Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
Estimasi Potensi Energi Matahari Berdasarkan Analisis Tutupan Awan Studi Kasus Jawa Barat INGRIA YUNANDRA MUHAMMAD ARRASY, ZADRACH L. DUPE Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK Metode estimasi insolasi menggunakan data satelit menjadi penelitan yang cukup sering dilakukan oleh peneliti-peneliti potensi energi matahari. Dalam penelitian ini digunakan data TBB (Black Body Temperature) satelit MTSAT-1R (Multifunctional Transfer Satellite - 1R) dengan resolusi 0,05ox0,05o. Penggunaan data satelit ini digunakan untuk membagi kelas tutupan awan yang digunakan sebagai input estimasi insolasi. Verifikasi kemudian dilakukan dengan menggunakan data lapangan didapat dari AWS (Automatic Weather Station) BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) selama 1 Juni 2010 – 31 Mei 2011. Untuk meningkatkan akurasi hasil keluaran estimasi insolasi yang didapat digunakan metode bias correction dan backpropagation neural network. Serangkaian pengamatan lapangan juga dilakukan untuk mengkonversi estimasi insolasi yang didapat menjadi energi dalam satuan kWh/m2/day. Secara keseluruhan dapat dikatakan daerah Jawa Barat memiliki potensi energi yang cukup tinggi, dengan nilai insolasi yang dihasilkan berada dalam kisaran 250 - 550 Watt/m2. Rata-rata RMSE (Root Mean Square Error) yang dihasilkan untuk seluruh data pengukuran adalah 109,43 Watt/m2 (11,43%).
Kata kunci: estimasi insolasi matahari, potensi energi matahari, MTSAT-1R, bias correction, backpropagation neural network.
1.
Namun sama halnya dengan energi-energi yang lain, energi ini memiliki beberapa kekurangan karena sangat dipengaruhi oleh tutupan awan yang ada di atas sel penangkapnya/sel photovoltaic. Kondisi tutupan awan yang ada, juga sangat mempengaruhi insolasi yang diterima. Saat awan menutupi matahari, level pencahayaan berkurang, hal ini tidak menghentikan proses produkksi energi pada PV. Namun jika terdapat cukup cahaya dari bayangan yang ada, maka PV dapat menghasilkan energi sekitar setengah dari kemampuan produksinya. Semakin tebal awan semakin berkurang juga energi yang dihasilkan, bahkan jika terdapat awan yang sangat tebal, tidak menutup kemungkinan solar panel menghasilkan sangat sedikit energi (Daniels, 2006). Belum terdapatnya penelitian yang membahas mengenai kondisi tutupan awan terhadap radiasi matahari di Jawa Barat menambah pentingnya dilakukan penelitian ini Letak Indonesia yang berada di daerah tropis, diapit oleh dua samudera dan benua membuat pertumbuhan awan konvektif cukup tinggi sepanjang tahunnya. Oleh karena itu faktor analisis tutupan awan sangat berpengaruh dalam pembuatan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Indonesia. Sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini, yaitu mengetahui kondisi tutupan awan yang ada maka
Pendahuluan
Energi yang menggunakan bahan bakar fosil menjadi “primadona” di abad 18 hingga akhir abad 20. Seiring dengan berkembangya zaman, maka energi berbahan bakar fosil ini persediaannya mulai menipis dan dampaknya yang sangat buruk bagi lingkungan sekitar mulai dipertentangkan oleh beberapa negara di dunia. Ketidakseimbangan antara persediaan dan permintaan akan energi fosil inilah yang memicu terjadinya krisis energi. Krisis energi yang terjadi beberapa dekade dan tumbuhnya kesadaran akan lingkungan, menimbulkan upaya yang lebih besar untuk mengoptimalisasikan sumberdaya energi di segala sektor aktivitas (Ramirez-Faz dan Lopez-Luque, 2011). Untuk menyeimbangkan antara persediaan dan permintaan energi dibutuhkanlah energi yang terbarukan serta ramah lingkungan. Energi matahari mampu menjawab tuntutan energi yang dibutuhkan saat ini, disamping energi ini terbarukan hasil buangan dari energi ini dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Beberapa hal ini inilah yang membuat energi matahari sebagai salah satu pilihan energi di masa yang akan datang.
1
memisahkan kelas tutupan awan menjadi cerah, berawan dan sebagian berawan. Albedo yang digunakan untuk processing estimasi insolasi diperoleh dengan mengkonversi nilai VIS (Visible) MTSAT. Untuk mengetahui tebalnya ozon secara spasial maka digunakanlah data satelit TOMS (Total Ozone Mapping Spectrometer) dengan resolusi 1ox1o.
dapat ditentukan potensi energi matahari yang diterima di daerah tersebut, hal ini diharapkan dapat mengoptimalkan energi yang diperoleh dari photovoltaic. Penelitian mengenai insolasi dan jenis awan sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Yeom dan Han (2010), dalam penelitiannya diperlihatkan bagaimana analisis tutupan awan dapat mempengaruhi SSI (Surface Solar Insolation) yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan model yang dibuat oleh Tanahashi dkk. (2001) untuk mengestimasikan SSI berdasarkan data TBB satelit. Metode ANN (Artificial Neural Network) digunakan untuk meningatkan akurasi dari estimasi SSI untuk kondisi langit berawan dan cerah, kemudian untuk memastikan efisiensi dalam performa jaringan maka dilakukanlah PCA (Principal Component Analysis) terlebih dahulu sebelum data dimasukkan ke dalam model jaringan saraf (Yeom dan Han, 2010). Hasil yang didapat oleh Yeom dan Han menunjukkan akurasi data yang sangat baik, terutama pada kondisi langit cerah. Sehingga dalam penelitian kali ini, akan digunakan metode yang sama dengan Yeom dan Han yaitu penggunaan model jaringan saraf untuk mengoreksi estimasi insolasi yang didapat.. Digunakan pula metode bias correction untuk membandingkan nilai estimasi insolasi terkoreksi ANN. Hasil keluaran model yang didapat akan dikonversikan ke dalam kWh/m2/day untuk keperluan pemetaan potensi energi matahari di Jawa Barat. 2.
2.3. Data iklim global Data iklim global yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data tekanan permukaan. Data ini digunakan untuk menghitung iradiasi difus akibat adanya hamburan Rayleigh dan didapat dari NCEP (National Centers for Enviromental Prediction) Reanalysis dengan resolusi 2,5ox2,5o. 2.4. Data verifikasi Data verifikasi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data AWS online BMKG, yang tersebar di 5 stasiun di seluruh Jawa bagian barat. Adapun stasiun yang digunakan untuk memverifikasi data estimasi adalah stasiun AWS Kabupaten Bandung, Geofisika Bandung, Curug, Sumedang dan Serang. 2.5. Preprocessing, Processing, Postprocessing Model Estimasi Insolasi Dalam preprocessing model estimasi insolasi dilakukan pemisahan data kelas tutupan awan menjadi cerah, berawan dan sebagian berawan. Pembagian kelas tutupan awan ini menggunakan metode “threshold-based cloud-detection” yang ditemukan oleh Saunders dan Kriebel (1988). Secara umum input yang digunakan untuk pembagian kelas tutupan awan ini adalah data TBB MTSAT-1R untuk IR1, IR2 dan IR4. Setelah selesai melakukan pembagian kelas tutupan awan, selanjutnya adalah tahap processing estimasi insolasi. Pada tahap ini insolasi akan diestimasi menggunakan rumus yang ditemukan Tanahashi (2001). Penggunaan persamaan ini cukup sederhana, nilai SSI diestimasikan dengan menambahkan SI (Iradiasi langsung), SR (Iradiasi difus dikarenakan hamburan Rayleigh) dan SA (Iradiasi difus dikarenakan penyerapan oleh aerosol).
Data dan Metode
Data yang digunakan dalam penelitian kali ini terbagi menjadi empat data utama yaitu data observasi, data satelit, data iklim global dan data verifikasi. Metode yang digunakan dalam penelitian kali ini dibagi menjadi lima tahapan yaitu preprocessing model estimasi insolasi, processing model estimasi insolasi, postprocessing model estimasi insolasi, penentuan hubungan energi PV dan insolasi, pembuatan peta potensi energi matahari berdasarkan tutupan awan . 2.1. Data observasi Data observasi dalam penelitian ini diambil dengan melakukan pengamatan langsung di taman alat Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung. Waktu pengamatan dalam penelitian ini berlangsung pada 7 Maret 2012 pukul 12.30 sampai 15.00 WIB. Data energi (dalam kWh) diambil menggunakan PV SL 100 CE – 18 M dan data insolasi (dalam Watt/m2) diambil menggunakan AWS Meteorologi ITB.
= =(
+ +
+ +
(2.1) ). (1 − . )
(2.2)
Untuk mengestimasikan nilai insolasi yang pada kondisi cerah maka digunkanlah persamaan (2.1) dan untuk kondisi berawan dan sebagian berawan digunakanlah persamaan (2.2). Perbedaan yang paling mencolok antara estimasi kondisi cerah dan berawan adalah digunakannya A (Albedo) serta a (koefisien atenuasi oleh aerosol) untuk mengestimasikan insolasi pada kondisi berawan.
2.2. Data satelit Dalam penelitian ini digunakanlah data satelit MTSAT-1R dengan resolusi 0,05ox0,05o pada channel IR1, IR2, IR4 dan VIS. Data IR (Infrared) MTSAT digunakan sebagai data preprocessing estimasi untuk
2
Setelah didapatkan nilai estimasi insolasi, maka tahap selanjutnya adalah postprocessing model estimasi insolasi. Dalam tahap ini data estimasi insolasi yang diadpat akan dikoreksi dengan dua metode, yaitu BPNN (Backpropagation Neural Network) dan bias correction. Kemudian dari kedua metode ini akan diambil nilai estimasi insolasi terkoreksi yang memiliki nilai RMSE terkecil. Persamaan dengan nilai RMSE terkecil akan digunakan untuk memperbaiki hasil estimasi insolasi secara keseluruhan. Diagram alir pengerjaan tahap postprocessing dapat dilihat pada Gambar 2.1.
dan potensi rendah berdasarkan rentang nilai estimasi insolasi yang didapat 3.
Hasil dan Pembahasan
Dalam penelitian ini Digunakan 5 stasiun AWS BMKG untuk memverifikasi insolasi yang didapat. Stasiun itu adalah stasiun Bandung Solokanjeruk, Bandung Geofisika, Curug, Sumedang, Serang. Untuk melihat perbedaan sebaran insolasi antara pagi,siang dan sore hari, maka dibuatlah komposit insolasi untuk pukul 00, 03, 06, 09 UTC selama periode Juni 2010 sampai Mei 2011.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3.1.Komposit insolasi pada 00 UTC(a) dan 09 UTC (b) serta 03 UTC (c) dan 06 UTC (d) selama Juni 2010-Mei 2011.
Gambar 2.1.Diagram alir tahap postprocessing
2.6. Penentuan hubungan energi PV dan insolasi
Berdasarkan Gambar 3.1Pada pukul 00 dan 09 UTC memperlihatkan bahwa sebaran insolasi estimasi yang didapat lebih mengikuti sebaran sudut zenith matahari. Lebih sedikitnya pertumbuhan awan konvektif di pagi hari (00 UTC) mungkin juga merupakan salah satu alasan mengapa di pagi hari sebaran insolasi lebih mengikuti sudut zenith matahari. Sedangkan pada pukul 03 dan 06 UTC dimana pertumbuhan awan konvektif sudah cukup dominan, maka sebaran insolasi yang didapat mengikuti sebaran awan yang ada. Untuk kasus 09 UTC terlihat sebaran yang didapat lebih mengikuti sudut zenith matahari dibandingkan pertumbuhan awan konvektif yang ada
Penentuan hubungan energi PV dan insolasi dimaksudkan agar data estimasi insolasi yang diperoleh dapat dikonversi ke dalam satuan kWh/m2/day sesuai jenis PV yang digunakan. Penentuan hubungan anatara energi PV dan insolasi dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi sederhana. Data didapat dengan melakukan observasi langsung di taman alat Meteorologi Institut Teknologi Bandung pada 7 Maret 2012 selama pukul 12.30 hingga 15.00 WIB. 2.7. Pembuatan peta potensi energi matahari berdasarkan tutupan awan .
3.1. Verifikasi Insolasi
Pembuatan peta potensi menggunakan tools GIS (Geographical Information System) menampilakan jumlah potensi dalam kWh/m2/day untuk wilayah Jawa Barat. Pada penelitian ini akan dilakukan pemisahan wilayah dengan kategori potensi tinggi, potensi menengah
3.1.1. Analisis komposit per waktu Secara umum rata-rata nilai estimasi yang didapat menunjukkan kecenderungan nilai overestimated, namun lain halnya dengan stasiun Serang, rata-rata nilai observasi yang didapat cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan nilai estimasi yang ada, sehingga khusus untuk stasiun
3
Tabel 3.2. Perbandingan nilai minimum, maksimum dan standar deviasi insolasi observasi untuk setiap stasiun.
Serang, rata-rata nilai estimasi yang didapat adalah underestimated (lihat Gambar 4.5). (a) (b)
Stasiun Min Max STDEV
Curug Sumedang Serang Bandung Bandung Geofisika 0.2 0.2 1 8.2 0.2 1308.9 491.6 1940.7 432.7 1119.1 284.8764 117.6489 454.0469 100.9967 288.005
3.1.2. Analisis per stasiun Dalam menganalisis kecocokan estimasi insolasi yang didapat dengan nilai observasi insolasi tiap stasiun, maka digunakanlah metode regresi linear. (c)
(d) (a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 3.2. Perbandingan data observasi insolasi komposit per waktu dengan data estimasi insolasi komposit untuk tiap stasiun (a) Bandung, (b) Bandung Geofisika, (c) Curug, (d) Sumedang, (e) Serang.
Gambar 3.3.
Perbedaan nilai rata-rata estimasi yang didapat di daerah Serang menimbulkan asumsi adanya kesalahan data observasi yang dicatat. Ketinggian (altitude) daerah Serang yang rendah dan mendekati ketinggian permukaan laut mungkin menjadi alasan tingginya rata-rata nilai observasi yang didapat. Asumsi ini kemudian dianggap lemah, mengacu pada altitude daerah Curug yang lebih rendah dibanding Serang, namun rata-rata nilai observasi yang didapat di daerah Curug lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nilai observasi Serang (lihat Tabel 4.1).
Berdasarkan Gambar 3.3 diperoleh bahwa secara kualitatif rata-rata estimasi yang didapat adalah overestimated, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya hasil estimasi yang berada diatas garis Y=X. Nilai estimasi yang overestimated ini mendukung analisis kualitatif komposit sebelumnya yang menyatakan hal yang sama. Minimnya data observasi di daerah Sumedang menyebabkan kurang baiknya korelasi yang didapat dan tingginya RMSE dalam persen (%) terhadap insolasi estimasi (lihat Tabel 3.3).
Tabel 3.1. Perbandingan altitude setiap stasiun observasi dari yang terendah hingga tertinggi. Stasiun Altitude (meter)
Curug 46
Hasil plot regresi linear insolasi estimasi terhadap insolasi observasi di setiap stasiun observasi, (a) Bandung, (b) Bandung Geofisika, (c) Curug, (d) Sumedang,
Tabel 3.3.Nilai RMSE dan korelasi yang didapat untuk tiap stasiun.
Serang Sumedang Bandung Bandung Geofisika 100 552 628 829
Stasiun Bandung Bandung Geofisika Curug RMSE 139.9242 228.5339 249.0503 RMSE (%) 32.3375 20.4212 19.0275 Korelasi 0.7572 0.6562 0.7463
Terlihat bahwa data yang terdapat di stasiun Serang dapat dikatakan tidak valid, hal ini dapat dibuktikan dengan tingginya nilai standar deviasi yang mencapai 454,0469 Watt/m2, diperkuat juga dengan nilai insolasi observasi maksimum yang terdapat di daerah ini yang mencapai 1940,7 Watt/m2,dimana hal ini secara teoritis tidak mungkin terjadi (lihat Tabel 3.2). Oleh karena itu penulis memutuskan untuk tidak menggunakan data stasiun Serang.
Sumedang 160.9828 32.7467 0.5682
Pada stasiun Bandung nilai RMSE yang dihasilkan cukup baik (139,9242 W/m2) serta korelasi yang didapat cukup baik, sehingga dapat dikatakan nilai estimasi pada stasiun Bandung adalah yang terbaik yang didapat. Secara kualitatif besarnya nilai RMSE (%) Bandung mungkin dikarenakan adanya kesalahan sistematis terjadi (lihat Gambar 3.3).
4
secara kualitatif pada Gambar 3.5. Secara kuantitatif dapat terlihat pada Gambar 3.6 RMSE yang dihasilkan setelah fasa training menurun untuk bulanbulan ini.
3.1.3. Analisis model secara keseluruhan Dalam menganalisis ketepatan estimasi terhadap data keseluruhan maka dibuatlah perbandingan data estimasi dan data observasi di seluruh titik pengamatan. (a) (b)
Gambar 3.4. Perbandingan hasil estimasi insolasi terhadap data observasi di seluruh stasiun pengukuran, (a) grafik estimasi vs observasi, (b) hasil plot regresi linear di seluruh stasiun.
Dari Gambar 3.4 terlihat bahwa estimasi yang didapat cenderung memiliki nilai overestimated untuk seluruh stasiun pengukuran, hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya sebaran data pada plot regresi linear yang berada di atas garis Y=X . Walaupun begitu nilai korelasi yang diberikan cukup baik yaitu berada pada kisaran 0,74, hal ini mengatakan bahwa perbandingan fasa yang dibentuk antara data estimasi dan observasi sudah cukup baik.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3.5. Perbandingan fasa training dan testing dalam bias correction setiap 3 bulan, (a ) JJA (Juni Juli Agustus), (b) SON (September Oktober November), (c) DJF (Desember Januari Februari) dan (d) MAM (Maret April Mei); Observasi (garis biru), Estimasi (garis merah), bias correction (garis hijau).
Tabel 3.4. Nilai RMSE, RMSE (%) dan korelasi data estimasi untuk seluruh stasiun pengukuran Lokasi Seluruh Stasiun RMSE 194.712 RMSE(%) 14.876 Korelasi 0.7428
Hal sebaliknya terjadi dengan bulan DJF dan MAM setelah dilakukan koreksi bias error semakin meningkat (lihat Gambar 3.6). Perbedaan perubahan error ini dikarenakan ketidakcocokan quantile yang digunakan. Dalam kasus ini digunakan quantile default yaitu q=[0,1; 0,15; 0,2; 0,.25; 0,5; 0,6; 0,7; 0,75; 0,9; 0,91; 0,92; 0,93; 0,94; 0,95; 0.96; 0.97; 0.98; 0,99]. Penentuan q ini didasarkan pada mekanisme “trial and error” untuk mencocokkan koreksi yang didapat dengan data observasi pada tahap training.
Dari Tabel 3.4 diperoleh bahwa untuk seluruh stasiun nilai estimasi yang didapat dapat dikatakan cukup baik terbukti dengan dengan cukup kecilnya nilai RMSE (%) yang dihasilkan yaitu 14,8% untuk data per jam. Cukup relevannya nilai RMSE (%) mengacu pada penelitian sebelumnya oleh Tanahashi (2001) yang memperoleh nilai RMSE (%) sebesar 14% untuk data per jam. Tingginya nilai RMSE yang didapat dikarenakan besarnya jangakauan data observasi yang ada, serta adanya beberapa nilai observasi ekstrem yang tidak dapat diestimasi dengan baik oleh model juga merupakan salah satu alasan tingginya nilai RMSE yang didapat.
RMSE pratraining vs RMSE pascatraining Bias Correction 600 500 400
3.2. Pascaproses menggunakan Bias Correction Dalam meningkatkan hasil estimasi model yang didapat digunakanlah metode bias correction. Metode ini mengoreksi error yang dihasilkan untuk setiap quantile yang ditetapkan. Dalam penelitian ini digunakan 75% jumlah data untuk periode training dan 25% jumlah data untuk periode testing. Dari hasil testing didapat bahwa pada bulan JJA dan SON hasil koreksi yang didapat cukup baik memperbaiki data yang ada. Hal ini dapat terlihat
300
RMSE sebelum training
200
RMSE setelah training
100 0 JJA
Gambar 3.6.
5
SON
DJF
MAM
Perbandingan RMSE antara data estimasi sebelum terkoreksi bias dan sesudah terkoreksi bias. RMSE sebelum training (biru), RMSE setelah training (merah).
Dari histogram Gambar 3.6 diatas terlihat bahwa RMSE yang dibentuk pada bulan JJA memiliki nilai yang paling tinggi, hal ini mungkin dikarenakan tingginya pertumbuhan awan konvektif pada bulanbulan ini.
setelah melakukan training. Gambar 3.7 merupakan hasil periode testing dalam neural network dengan menggunakan 25 % dari seluruh data yang ada. Terlihat pada Gambar 3.7 BPNN berhasil mestabilkan hasil estimasi yang diperoleh sehingga mendekati data observasi yang ada. Namun dikarenakan dalam penggunaan estimasi insolasi masih digunakan persamaan pendekatan dalam penentuan koefisien atenuasi insolasi , maka terdapat beberapa nilai negatif hasil keluaran koreksi BPNN. Sebenarnya hal ini tidak mungkin terjadi untuk nilai insolasi. Pola RMSE yang sama juga terjadi untuk metode BPNN, alasan yang sama seperti yang dikemukakan pada analisis bias correction, masih menjadi alasan utama pola sebaran RMSE yang didapat.
3.3. Pascaproses menggunakan Backpropagation Neural Network Untuk meningkatkan akurasi hasil estimasi insolasi yang didapat, maka digunakanlah model neural network (model jaringan saraf), dalam penelitian ini digunakannlah metode LMBP (Levenberg–Marquardt back-propagation). Penggunaan metode ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yeom dan Han (2010), dimana pada penelitiannya digunakanlah metode LMBP untuk meningkatkan SSI hasil keluaran model di seluruh Korea Selatan. Dalam penggunan neural network metode LMBP ini digunakanlah Neural Network Toolbox yang terdapat dalam software MATLAB 7.10.0. Data insolasi estimasi yang dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai input ke dalam neural network, digunakan 70% dari data input sebagai periode training, 5% digunakan sebagai periode validasi dan 25% digunakan sebagai periode testing. Setelah selesai melakukan simulasi data estimasi yang ada maka hasil keluaran neural network untuk 3 bulanan adalah sebagai berikut :
RMSE pratraining vs RMSE pascatraining BPNN 600 400 200 0
Gambar 3.8.
(a)
(c)
(b)
RMSE sebelum training RMSE setelah training
Perbandingan RMSE antara data estimasi sebelum dan sesudah training BPNN. RMSE sebelum training (biru), RMSE setelah training (merah).
Terlihat pada Gambar 3.8 BPNN berhasil mestabilkan hasil estimasi yang diperoleh sehingga mendekati data observasi yang ada. Namun dikarenakan model ini adalah model statistik, masih terdapat beberapa nilai negatif hasil keluaran koreksi BPNN, dimana sebenarnya hal ini tidak mungkin terjadi untuk nilai insolasi. Pola RMSE yang sama juga terjadi untuk metode BPNN, alasan yang sama seperti yang dikemukakan pada analisis bias correction, masih menjadi alasan utama pola sebaran RMSE yang didapat.
(d)
3.4. Perbandingan pascaproses menggunakan bias correction dengan BPNN
Gambar 3.7.
Dengan melihat Gambar 3.6 dan Gambar 3.8 diketahui terdapat kemiripan pola RMSE BPNN dengan pola RMSE bias correction (lihat Gambar 411). Perbedaan yang dominan antara RMSE BPNN dan bias correction adalah berbeda besar error yang dapat diturunkan. Secara kuantitatif dapat dikatakan penurunan RMSE menggunakan training BPNN lebih besar dibandingkan menggunakan bias correction untuk data 3 bulanan.
Hasil simulasi neural network menggunakan metode LMBP untuk periode 3 bulan, (a ) JJA, (b) SON, (c) DJF dan (d) MAM. Scatter plot sebelum training (merah), scatter plot setelah training.
Pada Gambar 3.7 terlihat bahwa training memperbaiki nilai estimasi yang ada, terbukti dengan semakin membaiknya besar RMSE yang didapat
6
(b)
Energi (kWh/m2/day) vs Insolasi (W/m2) Energi
(a)
y = 0.001x + 0.042 R² = 0.805
2.5 2 1.5 1 0.5 0
energi vs insolasi
0
Gambar 3.9.
500
1000
1500
Linear (energi vs insolasi)
Insolasi
Perbandingan hasil plot regresi linear antara metode koreksi menggunakan bias correction dengan BPNN. (a) Perbandingan Estimasi terhadap Observasi Insolasi terkoreksi bias correction, (b) Perbandingan Estimasi terhadap Observasi Insolasi terkoreksi BPNN. Scatter plot sebelum training (merah), scatter plot setelah training (biru).
Gambar 3.10. Grafik hubungan antara Energi (kWh/m2/day) dengan Insolasi (Watt/m2)
3.6. Pembuatan peta potensi energi matahari Setelah memiliki data yang lengkap maka hal berikutnya yang dilakukan adalah membuat peta potensi energi matahari. Dengan merata-ratakan seluruh nilai insolasi estimasi yang didapat dengan nilai RMSE (%) sekitar 11,43 % serta efisiensi sekitar 17%, maka dibuatlah peta potensi energi matahari dengan RMSE (%) sekitar 11,43% dan efisiensi 17%. Peta potensi energi yang didapat menunjukkan potensi energi yang dapat dihasilkan di daerah Jawa Barat memiliki jangkaian energi antara 0,28 sampai 0,55 kWh/m2/day. Perbedaan yang cukup signifikan terjadi antara daerah Jawa Barat bagian utara dan Jawa Barat bagian selatan (lihat Gambar 3.11 (b)).
Namun apabila dibandingkan antara hasil training BPNN dan bias correction untuk keseluruhan data, maka dapat terlihat bahwa metode koreksi menggunakan BPNN lebih mengurangi nilai RMSE yang dihasilkan dibandingkan metode koreksi bias correction. Tabel 3.5.Nilai RMSE, RMSE (%) dan korelasi data estimasi setelah dilakukan training untuk seluruh stasiun pengukuran. Training Default Bias Correction BPNN RMSE 194.712 174.2013 109.4325 RMSE(%) 14.876 13.309 11.4338 Korelasi 0.7428 0.7525 0.8302
(a)
Hasil yang diperoleh dari Tabel 3.5 secara keseluruhan dapat dikatakan baik, mengacu kepada beberapa penelitian sebelumnya oleh Kawamura dkk. (1998) yang mendapatkan kesepakatan nilai RMSE sebesar 17%. Persamaan yang didapat setelah turunnya RMSE (%) menjadi 11,4338% ini kemudian akan digunakan untuk meningkatkan rata-rata estimasi insolasi per 3 bulanan dan keseluruhan yang didapat.
Gambar 3.11.
3.5. Hubungan energi yang didapat dengan insolasi Dalam menentukan hubungan antara energi yang dihasilkan satu jenis PV dan insolasi yang ada, maka dilakukanlah pengukuran langsung di lapangan. Daerah yang digunakan untuk penentuan hubungan ini adalah taman alat program studi meteorologi Institut Teknologi Bandung. Hasil yang didapat menggunakan 27 data ini dapat dikatakan cukup representatif, melihat secara kualitatif regresi linear yang dihasilkan baik, dan secara kuantitatif korelasi yang dihasilkan baik (lihat Gambar 3.10). Persamaan yang didapat kemudian digunakan untuk mengonversi hasil keluaran insolasi neural network yang kemudian digunakan untuk pembuatan peta potensi energi matahari.
(b)
(a) Kontur topografi daerah Jawa Barat (sumber:http://www.qyudos.co.id), (b) Ratarata estimasi potensi energi matahari untuk daerah Jawa Barat Juni 2010-Mei 2011.
Lebih rendahnya nilai energi yang dapat dihasilkan di daerah Jawa Barat bagian selatan mungkin dikarenakan lebih banyaknya gunung dan bukit di daerah selatan (lihat Gambar 3.11 (b)). Hal ini mengakibatkan lebih banyaknya awan dan kabut di daerah sekitar gunung akibat adanya mekanisme angin laut dan angin lembah. Tutupan awan dan kabut ini kemudian akan mengurangi nilai insolasi yang didapat sehingga mengurangi potensi energi yang dapat dihasilkan. Secara umum dapat dikatakan bahwa rata-rata potensi estimasi energi sepanjang tahun yang dapat dihasilkan di daerah Jawa Barat bagian utara lebih besar dibandingkan daerah selatan, rata-rata energi maksimal yang dapat dihasilkan adalah sekitar 0,55 kWh/m2/day. Namun dengan terbatasnya efisiensi PV yang digunakan, maka energi yang dihasilkan untuk
7
yang didapat dikarenakan efisiensi PV yang sangat kecil yaitu sekitar 17%. Energi minimum yang digunakan untuk penerangan menggunakan lampu LED 40 Watt adalah sekitar 0,48 kWh/day. Sehingga jika dibagi menjadi lima rentang energi didapatkanlah potensi energi rendah (< 0,48 kWh/m2/day), potensi energi menengah rendah (0,481-0,51 kWh/m2/day), potensi menengah (0,511-0,54 kWh/m2/day), potensi menengah tinggi (0,541-0,57 kWh/m2/day), potensi energi tinggi (0,571-0,594169 kWh/m2/day) seperti yang terlihat pada Gambar 3.14.
pengembangan PLTS di Jawa Barat masih belum dapat diwujudkan.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3.12. Perbandingan potensi energi yang dapat dihasilkan dalam kWh/m2/day untuk bulan (a) JJA, (b) SON, (c) DJF dan (d) MAM. Colorbar dalam satuan kWh/m2/day.
Gambar 3.14.
Dari beberapa perbandingan Gambar 3.12 diatas terlihat bahwa terdapat variasi yang cukup signifikan antara potensi energi matahari yang didapat antar bulan basah dan bulan kering. Pada bulan basah terlihat bahwa energi yang dihasilkan di Jawa Barat lebih kecil dibandingkan bulan kering, lebih kecilnya nilai energi yang dihasilkan mungkin dikarenakan lebih banyaknya awan pada bulan basah, hal ini mengakibatkan lebih kecilnya nilai energi yang didapat.
(a)
Peta potensi energi matahari Jawa Barat berdasarkan klasifikasi potensi energi rendah (< 0,48 kWh/m2/day) (biru tua), potensi energi menengah rendah (0,481-0,51 kWh/m2/day) (biru muda), potensi menengah (0,511-0,54 kWh/m2/day) (hijau), potensi menengah tinggi (0,541-0,57 kWh/m2/day) (jingga), potensi energi tinggi (0,571-0,594169 kWh/m2/day) (merah).
Dengan melihat peta potensi energi matahari pada Gambar 4.23 dapat dikatakan bahwa hampir seluruh daerah Jawa Barat memiliki potensi energi matahari yang baik untuk digunakan dalam penerangan. Namun jika dilihat secara kualitatif dapat dikatakan bahwa daerah Jawa Barat bagian utara memiliki potensi energi matahari yang lebih besar dibandingkan Jawa Barat bagian selatan.
(b)
4.
Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan Dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan utama yaitu daerah Jawa Barat bagian utara memiliki potensi energi yang cukup baik dengan nilai insolasi yang didapat sekitar 550 Watt/m2. Namun apabila belum didapatkan PV dengan efisiensi yang tinggi, belum terlihat prospek untuk dikembangkannya PLTS. Kesimpulan lainnya yang penulis dapatkan mengenai model estimasi yang digunakan serta hal-hal lain dalam pengerjaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 3.13. Perbandingan (a) Estimasi potensi energi yang diperoleh untuk daerah Jawa Barat dengan (b) potensi PV yang didapat NREL (National Renewable Energy Laboratory)
Berdasarkan Gambar 3.13 terlihat bahwa energi yang dihasilkan oleh NREL dan energi yang diperoleh menenjukkan perbandingan yang sangat berbeda. Nilai estimasi energi maksimum yang didapat hanya menunjukkan nilai 0,59 kWh/m2/day sedangkan nilai estimasi energi maksimum yang diperoleh NREL adalah 6,8 kWh/m2/day. Terlalu berbedanya energi
1.
8
Secara rata-rata dapat terlihat dalam CDF (Cumulative Distribution Function) model sudah baik mengestimasikan nilai-nilai
2.
3.
insolasi rendah terutama di bulan-bulan basah di Jawa Barat seperti DJF dan MAM.
http://www.articlecity.com/articles/environment_and_going _green/article_996.shtml
Dalam penentuan model untuk mengoreksi hasil estimasi yang didapat BPNN lebih baik daripada bias correction, hal ini mungkin karena algortima didalam BPNN lebih kompleks dibanding algoritma bias correction.
Ramirez-Faz, J., & Lopez-Luque, R. (2011). Develop ment of a method ology for quantifying insolation variables. Science Direct , 426. Saunders, R. W., & Kriebel, K. T. (1988). An Improved method for detecting clear sky and cloudy radiances from AVHRR data. International Journal of Remote Sensing , 123-150.
Ketebalan awan merupakan salah satu parameter yang penting dan belum dapat diestimasikan oleh model, hal ini dikarenakan sangat besarnya pengaruh tebal awan terhadap efisiensi PV yang didapat.
Tanahashi, S., Kawamura, H., Matsuura, T., Takahashi, T., & Yusa, H. (2001). A system to distribute satellite incident solar radiation in real-time. Remote Sensing of Environment , 412-422. Yeom, J.-M., & Han, K.-S. (2010). Improved estimation of surface solar insolation using a neural network and MTSAT1R data. Computer & Geosciences , 590-597.
4.
Terdapat kemiripan antara sebaran insolasi yang diestimasikan dengan topografi di daerah Jawa Barat. Secara umum dapat dikatakan daerah dengan topografi tinggi memiliki estimasi insolasi yang lebih rendah. 4.2. Saran Bagi siapapun yang ingin menlanjutkan penelitian mengenai estimasi potensi energi matahari di Indonesia menggunakan metode yang sama, berikut adalah saran yang penulis berikan : 1.
Penelitian mengenai potensi energi matahari di Indonesia masih sangatlah jarang, sehingga bagi siapapun yang ingin mengembangkan penelitian ini, perhitungkan pula tebal awan yang ada, karena hal ini sangat mempengaruhi insolasi yang didapat.
2.
Dalam menganalisis sebaran dan besar insolasi yang ada, diharapkan dapat memplot data per bulan, agar dapat melihat lebih detil perubahan sebaran dan besaran insolasi yang ada.
3.
Dalam hal pengambilan data observasi meteorologi diusahakan untuk mendapatkan data yang valid untuk penelitian, hal ini sangat berpengaruh dalam penentuan ketepatan estimasi model yang didapat.
4.
Apabila ingin melakukan penelitian yang sama dengan penelitian ini, disarankan untuk menggunakan resolusi satelit yang lebih tinggi dibandingkan MTSAT-1R, hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir kesalahan saat melakukan grid untuk awan-awan kecil.
REFERENSI Daniels, W. (2006). articles/environment_and_going_green/article_996.shtml. Retrieved 2 3, 2012, from http://www.articlecity.com:
9