JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 2 2008
Tanggap Klon Lokal Ubi Jalar Papua terhadap Cekaman Kekeringan Saraswati Prabawardani, Amelia Sarungallo, Yohannis Mustamu, dan Frederick Luhulima Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian Universitas Negeri Papua Jl. Gunung Salju, Manokwari, Irian Jaya Barat
ABSTRACT. Response of Local Sweet Potato Clones to Drought Stress. The local Papuan sweet potato clones were grown under normal and water stress conditions (20% and 80% of soil field capacity) in the glasshouse of Agriculture Faculty, Papua State University. The research was aimed to identify and observe drought tolerance characters of 10 sweet potato clones. Plant biomass, leaf area and weight, tuber yields reduced in response to the water stress. Chlorophyll and carotenoid concentration, harvest index and water use efficiency decreased significantly when water supply was withheld into 20% of soil field capacity. Clone Sandai produced greater tuber yield under non-water stress. Even though all of clones showed their susceptibility to water stress, clone Hub produced greatest tuber yield and had greater water use efficiency under water stress condition. Despite producing relatively lower tuber yield, Dosak and Mandau clones indicated lower transpiration compared to all other clones under normal and water stress conditions. This result shows specific character was possessed by each clone, which can be traced for genetic resources in the breeding program. The greater correlation between the vegetative plant parts and tuber yields may indicate that both dry biomass and leaf growth contributed to the greater tuber yields. Chlorophyll concentration decreased when the soil water content was suppressed and greater chlorophyll concentration may indicate greater productivity of sweet potato clones under an efficient water use. Keywords: Sweet potato, water stress, chlorophyll, harvest index, transpiration, water use efficiency ABSTRAK. Klon ubi jalar lokal Papua ditanam pada media dengan kondisi normal dan stres air (20% dan 80% dari kapasitas lapang) di rumah kaca, Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian Universitas Negeri Papua. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi karakter pertumbuhan dan hasil 10 klon lokal ubi jalar Papua. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa biomas tanaman, luas dan berat daun, serta bobot umbi menurun pada kondisi stres air. Konsentrasi klorofil dan karotenoid, indeks panen dan efisiensi penggunaan air nyata menurun pada saat air dipertahankan 20% dari kapasitas lapang. Hasil umbi tertinggi dihasilkan oleh klon Sandai pada kondisi air normal. Klon Hub menghasilkan umbi dan efisiensi penggunaan air tertinggi pada kondisi cekaman air. Klon Dosak dan Mandau menghasilkan transpirasi lebih rendah di bawah kondisi normal dan cekaman air, namun hasil umbi rendah. Hal ini menunjukkan masingmasing klon ubi jalar menampilkan karakter yang berbeda yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber genetik dalam program pemuliaan. Tingginya korelasi antara bagian vegetatif tanaman dan hasil umbi menunjukkan bahwa biomas tanaman dan pertumbuhan daun memiliki kontribusi terhadap hasil umbi. Konsentrasi klorofil klonklon ubi jalar rendah pada saat tanaman mengalami stres air. Di sisi lain, konsentrasi klorofil lebih besar berkaitan dengan tingginya produktivitas ubi jalar di bawah penggunaan air yang lebih efisien. Kata kunci: Ubi jalar, cekaman kekeringan, klorofil, indeks panen, transpirasi, efisiensi penggunaan air
bi jalar merupakan makanan pokok masyarakat Papua. Diperkirakan sekitar 60% dari penduduk Papua mengkonsumsi ubi jalar sebagai makanan pokok, bahkan hampir 95% penduduk Pegunungan Tengah Papua mengkonsumsinya sebagai makanan utama. Di wilayah ini ancaman terhadap keamanan pangan terjadi secara berkala karena kondisi iklim yang ekstrim seperti hujan es, penjenuhan air tanah, dan kekeringan. Curah hujan yang tinggi menyebabkan penjenuhan air tanah. Kelebihan air tanah dapat menghambat fungsi perakaran tanaman, sehingga ubi jalar gagal dipanen dan berakibat pada timbulnya bencana kelaparan di wilayah Yahukimo pada Januari 2006. Bencana kekeringan melanda wilayah pegunungan tengah Papua secara periodik dan tercatat pada tahun 1896, 1902, 1905, 1914, 1931, 1941, 1942, 1965, 1972, 1982, 1987, dan 1997 (Bourke 2001), sehingga kekeringan merupakan masalah utama bagi produksi ubi jalar. Kemarau panjang yang parah terjadi pada saat El Niño 1997, yang mengakibatkan hampir seluruh tanaman ubi jalar gagal panen, sehingga menimbulkan bencana kelaparan. Tanggap tanaman terhadap kekeringan bervariasi, bergantung pada kultivar dan kondisi lingkungan (Mullet and Whitsitt 1996). Cekaman air menghalangi fungsi fisiologis tanaman, sehingga seleksi kultivar tahan kekeringan merupakan strategi penting dalam mengurangi pengaruh negatif defisit air (Newell 1991). Penelitian terhadap ubi jalar asal Papua baru dilakukan pada tahap karakterisasi untuk melihat ciri morfologi dan kekerabatan klon-klon yang dikoleksi (Yaku dan Saraswati 1997). Identifikasi klon ubi jalar lokal yang tahan kekeringan dan karakterisasi aspek fisiologinya belum pernah diteliti. Mengingat kekeringan yang terjadi secara berkala di wilayah ini maka diperlukan penelitian terhadap klon yang toleran kekeringan dan karakterisasi morfofisiologi ubi jalar lokal Papua. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakter morfofisiologi, termasuk konsentrasi pigmen dan hasil umbi, kaitannya dengan efisiensi penggunaan air oleh klon ubi jalar dalam asal pegunungan tengah Papua.
U
113
PRABAWARDANI ET AL.: TANGGAP UBI JALAR PAPUA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di rumah kaca dan laboratorium agroklimatologi, Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian, Universitas Negeri Papua, pada 1 Agustus hingga 31 Oktober 2007. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok faktorial. Faktor pertama adalah klon ubi jalar yang terdiri atas 10 perlakuan, yaitu Wenda, Mandau, Wapoga, Dosak, Firiangge, Paniai, Hub, Sandai, Kuyage, dan Helaleke. Faktor kedua adalah kadar air tanah dengan dua taraf, yaitu 20% dan 80% air tanah dari kapasitas lapang, masing-masing empat ulangan. Volume air yang dibutuhkan agar tanah dalam pot mencapai persentasi tertentu dari kapasitas lapang ditentukan berdasarkan metode gravitasi (Lambers et al. 1998). Bobot tanah yang digunakan setara dengan 10 kg tanah kering udara per pot. Perhitungan volume air yang dibutuhkan untuk mencapai kapasitas lapang adalah: 1. A = (a-b) x 100 a – b = bobot air tersedia a = berat contoh tanah pada kapasitas lapang b = berat kering tanah setelah dikeringkan di oven (105oC) 2. B = (c-d) x 100 c – b = bobot air pada kering udara c = berat kering angin tanah d = berat contoh tanah kering udara setelah dikeringkan di oven (105oC) 3. Banyaknya air yang dibutuhkan untuk membawa air tanah pada kapasitas lapang tertentu: (A – B) / B x 1000 unit: gram air/kg tanah kering angin. Berdasarkan contoh tanah yang diuji, maka banyaknya air yang dibutuhkan untuk mendapatkan 20% dan 80% dari kapasitas lapang, masing-masing 410 kg dan 2640 kg/pot. Pada setiap pot ditanam 1 stek pucuk ubi jalar. Seluruh tanaman ubi jalar diairi sampai jenuh, kemudian dibiarkan hingga mencapai persentase air tanah yang telah ditentukan. Permukaan pot ditutup dengan plastik hitam untuk mencegah evaporasi. Pada plastik penutup dibuat lubang kecil dengan ukuran 1 cm untuk membiarkan pertumbuhan sulur ubi jalar. Jarak antarulangan 150 cm dan jarak antarpot dalam ulangan 50 cm. Sebanyak 40 pot ekstra dipersiapkan untuk pengamatan bobot brangkasan segar dari masingmasing klon ubi jalar pada umur 1 dan 2 bulan dengan memberikan perlakuan pengairan 20% dan 80% dari kapasitas lapang. Pupuk yang digunakan adalah pupuk daun kana yang diberikan setiap 10 hari sekali dengan dosis 1ml/3 ml air. Hama belalang dikendalikan dengan insektisida Decis 1 ml/10 l air, pada minggu ketiga setelah tanam.
114
Konsentrasi pigmen diukur dengan metode Wintermans dan De Mots (1965). Daun muda yang berkembang penuh diambil sebagai sampel, dipotong dan ditimbang sebanyak 2 g, kemudian dicampur dengan pasir halus 0,2 g; etanol 95% (5 ml), CaCO3 (0,2 g) dan dihancurkan dengan mortar. Larutan tersebut ditransfer ke tabung sentrifugal HC1180T setelah ditambah etanol 95% sebanyak 20 ml. Kemudian, tabung yang berisi larutan dimasukkan ke dalam sentrifugal selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm untuk memisahkan supernatan dari bahan-bahan padat dan pasir. Larutan dalam tabung selanjutnya dikeluarkan dari sentrifugal dan dimasukkan ke dalam Hack spektrofotometer DA/2500, diukur pada panjang gelombang 470, 649, 665 dan 740 nm. Klorofil dan karotenoid diamati sesudah pembacaan panjang gelombang 740 nm, dikurangi dengan nilai pada panjang gelombang lainnya untuk mengoreksi nilai absorban. Perhitungan konsentrasi pigmen (Wintermans and De Mots 1965) adalah sebagai berikut: Klorofil a (mg/ml) = 13,7 A665 – 5,76 A649 Klorofil b (mg/ml) = 25,8 A649 – 7,60 A665 Karotinoid (mg/ml) = (1000A470 – 2,05 klor a – 114,8 klor b)/245 Total klorofil (mg/ml) = klorofil a + klorofil b Ai adalah nilai pembacaan spektrofotometer pada panjang gelombang i. Variabel pengamatan meliputi: (1) konsentrasi klorofil dan karotenoid daun (mg/g daun segar), diukur pada umur 8 minggu setelah tanam; (2) luas daun (cm2/ tanaman) diukur dengan digital leaf area meter CI-202 pada umur 12 minggu setelah tanam; (3) bobot brangkasan kering tanaman (g/tanaman) menggambarkan kemampuan tanaman untuk menghasilkan biomas dan efisiensinya dalam mengkonversi biomas ke bahan kering (Garnier et al. 2001), diukur pada umur 12 minggu setelah tanam (saat panen); (4) bobot kering daun (g/ tanaman) merupakan indikator pertumbuhan dan pembentukan biomass tanaman, diukur pada umur 12 minggu setelah tanam; (5) bobot umbi (g/tanaman), ditimbang pada umur panen (12 minggu setelah tanam) setelah umbi dicuci dan dikeringanginkan selama 30 menit; (6) indeks panen menggambarkan penyebaran relatif hasil fotosintesis antara umbi akar dan bagian tanaman lainnya (Kuo and Chen 1992) dan dihitung sebagai rasio antara hasil ekonomi (umbi) dan hasil biologi (batang, daun, dan akar) pada saat panen (Ludlow and Muchow 1990). (7) transpirasi (ml/ tanaman) diukur berdasarkan banyaknya air yang hilang dari tanaman secara periodik dengan menimbang pot dan tanaman setiap 2 hari sekali, dan mencatat banyaknya air yang dibutuhkan untuk membawa tanah
JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 2 2008
ke persentasi kapasitas lapang yang ditentukan (Riga and Vartanian 1999; Kirnak et al. 2001); (8) efisiensi penggunaan air (%) berperan penting dalam aklimatisasi, produktivitas dan toleransi kekeringan, ditentukan melalui rasio antara berat umbi dan total transpirasi. Seluruh hasil pengamatan dianalisis dengan standard analisis keragaman (ANOVA) pada taraf kepercayaan 5% (P<0.05). Pengujian lanjutan terhadap perlakuan yang berbeda dilakukan dengan melihat standard error rata-rata perlakuan dengan empat ulangan. Analisis korelasi diperlukan untuk menguji keeratan hubungan antara beberapa variabel pengamatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi Pigmen Konsentrasi klorofil menurun dengan meningkatnya defisit air tanah. Klon Sandai pada kondisi air tanah cukup menghasilkan klorofil 3268 g/g. Dalam kondisi cekaman air, klon Paniai menghasilkan klorofil daun 2282 g/g, lebih tinggi dibandingkan dengan klon lainnya. Konsentrasi klorofil pada klon Wenda menurun tajam (58%) pada kondisi stres air, sedangkan penurunan konsentrasi klorofil terendah pada kondisi stres air tampak pada klon Kuyage (22%) dan Paniai (28%). Kandungan klorofil yang tinggi menunjukkan baiknya sistem transformasi energi dalam membran tilakoid (Dahlin 1988). Sebaliknya, kandungan klorofil yang rendah dapat menurunkan laju absorpsi cahaya (Evans 1996). Kondisi lingkungan yang tidak sesuai, seperti terbatasnya suplai air dapat menghambat aktivitas pigmen fotosintesis atau menyebabkan degradasi klorofil tanaman gandum (Ashraf et al. 1994). Konsentrasi klorofil lebih tinggi pada perlakuan
pengairan 80% kapasitas lapang. Konsentrasi klorofil daun yang tinggi ini dapat menunjang produktivitas yang tinggi (Parimelazhagan and Francis 1996). Konsentrasi karotenoid tertinggi dihasilkan oleh perlakuan pengairan 80% dan berbeda nyata dengan perlakuan 20% kapasitas lapang (Gambar 2). Klon Hub mengandung pigmen karotenoid tertinggi, yaitu 598 g/ g pada kondisi cukup air. Pada kondisi cekaman air, konsentrasi karotenoid klon Helaleke, Paniai, Kuyage, dan Firiangge lebih tinggi dari klon lainnya. Penurunan tertinggi konsentrasi pigmen karotenoid pada kondisi stres air tampak pada klon Wenda (53%), sedangkan terendah pada klon Helaleke (15%) dan Paniai (17%). Penurunan kandungan karotenoid dalam kondisi cekaman air pada klon ubi jalar lainnya berkisar antara 20-30%. Fungsi karotenoid dalam fotosintesis adalah mengumpulkan cahaya dan melindungi klorofil dari hambatan cahaya (Demming-Adams et al. 1996 dalam Hopkins 1999). Karotenoid menyerap dan mentransfer energi cahaya ke klorofil untuk digunakan dalam fotosintesis (Devlin and Witham 1983). Bila kandungan air tanah tidak memenuhi kebutuhan tanaman, maka konsentrasi pigmen, termasuk pigmen karotenoid, menurun sehingga laju dan aktivitas fotosintesis dan pertumbuhan tanaman menurun. Ada kemungkinan bahwa dalam kondisi stres air, kandungan pigmen karotenoid meningkat untuk melindungi fotosistem akibat hambatan cahaya. Bobot Brangkasan Kering Tanaman Bobot brangkasan kering (biomas) yang dihasilkan oleh tanaman stres air lebih rendah dibandingkan dengan brangkasan dari media cukup air (Gambar 3). Pada kondisi pengairan normal (80% dari kapasitas lapang), 700
3500
20%
80%
Konsentrasi karotenoid (ug/gr)
= SE0,05 Konsentrasi klorofil (ug/gr)
3000 2500 2000 1500 1000 500
20% FC
80% FC
500 400 300 200 100 0
0
W
= SE0,05 600
en
da M
an
u da W
ap
a og
D
ak os F
an iri
e gg
ai ni Pa
b Hu
n Sa
i da u K
ge ya
al el H
e ek
Klon ubi jalar
Gambar 1. Konsentrasi pigmen klorofil pada klon lokal ubi jalar Papua pada perlakuan pengairan 20% dan 80% kapasitas lapang.
W
en
da M
an
da
u W
ap
og
a D
os
ak F
a i ri
ng
ge
Pa
ai ni
Hu
b Sa
nd
ai K
ag uy
e H
al el
e ek
Klon ubi jalar
Gambar 2. Konsentrasi pigmen karotenoid klon ubi jalar pada perlakuan pengairan 20% dan 80% dari kapasitas lapang.
115
80
80% FC
= SE0,05
60 50 40 30 20 10
Bobot kering daun (gr/tanaman)
25
20% FC 70
20% FC
=SE0,05
20
80% FC
15
10
5
0
Klon ubi jalar
ek
e
e al el H
da i
uy ag K
ub
0 i
ke le
Sa n
H
a el
ia
e ag uy
H
K
Pa n
ai nd
e
Sa
ng g
ub
ak
H
r ia
ai
os
ni Pa
Fi
ge ng
D
ria Fi
u
ak os
ap og a
D
W
W
a og ap
an da
M
u da an
M
da en
en da
W
W
Bobot brangkasan kering (gr/tanaman)
PRABAWARDANI ET AL.: TANGGAP UBI JALAR PAPUA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
Klon ubi jalar
Gambar 3. Bobot brangkasan kering klon ubi jalar asal Papua pada perlakuan pengairan 20% dan 80% kapasitas lapang.
Gambar 4. Bobot kering daun klon ubi jalar pada perlakuan pengairan 20% dan 80% kapasitas lapang air tanah.
klon Sandai menghasilkan bobot brangkasan kering tertinggi (70 g/tanaman), sedangkan bobot brangkasan kering terendah tampak pada klon Wapoga dan Paniai (Gambar 3). Pada kondisi stres air, bobot brangkasan tertinggi dihasilkan oleh klon Hub dan Firiangge, masing-masing 14,3 g/tanaman. Bobot biomas klon Sandai menurun tajam (83%) akibat cekaman air. Hasil ini menunjukkan bahwa stres air mempengaruhi asimilasi karbon, sehingga menurunkan produksi asimilat dalam memicu perkembangan organ vegetatif tanaman.
2002). Pada kondisi cukup air, luas daun pada semua klon nyata lebih tinggi dibanding kondisi stres air. Menurunnya luas daun berkorelasi dengan penurunan berat daun di bawah kondisi stres air. Pada kondisi cukup air, klon Sandai menghasilkan daun tertular (6411 cm2/ tanaman). Pada kondisi stres air, luas daun menurun. Daun terluas pada kondisi ini dihasilkan oleh klon Helaleke (2094 cm2/tanaman). Luas daun klon Sandai menurun hingga 73%, sedangkan penurunan luas daun klon-klon lainnya relatif sama, yaitu sekitar 60%. Perkembangan daun terhambat saat defisit air meningkat. Reduksi luas daun di bawah kondisi stres air juga terjadi pada tanaman lainnya, seperti ubi kayu (Connor and Cock 1981). Menurunnya pertumbuhan daun adalah konsekuensi dari terhambatnya pembelahan dan pemanjangan sel (Alves and Setter 2000). Luas daun merupakan karakter penting dalam sistem produksi umbi. Menurunnya luas daun dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kondisi stres air atau dapat menguntungkan dalam kondisi stres air karena transpirasi menjadi berkurang (Hopkins 1999), namun dapat mengurangi pertumbuhan dan produktivitas (Ludlow and Muchow 1993). Di sisi lain, luas daun yang berlebihan juga dapat menurunkan produksi umbi bila terjadi kompetisi dalam merebut cahaya antara daun pada bagian atas dan bawah, atau terjadinya penaungan pada daun di posisi bawah tanaman (Ravi and Indira 1999).
Bobot Daun Stres air menyebabkan bobot daun menurun dan berbeda nyata antara klon-klon ubi jalar pada kondisi normal air (Gambar 4). Klon Sandai menghasilkan bobot daun kering tertinggi (21,5 g/tanaman) pada kondisi air tanah normal, sedangkan bobot daun terendah terdapat pada klon Wapoga (13,9 g/tanaman). Pada kondisi stres air, bobot daun kering tertinggi terdapat pada klon Kuyage (7,4 g/tanaman), diikuti oleh Helaleke (7 g/tanaman) dan Wenda (6,9 g/tanaman). Namun penurunan bobot daun tertinggi dari kondisi normal ke stres air tampak pada klon Sandai, di mana bobot daun menurun hingga 72%. Berkurangnya bobot daun dalam kondisi stres air erat kaitannya dengan penurunan luas dan jumlah daun. Hal ini didukung oleh koefisien korelasi yang tinggi antara komponen karakter daun. Luas Daun Luas daun merupakan karakter penting karena berkaitan erat dengan efisiensi fotosintesis (Taiz and Zeiger
116
Bobot Umbi Dalam kondisi stres air, bobot umbi klon ubi jalar lebih rendah (Gambar 6). Pada kondisi air tanah cukup, klon Sandai menghasilkan bobot umbi tertinggi (1380 g/ tanaman). Pada kondisi stres air (20% dari kapasitas lapang), klon Hub menghasilkan bobot umbi tertinggi.
JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 2 2008
20%
1600 Bobot umbi (gr/tanaman)
5000
2
Luas daun (cm /tanaman)
=SE0,05
6000
4000 3000 2000 1000
20%
=SE0,05
80%
7000
80%
1400 1200 1000 800 600 400 200
0
a u da og da en ap an W W M
ak os D
Fi
ge ng ria
ai ni Pa
ub H
e ai ge ek nd ya a al S el Ku H
Klon ubi jalar
20%
= SE0,05
80%
0,8 0,7
Indeks panen
0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
W
da en M
u da an
W
a og ap
ai ak ge ub ni H os ng Pa D ri ia F Klon ubi jalar
W
en
da M
an
u da W
ap
og
a D
os
ak F
a ir i
ng
ge
Pa
ni
ai
H
ub Sa
nd
ai K
ag uy
e H
el
al
e ek
Klon ubi jalar
Gambar 5. Luas daun klon ubi jalar pada perlakuan pengairan 20% dan 80% kapasitas lapang air tanah.
0,9
0
e e ai ag ek nd al uy Sa el K H
Gambar 7. Indeks panen klon ubi jalar pada perlakuan pengairan 20% dan 80% kapasitas lapang air tanah.
Penurunan bobot umbi tampak pada klon Paniai (93%), sedangkan pada klon lainnya 80-83%, kecuali klon Hub (79%). Oleh sebab itu, stres air pada saat awal pertumbuhan tanaman menghambat inisiasi umbi. Sesuai dengan penelitian Taufatofua (1994), stres air berpengaruh buruk, terutama pada tanaman muda, dan menurunkan hasil umbi pada akhir siklus pertumbuhan. Penurunan bobot umbi pada kondisi stres air juga berkaitan dengan menurunnya biomas, sehingga mempengaruhi translokasi asimilat pada umbi. Menurut Kuo dan Chen (1992), potensi sumber (daun) dan sink (umbi) berperan penting dalam mengatur hasil ubi jalar. Indeks Panen Indeks panen merupakan indikator distribusi karbon. Indeks luas panen nyata lebih tinggi pada kondisi air 80% kapasitas lapang dibanding stres air. Pada kondisi ini, indeks panen tertinggi dihasilkan oleh klon Wapoga (0,83). Indeks panen klon lainnya berkisar antara 0,74-
Gambar 6. Bobot umbi segar klon ubi jalar pada perlakuan pengairan 20% dan 80% kapasitas lapang.
0,78 pada kondisi air 80% kapasitas lapang. Indeks panen tertinggi pada kondisi stres air dihasilkan oleh klon Wapoga dengan nilai 0,71. Stres air menurunkan nilai indeks panen. Penurunan tertinggi tampak pada klon Paniai dengan nilai 41%. Rata-rata penurunan nilai indeks panen pada klon lainnya berkisar antara 6-14%. Penurunan indeks panen terendah terdapat pada klon Hub sebesar 6,7%. Nilai indeks panen yang tinggi menggambarkan distribusi hasil asimilasi lebih besar ke pembesaran umbi. Indeks panen yang rendah merupakan indikasi tingginya hasil biomas dan kurangnya pembagian asimilat ke umbi. Hal ini menunjukkan bahwa mobilisasi unsur karbon yang efisien ke umbi akar dari daun merupakan hal yang kritikal untuk perkembangan indeks panen ubi jalar. Transpirasi Total transpirasi tertinggi selama pertumbuhan tanaman pada perlakuan pengairan 80% kapasitas lapang terdapat pada klon Sandai (5100 ml/tanaman), sedangkan transpirasi terendah pada klon Mandau (3846 ml/ tanaman) dan Dosak (3867 ml/tanaman). Pada perlakuan pengairan 20% kapasitas lapang, total transpirasi tertinggi tampak pada klon Firiangge (3640 ml/tanaman), sedangkan terendah pada klon Mandau (2696 ml/tanaman) (Gambar 8). Tingginya transpirasi terutama pada klon Sandai merupakan konsekuensi dari tingginya bobot brangkasan kering, luas, dan bobot daun atau produksi biomas dan hasil umbi. Peningkatan transpirasi berbentuk linier dengan peningkatan umur tanaman atau perkembangan tanaman. Oleh sebab itu, stres air pada tahap awal pertumbuhan dinilai membahayakan pekembangan umbi. Transpirasi terendah pada klon Mandau dan 117
PRABAWARDANI ET AL.: TANGGAP UBI JALAR PAPUA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
20%
80%
Efisiensi penggunaan air (%)
Total transpirasi (ml/tanaman)
40
6000 = SE0,05
5000 4000 3000 2000 1000
20%
80%
=SE0,05
35 30 25 20 15 10 5 0
0
W
e
a nd M
an
u da W
ap
a og
Do
k sa Fi
r ia
n
e gg
Pa
a ni
i
b Hu
Sa
a nd
i Ku
y
e ag He
la
l
e ek
Klon ubi jalar
W
da en M
d an
au W
a og ap
ak os D
Fi
ge ng ria
ni Pa
ai
ub H
e e ai ag ek nd al uy Sa el K H
Klon ubi jalar
Gambar 8. Total transpirasi per tanaman ubi jalar.
Gambar 9. Efisiensi penggunaan air oleh klon ubi jalar pada kondisi normal dan stress air.
Dosak disebabkan oleh jumlah air yang menguap dari permukaan tanaman lebih rendah akibat pertumbuhan kedua klon relatif lebih kecil dibandingkan dengan klon lainnya. Hal ini tampak dari rendahnya bobot brangkasan kering, luas, bobot daun, dan hasil umbi.
konsekuensi dari meningkatnya fotosintesis (Spence and Humphrie 1972 dalam Ghuman and Lal 1983). Konsentrasi klorofil dan efisiensi penggunaan air memiliki hubungan namun relatif rendah (R2 = 0,59), yang menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan air berkaitan erat dengan biomas. Luas dan bobot daun serta bobot brangkasan menentukan kapasitas fotosintesis untuk perkembangan umbi.
Efisiensi Penggunaan Air Efisiensi penggunaan air didefinisikan sebagai rasio perolehan karbon terhadap kehilangan air (transpirasi). Pada kondisi cukup air, efisiensi penggunaan air lebih tinggi dibanding kondisi stres air. Efisiensi penggunaan air tertinggi pada kondisi air tanah 80% kapasitas lapang terdapat pada klon Dosak (32%), sedangkan efisiensi terendah pada klon Firiangge (24%). Pada kondisi stres air, efisiensi penggunaan air tertinggi dijumpai pada klon Hub (8,2%). Tanaman dapat mencapai efisiensi penggunan air yang tinggi melalui asimilasi karbon yang tinggi atau transpirasi yang rendah atau keduanya. Efisiensi penggunaan air yang rendah dihasilkan oleh tanaman yang tumbuh pada kondisi stres air dan sebagai konsekuensi dari pertumbuhan yang terhambat dan rendahnya transpirasi. Korelasi Antara Berbagai Peubah yang Diamati Luas daun dan konsentrasi klorofil berkorelasi positif dengan nilai R 2= 0,74. Berarti semakin luas daun semakin tinggi konsentrasi klorofil. Korelasi positif juga tampak pada transpirasi dengan luas daun (R2 = 0,84) dan bobot daun (R2 = 0,80). Hal ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya luas dan bobot daun maka transpirasi juga meningkat. Korelasi yang tinggi dijumpai pula antara biomas dan bobot umbi (R2 = 0,93). Hal ini menunjukkan bahwa hasil umbi meningkat dengan meningkatnya biomas, bobot dan luas daun sebagai
118
KESIMPULAN 1. Bobot brangkasan kering, bobot dan luas daun, hasil umbi, dan komponen morfofisiologi (konsentrasi pigmen, luas daun spesifik, indeks panen, transpirasi, dan efisiensi penggunaan air) menurun dengan menurunnya ketersediaan air tanah pada 20% kapasitas lapang. 2. Pada pengairan 80% kapasitas lapang, klon Sandai menghasilkan bobot brangkasan kering, bobot dan luas daun, konsentrasi klorofil, dan hasil umbi tertinggi. Korelasi yang erat tampak pada produksi biomas dan hasil umbi. Bobot brangkasan, luas daun, dan bobot daun berkorelasi positif dengan bobot umbi, sedangkan korelasi kurang erat tampak antara konsentrasi pigmen dengan efisiensi penggunaan air. Dengan demikian efisiensi penggunaan air berkaitan erat dengan biomas. 3. Pada kondisi stres air, bobot umbi tertinggi dihasilkan oleh klon Hub yang memiliki bobot brangkasan kering dan luas daun yang tinggi, bobot daun sedang, luas daun spesifik tinggi, transpirasi terendah, dan efisiensi penggunaan air cukup tinggi, namun klon ini menghasilkan indeks panen rendah pada kondisi cekaman air.
JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 2 2008
4. Ketersediaan air dalam jumlah yang tepat penting untuk merangsang perkembangan dan hasil umbi. Kadar air tanah yang tepat merangsang hasil umbi lebih baik pada klon Sandai. Pada kondisi stres air, klon Hub menghasilkan umbi terbaik. 5. Tidak satu pun dari klon ubi jalar yang diuji memiliki toleransi terhadap cekaman air, namun pada kondisi stres air klon Hub mampu memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan klon lainnya.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, atas bantuan dana penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Alves, A.A.C. dan T.L. Setter. 2000. Response of cassava to water deficit. Crop Science 40:131-137. Ashraf, M.Y., A.R. Azmi, A.H. Khan, and S.A. Ala. 1994. Effect of water stress on total phenols peroxidase activity and chlorophyll content in wheat (Triticum aestivum L.). Acta Physiol. Plant 16:185-191. Bourke, R.M. 2001. An overview and food security in Papua New Guinea. In R.M. Bourke, M.G. Allen, and J.G. Salisbury (Eds.). Food Security for Papua New Guinea. Proceedings of the Papua New Guinea Food and Nutrition 2000 Conference, PNG University of Technology, Lae 26-30 June 2000. ACIAR Proceedings No. 99. Connor, D.J. dan J.H. Cock. 1981. Response of cassava to water shortage II. Canopy dynamics. Field Crop Research 4:285296. Dahlin, C. 1988. Correlation between pigment contribution and apoproterm of the light harvesting complex II (LHC II) in wheat (Triticum aestivum). Plant Physiol. 74:342-348. Devlin, R.M. dan F.H. Witham. 1983. Plant physiology. 4th ed. Willard Grant Press. Boston. Evans, J.R. 1996. Developmental constraints on photosynthesis: effects of light and nutrition. In N.R.Baker (Ed.). Photosynthesis and the Environment. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht, The Netherlands. p. 281-304.
Garnier, E., B. Shipley, C. Roumet, dan G, Laurent. 2001. A standardized protocol for the determination of specific leaf area and leaf dr y matter content (Technical Report). Functional Ecology 15:688-695. Ghuman, B.S. and R. Lal. 1983. Mulch and irrigation effects on plant-water relations and performance of cassava and sweet potato. Field Crop Research 7:13-29. Hopkins, W.G. 1999. Introduction to plant physiology. Ed. 2. John Wiley & Sons, Inc. New York. Kirnak, H., C. Kaya, I. Tas, dan D. Higgs. 2001. The influence of water deficit on vegetative growth, physiology, fruit yield and quality in eggplants. Bulg. J. Plant Science 27(3-4):34-46. Kuo, G. dan H.M. Chen. 1992. Source-sink relationships of sweet potato. In W.A. Hill, C.K. Bonsi, P.A. Loretan (Eds.). Tuskegee University, Tuskegee, Alabama. p.282-295. Lambers, H., F.S. Chapin III, dan T.L. Pons. 1998. Plant physiological ecology. Springer; New York. Ludlow, M.M. dan R.C. Muchow. 1990. A critical evaluation of traits for improving crop yields in water-limited environments. Advanced in Agronomy 43:107-153. Mullet, J.E. dan M.S. Whitsitt. 1996. Plant cellular responses to water deficit. Plant Growth Regulation 20:119-124. Newell, L.L. 1991. Screening sweet potato genotypes (Ipomoea batatas L. Lam) for Drought Tolerance. Abstract of MS thesis. Mississippi State University, Mississippi. Parimelazhagan, T. and K. Francis. 1996. Effects of water stress and salinity on photochemical activity of green gram (Vigna radiata L.). Bioved. 7(1):47-52. Ravi, V. dan P. Indira. 1999. Crop physiology of sweet potato. Horticultural Reviews 23:277-338. Riga, P. dan N. Vartanian. 1999. Sequential expression of adaptive mechanisms is responsible for drought resistance in tobacco. Australian Journal of Plant Physiology 26:211-220. Taiz, L. dan E. Zeiger. 2002. Plant physiology. Sinauer Associates, Inc.; Sunderland, Massachusetts. Taufatofua, P. 1994. Agronomic manipulation of sweet potato (Ipomoea batatas L.) Grown Under Water Limiting Conditions. PhD thesis. University of Queensland. Yaku, A. dan P. Saraswati. 1997. Karakterisasi morfologi 37 aksesi ubi jalar asal Langda, Pegunungan Tengah Jaya Wijaya, Papua. Wintermans, J.F.G.M. and A. De Mots. 1965. Spectrophotometric characteristics of chlorophyll a and b and their pheophytin in ethanol. Biochim. Biophys. Acta 109:448-453.
119