Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
PERANAN CURAH HUJAN TERHADAP PENURUNAN DEBIT WADUK PLTA KOTO PANJANG DINUL AKBARI Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK PLTA Koto Panjang menyediakan daya listrik sebesar 114MW untuk wilayah Riau dan sekitarnya. Kondisi water level air waduk PLTA Koto Panjang yang terus menurun membuat daya listrik yang dihasilkan hanya mencapai 60MW pada bulan Juli 2006. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji keterkaitan curah hujan terhadap water level dan debit pada kondisi ekstrim minimum khususnya yang terjadi pada tahun 2006. Dalam menghitung nilai debit pada Sub-DAS Kampar PLTA Koto Panjang menggunakan model SWAT. Model SWAT ini menggunakan input data utama berupa curah hujan untuk menghasilkan nilai debit. Analisis dilakukan dengan mengkorelasikan perhitungan forward moving average debit hasil perhitungan SWAT dua, tiga, empat dan lima bulanan dengan nilai water level. Nilai korelasi terbaik 0.51973 antara water level dan forward moving average debit SWAT empat bulan. Maka kondisi minimum water level di waduk PLTA Koto Panjang dipengaruhi oleh curah hujan empat bulan terakhir. Dan penurunan water level pada tahun 2004 lebih ekstrim dibandingkan tahun 2006, tetapi akibat dari kenaikan trend demand daya listrik menyebabkan pada tahun 2006 lebih dirasakan penurunan debit yang lebih ekstrim dari pada tahun 2004. Kata kunci: penurunan water level, curah hujan, debit SWAT, debit empat bulan, trend demand listrik, PLTA Koto Panjang.
1.
listrik bila permukaan air mencapai 76.4 mdpl. Kondisi debit air PLTA Koto Panjang yang terus menurun membuat PLN terpaksa memadamkan sebagian pelanggan secara bergilir sejak akhir Mei hingga Agustus. Dari kebutuhan total listrik untuk wilayah Riau daratan sebesar 220MW, PLTA Koto Panjang hanya mampu menghasilkan listrik sebesar 60 MW dari kapasitas maksimalnya sebesar 114 MW (Taufik, 2006). Tenaga air atau hydropower adalah daya listrik yang dihasilkan dari pemanfaatan aliran air. Energi potensial dari bendungan atau air terjun diubah menjadi energi kinetik melalui turbin. Energi kinetik ini kemudian diubah menjadi energi listrik dengan menggunakan generator (Penche and Minas, 1998). Tinggi jatuh air sangat menentukan daya yang akan dihasilkan, karena semakin tinggi jatuh air, maka semakin tinggi energi potensial yang dimiliki oleh air tersebut. Studi hidrometeorologi dianggap dapat memberikan penjelasan terhadap kejadian menurunnya daya listrik yang dihasilkan oleh PLTA Koto Panjang. Awal dari studi hidrometeorologi ialah dengan melakukan pengkajian terhadap keterkaitan curah hujan terhadap water level dan debit DAS serta nilai debit air waduk pada kondisi penurunan
Pendahuluan
PLTA Koto Panjang terletak di Desa Merangin Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Secara detail lokasi PLTA Koto Panjang berada di pinggir jalan nasional yang menghubungkan Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Barat, berjarak 20 km dari Bangkinang atau 85 km dari Kota Pekanbaru. PLTA Koto Panjang dapat menghasilkan daya listrik sebesar 114MW dengan memanfaatkan arus hulu sungai Kampar Kanan yang terletak di bukit barisan. Bendungan PLTA Koto Panjang adalah jenis bendungan beton setinggi 58 m, panjang 257,5 m dan kapasitas reservoir 1,545 juta m3. Luas wilayah tangkapan air PLTA Koto Panjang sekitar 3.337 km2 dengan debit tahunan rata-rata 184.4 m3/s. Dua pembangkit utama pemasok listrik di Provinsi Riau yakni PLTA Koto Panjang dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin di Provinsi Sumatera Barat tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan listrik sebesar 220MW. Pada pertengahan Juni tahun 2006, PLN melakukan hujan buatan untuk menambah debit air akibat surutnya debit air di PLTA Koto Panjang dan pada saat itu duga muka air di PLTA Koto Panjang mencapai 78,4 mdpl. Dan turbin pembangkit tidak bisa menghasilkan daya
1
minimum yang terjadi pada tahun 2006. Dimana pada tahun 2006 diduga telah terjadi curah hujan ekstrim minimum. Karakteristik curah hujan di wilayah Sumatera bagian utara terbagi menjadi dua, yakni yang berada di sebelah timur Bukit Barisan dan sebelah barat Bukit Barisan. Curah hujan di sebelah timur Bukit Barisan memiliki karakteristrik curah hujan lebih rendah dibanding rata-rata keseluruhan wilayah Sumatera bagian utara. Dan curah hujan di sebelah barat Bukit Barisan memiliki karakteristik curah hujan lebih tinggi dibandingkan rata-rata keseluruhan wilayah Sumatera bagian utara (Prabowo, 2011). Proses daur hidrologi terjadi dari air hujan yang jatuh mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk (terserap) ke dalam tanah (infiltration). Sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah akan tertampung sementara dalam cekungancekungan permukaan tanah (surface detention) kemudian mengalir di atas permukaan ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban air telah cukup jenuh maka air hujan yang baru masuk ke dalam tanah akan bergerak secara horizontal untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. Alternatif lainnya, air hujan yang masuk ke dalam tanah tersebut akan bergerak vertikal ke tanah yang lebih dalam dan menjadi bagian dari air tanah (groundwater). Air tanah tersebut, terutama pada musim kemarau, akan mengalir pelan-pelan ke sungai, danau atau tempat penampungan air alamiah lainnya (Dumairy, 1992). Dibutuhkan suatu model perhitungan dalam perhitungan debit dari daur hidrologi. Model hidrologi yang digunakan ialah model Soil Water Assesment Tool (SWAT). Model SWAT (Arnold et al., 1998; Arnold dan Fohrer, 2005, Putra 2012) telah diakui sebagai perangkat yang efektif dalam menghitung sumber daya air dalam skala luas dan kondisi lingkungan hingga penjuru bumi.
2.
dapat digunakan untuk melakukan simulasi limpasan DAS sebagai penyelidikan awal (Tamrakar & Alfredsen, December 2012). Data lain yang digunakan ialah data Digital Elevation Model (DEM), data DEM yang digunakan berasal dari SRTM yang beresolusi 90x90m pixel. Data SRTM telah memberikan hasil yang baik untuk delineasi DAS, delineasi aliran dan parameter fisik seperti daerah, kemiringan, lag time dan rata-rata elevasi khususnya dalam sektor non-urban dengan topografi kasar (Akbari, Samah, & Othman, 2012). Kemudian data yang dibutuhkan dalam perhitungan debit menggunakan model SWAT berupa data tutupan lahan, data jenis tanah, dan data temperatur harian pada beberapa stasiun. Metodologi penelitian dalam menghitung debit menggunakan model SWAT dibagi menjadi tiga, yaitu i) Pembuatan peta sub-DAS ii) Pembuatan peta Hidrologic Unit Respones (HRUs) iii) Perhitungan debit Pembuatan peta sub-DAS dilakukan dengan memasukkan data DEM SRTM ke dalam model SWAT, data DEM di delineasi sehingga diperoleh jaringan sungai-sungai yang mempengaruhi debit di sub-DAS daerah kajian. Pembuatan peta HRUs dimulai dengan klasifikasi data tutupan lahan dan jenis tanah yang berada di atas sub-DAS, kemudian dilakukan pengelompokan jenis tutupan lahan dan jenis tanah dari beberapa jenis yang berbeda tetapi termasuk ke dalam jenis yang sama oleh standar model SWAT. Dalam perhitungan debit, dibutuhkan data peta sub-DAS yang telah didelineasi, peta HRUs yang telah dilakukan klasifikasi dan memasukkan data curah hujan beserta data temperatur maksimum dan minimum harian pada tiap stasiun pengamatan yang berada di sekitar daerah kajian. Setelah pencatatan data-data tersebut didalam SWAT dilakukan perhitungan infiltrasi dan evaporasi menggunakan data temperatur maksimum dan minimum serta data tutupan lahan dan topografinya. Kemudian dilakukan perhitungan debit daerah aliran sungai. Aliran yang dihitung dalam SWAT ada 3 macam yaitu: a. Aliran permukaan (Direct Run-off)
Data dan Metode
Data curah hujan yang digunakan dalam perhitungan debit model SWAT memerlukan data curah hujan harian. Untuk memenuhi kebutuhan data curah hujan yang diperlukan, digunakan data TRMM. Penggunaan data TRMM ini disebabkan karena data curah hujan di stasiun terdekat tidak dapat memberikan karakteristik curah hujan yang sama dengan di daerah kajian. Data TRMM pada stasiun terdekat memiliki pola yang sama dan dianggap dapat mewakili curah hujan di daerah tersebut. Penerapan data satelit TRMM dalam perencanaan hydropower, menggunakan model neraca air bulanan sederhana untuk mensimulasikan limpasan telah memperoleh hasil yang baik. Hal ini berarti data satelit TRMM
ܳ௦௨ ൌ
ሺோೌ ିூሻ;
ሺோೌ ିூାௌሻమ
(3-1)
Qsurf = Jumlah aliran permukaan pada hari ke-1 (mm) Rday = Jumlah curah hujan pada hari ke-1 (mm) Ia = Kehilangan air akibat infiltrasi (mm) S = Parameterisasi Resistensi ܵ ൌ ʹǤͶͶ ൈ
2
ሺଵሻ ே
െ ͳͲ
(3-2)
Nilai Curve Number (CN) diturunkan dari analisis spasial pada HRU yang merupakan overlay dari land use dan jenis tanah. Nilai Ia biasanya digunakan 0,2S (Neitsch dkk., 2005), sehingga persamaannya menjadi :
b.
ܳௌ௨ ൌ
ሺோೌ ିǤଶௌሻమ ሺோೌ ାǤ଼ௌሻమ
3.
3.1. Hasil Perhitungan Debit oleh SWAT SWAT mensimulasikan neraca kesetimbangan air menggunakan data historis dengan menggunakan metode SCS Curve Number. Setiap HRU yang berisi data tutupan lahan, jenis tanah memiliki nilai sesuai dengan data base dari USDA. Nilai ini yang menentukan perbandingan jumlah air hujan yang turun dengan jumlah aliran, baik aliran permukaan (DRO), aliran dasar (baseflow), maupun streamflow.
(3-3)
Aliran Lateral (Stream Flow) ܳ௧ ൌ ͲǤͲʹͶ
ଶௌௐǡೣೞೞ ೞೌ ௌ ]
(3-4)
Qlat =Jumlah air lateral yang masuk ke sungai (mm/hari) Ksat = Konduktivitas jenuh hidrolik (mm/jawm) Slp = Kemiringan lereng (m/m) Ød = Porositas tanah (mm/mm) Lhill = Panjang lereng (m) SWly,excess = Kelebihan air pada permukaan tanah (mm) SWly,excess = SWly ̶ FCly Jika SWly> FCly ,dan SWly,excess =0 Jika SWly< FCly
Gambar 3-1. Grafik Debit SWAT dari tahun 1999-2008 di Sub-DAS Kampar PLTA Koto Panjang
Dimana SWly adalah kandungan air tanah dan FCly adalah kapasitas lapang (field capacity) c.
Dari gambar 3-1, dapat dilihat bahwa terdapat debit maksimum yang terjadi pada bulan November tahun 2003 (568.05 m3/s). Pola debit yang dihasilkan memiliki karakteristik/tren positif, dimana nilai debit yang dihasilkan terus meningkat. Dalam kenaikan tren debit yang dihasilkan terdapat penurunan beberapa nilai debit yaitu pada bulan April tahun 1999 (73.674 m3/s), bulan Juni tahun 1999 (92.697 m3/s), bulan Februari tahun 2000 (83.886 m3/s), bulan Februari 2002 (88.535 m3/s), bulan Agustus tahun 2002 (89.53 m3/s), bulan Juni tahun 2004 (69.35 m3/s), bulan Juli tahun 2006 (50.124 m3/s) dan bulan Mei tahun 2008 (90.403 m3/s).
Base Flow ܳ௪ ൌ
଼ೞೌ మೢ
ൈ ݄௪௧
(3-5)
ܳ௪ = Aliran bawah tanah / base flow (mm/hari) ܮଶ௪ = Jarak antara sub-DAS ke saluran utama (m) ݄௪௧ = Tinggi muka air tanah (m)
Debit sebuah sungai dalam suatu DAS didefinisikan sebagai Water Yield yaitu jumlah dari Aliran Permukaan, Aliran Lateral dan Base Flow. ܳ ൌ Q A
൫ொೞೠೝ ାொೌ ାொೢ ൯ൈ ଵൈ଼ସ
Hasil dan Pembahasan
3.2. Peranan Water Level Water level suatu waduk sangat berperan penting dalam menentukan besar kecilnya daya listrik yang dapat dihasilkan PLTA. Ketika tinggi muka air waduk mencapai ketinggian maksimum maka turbin dapat berputar dengan baik sehingga dapat menghasilkan daya listrik, hal ini dikarenakan ketinggian air menentukan energi potensial yang dapat dihasilkan air untuk memutar turbin. Dan ketika tinggi muka air waduk mencapai minimum, air tidak dapat memutar turbin karena energi potensial air waduk sangat rendah. Berdasarkan gambar 3-2, garis warna hijau merupakan garis dari rencana water level minimum harian yang harus dipenuhi agar PLTA dapat menghasilkan daya minimum yang di minta.
(3-6)
= Debit rata-rata sungai (m3/detik) = Luas sub-DAS (m2)
Setelah diperoleh nilai debit hasil perhitungan SWAT. Maka dilakukan analisis terhadap faktor-faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi penurunan water level dan debit air waduk PLTA Koto Panjang. analisis dilakukan dengan melakukan pendekatan lag time antara nilai debit SWAT dengan nilai water level menggunakan perhitungan forward Moving Average (FMA).
3
Tabel 3-1. Korelasi antara debit SWAT dengan water level
Korelasi Debit SWAT standar
0.471
Debit FMA 2 bulanan
0.444
Debit FMA 3 bulanan
0.499
Debit FMA 4 bulanan
0.519
Debit FMA 5 bulanan
0.503
Gambar 3-2. Grafik Water level Waduk PLTA Koto Panjang. Tahun pengamatan 2002 hingga april 2007
Dan garis merah putus-putus merupakan batas ketinggian muka air waduk dimana turbin tidak dapat berputar. Dan garis biru merupakan water level atau ketinggian air yang tercatat. Pada awal bulan Juni 2004 terjadi penurunan water level waduk hingga pertengahan bulan September 2004 kemudian terjadi penurunan water level pada bulan April 2006 hingga awal September 2006. Pada bulan September hingga Desember tahun 2005, terjadi penurunan water level tetapi tidak menjadi suatu masalah bagi PLN, hal ini dikarenakan penurunan yang terjadi tidak mengganggu dari perencanaan water level minimum. Gambar 3-3. Grafik hubungan water level dengan debit hasil forward moving average 4 bulanan dari tahun 2002 – 2007.
3.3. Hubungan Water level dan Debit SWAT Keadaan tinggi muka air waduk sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan debit sungai SubDAS Kampar PLTA Koto Panjang. Hubungan antara water level dan debit dapat diukur dengan dilakukannya perhitugan forward moving average (FMA). FMA merupakan perhitungan perata-rataan nilai yang bergerak kedepan, jadi untuk rata-rata 2 bulan, dilakukan perhitungan rata-rata pada bulan pertama dan kedua untuk mengisi nilai bulan pertama (FMA), kemudian rata-rata untuk nilai bulan yang kedua (FMA) dihitung dari nilai bulan kedua dan ketiga yang dirata-ratakan. Perhitungan FMA dilakukan untuk rata-rata dua bulanan, tiga bulanan, empat bulanan, dan lima bulanan. Dalam perhitungan mencari keterkaitan antara water level dan debit SWAT, dilakukan perhitungan korelasi hubungan pola water level dengan debit SWAT standar dan dengan debit SWAT yang dilakukan perhitungan FMA. Dari hasil perhitungan yang ditunjukkan oleh tabel 3-1, bahwa nilai korelasi terbaik ditunjukkan oleh FMA empat bulan dengan korelasi 0.519. Dari hasil korelasi yang menunjukkan bahwa FMA terbaik dalam 4 bulan, maka dilakukan analisis dengan melihat dari pola grafik yang ditunjukkan oleh gambar 3-3.
Pada tahun 2004 terjadi penurunan water level minimum pada bulan Oktober dan hasil debit perhitungan FMA 4 bulan menunjukkan perpindahan debit minimum yang awalnya berada pada bulan Juni tahun 2004 menjadi bulan Oktober tahun 2004. Dan sebelum dilakukan FMA, terjadi penurunan debit SWAT pada bulan Juli 2006 tetapi setelah dilakukan perhitungan FMA penurunan debit bergeser menjadi bulan November tahun 2006. Hal ini menunjukkan bahwa waduk dapat menahan atau menyimpan debit air yang masuk selama empat bulan untuk kembali dialirkan menjadi output waduk atau inflow bagi turbin penggerak PLTA.
Gambar 3-4. Grafik hubungan debit SWAT tahun 2004 dan 2006 terhadap debit komposit bulanan dalam 10 tahun.
4
Gambar 3-4 memperlihatkan nilai debit pada bulan Juli berada dibawah normal, tetapi pada empat bulan sebelumnya tidak mengalami penurunan atau dibawah debit normal (komposit). Sedangkan pada tahun 2004, penurunan debit ekstrim terjadi pada bulan Juni dan pada empat bulan sebelumnya nilai dari debitnya berada dibawah rata-rata. Hal ini yang menyebabkan penurunan nilai water level pada bulan Juni tahun 2004 lebih besar dari pada penurunan water level pada bulan Juli tahun 2006.
nilai minimum dari debit SWAT pun juga 1.67%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai minimum dari curah hujan, debit, dan water level yang terjadi merupakan nilai minimum ekstrim, karena kemungkinan kemunculannya dibawah 15%. 4.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini ialah sebagai berikut : - Dari hasil CDF membuktikan bahwa fenomena penurunan curah hujan, debit dan water level yang terjadi merupakan fenomena ekstrim minimum pada Juni 2004 dan Juli 2006. - Kondisi minimum water level /debit di waduk PLTA Koto Panjang dipengaruhi oleh curah hujan empat bulan terakhir. - Penurunan water level pada September 2004 lebih besar/ekstrim dibanding Oktober 2006 disebabkan nilai debit empat bulan sebelumnya berada dibawah normal sedangkan pada tahun 2006 berada diatas normal. - Kenaikan tren permintaan daya listrik menyebabkan penurunan nilai water level pada Juli 2006 dirasakan sangat signifikan.
3.4. Hasil Daya Keluaran PLTA Terjadi penurunan daya minimum pada bulan September tahun 2004 (1.6E+07 kWh), dan pada bulan Juli tahun 2006 (2.5E+07 kWh). Penurunan ini menyebabkan PLN tidak dapat memberikan pasokan daya listrik sesuai dengan daya yang dibutuhkan. Penurunan ini dikhawatirkan akan mengganggu pertumbuhan daya listrik yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dimana tren yang ada merupakan daya lsitrik semakin banyak dibutuhkan atau dengan kata lain, permintaan akan daya lsitrik semakin meningkat. Penurunan nilai water level yang terjadi pada bulan Juni tahun 2004 lebih besar dari pada bulan Juli tahun 2006, penurunan water level yang lebih besar pada bulan Juni tahun 2004 menyebabkan penurunan daya listrik yang lebih besar dibandingkan pada bulan Juli tahun 2006. Dari tren kenaikan daya yang dihasilkan, penurunan water level pada bulan Juli tahun 2006 dirasakan sangat signifikan dalam penurunan daya listrik, hal ini dikarenakan permintaan daya listrik yang terjadi semakin tinggi.
REFERENSI Akbari, A., Samah, A. A., & Othman, F. (2012). Integration of SRTM and SRTM Date Into The GIS-Bades Hydrological Model For The Purpose of Flood Modelling. Hydrology and Earth System Sciences Discussion, 4748-4775. Dumairy. (1992). Ekonomika Sumberdaya Air, Pengantar ke Hidrolika. Yogyakarta: BPFE Offset. Penche, C., & Minas, I. (1998). Layman's Guide Book on How to Develop a Small Hydro Site. Brussel: European Small Hydropower Association. Prabowo, A. A. (2011). Kajian Anomali Curah Hujan Musiman Di Wilayah Sumatera Bagian Utara. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Putra, R. (2012). Studi Baseflow Terhadap Variabilitas Curah Hujan Dengan Metode ArcSWAT di Citarum Hulu. Tamrakar, B., & Alfredsen, K. (December 2012). Applicability of TRMM Satellite Data in Hydrowater Planning. Rentech Symposium Compendium, Volume 2, 60-64. Taufik, H. A. (2006, Juni Kamis). Krisis Listrik, PLN Riau Upayakan Hujan Buatan. Retrieved Februari Rabu, 2012, from news.detik.com.
3.5. Cumulative Distribution Function (CDF) Cumulative Ditribution Function merupakan fungsi distribusi data untuk melihat kemungkinan (%) munculnya data timeseries dari data historis yang digunakan. Semua data timeseries diurutkan dari nilai paling kecil ke paling besar, kemudian dihitung nilai debit, water level, dan curah hujan.
Gambar 3-5. Grafik CDF untuk curah hujan, debit SWAT dan water level pada tahun 2004 dan 2006.
Pada gambar 4-14, nilai kemungkinan kemunculan pada tahun 2004 dan 2006 data curah hujan minimum mencapai nilai 1.67%, kemudian kemungkinan kemunculan nilai water level minimum juga bernilai 1.67% dan kemungkinan kemunculan
5