FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI MAKANAN BERPATI (UBI KAYU, UBI JALAR DAN TAPIOKA) DI KOTA MEDAN
USULAN PENELITIAN
HENNY CROSITA LIMBONG 130304068 AGRIBISNIS
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017 1
2
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERSEDIAAN DAN KONSUMSI MAKANAN BERPATI (UBI KAYU, UBI JALAR DAN TAPIOKA) DI KOTA MEDAN USULAN PENELITIAN Oleh : HENNY CROSITA LIMBONG 130304068 AGRIBISNIS Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan
Disetujui oleh: Komisi Pembimbing
Ketua Komisi Pembimbing
Anggota Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec) NIP. 196302041997031001
(H. M. Mozart B. Darus, M.Sc) NIP. 196210051987031005
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan fenomena yang cukup kompleks karena mencakup banyak aspek sehingga setiap orang mencoba untuk menterjemahkan sesuai dengan tujuan dan ketersediaan data. Definisi ketahanan pangan berubah dari suatu periode ke periode berikutnya. Tahun 1970-an, ketahanan pangan menjadi isu internasional karena adanya krisis pangan global. Awalnya ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi ketersediaan pangan baik ditingkat internasional maupun nasional yang terfokus ke pada padi-padian. Hal ini menyebabkan kebijakan ketahanan pangan yang dikenal dengan Food Availibility Approach (FFA). Jika persediaan pangan terpenuhi maka para pedagang dapat menyalurkan pangan secara merata dan efisien sehingga harga pangan akan stabil dan dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun yang terjadi adalah meski persediaan pangan cukup namun sebagian masyarakat masih menderita kelaparan karena tidak memilki akses terhadap pangan (Dirhamsyah dkk, 2016). Ada tiga hal yang menunjukkan arti penting dan strategis pemantapan ketahanan pangan. Pertama, pangan yang cukup dan bergizi merupakan komponen utama dalam pembangunan manusia yang sehat, cerdas dan produktif. Kedua, memperoleh pangan yang cukup, aman, dan bergizi merupakan hak asasi setiap orang untuk bebas dari kelaparan. Ketiga, ketahanan pangan merupakan pilar bagi ketahanan nasional, karena tanpa pangan yang cukup, tidak ada satu bangsa pun dapat melaksanakan pembangunan politik, ekonomi, sosial, budaya hingga keamanan negara dengan baik. Ringkasnya, ketahanan pangan merupakan basis 1
2
bagi pengembangan sumber daya manusia berkualitas dan bagi pengembangan ketahanan nasional suatu bangsa dan negara yang berdaulat (Suryana, 2013). Dalam upaya menanggulangi kerawanan pangan pemerintah telah mencanangkan Program Peningkatan Ketahanan Pangan (BKP), berdasarkan UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. Kemudian pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No.68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, yaitu pengembangan diversifikasi konsumsi pangan yang bertumpu pada keanekaragaman sumber daya pangan, kelembagaan, dan budaya lokal. Untuk memenuhi sumber karbohidrat, Indonesia semakin tergantung pada beras dan gandum (Richana, 2013). Tak hanya menunjang ketahanan pangan, diversifikasi pangan dengan memanfaatkan sumber daya hayati lokal juga dapat menunjang pemenuhan gizi masyarakat karena sumber pangan menjadi lebih beragam. Tidak ada satupun bahan makanan tunggal di dunia ini yang mengandung semua gizi yang diperlukan tubuh secara ideal. Oleh karena itu untuk mencukupi kebutuhan gizi, masyarakat seharusnya mengkonsumsi sumber karbohidrat lainnya selain beras. Indonesia memiliki banyak jenis dan ragam umbi-umbian yang potensial sebagai bahan pangan alternatif pengganti beras. Sayangnya potensi umbi-umbian tersebut belum dikembangkan sebagaimana mestinya. Hanya singkong, ubi jalar, ganyong, talas dan kentang yang saat ini sudah banyak dikembangkan itupun belum maksimal (Wardhana, 2013). Ketahanan pangan adalah tersedianya pangan yang cukup, merata dan terjangkau dan setiap orang mampu mengkonsumsi pangan yang aman dan bergizi sesuai pilihannya guna melayani kehidupan sehat dan produktif. Salah satu kebijakan
3
ketahanan pangan adalah penganekaragaman konsumsi pangan. Indonesia sudah melakukan diversifikasi sejak 2010 lalu. Diharapkan ditahun yang akan datang masyarakat bisa menganggap bahwa bahan pokok tak hanya nasi, diversifikasi pangan bisa dilakukan karena Indonesia kaya akan bahan pokok selain beras (Setiawan, 2015). Realitas menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu bangsa Indonesia tidah pernah lepas dengan kerawanan masalah pangan. Masalah utama pada ketersediaan pangan nasional dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar. Pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia menurut sensus yang dilakukan BPS menunjukkan lebih dari 237 juta jiwa. Diperkira pada tahun 2020 angka tersebut akan mencapai 274 juta jiwa. Jika pertambahan populasi dihitung secara linier sebesar 1,6% per tahun, maka dibutuhkannya persediaan pangan yang cukup besar. Kebutuhan pangan yang terbesar yang dimaksudkan disini adalah pangan sumber karbohidrat, yaitu sekitar separuh lebih (>50%) dari kebutuhan energi per orang per hari (Gardjito dkk, 2013). Memang tidak ada orang yang bisa mengetahui persis berapa banyak pangan yang dibutuhkan dunia di tahun-tahun mendatang, apalagi untuk suatu periode jangka panjang. Oleh karena itu, orang hanya bisa memprediksi dan risiko kesalahan prediksi selalu ada. Prediksi-prediksi yang dibuat bisa jauh lebih besar atau lebih kecil daripada kenyataannya nanti. Namun, dengan meningkatnya pendidikan, pengetahuan akan gizi, dan kesejahteraan masyarakat, ditambah dengan pertumbuhan penduduk setiap tahun, konsumsi masyarakat Indonesia terhadap produk-produk pangan tersebut sangat berpotensi meningkat (Tambunan, 2003).
4
Perlu dipahami dan diketahui oleh bangsa Indonesia yang sedang menuju era ekonomi perdagangan bebas adalah pasar komoditas pangan yang semakin terbuka terhadap pengaruh pasar nasional. Persaingan diantara produk pangan dalam negeri dengan komoditas pangan sejenis di pasar internasional tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, perlu diciptakan upaya meningkatkan kapasitas produksi melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berbasis komoditas pertanian dan pangan dengan melakukan diversifikasi pangan, mengoptimalkan pemanfaatan SDA nasional, efisiensi penerapan teknologi spesifik lokasi, mengembangkan manajemen, dan prasarana ekonomi untuk menghasilkan produk-produk pertanian dan pangan yang berdaya saing tinggi (Herdiawan, 2012). Sudah saatnya sekarang pemerintah meninjau kembali kebijakan pangan yang selama ini ternyata tidak berfungsi baik. Melihat kondisi saat ini dan dengan harapan yang lebih baik ke depan, pemerintah harus mempunyai dua kebijakan yang saling mendukung, yakni kebijakan stabilisasi harga yang merupakan kebijakan jangka pendek, dan kebijakan produksi yang merupakan kebijakan jangka panjang (Tambunan, 2003). Berbagai perubahan pada cara-cara produksi, distribusi, dan penjualan makanan memunculkan banyak perdebatan. Namun, permasalahan etik berkaitan dengan pangan telah jauh melebihi kekhawatiran akan kesejahteraan hidup, perusakan lingkungan, dan ketidakseimbangan anatar kebutuhan dan ketersediaan pangan di sejumlah belahan dunia. Saat makanan sampai di tangan konsumen, berbagai persoalan etik menjadi hal yang sangat pribadi, yang akan mempengaruhi
5
kesehatan dan gaya hidup. Kita perlu menentukan bagaimana dan apa yang akan kita konsumsi (Kerr, 2009). 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi ketersediaan ubi kayu, ubi jalar dan tapioka di Kota Medan? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi konsumsi ubi kayu, ubi jalar, dan tapioka di Kota Medan? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketersediaan ubi kayu, ubi jalar dan tapioka di Kota Medan. 2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi ubi kayu, ubi jalar dan tapioka di Kota Medan. 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian dalam hal ini diharapkan dapat berguna antara lain sebagai berikut: 1. Bagi penulis, menambah wawasan dan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan dan konsumsi ubi kayu, ubi jalar dan tapioka di Kota Medan, 2. Bagi akademis, sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang akan melakukan penelitian yang sama.
6
3. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah dan lembaga terkait lainnya dalam pengambilan keputusan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan dan konsumsi ubi kayu, ubi jalar dan tapioka di Kota Medan.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1. Tinjauan Pustaka Makanan Berpati Pati, polisakharid yang ditemukan demikian melimpahnya dalam butiran padipadian dan akar-akaran serta umbi-umbian, adalah salah atu sumber energi yang sangat penting dalam makanan manusia. Dilihat dari susunannya, pati tersebut merupakan suatu campuran amilose (polisakharid yang berantai lurus) dan amilopektin yang berantai cabang. Pati tidak larut dalam air dingin. Dalam pangan mentah, pati tersebut terdapat dalam butiran yang kalau dipanaskan dalam air, mengambang, pecah dan melepaskan pati. Selanjutnya pati tersebut membentuk suatu bahan yang rekat dan mudah dicernakan. Pada hidrolisis, pertama-tama pati menghasilkan dekstrin, lalu meltose dan akhirnya glukose. Kalau pati dimakan dalam jumlah yang lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk menyediakan energi yang diperlukan, maka setelah dicernakan, bahan tersebut dirubah menjadi lemak dan disimpan sebagai jaringan lemak (Suhardjo, 1986). Pati ubi kayu adalah hasil ekstraksi pati dari ubi kayu. Pati ubi kayu sering disebut tapioka, atau aci. Pengolahan pati ubi kayu merupakan suatu proses untuk memisahkan granula-granula pati dari umbinya. Granula-granula pati ini terikat didalam sel-sel bersama dengan bahan lain pembentuk protoplasma berupa protein, karbohidrat terlarut, lemak, dan lain-lain, sehingga perlu dipisahkan pada proses pemurnian, pemisahan air dan pengeringan, dan finishing (Richana, 2013).
8
Ubi Kayu Tanaman pangan berupa perdu ini punya nama lain yaitu ubi kayu, ketela pohon atau dalam bahasa inggris: cassava. Singkong adalah jenis tanaman tahunan di daerah tropis dan subtropis yang berasal dari Brazil, Amerika Selatan, yang menyebar sampai ke Afrika, Madagaskar, India, Tiongkok dan Indonesia. Singkong masuk ke Indonesia pada tahun 1852 (Nurani dkk, 2007). Sebagai tanaman pangan, ubi kayu merupakan sumber karbohidrat bagi sekitar 500 juta manusia di dunia. Di Indonesia, tanaman ini menempati urutan pertama sebagai sumber karbohidrat, ubi kayu merupakan penghasil kalori terbesar dibandingkan dengan tanaman lain seperti ditunjukkan di tabel berikut: Tabel 2.1. Nilai Kalori Sumber Karbohidrat No. Jenis Tanaman Nilai Kalori (Ka/Ha/Hr) 1. Ubi Kayu 250 x 103 2. Jagung 200 x 103 3. Beras 176 x 103 4. Sorgum 114 x 103 5. Gandum 110 x 103 Sumber: Prihandana dkk, 2008 Indonesia adalah penghasil ubi kayu urutan keempat terbesar di dunia setelah Nigeria, Brasil, dan Thailand.Namun, pasar ubi kayu dunia dikuasai oleh Thailand dan Vietnam (Prihandana dkk, 2008). Secara umum singkong memiliki karakteristik kadar air (60,67%), berat jenis (1,15 g/ml), kadar pati (35,93 %), rendemen pati (18,94%), kadar air pati (8,17%), kadar amilosa (18,03 %), dan amilopektin (81,97 %) serta tingkat konversi pati menjadi glukosa secara enzimatis (64,92 %). Pati merupakan polisakarida yang berbentuk dari tanaman hijau melalui proses fotosintesis. Bentuk pati berupa kristal granula yang tidak larut dalam air pada temperatur ruangan dan memiliki
9
perbedaan bentuk dan ukuran granulka tergantung pada jenis tanamannya (Salim, 2011). Produksi ubi kayu tahun 2005 sebesar 19,5 juta ton dengan areal seluas 1,24 juta Ha. Produktivitasnya yang relatif rendah, meskipun dari tahun ke tahun terdapat tendensi peningkatan. Produktivitas ubi kayu pada tahun 1995 sebesar 11,7 ton/ha, tahun 2005 sebesar 15,5 ton/ha, dan tahun 2006 sebesar 16,2 ton/ha. Produktivitas ini relatif kecil dibandingkan dengan data dari pusat atau balai penelitian yang melaporkan bahwa produktivitas ubi kayu dapat mencapai 30-40 ton/ha (Giriarso, 2011). Singkong merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah banyak diolah menjadi berbagai produk jadi atau produk setengah jadi yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat, namun sangat miskin protein. Di Indonesia tanaman singkong memiliki bermacam nama, antara lain singkong, ketela, ketela phoung, ubi kayu, dan lain-lain (Salim, 2011). Rentang produktivitas di tingkat petani adalah 14,3 – 18,8 ton/ha. Meskipun dilahan kering pada tingkat 15-19 ton/ha, penanaman ubi kayu dilaporkan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan padi gogo dan palawija lain.
Dari
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Tanaman
Pangan
merekomendasikan produktivitas sebesar 20 – 25 ton/ha agar menguntungkan, yaitu dengan B/C rasio lebih dari 1,0 dengan harga ubi ditingkat petani Rp.250-Rp.300/kg (Giriarso, 2011).
10
Ubi Jalar Ubi jalar (Ipomoea batatas) atau ketela rambat atau “sweet potato” diduga berasal dari Benua Amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian Tengah. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika bagian tengah (Gardjito, 2013). Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat dan sumber kalori (energi) yang cukup tinggi. Kandungan karbohidrat ubi jalar menduduki peringkat keempat setelah padi, jagung, dan ubi kayu. Ubi jalar juga merupakan sumber vitamin dan mineral sehingga cukup baik untuk memenuhi gizi dan kesehatan masyarakat. Vitamin yang terkandung dalam ubi jalar adalah vitamin A (betakarotin), vitamin C, thiamin (vitamin B1), dan rebovlavin (vitamin B2). Sedangkan mineral yang terkandung dalam ubi jalar adalah zat besi (Fe), fosfor (P), kalsium (Ca), dan natrium (Na). Kandungan gizi lainnya yang terdapat dalam ubi jalar adalah protein, lemak, serat kasar, kalori, dan abu (Juanda dan Cahyono, 2000). Ubi jalar amat penting dalam tatanan penganekaragaman (diversifikasi) makanan penduduk. Sebagai sumber pangan ubi jalar memberikan kontribusi istimewa, dari umbi segarnya yang dipanen bisa langsung diolah untuk dikonsumsi dengan cara dibakar, digoreng, direbus, dan/ataupun dikukus. Demikian pula dari pucuk daunnya di ladang bisa dipetik untuk disayur dengan resep yang beragam. Dari umbinya bagian yang dapat dimakan sebesar 86%, sedangkan baguan daunnya yang bisa dimakan sebesar 73% (Gardjito, 2013).
11
Tapioka Tepung tapioka (kanji) dibuat secara langsung dari singkong segar. Pada proses pembuatan tepung tapioka, tersisa limbah yang masih dapat dimanfaatkan yaitu ampas singkong hasil ekstraksi meskipun hanya sedikit. Ampas tersebut dapat diproses menjadi tepung singkong/kasava. Tepung tapioka adalah pati dari umbi singkong yang dikeringkan dan dihaluskan. Tepung tapioka merupakan produk awetan singkong yang memiliki peluang pasar yang sangat luas. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup (Suprapti, 2005). Pati ubi kayu sering kali disebut juga sebagai pati tapioka. Tapioka tersusun atas pati sekitar 85%, dengan sifat-sifat tidak larut dalam air dingin, dapat membentuk gel dalam air panas, tidak berasa, tidak berwarna. Ukuran granulanya 5-35 mikron, bentuk granulanya bulat, permukaannya datar, salah satu sisinya mengandung celah. Granula pati tidak terlarut dalam air dingin, sehingga apabila granula pati dicampur dengan air dingin, maka akan terjadi penyerapan air (hidrasi) dan sedikit penggelembungan bersifat balik (reversible) karena pati dapat dikeringkan kembali tanpa perubahan strukturnya. Jumlah maksimum air yang diserap adalah 30%. Pati ubi kayu mengandung pati resistan (pati yang tidak dapat dicerna) tipe II sebanyak 74,94%, serta pati resistan tipe III sekitar 0,44% (Gardjito, 2013).
12
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Ketersediaan Ketersediaan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem ketersediaan dan distribusi pangan serta subsistem konsumsi. Ketersediaan dan distribusi menfasilitasi pasokan pangan yang stabil dan merata ke seluruh wilayah, sedangkan subsistem konsumsi memungkinkan setiap rumah tangga memperoleh pangan yang cukup dan memanfaatkannya secara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan gizi seluruh anggotanya. Dengan demikian, ketahanan pangan adalah isu ditingkat wilayah hingga tingkat keluarga, dengan dua elemen penting yaitu ketersediaan pangan dan akses setiap individu terhadap pangan yang cukup (Dirhamsyah dkk, 2016). Wicaksono (2009) dalam Lestari (2013) Menurut Thomas Robert Malthus menyebutkan dalam teorinya bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sedangkan pertumbuhan ketersediaan pangan mengikuti deret hitung. Pada kasus ini dimana terdapat permasalahan meledaknya jumlah penduduk dikota yang tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan pun berkurang, hal ini merupakan pertimbangan yang kurang menguntungkan. Jika kita kembali ke teori Malthus, mengkehendaki produksi pangan harus lebih besar dibandingkan jumlah dan pertumbuhan penduduk. Sehingga berdasarkan teori ini diperkirakan suatu saat daerah di Indonesia tidak memiliki lahan pertanian lagi, sebab perkembangan yang pesat terjadi pada pembukaan dan penggunaan lahan untuk kawasan pemukiman penduduk. Namun ketersediaan lahan yang semakin terbatas telah menimbulkan biaya yang tinggi bagi penduduk untuk mendapatkannya. Hal ini
13
berdampak kepada biaya investasi yang tinggi untuk membangun kawasan produktif yang strategis. Mubyarto (1989) dalam Sembiring (2016) menyatakan ketersediaan dalam lingkup pangan adalah tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup, aman, dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan, maupun bantuan pangan. Atau dapat diartikan sebagai jumlah pangan yang disediakan di suatu wilayah mencakup produksi, impor/ekspor, bibit/benih, bahan baku industri pangan dan non pangan, penyusutan/tercecer dan yang tersedia untuk dikonsumsi. Permentan Nomor 65 tanun 2010 dalam Siahaan (2012) menyatakan ketersediaan pangan berfungsi menjamin impor pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas,
keragaman dan keamanannya,
Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu produksi dalam negeri, impor dan pengelolaan cadangan pangan. Apabila suatu negara tidak dapat memenuhi ketersediaan pangannya dari produksi dalam negeri dan pengelolaan cadangan makanan maka untuk memenuhi kebutuhannya negara tersebut harus mengimport dari negara lain. Menurut Farida, dkk (2010) dalam Lestari (2013) komponen ketersediaan dan stabilitas pangan dipengaruhi oleh sumber daya (alam, manusia, dan sosial) dan produksi pangan (on farm dan off farm). Akses pangan menunjukkan jaminan bahwa setiap rumah tangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Kondisi tersebut tercermin dari kemampuan rumah tangga untuk meningkatkan pendapatan rumah
14
tangga dan produksi pangan. Hal ini tergantung pada harga pangan maupun tingkat sumberdaya yang terdapat dalam keluarga, yaitu meliputi tenaga kerja (labour) dan modal (capital). Ketersediaan tenaga kerja merupakan dimensi fisik dari sumber daya yang diperlukan untuk proses produksi. 2.2.2. Konsumsi Menurut Partadireja (1990) dalam Ambarwati (2014) konsumsi dapat diartikan sebagai bagian pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk membiayai pembelian aneka jasa dan kebutuhan lain. Besarnya konsumsi selalu berubah-ubah sesuai dengan naik turunnya pendapatan, apabila pendapatan meningkat maka konsumsi akan meningkat. Sebaliknya, apabila pendapatan turun maka konsumsi akan turun. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi yaitu: 1. Pendapatan Semakin besar pendapatan maka jumlah konsumsi cenderung semakin besar. Rumus antara pendapatan dan konsumsi. C = a + bY Keterangan: a
= konsumsi rumah tangga ketika pendapatan nasional adalah 0
b
= kecondongan konsumsi marginal,
C
= tingkat konsumsi
Y
= tingkat pendapatan nasional.
Sedangkan kecenderungan menambahkan konsumsi yang dikarenakan adanya tambahan pendapatan (MPC = Marginal Propencity to Consume) dapat dirumuskan:
15
Keterangan: ∆C
= Perubahan jumlah konsumsi
∆Y
= Perubahan pendapatan
Dan kecenderungan menambah tabungan dikarenakan adanya tambahan pendapatan (Marginal Propencity to Save) dirumuskan:
Keterangan: ∆S
= Perubahan tabungan
∆T
= Perubahan pendapatan
Antara MPC dan MPS diperoleh hubungan sebagai berikut “Semakin besar pendapatan, semakin kecil bagian pendapatan itu digunakan untuk mengonsumsi barang pokok dan semakin meningkat bagian pengeluaran untuk konsumsi barang mental”. Pernyataan ini dikenal dengan istilah Engel’s Low. 2. Harga Barang dan Jasa Secara normal jika harga naik, maka permintaan terhadap barang tersebut akan turun dan jika harga barang turun makan permintaan barang tersbeut akan naik, kecuali barang tersebut merupakan barang kebutuhan pokok. 3. Kebiasaan Konsumen Perilaku konsumtif seseorang yang mempunyai kebiasaan belanja secara berlebihan yang belum tentu diperlukannya akan meningkatkan gejala konsumerisme di masyarakat.
16
4. Adat Istiadat Pada acara tertentu yang merupakan adat istiadat orang di suatu daerah akan membutuhkan barang-barang tertentu yang mungkin tidak sama di tiap-tiap daerah. 5. Barang Substitusi Jika harga suatu barang naik, maka banyak konsumen akan beralih ke barang subsitusi untuk memenuhi kebutuhannya. 6. Selera Konsumen Setiap konsumen mempunyai selera yang berbeda satu dengan yang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga selera akan mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang (Wardayadi, 2012). Penganekaragaman konsumsi pangan dilakukan dengan : a. Mempromosikan penganekaragaman konsumsi pangan. b. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang c. Meningkatkan keterampilan dalam pengembangan olahan pangan lokal. d. Mengembangkan dan
mendiseminasikan
teknologi tepat
guna
untuk
pengolahan pangan lokal. Melalui gerakan konsumsi pangan Nusantara ini, diharapkan ada transformasi budaya makanan dalam menghasilkan anak bangsa yang mengonsumsi makanan yang beragam, bergizi, berimbang, aman dan bermartabat, sehingga pada akhirnya tercipta masyarakat baru dari bangsa yang sejahtera, sehat, produktif, kreatif, dan mampu melakukan inovatif (Gardjito, 2013).
17
2.3. Hasil Penelitian Sebelumnya Penelitian
Lisa
Lestari
(2013)
yang
berjudul
“Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Strategis di Sumatera Utara” dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Ketersediaan beras di Sumatera Utara secara serempak dan parsial dipengaruhi oleh luas panen padi, harga beras, jumlah penduduk dan konsumsi beras. 2. Ketersediaan cabai di Sumatera Utara secara serempak dan parsial dipengaruhi oleh produksi cabai, harga cabai, dan konsumsi cabai. 3. Konsumsi beras di Sumatera Utara secara serempak dan parsial dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga beras, produksi beras dan pendapatan perkapita. 4. Konsumsi cabai di Sumatera Utara secara serempak dan parsial dipengaruhi oleh pendapatan perkapita, harga cabai, dan produksi cabai. Penelitian Kurniawan Saleh (2015) yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi dan Ketersediaan Beras di Kota Binjai” dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Variasi yang terjadi pada harga beras, PDRB, dan harga ikan dapat menjelaskan variasi konsumsi beras sebesar 85,9%, sedangkan untuk variasi yang terjadi pada harga beras, luas areal panen, dan produktivitas dapat menjelaskan variasi ketersediaan beras sebesar 98,6%. 2. Secara serempak variabel harga bebas, PDRB dan harga ikan memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap konsumsi beras, sedangkan harga beras, luas areal panen dan produktivitas juga memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap ketersediaan beras.
18
3. PDRB memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap konsumsi beras di kota Binjai. 4. Luas areal panen dan produktivitas memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap ketersediaan beras di kota Binjai. 2.4. Kerangka Pemikiran Ketersediaan ubi kayu, ubi jalar dan tapioka diantaranya dapat dipengaruhi oleh Luas Panen , Harga, Jumlah penduduk, Produksi dan Konsumsi. Sedangkan konsumsi ubi kayu, ubi jalar dan tapioka
dapat dipengaruhi oleh jumlah
penduduk, harga, produksi dan pendapatan. Secara sistematis, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut: Faktor Ketersediaan ubi kayu: - Luas Panen Ubi Kayu - Harga Ubi kayu - Jumlah Penduduk - Konsumsi Ubi Kayu
Ketersediaan Makanan Berpati
Faktor Ketersediaan Ubi Jalar: - Luas Panen Ubi Jalar - Harga Ubi Jalar - Jumlah Penduduk - Konsumsi Ubi Jalar
Faktor Konsumsi ubi jalar: - Jumlah penduduk - Harga Ubi Jalar - Produksi Ubi Jalar - Pendapatan Konsumsi Makanan Berpati
Faktor Ketersediaan Tapioka: - Produksi Tapioka - Harga Tapioka - Jumlah Penduduk - Konsumsi Tapioka
Keterangan : = Menyatakan pengaruh = Menyatakan Hubungan
Faktor Konsumsi ubi kayu: - Jumlah penduduk - Harga Ubi Kayu - Produksi Ubi Kayu - Pendapatan
Faktor Konsumsi Tapioka: - Jumlah penduduk - Harga Tapioka - Produksi Tapioka - Pendapatan
19
Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan dan Konsumsi Makanan Berpati (Ubi Kayu, Ubi Jalar dan Tapioka) di Kota Medan
2.5. Hipotesis Penelitian Hipotesis atau hipotesa adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya. Hipotesis Ilmiah mencoba mengutarakan jawaban sementara terhadap masalah yang akan diteliti. Dalam upaya pembuktian hipotesis, penelitian dapat saja dengan sengaja menimbulkan atau menciptakan suatu gejala. Kesengajaan ini disebut percobaan atau eksperimen. Hipotesis yang telah teruji kebenarannya disebut teori. Berdasarkan identifikasi masalah, tinjauan pustaka, dan kerangka pemikiran maka hipotesis dalam penelitian dapat diketahui sebagai berikut: 1. Ketersediaan ubi kayu di Kota Medan secara serempak dan parsial dipengaruhi oleh luas panen ubi kayu, harga ubi kayu, jumlah penduduk, dan konsumsi ubi kayu; Ketersediaan ubi jalar di Kota Medan secara serempak dan parsial dipengaruhi oleh luas panen ubi jalar, harga ubi jalar, jumlah penduduk, dan konsumsi ubi jalar; Ketersediaan tapioka di Kota Medan secara serempak dan parsial dipengaruhi oleh Produksi tapioka, harga tapioka, jumlah penduduk, dan konsumsi tapioka. 2. Konsumsi ubi kayu di Kota Medan secara serempak dan parsial dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga ubi kayu, produksi ubi kayu dan pendapatan; Konsumsi ubi jalar di Kota Medan secara serempak dan parsial dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga ubi jalar, produksi ubi jalar dan pendapatan; Konsumsi tapioka di Kota Medan secara serempak dan parsial dipengaruhi oleh jumlah penduduk, harga tapioka, produksi tapioka dan pendapatan.
20
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di kota Medan. Daerah penelitian ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa daerah ini bukan merupakan daerah penghasil ubi kayu, ubi jalar dan tapioka tetapi mendapatkan dari daerah yang berada disekitarnya. Tabel 3.1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk menurut Kota Tahun 2015 di Sumatera Utara Jumlah Kepadatan Luas Wilayah No Kota Penduduk Penduduk (km2) (jiwa/person) (jiwa/km2) 1. Sibolga 41,31 86 519 2 094 2. Tanjung Balai 107,83 167 012 1 549 3. Pematang Siantar 55,66 247 411 4 445 4. Tebing Tinggi 31,00 156 815 5 059 5. Medan 265,00 2 210 624 8 324 6. Binjai 59,19 264 687 4 472 7. Padang Sidempuan 114,66 209 796 1 830 8. Gunung Sitoli 280,78 135 995 484 Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara 2016 (Sumatera Utara Dalam Angka) Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa kota Medan pada tahun 2015 merupakan kota yang memiliki jumlah penduduk yang paling banyak dan kepadatan penduduk yang paling tinggi di Sumatera Utara. 3.2. Metode Penentuan Sampel Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data times series dengan range tahun 2000-2015 yang dianalisis dengan alat bantuan program SPSS (Statistical Package for Sosial Science) dan berupa Data Sekunder.
21
3.3. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah menggunakan data sekunder. Data Sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data misalnya melalui orang lain atau melalui dokumen. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis data sekunder yang diperoleh peneliti dari Badan Ketahanan Pangan, Biro Pusat Statistik, Departemen dan Dinas Pertanian dan berbagai literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini. 3.4. Metode Analisis Data Data yang telah dikumpulkan segera ditabulasi, kemudian dibuat hipotesis, dilanjutkan dengan metode analisis yang sesuai dengan hipotesis tersebut. Metode analisis yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan dan konsumsi ubi kayu, ubi jalar dan tapioka di Kota Medan dengan model regresi linear berganda. Analisis regresi linier berganda ialah suatu alat analisis dalam ilmu statistik yang berguna untuk mengukur hubungan matematis antara lebih dari 2 peubah. Model regresi linier berganda yang memiliki variebel penduga lebih dari satu, yaitu Xi sampai dengan Xn. 3.4.1. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Ubi Kayu Y = a0 + a1 X1 + a2 X2 + a3 X3 + a4 X4 + μ Keterangan: Y
= Ketersediaan Ubi Kayu (Kg)
a0
= Konstanta intersep
X1
= Luas panen Ubi kayu (Ha)
X2
= Harga ubi kayu (Rp/kg)
X3
= Jumlah penduduk (Juta jiwa)
22
X4
= Konsumsi ubi kayu (Kg/kap/tahun)
Μ
= Random error
a1-a4 = Koefisien variabel regresi Uji statistik untuk faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan ubi kayu di Kota Medan Koefisien Determinasi (R2) yang bertujuan melihat apakah variabe independent cukup memberi arti terhadap variabel independentnya, dengan kata lain variasi variabel bebasnya dapat menjelaskan variabel terikatnya sebesar (R2). Secara serempak (Uji F) hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Luas panen ubi kayu, harga ubi kayu, jumlah penduduk dan konsumsi ubi kayu berpengaruh signifikan terhadap ketersediaan ubi kayu. H1 : Luas panen ubi kayu, harga ubi kayu, jumlah penduduk dan konsumsi ubi kayu tidak berpengaruh signifikan terhadap ketersediaan ubi kayu. Pengambilan keputusan: Jika F-hitung > F –tabel atau signifikansi < 0,05 = terima H0 tolak H1 Jika F-hitung < F –tabel atau signifikansi > 0,05 = tolak H0 terima H1 Secara parsial (Uji t) hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Luas panen ubi kayu tidak berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi kayu. H1 : Luas panen ubi kayu berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi kayu. H0 : Harga ubi kayu tidak berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi kayu. H1 : Harga ubi kayu berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi kayu. H0 : Jumlah penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi kayu.
23
H1 : Jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi kayu. H0 : Konsumsi ubi kayu tidak berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi kayu. H1 : Konsumsi ubi kayu berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi kayu. Pengambilan keputusan : Jika t-hitung > t-tabel atau signifikansi < 0,005 = tolak H0 ; terima H1 Jika t-hitung < t-tabel atau signifikansi > 0,005 = tolak H1 ; terima H0 3.4.2. Ketersediaan Ubi Jalar Y = a0 + a1 X1 + a2 X2 + a3 X3 + a4 X4 + μ Keterangan: Y
= Ketersediaan Ubi jalar (Kg)
a0
= Konstanta intersep
X1
= Luas panen Ubi jalar (Ha)
X2
= Harga ubi jalar (Rp/kg)
X3
= Jumlah penduduk (Juta jiwa)
X4
= Konsumsi ubi jalar (Kg/kap/tahun)
Μ
= Random error
a1-a4 = Koefisien variabel regresi Uji statistik untuk faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan ubi jalar di Kota Medan Koefisien Determinasi (R2) yang bertujuan melihat apakah variabe independent cukup memberi arti terhadap variabel independentnya, dengan kata lain variasi variabel bebasnya dapat menjelaskan variabel terikatnya sebesar (R2).
24
Secara serempak (Uji F) hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Luas panen ubi jalar, harga ubi jalar, jumlah penduduk dan konsumsi ubi jalar berpengaruh terhadap ketersediaan ubi jalar. H1 : Luas panen ubi jalar, harga ubi jalar, jumlah penduduk dan konsumsi ubi jalar tidak ber pengaruh terhadap ketersediaan ubi jalar. Pengambilan keputusan: Jika F-hitung > F –tabel atau signifikansi < 0,05 = terima H0 tolak H1 Jika F-hitung < F –tabel atau signifikansi > 0,05 = tolak H0 terima H1 Secara parsial (Uji t) hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Luas panen ubi jalar tidak berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi jalar. H1 : Luas panen ubi jalar berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi jalar. H0 : Harga ubi jalar tidak berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi jalar. H1 : Harga ubi jalar berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi jalar. H0 : Jumlah penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi jalar. H1 : Jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi jalar. H0 : Konsumsi ubi jalar tidak berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi jalar. H1 : Konsumsi ubi jalar berpengaruh nyata terhadap ketersediaan ubi jalar. Pengambilan keputusan : Jika t-hitung > t-tabel atau signifikansi < 0,005 = tolak H0 ; terima H1 Jika t-hitung < t-tabel atau signifikansi > 0,005 = tolak H1 ; terima H0 3.4.3. Ketersediaan Tapioka Y = a0 + a1 X1 + a2 X2 + a3 X3 + a4 X4 + μ
25
Keterangan: Y
= Ketersediaan Tapioka (Kg)
a0
= Konstanta intersep
X1
= Produksi Tapioka
X2
= Harga Tapioka (Rp/kg)
X3
= Jumlah penduduk (Juta jiwa)
X4
= Konsumsi Tapioka (Kg/kap/tahun)
μ
= Random error
a1-a4 = Koefisien variabel regresi Uji statistik untuk faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan tapioka di Kota Medan Koefisien Determinasi (R2) yang bertujuan melihat apakah variabe independent cukup memberi arti terhadap variabel independentnya, dengan kata lain variasi variabel bebasnya dapat menjelaskan variabel terikatnya sebesar (R2). Secara serempak (Uji F) hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Produksi tapioka, harga tapioka, jumlah penduduk dan konsumsi tapioka berpengaruh terhadap ketersediaan tapioka. H1 : Produksi tapioka, harga tapioka, jumlah penduduk dan konsumsi tapioka tidak ber pengaruh terhadap ketersediaan tapioka. Pengambilan keputusan: Jika F-hitung > F –tabel atau signifikansi < 0,05 = terima H0 tolak H1 Jika F-hitung < F –tabel atau signifikansi > 0,05 = tolak H0 terima H1
26
Secara parsial (Uji t) hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Produksi tapioka tidak berpengaruh nyata terhadap ketersediaan tapioka. H1 : Produksi tapioka berpengaruh nyata terhadap ketersediaan tapioka. H0 : Harga tapioka tidak berpengaruh nyata terhadap ketersediaan tapioka. H1 : Harga tapioka berpengaruh nyata terhadap ketersediaan tapioka. H0 : Jumlah penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap ketersediaan tapioka. H1 : Jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap ketersediaan tapioka. H0 : Konsumsi tapioka tidak berpengaruh nyata terhadap ketersediaan tapioka. H1 : Konsumsi tapioka berpengaruh nyata terhadap ketersediaan tapioka. Pengambilan keputusan: Jika t-hitung > t-tabel atau signifikansi < 0,005 = tolak H0 ; terima H1 Jika t-hitung < t-tabel atau signifikansi > 0,005 = tolak H1 ; terima H0 3.4.4. Konsumsi Ubi Kayu Y2 = b0 + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + μ Keterangan: Y2
= Konsumsi ubi kayu (Kg/kapita/tahun)
b0
= Konstanta intersep
X1
= Jumlah penduduk (Juta jiwa)
X2
= Harga ubi kayu (Rp/kg)
X3
= Produksi ubi kayu (Kg)
X4
= Pendapatan perkapita (Rp)
μ
= Random error
a1-a4 = Koefisien variabel regresi
27
Uji statistik untuk faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ubi kayu di Kota Medan Koefisien Determinasi (R2) yang bertujuan melihat apakah variabe independent cukup memberi arti terhadap variabel independentnya, dengan kata lain variasi variabel bebasnya dapat menjelaskan variabel terikatnya sebesar (R2). Secara serempak (Uji F) hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Jumlah penduduk, harga ubi kayu, produksi ubi kayu dan pendapatan perkapita berpengaruh terhadap konsumsi ubi kayu. H1 : Jumlah penduduk, harga ubi kayu, produksi ubi kayu dan pendapatan perkapita tidak berpengaruh terhadap konsumsi ubi kayu. Pengambilan keputusan: Jika F-hitung > F –tabel atau signifikansi < 0,05 = terima H0 tolak H1 Jika F-hitung < F –tabel atau signifikansi > 0,05 = tolak H0 terima H1 Secara parsial (Uji t) hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Jumlah penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi kayu. H1 : Jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi kayu. H0 : Harga ubi kayu tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi kayu. H1 : Harga ubi kayu berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi kayu. H0 : Produksi ubi kayu tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi kayu H1 : Produksi ubi kayu berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi kayu. H0 : Pendapatan perkapita tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi kayu. H1 : Pendapatan perkapita berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi kayu.
28
Pengambilan keputusan : Jika t-hitung > t-tabel atau signifikansi < 0,005 = tolak H0 ; terima H1 Jika t-hitung < t-tabel atau signifikansi > 0,005 = tolak H1 ; terima H0 3.4.5. Konsumsi Ubi Jalar Y2 = b0 + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + μ Keterangan: Y2
= Konsumsi ubi jalar (Kg/kapita/tahun)
b0
= Konstanta intersep
X1
= Jumlah penduduk (Juta jiwa)
X2
= Harga ubi jalar (Rp/kg)
X3
= Produksi ubi jalar (Kg)
X4
= Pendapatan perkapita (Rp)
μ
= Random error
a1-a4 = Koefisien variabel regresi Uji statistik untuk faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ubi jalar di Kota Medan Koefisien Determinasi (R2) yang bertujuan melihat apakah variabe independent cukup memberi arti terhadap variabel independentnya, dengan kata lain variasi variabel bebasnya dapat menjelaskan variabel terikatnya sebesar (R2). Secara serempak (Uji F) hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Jumlah penduduk, harga ubi jalar, produksi ubi jalar dan pendapatan perkapita berpengaruh terhadap konsumsi ubi jalar. H1 : Jumlah penduduk, harga ubi jalar, produksi ubi jalar dan pendapatan perkapita tidak berpengaruh terhadap konsumsi jalar.
29
Pengambilan keputusan: Jika F-hitung > F –tabel atau signifikansi < 0,05 = terima H0 tolak H1 Jika F-hitung < F –tabel atau signifikansi > 0,05 = tolak H0 terima H1 Secara parsial (Uji t) hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Jumlah penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi jalar. H1 : Jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi jalar. H0 : Harga ubi jalar tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi jalar. H1 : Harga ubi jalar berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi jalar. H0 : Produksi ubi jalar tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi jalar H1 : Produksi ubi jalar berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi jalar. H0 : Pendapatan perkapita tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi jalar. H1 : Pendapatan perkapita berpengaruh nyata terhadap konsumsi ubi jalar. Pengambilan keputusan: Jika t-hitung > t-tabel atau signifikansi < 0,005 = tolak H0 ; terima H1 Jika t-hitung < t-tabel atau signifikansi > 0,005 = tolak H1 ; terima H0 3.4.6. Konsumsi Tapioka Y2 = b0 + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + μ Keterangan: Y2
= Konsumsi Tapioka
b0
= Konstanta intersep
X1
= Jumlah penduduk (Juta jiwa)
X2
= Harga tapioka (Rp/kg)
X3
= Produksi tapioka (Kg)
X4
= Pendapatan perkapita (Rp)
30
μ
= Random error
a1-a4 = Koefisien variabel regresi Uji statistik untuk faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tapioka di Kota Medan Koefisien Determinasi (R2) yang bertujuan melihat apakah variabe independent cukup memberi arti terhadap variabel independentnya, dengan kata lain variasi variabel bebasnya dapat menjelaskan variabel terikatnya sebesar (R2). Secara serempak (Uji F) hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Jumlah penduduk, harga tapioka, produksi tapioka dan pendapatan perkapita berpengaruh terhadap konsumsi tapioka. H1 : Jumlah penduduk, harga tapioka, produksi tapioka dan pendapatan perkapita tidak berpengaruh terhadap konsumsi tapioka. Pengambilan keputusan: Jika F-hitung > F –tabel atau signifikansi < 0,05 = terima H0 tolak H1 Jika F-hitung < F –tabel atau signifikansi > 0,05 = tolak H0 terima H1 Secara parsial (Uji t) hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Jumlah penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi tapioka. H1 : Jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap konsumsi tapioka. H0 : Harga tapioka tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi tapioka. H1 : Harga tapioka berpengaruh nyata terhadap konsumsi tapioka. H0 : Produksi tapioka tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi tapioka. H1 : Produksi tapioka berpengaruh nyata terhadap konsumsi tapioka. H0 : Pendapatan perkapita tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi tapioka.
31
H1 : Pendapatan perkapita berpengaruh nyata terhadap konsumsi tapioka. Pengambilan keputusan: Jika t-hitung > t-tabel atau signifikansi < 0,005 = tolak H0 ; terima H1 Jika t-hitung < t-tabel atau signifikansi > 0,005 = tolak H1 ; terima H0 3.5. Interpretasi Hasil 3.5.1. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk menghindari adanya hubungan yang linear antar variable bebas. Multikolinearitas dapat dideteksi dengan beberapa metode, diantaranya adalah dengan melihat nilai tolerance dan VIF. Jika nilai Toleransi atau VIF (Variance Inflation Factor) kurang dari 0,1 atau nilai VIF melebihi 10. Terdapat koefisien korelasi sederhana yang mencapai atau melebihi 0,8. (Gujarati, 2007). 3.5.2. Uji Heteroskedastisitas Model regresi Y= f(X1, X2, .... Xi) + ɛi juga memprasyaratkan nilai εi memiliki varians yang sama dari satu pengamatan ke pengamatan yang lainnya. Varian dari ɛi dinyatakan dalam nilai σ2. Jika nilai σ2 bersifat konstan dari satu pengamatan ke pengamatan lainnya, maka kondisi ini disebut dengan homoskedastis. Sedangkan jika nilai σ2 berbeda dari satu pengamatan dengan pengamatan lainnya maka disebut heteroskedastis atau non-heteroskedastis. Untuk keperluan ini maka perlu dilakukan uji heteroskedastisitas dari model regresi yang kita bangun. Indikasi suatu model mengalami heteroskedastisitas adalah nilai ε1 membentuk hubungan yang signifikan dengan variabel prediktornya. Dalam hal ini, nilai ε1
32
dapat berkolerasi positif atau berkolerasi negatif dengan variabel prediktornya. Dengan adanya heteroskedastisitas ini maka akurasi model dapat mengalami penurunan pada nilai variabel prediktor yang semakin besar (jika terjadi korelasi positif) atau pada nilai variabel predictor yang semakin kecil (jika terjadi korelasi negatif) (Nawari, 2010). 3.5.3 Uji Normalitas Tujuan uji normalitas adalah ingin mengetahui apakah distribusi sebuah data mengikuti atau mendekati distribusi normal, yakni distribusi data dengan bentuk lonceng (bell shaped). Data yang baik adalah data yang mempunyai pola seperti distribusi normal, yakni distribusi data tersebut tidak menceng ke kiri atau menceng ke kanan. Uji normalitas pada multivariat sebenarnya sangat kompleks, karena harus dilakukan pada seluruh variabel secara bersama-sama. Namun, uji ini bisa juga dilakukan pada setiap variabel, dengan logika bahwa jika secara individual masing-masing variabel memenuhi asumsi normalitas, maka secara bersama-sama (multivariat) variabel-variabel tersebut juga bisa dianggap memenuhi asumsi normalitas (Santoso, 2010). 3.5.4. Uji Autokorelasi Autokolerasi didefenisikan sebagai korelasi antara anggota observasi dalam beberapa deret waktu (serial correlation) atau antara anggota observasi berbagai objek atau ruang (spatial correlation). Uji autokorelasi terutama digunakan untuk data time series. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala autokorelasi dalam model
33
regresi yang digunakan, maka cara yang digunakan dengan melakukan pengujian serial korelasi dengan metode Durbin-Waston. 3.6. Defenisi Batasan Operasional Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpahaman mengenai pengertian tentang istilah-istilah dalam penelitian, maka dibuat defenisi dan batasan operasional sebagai berikut: 3.6.1. Defenisi 1.
Ketersediaan ubi kayu adalah jumlah beras yang tersedia untuk dikonsumsi oleh masyarakat Kota Medan.
2.
Luas panen ubi kayu merupakan luas areal lahan yang akan dipanen pada musim tertentu.
3.
Harga ubi kayu adalah harga ubi kayu yang berada di Badan Ketahanan Pangan (BKP) kota Medan.
4.
Pertumbuhan jumlah penduduk berarti jumlah pangan yang harus disediakan semakin banyak untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk.
5.
Ketersediaan ubi jalar adalah jumlah beras yang tersedia untuk dikonsumsi oleh masyarakat Kota Medan.
6.
Luas panen ubi jalar merupakan luas areal lahan yang akan dipanen pada musim tertentu.
7.
Harga ubi jalar adalah harga ubi jalar yang berada di Badan Ketahanan Pangan (BKP) kota Medan.
8.
Ketersediaan tapioka adalah jumlah tapioka yang tersedia untuk dikonsumsi oleh masyarakat Kota Medan.
34
9.
Jumlah produksi tapioka merupakan seluruh hasil kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk pangan.
10. Harga ubi kayu adalah harga ubi kayu yang berada di Badan Ketahanan Pangan (BKP) kota Medan. 11. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan atau mengubah bentuk pangan. 12. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh perusahaan dari aktivitasnya, kebanyakan dari penjualan produk dan/atau jasa kepada pelanggan. 13. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. 3.6.2. Batasan Operasional 1. Data yang diambil adalah data dalam kurun waktu tahun 2006 sampai 2015 meliputi ketersediaan dan konsumsi makanan berpati (ubi kayu, ubi jalar dan tapioka) di Kota Medan. 2. Penelitian dilakukan di kota Medan 3. Waktu penelitian dimulai tahun 2017.
35
DAFTAR PUSTAKA Ambarwati, N. 2014. Skripsi: Analisis Kausalitas Antara Konsumsi Rumah Tangga Dengan PDRB Perkapita Di Jawa Tengah Periode Tahun 19862011. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. BPS Sumatera Utara. 2016. Sumatera Utara Dalam Angka 2016. Dirhamsyah, dkk. 2016. KETAHANAN PANGAN; Kemandirian Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat Daerah rawan Pangan di Jawa. Plantaxia. Yogyakarta. Gardjito, dkk. 2013. Pangan Nusantara Karakteristik dan Prospek untuk Percepatan Diversifikasi Pangan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Giriarso, J dan Agus, M. 2011. Pembuatan Biotenol dari Tebu dan Singkong. Gema Buku Nusantara. Bandung. Gujarati, D. 2007. Dasar-Dasar Ekonometrika. Erlangga. Jakarta Herdiawan, D. 2012. Ketahanan Pangan & Radikalisme. Republika. Jakarta. Juanda, D dan Cahyono. 2000. Ubi Jalar Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Kanisius. Yogyakarta. Lestari, L. 2013. Skripsi: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketersediaan dan Konsumsi Pangan Strategis di Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara. Medan. Kerr, J. 2009. Pangan Pro dan Kontra Pangan Modern. Tiga Serangkai. Solo. Nawari. 2010. Analisis Regresi dengan MS Excel 2007 dan SPSS 17. PT Elex Media Kamputindo. Jakarta. Nurani,dkk. 2007. Bercocok Tanam Ubi Kayu. Kanisius. Yogyakarta. Richana, Nur. 2013. Menggali Potensi Ubi Kayu & Ubi Jalar. Nuansa Cendekia. Bandung. Prihandana, dkk. 2008. Biotenol Ubi Kayu: Bahan Bakar Masa Depan. Agro Media Pustaka. Jakarta. Saleh, K. 2015. Skripsi: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi dan Ketersediaan Beras di Kota Binjai. Universitas Sumatera Utara. Medan. Salim, E. 2011. Mengolah Singkong menjadi Tepung Mocaf Bisnis Produk Alternatif Pengganti Terigu. Andi Offset. Yogyakarta. Santoso, S. 2010. Statistik Multivariant. PT Elex Komputindo. Jakarta.
36
Sembiring, T. 2016. Skripsi: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketersediaan dan Konsumsi Kedelai di Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara. Medan. Setiawan, B. 2015. Budidaya Umbi-Umbian Padat Nutrisi. Pustaka Baru Press. Yogyakarta. Siahaan, P. 2012. Skripsi: Analisis Rasio Ketersediaan Pangan Dengan Konsumsi Pangan Di Kota Medan. Universitas Sumatera Utara. Medan. Suhardjo. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Diterjemahkan dari; Harper, L.J, dkk.1986. Food, Nutrition and Agriculture. Suprapti, M. 2005. Tepung Tapioka Pembuatan dan Pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta. Suryana, A. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. BPFE Yogyakarta. Yogyakarta. Tambunan, T. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu Penting. Ghalia Indonesia. Jakarta. Wardayadi. 2012. Kegiatan Ekonomi Konsumen dan Produsen. Dikutip dari: https://wardayadi.wordpress.com/materi-ajar/kelas-x/kegiatan-ekonomikonsumen-produsen/. 14 februari 2017. Wardhana, H. 2013. Inilah Umbi-umbian Lokal Indonesia yang Berpotensi sebagai Pangan Alternatif. Dikutip dari: http://www.kompasiana.com/wardhanahendra/inilah-umbi-umbian-lokalindonesia-yang-berpotensi-sebagai-panganternatif_5528be196ea83488268b45b3. 14 Februari 2017.