faktor yang mempengaruhi nilai perubahan debit untuk pola musiman
Direktorat-Jendral-Penataan-Ruang. (2007, September). Berita Penataan Ruang. Retrieved November 13, 2011, from http://www.penataanruang.net/taru/upload/berita_cetak/Edis i-2007/BeritaPR-9.pdf Horner, R. R. (1994). Fundamentals of Urban Runoff Management: Technical and Institutional Issues. Prepared by the Terrene Institute, Washington, DC, in cooperation with the U.S. Environmental Protection Agency.
Secara umum dapat dilihat bahwa perubahan debit baik pada bulan basah maupun bulan kering memiliki pola identik ditiap rentang waktu pengamatan. Pola perubahan debit untuk DJF dan JJA
5
Irawan, E., Hukama, I. R., & Dauwani, K. N. (2011). ZERO ARTIFICIAL RUNOFF KOTA BANDUNG DENGAN PENGOLAHAN CITRA SATELIT. Octarina, D. T. (2011). Pengaruh Monsun Aktif dan Break terhadap Karakteristik Vertikal Awan konvektif Berdasarkan Analisis Data Cloudsat. Tugas Akhir S1, Institut Teknologi Bandung, Program Studi Meteorologi, FITB. University Corporation for Atmospheric Research; TheCOMET-Program;. (2006). Runoff Processes. Retrieved November 25, 2011, from The COMET Program: (https://www.meted.ucar.edu/training_module.php?id=207) Wangsaatmaja, & dkk. (2006). Permasalahan dan Strategi Pembangunan Lingkungan BerkelanjutanStudi Kasus: Cekungan Bandung. Jurnal Geologi Indonesia, Vol.3. Wibowo, Hendro, & Danuarti, D. (2008). Estimasi Nilai Koefisien Aliran Das Citarum Hulu Menggunakan Transformasi NDVI Citra Landsat. Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008. WWF-Uni-Eropa-ITB. (2007). Dampak Perubahan Iklim terhadap Pengelolaan DAS Citarum. Jakarta. Xian, G. d. (2003). Journal: Evaluation of Urbanization Influences on Urban Climate with Remote Sensing and Climate Observation.
6
Gambar 2
Gambar 1 Peta pola koefisien runoff DAS Citarum Hulu
7
Peta Koefisien Runoff Sub DAS Citarum Hulu