Nurdin Widodo dkk.
Evaluasi Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial Pada Panti Sosial:
PEMBINAAN LANJUT
(After Care Services) PASCA REHABILITASI SOSIAL 2012
Editor Fentini Nugroho, MA, Ph.D
P3KS Press (Anggota IKAPI) Tahun 2012
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Nurdin Widodo dkk. EVALUASI PELAKSANAAN REHABILITASI SOSIAL PADA PANTI SOSIAL: Studi Kasus Pembinaan Lanjut (After Care Services) Pasca Rehabilitasi Sosial 2012- Jakarta; P3KS Press, 2012 x + 374 halaman, 14,8 x 21cm
ISBN 978-602-8427-69-2 Editor : Fentini Nugroho, MA, Ph.D Penulis : 1. Nurdin Widodo 7. Mulia Astuti 2. Alit Kurniasari 8. Agus Budi Purwanto 3. Husmiati 9. Setyo Sumarno 4. Indah Huruswati 10. Ruaida Murni 5. Hemat Sitepu 11. Sri Gati Setiti 6. Moh Syawie 12. Soeprapto Hadi Design Cover : Peneliti Foto Cover : Peneliti Tata letak : Kreasi Cetakan Pertama : 2012 Penerbit : P3KS Press (Anggota IKAPI) Alamat Penerbit : Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta- Timur Telp. (021) 8017126 Email.
[email protected] Website: puslit.depsos.go.id Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana di maksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT setelah melalui beberapa tahapan, tersusunlah buku hasil penelitian “Evaluasi Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial Pada Panti sosial: PEMBINAAN LANJUT (After Care Service) Pasca Rehabilitasi Sosial” Kecenderungan peningkatan kuantitas maupun kualitas Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) semakin nampak bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pelaksanaan pembangunan dalam segala bidang. Upaya penanganan masalah kesejahteraan sosial yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial, baik yang melalui sistem luar panti maupun sistem panti terus dilakukan pembenahan dari sisi sarana prasarana, metode pelayanan maupun peningkatan kualitas sumber daya pelaksananya. Pada hakekatnya proses pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilakukan melalui sistim panti tidak berakhir pada saat penyandang masalah selesai mendapatkan pelayanan didalam panti, namun hingga yang bersangkutan kembali ke keluarga maupun masyarakat lingkungannya yang dilayani dengan kegiatan pembinaan lanjut. Keterbatasan dari berbagai aspek mengakibatkan pembinaan lanjut belum dilakukan secara proporsional. Penelitian Evaluasi Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial Pada Panti Sosial: Studi kasus Pembinaan Lanjut (After Care Services) Pasca Rehabilitasi Sosial, yang dilakukan Puslitbang Kesejahteraan Sosial ini dimaksudkan untuk mengetahui realisasi pelaksanaan pelayanan dan pembinaan lanjut yang telah dilakukan panti-panti sosial, termasuk kendala yang dihadapi dalam pelayanan. Sasaran pada penelitian ini adalah Panti Sosial UPT Kementerian Sosial, dari berbagai jenis masalah yang terdapat di berbagai kota di Indonesia.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
iii
Guna memberikan manfaat yang optimal bagi setiap jenis panti yang diteliti, maka hasil penelitian disampaikan secara terpisah dalam bentuk bagian-bagian sesuai jenis panti. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan kebijakan pengembangan pelayanan sosial dalam panti, khususnya unit teknis di lingkungan Kementerian Sosial maupun pihak lain yang melakukan pelayanan sosial dalam panti. Menyadari akan segala keterbatasan dan kesempurnaan buku hasil penelitian ini, maka saran dan kritik yang membangun dari para pembaca khususnya penggiat pembangunan kesejahteraan sosial sangat diharapkan. Jakarta, November 2012 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kepala,
DR. Dwi Heru Sukoco, M.Si
iv
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
PENGANTAR EDITOR Penelitian mengenai Evaluasi Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial pada Panti Sosial, khususnya mengenai Binaan Lanjut, sangatlah penting mengingat keberhasilan rehabilitasi sosial terutama terletak pada keberhasilan membuat klien mandiri setelah menjalanai rehabilitasi sosial, yang terlihat dalam tahap binaan lanjut. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa peran pekerja sosial masih relatif minim. Selayaknya pekerja sosial berperan sejak tahap intake, assesment, proses rehabilitasi sampai pada tahap binaan lanjut. Sesuai dengan semangat dalam Peraturan Menteri tentang akreditasi lembaga kesejahteraan sosial, sudah saatnyalah setiap Panti mendayagunakan secara maksimal pekerja sosial profesional . Pekerja sosial di sini maksudnya adalah pekerja sosial yang mempunyai latar belakang pendidikan pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial tingkat DIV/Sarjana. Diharapkan dengan pelayanan yang didasarkan pada ilmu/pengetahuan, nilai dan keterampilan pekerjaan sosial, kualitas pelayanan akan dapat lebih ditingkatkan. Namun, disadari juga, walaupun peran pekerja sosial profesional perlu dikedepankan, peran relawan sosial maupun tenaga kesejahteraan sosial (dengan latar belakang disiplin lain di luar pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial), tetap sangat dibutuhkan. Diharapkan kerjasama yang baik dalam tim akan membuat pelayanan lebih efektif. Sebagaimana dikemukakan di atas, pembinaan lanjut sangat esensial untuk menjamin kemandirian klien. Prinsip pelayanan sosial adalah membantu orang agar mampu menolong dirinya sendri (help people to help themselves). Disamping itu, perubahan paradigma - pergeseran dari pendekatan panti menuju pendekatan keluarga/ komunitas - perlu juga direspon dengan seksama. Karena itu, sebenarnya pembinaan lanjut dimana klien diintegrasikan ke keluarga dan komunitasnya, selayaknya memperoleh perhatian lebih besar, bukan hanya pada proses rehabilitasinya saja. Dengan demikian,
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
v
masalah time frame dan anggaran sepatutnya disesuaikan dengan perubahan paradigma tersebut, terlebih banyak klien yang berasal dari daerah terpencil. Dengan demikian, Kementerian Sosial yang merupakan Kementerian terdepan dalam penanganan masalah sosial juga senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan paradigma yang terjadi di dunia internasional. Dalam pembinaan lanjut, yang juga penting adalah kerjasama dan koordinasi dengan Dinas Sosial dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal. Disamping itu, pemberdayaan sumber-sumber dalam masyarakat dan keluarga juga perlu dimaksimalkan. Di sinilah kemampuan pekerja sosial dalam mengembangkan jejaring dan negosiasi diharapkan dapat diterapkan secara signifikan. Akhir kata, harapan ke depan adalah agar penelitian mengenai pembinaan lanjut dapat terus dilakukan. Tampaknya ada beberapa fokus yang mungkin perlu diteliti lebih jauh, seperti mengenai peran pekerja sosial, jejaring yang terjadi di lapangan, bagaimana peran keluarga dan masyarakat dalam pembinaan lanjut serta bagaimana pekerja sosial melakukan penjangkauan ke keluarga dan komunitas. Terimakasih Fentini Nugroho, MA, Ph.D
vi
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
iii
PENGANTAR EDITOR
v
DAFTAR ISI
vii
Bagian 1 : PERSPEKTIF PENANGANAN MASALAH MELALUI PANTI SOSIAL Bagian 2 :
1
MONITORING DAN EVALUASI HASIL PEMBINAAN SEBAGAI PEMBINAAN LANJUT DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK (PSAA) ALYATAMA PROVINSI JAMBI, Alit Kurniasari A. Pendahuluan B. Profil Panti dan Profil Anak C. Pembinaan Lanjut D. Gambaran dan Analisa Kondisi Eks Klien E. Penutup
13 13 19 29 36 47
Bagian 3 : PELAYANAN REHABILITASI SOSIAL ANAK NAKAL DAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DI PANTI SOSIAL MARSUDI PUTRA (PSMP) ANTASENA MAGELANG, 53 Husmiati A. Pendahuluan 53 B. Gambaran Umum Panti Sosial 62 C. Pembinaan Lanjut 69 D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 71 E. Penutup 78 Bagian 4 : PANTI SOSIAL BINA REMAJA (PSBR) NAIBONAT : TANTANGAN PENDIDIKAN MASA DEPAN, Indah Huruswati
85
A. Pendahuluan B. Pengertian Putus Sekolah C. Pelayanan Rehabilitasi Sosial Bagi Remaja D. Pengalaman Mengikuti Seleksi PSBR Naibonat E. Visi dan Misi PSBR Naibonat
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
85 89 91 92 96
vii
F. Sarana Prasarana PSBR Naibonat G. Pelaksanaan Pelayanan Di PSBR Naibonat H. Pemahaman Bimbingan Lanjut Oleh PSBR Naibonat I. Penutup
97 98 107 113
Bagian 4 : STUDI TENTANG PEMBINAAN LANJUT (After Care Services) DI PANTI SOSIAL BINA DAKSA (PSBD) 117 Nurdin Widodo & Hemat Sitepu A. Pendahuluan 117 B. Gambaran Umum Panti Sosial 122 C. Proses Rehabilitasi Sosial 127 D. Pembinaan Lanjut 131 E. Penutup 145 Bagian 5 : PELAKSANAAN PELAYANAAN DAN REHABILITASI SOSIAL PADA PANTI SOSIAL BINA RUNGU WICARA (PSBW) 151 Moh. Syawie A. Pendahuluan B. Proses Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial C. Gambaran Umum Panti Sosial D. Pembinaan Lanjut E. Analisis F. Penutup Bagian 6 : EFEKTIVITAS PELAYANAN SOSIAL MELALUI PANTI REHABILITASI SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS NETRA (PSBN) Mulia Astuti A. Pendahuluan B. Hasil Penelitian Dan Pembahasan C. Proses Rehabilitasi Sosial D. Hasil Yang Dicapai E. Penutup
viii
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
151 159 164 165 173 175
179 179 187 195 202 205
Bagian 8 :
PANTI SOSIAL BINA LARAS (PSBL) PHALA MARTHA, SUKABUMI: PENANGANAN ORANG DENGAN KECACATAN MENTAL EKS PSIKOTIK Agus Budi Purwanto dan Soeprapto Hadi A. Pendahuluan B. Gambaran Umum Panti Sosial C. Proses Rehabilitasi Sosial D. Pembinaan Lanjut Dan Peran Pekerja Sosial E. Penutup
Bagian 9 : PEMBINAAN LANJUT PADA PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW) MULYA JAYA PASAR REBO, JAKTIM Setyo Sumarno A. Pendahuluan B. Gambaran Umum Panti Sosial C. Proses Rehabilitasi Sosial D. Pembinaan Lanjut E. Kasus Dan Analisis G. Penutup Bagian 10 : PELAYANAN DAN REHABILITASI SOSIAL TERHADAP GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI PANTI SOSIAL BINA KARYA (PSBK) PANGUDI LUHUR Ruaida Murni A. Pendahuluan B. Gambaran Umum Panti Sosial C. Proses Rehabilitasi Sosial D. Pembinaan Lanjut E. Gambaran Dan Analisis Kasus Eks WBS F. Penutup
209 209 217 218 227 240 245 245 251 256 264 271 277
281 281 285 290 299 304 310
Bagian 11 : EVALUASI PELAKSANAAN REHABILITASI SOSIAL PANTI SOSIAL PAMARDI PUTRA (PSPP) GALIH PAKUAN BOGOR 315 Sri Gati Setiti A. Pendahuluan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
315
ix
B. Gambaran Umum Panti Sosial C. Profil Anak/Kondisi Klien. D. Proses Rehabilitasi E. Pembinaan Lanjut F. Gambaran Kasus G. Penutup Bagian 12 : IMPLIKASI KEBIJAKAN Nurdin Widodo dan Alit Kurniasari A. Rehabilitasi Sosial Melalui Sistem Panti B. Peran Keluarga dan Masyarakat Dalam Rehabilitasi Sosial C. Alternatif Model Rehabilitasi Sosial
322 323 325 329 332 343 345 346 349 354
DAFTAR PUSTAKA
357
EDITOR DAN PENULIS
362
INDEKS
371
x
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Bagian 1 PERSPEKTIF PENANGANAN MASALAH MELALUI PANTI SOSIAL Panti sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteran sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan penyandang masalah kesejahteraan ke arah kehidupan normatif secara fisik, mental dan sosial (Balatbangsos, 2004). Oleh sebab itu pelayanan melalui sistem panti pada hakikatnya merupakan upaya-upaya yang bersifat pencegahan, penyembuhan, rehabilitasi, dan pengembangan potensi klien, menjadi penting peranannya. Rencana Strategis 2010 - 2014 Kementerian Sosial RI menjelaskan bahwa Unit Pelaksana Teknis (UPT) Panti Sosial merupakan pusat kesejahteraan sosial yang berada di baris paling depan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan pilar intervensi pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi PMKS. UPT panti sosial adalah sebuah pilihan yang harus tersedia disamping pilihan utama lainnya yakni pelayanan sosial berbasis keluarga dan komunitas dan/atau swasta, sehingga masyarakat terutama PMKS memiliki pilihan sesuai dengan kondisi mereka. Panti sosial mempunyai fungsi utama sebagai tempat penyebaran layanan; pengembangan kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi tempat di bawahnya (dalam sistem rujukan/ referral system) dan tempat pelatihan keterampilan. Sedangkan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lain yang sejenis adalah: (1) memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan; menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat; (2) menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
1
yang bersifat pencegahan, perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengembangan; (3) menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang berkesinambungan; (4) menyediakan pelayanan berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya; dan (5) memberikan kesempatan kepada klien untuk berpatisipasi secara aktif dalam usaha-usaha pertolongan yang diberikan. (Balatbangsos, 2004). Proses pelayanan panti sosial meliputi (1) tahap pendekatan awal; (2) asesmen; (3) perencanaan program pelayanan; (4) pelaksanaan pelayanan; dan (5) pasca pelayanan. Tahap pasca pelayanan terdiri dari penghentian pelayanan, rujukan, pemulangan dan penyaluran dan pembinaan lanjut. Pembinaan lanjut merupakan tahapan terakhir dari proses pelayanan sosial dan rangkaian proses rehabilitasi sosial atau pemulihan, yang ditujukan agar eks klien dapat beradaptasi dan berperan aktif dalam keluarga dan masyarakat. Pembinaan lanjut di panti-panti sosial mengalami berbagai kendala diantaranya data eks klien yang tersebar hingga ke pelosok desa, anggaran yang tidak memadai, dan pemahaman tentang pembinaan lanjut yang masih beragam mengakibatkan pelaksanaan pembinaan lanjut belum optimal. Pernyataan ini didukung juga oleh hasil penelitian yang dilakukan di Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) pada tahun 2009, menunjukkan pembinaan lanjut pada sebagian besar PSBR diilaksanakan terbatas pada eks siswa yang terjangkau oleh anggaran, atau dilakukan bersamaan dengan sosialisasi program PSBR di daerah (Widodo, N.2009). Sedangkan hasil penelitian di Panti Sosial Bina Grahita (PSBG) Ciungwanara Bogor, menunjukkan bahwa proses rehabilitasi sosial belum dilaksanakan secara maksimal karena belum siapnya sebagian orang tua klien menerima anaknya yang telah selesai menerima pelayanan di panti (Astuti, 2010). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa belum adanya dukungan dari masyarakat termasuk dunia usaha terhadap eks klien. 2
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Padahal pembinaan lanjut dalam praktik pekerjaan sosial cukup penting untuk mencapai keberhasilan pelayanan, dan merupakan bagian dari manajemen kasus. Menurut Maguire dan Lambert (2002), manajemen kasus digunakan untuk mengelola, mengkoordinasi, dan memandu klien melalui serangkaian langkah-langkah tertentu di lapangan. Langkah tersebut antara lain asesmen awal yang mendefinisikan masalah dan kekuatan, perencanaan, penghubungan dan pengkoordinasian, pemantauan dan perubahan yang mendukung, dan pada akhirnya meringkas serta menyelesaikannya melalui terminasi dan dilanjut dengan tahap pembinaan lanjut. Pembinaan lanjut tidak boleh lepas dari prinsip-prinsip yang digunakan dalam memandu aktivitas praktik pekerjaan sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Sheafor dan Horejsi (2003), diantaranya: 1. Seorang pekerja sosial harus dapat memaksimalkan pemberdayaan kliennya 2. Seorang pekerja sosial harus terus menerus melakukan evaluasi terhadap kemajuan dari perubahan yang dicapai klien 3. Seorang pekerja sosial harus bertanggungjawab kepada lembaga, masyarakat dan profesi pekerjaan sosial. Menurut Woodside dan Mc.Clam (2003), Keberlanjutan pelayanan memiliki dua pengertian: 1. Keberlanjutan berarti bahwa pelayanan yang diberikan pada klien tidak terputus dari tahap awal sampai terminasi dan keberlanjutannya. 2. Keberlanjutan pelayanan berarti penyediaan layanan secara komprehensif. Didalamnya termasuk intervensi dengan dukungan dari lingkungan, memelihara hubungan dengan keluarga klien dan pihak-pihak lain dan jejaring sosial yang menghubungkan dengan pelayanan-pelayanan yang ada. Berdasarkan prinsip-prinsip pekerjaan sosial, maka bimbingan lanjut dianggap perlu untuk dilakukan. Adapun tahapan dari bimbingan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
3
lanjut adalah sebagai berikut: 1. Menyusun rancangan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial. 2. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial melalui bimbingan dan penyuluhan sosial. 3. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial melalui bimbingan dan pendampingan secara individual. 4. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial melalui koordinasi dengan pihak terkait. 5. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial dengan menggali dan mengaitkan dengan sistem sumber yang tersedia. 6. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial dengan menggali dan mengaitkan dengan memberikan bantuan pengembangan usaha. 7. Memantau perkembangan eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial dalam masyarakat. 8. Mengidetifikasi hambatan pelaksanaan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial. 9. Memberikan supervisi dalam pelaksanaan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap pekerja sosial di bawahnya. Beberapa kondisi umum yang ditemui dari kajian awal (preelemenary research) banyak masalah yang dijumpai dalam pelaksanaan pembinaan lanjut di berbagai panti sosial, antara lain: 1. Pembinaan lanjut dipahami hanya sekedar kegiatan monitoring,
4
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
yang dilakukan dengan mengunjungi eks klien baik ke keluarganya maupun ke tempat kerja. 2. Mobilitas eks klien panti sosial cukup tinggi, tempat tinggal eks klien sering berpindah-pindah hingga ke luar daerah sehingga menyulitkan petugas panti sosial dalam melakukan pembinaan lanjut 3. Jangkauan pelayanan panti sosial yang cukup luas, tidak sebanding dengan kondisi SDM dan anggaran yang ada. 4. Belum berfungsinya lembaga pengirim untuk melaksanakan pembinaan lanjut pasca pelayanan panti sosial. Evaluasi Pelaksanaan Pembinaan lanjut (After Care Services) eks klien Panti Sosial bertujuan diperolehnya gambaran faktual pelaksanaan Pembinaan lanjut pada panti-panti sosial pemerintah sebagai bahan pertimbangan Kementerian Sosial dalam merumuskan kebijakan terhadap peningkatan pelayanan sosial panti-panti sosial. Sasaran studi ini sebanyak 10 jenis panti sosial yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial. Rincian dan pengertian jenis panti sosial sesuai SK Menteri Sosial RI Nomor 50/HUK/2004 tentang Standarisasi Panti Sosial adalah sebagai berikut 1. Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak (3 jenis panti sosial) a. Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) adalah panti sosial yang mempunyai tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi anak yatim, piatu, dan yatim piatu yang kurang mampu, terlantar agar potensi dan kapasitas belajarnya pulih kembali dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat b. Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) adalah panti sosial yang mempunyai tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi anak terlantyar putus sekolah agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
5
c. Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) adalah panti sosial yang mempunyai tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi anak nakal agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat 2. Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan (4 jenis panti sosial) a. Panti Sosial Bina Daksa (PSBD) adalah panti sosial yang mempunyai tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat tubuh agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat b. Panti Sosial Bina Netra (PSBN) adalah panti sosial yang mempunyai tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi para penyandang cacat netra agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat c. Panti Sosial Bina Rungu Wicara (PSBRW) adalah panti sosial yang mempunyai tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi para penyandang cacat rungu wicara agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat d. Panti Sosial Bina Laras (PSBL) adalah panti sosial yang mempunyai tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang cacat mental bekas psikotik agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat 3. Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial (3 jenis panti sosial) a. Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) adalah panti sosial yang mempunyai tugas memberkikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi wanita tuna susila agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat b. Panti Sosial Bina Karya (PSBK) adalah panti sosial yang mempunyai tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi gelandangan, pengemis dan orang terlantar
6
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat 4. Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza (1 jenis Panti sosial); Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) yakni panti sosial yang mempunyai tugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi anak korban narkotika agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Penelitian ini menggunakan metode evaluasi dalam pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang relevan untuk meneliti fenomena yang tejadi dalam suatu masyarakat, karena pengamatan diarahkan pada latar belakang dan individu secara holistik dan memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan, bukan berdasarkan pada variabel atau hipotesis, sebagaimana pendapat Lexy J Moleong (2004): Tradisi tertentu dalam ilmu sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang - orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya. Jadi alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagaimana instrumen kunci Penelitian ini bermaksud mendapat gambaran faktual pembinaan lanjut pada panti-panti sosial milik Kementerian Sosial, baik kebijakan, program, kegiatan, maupun pelaksanaannya. Pembinaan lanjut (after care services) merupakan proses pelayanan dan rehabilitasi sosial, karena itu proses pelayanan dan rehabilitasi sosial juga menjadi sasaran studi ini. Sajian data dan informasi yang komprehensif dan mendalam tentang berbagai hal yang menyangkut pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi sosial, dan pembinaan lanjut merupakan bagian tak terpisahkan dalam studi ini. Pelaksanaan kegiatan diawali dengan uji coba instrumen di provinsi Jawa Barat, Sasaran penelitian adalah panti-panti sosial
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
7
yang ditentukan secara purposive dengan mempertimbangkan: 1. Panti Sosial milik Kementerian Sosial yang memiliki program pembinaan lanjut 2. Mewakili jenis panti-panti sosial 3. Jumlah panti sosial diambil secara proposional yakni unit Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak (KSA) terpilih 3 jenis panti sosial, unit Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan (RSODK) terpilih 4 jenis panti sosial, unit Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial terpilih 2 jenis panti sosial dan unit Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza terpilih 1 jenis panti sosial. Berdasarkan kriteria tersebut, lokasi terpilih adalah sebagai berikut: No
Kota
Jenis dan Nama Panti
1.
Jakarta
2.
Bekasi
3.
Bogor
1. Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Mulya Jaya 2. Panti Sosial Bina Rungu Wicara (PSBRW) Melati 1. Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Pangudi Luhur 2. Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Tan Miyat Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) Galih Pakuan Bogor
4.
Sukabumi
Panti Sosial Bina Laras (PSBL) Phala Martha
5.
Magelang
Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Antasena
6.
Palembang
Panti Sosial Bina Daksa (PSBD) Budi Perkasa
7.
Jambi
Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Alyatama
8.
Makassar
Panti Sosial Bina Daksa (PSBD) Wirajaya
9.
Manado
Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Tumou Tou
10.
Kupang
1. Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Naibonat 2. Panti Sosial Bina Rungu Wicara (PSBRW) Efata
Sebagai upaya memperoleh gambaran kondisi eks klien dari hasil pembinaan lanjut, juga dilakukan studi terhadap eks klien untuk setiap jenis panti sosial. Kasus-kasus yang menjadi fokus penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut:
8
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
1. Eks klien yang telah memperoleh pelayanan/rehabilitasi sosial di panti sosial antara tahun 2009-2010 2. Lokasi tempat tinggal eks klien terdapat di 2 lokasi yang berbeda (kabupaten atau kota) 3. Sumber data tentang kondisi eks klien bisa diperoleh dari eks klien dan/atau keluarganya, pekerja sosial panti sosial, tokoh masyarakat dan unit lainnya yang berperan dalam pembinaan eks klien. Teknik Pengumpulan data dilakukan melalui 1. Wawancara mendalam dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai panduan (interview guide) untuk memperoleh data dan informasi sesuai dengan tujuan penelitian 2. Focus Group Discussion (FGD) di setiap panti sosial untuk menghimpun berbagai permasalahan yang dihadapi panti sosial dalam pelaksanaan Pembinaan lanjut dengan kepala panti, Dinas Sosial Kabupaten/kota/ provinsi dan unsur-unsur fungsional yang terlibat dalam pelaksanaan Pembinaan lanjut 3. Observasi terhadap pelaksanaan binjut yang dilakukan oleh petugas panti dan observasi terhadap kondisi anak pasca pelayanan panti sosial 4. Studi dokumentasi terhadap berbagai dokumen yang dimiliki panti sosial yang relevan dengan tujuan penelitian Data dan informasi yang diperoleh dari lapangan dianalis secara deskriptif kualitatif, meliputi reduksi data, penyajian, penafsiran dan menyimpulkan. Analisis data mencakup penelusuran kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang ada, yakni membandingkan data eks-klien panti sosial dengan kebijakan, program, kegiatan dan pelaksanaan pembinaan lanjut yang dilakukan oleh Panti-panti sosial. Setiap jenis panti sosial mempunyai pedoman pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi sosial, namun secara umum
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
9
mempunyai kesamaan dalam tahapan pelayanan dan rehabilitasi sosial. Temuan lapangan terkait dengan proses rehabilitasi sosial, pelaksanaan bimbingan lanjut dan kondisi eks klien, pasca rehabilitasi sosial untuk setiap jenis panti sosial disajikan dalam laporan hasil penelitian, dengan sistematika sebagai berikut: Bagian 1 : Perspektif Penanganan Masalah Melalui Panti Sosial Bagian 2 : Monitoring dan Evaluasi Hasil Pembinaan sebagai pembinaan lanjut di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Alyatama Provinsi Jambi, Alit Kurniasari Bagian 3 : Pelayanan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal dan Anak Berkonflik dengan Hukum di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Antasena Magelang (Fokus pada Pembinaan Lanjut (After Care Services), Husmiati Bagian 4 : Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Naibonat Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur: Tantangan Pendidikan Masa Depan, Indah Huruswati Bagian 5 : Studi Tentang Pembinaan lanjut (After Care Services) di Panti Sosial Bina Daksa (PSBD), oleh: Nurdin Widodo dan Hemat Sitepu Bagian 6 : Pelaksanaan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial pada Panti Sosial Bina Rungu Wicara (PSBRW): Sinergi Petugas Pelaksana Pelayanan Menuju Keberhasilan Kemandirian Eks Klien, Moh Syawie Bagian 7 : Efektivitas Pelayanan Sosial melalui Panti Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Netra (PSBN), Mulia Astuti Bagian 8 : Panti Sosial Bina Laras (PSBL) Phala Martha Sukabumi: Alternatif Penanganan Orang Dengan Kecacatan Mental Eks Psikotik, Agus Budi Purwanto dan Suprapto Hadi
10
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Bagian 9 : Pembinaan Lanjut Pada Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Mulya Jaya Pasar Rebo Jakarta Timur, Setyo Sumarno Bagian 10 : Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Terhadap Gelandangan dan Pengemis di PSBK Pangudi Luhur Bekasi: Studi Kasus Pembinaan Lanjut, Ruaida Murni Bagian 11 : Evaluasi Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) Galih Pakuan Bogor (Konsentrasi Pembinaan Lanjut), Sri Gati Setiti Bagian 12 : Implikasi Kebijakan, Nurdin Widodo dan Alit Kurniasari
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
11
12
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Bagian 2 MONITORING DAN EVALUASI HASIL PEMBINAAN SEBAGAI PEMBINAAN LANJUT DI PANTI SOSIAL ASUHAN ANAK (PSAA) ALYATAMA PROVINSI JAMBI Alit Kurniasari Keberhasilan suatu program pelayanan di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA)-Alyatama dapat dilihat dari keberhasilan eks klien setelah keluar dari panti, dan hal tersebut diketahui melalui kegiatan monitoring dan evalusi hasil pembinaan. Kegiatan monitoring dan evaluasi hasil pembinaan bagi petugas/pengurus di PSAA Alyatama diasumsikan sebagai kegiatan pembinaan lanjut. Uraian dibawah ini akan memberi gambaran tentang evaluasi Pelaksanaan Pembinaan Lanjut (After Care Services) Eks Klien di PSAA dan mengapa kegiatan monitoring dan evaluasi hasil pembinaan di PSAA Alyatama Prov. Jambi diasumsikan sebagai pembinaan lanjut. A. Pendahuluan Permasalahan anak terlantar adalah masalah klasik, yang dapat menjadi sumber timbulnya permasalahan anak lainnya, karena ketidak hadiran orang tua dalam pengasuhan anak. Status anak yatim piatu, yatim, dan piatu, serta anak yang berasal dari rumah tangga sangat miskin, diasumsikan terlantar dan membutuhkan kebutuhan layak bagi perkembangannya. Sebagaimana diamanatkan dalam UU No.4 tahun 1979, dan hal yang sama diamanatkan pada UU No. 23 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa anak terlantar, yakni anak yang kebutuhannya tidak terpenuhi secara wajar, baik kebutuhan fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Dampak yang cukup menonjol dari keterlantaran ini, anak tidak dapat melanjutkan sekolah atau drop out sekolah karena tidak ada biaya untuk sekolah dan minimnya kehidupan psikologis anak. Kemiskinan merupakan sumber terjadinya keterlantaran, namun ketidak hadiran orang tua dan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
13
atau ketidakmampuan orang tua dalam melaksanakan fungsinya secara wajar; baik karena meninggal, perceraian, mengidap penyakit kronis, korban bencana, dapat menjadi pemicu anak tidak dapat hidup secara layak. Padahal siapapun anak baik yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi, agama dan budaya yang berbeda-beda, secara universal mereka tetap memiliki kebutuhan dan hak untuk dipenuhi, disamping memiliki kewajiban lainnya sebagai seorang anak. Mereka berhak untuk memperoleh kehidupan yang layak, memperoleh jaminan untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal. Dalam hal ini negara atau pemerintah dan berbagai pihak terkait berperan dalam penanganan masalah tersebut secara komprehensif, holistik dan integratif, agar anak tetap dapat hidup layak. Sebagaimana yang termuat dalam UU Kesejahteraan Sosial No.11 Tahun 2009, menyatakan bahwa penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Dengan catatan, pelayanan kesejahteraan sosial melalui sistem panti sebagai pelayanan alternatif (terakhir) apabila fungsi dan peran orang tua sebagai orang yang pertama dan utama tidak dapat berfungsi, dan setelah tidak adanya kerabat yang berperan mengambil alih pengasuhan dan perlindungan anak. Seiring maraknya didirikan panti asuhan untuk menangani anak-anak, yatim piatu atau anak-anak dari keluarga miskin, akan menjadi keprihatinan tersendiri, jika dihubungkan dengan pola pengasuhan yang diperoleh anak selama dalam panti. Sebagaimana temuan penelitian Quality Care di PSAA (2007) menunjukkan bahwa pelayanan di PSAA lebih menitikberatkan 14
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
akses ke pendidikan dan pemenuhan kebutuhan material, dibandingkan perhatian pada kebutuhan emosional, atau psikososial anak. Belum lagi status anak, dimana hampir 90% anak-anak di panti asuhan di Indonesia masih mempunyai salah satu orang tua, dan lebih dari 56% masih memiliki orang tua lengkap, bahkan mereka ditempatkan di panti oleh keluarganya, akibat keterbatasan ekonomi. Kondisi ini semakin memprihatinkan karena anak akan hidup dalam panti selama kurun waktu kurang lebih 2 sampai 4 tahun lamanya, bahkan mungkin lebih lama lagi. Ditambah dengan jarak rumah dan panti sosial yang cukup jauh, semakin beresiko terbatasnya relasi anak dengan orang tua. Usia anak asuh dalam panti, yang masih membutuhkan bimbingan dan pengasuhan dari orang tua, sudah terserabut dari kehidupan keluarganya, karena pengasuhan oleh orang tua tidak dapat tergantikan dengan pengasuhan di panti sosial yang peranannya sangat kecil. Tentu saja kondisi ini, menjadi kekhawatiran tersendiri karena secara tidak langsung akan berdampak pada perkembangan emosi anak dan keterasingan anak dari kehidupan keluarga. Untuk meminimalisir permasalahan yang timbul pasca anak keluar dari panti maka pembinaan lanjut sangat besar peranannya, dimana anak kembali memperoleh bimbingan dan pembinaan selama hidup di masyarakat. Pelayanan yang diterima anak asuh di PSAA, dimana pendidikan formal sebagai kegiatan utama ditambah dengan bimbingan keterampilan sebagai kegiatan penunjang, bertujuan membentuk anak yang mandiri, bertangung jawab dalam menghadapi kehidupan di masyarakat. Setelah anak asuh lulus dari pendidikan setara SLTA, maka pelayanan dari panti berakhir bersamaan dengan itu anak asuh harus keluar dari panti dan kembali ke keluarga. Keberhasilan pelayanan dalam panti diketahui dari kondisi anak saat hidup bermasyarakat, yang dilakukan melalui kegiatan monitoring dan evaluasi hasil pembinaan. Permasalahannya adalah kegiatan monitoring dan evaluasi hasil
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
15
pembinaan di PSAA Alyatama dilakukan pada akhir pelayanan, bukan melihat dan menilai perkembangan anak selama menerima pelayanan di panti, bahkan lebih jauh lagi kegiatan tersebut, dikonotasikan sebagai pembinaan lanjut. Berdasarkan gambaran tersebut, maka akan dilakukan evaluasi pembinaan lanjut, di PSAA Alyatama. Selanjutnya akan ditelusuri kebijakan apa yang mendasari kegiatan pembinaan lanjut dan bagaimana pemahaman petugas tentang pembinaan lanjut, sehingga pembinaan lanjut disebut sebagai monitoring dan evaluasi hasil pembinaan di PSAA Alyatama? Untuk itu penting dilakukan penelitian evaluasi pembinaan lanjut dengan tujuan untuk: 1. Mendapatkan data dan informasi tentang kegiatan monitoring dan evaluasi hasil pembinaan sebagai pembinaan lanjut di PSAA Alyatama. 2. Mendapatkan data dan informasi tentang kebijakan yang mendasari pembinaan lanjut dan pemahaman petugas terhadap pembinaan lanjut 3. Mendapatkan data dan informasi tentang faktor-faktor apa yang mempengaruhi kegiatan pembinaan lanjut Metode penelitiannya menggunakan pendekatan kualitatif, bertujuan memperoleh gambaran kondisi situasi atau fenomena eks klien terkait pemenuhan kebutuhan dan hak anak di PSAA. Data dianalisis dengan menggunakan tabel frekuensi, dideskripsikan dan menyajikannya dalam bentuk tulisan. Kelengkapan informasi dilakukan melalui tehnik diskusi terfokus, observasi, studi dokumentasi, wawancara mendalam. Informan terdiri dari pengelola dan atau pengurus panti, pengasuh, tenaga pendukung dan anak-anak eks klien. Keluaran dari penelitian ini akan bermanfaat bagi Direktorat Kesejahteraan Anak, Kementerian Sosial, sebagai bahan pertimbangan untuk merumuskan kebijakan pelayanan di PSAA, terutama sebagai masukkan bagi
16
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
implementasi Standar Nasional Pengasuhan untuk LKSA (2011). Sasaran dipilihnya PSAA Alyatama di Provinsi Jambi, karena panti dimaksud sebagai UPT Kemsos, dan lembaga percontohan bagi panti sejenis lainnya (PSAA) di wilayah Sumatera. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini : tentang Pembinaan lanjut, yang didefnisikan sebagai bagian dari rangkaian pelayanan sosial berbasis lembaga, dilakukan sesudah terminasi atau pemutusan hubungan profesional antara PSAA dengan anak. Dalam hal ini, pembinaan lanjut dilakukan untuk memperkuat kemampuan yang pernah diperoleh dalam panti atau menangani masalah yang dihadapi anak yang belum terselesaikan. Standar Nasional Pengasuhan untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (2011), tidak secara eksplisit menyebut istilah kegiatan pembinaan lanjut, melainkan kegiatan monitoring terhadap perkembangan anak, setelah proses pengakhiran secara profesional atau terminasi. Dengan catatan, setelah dipastikan keluarga siap menerima kembali anak dalam kehidupan mereka. Menurut Woodside dan McClam (2003), Keberlanjutan pelayanan memiliki dua pengertian: 1. Keberlanjutan berarti bahwa pelayanan yang diberikan pada klien tidak terputus dari tahap awal sampai terminasi dan keberlanjutannya. 2. Keberlanjutan pelayanan berarti penyediaan layanan secara komprehensif. Didalamnya termasuk intervensi dengan dukungan dari lingkungan, memelihara hubungan dengan keluarga klien dan pihak-pihak lain dan jejaring sosial yang menghubungkan dengan pelayanan-pelayanan yang ada. Tahapan dari bimbingan lanjut sebagai berikut: 1. Menyusun rancangan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks klien, sebagai penerima program pelayanan kesejahteraan sosial. 2. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
17
terhadap eks klien, penerima program pelayanan kesejahteraan sosial melalui bimbingan dan penyuluhan sosial, bimbingan dan pendampingan secara individual, koordinasi dengan pihak terkait, menggali dan mengaitkan dengan sistem sumber yang tersedia dan memberikan bantuan pengembangan usaha. 3. Memantau perkembangan eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial dalam masyarakat. 4. Mengidetifikasi hambatan pelaksanaan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial. 5. Memberikan supervisi dalam pelaksanaan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap pekerja sosial di bawahnya. Dalam pembinaan lanjut terdapat kegiatan untuk melihat, mengetahui memantau perkembangan anak selama dalam panti (review anak) sampai diputuskan berakhirnya pelayanan. Sementara pemahaman tentang monitoring adalah kegiatan memantau, mangamati capaian hasil apakah sudah sesuai dengan tujuan yang akan dihasilkan. Evaluasi sebagai suatu upaya untuk mengukur hasil atau dampak suatu aktivitas, program, atau proyek dengan cara membandingkan dengan tujuan yng telah ditetapkan, dan bagaimana cara pencapaiannya (Mulyono 2009). Suharsimi Arikunto (2004) menyebutkan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan kebijakan yang akan diambil. Pelayanan sosial dapat ditafsirkan dalam konteks kelembagaan terdiri atas program-program yang disediakan berdasarkan kriteria untuk (1) menjamin pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan-pendidikan-kesejahteraan, (2) memudahkan akses pada pelayanan dan lembaga-lembaga umumnya dan (3)
18
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
membantu mereka yang berada dalam kesulitan (Fahrudin, 2011). Terdapat lima tahap pelayanan sosial, yaitu: (1) engagement, intake dan contract, (2) asesmen, (3) perencanaan, (4) intervensi, (5) evaluasi dan terminasi. Perkembangan Anak menurut model ekologis (Bronferberner); dipengaruhi oleh sistem yang terdiri dari Mikro-meso-exomakro system. Bahkan anak itu sendiri memiliki perbedaan secara individual (usia jenis kelamin, kesehatan dll) yang akan mempengaruhi perkembangannya. Sejalan dengan usia anak, berada dalam sistim Mikro, terdiri dari sekolah, teman sebaya, keluarga, tempat bermain, kelompok keagamaan, teman sebaya/ lingkungan anak. Bertambahnya usia anak dalam lingkup pelayanan kesehatan, media masa, berada dalam sistem MESO, sebagai interaksi antara lingkungan exo dan mikro. Perkembangan anak dalam sistem EXO, yang mempengaruhi perkembangan anak, seperti keluarga yang lebih luas, (dengan bertambah jumlah anak dan situasi keluarga membuat anak tinggal di tempat luas, atau anggota keluarga lain): Media masa, layanan hukum: (tindakan anak sudah diperhitungkan dengan aturan hukum; layanan kesejahteraan sosial (anak masuk pendidikan, kesehatan, jaminan sosial), tetangga lebih, teman keluarga. Dalam sistem MAKRO (tindakan dan ideologi budaya): berupa kebijakan negara mulai UU, PP, Perda yang berpihak pada anak. B. Profil Panti Dan Profil Anak 1. Profil Panti Panti Sosial Asuhan Anak Alyatama merupakan salah satu lembaga sosial yang menjalankan tugas sebagai pelayanan kesejahteraan sosial, dikelola oleh Kementerian Sosial, mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar melalui pengasuhan dan memberikan pelayanan pengganti fungsi orang tua/keluarga dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
19
dan sosial sehingga anak memperoleh tempat untuk tumbuh dan berkembang, memperoleh perlindungan dan partisipasi secara optimal dimana pendekatan pelayanan didasarkan pada fungsi pekerjaan sosial. PSAA Alyatama beralamat di Jl. Sultan Hasanudin No. 03 Talang Bakung, Jambi, Propinsi Jambi. Telp/HP/Fax 074-570160, Email:
[email protected] atau
[email protected]: alyatama.depsos.go. id. Berdiri pada tahun 1980/1981 dan mulai melaksanakan kegiatan pelayanan pada tahun 1984/1985. Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 106/HUK/2009 tanggal 30 September 2009 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial RI, PSAA Alyatama Jambi merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Sosial RI, dimana secara struktur kelembagaan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, sedangkan secara teknis operasional mengacu pada kebijakan dan program yang ditetapkan oleh Direktur Kesejahteraan Sosial Anak. Visi panti adalah terwujudnya panti sosial sebagai pusat pelayanan sosial percontohan, profesional dan terpercaya, Misi panti adalah a. menyelenggarakan dan mengembangkan program pelayanan sosial dalam rangka memenuhi hak dan kebutuhan anak dan multi layanan. b. Mewujudkan kualitas pelayanan berdasarkan propfesionalisme, efektifitas, efisien dengan berorientasi kepada kepuasan kelayan. c. Meningkatkan partisipasi masyarakat serta memperluas jaringan kerja. Tujuan dari pelayanan PSAA Alyatama adalah: (1). Terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar anak, (2) Terbentuknya karakter anak yang jujur, disiplin, tanggung jawab, percaya diri, terampil dan
20
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
mandiri, (3) Terlakasananya pelayanan yang selaras dengan tuntutan kebutuhan kelayan dan masyarakat Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya PSAA Alyatama memiliki petugas sebanyak 45 orang, yang terdiri dari pejabat struktural sebanyak 4 orang, pengasuh 11 orang, instruktur dan fungsional pekerja sosial 3 orang, Psikolog 1 orang, staf panti 24 orang, dan petugas pendukung lainnya seperti satpam, cleaning service, tukang masak, tukang kebun, supir, 8 orang. Status pegawai PNS sebanyak 35 orang dan tenaga honor sebanyak 10 orang. Sarana yang dimiliki PSAA Alyatama cukup memadai, meliputi Ruang kantor, yang berada di bagian depan, dilengkapi dengan ruang-ruang umum untuk kegiatan sehari-hari, sementara asrama anak/cottage berada di bagian belakang yang berjumlah 23 kamar, serta ruang pelatihan keterampilan, klinik serta Perpustakaan, Prasarana yang dimiliki panti cukup memadai, selain peralatan kantor,dan komunikasi dalam kondisi baik, juga memiliki alat transportasi mobil sebanyak 5 unit dan sepeda motor 6 unit. 2. Profil Anak Kriteria klien PSAA Alyatama: a. Anak terlantar mencakup yatim terlantar, piatu terlantar, yatim piatu terlantar usia 6 s/d 18 tahun, belum menikah; b. Anak yang keluarganya dalam waktu relatif lama tidak mampu melaksanakan fungsinya secara wajar; c. Anak yang keluarganya mengalami perpecahan, mengidap kronis, korban bencana dll. Kenyataannya presentase klien memiliki orang tua lengkap pada setiap tahun penerimaan selalu tinggi dibandingkan anak dengan anak piatu, yatim dan yatim piatu, yang presentasinya kurang dari 30%. Penempatan anak di PSAA belum sesuai
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
21
dengan kriteria anak terlantar, dan tidak memiliki orang tua. Berikut tabel status klien. Tabel 1. Jumlah anak berdasarkan Status No. 1 2 3 4
Status OT hidup Yatim Piatu Yatim piatu Jumlah
2009 58 4 20 8 90
2010 59 2 21 8 90
2011 58 19 5 82
Jumlah 175 6 60 21 262
Status anak asuh tahun anggaran 2012, menunjukkan hampir 80% dirujuk oleh orang tua, dan hanya 15% saja yang dirujuk oleh sanak saudara dan Dinas Sosial setempat, yang pemberi rekomendasi untuk pengasuhan anak dalam panti. Sesuai dengan kapasitas tampung, maka jumlah klien mulai dari tahun 2009-2011 yang terdiri dari: Tabel 2. Jumlah anak berdasarkan jenis kelamin No
Tahun
L
P
Total
1.
2009
51
39
90
2.
2010
50
40
90
3.
2011 Total
40
42
82
141
121
262
Tempat tinggal klien lebih banyak berasal dari luar kabupaten/ kota Jambi, daripada yang berasal dari kabupaten/kota Jambi. bahkan ada yang berasal dari luar prov Jambi (Padang, Palembang). Kondisi geografis yang cukup jauh, berpengaruh pada proses penjangkauan dan pembinaan lanjut. Berikut tabel anak berdasarkan asal daerah
22
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Tabel 3. Jumlah anak berdasarkan asal daerah No. 1 2 3 4 5
Asal Daerah Dari desa/kel setempat Dari kec. Setempat Dari kab/kota setempat Dari luar kab/kota Dari luar provinsi * Jumlah
2009 3 1 6 78 2 90
2010 6 1 7 75 1 90
2011 3 3 74 2 82
Jumlah 12 2 16 227 5 262
Keterangan * : Sumatera Selatan dan Sumatera Barat
Usia klien antara 15-18 tahun menunjukkan presentasi tinggi, dengan pendidikan setara SLTA,, disusul anak usia 12-14 tahun, yang berpendidikan SLTP. Berikut jumlah klien berdasarkan usia. Tabel 4. Jumlah anak berdasarkan jenjang usia No.
2011
Jumlah
1
9-11 thn
Usia Anak
1
3
-
4
2
12-14 thn
58
20
21
99
3
15-18 thn
23
64
56
143
4
>18 thn
8
3
5
16
90
90
82
262
Jumlah
2009
2010
3. Proses Pelayanan Sosial Dalam melaksanakan pelayanannya, berdasarkan tahapan beikut: a. Tahap Pendekatan awal/Pelayanan awal b. Identifikasi dan Penjangkauan, dilaksanakan pada awal tahun melalui penyuluhan dan sosialisasi tentang keberadaan PSAA dan pelayanan yang diberikan PSAA, kepada masyarakat. c. Seleksi dan Registrasi, sebagai proses pemilihan klien yang memenuhi persyaratan pelayanan dalam panti,
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
23
dilaksanakan oleh Tim Seleksi yang dibentuk berdasarkan SK Kepala panti. d. Kontrak, untuk membuat kesepakatan pelayanan secara tertulis antara pihak panti dengan calon klien (keluarga/ pihak yang menyerahkan). e. Orientasi, ditujukan kepada calon klien yang lolos seleksi, dilaksanakan oleh Seksi Rehabilitasi Sosial dibantu pengurus organisasi IPPA (Ikatan Putra-Putri Alyatama) Jambi. f. Pengasramaan, menempatkan klien pada satu rumah masing-masing menempati 8 s/d 10 orang dengan satu orang pengasuh. 4. Tahap Bimbingan a. Bimbingan fisik dan kesehatan : Bimbingan fisik: meliputi kegiatan olahraga wajib dan permainan. Olahraga wajib dilaksanakan 3 x dalam seminggu dan olah raga permainan, yang bersifat rekreatif dilaksanakan setiap hari kamis dan sabtu setelah waktu sholat Ashar, dengan Instruktur dari pegawai panti yang telah ditunjuk. Bimbingan kesehatan, meliputi pemeriksaan kesehatan, dilaksnaakan rutin, bergiliran oleh Perawat Poliklinik PSAA Alyatama Jambi. Panti juga menyediakan fasilitas rawat inap dan rawat jalan bagi klien yang memerlukan perawatan kesehatan di Klinik Panti. kegiatan lainnya berupa pengarahan tentang kesehatan dan kebersihan lingkungan termasuk penyediaan sarana kebersihan diri berupa sabun cuci, sabun mandi, sikat gigi dan pasta gigi, handuk pada setiap bulannya. b. Bimbingan Mental Keagamaan Kegiatan bimbingan mental keagamaan berupa 1)
24
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pengajian rutin, setelah sholat maghrib, sampai menjelang Isya, 2) belajar pidato keagamaan setiap malam minggu setelah sholat maghrib. 3) ceramah agama setiap bulan. 4) sholat wajib berjamaah di mushola panti, kecuali sholat dzuhur. 5) Memperingati hari besar Islam Pelaksanaannya bekerjasama dengan IAIN Sultan Thaha Syaifudin Jambi terutama dalam perumusan materi bimbingan, mekanisme bimbingan serta bantuan tenaga penceramah. : c. Bimbingan Sosial dan Pendidikan Bimbingan sosial, diberikan secara kelompok dan individual, secara informal berupa nasehat, arahan dan sanksi bagi klien yang melanggar norma dan tata tertib panti. Selain itu konseling bagi klien yang mengalami permasalahan baik tentang dirinya maupun lingkungan dilaksanakan oleh Pekerja sosial dan pengasuh pada setiap asrama. Meski pada kenyataannya bimbingan kelompok maupun individu jarang dilakukan sehingga kurang dirasakan manfaatnya, karena perhatian pengasuh terhadap permasalahan individul maupun kelompok, jarang dilakukan. Hubungan dan keakraban dengan pengasuh relatif tidak sama pada setiap rumah, ada yang akrab dengan pengasuh namun juga ada yang mengambil jarak antara anak dan pengasuh. Bimbingan sosial dan konsultasi bagi keluarga berupa home visit, dalam rangka mengumpulkan data permasalahan klien, dilakukan pada saat klien mengalami permasalahan. Sementara untuk mempererat hubungan kelembagaan, serta dukungan sosialisasi dan motivasi, belum banyak dilakukan. Pendidikan Formal, diberikan pada semua klien, untuk memilih sekolah yang sesuai dengan minat dan kemampuan namun tetap melalui bimbingan dan arahan pekerja sosial
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
25
dengan mempertimbangkan dana yang tersedia. Jenis pendidikan formal antara lain SMP/MTs, SMA/SMK/MAN baik negeri maupun swasta. Semua kebutuhan sekolah disediakan panti, seperti pakaian seragam sekolah 2 stel, pakaian Pramuka 1 stel, sepatu 2 pasang, pakaian olahraga 2 stel, pakaian muslim/muslimah 1 stel. d. Bimbingan Keterampilan Bimbingan diberikan dengan tujuan untuk menggali bakat dan potensi serta menyalurkan minat klien agar tumbuh menjadi anak yang terampil, ulet dan mandiri. Selain itu untuk mempersiapkan anak dalam memenuhi kebutuhan hidupnya setelah menyelesaikan pelayanan dengan harapan dapat membantu anak bekerja. Bimbingan keterampilan meliputi: 1) Menjahit; dilaksanakan setiap hari Senin dan Kamis pukul 15.30 s/d 17.30 WIB dibawah bimbingan 1 orang instruktur sukarelawan/anggota masyarakat Kelurahan Talang Bakung, didampingi Pekerja Sosial. 2) Tata boga, kerajinan tangan dan Membatik; dilaksanakan setiap hari Selasa pukul 15.30 s/d 17.30 WIB secara berselang setiap Minggu antara kegiatan Tata Boga, Membatik dan Kerajinan tangan (manikmanik). Instruktur dari Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Dinas Pendidikan Nasional Kota Jambi. 3) Komputer, dilaksanakan pada setiap hari senin dan kamis pukul 15.30 s/d 17.30 WIB.dibawah bimbingan 1 orang instruktur. Materi berupa 1) Pengenalan Sistem Operasi Windows, 2) Microsoft Word, 3) Microsoft Excel. Menurut eks klien, bahwa bimbingan komputer kurang memadai: dan belum cukup sebagai modal bekerja.
26
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
4) Otomotif, berupa perbengkelan motor, dilaksanakan setiap hari kamis dan jumat pukul 16.30 s.d 17.30 WIB dibawah bimbingan 1 orang instruktur.
Tabel 5. Jumlah anak berdasarkan jenis keterampilan No.
Jenis keterampilan
2009
2010
2011
1
Menjahit
32
20
12
2
Operator komputer
13
20
14
3
Kerajinan tangan & tata boga
32
29
6
4
Bengkel motor
6
7
7
5
Membatik
7
9
10
90
85
49
Jumlah
Pilihan jenis keterampilan pada setiap tahun berbeda-beda pesertanya. Presentasi jumlah peserta pada keterampilan komputer selalu besar, bersamaan dengan minat terhadap keterampilan menjahit. Eks klien menanggapi bimbingan komputer, cukup bermanfaat meski belum dapat dijadikan sebagai modal bekerja, sementara keterampilan lainnya belum banyak dirasakan manfaatnya. e. Bimbingan Belajar Terdiri dari bimbingan belajar malam dan belajar tambahan (les), kenyataannya bimbingan belajar malam jarang dilakukan, sehingga klien banyak belajar sendirisendiri. Sementara bimbingan Belajar (Les), sebagai kegiatan tambahan belajar khususnya bagi anak yang duduk di kelas I dan II SMP, serta kelas I dan II SMA, cukup sering dilakukan dibawah bimbingan guru yang ditunjuk melalui Surat Keputusan Kepala Panti. Waktu pelaksanaan kegiatan ini yaitu setiap hari Sabtu dan Minggu pukul 16.30 - 17. 30 WIB. f. Kegiatan Rekreasi sebagai pemanfaatan waktu luang, diisi dengan berbagai kegiatan lomba antar asrama maupun
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
27
perorangan, diantaranya, 1) Pertandingan olah raga antar asrama. 2) Kegiatan Out Bound 3) Widya Wisata diantaranya yang pernah dilakukan ke Kerinci. 5. Tahap Reintegrasi (Bimbingan Hidup Bermasyarakat dan Integrasi Sosial), bertujuan untuk mempersiapkan klien dalam memasuki lingkungan sosial baru. Bentuk pertemuan dengan orang tua klien, berupa ceramah dan diskusi dari petugas dari panti 6. Tahap Terminasi dan Penyaluran Kegiatan ini merupakan tahap akhir pembinaan berupa persiapan pemutusan hubungan pelayanan profesional antara PSAA Alyatama Jambi dengan klien yang telah menyelesaikan pendidikan formal setingkat SLTA. Bentuk kegiatan berupa Magang kerja yang dilaksanakan selama 2 (dua) bulan, pada bulan Mei s.d Juli. Lokasi magang di perusahaan maupun instansi pemerintah yang tersebar di Kota Jambi, antara lain di 1) Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Jambi 2) BPMPP Provinsi Jambi, 3) Harian Jambi Independent, 4) Radio BOSS FM Jambi, 5) Icha Sablon dan Digital Printing, 6) Eko Sablon dan Digital Printing. Tempat tersebut dipilih atas dasar hasil assessment terhadap minat, bakat dan kemampuan klien, serta berdasarkan daya tampung dan kemampuan lembaga/ badan usaha yang akan dijadikan lokasi magang kerja. 7. Monitoring dan Evaluasi Hasil Pembinaan Monitoring dan evaluasi hasil pembinaan dilaksanakan terhadap klien yang telah disalurkan baik ke dunia kerja maupun dikembalikan kepada orang tua/keluarga, melalui pemantauan perkembangan serta bimbingan mental maupun sosial.
28
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
C. Pembinaan Lanjut Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan pembinaan lanjut di PSAA Alyatama disebut sebagai kegiatan monitoring dan evaluasi hasil pembinaan, untuk menelusuri keabsahananya maka akan diuraikan kebijakan yang mendasari, dan pemahaman dari petugas/peksos maupun pengasuh serta pelaksanaannya: 1. Kebijakan Pembinaan lanjut sebagai bagian dari tahapan proses pelayanan, di PSAA Alyatama berupa kegiatan monitoring dan evaluasi hasil pembinaan. Artinya eks klien akan dipantau dan dievaluasi kondisinya baik secara fisik maupun psikologis sehingga dapat diketahui keberhasilan dan kegagalan dari pembinaan. Kebijakan yang mendasari kegiatan pembinaan lanjut, sebelum terbitnya Permensos, No. 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), menggunakan petunjuk Teknis Pelayanan dalam panti (2004). Pada petunjuk teknis dikemukakan bahwa pembinaan lanjut sebagai bagian dari rangkaian pelayanan sosial berbasis lembaga, dilakukan sesudah terminasi atau pemutusan hubungan profesional antara PSAA dengan anak, untuk memperkuat kemampuan yang pernah diperoleh atau menangani masalah yang dihadapi anak dan belum terselesaikan, terutama dalam menghadapi kehidupan bermasyarakat dan saat kembali ke keluarga. Kebijakan pembinaan lanjut pada Standar Nasional Pengasuhan di LKSA, tidak secara eksplisit menyebut istilah kegiatan pembinaan lanjut pasca terminasi, melainkan kegiatan monitoring terhadap perkembangan anak, setelah proses pengakhiran secara profesional atau terminasi. Dengan catatan, setelah dipastikan keluarga siap menerima kembali anak dalam kehidupan mereka.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
29
Kebijakan tersebut, mengandung konsekuensi, bahwa perkembangan anak selama di panti selalu direview terhadap penempatannya dan merencanakan penempatan terbaik bagi anak. Artinya, kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan secara kontinum dan berkelanjutan, dengan melibatkan anak dalam perencanaan pengahiran, minimal sebulan sebelum anak dikembalikan ke keluarga, sehingga kembalinya anak ke keluarga dan meninggalkan panti sesuai dengan review penempatan. Termasuk melibatkan orang tua dalam pengakhiran pelayanan serta menjelaskan rencana monitoring untuk mengetahui perkembangan anak. 2. Pemahaman Pembinaan lanjut Pemahaman tentang pembinaan lanjut disandingkan dengan petunjuk teknis (2004) maupun standar Nasional Pengasuhan Anak dalam LKSA (2012) nyatanya dipahami sangat berbeda oleh petugas atau pejabat struktural maupun pengasuh dan pekerja sosial. Diskusi kelompok mengemuka pendapat sbb:. ”pembinaan lanjut bukan pembinaan ke keluarga, tapi melihat klien setelah kembali ke keluarga, bagaimana kondisi fisik, mental dan sosial eks klien. Imbuh pengasuh A. Menurut Pekerja Sosial (B) bahwa “kegiatan pembinaan lanjut sebagai kunjungan ke anak asuh pada saat Praktek Bimbingan Keterampilan (PBK) berlangsung, Sementara menurut pejabat struktural (X) menyatakan bahwa: “kegiatan pembinaan lanjut adalah suatu kegiatan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan klien yang telah selesai mengikuti pembinaan dikembalikan ke keluarga dan atau disalurkan ke dunia kerja baik dari sisi kendala di lapangan maupun kondisi dalam diri anak. Petugas (Z) dan pejabat struktural (Y) lainnya menyatakan bahwa
30
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
“kegiatan monitoring dan evaluasi, yang ditujukan terhadap eks klien yang telah disalurkan baik ke dunia kerja maupun dikembalikan kepada orang tua/keluarga. Pelaksaannya melalui pemantauan perkembangan mental maupun sosial anak dan dilakukan melalui kunjungan ke rumah atau tempat kerja. Dengan demikian pembinaan lanjut dipahami sebagai mana kegiatan monitoring dan evaluasi hasil pembinaan yang selama ini rutin dilakukan PSAA Alyatama. 3. Pelaksanaan Pembinaan lanjut: Kegiatan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh petugas panti hanya pada saat anak praktek belajar kerja (PBK), dan setelah anak kembali ke keluarga, dengan menggunakan form monitoring dan evaluasi. Secara struktural kegiatan ini dibawah tanggung jawab Seksi PAS, sementara pelaksana tugas Monitoring dan Evaluasi atau pembinaan lanjut adalah pejabat eselon IV (TU, Sie Rehsos), dibantu oleh pekerja sosial serta pengasuh, selama 3 hari kerja. Bentuk kegiatannya melalui home visit atau kunjungan ke tempat praktek kerja, ditujukan pada alumni lulusan setahun lalu tetapi juga lulusan 2 tahun sebelumnya. Hal ini dilakukan, karena jumlah kelulusan, pada setiap tahun anggaran tidak sama Sebagaimana monitoring dan evaluasi pada tahun 2011 ditujukan pada 25 orang eks klien, sementara tahun 2010 ditjukan pada 15 orang eks klien. Berikut lokasi kegiatan monitoring evaluasi pada TA 2011 Tabel 6. Lokasi Monev TA 2011 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kabupaten/Kota Kerinci Merangin Serolangun Tebo Bungo Batanghari Jambi
Sasaran 1 orang 3 orang 3 orang 4 orang 2 orang 3 orang 3 orang
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
31
8. 9. 10. 11. 12.
Tanjung Jabung Timur Tanjung Jabung Batar Muara jauh Sungai Penuh Palembang Jumlah
2 orang 1 orang 2 orang 1 orang 1 orang 25 orang
4. Kendala Pelaksanaan Pembinaan Lanjut Dukungan anggaran tidak sesuai dengan lokasi atau kondisi lapangan. Wilayah dan kondisi geografis yang cukup jauh, meski berada dalam satu kabupaten, tidak cukup ditempuh dengan biaya perjalanan selama 3 hari untuk mengunjungi 3 orang eks klien. Misalnya kunjungan ke Kab.Batanghari. “Seharusnya disesuaikan dengan SPPD ke kabupaten dan sampai ke lokasi tempat tinggal, sementara jarak dan lokasi tempat tinggal anak tidak diperhitungkan kedalam biaya transportasi”. Upaya untuk mengatasi kendala : a. Petugas berinisiatif mengumpulkan anak di kecamatan, atau suatu tempat, sehingga tidak dapat mengobservasi kondisi keluarga, mewawancarai orang tua atau kerabat mereka. b. Pembinaan lanjut atau kegiatan monitoring dan evaluasi hasil pembinaan, dilaksanakan bersamaan dalam satu perjalanan tugas seleksi atau penjangkauan anak pada tahap awal. Saran pengasuh, terhadap pelaksanaan pembinaan lanjut,: a. Anggaran disesuaikan dengan jarak, lokasi tempat tinggal anak; “anggaran harus adil, transport lokal seharusnya disesuaikan dengan lokasi tempat anak berada”. Imbuh D. b. Melakukan persiapan sebelum anak kembali ke keluarga atau terminasi melalui kegiatan: Home visit sehingga dapat diketahui apakah anak akan bekerja atau kembali kekeluarga. Sebagaimana diungkapkan pengasuh,
32
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
(N) “Home visit sebaiknya dilaksanakan untuk mendukung pelaksanaan pembinaan lanjut. Sementara home visit yang selama ini dilakukan hanya pada anak yang bermasalah” c. Pelaksanaannya dimulai saat anak di dalam panti sampai menjelang berakhirnya pelayanan, sehingga petugas akan mengetahui kehidupan keluarganya. Sebagai mana dikemukakan oleh pengasuh (M), Anak akan terpengaruh dari lingkungan. Jangan terfokus pada anak saja, harusnya merubah pada keluarga, bagaimana anak bisa bersekolah sementara keluarga tidak berubah seharusnya keluarga diubah pola pikirnya. d. Bimbingan reintegrasi anak ke masyarakat, tidak cukup dengan cara penyuluhan pada Orang Tua, untuk memotivasi keluarga tanpa melihat langsung kondisi keluarganya. e. Melibatkan Dinas Sosial sebagai lembaga yang memberi rujukan dan menindaklanjuti pembinaan setelah anak kembali ke keluarga. 5. Hasil Pembinaan Lanjut: Berdasarkan isian form monitoring dan evaluasi hasil pembinaan pada tahun anggaran 2010 dan 2011, diperoleh gambaran bahwa: a. Jumlah eks klien yang melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi lebih sedikit dibandingkan yang bekerja, mencapai 95%. Hasil monitoring dan evaluasi tahun 2010: hanya 4 orang saja yang melajutkan sekolah, 1 orang kursus, 4 orang bekerja di swasta dan 6 orang kembali ke keluarga/ orang tua. b. Terjadi perubahan kepengasuhan anak dari orang tua ke kerabat. Sebagian besar tidak tinggal bersama orang tua tetapi tinggal di rumah kontrakan, berada di kota besar
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
33
karena bekerja. Namun anak-anak yang lulus tahun 2011 sebagian besar masih tinggal bersama orang tua. c. Kondisi fisik umumnya cukup sehat, hanya saja ada beberapa anak yang tidak bersih dan tidak rapi, kondisinya kurus, karena pola makan yang tidak teratur. d. Umumnya eks klien, mampu beradaptasi dengan kehidupan keluarga dan masyarakat, berperilaku sopan, baik dan ramah, selain itu mampu akrab dan mampu komunikasi dengan masyarakat, bahkan mengajarkan keterampilan yang ia peroleh dari panti. e. Ditemukan adanya eks klien berperilaku ”bebas” karena tidak ada pengawasan dari orang tua, dan menganggur. f. Orang tua/keluarga cukup bangga dengan anak, karena telah menyelesaikan pelayanan dalam panti, dan hubungannya dengan orang tua cukup akrab, meski telah lama tinggal di panti. g. Peraturan dibuat selama anak dalam panti, sangat besar manfaatnya bagi kehidupan eks klien, dimana hidupnya menjadi disiplin dan mandiri. h. Keterampilan yang diperoleh selama di panti dirasakan kurang memadai untuk mencari pekerjaan, sehingga mereka bekerja tidak sesuai dengan keterampilan bahkan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang mereka tempuh.. Gambaran yang sama diperoleh dari penelusuran petugas panti: a. Kondisi Eks penerima saat kembali ke rumah, mengalami hambatan dalam penyesuaian diri, terutama pada keluarga yang “tidak siap” menerima anak. Orang tua kurang merespon atau biasa-biasa saja saat mereka kembali, ditambah dengan kondisi ekonomi pas-pasan, membuat anak tidak “kerasan” tinggal berlama-lama di
34
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
rumah, karena merasa menjadi beban keluarga. Sebagian besar menyatakan “merasa tidak enak lama-lama tinggal di rumah, seperti parasit keluarga”. Hal ini menuntut anak untuk keluar rumah dan mencari pekerjaan. b. Kondisi keluarga dengan latar belakang ekonomi terbatas, cenderung mendorong anaknya masuk ke panti, untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Hal ini memberi kesan bahwa orang tua “lepas” tanggung jawab. c. Rendahnya minat orang tua menyekolahkan anak atau menghendaki anaknya maju, sebagaimana diungkapkan pengasuh, yang menyatakan bahwa: “Fakta dimasyarakat, terdapat sanak saudara menjadi klien panti, meski dilihat dari kemampuan keluarga, tergolong mampu, tetapi tidak mendorong anak untuk masuk sekolah sekalipun sekolahnya gratis. Sebaliknya jika anak, tidak berminat sekolah, maka orang tua langsung menikahkan anak setelah lulus SMP”. Kondisi tersebut mendorong petugas mengajak anak untuk menerima pelayanan dalam panti. Sebagaimana temuan petugas saat melakukan penjangkauan: “Orang Tua yang tidak mau berpikiran maju, karena mereka tidak punya keinginan agar anaknya bersekolah, dari awalnya perhatian Orang Tua terhadap anak sangat minim, saat anak dikembalikan ke keluarga, peran OrangTua tidak ada, sudah kondisi keluarganya miskin dan ditawarkan sekolah gratis (di pesantren), tetap saja Orang Tua tidak menginginkan anak disekolahkan”. d. Eks klien cenderung kembali tinggal dan hidup di kota (Jambi), karena telah terbiasa dengan situasi tersebut dibandingkan tetap berada di kampung sebagai tempat tinggalnya. Sebenarnya sebagai gejala tersebut sebagai urbanisasi terselubung, pemindahan penduduk dari kampung-kampung ke kota besar. “anak masuk ke panti secara tidak langsung telah menciptakan urbanisasi terselubung”.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
35
D. Gambaran Dan Analisa Kondisi Eks Klien 1. Gambaran Kondisi Eks Klien - Sample yang diambil lulusan tahun 2009 s.d 2011, sebagian besar dari anak yang ditemui, sudah bekerja, baik yang bekerja di tempat PBK terdahulu, atau di tempat kerja yang baru. Bagi anak yang bekerja mereka akan kost/ kontrak kamar atau tinggal di tempat kerja. Keinginan melanjutkan sekolah mengalahkan keinginannya bekerja, namun ada beberapa orang yang mengambil kursus dan meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. - Tidak semua anak dapat tinggal berlama-lama dengan keluarga/orang tua, karena beberapa alasan. Mereka akan tinggal di rumah hanya 2 minggu- 2 bulan saja, selebihnya mereka akan keluar rumah untuk mencari pekerjaan. - Hampir keseluruhan anak menyatakan kebingungan sesaat keluar dari panti, tidak mengetahui apa yang harus diperbuat. Selama ini kehidupannya selalu terjamin, kebutuhan sehari-hari selalu difasilitasi oleh panti. Sementara hidup di luar panti harus mengurus segalanya sendiri, tanpa bantuan orang lain termasuk kondisi rumah, berbeda dengan kondisi panti. Gambaran tentang kondisi eks klien setelah keluar dari panti, dapat dilihat dari kasus-kasus berikut ini: Kasus 1: SR, (L). 21 tahun, belum menikah, lulus SLTA, anak ke 4 dari 4 bersaudara, yatim piatu. Berperawakan kecil, berkulit hitam. Saat ini hidup bersama kakak perempuannya, yang sudah berkeluarga di rumah kontrakan. Menjadi penghuni panti sejak tahun 2004, atas informasi dari petugas Dinas sosial yang melakukan kunjungan ke desanya. S yang yatim piatu langsung didaftarkan menjadi penghuni panti.
36
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Setelah keluar dari panti: motivasinya ingin bekerja, meski ada keinginan untuk melanjutkan sekolah. Pilihan keterampilan komputer sangat bermanfaat bagi dirinya, sebagai modal mencari pekerjaan. Sejak keluar dari panti subyek telah bekerja di 3 tempat, yakni di dealer motor, perusahaan batu bara dan saat ini bekerja sebagai buruh di perusahaan rental alat berat. Dari penghasilannya selama bekerja S sudah mampu mencicil motor. S tidak mengalami hambatan dalam relasi sosialnya, S biasa bergaul dengan sebayanya, juga dengan teman-teman sealumni panti (tergabung dalam IKAPAMA/ikatan alumni panti Alyatama). Kunjungan petugas hanya saat PBK, bertanya tentang kondisi S, hambatan yang dihadapi saat bekerja. S menanggapi kegiatan panti; terlalu padat sehingga menyita waktu belajarnya, sementara kegiatan yang ada tidak sesuai dengan minat anak dan tidak seluruhnya dapat diikuti oleh anak. Kasus 2: DC, (L). 21 tahun, anak ke 4 dari 7 bersaudara. Lulus SLTA. Berperawakan tinggi, kulit putih bersih. Berasal dari keluarga miskin, ayahnya berada di Kuala Tungkal, bekerja sebagai buruh sayat karet . Alasan S masuk ke panti, karena ada kemungkinan S akan DO setelah melihat ke dua kakaknya DO dari Mts. Pada saat S kelas 2 SMA (2007), petugas Dinsos menganjurkan S menjadi penghuni panti sosial. Setelah lulus SMA (2009), S sempat menganggur selama 4 bulan, kemudian ditarik untuk bekerja di tempat magang sebagai office boy. Keterampilan komputer yang diperoleh di panti sangat bermanfaat, karena saat ini tidak hanya bekerja sebagai office boy, tetapi juga sering diberi tugas untuk mengetik naskah. Minatnya untuk belajar komputer cukup besar, sehingga S selalu ingin belajar beberapa program (Adobe Photoshop) dari salah seorang karyawan dibidang IT yang sekaligus menjadi teman akrabnya.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
37
Pergaulannya saat ini lebih sering dengan teman kerjanya, juga dengan teman-teman alumni panti. Ia jarang pulang kerumah, karena “untuk pulang ke rumah orang tuanya, merasa menjadi parasit bagi keluarga yang seharusnya membantu orang tua.” Kasus 3: RA, (P) 20 tahun, Lulusan MAN, berperawakan sedang, kulit bersih dan berparas manis. Anak ke 1 dari 2 bersaudara, orang tua sebagai buruh sayat di kebun karet. Menjadi anak asuh panti sejak tahun 2007, lulus SMP, setelah mendengar sosialisasi dari petugas panti dan Dinas Sosial yang datang ke kampungnya. Alasannya menjadi anak asuh karena melihat kondisi ekonomi orang tua tidak mampu dan ada kemungkinan S tidak melanjutkan ke tingkat SLTA sehingga tawaran sebagai anak asuh panti langsung disambut S. Setelah lulus MAN, (2010), S pulang kerumah namun tidak tinggal lama di rumah, meski sebenarnya S, ingin dan betah tinggal di rumah, tetapi melihat kondisi rumah maka ia segera keluar rumah, untuk mencari pekerjaan. “Sudah seharusnya dirinya membantu kebutuhan ekonomi Orang tua, setidaknya tidak tinggal dengan orang tua”, imbuh RA Saat keluar dari panti, S sempat bingung karena tidak ada informasi tentang lapangan pekerjaan, dan ternyata tidak semua anak bisa mandiri serta melanjutkan sekolah. Kemudian S pergi ke Palembang, untuk mencari pengalaman. Menurutnya, “setelah selesai magang anak-anak pada kebingungan kemana seharusnya mau pergi, seharusnya ada jaminan antara pengurus panti dengan sumber pekerjaan. Solusinya kalau anak bingung, mereka menghubungi alumni yang sudah bekerja, bagi yang belum memiliki tmpat tinggal bisa tinggal sementara dengan kakak alumni, karena untuk pulang ke orang tua tidak memungkinkan”.
38
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Setahun bekerja di Palembang, kemudian kembali lagi ke kota Jambi karena ayahnya menderita sakit. Selama di Palembang, S bekerja di perusahaan elektronik sebagai tenaga marketing, dan penjaga toko. Dari penghasilannya S bisa membantu ekonomi keluarga. Tawaran pekerjaan cukup menjanjikan (tenaga administrasi di Bandara), namun ditolak S karena tidak menguasai komputer, karena selama di panti S memilih ketrerampilan menjahit. Saat ini S bekerja sebagai penjaga toko pakaian, penghasilannya sesuai UMR, cukup untuk menghidupi dirinya sendiri dan adiknya yang juga tinggal di panti, belum cukup untuk membantu ekonomi keluarga. S memperoleh kunjungan dari petugas panti saat magang (PBK), di hotel Al Faath, sebagai waitres. Minatnya untuk memiliki usaha sendiri cukup besar pada diri S, misalnya dalam usaha pertanian modern. Dimana S bisa mengembangkan usaha di kampungnya, tapi “keinginan itu hanya sebatas anganangan saja. karena memulai usaha itu perlu keterampilan tersendiri”. Saran pengembangan panti, sebaiknya : a. Keterampilan diarahkan untuk masa depan, bukan hanya pendidikan formal, karena tidak semua melanjutkan sekolah. b. Panti memberi akses terhadap dunia pekerjaan melalui relasi luas petugas panti dengan perusahaan-perusahaan. c. Bimbingan sosial ditingkatkan, terutama pada bimbingan motivasi untuk pengembanganan diri, mempersiapkan masa depan; memberi pandangan tentang kehidupan masa depan di masyarakat . Kasus 4 Hsb, (L), 20 tahun, lulusan SMK Niaga, berperawakan kecil, dan bersih. Orang tua masih lengkap tinggal di Tanjung Jabung Timur, anak ke 4 dari 7 bersaudara. Ayahnya menderita sakit paru-paru basah, yang telah lama dideritanya ibu sebagai
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
39
pencari nafkah (buruh tani). Semua saudaranya hanya lulusan SMP dan bekerja sebagai buruh. Setelah lulus SMP, S mendapatkan informasi dan tawaran dari petugas Dinas Sosial dan disambut dirinya karena sudah memperkirakan tidak dapat melanjutkan sekolah,. Lulus SLTA, (2010) S. kembali ke rumah namun hanya bertahan selama seminggu, karena ada perasaan tidak betah, merasa bingung karena menjadi beban orang tua. Setelah S keluar panti,dirinya merasa: “banyak pikiran. Semakin lama semakin banyak beban, harus mencari uang dan makan sendiri. Sementara itu untuk tinggal di rumah sangat tidak memungkinkan karena melihat kondisi orang tua dan adik-adiknya, yang menjadi beban bagi dirinya. Menghadapi situasi itu, tidak ada dukungan dari petugas, kemudian S curhat pada teman. “Sebenarnya komunikasi dengan pengasuh masih dibutuhkan, tetapi tidak dilakukan karena, takut mengganggu dan pengasuh masih punya anak kecil.” Padahal selama S di panti, sering ‘curhat’ ke pengasuh. Awal mencari pekerjaan S pergi ke kota (Jambi) numpang di rumah kontrakan teman, tidur beralaskan lantai selama 2 minggu. Pernah bekerja di pabrik roti, bertahan selama 3 minggu, selanjutnya S mendapat panggilan dari tempatnya magang radio, sebagai office boy namun diberi kepercayaan oleh pemilik perusahaan sebagai operator. Sampai saat ini telah dijalani selama 8 bulan. Waktu sehari-harinya banyak dihabiskan di tempat kerjanya, namun S tetap bergaul dengan sesama alumni. Kasus 5 Ay, (P), 20 tahun, anak ke 2 dari 3 barsaudara, Orang tua lengkap, sebagai buruh tani di kampung, berperawakan besar,
40
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
putih dan bersih. Lulusan SMK. Informasi tentang panti sosial berasal dari sepupunya yang menjadi pegawai di Dinas Sosial, karena orang tua tidak sanggup untuk membiayai sekolah, maka S menyambut tawaran masuk panti. Setelah lulus SMK, keinginan untuk bekerja lebih tinggi tetapi terlebihdahulu ia kursus bahasa inggris selama 1 bulan dan komputer selama 3 bulan. Diakuinya bahwa, setelah keluar dari panti, S merasa “bingung mau apa yang akan dikerjakan ?. Kemudian S berkonsultasi dengan teman-teman sesama alumni dan memperoleh informasi tentang pekerjaan. Saat ini S bekerja sebagai pelayan toko dan tinggal di rumah kontrakkan bersama teman-temannya. Kasus 6: Ir, (L), 20 tahun, yatim piatu, sejak usia 5 tahun ditinggal ibu, kemudian kelas 3 SMP ditinggal ayah, dan memiliki 3 saudara tiri. Sebelum masuk panti, S hidup dengan ibu tiri yang pensiunan guru. Mengingat kondisi dirinya sebagai anak yatim piatu dan ibu (tiri) masih harus menanggung beban bagi ke tiga adik-adiknya, maka tawaran menjadi anak asuh langsung diterima dirinya. Setelah lulus SLTA (keluar dari panti), S tidak langsung tinggal dirumah, karena berbagai keterbatasan, kemudian atas inisiatif pegawai desa setempat S diperbolehkan tinggal di masjid. Untuk menghidupi dirinya, S bekerja membantu tetangga yang membutuhkan tenaganya, sekaligus sebagai penjaga masjid. Kasus 7: Slh, (L) 20 tahun, yatim piatu anak 1 dari 2 bersaudara . saat ini hidup dengan ibu tiri dan bekerja sebagai buruh pembuat genteng, Setelah lulus SLTA, S kembali ke rumahnya, S sempat “bingung” karena menganggur, kemudian S meminta pendapat
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
41
temannya untuk mencari pekerjaan. Sambil menunggu tawaran pekerjaan S membantu ibunya membuat batu bata, agar dapat menghasilkan upah cukup besar. S pernah bekerja di pabrik roti, sebagai buruh cangkul kebun pisang dibelakang pabrik roti, kemudian S keluar dan kembali membantu ibunya membuat batu bata. Saat ini S bekerja serabutan, adakalanya menjadi kuli bangunan (tukang), atau pekerjaan lainnya yang membutuhkan tenaganya. Pergaulan lebih banyak dengan sesama alumni panti dan S lebih banyak curhat dengan mereka. Hubungannya dengan pengasuh panti kurang erat dibandingkan saat di dalam panti, namun komunikasi intens banyak dilakukan dengan salah satu pegawai panti (satpam Panti) bahkan rumah kontrakannya sering menjadi tempat berkumpul alumni panti. Kunjungan dari petugas panti diperoleh saat S magang, sementara sejak keluar dari panti, hampir tidak pernah dikunjungi petugas. Kasus 8: Sf, (L) 20 tahun, anak ke 6 dari 6 bersaudara, saat ini bersekolah di STIMIK, S menjadi anak asuh atas ajakan petugas dan alumni dari panti. Setelah lulus dan kelua dari panti, S merasa bingung sebagaimana teman-teman lainnya. “pada umumnya anak-anak yang keluar dari panti merasa bingung, biasanya selalu serba diurusin, setelah keluar repot dan kelabakan. Rata-rata anak tinggal di rumah selama 2 (dua) minggu tetapi semua dirasakan “tidak betah’ bukannya ngusir tetapi lebih baik bekerja daripada di kampung!” imbuh Sf. Menurutnya lagi, bahwa “kehidupan di kampung monoton, tiap hari yang dilakukan itu-itu saja dan pengaruh dari lingkungan sangat kuat, hobi teman sebayanya hanya mabuk-mabukan, keluar rumah malah suka malak. Belum lagi, kegiatan “dompeng” bekerja di tambang emas, banyak dilakukan oleh teman-teman seusianya seperti di kampungnya. Jika tidak bekerja, ujung-ujungnya dikawinin,
42
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
melihat teman yang dikawinkan usia muda, maka kondisi ini takut terpengaruh pada dirinya”. Menjelang selesai pelayanan: biasanya perlakuan petugas terhadap anak asuh, akan berbeda. “Perhatiannya sudah mulai berkurang apalagi setelah menghadapi UAN. Tidak ada lagi teguran, meski melakukan pelanggaran, jarang diajak ngobrol lagi, jarang diajak sharing, undangan dari pihak luar jarang diikut sertakan, tanggung jawab sudah mulai dikurangi, tidak disuruh sholat tetapi sangsi tetap berlangsung. Saran terhadap panti : a. Perlu diberi pengetahuan tentang kehidupan di masyarakat, agar anak setelah keluar dari panti tidak terjadi kebingungan dan “tidak kelabakan”, Diberi kesempatan untuk bergaul atau terjun ke masyarakat, misalnya melalui sholat Jum’at bersama di masjid lingkungan masyarakat. Terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan seperti saat ada perayaan hari besar (17 Agustus). Jika kesempatan ini diberikan maka setelah keluar dari panti dan hidup bermasyarakat, anak asuh tidak mengadapi kebingungan “tidak tahu apa yang harus dibicarakan. tidak akan canggung dan tidak ada rasa ‘gak enak” saat bergaul di masyarakat. b. Bimbingan mental dan sosial perlu ditingkatkan terutama pada bimbingan mental dan motivasi untuk maju dan mampu menghadapi kehidupan di masyarakat. 2. Analisa Kondisi Eks Klien: Mencermati kondisi eks klien, pasca pelayanan di PSAA Alyatama, disandingkan dengan peran pembinaan lanjut atau hasil monitoring dan evaluasi pembinaan panti, maka dianalisis sbb: a. Kondisi fisik, berbeda dibandingkan saat di dalam panti. Penampilan kurus, kumal, tidak bersih. Kondisi ini lebih menonjol pada eks klien yang belum bekerja, berbeda
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
43
halnya pada eks klien yang telah bekerja,. Terjaminnya kebutuhan makan (3 kali sehari), pakaian selama tinggal di panti, menjadi salah satu penyebab penampilannya berbeda dengan saat di dalam panti. b. Kondisi psikologis, pada hampir semua anak, menunjukkan perasaan bingung saat keluar dari panti dan tidak merasa betah tinggal berlama-lama di rumah. Kebingungan yang terjadi pada eks klien sebagai gambaran gagalnya panti menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian pada anak asuh setelah keluar dari panti. Penyebab timbulnya kondisi tersebut adalah: a. Tuntutan untuk mencari pekerjaan cukup tinggi sementara keterampilan yang diperoleh tidak cukup sebagai modal kerja. Kondisi ini menurunkan kepercayaan dirinya untuk mampu bekerja. b. Kegiatan keterampilan yang diberikan di PSAA hanya sebagai penunjang bukan kegiatan utama, dan jenis keterampilannya sama seperti di panti lainnya, yang memiliki fokus pelayanannya pada keterampilan kerja. “Jika panti menjadi tempat bagi anak untuk memperoleh keterampilan yang diorientasikan untuk bekerja maka hal ini tidak sesuai dengan visi PSAA”, imbuh pengasuh (F). Belum lagi pelaksanaan keterampilan menjadi beban tersendiri karena waktunya harus berbagi untuk kegiatan sekolah, sehingga keterampilan yang diperoleh menjadi ”tanggung” kurang bermakna sebagai proses adaptasi anak dalam dunia kerja. c. Ikatan emosional antar anak asuh (dan alumni) lebih erat dibandingkan anak dengan pengasuh, dimana seharusnya pengasuh berperan sebagai pengganti orang tua. Temanteman alumni menjadi tempat “curhat” pada saat eks klien menghadapi permasalahan. Idealnya kondisi ini
44
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
dapat termonitor dan terselesaikan jika pembinaan lanjut dilaksanakan sesuai tujuan. Hubungan interpersonal antar anak dan pengasuh bersifat formalitas, bukan hubungan interpersonal layaknya antara anak dan orang tua. Kondisi ini mencerminkan bahwa Pelayanan di PSAA masih sebatas pemenuhan kebutuhan pendidikan dan pemenuhan sandang, pangan dan papan, sementara kebutuhan psikologis, belum dapat terpenuhi secara optimal. d. Tidak adanya intervensi pada keluarga, dimana kehidupan keluarga tidak berubah dari saat anak masuk panti, menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi anak dan menganggap dirinya sebagai ”parasit” atau beban bagi orang tua atau keluarga. Kondisi ini mendorong anak keluar rumah, mencari pekerjaan ke kota, meski harus menumpang di kontrakan teman-temannya yang sudah bekerja. Termasuk tidak adanya intervensi dalam pengasuhan, sehingga ditemukan perilaku eks klien, sering begadang dan pulang malam, setelah berada di rumahnya. e. Proses mempersiapkan keluarga menjelang berakhirnya pelayanan tidak dilakukan optimal, cukup melalui pemanggilan orang tua ke panti memberitahukan berakhirnya pelayanan. Home visit untuk melihat kesiapan dan kehidupan keluarga atau tempat tinggal dimana anak akan kembali tidak dilakukan. f. Proses pengakhiran pelayanan tidak dilakukan secara profesional, namun hanya berdasarkan pada kelulusan sekolah (setara SLTA), bukan pada kesiapan keluarga menerima anak kembali berada di lingkungan tempat tinggalnya. Keputusan terminasi tidak melalui konsultasi dengan pihak yang mengirim anak asuh, Instansi sosial, atau keluarga yang memberikan ijin atas pengasuhan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
45
anak ke dalam panti, sehingga keluarnya anak dari panti tidak melalui review terhadap perkembangan anak dan keluarga. g. Kontak petugas atau pekerja sosial dengan keluarga sebagai bagian dari pelayanan, (Follow Up) tidak dilakukan, selama anak menerima pelayanan sampai pengakhiran pelayanan. Sebenarnya kontak bisa dilakukan melalui telephone atau kunjungan rumah atau kombinasi keduanya. Infomasi yang diperoleh terkait dengan perkembangan anak pasca pelayanan, terutama perubahan perilaku yang diperoleh selama pembinaan dalam panti tetap terjaga. h. Kehidupan sosial di lingkungan tempat tinggalnya (Messo) dipersepsi anak sudah berbeda dengan kehidupan yang dialami anak selama di panti. Masih adanya budaya menikahkan anak pada usia muda, serta kehidupan pergaulan yang buruk di kampung dikhawatirkan berpengaruh bagi kehidupannya. Secara garis besar, kondisi yang dihadapi eks klien, sebagaimana gambaran diatas, menunjukkan tidak optimalnya kegiatan pembinaan lanjut dilaksanakan. Penyebabnya adalah: a. Kegiatan monitoring dan evaluasi, hanya dilakukan pada akhir pelayanan atau setelah anak kembali ke keluarga dan saat anak bekerja/magang, bukan dilakukan sepanjang anak menerima pelayanan. Idealnya monitoring disertai dengan asesmen, untuk melihat kemajuan sebagaimana rencana pelayanan, apakah relevan, teritegrasi dan ada kesesuaian dengan tujuan yang akan dicapai. Pelaksanaannya minimal 6 bulan sekali, setelah menerima bimbingan, sehingga diketahui perkembangan, dan kendala atau masalah yang dihadapi anak. b. Pembinaan lanjut tidak dilaksanakan sesuai tujuan, yaitu untuk membantu permasalahan yang masih dihadapi
46
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
anak, maka kebingungan pada saat anak keluar dari panti tidak akan terjadi. c. Keterbatasan anggaran yang berdampak pada jangkauan pembinaannya, termasuk tidak dapat melakukan intervensi pada keluarga. d. Sistem dukungan atau pelayanan profesional dari masyarakat tidak dioptimalkan. Peran instansi sosial sebagai pihak yang merekomendasi anak menerima pelayanan dalam panti, tidak terlibat dalam sistem pelayanan, maka instansi sosial sebagai sistem sumber memberikan dukungan atau akses ke lapangan pekerjaan atau beasiswa melanjutkan sekolah. Jika hal tidak dilaksanakan, maka memasukkan anak ke panti, dari kampung ke kota, bukan sebagai”urbanisasi terselubung”. i. Pemilihan calon klien tidak berdasarkan kriteria, masih banyak ditemukan anak asuh memiliki orang tua lengkap. Pengalihan pengasuhan dari orang tua ke orang tua pengganti (dalam panti) tidak menjamin sama dengan pengasuhan oleh orang tua. Kriteria pengasuh yang berbeda-beda dan tidak adanya evaluasi terhadap pengasuhan dapat mempengaruhi pada kehidupan psikologis anak E. Penutup Keberhasilan anak setelah keluar dari panti, ditentukan oleh bagaimana pelayanan di panti sosial, yang mampu menciptakan anak yang bertanggung jawab, mandiri, mampu beritegrasi dalam kehidupan di masyarakat. Temuan dari pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagai pembinaan lanjut disimpulkan sbb: 1. Kesimpulan a) Kegiatan pembinaan lanjut belum mampu mengetahui, melihat, memantau kondisi anak baik secara fisik, mental,
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
47
sosial setelah keluar dari panti. Meski menggunakan form monitoring dan evaluasi, namun aspek-aspek yang dinilai dan dimonitor lebih banyak untuk kepentingan panti bukan ditujukan bagi kepentingan anak, terutama tidak menemukan permasalahan yang dihadapi anak. Selain itu, belum memperkuat kemampuan eks klien, dan menyelesaikan “kebingungan” anak saat keluar dari panti termasuk menangkap fenomena “tidak betah berlamalama” tinggal di rumah. Permasalahannya pelaksanaan kegiatan dilakukan saat anak magang dan setelah anak bekerja, sehingga permasalahan yang menonjol pasca keluar dari panti tidak dapat terpantau petugas panti. b. Kebijakan yang digunakan belum sepenuhnya dapat diimplementasikan secara utuh, karena berbagai kendala, seperti dalam perencanaan program pelayanan, pemahaman pengasuh dan petugas tentang pengakhiran pelayanan. Keterbatasan anggaran menyebabkan semua hal yang diperlukan terkait pengakhiran pelayanan disederhanakan, dan dilakukan secara rutinitas sehingga membentuk pemahaman petugas tentang monitoring dan evaluasi hasil pembinaan diasumsikan sebagai pembinaan lanjut. Standar Nasional Pengasuhan Anak untuk LKSA (2011), menyebutkan bahwa kegiatan monitoring dilakukan sepanjang rentang waktu anak menerima pelayanan dalam panti, bukan pada akhir pelayanan. Melibatkan orang tua dalam kegiatan pengakhiran pelayanan menjadi bagian penting sebelum anak kembali ke keluarga. c. Faktor penghambat dan pendukung: 1) Faktor Penghambat: a) Perencanaan program pembinaan lanjut belum menjadi bagian penting dari pelayanan dalam
48
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
panti, berimplikasi pada terbatasnya anggaran yang menyesuaikan dengan lokasi dan kondisi geografis tempat tinggal eks klien yang akan dikunjungi petugas. Termasuk merencanakan kegiatan sebelum pengakhiran pelayanan, seperti home visit, intervensi ke keluarga, dan waktu pelaksanaan kegiatan, tidak direalisasikan. b) Terbatasnya pemahaman petugas panti tentang kegiatan pembinaan lanjut, berimplikasi pada fenomena yang terjadi pada eks klien seperti “kebingungan dan tidak betah berlama-lama di rumah” tidak tertangkap oleh petugas, saat monitoring dan evaluasi. 2) Faktor pendukung : a) Keinginan petugas panti untuk merubah mekanisme pelayanan dalam panti, melalui dialog, antar pegawai dan proses melibatkan anak terhadap pembuatan aturan pelayanan panti. b) Berlakunya Standar Nasional Pengasuhan Anak di LKSA, menjadi acuan untuk membuat usulan program, berdasarkan pasal-pasal yang tercantum didalamnya. 2. Rekomendasi a. Perencanaan program pelayanan dalam panti, khususnya kegiatan pembinaan lanjut diberi bobot yang sama dengan kegiatan pelayanan lainnya, sehingga dapat melaksanakan pembinaan lanjut secara optimal termasuk pengakhiran pelayanan secara profesional. b. Kegiatan monitoring dan evaluasi hasil pembinaan, tidak pada akhir pelayanan, tetapi pada setiap jenis bimbingan atau pembinaan, minimal 6 bulan sekali sehingga hasilnya dapat segera ditindaklanjuti untuk perbaikan pelayanan. Dalam hal ini form monitoring dan evaluasi perlu
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
49
disesuaikan untuk mengetahui dan menilai kondisi anak asuh selama dalam panti maupun sesudah keluar dari panti. c. Sasaran monitoring dan evaluasi tidak terbatas pada anak asuh, tetapi juga pada keluarga, terutama intervensi tentang pengasuhan anak maupun pemberdayaan keluarga sehingga tidak terjadi “gap” antara pelayanan dalam panti dengan keluarga. Sekaligus mendukung kebijakan pelayanan berbasis keluarga dan masyarakat (family base & community base). d. Peran dan fungsi pengasuh perlu ditinjau ulang, tidak rangkap jabatan, (sebagaimana standar nasional pengasuhan), sehingga pengasuh sebagai pengganti orang tua dapat berfungsi optimal dan hak dan kebutuhan anak memperoleh pengasuhan dan perlindungan dalam panti tetap terpenuhi. e. Jenis keterampilan diselaraskan dengan mata pelajaran di sekolah, mengingat keterampilan yang diperoleh dari Panti, sangat berguna bagi eks klien untuk mencari pekerjaan. Seperti komputer, bahasa Inggris, atau terkait mata pelajaran lainnya. Untuk mewujudkannya perlu didukung dengan instruktur handal dan fasilitas memadai. Hal ini akan meminimalisir “kebingungan” yang terjadi pada eks klien saat keluar panti. f.
Membentuk mental wirausaha melalui bimbingan keterampilan, dengan mengadakan perubahan pada sistem bimbingan, seperi:
g. Keterampilan menjahit, diarahkan untuk membuat seragam anak sekolah sampai terampil, sehingga anak percaya diri untuk menangkap kesempatan untuk berusaha atau mencari uang di tempat konveksi, saat keluar dari panti.
50
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
h. Keterampilan Tata Boga, diarahkan pada pengolahan dan pengemasan pangan sampai pemasaran, dengan pengelolaan secara kelompok. Hal ini menjadi sarana pembelajaran dalam mencari penghasilan. i. Keterampilan berorientasi pada sumber daya lokal, misalnya pertanian, perkebunan, peternakan, sesuai dengan tempat tinggal asal, sehingga eks klien dapat kembali ke tempat tinggalnya dapat mengembangkan sumber daya yang tersedia. j. Dukungan Instruktur handal dan fasilitas memadai sangat diperlukan. Jika anggaran yang tidak mencukupi maka pilihan jenis keterampilan cukup dua atau tiga jenis keterampilan namun memiliki kwalitas memadai, bukan jumlah keterampilan yang banyak tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan anak. k. Panti sosial membuka jejaring dengan instansi sosial tingkat kabupaten/kota dimana anak berasal, untuk berpartisipasi dalam melakukan intervensi ke keluarga maupun menindaklanjuti pembinaan lanjut.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
51
52
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Bagian 3 PELAYANAN REHABILITASI SOSIAL ANAK NAKAL DAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DI PANTI SOSIAL MARSUDI PUTRA (PSMP) ANTASENA MAGELANG (Fokus pada Pembinaan Lanjut “After Care Services”) Husmiati A. Pendahuluan Situasi krisis ekonomi dalam keluarga maupun dalam masyarakat miskin, terlebih bagi anak-anak adalah awal mula munculnya berbagai masalah sosial. Selain kondisi kemiskinan yang makin parah, juga menyebabkan situasi menjadi semakin sulit. Secara faktual, krisis ekonomi memang bukanlah satusatunya faktor yang menyebabkan anak-anak rawan terhadap kenakalan, tetapi bagaimanapun krisis yang tak kunjung usai menyebabkan daya tahan, perhatian dan kehidupan anak-anak menjadi makin marjinal, khususnya anak-anak yang sejak awal tergolong anak-anak rawan atau anak-anak yang rentan. Anak yang rawan terhadap kenakalan adalah penggambaran kelompok anak-anak yang karena situasi, kondisi, dan tekanantekanan kultur maupun struktur menyebabkan mereka belum atau tidak terpenuhi hak-haknya, dan seringkali dilanggar hak-haknya. Inferior, rentan, dan marjinal adalah beberapa ciri yang diberikan pada anak-anak ini. Inferior karena mereka biasanya tersisih dari kehidupan normal dan terganggu proses tumbuh kembangnya secara wajar. Sedangkan rentan, karena mereka sering menjadi korban situasi, dan bahkan terlempar dari masyarakat (displaced children). Marjinal, karena dalam kehidupan sehari-harinya biasa mengalami bentuk eksploitasi dan diskriminasi, mudah diperlakukan salah, mudah melakukan kesalahan, dan seringkali pula kehilangan kemerdekaannya.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
53
Sebagai permasalahan sosial, disadari bahwa dalam menyikapi persoalan anak-anak rawan terhadap kenakalan ini, pemerintah bukan hanya dituntut untuk meningkatkan perlindungan sosial tetapi juga dibutuhkan komitmen yang benar-benar serius yang kemudian dioperasionalkan dalam bentuk program aksi bersama yang konkrit dan kontekstual. Permasalahannya adalah kenakalan bahkan tindak kriminal tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, akan tetapi juga dilakukan oleh anak-anak remaja usia sekolah, sehingga dikhawatirkan hal tersebut dapat merusak tatanan moral, tatanan nilai-nilai susila dan tatanan nilai-nilai ajaran agama serta beberapa aspek kehidupan lainnya. Hal tersebut juga telah menimbulkan berbagai macam dampak negatif dan telah mencemaskan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Kurang siapnya mental anakanak remaja usia sekolah dalam menerima laju arus globalisasi, bukanlah satu-satunya faktor penyebab kenakalan mereka. Ada beberapa faktor lain yang dapat mendorong mereka menjadi nakal dan kurang bertanggung jawab, diantaranya yang paling dominan adalah faktor lingkungan keluarga (Arkan, 2006). Kondisi perilaku dan kepribadian anak-anak remaja usia sekolah dewasa ini sangat jauh dari yang diharapkan. Perilaku mereka cenderung menyimpang dari nilai-nilai ajaran agama, nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya. Adanya anak-anak remaja usia sekolah yang terjerumus pada pergaulan bebas atau bahkan seks bebas, pemakai dan pengedar narkoba, terlibat dalam kasuskasus kriminal, seperti pencurian, perampokan dan pemerkosaan. Hal ini menunjukkan betapa kondisi anak-anak remaja usia sekolah pada saat ini berada dalam masalah besar. Dua tipe kenakalan remaja dari empat tipe menurut Arkan (2006), yaitu : Satu, Anak-anak remaja usia sekolah yang bermasalah. Pada tipe ini seorang anak sulit untuk menyesuaikan diri, kecuali pada kalangan terbatas atau hanya pada kelompoknya saja. Perilaku 54
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
sosial dan akademiknya tergolong gagal. Prestasi di sekolah sangat mengecewakan; di dalam keluarga selalu membuat masalah; dalam lingkungan sosial selalu membuat onar; perilaku menyimpangnya dilakukan terang-terangan; dan tidak merasa berdosa apabila melakukan kesalahan. Dua, Anak-anak remaja usia sekolah dengan masalah berat. Pada tipe ini kegagalan total sudah terjadi. Ia masuk ke dalam lingkaran “setan”, mundur kena maju pun kena. Perilakunya sudah tergolong kriminal; banyak berurusan dengan polisi; dianggap sampah masyarakat; tanpa prestasi akademik; terbiasa dengan minuman keras; narkoba dan seks bebas. Keadaan ini tentunya menjadi tanggungjawab negara, dan melalui Kementerian Sosial beban ini diharapkan bisa mendapatkan solusi yang tepat. Melalui Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial didirikan panti-panti sosial yang menangani anak nakal yang belakangan ini ditambah lagi dengan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Salah satu panti yang ada adalah Panti Sosial Marsudi Putera (PSMP) Antasena Magelang. Secara umum, panti sosial mempunyai fungsi utama sebagai tempat penyebaran layanan; pengembangan kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi tempat di bawahnya (dalam sistem rujukan/referral system) dan tempat pelatihan keterampilan. Sedangkan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lain yang sejenis adalah: (1) memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan; menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat; (2) menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan yang bersifat pencegahan, perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengembangan; (3) menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
55
terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang berkesinambungan; (4) menyediakan pelayanan berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya; dan (5) memberikan kesempatan kepada klien untuk berpatisipasi secara aktif dalam usaha-usaha pertolongan yang diberikan. (Balatbangsos, 2004). Adapun proses pelayanan panti sosial meliputi (1) tahap pendekatan awal; (2) asesmen; (3) perencanaan program pelayanan; (4) pelaksanaan pelayanan; dan (5) pasca pelayanan. Tahap pasca pelayanan terdiri dari penghentian pelayanan, rujukan, pemulangan (penyaluran), dan pembinaan lanjut. Pada tahap akhir pelayanan adalah pembinaan lanjut yang merupakan rangkaian dari proses rehabilitasi sosial atau pemulihan, yang ditujukan agar eks klien dapat beradaptasi dan juga berperan serta di dalam lingkungan keluarga, kelompok, lingkungan kerja, dan masyarakat. Pembinaan lanjut (after care) dapat diberikan dalam berbagai macam bentuk, tergantung pada kebutuhan masing-masing eks klien. Program pembinaan lanjut merupakan bagian yang integral dalam rangkaian proses pelayanan sosial dan tidak dapat dianggap sebagai modalitas treatment yang berdiri sendiri. Hal ini berkaitan dengan pemahaman umum bahwa setelah klien menjalani program rehabilitasi primer di panti rehabilitasi, mereka masih memerlukan perawatan atau lanjutan agar proses reintegrasi ke masyarakat dapat berlangsung lancar. Pada kenyataannya treatment tidak berhenti di dalam panti rehabilitasi melainkan terus berlanjut sampai klien kembali ke masyarakat, sehingga mampu mengembangkan gaya hidup yang sehat dan menjadi manusia yang produktif (BNN,2008). Akan tetapi konsep ideal dan tujuan akhir dari tahapan pembinaan lanjut bagi eks klien selama ini masih belum maksimal. Berbagai macam penafsiran makna dari tahapan pembinaan lanjut masih ada. Masih banyak kendala yang dihadapi baik dari segi
56
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pemahaman, pelaksanaan, pendanaan, komitmen, dukungan, dan koordinasi antara pihak panti, stake holder, masyarakat, maupun keluarga. Bermula dari isu inilah penelitian evaluasi pelaksanaan rehabilitasi sosial, khususnya pada tahapan pembinaan lanjut di PSMP Antasena Magelang dipandang perlu dilakukan. Tujuan penelitian: 1. Mendapatkan data dan informasi tentang pemahaman petugas panti sosial terhadap kegiatan rehabilitasi sosial, serta tahapan pembinaan lanjut 2. Mendapatkan data dan informasi tentang kebijakan, program dan kegiatan rehabilitasi sosial, serta tahapan pembinaan lanjut 3. Mendapatkan data dan informasi tentang proses pelaksanaan dan hasil yang dicapai (peran keluarga eks klien, masyarakat, dan jejaring kerja) dari kegiatan rehabilitasi sosial, serta tahapan pembinaan lanjut 4. Mendapatkan data dan informasi tentang peran lembaga terkait (stake holder) dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial, serta tahapan pembinaan lanjut 5. Mendapatkan data dan informasi tentang faktor-faktor pendukung dan penghambat yang mempengaruhi rehabilitasi sosial, serta tahapan pembinaan lanjut Konseptualisasi Kenakalan remaja, adalah istilah yang secara resmi digunakan dalam Inpres 6/1971 yang disusul dengan pembentukan Badan Koordinasi Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971 yang didalamnya terdapat bidang Penanggulangan Remaja. Munculnya istilah kenakalan anak-anak remaja usia sekolah dapat diketahui diantaranya melalui berbagai macam tindakan dan tingkah laku yang mereka lakukan, antara lain menunjukkan sikap kasar dalam bertindak , bersikap suka menentang apabila diarahkan, bersikap
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
57
membantah apabila diperintah, minum-minuman keras, merokok, nongkrong dijalan, coret-coretan di tembok, cenderung berbuat sesuatu yang hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri dan merubah suasana sekehendak hatinya. Menurut Kartono (2010), kenakalan remaja sebagai produk sampingan dari: (1) pendidikan massal yang tidak menekankan pendidikan watak dan kepribadian anak, (2) kurangnya usaha orang tua dan orang dewasa menanamkan moralitas dan keyakinan beragama pada anak-anak muda, (3) kurang ditumbuhkannya tanggungjawab sosial pada anak-anak remaja. Dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja adalah suatu reaksi atas kondisi sosial yang dialami oleh seorang remaja yang tidak bisa menerima norma yang berlaku di masyarakat. Sehingga kenakalan remaja adalah sebuah perbuatan reaksi yang dilakukan untuk menentang kondisi sosial yang berlaku di masyarakat,penentangan tersebut berakibat keluarnya seorang remaja dari norma-norma sosial yang berlaku. Karena keluarnya perbuatan seorang remaja dari norma-norma yang berlaku di masyarakat, maka keadaan ini disebut sebagai perilaku menyimpang. Proses rehabilitasi yang dilakukan ternyata dapat mampu mengembalikan anak-anak yang menyimpang dan dikatakan nakal kepada norma-norma yang berlaku. Proses rehabilitasi sosial bisa merubah perilaku negatif (kenakalan remaja). Pelayanan sosial, adalah usaha-usaha untuk mengembalikan, mempertahankan, dan meningkatkan keberfungsian sosial individu-individu dan keluarga melalui sumber-sumber sosial pendukung, serta proses-proses yang meningkatkan kemampuan individu untuk mengatasi tekanan dan tuntutan kehidupan sosial yang normal (Romanyshyn, dalam Fahrudin, 2012). Selain itu pelayanan sosial juga sebagai kegiatan yang dilakukan di dalam panti yang bertujuan mengurus anak dan remaja yang menyandang masalah sosial untuk dibina guna penumbuhan
58
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
dan pengembangan keterampilan sosial dan keterampilan kerja sehingga anak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sebagai anggota masyarakat. Rehabilitasi sosial, adalah segala tindakan fisik, penyesuaian psikososial dan latihan vokasional, sebagai usaha untuk melaksanakan fungsi sosial dan meningkatkan kemampuan penyesuaian diri secara maksimal serta mempersiapkan klien secara fisik, mental, sosial, dan vokasional untuk suatu kehidupan yg optimal, sesuai dengan kelebihan dan kekurangannya (Hensie & Campbell, 1970). Sedangkan menurut Kepmensos RI No. 07/HUK/ KBP/II/1984, rehabilitasi sosial sebagai suatu proses refungsional dan pengembangan yang memungkinkan penyandang masalah melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan masyarakat. Pembinaan lanjut (after care), dilaksanakan setelah tahap terminasi dalam proses pelayanan rehabilitasi sosial di dalam panti sosial. Proses pelayanan sosial berakhir ketika terminasi berlangsung. Namun karena tanggungjawab terhadap klien, seringkali dilanjutkan dengan pelayanan lanjutan (after care). Pembinaan lanjut yang dilaksanakan selama ini adalah interpretasi dari prinsip-prinsip pekerjaan sosial. Pembinaan lanjut tidak boleh lepas dari prinsip-prinsip yang digunakan dalam memandu aktivitas praktik pekerjaan sosial. Pembinaan lanjut yang diberikan pada eks klien setelah kembali pada keluarganya. Tujuannya untuk memantau, membantu eks klien agar lebih siap kembali beraktifitas dimasyarakat dan untuk kemandiriannya. Agar mereka tidak kembali lagi berperilaku menyimpang. Binjut merupakan bagian integral dari setiap program pemulihan ataupun rehabilitasi sosial, sangat dibutuhkan dan memainkan peran penting dalam membentuk perubahan perilaku yang permanen. Eks klien perlu mendapat perhatian karena mereka yang telah mencapai kemajuan selama proses rehabilitasi didalam panti sangat mungkin mundur kembali pada keadaan seperti sediakala.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
59
Perencanaan untuk melakukan pembinaan lanjut (after care) tidak hanya memungkinkan menilai kelangsungan hasil yang dicapai, tetapi juga membantu proses terminasi dengan menunjukkan perhatian pekerja sosial maupun pihak lembaga pada eks klien secara kontinyu (Fahrudin, 2012). Metodologi Pendekatan penelitian ini menggunakan desain evaluasi. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang relevan untuk meneliti fenomena yang tejadi dalam suatu masyarakat, karena pengamatan diarahkan pada latar belakang dan individu secara holistic, serta memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan, bukan berdasarkan pada variable atau hipotesis (Lexy Maleong, 2003) Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini bermaksud mendapat gambaran faktual rehabilitasi sosial dan pembinaan lanjut pada panti-panti sosial pemerintah, baik kebijakan, program, kegiatan, pelaksanaannya. Karena itu penting dalam penelitian ini data dan informasi yang komprehensif dan mendalam akan berbagai hal yang menyangkut pelaksanaan pembinan lanjut. a. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Panti Sosial Marsudi Putera (PSMP) Antasena Magelang. Alasan memilih PSMP Antasena sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa PSMP Antasena adalah salah satu unit pelaksana teknis panti penanganan anak nakal dan anak berhadapan dengan hukum di kabupaten Magelang yang berada dalam dibawah Direktorat Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI. b. Sasaran substansi 1) Kebijakan, program dan kegiatan rehabilitasi sosial dan pembinaan lanjut 2) Pemahaman petugas panti sosial terhadap kegiatan rehabilitasi sosial dan pembinaan lanjut yang dilakukan 60
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
oleh petugas panti sosial. 3) Pelaksanaan rehabilitasi sosial dan pembinaan lanjut 4) Hasil yang dicapai dari kegiatan rehabilitasi sosial dan pembinaan lanjut (termasuk peran keluarga esk klien, masyarakat, dan jejaring kerja/stake holder) 5) Faktor faktor yang mempengaruhi rehabilitasi sosial dan Pembinaan lanjut (pendukung dan penghambat) c. Sumber data Sumber data dapat digali dari kepala panti, seksi PAS, seksi rehabilitasi sosial, pekerja sosial, eks klien, keluarga eks kien, dinas sosial provinsi, dinas sosial kabupaten, stake holder lainnya, tempat kerja eks klien, dan masyarakat. Untuk memperoleh gambaran kondisi eks klien dari hasil dan pembinaan lanjut di PSMP Antasena, maka dilakukan studi terhadap 10 (sepuluh) orang eks klien berdasarkan kriteria sebagai berikut: • Eks klien yang telah memperoleh pelayanan / rehabilitasi sosial di panti sosial antara 2009 - 2010. • Lokasi tempat tinggal eks klien terdapat di 2 lokasi yang berbeda (kabupaten atau kota) • Sumber data tentang kondisi eks klien bisa diperoleh dari eks klien dan/atau keluarganya, pekerja sosial, tokoh masyarakat dan unit lainnya yang berperan dalam pembinaan eks klien. d. Teknik Pengumpulan data • Wawancara mendalam, dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai panduan (interview guide) untuk memperoleh data dan informasi sesuai dengan tujuan penelitian • Focus Group Discussin (FGD), untuk menghimpun berbagai permasalahan yang dihadapi panti sosial dalam pelaksanaan dan pembinaan lanjut dengan kepala panti,
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
61
Dinas Sosial Kabupaten/kota/provinsi dan unsur-unsur fungsional yang terlibat dalam pelaksanaan proses rehabilitasi sosial dan dan pembinaan lanjut • Observasi, terhadap pelaksanaan dan pembinaan lanjut yang dilakukan oleh petugas panti, serta observasi terhadap kondisi anak pasca pelayanan. •
Studi dokumentasi, terhadap berbagai dokumen yang dimiliki panti sosial yang relevan dengan tujuan penelitian
e. Analisa Data Data dan informasi yang diperoleh dari lapangan akan dianalis secara deskriptif kualitatif, meliputi reduksi data, penyajian, penafsiran dan menyimpulkan. Analisis data mencakup penelusuran kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang ada, yakni membandingkan data eks-klien panti sosial dengan kebijakan, program, kegiatan dan pelaksanaan rehabilitasi sosial serta dan pembinaan lanjut yang dilakukan oleh PSMP Antasena Magelang. B. Gambaran Umum Panti Sosial Fungsi PSMP Antasena adalah: (1) membuat penyusunan rencana dan program, evaluasi dan laporan, (2) pelaksanaan registrasi, observasi, identifikasi, diagnosa, (3) pelaksanaan layanan dan rehabilitasi yang meliputi mental, sosial, fisik dan keterampilan, (4) pelaksanaan resosialisasi, penyaluran dan lanjut, (5) pelaksanaan pemberian informasi dan advokasi, (6) pelaksanaan pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rehabilitasi sosial, (7) pelaksanaan urusan tata usaha. PSMP Antasena mempunyai visi pada tahun 2015 menjadi pusat pengembangan pertolongan sosial pada anak nakal, pusat studi atau penelitian dan pusat pelaksanaan sistem rujukan berstandar nasional, profesional dan terpercaya. Sedangkan misinya: (1) menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi
62
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
sosial anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dalam sistem panti dengan menggunakan pendekatan multi disipliner, teknik pelayanan yang unggul dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, (2) menyelenggarakan pengkajian model pelayanan dan rehabilitasi sosial anak yang berhadapan dengan hukum, (3) memfasilitasi tumbuh kembang motivasi dan usaha masyarakat dalam menangani anak nakal. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia di PSMP Antasena terdiri dari pejabat struktural, pekerja sosial fungsional, pembimbing keterampilan sosial, keterampilan fisik dan keterampilan mental baik dari dalam panti maupun yang sengaja di datangkan dari luar panti. Selain itu di PSMP Antasena memiliki staf dan non organik (tabel 7). Tabel 7. Sumber daya manusia (SDM) di PSMP Antasena No.
Jabatan
Jumlah
1.
Pejabat struktural
2.
Pekerja sosial fungsional
10 orang
4 orang
3.
Pembimbing keterampilan (dalam)
13 orang
4
Pembimbing keterampilan (luar)
12 orang
5
Staf
25 orang
6
Non organik
6 orang
Sumber data: Sie.Rehsos PSMP Antasena
Berdasarkan tabel diatas, sumber daya manusia yang ada di PSMP Antasena adalah pejabat struktural sebanyak 4 orang yang terdiri dari kepala panti, kepala bagian tata usaha, kepala seksi PAS, kepala seksi rehabilitasi sosial. Jumlah pekerja sosial sebanyak 10 (sepuluh) orang dengan komposisi pekerja sosial muda sebanyak 3 (tiga) orang, dan pekerja sosial trampil penyelia sebanyak 7 (tujuh) orang. Pembimbing keterampilan baik dari dalam maupun dari luar adalah mereka yang memberikan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
63
bimbingan keterampilan otomotif, perbengkelan, paving block, pangkas rambut, menjahit, komputer, las, dan dekorasi ruangan. PSMP Antasena memiliki struktur organisasi dengan pembagian sebagai berikut: bagian tata usaha, seksi program dan advokasi sosial, seksi rehabilitasi sosial, dan kelompok fungsional pekerja sosial. Bagian tata usaha mempunyai tugas urusan surat menyurat, kepegawaian, keuangan, perlengkapan, rumah tangga dan kehumasan. Seksi program dan advokasi sosial (PAS) mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana dan proses, pemberian informasi dan advokasi serta melakukan pemantauan, evaluasi dan penyusunan pelayanan dan rehabilitasi sosial. Sedangkan seksi rehabilitasi sosial tugasnya melakukan registrasi, observasi, identifikasi, pemeliharaan jasmani dan penetapan diagnosa perawatan, bimbingan pengetahuan dasar pendidikan, mental, sosial, fisik, keterampilan resosialisasi, penyaluran dan pembinaan lanjut. Tugas dan fungsi kelompok fungsional pekerja sosial yaitu menyiapkan, melakukan, menyelesaikan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial dan pengembangan kualitas pelayanan kesejahteraan sosial. Sarana dan prasarana Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Antasena yang terletak di Salaman Magelang Jawa Tengah, merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI dengan berdasarkan surat Sekretaris Jenderal No.1502/ SJ-Orpeg/XII/2009. PSMP Antasena memiliki tugas pokok memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat prefentif, kuratif, rehabilitatif, promotif, dalam bentuk mental, sosial, fisik dan pelatihan keterampilan, resosialisasi serta lanjut bagi anak nakal agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan.
64
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Fasilitas yang dimiliki oleh PSMP Antasena terdiri dari bangunan kantor, wisma, asrama, aula, dapur, workshop, ruang terapi, perpustakaan, dan lain-lain. Sasaran garapan PSMP Antasena adalah anak yang berusia 10-18 tahun yang memilki riwayat kenakalan mulai dari suka keluyuran, berjudi, mabuk, mencuri, tindak asusila, berkelahi dan tindak kekerasan lainnya, termasuk eks anak negara dan atau hasil putusan pengadilan anak dan anak jalanan yang telah dibina melalui rumah singgah yang berminat dan memerlukan pembinaan lebih intensif. Selain itu orang tua/keluarga, lingkungan sosial, kelompok sebaya, dan masyarakat juga menjadi sasaran garapan. Program yang dilaksanakan oleh PSMP Antasena, yaitu (1) pelayanan reguler, (2) daycare services, (3) family support, (4) shelter workshop, (5) pelayanan jarak jauh, (6) penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, (7) Tim Reaksi Cepat. Sedangkan jenis kegiatan yang dilakukan: 1. Pelayanan dan rehabilitasi secara menyeluruh dan terpadu, yang terdiri dari kegiatan (a) Registrasi dan pengasramaan, (b) fisik dan kesehatan, (c) mental, psikologi, agama, dan kecerdasan, (d) sosial, (e) Konseling dan terapi (terapi komunitas, terapi kelompok, dan konseling), (f) keterampilan kerja: Vocational assesment dan vocational guidance, Vocational training, Praktek belajar kerja, kewirausahaan, Karya wisata 2. Pelayananan day rehabilitation 3. Layanan kunjungandan latihan orang tua klien, dengan kegiatan (a) pemberian informasi (b) konsultasi keluarga, (c) parent training 4. Penyuluhan dan sosial masyarakat 5. Shelter workshop dan instalasi produksi 6. Penataan data rehabilitasi dan kajian evaluatif: (a) Identifikasi masalah dan sistem sumber, (b) Kajian evaluasi dan efektifitas pelayanan, (c) Pengembangan instrumen dan model pelayanan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
65
7. Kunjungan kerja 8. Seminar/lokakarya 10. Pelatihan teknis 11. Studi banding 12. Memberi kesempatan perguruan tinggi/lembaga penelitian melakukan riset 13. Pengembangan lembaga dengan membuka unit usaha produktif untuk umum (cuci dan servis mobil/motor, pengelasan dan lainnya). 14. Pelayanan informasi dan konsultasi melalui website 15. Pendampingan terhadap ABH. Kondisi klien Prosedur penerimaan klien di PSMP Antasena melalui hasil dari proses pendekatan awal ataupun penjangkauan langsung yang datang dari PSMP Antasena melalui dinas atau instansi sosial kabupaten/kota se Jawa tengah, Daerah istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. Selain itu melalui yayasan/LSM/organisasi sosial ataupun rujukan dari balai pemasyarakatan (BAPAS/LP Anak), serta rujukan dari kepolisian, Kejaksaan maupun putusan / tindakan hakim di pengadilan. Adapun persyaratan klien di PSMP Antasena ditetapkan sebagai berikut: (1) anak atau remaja yang dinyatakan nakal atas dasar hasil seleksi. (2) Umur 10 tahun sampai dengan 18 tahun. (3) Anak atau remaja yang bermasalah yang sudah atau belum melalui proses peradilan anak, (4) tidak cacat jasmani dan mental. (5) tidak menderita penyakit menular/ kronis yang dibuktikan surat keterangan dokter. Proses rehabilitasi sosial Proses pelayanan sosial di PSMP antasena dengan sasaran klien anak-anak yang bermasalah dengan perilaku putus sekolah dan belakangan ditambah dengan kriteria anak yang bermasalah dengan hukum (ABH). Dalam proses ini dilakukan koordinasi
66
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
lintas sektoral dengan instansi lembaga propinsi, kotamadya, kabupaten, kecamatan, kelurahan, desa dan lembaga swadaya masyarakat. Proses Rehabilitasi Sosial atau pelayanan sosial di PSMP Antasena dilaksanakan dengan tiga tahapan besar, yaitu kegiatan (1) bimbingan sosial, (2) resosialisasi, dan (3) pembinaan lanjut. Adapun tahapan bimbingan sosial meliputi: 1. Pendekatan awal (pre intake) Tahap ini dilakukan oleh seksi program dan advokasi sosial (PAS), seksi rehabilitasi sosial, dan pekerja sosial dibawah pengawasan langsung kepala panti. Secara terperinci pendekatan awal ini terdiri dari kegiatan: (a) orientasi dan konsultasi, (b) identifikasi, (c) motivasi, dan (d) seleksi, dilaksanakan dengan dua sistem, seleksi dilaksanakan didaerah asal calon klien dan dilaksanakan di PSMP Antasena. 2. Penerimaan (intake) Dalam tahap ini yang dilakukan adalah (1) pemanggilan, (2) registrasi, (3) pengasramaan/akomodasi, (4) penyiapan file. Tahapan ini dilaksanakan oleh seksi program dan advokasi sosial (PAS), seksi rehabilitasi sosial, dan pekerja sosial dibawah pengawasan langsung kepala panti. 3. Asesmen dan perumusan masalah. Asesmen yang dilakukan dalam tahap ini, yaitu (1) problematika psikososial, (2) vokasional, (3) perumusan rencana pelayanan. Tahapan ini dilaksanakan oleh seksi program dan advokasi sosial (PAS), seksi rehabilitasi sosial, dan pekerja sosial dibawah pengawasan langsung kepala panti. 4. Bimbingan dan pelayanan sosial Tahap ini dilaksanakan oleh seksi program dan advokasi sosial (PAS), seksi rehabilitasi sosial, dan pekerja sosial dibawah pengawasan langsung kepala panti. Kegiatan bimbingan dan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
67
pembinaan yang diberikan meliputi: (1) Bimbingan fisik, untuk memulihkan kesehatan/perawatan diri, kebugaran, kondisi fisik klien serta tersalurkannya potensi dan kegemaran yang positif serta tertanamnya kedisiplinan dan sportifitas. Kegiatan bimbingan fisik terdiri dari senam ksegaran jasmani (SKJ), olah raga kebugaran, MFD, dasar beladiri, pemeliharaan kebersihan lingkungan, dan kubro siswo. (2) Bimbingan mental, terdiri dari mental psikologi, kesehatan mental, dan mental agama. (3) Bimbingan sosial, untuk memulihkan dan mengembangkan tingkahlaku yang positif sehingga mampu melaksanakan relasi dan interaksi sosial dengan baik. Meliputi dinamika kelompok, kemasyarakatan, etika sosial, kesenian musik, gamelan, kesadaran hukum, morning meeting, dan pramuka. 5. Resosialisasi Kegiatan yang dilaksanakan oleh seksi program dan advokasi sosial (PAS), seksi rehabilitasi sosial, dan pekerja sosial dibawah pengawasan langsung kepala panti ini meliputi bimbingan kesiapan keluarga dan masyarakat untuk menerima kembali eks klien sepulangnya dari PSMP Antasena nanti, bimbingan hidup bermasyarakat pada klien, penyaluran dan bimbingan usaha kerja. 6. Penyaluran dan pembinaan lanjut Kegiatan dalam tahapan ini dimaksudkan sebagai sarana untuk memantau perkembangan perubahan tingkahlaku positif secara fisik, sosial dan keterampilan serta usaha kerja sekaligus memberikan bimbingan dan konsultasi peningkatan hidup bermasyarakat dan peran serta dalam pembangunanan, peningkatan usaha kerja, serta bimbingan terhadap kendala yang dialami klien setelah selesai mengikuti rehabilitasi sosial di PSMP Antasena Magelang. Tahap ini dilaksanakan oleh seksi program dan advokasi sosial (PAS), seksi rehabilitasi sosial, dan pekerja sosial dibawah pengawasan langsung kepala panti. 68
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
7. Terminasi Kegiatan dalam tahapan ini adalah melakukan rujukan. Rujukan diberikan pada kepolisian apabila klien terutama dengan status “titipan” kepolisian ataupun ABH tidak menunjukkan adanya perubahan. Rujukan juga ditujukan pada rumah sakit jiwa bagi klien yang mengalami gangguan mental. tahapan dalam kegiatan ini dilaksanakan oleh seksi program dan advokasi sosial (PAS), seksi rehabilitasi sosial, dan pekerja sosial dibawah pengawasan langsung kepala panti. C. Pembinaan Lanjut Pemahaman tentang pembinaan lanjut Pemahaman tentang pembinaan lanjut dari unit fungsional maupun struktural di PSMP Antasena ternyata berbeda-beda. Bagi unit struktural, pembinaan lanjut dilaksanakan untuk mengetahui seberapa besar keberhasilan eks klien setelah keluar dari panti. Indikator yang diukur diantaranya, keberadaan eks klien, aktivitas yang dilakukan, perkembangan perilaku (mental, rohani, fisik, kesehatan dan usaha kerja), serta meningkatnya kesiapan dan kemampuan kerja. Selain itu, memonitoring kemandirian eks klien dan apabila belum mandiri (belum mempunyai usaha sendiri), akan diarahkan oleh petugas panti untuk mencari usaha yang tepat dan sesuai dengan minat, serta diajarkan cara membuat proposal, dan cara mengajukannya. Sedangkan menurut kelompok fungsional pekerja sosial, pelaksanaan pembinaan lanjut masih belum dipahami standar operasional (SOP) nya. Pengertian pembinaan lanjut dan monitoring masih membingungkan pekerja sosial dan petugas panti. Pelaksanaan Pembinaan Lanjut Dari hasil pengamatan dan wawancara, kegiatan pembinaan lanjut di PSMP Antasena saat ini dilaksanakan oleh seksi rehabilitasi sosial. Kegiatan pembinaan lanjut dilaksanakan dua
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
69
kali setahun selama dua tahun setelah klien selesai mengikuti program rehabilitasi di PSMP Antasena. Alat yang digunakan dalam kegiatan binjut ini adalah satu set instrumen atau daftar isian yang akan diisi setelah berjumpa dengan eks klien di rumahnya masing-masing. Daftar isian yang digunakan ini, menurut peneliti masih bersifat monitoring. Informasi yang didapat masih kurang. Jauh dari tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan pembinaan lanjut ini. Hal ini diakui pula oleh pihak panti. Selain mengisi daftar isian (instrumen), petugas panti juga memberikan motivasi pada eks klien untuk membuat proposal pengajuan bantuan Usaha Ekonomis Produktif (UEP). Apabila ada eks klien yang berminat, maka proposal akan ditindaklanjuti oleh panti, dan biasanya eks klien akan menerima bantuan stimulan ini beberapa bula kemudian. Bagi eks klien yang menerima bantuan, proses pembinaan lanjut akan diperpanjang, sebab petugas panti akan memonitor apakah bantuan ini memang digunakan sebagaimana mestinya atau tidak. Selain itu menginformasikan tentang bantuan stimulan yang ada, petugas panti juga biasanya menginformasikan apabila ada pihak dunia usaha sebagai jejaring kerja panti yang memerlukan anakanak eks klien untuk bekerja ditempatnya. Setiap eks klien yang telah menyelesaikan program rehabilitasi dan pelayanan sosial di PSMP Antasena mendapatkan juga pembinaan lanjut di tempat tinggalnya masing-masing. Petugas panti akan mendatangi sesuai alamat terakhir yang tercatat dalam arsip panti. Faktor pendukung dan penghambat Faktor pendukung Pelaksanaan pembinaan lanjut didukung oleh faktor semangat dan motivasi petugas panti, kerjasama yang baik antara panti dengan dinas sosial, aparat setempat, keluarga, dan jejaring kerja. Data yang lengkap mengenai eks klien (by name by adress), jejaring kerja, serta sarana dan prasarana penunjang.
70
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Faktor penghambat Pelaksanaan pembinaan lanjut juga mengalami hambatan atau kendala, diantaranya: (1) Tempat tinggal eks penyandang masalah yang menyebar, beragam, dan cukup jauh, (2) ada beberapa dinas sosial kabupaten yang kurang mendukung program panti, (3) Koordinasi rutin belum dilaksanakan dengan semua stake holder, (4) Sosialisasi rutin kurang dari 50%, (5) Anggaran terbatas, (6) Pemahaman tentang pembinaan lanjut masih beragam, (7) Belum tersedia panduan pembinaan lanjut yang representatif. D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Profil eks klien Tabel 8, menjelaskan kondisi sepuluh eks klien yang dijadikan informan dalam penelitian. Mulai dari tahun masuk panti, jenis program yang diterima didalam panti, sifat program yang diikuti selama dalam panti, dan jenis bantuan yang diterima. Tabel 8. Kondisi informan eks klien No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
informan AF AB R HA NS IR W AS IY N
Tahun masuk 2009 2009 2009 2009 2010 2010 2010 2010 2010 2010
Jenis Program PBK PBK PBK PBK PBK
Sifat Program day care Reguler Reguler Reguler Reguler Reguler Reguler Reguler Reguler Reguler
Jenis Bantuan UEP UEP UEP UEP UEP UEP
Sumber: Seksi Rehabilitasi Sosial PSMP Antasena.
Tabel 9, mencoba menjelaskan secara sistematis, ringkas dan lebih lengkap kasus dan kondisi psikososial eks klien di PSMP Antasena yang dijadikan informan dalam penelitian ini.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
71
72
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
AB
R
HA
3.
4.
AF
1.
2.
Inisial
No KASUS
Keluyuran, berkelahi, komunikasi dengan orang tua buruk.
keluyuran, begadang, , malas belajar, komunikasi dengan orangtua sangat buruk. Dusun Tanom, Mabuk,minum Tanjung Anom, minuman keras, Kepil, Wonosobo begadang, keluyuran, komunikasi dengan orangtua sangat buruk.
Dusun Sepaten, Mardigondo, Kajoran, Magelang
Dusun Tirto, Grabag, Magelang.
Dusun Salembu, Mabuk, keluyuran, Citrosono, melawan orang Grabag, tua. Magelang.
ALAMAT
Januari 2009 s/d Desember 2009 Program reguler
Januari 2009 s/d Desember 2009 Program reguler
Januari 2009 s/d Desember 2009 Program reguler
Januari 2009 s/d Desember 2009 Program day care.
MASA PELAYANAN
Bantuan UEP satu unit kompresor dan seperangkat alat/kunci-kunci untuk servis motor
BANTUAN AFTER CARE
Bengkel motor dan toko onderdil motor .
Telah kembali bersosialisasi dgn masyarakat, menjadi panutan remaja ditempat tinggalnya,telah menikah dan secara ekonomi telah mandiri.
KEGIATAN / KONDISI SOSIALUSAHA AFTER PSIKOLOGIS CARE Bantuan UEP Bengkel motor Sudah ada perubahan kompresor dan bekerjasama perilaku,Stabil, sudah mampu peralatan bengkel dengan teman. mandiri, sudah menikah dan motor memiliki anak. Menjadi panutan anak muda disekitar tempat tinggalnya. Tidak menerima Tidak ada Lebih baik, sudah mempunyai bantuan kegiatan / rasa tanggungjawab, rasa usaha yang bersalah jika tidak membantu dilakukan. orang tua,bisa membedakan pergaulan yg baik atau salah. Aktif membantu bila ada gotong royong. Bantuan UEP Bengkel Melanjutkan sekolah, ingin perlengkapan rekondisi bantu orangtua, memilih teman rekondisi bola bola lampu di bergaul,aktif di masjid. lampu. rumah.
Tabel 9. Matrik Kasus Informan Di PSMP Antasena
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
73
IR
W
AS
7.
8
NS
6.
5.
Keluyuran dengang gang, begadang, berkelahi, dan melawan orang tua. “kongkow” dengan sesama pengangguran, begadang, melawan orang tua, mencuri.
suka keluyuran, begadang, malas belajar, berkelahi, dan melawan orang tua.
Desa Beren, begadang, minumKecamatan minuman keras, Kepil, Wonosobo penyalahgunaan obat, berkelahi dan mencuri
Dusun Senggana, Desa Campur Sari, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung.
Dusun Sengganen, Ngadirejo, Temanggung.
Dusun Grogol, Beran, Kepil, Wonosobo
reguler
Januari 2010 s/d Desember 2010 Program
Januari 2010 s/d Desember 2010 Program reguler
Januari 2010 s/d Desember 2010 Program reguler
Januari 2010 s/d Desember 2010 Program reguler
Tdak mendapat bantuan UEP.
Bantuan UEP kompresor dan peralatan standar bengkel motor secara berkelompok dan kemudian dijual hasil dibagi rata untuk dijadikan modal usaha
Kembali patuh pada orang tua, mau ikut bergotong royong dg masyarakat. sudah ada keinginan untuk bisa mandiri.
Mengumpulkan Patuh pada orang tua, mau barang bekas membantu orang tua, sayang pada adik-adiknya, dan mau ikut gotong royong disekitar tempat tinggalnya.
Usaha tambal ban
Membantu teman menjual onderdil motor bekas
Terlihat masih kurang percaya diri, dan kurang ulet dalam berusaha (tidak sabar). akan tetapi telah dapat meninggalkan kebiasaan buruknya sebelum masuk panti, dan telah patuh pada orang tua. Bantuan UEP Usaha Bengkel Sudah patuh pada orang tua, kompresor dan motor bersama aktif di organisasi remaja peralatan standar kakak. masjid, dan ada keinginan untuk bengkel motor mandiri.
Tidak menerima bantuan
74
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
10.
9.
N
IY
Dusun Segetuk, Kelurahan Gondang, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung Dusun Kemiri, Desa Sukorejo, Kecamatan Mojotengah, Wonosobo Begadang, mencuri
penyalahgunaan obat, minum minuman keras, berkelahi dan mencuri Januari 2010 s/d Desember 2010
regular
Januari 2010 s/d Desember 2010 Program
Bantuan UEP berupa gerobak berdagang es dan perlengkapan.
Menjual es dan gorengan di sekitar tempat tinggal
Tidak mendapat Bekerja di bantuan UEP. bengkel las
Telah ada rasa tanggungjawab dan ingin membantu orang tua, telah bisa memilih teman yang baik, dan rajin berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.
Telah ada keinginan untuk mencari pengasilan dan membantu orang tua.
Analisis kasus Hal penting yang bisa dianalisis dalam hasil penelitian ini, adalah sebagai berikut: a. Pada umumnya klien mempunyai kasus yang bervariasi dari kenakalan ringan sampai kenakalan berat bahkan sudah mengarah pada tindak kriminal. Setelah menjalani program rehabilitasi, pada umumnya klien telah mengalami perubahan daripada kondisi sebelumnya. Perubahan tersebut ditunjukkan dengan perilaku patuh pada orang tua, bersekolah kembali, dan hidup bermasyarakat serta selektif dalam memilih teman b. Eks klien yang dijadikan informan dalam penelitian ini secara umum menunjukkan dapat berfungsi sosial dalam masyarakat. Namun dari beberapa informan yang ada perubahan yang dihasilkan bervariasi. Ada yang dianggap telah berfungsi karena dapat mengembangkan usahanya dengan bantuan UEP yang diterimanya, dan bagi mereka yang tidak dapat membuat proposal dan tidak menerima bantuan UEP ataupun tidak mempunyai modal untuk berusaha dianggap gagal atau tidak dapat berfungsi sosial. Jika melihat situasi dan kondisi ini, sebenarnya tujuan panti belum tercapai. Hal ini karena keberhasilan seorang eks klien bukan diukur dari apakah dia mendapat bantuan stimulan, ataupun dapat melakukan usaha. Tetapi keberhasilan seorang eks klien yang telah selesai menerima pelayanan rehabilitasi sosial di dalam panti adalah apabila dia dapat melakukan fungsi-fungsi sosialnya dengan baik sebagai warga masyarakat dan sebagai warga negara. Dalam hal ini dia telah menyadari kesalahannya dan mau berubah, telah dapat bersosialisasi dengan keluarga maupun lingkungan tempat tinggalnya, ada keinginan untuk mandiri, ada keinginan untuk sekolah lagi, dan lain-lain. c. Program pembinaan lanjut memang merupakan bagian yang integral dalam rangkaian proses pelayanan sosial dan tidak dapat dianggap sebagai modalitas treatment yang berdiri
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
75
sendiri. Dalam hal ini ada continuity atau keberlanjutan, dan ini tidak bermakna program pembinaan lanjut harus dijalankan oleh panti, organisasi atau lembaga yang sama yang menyelenggarakan program rehabilitasi. Berdasarkan Petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (juknis) tentang pelaksanaan kegiatan rehabilitasi sosial khususnya pembinaan lanjut yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial RI cq Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial bahwa pembinaan lanjut merupakan keberlanjutan pelayanan namun menjadi tugas dan tanggungjawab panti itu sendiri. Hal ini menandakan telah terjadi over-role atau peranan yang berlebihan dari sebuah pusat rehabilitasi dalam penyelenggaran pelayanannya. Hal ini tidak sesuai dengan teori pelayanan dan rehabilitasi sosial dan tidak pula didasarkan pada evidence-based practice and research yang telah menjadi amalan lazim dalam pelayanan dan rehabilitasi di berbagai negara maju di dunia. d. Oleh sebab itu pelaksanaan program pembinaan lanjut tidak bersifat universal karena dalam realitanya klien memperoleh perlakuan berbeda. Jika program pembinaan lanjut merupakan bagian integral dari proses rehabilitasi maka program pembinaan lanjut seharusnya bersifat universal dan setiap eks klien eligible untuk mendapatkan segala bentuk bantuan dan pelayanan yang disediakan dalam program pembinaan lanjut. Hasil penelitian menunjukkan tidak setiap eks klien memperoleh bantuan UEP, hal ini akan memberi kesan kepada eks klien dan keluarganya bahwa telah terjadi diskriminasi dalam pemberian bantuan UEP pada program pembinaan lanjut. Hakekatnya jika program pembinaan lanjut mau dijalankan oleh pihak Panti maka setiap eks klien harus memperoleh perlakuan dan pelayanan yang sama. Jika faktor kesiapan eks klien baik secara fisik, mental dan sosial dalam melaksanakan kegiatan UEP maka menjadi tugas Panti untuk betul-betul mempersiapkan klien sebelum mereka dinyatakan
76
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
berhasil menjalani program rehabilitasi. Dengan demikian seharusnya pula, program rehabilitasi bagi anak nakal dan anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) harus bersifat universal-individual artinya program untuk semua klien namun disesuaikan dengan perkembangan, permasalahan dan kebutuhan masing-masing klien. Oleh sebab itu, pengakhiran pelayanan tidak boleh seragam waktunya untuk semua klien. Pengakhiran atau terminasi harus didasarkan kepada evaluasi menyeluruh mengenai kesiapan dan kemampuan klien. e. Pelaksanaan program pembinaan lanjut yang saat ini dilaksanakan oleh panti hanya didasarkan pada keputusan Direktur Jenderal yang tidak mengalami perubahan dari segi konten mengenai proses pelayanan di panti sejak era orde baru. Demikian pula proses pelayanan yang ada saat ini sebagaimana tercantum dalam keputusan tersebut tidak didasarkan pada kajian atau evidence based-practice terkini sejalan dengan perkembangan ilmu dan profesi pekerjaan sosial, praktek berbasis hak asasi manusia dan pengelolaan pelayanan (manage care) yang sistematik, sederhana, biaya murah dan efektif dalam hasil yang dicapai. f. Berdasarkan teori dan evidence based-practice yang terjadi di beberapa Negara yang pelayanan dan rehabilitasi sosialnya sudah demikian maju maka pelaksanaan pembinaan lanjut seharusnya dilakukan oleh pihak atau organisasi atau lembaga lain setelah klien selesai menjalani program rehabilitasi dan pelayanan sosial di Panti. Dengan demikian terjadi fairness dimana Panti harus dan sebaiknya hanya fokus mengurus pelayanan dan rehabilitasi dalam lembaganya, dan menyerahkan pembinaan lanjut kepada pihak lain.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
77
E. Penutup Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal diantaranya; 1. Pemahaman petugas panti sosial terhadap kegiatan rehabilitasi sosial cukup baik. Mereka telah melaksanakan tiap tahapan sesuai dengan prosedur tetap kegiatan rehabilitasi sosial. Akan tetapi pemahaman petugas tentang tahapan pembinaan lanjut masih kurang tepat. Mereka masih menggabungkan kegiatan monitoring dengan pembinaan lanjut secara bersamaan. Padahal dari segi pengertian maupun sasaran serta hasil yang diinginkan berbeda antara monitoring dengan pembinaan lanjut. 2. Jumlah tenaga fungsional pekerja sosial yang berjumlah 10 (sepuluh) orang masih kurang, berbanding dengan jumlah klien yang dilayani. Jumlah klien setiap angkatan lebih kurang sekira 145 orang, artinya setiap pekerja sosial memiliki tanggungjawab antara 14 sampai 15 orang klien. Kondisi ini dapat menjadikan beban pagi pekerja sosial, mengingat tingkat kesulitan dalam menangani anak nakal yang memiliki beragam karakteristik dan tingkat kenakalan. Selain itu kualitas pelayanan yang diberikan tidak maksimal. 3. Kebijakan yang terkait dengan program dan kegiatan rehabilitasi sosial didasarkan Keputusan Menteri Sosial Nomor 83/HUK/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial. Proses pelaksanaan pembinaan lanjut diserahkan pada masingmasing Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau panti. Hasil yang dirasakan setelah klien menerima pelayanan rehabilitasi sosial di dalam panti, menurut keluarga sangat membantu memereka memulihkan kondisi anak mereka yang tadinya
78
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
susah diatur dan sangat meresahkan. Untuk klien, dengan mendapat pelayanan rehabilitasi didalam panti, sangat membantu mereka dalam merubah perilaku buruk mereka, dan memberikan mereka keterampilan yang dapat dijadikan modal usaha. Bagi masyarakat, keberadaan eks klien yang telah kembali dari panti sangat melegakan. para eks klien tidak meresahkan masyarakat lagi, bahkan dapat dijadikan contoh bagi anak2anak yang nakal, dan panti dapat dijadikan rujukan. Keberadaan stakeholder dalam proses pelayanan rehabilitasi sosial tidak dapat diabaikan. Justru sangat membantu panti sebagai perpanjangan tangan panti di masyarakat. Juga sangat membantu dalam proses rehabilitasi klien. 4. Proses rehabilitasi sosial diPSMP Antasena sudah dilaksanakan sesuai dengan tahapan mulai dari penjangkauan sampai dengan terminasi. Akan tetapi kegiatan pembinaan lanjut dilaksanakan bersamaaan dengan monitoring, karena masih adanya kerancuan pemahaman antara monitoring dan binjut. 5. Belum adanya kesamaan pemahaman tentang pembinaan lanjut antara panti dengan dinas sosial. Bagi dinas sosial, pembinaan lanjut sebagai perpanjangan tangan panti. Sedangkan dalam kegiatan rehabilitasi sosial, pihak Dinas Sosial melakukan outreach pada calon klien, melaksanakan sosialisasi, mengantar calon klien ke panti, “menghantar” eks klien kembali ke keluarganya, memberi bantuan dana/uang saku untuk eks klien yang telah pulang. Pelaksanaan rehabilitasi sosial dan pembinaan lanjut sangat membutuhkan peranan dari stakeholder terutama pada saat penyaluran dan pemantauan eks klien kembali pada keluarganya dan masyarakat. 6. Dalam kegiatan rehabilitasi dan pembinaan lanjut terdapat faktor faktor pendukung yang dapat dimanfaatkan berupa; dukungan stake holder, jejaring kerja, keluarga, masyarakat, namun demikian dalam pelaksanaan juga menemukan faktor-
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
79
faktor yang dapat menghambat pelaksanaan yaitu anggaran yang kurang memadai, alamat eks klien yang suka berpindahpindah atau sangat jauh, pemahaman tentang pembinaan lanjut yang tumpang tindih dengan monitoring. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian ini, ada beberapa aspek yang perlu menjadi bahan rekomendasi untuk dilaksanakan oleh berbagai pihak, yaitu: 1. Penambahan tenaga fungsional pekerja sosial secara proporsional dengan jumlah klien 2. Peningkatan kapasitas pekerja sosial dan petugas panti antara lain melalui pendidikan, pelatihan, dan bimbingan teknis dan keterampilan. 3. Kegiatan pembinaan lanjut harus didasarkan pada model pelaksanaan yang direkomendasikan (terlampir) 4. Perlu evaluasi mengenai pembinaan lanjut secara terukur 5. Penyusunan dan pembuatan buku saku tentang pelaksanaan pembinaan lanjut khusus untuk digunakan dikalangan PSMP Antasena saja.
80
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
81
• Memantau kondisi eks PM sesaat setelah kembali ke rumah • Hasil pantauan digunakan untuk menentukan bentuk kegiatan binjut yang akan datang (rekomendasi/ disposisi) • Mendatangi setiap eks PM dan melakukan kegiatan sesuai rekomendasi hasil monitoring sebelumnya • Memotivasi eks PM untuk terus mandiri, menerapkan apa yg didapat selama di dalam panti • Memantau kegiatan usaha ekonomis produktif yg sedang dilakukan eks PM • Memotivasi eks PM utk serius berusaha dengan menyarankan membuat proposal bantuan stimulan UEP. • Memotivasi keluarga untuk terus mendukung anggota keluarganya (eks PM) kembali menjadi anak yang baik • Menghubungi RT/RW disekitar rumah eks PM untuk meminta tetap memantau, mendukung,membimbing, memotivasi eks PM dan keluarganya. • Mendatangi/menghubungi dinas sosial setempat untuk menjajagi apabila ada jenis bantuan yang akan diberikan dinas sosial kepada anak-anak eks PM.
1
2
Kegiatan
No. Bulan ke 3 pasca salur
Monitoring Bulan ke 3 setelah monitoring
Binjut 1 Bulan ke 3 setelah binjut 1
Binjut uep 1
Binjut uep 2 1 th setelah binjut 1
Matrik Model pelaksanaan Pembinaan Lanjut Klien Di PSMP Antasena Magelang
Lampiran : Binjut uep 2 1 th stlh binjut uep 1
82
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
• Mengunjungi rumah dan tempat usaha eks PM yang telah disetujui proposalnya. • Membawa bantuan stimulant UEP kepada eks PM. • Memotivasi eks PM untuk memanfaatkan bantuan yang diberikan semaksimal supaya bantuan tidak ditarik lagi. • Meminta dukungan keluarga/orang tua untuk terus membimbing anak mereka. • Meminta RT/RW untuk bantu memantau, memotivasi eks PM dalam berusaha. • Mendatangi rumah dan tempat usaha setiap eks PM. • Memotivasi eks PM untuk terus mandiri, menerapkan apa yang didapat selama di dalam panti. • Memantau kegiatan usaha ekonomis produktif yang sedang dilakukan eks PM. • Memberikan informasi peluang kerja bagi eks PM • Memotivasi keluarga untuk terus mendukung anggota keluarganya (eks PM) kembali menjadi anak yang baik. • Menghubungi rt/rw disekitar rumah eks PM untuk meminta tetap memantau, mendukung,membimbing, memotivasi eks PM dan keluarganya.
3
4
Kegiatan
No. Bulan ke 3 pasca salur
Monitoring Bulan ke 3 setelah monitoring
Binjut 1 Bulan ke 3 setelah binjut 1 9 bulan setelah monitoring
Binjut uep 1
1 tahun setelah binjut
Binjut uep 2 1 th setelah binjut 1
Binjut uep 2 1 th stlh binjut uep 1
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
83
Kegiatan
• Mengunjungi rumah dan tempat usaha eks PM yang telah diberi bantuan stimulan UEP. • Memotivasi eks PM untuk memanfaatkan bantuan yang diberikan semaksimal mungkin. • Meminta dukungan keluarga/orang tua untuk terus membimbing anak mereka. • Meminta rt/rw untuk bantu memantau, memotivasi eks PM dalam berusaha. • Merekomendasi dinas soisial, aparat setempat, bahwa panti telah selesai menangani eks PM dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab keluarga, dinas sosial (terminasi)
No.
5
Bulan ke 3 pasca salur
Monitoring Bulan ke 3 setelah monitoring
Binjut 1 Bulan ke 3 setelah binjut 1
Binjut uep 1
Binjut uep 2 1 th setelah binjut 1
Binjut uep 2 1 th stlh binjut uep 1 1 tahun setelah binjut UEP
84
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Bagian 4 PANTI SOSIAL BINA REMAJA (PSBR) NAIBONAT: TANTANGAN PENDIDIKAN MASA DEPAN Indah Huruswati
Remaja, masa dimana individu berkembang dan mengalami proses perubahan dari anak-anak menuju dewasa, yang ditandai proses pematangan fisik dan psikologis, serta merupakan situasi transisi dan pencarian identitas tentang siapa aku. Pengaruh diluar dirinya bisa merubah sikapnya. Remaja putus sekolah secara individu sama dengan remaja lainnya yang mempunyai keinginan, harapan dan kebutuhan serta potensi, tetapi karena suatu sebab, baik dari dalam diri maupun dari luar dirinya tidak bisa sekolah atau melanjutkan sekolah formal. Panti Sosial Bina Remaja memberikan alternatif pendidikan yang layak bagi persiapan anak terjun ke masyarakat. A. Pendahuluan Sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa kualitas pendidikan sumber daya manusia di NTT, tergolong rendah. Masih banyak penduduk yang berpendidikan rendah. Hal ini terlihat dari persentase penduduk usia lima tahun ke atas yang berpendidikan minimal tamatan SMP/sederajat sebesar 26,58% dari penduduk NTT yang berjumlah 4,6 juta jiwa. Angka melek huruf penduduk berusia lima tahun ke atas sebesar 83,35%, artinya, 83 dari 100 penduduk berusia lima tahun ke atas yang melek huruf. Sementara itu data dari Komnas Perlindungan Anak (Kompas, 18/3, 2012), menyatakan bila dicermati peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia cukup mengerikan. Perbandingannya adalah sebagai berikut, pada tahun 2006 jumlah anak putus sekolah masih sekitar 9,7 juta anak; namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Tidak ada keterangan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
85
dari Komnas Perlindungan Anak, apakah jumlah tersebut merupakan akumulasi data tahun sebelumnya, lalu ditambah dengan jumlah anak-anak yang baru saja putus sekolah. Tapi kalaupun jumlah itu bersifat kumulatif, tetap saja terasa sangat memprihatinkan. Di Nusa Tenggara Timur, sebanyak 19.781 anak usia sekolah yang tidak sekolah, lebih dari 62.000 lainnya tidak mampu melanjutkan sekolah mereka sehingga total ada sekitar 82.000 anak terbengkalai pendidikannya. Sebanyak 930.000 lebih anak usia sekolah saat ini tidak sepenuhnya menikmati pendidikan di sekolah yang jumlahnya diperkirakan sekitar lebih dari 5.502. Gambaran yang cukup memprihatinkan, remaja yang masih labil dan mencari identitas diri terpaksa putus sekolah; terpaksa meninggalkan teman-temannya yang masih terus bersekolah; dan terpaksa menelan kenyataan pahit sebagai manusia yang gagal dan tereliminasi. Ini adalah permasalahan sosial yang perlu mendapat perhatian. Data hasil penelitian Lembaga Penelitian Semeru (2008), alasan utama mengapa anak di NTT tidak melanjutkan sekolah ke SMP atau terpaksa putus sekolah adalah masalah akses fisik atau keterpencilan dan akses keuangan. Masalah akses fisik atau keterpencilan berkaitan dengan jarak yang jauh; jalan yang buruk, berbukit, becek, dan kadang harus melewati sungai tanpa jembatan; ketiadaan fasilitas SMP atau sekolah sederajat yang dekat; dan ketiadaan sarana transportasi. Masalah akses keuangan berkaitan dengan biaya penunjang sekolah dan kebutuhan keluarga sehari-hari. Biaya penunjang sekolah meliputi biaya-biaya transportasi, pembelian buku, LKS (lembar kerja binaan), peralatan sekolah, seragam, dan uang jajan. Ketidakberdayaan orang tua untuk memenuhi biaya penunjang pendidikan yang mahal tersebut menyebabkan anak merasa malu dan putus sekolah. Di NTT, akses keuangan juga berkaitan dengan ketidaksanggupan orang tua untuk membayar uang denda absen anak yang sudah bertumpuk (Lembaga Penelitian Semeru, 2008).
86
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Angka kemiskinan di provinsi ini merupakan yang terbesar kedua secara nasional. Menurut data Badan Pusat Statistik, dalam laporan bulanan statistik April 2011 jumlah penduduk miskin NTT mencapai lebih dari satu juta jiwa atau lebih dari 23% dari total jumlah penduduknya yang mencapai 4,6 juta jiwa. Anak tidak mau sekolah juga menjadi persoalan utama mengapa anak tidak melanjutkan sekolah ke SMP atau terpaksa putus sekolah. Anak tidak mau sekolah karena ia lebih memilih membantu orang tuanya yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi dengan bekerja/mencari uang. Selain itu, ia juga merasa tidak melihat masa depan yang lebih baik dengan melanjutkan sekolah. Harus diakui fenomena pekerja anak di NTT berkaitan erat dengan tradisi atau budaya membantu orang tua. Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak merupakan upaya proses belajar menghargai kerja dan bertanggung jawab selain dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada dunia kerja. Mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga. Namun demikian, sejalan dengan perkembangan waktu, fenomena anak yang bekerja,tentunya banyak berkaitan dengan alasan ekonomi keluarga (masalah kemiskinan) dan kesempatan memperoleh pendidikan serta faktor sosial dan lingkungan. Dari lapangan kerja yang digeluti oleh para pekerja anak, persentase tertinggi adalah pekerja anak di sektor pertanian (85,39%). Dapat dikatakan bahwa sektor ini merupakan ”penampung” sebagian besar pekerja anak yang pada umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai. Hal ini cukup beralasan karena memang sektor ini tidak terlalu menuntut pekerja dengan pendidikan yang tinggi sehingga memudahkan mereka untuk bekerja di sektor ini. Meski UU Ketenagakerjaan tidak membenarkan mempekerjakan anak di bawah umur 15
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
87
tahun, namun tampaknya masih banyak ditemui kasus-kasus pekerja anak. Satu peluang yang dapat diberikan Pemerintah dalam upaya memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi bagi anak-anak yang kurang memiliki kesempatan melanjutkan pendidikannya adalah dengan proses pembelajaran melalui panti sosial bina remaja. Pendidikan formal memang bukan segala-galanya, dengan kata lain pendidikan tidak hanya didapat melalui pendidikan formal atau yang sering disebut sekolah, tetapi pendidikan juga didapat dalam lingkungan informal yang bersumber dari keluarga, masyarakat dan lingkungan. Panti Sosial Bina Remaja Naibonat tampaknya terdorong mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi remaja di lingkungannya. Melalui pelayanan dengan sistem panti, dianggap sebagai alternatif terakhir apabila fungsi dan peran keluarga ataupun masyarakat tidak mampu memberikan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan anggotanya, terutama remaja yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya. Selain metode pembelajaran teori, mereka juga menyediakan pelatihan keterampilan menjahit, bordir, salon, komputer, perbengkelan. Tujuan akhir pelayanan semacam ini adalah keberfungsian sosial para binaannya, dalam arti remaja yang telah dididik dalam panti dan setelah keluar, dapat menerapkan ilmunya di masyarakat serta dapat memanfaatkan pengetahuan dan keterampilannya untuk memperoleh pekerjaan yang dapat menunjang kehidupan diri dan keluarganya. Ada beberapa tahapan pelayanan yang diterima mereka selama mengikuti kegiatan dalam panti, mulai dari tahap pendekatan awal; asesmen; perencanaan program pelayanan; pelaksanaan pelayanan; dan pasca pelayanan. Pada pasca pelayanan, mereka dipersiapkan untuk penghentian pelayanan, rujukan, pemulangan dan penyaluran. Ketika mereka sudah kembali ke masyarakat pun, mereka masih menerima pembinaan lanjut yang merupakan tahap akhir pelayanan dari serangkaian pelayanan yang diterima.
88
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Kegiatan ini ditujukan agar para remaja yang telah dibina dapat beradaptasi dan berperan serta di dalam lingkungan keluarga, kelompok, lingkungan kerja, dan masyarakat. Dari pembinaan lanjut yang merupakan tahapan akhir dari rangkaian proses pelayanan di panti, seringkali mengalami berbagai kendala. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan di Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) pada tahun 2009 (Puslitbang Kesos), menunjukkan bimbingan lanjut pada sebagian besar PSBR dilaksanakan terbatas pada eks binaan yang terjangkau oleh anggaran, atau dilakukan bersamaan dengan sosialisasi program lainnya di daerah. Kondisi tersebut terjadi karena pelaksanaan pelayanan belum sepenuhnya didukung oleh pedoman yang baku sehingga belum seluruh kegiatan dapat terlaksana optimal, yang berujung pada minimnya dukungan masyarakat termasuk dunia usaha terhadap eks binaannya. Oleh karenanya untuk mengetahui sejauhmana kegiatan pembinaan lanjut dilaksanakan dan dipahami, baik oleh petugas PSBR dan eks binaannya, maka penelitian terhadap PSBR Naibonat Kupang dilakukan. Tentunya ini dilakukan sebagai masukan bagi lembaga dan sekaligus menjadi bagian penting dari keberhasilan program pelayanan panti terhadap binaannya. Agar data dan informasi lebih akurat, peneliti melakukan kunjungan ke beberapa eks binaan PSBR untuk juga melihat dan mengamati hasil kerja mereka sebagai wujud keberdayaan mereka. B. Pengertian Putus Sekolah Dalam kehidupan masyarakat, setiap anak yang telah memasuki usia sekitar 7 tahun tentunya akan membutuhkan pendidikan, bisa didalam rumah tangga maupun dalam lingkungan yang formal seperti sekolah, kursus atau bahkan dalam lingkungan masyarakat. Di sini pendidikan diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan budaya
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
89
masyarakat. Pendidikan dapat pula diartikan sebagai sebuah proses timbal balik dari pribadi-pribadi manusia dalam menyesuaikan diri dengan manusia lain dan dengan alam semesta (Khaeruddin, 2003). Pada hakekatnya, pendidikan menjadi suatu keharusan bagi setiap manusia secara keseluruhan. Anak-anak berhak mendapatkan atau memperoleh pendidikan, baik secara formal, informal maupun non formal, sehingga pada gilirannya ia akan memiliki mental, akhlak, moral dan fisik yang kuat serta menjadi manusia yang berbudaya tinggi dalam melaksanakan tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat. Apabila karena suatu sebab, baik terpaksa atau tidak, anak pada akhirnya tidak dapat melanjutkan pendidikannya, dalam arti putus sekolah. Hal ini menjadi permasalahan yang membutuhkan perhatian berbagai pihak. Pengertian putus sekolah adalah seseorang yang telah masuk dalam sebuah lembaga pendidikan baik itu pada tingkat SD, SMP, maupun SMA untuk belajar dan menerima pelajaran tetapi tidak sampai tamat atau lulus kemudian mereka berhenti atau keluar dari sekolah. Pengertian putus sekolah dapat pula diartikan sebagai DropOut (DO) yang artinya bahwa seorang anak didik yang karena sesuatu hal, bisa disebabkan karena malu, malas, takut, sekedar ikut-ikutan dengan temannya atau karena alasan lain sehingga mereka putus sekolah ditengah jalan atau keluar dan tidak lagi masuk untuk selama-lamanya.(Bangong Suyanto et-al, 2001). Pendidikan formal memang bukan segala-galanya. Memang dalam kenyataan yang umum, tingkat pendidikan berpengaruh mutlak terhadap peluang bekerja, posisi di bidang kerja, tingkat salary dan fasilitas yang dapat dinikmati; menentukan pula terhadap perilaku individu dalam rumah tangga, serta tanggung jawab sosialnya. Dari data penduduk tentang angka putus sekolah di Indonesia, terlihat sangat memprihatinkan. Dampak langsungnya, banyak
90
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
ditemui pengamen cilik dan usia remaja bertebaran di jalan-jalan di seluruh wilayah negeri ini. Tidak hanya di kota-kota besar, mereka hadir sampai di desa-desa dan menyebarkan gangguan dan kecemasan. Memang terkadang “bekerja apapun” adalah sebuah pesan yang sangat jelas, meski sengaja disampaikan secara samar. Artinya, dalam rangka ‘berjuang untuk hidup’ atau demi melanjutkan gaya hidup yang terlanjur konsumtif bagi sebagian orang; bisa saja pada akhirnya, mereka menjadi pedagang asongan, pengamen, pengemis, kuli panggul, pencopet, pedagang narkoba; atau menjadi pembantu rumah tangga, kawin di usia dini atau menjadi pelacur muda. Ini adalah kenyataan hidup yang harus dihadapi. C. Pelayanan Rehabilitasi Sosial Bagi Remaja Pelayanan rehabilitasi sosial remaja adalah proses/bantuan pertolongan yang dilakukan secara terarah, terencana dan sistematis kepada remaja yang menjamin dirinya berkemampuan melaksanakan fungsi sosialnya secara memadai atas dasar profesionalisme. Pelayanan tersebut mencakup bimbingan sosial, psikososial, mental, fisik dan bimbingan keterampilan yang dilaksanakan dalam waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan dan masalah. Remaja dalam hal ini diartikan sebagai warga Negara Indonesia laki-laki dan perempuan yang berusia antara 15 s/d 18 tahun karena faktor tertentu mengalami putus sekolah SD, SLTP, SLTA dan terlantar. Anak Terlantar, adalah anak yang berusia antara 15 s/d dibawah 18 tahun yang karena beberapa kemungkinan seperti kondisi miskin/tidak mampu, salah seorang dari orangtuanya/wali pengampu sakit, salah seorang/kedua orangtuanya/wali pengampu atau pengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengampu/pengasuh, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
91
Kementerian Sosial mempunyai peran cukup strategis dalam upaya pemberdayaan remaja ini dengan memfungsikan lembaga pelayanan sosial yang sudah ada. Permasalahannya adalah apakah Kementerian Sosial telah memiliki segala perangkat yang diperlukan untuk pemberdayaan remaja dengan segala aspeknya, baik dari sisi kesiapan SDM, sarana dan prasarana serta program pengembangannya. Salah satu program pelayanan sosial yang dikembangkan oleh Kementerian Sosial untuk membantu remaja yang mengalami putus sekolah adalah melalui Panti Sosial Bina Remaja (PSBR). Didalam pelayanannya Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) memberikan pelayanan bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan terutama bagi remaja putus sekolah terlantar. Secara profesional, upaya ini diharapkan menghasilkan anak binaan yang memiliki kemampuan dan kemandirian serta berkembang secara wajar dalam masyarakat dan terhindar dari berbagai kemungkinan timbulnya masalah sosial baru, sehingga mereka dapat turut berpartisipasi aktif dalam pembangunan. D. Pengalaman Mengikuti Seleksi PSBR Naibonat Sebelum para remaja yang terseleksi memperoleh bimbingan di panti ini, PSBR Naibonat melakukan serangkaian kegiatan dalam merekrut calon binaan. Kegiatan ini sekaligus sebagai sosialisasi program atau penyebarluasan informasi umum tentang PSBR kepada masyarakat dan instansi terkait. Untuk memperoleh calon binaan sesuai dengan kriteria, tentunya amat sulit bila dilakukan oleh Dinas Sosial Kabupaten sendiri. Karenanya lembaga ini berkoordinasi dengan kelurahan/desa untuk mencari calon binaan. Bagi calon binaanpun memang ada prosedur yang harus dilakukan sebelum masuk PSBR, diantaranya harus melengkapi persyaratan administratif dan direkomendasikan oleh kelurahan/ desa, yang utama adalah persyaratan ketidakmampuan keluarga dalam memberikan pendidikan lanjutan bagi putra-putrinya.
92
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Masih banyak penduduk miskin di wilayah provinsi NTT ini yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Desa Naibonat sendiri yang berpenduduk sejumlah 9.649 jiwa (4.990 laki-laki dan 4.659 perempuan) dengan luas wilayah 22,47 km², memiliki rumahtangga miskin cukup banyak yaitu ada sejumlah 1.101 rumahtangga miskin. Sebenarnya, anak-anak bukannya tak mau bersekolah lebih tinggi. Namun, lebih karena keadaan orangtua mereka yang sebagian besar buruh perkebunan/ pertanian itu tak cukup membiayai sekolah. Hal ini juga diakui oleh sebagian besar anak binaan PSBR Naibonat. Pada akhirnya mereka mencari alternatif usaha untuk menambah pengetahuan sebagai bekal terjun ke masyarakat. Penerimaan calon binaan di PSBR Naibonat harus melalui beberapa prosedur dan lolos seleksi dengan berbagai persyaratan. Menurut para eks binaan yang sempat dikunjungi peneliti, mengatakan mereka diinformasikan dari kelurahan bahwa PSBR Naibonat meminta beberapa anak untuk bisa mengikuti kegiatan panti. Untuk mengikuti bimbingan tersebut, mereka harus melengkapi beberapa persyaratan administratif, diantaranya surat tidak mampu dari kelurahan, surat keterangan dari orangtua, surat kesehatan, rekomendasi dari Dinas Sosial kabupaten dilengkapi dengan ijasah, dan surat permandian atau akte kelahiran. Hal ini diakui oleh salah seorang pekerja sosial dari Dinas Sosial Kota Soe, yang mendampingi peneliti ketika berkunjung ke eks binaan. Dia mengatakan bahwa memang sebelum perekrutan calon binaan, PSBR telah melakukan kegiatan: pengiriman surat kepada Dinas Sosial kabupaten sekaligus sosialisasi dan informasi tentang pelayanan sosial panti, panti juga memberikan leaflet dan pemasangan spanduk penerimaan calon binaan. Kemudian setelah calon binaan dari desa terseleksi di Dinas Sosial Kabupaten, panti sekali lagi mengidentifikasi calon penerima pelayanan ini apakah telah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Baru setelah itu,
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
93
baik Dinas Sosial maupun panti melakukan pemberian motivasi kepada calon penerima pelayanan dan masyarakat dimana calon binaan bertempat tinggal. Satu tahun dua kali dilakukan pengiriman calon binaan ke PSBR, yaitu bulan Januari mengantar anak-anak calon binaan dan bulan Juni selesai dibina. Kemudian pada bulan Juli mengirim kembali anak-anak untuk angkatan kedua dan berakhir di bulan Desember di tahun yang sama. Memang PSBR Naibonat mempunyai jangkauan hingga seluruh wilayah Indonesia Timur, tetapi dalam kenyataannya anggaran untuk merekrut seluruh wilayah tersebut tidak cukup memadai. Untuk wilayah sekitar provinsi NTT pun dengan jumlah 22 kabupaten tidak cukup terjangkau. Pengalaman Nur dari Kota Soe, ketika awal masuk panti memang memerlukan upaya tidak mudah. Ia masuk ke panti pada bulan Januari hingga Juni tahun 2009 dan selesai mengikuti bimbingan keterampilan, diberi “Toolkit” sebagai modal bekerja di masyarakat. Begitu mendengar informasi dari kantor Dinas Sosial, dia langsung melengkapi persyaratan yang diminta. Memang tidak mudah karena usianya ketika itu 25 tahun, seharusnya ini sudah tidak masuk seleksi. Waktu itu keinginannya sangat kuat untuk memperoleh keterampilan menjahit. Dia tertarik dengan pendidikan yang diberikan PSBR dan keinginan membuka usaha menjahit, menguatkan niat untuk mendaftar ke kantor kelurahan. Sementara pada waktu itu keluarganya tidak mampu membiayai kursus tambahan. Agar diterima dan lolos seleksi, ia menggunakan ijazah SMP, meskipun waktu itu dia sudah menamatkan SMA-nya. Beberapa prosedur diikutinya, dari tahapan administratif dengan mengisi form dan memenuhi beberapa surat keterangan yang diminta, hingga wawancara. Akhirnya setelah menyelesaikan semua prosedur yang diminta, dan berkat keinginan yang kuat
94
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
untuk memperoleh pendidikan tambahan secara gratis, Nur diterima sebagai binaan PSBR tahun 2009. Ia diharuskan tinggal diasrama selama 6 bulan. Keterampilan yang diterima adalah menjahit, sebagai bimbingan keterampilan yang utama. Sedangkan bimbingan tambahannya adalah memasak (tataboga), bimbingan mental, olahraga. Ada jadwal untuk setiap kegiatan. Nur menganggap kegiatan-kegiatan yang diberikan oleh panti sangat bermanfaat karena bisa digunakan untuk bekal membuka usaha menjahit. Di panti ia diberi motivasi untuk bekerja. Banyak ilmu yang ia terima, sehingga begitu keluar dari panti, dimana sebelumnya tidak bisa menjahit, kini menjadi bisa membuka usaha menjahit sendiri. Setelah keluar dari panti, ia sempat magang dengan orang yang bisa menjahit. Kegiatan ini tidak terkait dengan panti. Ia bekerja dengan orang yang masih ada hubungan keluarga, yang berada di sekitar tempat tinggalnya di Soe. Selama magang di tempat itu, ia tidak digaji hanya diberi makan setiap hari. Yang ada dalam benaknya ketika itu adalah ia mampu membuka usaha jahit sendiri kelak. Kegiatan magang ini dianggap sebagai pembekalan bagi usahanya yang memang sudah menjadi cita-citanya sebelum masuk panti. Ia sempat mengikuti magang selama 8 bulan. Setelah itu, ketika ia merasa sudah cukup mampu untuk mandiri, ia mencoba untuk membuka usaha sendiri. Usianya ketika itu 25 tahun. Sudah keluar dari SMA. Memang menurut petugas Dinas Sosial, setelah calon binaan melengkapi persyaratan yang diminta, semua surat keterangan dan rekomendasi dari Dinas Sosial Kabupaten dikirim ke PSBR Naibonat untuk diseleksi. Kriteria umur yang harus dipenuhi yaitu dari 12 tahun hingga 20 tahun. Tetapi sewaktu Nur masuk, dia sudah berusia 25 tahun. Ini dianggap pengecualian karena ada motivasi kuat untuk memperoleh pelatihan yang diberikan panti. Dia mempunyai kemauan untuk mengembangkan dirinya. Agak berbeda jika yang diterima adalah anak-anak yang sama sekali tidak memiliki kemauan untuk berkembang. Salah seorang
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
95
petugas Dinas Sosial Kota Soe, yang mendampingi peneliti ketika berkunjung ke eks binaan, mengatakan, dari pengalaman mengurus dan menseleksi calon-calon binaan PSBR, mereka yang tidak memiliki kemauan untuk belajar, pasti tidak bisa menyelesaikan masa pendidikannya di asrama. Biasanya baru seminggu di panti (masa orientasi), dia sudah minta kembali ke keluarganya atau bahkan ada yang melarikan diri. Oleh karena itu agak sulit mencari calon binaan yang benar-benar memiliki kemauan untuk mengembangkan dirinya. E. Visi Dan Misi PSBR Naibonat Panti Sosial Bina Remaja mempunyai tugas memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat, promotif dalam bentuk bimbingan pengetahuan dasar, pendidikan, fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan, resosialisasi bimbingan lanjut bagi anak terlantar, putus sekolah agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan. (Kepmensos RI No 106/HUK/2009Pasal 22). Panti Sosial Bina Remaja Naibonat (PSBR) adalah salah satu unit pelaksanaan teknis (UPT) di lingkungan Kementerian Sosial RI, yang secara fungsional bertugas memberikan bimbingan pelayanan danrehabilitasi sosial terhadap anak terlantar putus sekolah yang berada di wilayah Indonesia bagian Timur yang meliputi Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), NTB, Bali, Maluku dan Irianjaya/Papua. UPT Bina Remaja Naibonat didirikan tahun 1979 dengan nama Panti Penyantunan Anak (PPA) dan secara resmi beroperasi pada tahun 1980. Pada tahun 1988 PPA diganti menjadi Sasana Penyantunan Anak (SPA) sesuai surat keputusan Menteri Sosial RI. No. 6/HUK/1988. Kemudian pada 23 April 1994 SPA berubah nama menjadi UPT Bina Remaja Naibonat Kupang, sesuai surat keputusan Menteri Sosial RI No. 4/HUK/1994, tentang perubahan UPT/Panti/ Sasana di lingkungan Departemen Sosial RI. UPT Bina Remaja (PSBR)
96
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Naibonat Kupang diklasifikasikan sebagai panti tipe C. Pada tahun 2000 ketika Departemen Sosial RI berubah menjadi Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN) kepemilikan UPT Bina Remaja (PSBR) juga beralih kepemilikan menjadi milik BKSN sekaligus menjadi Panti Percontohan. Perkembangan selanjutnya, tahun 2003 sesuai Kepmensos RI No. 59/HUK/2003 tentang Organisasi dan tata kerja UPT Bina Remaja di lingkungan Departemen Sosial maka PSBR Naibonat diklasifikasi menjadi Panti tipe B eselon III/b dan sejak 2009 berdasarkan Kepmensos RI No. 106/HUK/2009 berubah menjadi eselon III hingga kini. Sesuai visinya PSBR Naibonat Kupang bercita-cita mewujudkan citra dan kreatifitas berkarya bagi remaja menuju kemandirian dan kesetaraan. Sementara itu beberapa misi yang diemban, yaitu menciptakan lingkungan panti yang ASRI (Aman, Sehat, Ramah, Indah dan Religius); menjalin relasi yang baik dengan seluruh sistem sumber dan potensi bagi pemberdayaan remaja; meningkatkan kualitas pelayanan dan rehabilitasi sosial remaja putus sekolah terlantar; meningkatkan profesionalisme, etos kerja dan moral pelayanan yang mengakar pada profesi pekerjaan sosial; menjadikan Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Naibonat sebagai solusi handal dalam program pengentasan masalah remaja putus sekolah terlantar. F. Sarana Prasarana PSBR Naibonat PSBR Naibonat memiliki luas area sekitar 7 ha yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana fisik yang berasal dari sumber dana operasional APBN, yaitu terdiri dari 1 unit gedung kantor, 1 unit gedung konsultasi, 1 unit gedung lab komputer, 1 unit gedung showroom, 14 unit asrama, 3 unit gedung keterampilan (otomotif/ bengkel, menjahit, pertukangan), 1 unit gedung/ ruang kelas, gedung Aula, 1 unit gedung wisma tamu, poliklinik, sarana ibadah, dapur umum dan ruang makan, rumah negara yang diperuntukan sebagai rumah dinas, 1 unit gudang dan pos jaga.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
97
Tampaknya dari hasil pengamatan sebagian besar kondisi sarana dan prasarana yang dimiliki panti masih relatif terawat dan layak pakai. Hanya saja untuk beberapa peralatan keterampilan pada jurusan keterampilan tertentu seperti montir, menjahit dan tata rias terlihat alat-alat praktiknya usang atau tidak sesuai dengan perkembangan saat ini, diantaranya untuk praktik sepeda motor yang masih menggunakan buatan tahun lama. Hal ini dibenarkan oleh instruktur sendiri bahwa sebagian sarana praktek seperti sepeda motor masih menggunakan tahun lama. Kondisi sarana dan prasarana tersebut ditopang oleh minimnya dana operasional PSBR yang bersumber dari APBN melalui Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI. Pada prakteknya, dana tersebut dialokasikan untuk semua pos-pos belanja pegawai, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana panti, administrasi perkantoran dan pengadaan ATK, kegiatan sosialisasi dan seleksi, pelayanan dan bimbingan termasuk kegiatan keterampilan binaan, hingga biaya makan dan pakaian anak. Karena itu dana tersebut tidak mencukupi untuk kebutuhan revitalisasi alatalat praktik untuk jenis keterampilan tertentu yang membutuhkan updating sesuai perkembangan zaman. G. Pelaksanaan Pelayanan Di PSBR Naibonat Proses pelayanan dalam panti, diawali dengan pengisian form oleh calon binaan saat pendaftaran masuk, dan registrasi pencatatan calon binaan. Form ini berisi identitas, latar belakang keluarga, kondisi sosial ekonomi keluarga, tujuan masuk panti, jurusan keterampilan yang dipilih dan data-data lainnya. Selain pengisian form, calon binaan juga menyerahkan kelengkapan persyaratan administrasi seperti KTP, ijazah dan kelengkapan persyaratan lainnya. Berdasarkan form yang telah diisi, pekerja sosial atau petugas panti melakukan wawancara untuk memastikan kebenaran data dan informasi yang ditulis, dan sekaligus memperhatikan kondisi fisik calon binaannya.
98
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Hasil seleksi seluruh calon binaan dibahas dalam pertemuan panitia seleksi untuk menentukan calon binaan definitif. Dasar pertimbangan yang digunakan dalam menentukan calon binaan bisa diterima sebagai anak asuh/calon binaan di PSBR Naibonat adalah : 1. Tingkat pendidikan calon binaan 2. Usia calon binaan 3. Kelengkapan administrasi calon binaan 4. Minat dan bakat calon binaan 5. Jurusan yang dipilih calon binaan yang disesuaikan dengan kuota yang ada Sebenarnya jangkauan layanan panti ini sampai ke seluruh wilayah Indonesia Timur, tetapi karena anggaran tidak mencukupi akhirnya hanya mampu melakukan jangkauan hingga pulau-pulau di wilayah NTT saja, diantaranya pulau Sumba. Seluruh wilayah jangkauan ada 22 kabupaten. Menurut Kasie Rehsos: “Kita sudah minta kepada kementerian menambah alokasi anggaran untuk memberi pelayanan kepada anakanak dari wilayah timur. Anggaran yang ada sekarang ini hanya cukup untuk menjangkau 75 anak (sejak th 1999) itu hanya anak-anak dari NTT saja. Dan kami juga sudah lama meminta agar bisa menerima jumlah penerima manfaat lebih dari 75 anak dalam setiap angkatan, tapitidak pernah bisa terealisir. Memang anggaran sudah menggunakan standar biaya khusus (SBK), jadi penghitungan jumlah penerima manfaat dan jangkauan wilayah sudah dapat diprediksi sejak penyusunan anggaran di awal tahun anggaran. Kapasitas daya tampung panti, termasuk tenaga pengajar sebenarnya sudah siap untuk menerima layanan sejumlah 100 anak. Luas pantinya sendiri ada sekitar 7 ha, jadi tidak masalah dengan sarana yang telah ada”. Kegiatan asesmen menghasilkan identifikasi sejumlah permasalahan calon binaan yang nantinya digunakan sebagai bahan masukan dalam proses pelayanan. Selain itu hasil asesmen
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
99
juga digunakan sebagai bahan pertimbangan menentukan jenis keterampilan dan penempatan binaan dalam asrama. Penentuan jenis keterampilan diharapkan sesuai dengan bakat dan minat anak, sepanjang kuota masih memungkinkan. Sedangkan penempatan binaan dalam asrama diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi penumpukan anak yang berasal dari satu daerah atau satu etnis yang sama. Sesuai dengan tujuannya, PSBR Naibonat menerima binaan dengan kriteria remaja putus sekolah terlantar dengan batasan usia sekitar 15 hingga 18 tahun dan menerima rujukan dari lembaga lain, dalam arti dari panti asuhan anak, rumah singgah, lapas anak, RPSA dan sebagainya. Kriteria lainnya yang juga penting adalah anak tersebut berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi; mampu latih dan mampu didik (bukan tuna) serta tidak cacat. Untuk angkatan I kegiatan dimulai pada tanggal 1 Januari dan berlangsung hingga tanggal 30 Juni. Angkatan II dimulai tanggal 1 juli hingga tanggal 30 Desember. Setiap angkatan jumlah binaan ada 75 orang. Untuk bulan Desember, masa akhir kegiatan, kadang-kadang juga tidak pas waktunya. Melihat situasi dan kondisi, pernah juga tanggal 27 Desember harus diakhiri, karena ketika anak-anak angkatan pertama belum keluar, sudah masuk angkatan berikutnya. Hasil asesmen anak disimpan dalam file dan diserahkan kepada pekerja sosial atau petugas panti sebagai bahan dasar untuk perencanaan pelayanan. Sesuai dengan hasil asesmen ini, pekerja sosial bersama struktural menyusun rencana pelayanan selama 6 bulan ke depan yang meliputi jenis kegiatan, jadwal kegiatan dan petugas yang melaksanakan kegiatan. Jenis kegiatan yang disusun meliputi: pelaksanaan orientasi, pelaksanaan bimbingan sosial, kegiatan ekstra kurikuler, pemagangan dan pasca pelayanan. Perencanaan pelayanan ini disusun oleh seksi
100
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Rehabilitasi Sosial PSBR Naibonat, sedangkan pelaksanaan kegiatan melibatkan tenaga dari dalam dan luar panti. Masa orientasi merupakan tahap pengenalan program, kegiatan, petugas dan lingkungan panti kepada calon binaan. Kegiatan ini diisi dengan ceramah-ceramah dari kepala panti, kepala seksi/Sub bag TU, instruktur dan pekerja sosial yang ada di panti. Dalam masa orientasi ini juga diisi dengan pembinaan fisik dan disiplin oleh Kepolisian Sektor Kupang, ceramah tentang kesehatan dari Rumah sakit/Puskesmas Kecamatan dan Badan Narkotika Provinsi NTT. Kegiatan ini bertujuan agar binaan mengenal petugas dan program panti sekaligus untuk melatih kedisiplinan binaan. Kegiatan orientasi ini dilakukan selama seminggu sebelum kegiatan formal dilaksanakan. Pada masa orientasi ini, seringkali terjadi binaan ingin kembali ke rumah atau bahkan ada yang secara diam-diam kembali ke daerah asalnya. Kejadian ini cukup menyulitkan bagi panti, karena panti sudah diserahkan tanggungjawab membina anak-anak mereka oleh keluarga dan Dinas Sosial kabupaten yang mengirim mereka. Kalau sampai terjadi sesuatu hal terhadap diri binaan, panti sulit mempertanggung-jawabkannya. Beberapa kasus, anak yang melarikan diri tersebut berhasil dikembalikan ke panti dan ada juga yang diinformasikan sudah sampai ke daerah asalnya. Untuk menggantikan posisi binaan yang melarikan diri tersebut, panti harus mencari binaan pengganti. Hal ini bisa diperoleh dari dinas sosial kabupaten yang sama dengan asal binaan atau apabila panti kesulitan mencari binaan apalagi waktu pemberian kegiatan sudah mendesak, sebagai gantinya dicari binaan yang tinggal di sekitar panti, tentunya dengan memenuhi kriteria/ persyaratan yang sudah ditentukan. Seusai masa orientasi, binaan menjalani masa bimbingan setiap hari dari pagi jam 8.00 sampai denganjam 13.00.Dari pagi mereka melaksanakan kegiatan fisik diantaranya senam pagi, olah raga dan gotong royong.Kegiatan olah raga antara lain volly
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
101
Pelatihan Otomotif yang dilakukan secara kelompok untuk setiap satuan pekerjaan.
Pelatihan menjahit diikuti oleh siswa perempuan.
Pelatihan Komputer & Pelatihan keterampilan mebeleir juga dilakukan perkelompok untuk setiap satuan kegiatan.
ball, futsal, sepak takraw, tenis meja dan bulu tangkis.Kegiatan ini dibimbing oleh petugas dari dalam dan luar panti dengan tujuan membentuk fisik binaan menjadi sehat dan bugar. Bimbingan keterampilan dilaksanakan setiap hari Senin sampai dengan Jum’at dari jam 09.00 - 12.45 (3,75 jam). Jenis keterampilan yang diberikan dibedakan atas dua jenis keterampilan. Keterampilan pokok, meliputi: menjahit, pertukangan kayu/
102
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
mebeleir, dan otomotif. Sedangkan keterampilan penunjang, meliputi: pertukangan batu, las listrik dan las karbit, tata rias dan tata boga, pertanian, elektro dan ukir. Bimbingan keterampilan dilakukan dalam bentuk teori di kelas dan praktek. Kegiatan ini diakhiri dengan magang kerja yang disebut Praktek Belajar Kerja (PBK) selama 1 bulan menjelang akhir pelayanan di perusahaan/ usaha pribadi. Terkait dengan lamanya waktu pembinaan di PSBR Naibonat, Kepala seksi rehsos memberikan tanggapan: “Kami pernah mengajukan usulan agar masa pembinaan diperpanjang menjadi 1 tahun jangan hanya 6 bulan, dengan dasar pemikiran bahwa apabila 1 tahun diberikan pembinaan, dianggap sudah cukup menguasai teknik keterampilan yang diberikan. Daya serap penerimaan materi pada anak-anak, berbeda satu sama lain. Anak-anak yang dari desa yang jauh dari kota, 6 bulan adalah waktu yang sangat singkat. Pelatihan yang penuh yang bisa diberikan hanya 4 bulan sementara waktu lainnya dihabiskan untuk kegiatan/bimbingan sosial. Tetapi usulan itu tidak pernah dipenuhi. Mental anak-anak belum siap ketika keluar panti dibekali dengan toolkit (harus mengelola toolkit sendiri) pada akhirnya toolkit yang diberikan tidak bisa digunakan karena pada dasarnya mereka belum siap dilepas. Apalagi ketika di panti, mereka melakukan kegiatan bersama-sama dengan teman-temannya (per kelompok), tetapi ketika keluar mereka harus bekerja sendirian”. Selain bimbingan keterampilan, para binaan diberikan juga bimbingan mental spiritual keagamaan yang dilaksanakan setiap hari oleh petugas dari dalam dan luar panti.Juga ada bimbingan etika dan budi pekerti. Tujuan kegiatan ini adalah untuk membentuk sikap mental yang kuat, berperilaku baik sesuai dengan norma dan memberikan pemahaman yang komprehensif menyangkut konsepsi agama yang diharapkan bisa dijadikan pedoman binaan dalam kehidupan sehari-hari. Ada satu kegiatan yang dilakukan setiap tahun, yaitu outbond di alam terbuka. Tidak seperti tahun-tahun lalu, tahun ini outbond dilaksanakan di luar kabupaten. Di tengah cuaca
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
103
yang dingin dan berkabut di sekitar bulan mei, PSBR Naibonat melaksanakan kegiatan Outbond. Tempat pelaksanaan yang biasanya di dalam kabupaten/kota Kupang kali ini dilaksanakan di kabupaten TTS, kabupaten yang terkenal akan cuaca dinginnya tepatnya di kota Soe yang berjarak sekitar 120 Km dari PSBR Naibonat. Kegiatan ini dirangkaikan dengan beberapa kegiatan di antaranya: pertandingan persahabatan Unit Layanan Sepak Bola dengan Tim Sepak bola junior kabupaten TTS, pertandingan persahabatan Voli tim Regular putra dan putri PSBR Naibonat dengan tim Voli putra dan putri SMKN 2 Kota Soe dan kegiatan pentas seni rakyat. Tujuan kegiatan ini bukan hanya mencari kemenangan dalam pertandingan tapi lebih untuk mempererat kebersamaan dan persahabatan antara PSBR Naibonat dengan masyarakat sekitar khususnya anak dan remaja di kabupaten TTS selain itu untuk menambah kepercayaan diri penerima manfaat dengan pertandingan persahabatan dan tampil di depan ratusan masyarakat dalam kegiatan pentas seni rakyat. Bimbingan sosial diberikan dalam bentuk ceramah, bimbingan individu dan bimbingan kelompok. Sedangkan materi bimbingan meliputi: pendidikan pancasila, kewirausahaan, etika sosial, kepemimpinan, kesehatan bagi remaja, bimbingan hidup bermasyarakat dan dinamika kelompok. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada sore hari, setelah istirahat siang. Sedangkan pelaksana bimbingan sosial adalah pekerja sosial fungsional dan petugas panti lainnya. Perilaku binaan terus diamati oleh petugas yang mendampingi mereka selama mengikuti kegiatan. Apakah binaan serius atau tidak dalam mengikuti kegiatan; atau ada/tidak keingintahuan untuk belajar; atau hanya asal ikut kegiatan saja. Terlihat dari bagaimana mereka bekerjasama dengan teman-teman dalam kelompoknya. Di sini bisa diartikan tujuan keberfungsian sosial tercapai atau tidak. Hal inipun bisa dilihat dalam kehidupan di
104
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
asrama. Ketika kembali ke masyarakat dan anak itu bisa berubah dari kondisi sebelum dibina berarti keberfungsian sosial tercapai. Pengamatan didalam panti dilakukan oleh petugas panti, pendamping, pengasuh asrama, pendamping keterampilan, instruktur, piketnya. Juga kepala seksi rehsosnya. Sementara pekerja sosial setelah bimbingan keterampilan, dia membina anak-anak setelah usai kegiatan. Sedangkan sore dan malam hari tugas diambil alih oleh pengasuh dan petugas Piket pagi dan malam. Pagi harinya ketika masuk kelas diserahkan kepada pendamping dan instruktur. Untuk menunjang proses kinerja pelayanan dan bimbingan, PSBR Naibonat memiliki sejumlah pegawai yang mempunyai kompetensi dan keahlian di bidangnya masing-masing, dengan susunan pegawai sebagai berikut: No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah SD 2 2 4 SLTP SMU 5 2 7 Diploma 2 5 7 Strata 1 17 8 25 Strata 2 3 3
Sumber: Profil UPT Bina Remaja Naibonat, 2011
Dari data tersebut terlihat bahwa tenaga yang paling banyak di panti ini berada pada tingkat pendidikan S1. Terkait dengan program rehabilitasi, staf seksi rehabilitasi sosial ada 9 orang. Mereka bertugas jaga piket bergantian satu hari 1 orang. Mereka juga bertugas sekaligus sebagai pendamping binaan. Instruktur dari luar, biasanya diambil dari perusahaan-perusahaan yang terkait dengan jenis keterampilan yang diberikan. Pengasuh juga bisa menjadi piket bila saat bertugas. Ironisnya, tenaga pekerja sosial yang ada di panti ini hanya ada 1 orang. Menurut petugas di sana, sulit mengajukan usulan jabatan fungsional pekerja sosial
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
105
di sana. Ada 2 orang staf di sana yang sudah mengusulkan untuk menjadi fungsional pekerja sosial sejak dua tahun lalu, tetapi hingga saat ini belum disetujui usulannya. Mereka mengatakan apabila tidak disetujui usulannya, maka mereka akan mengajukan jabatan fungsional lain, apakah itu sebagai fungsional perencana, atau sebagai peneliti. Ekstrakurikuler merupakan kegiatan tambahan yang bertujuan menggali potensi bakat dan minat binaan dalam berbagai bidang sesuai dengan sarana dan prasarana yang dimiliki panti. Sesuai dengan ketersediaan fasilitas PSBR Naibonat, kegiatan yang dilaksanakan meliputi: Bidang kesenian seperti band, rebana, organ tunggal, seni tari dan vokal, serta komputer. Kegiatan ini dilakukan 2 kali dalam seminggu. Setelah selesai mengikuti pelatihan keterampilan, yang merupakan tugas dan fungsinya seksi rehabilitasi sosial, data anak dan sekaligus pembinaannya diserahkan kepada seksi Program dan Advokasi Sosial (PAS). Ini menjadi tahap pasca pelayanan (terminasi dan bimbingan lanjut) yang merupakan akhir pelayanan selama berada di panti.Kegiatankegiatannya meliputi: bimbingan hidup bermasyarakat, evaluasi semua materi bimbingan sosial dan keterampilan, penutupan kegiatan secara resmi, pemberian toolkit, pemulangan binaan ke daerah asal, dan bimbingan lanjut. “Kami berharap remaja yang telah mengikuti pelatihan bisa tuntas dan menguasai betul keterampilan. Sehingga, kelak setelah lulus, selain bisa bekerja secara mandiri, juga bisa menularkan ilmunya kepada teman-teman lain di desanya atau tempat asalnya, khususnya bagi remaja yang belum memiliki pekerjaan. Harapannya bisa turut mengurangi angka pengangguran,” kata Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial PSBR Naibonat. H. Pemahaman Bimbingan Lanjut Oleh PSBR Naibonat Kegiatan akhir dari pelayanan binaan di panti berupa kegiatan evaluasi dalam bentuk ujian teori dan praktek sesuai
106
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
jenis keterampilan yang diikuti. Setelah itu, dengan berakhirnya masa pembinaan dilakukan acara penutupan secara resmi yang penyelenggaraannya diadakan di aula panti. Acara tersebut dihadiri oleh kepala dan seluruh staf PSBR serta seluruh binaan. Dalam kegiatan ini juga diserahkan toolkit yang diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai modal awal bagi eks binaan dalam membuka usaha. Selang setahun keluar dari panti, pihak panti melakukan bimbingan lanjut kepada eks binaan. Kegiatan ini dilaksanakan dalam upaya memantau perkembangan binaan setelah dalam jangka waktu tertentu kembali ke keluarga/masyarakat. Pembinaan/bimbingan lanjut sebenarnya dapat diberikan dalam berbagai macam bentuk, tergantung pada kebutuhan masing-masing eks binaannya dan merupakan bagian yang integral dalam rangkaian proses pelayanan sosial, serta tidak dapat dianggap sebagai modalitas treatment yang berdiri sendiri. Hal ini berkaitan dengan pemahaman umum bahwa setelah binaan menjalani program rehabilitasi primer di panti rehabilitasi, mereka masih memerlukan perawatan atau bimbingan lanjutan agar proses reintegrasi ke masyarakat dapat berlangsung lancar. Pada kenyataannya treatment tidak berhenti di dalam panti rehabilitasi melainkan terus berlanjut sampai binaan kembali ke masyarakat, mampu mengembangkan gaya hidup yang sehat dan menjadi manusia yang produktif (BNN,2008). Namun dalam kenyataannya, dari hasil penelitian ini diperoleh gambaran bahwa bimbingan lanjut dipahami sebagai monitoring dan evaluasi, juga dimaksudkan sebagai upaya memberi motivasi kepada aparat desa dan sekaligus melaporkan hasil pelayanan panti ke Dinas Sosial Kabupaten/Kota terkait. Hal ini sebagai bukti jangan sampai kabupaten/kota mengirim anak yang tidak ada manfaatnya, sehingga hasil pelayanan tidak dapat terlihat. Diharapkan Dinas Sosial Kabupaten sekaligus ikut memantau calon binaan yang dikirimnya ke panti.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
107
Sementara menurut Woodside dan McClam (2003), keberlanjutan pelayanan memiliki dua pengertian, yaitu 1). keberlanjutan berarti bahwa pelayanan yang diberikan pada klien tidak terputus dari tahap awal sampai terminasi dan keberlanjutannya; dan 2). keberlanjutan pelayanan berarti penyediaan layanan secara komprehensif. Didalamnya termasuk intervensi dengan dukungan dari lingkungan, memelihara hubungan dengan keluarga klien dan pihak-pihak lain dan jejaring sosial yang menghubungkan dengan pelayanan-pelayanan yang ada. Jadi sifatnya lebih menyeluruh dengan melibatkan unsurunsur terkait yang berada di lingkungan keberadaan eks binaan. PSBR Naibonat dalam melaksanakan bimbingan lanjut memang sudah menggunakan pedoman dan instrumen wawancara, namun lebih ditujukan kepada Dinas Sosial dimana binaan berasal untuk menilai eks binaan. Menurut Kepala Seksi PAS: ”Sebenarnya instrumen yang digunakan itu adalah instrumen monitoring evaluasi, yang padahal di tahun inipula juga ada kegiatan monitoring evaluasi selain bimbingan lanjut. Seharusnya monitoring evaluasi dulu dilakukan, baru melakukan bimbingan lanjut untuk lebih memantapkan program pengembangan usaha eks binaan. Kegiatan ini sekaligus juga untuk mengetahui apakah metode pelayanan yang diberikan panti sudah sesuai dengan kebutuhan, termasuk jumlah jam pelayanan yang diberikan kepada binaan”. Menurutnya, memang bimbingan lanjut yang dilakukan selama ini sifatnya masih monitoring. Menjadi beban yang cukup berat bagi PSBR, dengan pemberian pelatihan selama 6 bulan tapi dituntut hasil yang optimal dengan harapan binaan langsung bisa membuka usaha sendiri. Seperti dikatakan oleh Dinas Sosial Kota Soe: “apakah PSBR bisa memberikan bimbingan keterampilan lanjutan karena dari informasi yang diperoleh dari eks binaan, keterampilan
108
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
yang diberikan selama 6 bulan masih dianggap kurang memadai bagi mereka untuk langsung memiliki/buka usaha”. Memang hal ini juga diakui oleh Kepala Seksi Rehsos: “Anak-anak yang pernah dibina di sini umumnya kurang kritis atau kurang motivasi sehingga kegiatan yang diperoleh di panti tidak bisa dikembangkan di lingkungan tempat tinggal mereka. Tidak ada usaha untuk bekerja mencari penghasilan”. Bimbingan lanjut untuk tahun ini dilakukan pada tanggal 5-14 Maret 2012 yang ditujukan kepada eks binaan angkatan kedua tahun 2010 dan angkatan pertama 2011. Kegiatan ini dilaksanakan selama seminggu atau tergantung jauh atau dekatnya lokasi yang dikunjungi. Ada pembedaan program untuk kedua angkatan tersebut. Eks binaan angkatan kedua tahun 2010 mendapatkan program pengembangan usaha, tapi untuk eks binaan angkatan pertama tahun 2011 tidak ada lagi program pengembangan usahanya. Hal ini terkait dengan sistem anggaran yang berlaku pada tahun 2011 yang lalu, dimana ada pengefektifan pemanfaatan anggaran. Untuk tahun 2012 kegiatan bimbingan lanjut dilakukan di 12 kabupaten (dari 11 kabupaten untuk tahun 2010 dan 12 kabupaten untuk tahun 2011). Lokasi ini dipilih dari kabupaten yang sama untuk dua tahun angkatan, namun berbeda eks binaannya. Hal ini juga disesuaikan dengan besarnya alokasi anggaran yang tersedia untuk program bimbingan lanjut tersebut. Lokasi yang terpilih adalah kabupaten Manggarai Timur, Manggarai Barat, Manggarai, Ende, Sikka, Ngada, Lembata, Sumba Timur, Belu, Timor Tengah Utara, kabupaten Kupang dan Kota Kupang. Jumlah petugas yang melaksanakan bimbingan lanjut ini sebanyak 12 orang, terdiri dari pegawai TU, pegawai pada seksi rehabilitasi sosial dan seksi PAS serta dikoordinir oleh seksi PAS . Tampaknya perjalanan untuk melaksanakan bimbingan lanjut ini cukup menyulitkan bagi petugas panti, sebab umumnya
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
109
tempat tinggal binaan berada di daerah yang sulit dijangkau oleh alat transportasi. Apalagi ditambah dengan tidak ditemukannya eks binaan di alamat tersebut. Tidak semua eks binaan bekerja dan menetap di tempat asal. Diantaranya sudah ada yang bekerja di salon di Bali, Surabaya, atau ada juga yang merantau ke luar kota. Tidak semua laporan bimbingan lanjut yang disusun oleh petugas, bisa diperoleh peneliti. Namun dari beberapa informasi yang diperoleh, hasil yang dicapai adalah sebagai berikut: 1). Pihak aparat desa umumnya mendukung kegiatan eks binaan, terutama pembentukan kelompok usaha bersama; 2). Sertifikat otomotif yang diperoleh dari hasil pembinaan di panti dapat digunakan untuk memperoleh pekerjaan di perusahaan sebagai mekanik dan sebagai nakhoda pada kapal pesiar; 3). Keterampilan otomotif dapat digunakan untuk membuka bengkel motor dan tukang ojeg; 4). Untuk binaan wanita yang mendapatkan keterampilan menjahit, secara berkelompok membuka usaha jahit dan bordir; 5). Untuk binaan yang memperoleh keterampilan pertukangan/ mebeleir, bekerja pada perusahaan mebel yang cukup maju. Eks binaan yang kebetulan bertempat tinggal berdekatan, dapat memanfaatkan toolkit yang diberikan untuk membuka usaha bersama. Pemberian toolkit disesuaikan dengan perekrutan binaan diawal dan diberikan secara berkelompok. Biasanya setiap kabupaten diambil beberapa anak, misalnya ada anak yang memilih keterampilan perbengkelan dan ada yang menjahit, tentunya dibedakan antara angkatan 2010 dan 2011 meskipun berada di kabupaten yang sama. Kelompok laki-laki dengan usahamembuka bengkel dan anak-anak wanita dengan usaha menjahit. Satu kelompok biasanya terdiri dari 3-4 anak. Tampaknya dari beberapa kasus kelompok perbengkelan, yang sempat didatangi oleh peneliti, tidak semua anggota kelompok bekerja di bengkel pada waktu bersamaan. Ada yang mempunyai pekerjaan lain dan siangnya melanjutkan kerja di bengkel.
110
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Begitupun dengan kelompok menjahit. Tidak semua anggota kelompok bisa bergabung dalam satu tempat kerja. Pekerjaan bisa dibagi untuk penyelesaiannya dan ada yang bekerja secara bersama. Ada beberapa catatan petugas, terkait dengan temuan hasil bimbingan lanjut tersebut, yaitu: 1). Lokasi geografis yang sulit dengan jarak tempat tinggal yang berjauhan, menyebabkan eks binaan susah untuk bergabung dalam kelompok usaha bersama; 2). Kelompok usaha otomotif tidak dapat bertahan lama atau bubar karena toolkit yang diberi berupa kunci-kunci tidak dapat digunakan (drat/baut longgar); 3). Tidak ada modal untuk membeli peralatan yang baru; 4). Kepercayaan masyarakat terhadap hasil usaha eks binaan, masih kurang sehingga tidak ada konsumen; 5). Eks binaan menjahit, kurang percaya diri untuk membuka usahanya sendiri. Upaya yang dilakukan oleh petugas ketika melakukan bimbingan lanjut adalah memberikan motivasi kepada eks binaan untuk lebih percaya diri dalam melaksanakan pekerjaannya, dan untuk eks binaan yang dianggap mampu untuk melanjutkan usahanya dengan membentuk kelompok, disarankan untuk mengajukan proposal bantuan permodalan yang ditujukan kepada Dinas Sosial Nakertrans yang ada di wilayahnya. Selanjutnya petugas panti melakukan koordinasi dengan Dinas Sosial di kabupaten yang bersangkutan atas temuan lapangan dan menyarankan agar proposal eks binaan PSBR Naibonat mendapat perhatian. Kasus - Perkembangan Usaha Eks Klien: Nur diberi bantuan (toolkit) ketika keluar dari panti berupa 1 buah mesin jahit yang ditaruh ditempat sekarang dia membuka usaha. Sebenarnya bantuan itu diberikan untuk digunakan bersama teman-teman kelompok dari desa yang sama. Ada 5 orang yang bergabung dengan Nur, tetapi hingga saat ini
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
111
mereka tidak pernah datang dan mesin jahit digunakan oleh Nur untuk melanjutkan usahanya. Hingga sekarang usaha Nur semakin berkembang. Dia mampu menyewa ruang di pasar, memberikan kursus menjahit kepada masyarakat yang dilakukan di ruang usahanya itu. Untuk pengembangan usaha, setiap eks siswa diminta untuk membuat proposal untuk mengajukan bantuan sesuai dengan kebutuhan. Pada tanggal 5 mei 2012 Nur memperoleh bantuan lagi dari PSBR Naibonat berupa mesin bordir. Ini diberikan karena melihat usahanya berhasil dan Nur masih tetap melakukan hubungan baik dengan PSBR hingga saat ini. Ia juga masih sering dikunjungi oleh pihak panti maupun Dinas Sosial untuk monitoring usahanya. Penghasilan dari menjahit tidak bisa dia hitung karena langsung terpakai untuk kebutuhan hidup Usaha jahit dan mesin jahit yang diberikan dari program sehari-harinya. pengembangan usaha. Untuk sewa ruang dia harus membayar sebesar Rp. 135.000,- setiap bulan. Juga digunakan untuk transport, dan makan sehari-hari selama ia berada di kios jahit. Kendala selama pelatihan di PSBR: banyak siswa yang dibina di panti sehingga instruktur tidak bisa membagi perhatian kepada individu-individu siswa, sementara itu waktu pelatihannya juga singkat. Pada akhirnya dia hanya bisa menerima kondisi apa adanya. Sewaktu Nur masih di panti, dalam satu kelas menjahit ada sejumlah 30 siswa (laki-laki dan perempuan).
112
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
I. Penutup 1. Kesimpulan a. Generasi muda tampaknya semakin melihat pentingnya pendidikan bagi masa depan mereka, sehingga meskipun kondisi orangtua tidak memungkinkan mereka untuk memberi peluang melanjutkan pendidikan secara formal, ada upaya meningkatkan peluang bagi PSBR Naibonat untuk memberi alternatif pendidikan yang tidak hanya bisa dilakukan melalui bangku sekolah. Pendidikan non formal melalui bimbingan keterampilan, mental dan sosial dianggap mampu membekali mereka untuk terjun ke masyarakat bersaing dalam dunia usaha. Namun sayangnya, program yang sangat bagus hanya dilakukan dalam kurun waktu yang relatif singkat dengan anggaran yang terbatas. Membina manusia kreatif dan dapat bersaing dalam dunia kerja tidak cukup hanya dalam waktu 6 bulan. Apalagi jika dalam waktu terbatas tersebut, harus terbagi lagi dengan berbagai kegiatan yang sifatnya penanaman mental spiritual, ditambah lagi dengan jumlah binaan yang terlalu besar untuk pengajaran di setiap satuan kegiatan. b. Jenis-jenis pelayanan yang diberikan dengan fasilitas sarana prasarana diupayakan seoptimal mungkin oleh pihak panti, tentunya juga dengan memikirkan kebutuhan dan budaya lokal para binaannya. Hal ini terlihat dari pemberian toolkit yang berkelompok dan sesuai dengan yang dibutuhkan binaan dan kondisi tempat tinggal. Hanya sayangnya lagi, faktor geografis tidak pernah menjadi bagian pertimbangan sistem anggaran yang ada, menyamaratakan alokasi anggaran untuk seluruh wilayah nusantara tanpa memikirkan kesulitan jangkauan dan kemudahan transportasinya.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
113
c. Pemahaman terhadap bimbingan lanjut yang seharusnya sebagai mata rantai pembinaan yang tidak terputus, menjadi terpisah dan dianggap selesai pelayanan. Bimbingan lanjut dipahami sebagai monitoring evaluasi, sehingga instrumen yang digunakan masih bersifat pemantauan dan itupun ditujukan kepada Dinas Sosial Kabupaten dimana anak itu berasal. Keterbatasan anggaran menyebabkan tidak semua eks binaan diberikan bimbingan lanjut dan terjadi pemilahan kemudahan jangkauan lokasi ketika melaksanakan bimbingan lanjut. Petugas yang melakukan bimbingan lanjut itupun tidak dipertimbangkan kapasitasnya sebagai pembimbing dan fungsional pekerja sosial, tetapi lebih bersifat pemerataan untuk semua struktur yang ada di panti. 2. Rekomendasi a. Pelayanan berbasis masyarakat (communty-based services) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Paradigma pelayanan berbasis masyarakat ini dipicu oleh demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Mau tak mau kesejahteraan sosial masyarakat harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat. Sebagai implikasinya, peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnya. Ada kerjasama warga untuk memikirkan anak-anak putus sekolah di lingkungannya dengan pemerintah. Sebagai sebuah kerja sama, maka masyarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program layanan.
114
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
b. Seharusnya sebelum dilakukan bimbingan lanjut, diadakan dahulu monitoring evaluasi baru kemudian dilakukan bimbingan lanjut. Ini untuk mengetahui berhasil atau tidaknya pelayanan yang telah diberikan. Apakah mereka bisa buka usaha atau tidak. Disinilah kemudian dilakukan binjut atau bimbingan pemantapan kepada mereka yang telah berhasil menerapkan ilmu/keterampilan yang telah diperolehnya di panti. Setelah itu ada bantuan usaha ekonomis produktif atau dapat dikatakan sebagai pengembangan usaha. c. Lamanya dilakukan bimbingan lanjut, seharusnya juga menjadi pertimbangan. Apakah setahun setelah proses layanan bisa langsung dibinjut atau 6 bulan. Sehingga pada masa itu petugas binjut masih bisa bertemu dengan eks binaan dan melihat perkembangan mereka. d. Pengembangan usaha diperlukan ketika binjut sudah dilaksanakan. e. Bimbingan lanjut untuk PSBR Naibonat dalam kenyataannya harus memiliki pedoman baku yang dibedakan dengan penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya, karena terkait dengan masa depan remaja kita bahkan masa depan bangsa. Di dalam pedoman tersebut dicantumkan beberapa hal, yaitu: 1) Terkait dengan kriteria binaan (hal ini sebagai ketegasan kriteria proses penerimaan binaan panti), termasuk usia diterima sebagai binaan secara tegas. Tidak meloloskan anak yang usianya sudah tidak remaja lagi meskipun punya keinginan kuat untuk pengembangan dirinya. 2) Ada ketegasan koordinasi panti dengan instansi terkait termasuk Dinas Sosial Kabupaten/Kota dengan batasan kewenangannya. Koordinasi dimulai
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
115
sejak tahap perencanaan hingga bimbingan lanjut dan terminasi. Bila diperlukan dibuat semacam kesepakatan atau Surat Keterangan Bersama pelaksanaan kegiatan, apalagi bila bisa menerapkan pelayanan berbasis masyarakat (community-based services), hal ini sangat diperlukan. 3) Langkah-langkah pelaksanaan bimbingan lanjut, dan pihak-pihak yang dilibatkan dalam pelaksanaan ini serta pembagian peran/tugas secara tegas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kegiatan. 4) Pelaksanaan bimbingan lanjut mengikuti prosedur kerja dalam panti dan penanganannya untuk menjamin kepastian terlayaninya para pengguna pelayanansecara baik. 5) Ada indikator keberhasilan eks binaan sehingga dia perlu memperoleh bantuan pengembang usaha. 6) Ada ketegasan waktu dilaksanakannya bimbingan lanjut. 7) Perencanaan anggaran untuk program bimbingan lanjut perlu disesuaikan dengan jumlah binaan binaan dan menjangkau hingga ke lokasi eks binaan. 8) Instrumen bimbingan lanjut harus tersedia dan baku (ada standar). 9) Pelaporan bimbingan lanjut didokumentasikan yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk program layanan berikutnya.
116
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Bagian 5 STUDI TENTANG PEMBINAAN LANJUT (AFTER CARE SERVICES) DI PANTI SOSIAL BINA DAKSA (PSBD) Nurdin Widodo Hemat Sitepu
A. Pendahuluan Panti Sosial Bina Daksa (PSBD) merupakan unit pelaksana teknis yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga yang melaksanakan kegiatan operasional di bidang rehabilitasi sosial orang dengan kecacatan untuk mempersiapkan mereka agar memiliki berbagai keterampilan dan kesiapan mental, fisik, sosial yang dibutuhkan bagi kepentingan hidupnya secara wajar sebagai warga Negara dan sebagai anggota masyarakat. Pelayanan dan rehabilitasi sosial ini memadukan unsur-unsur pemulihan, pembinaan dan pengembangan secara tuntas melalui pelayanan akomodasi, bimbingan dan pelatihan, kesehatan dan terapi penunjang lainnya sehingga penyandang disabilitas tubuh dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat. Panti Sosial dalam UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, disebut sebagai Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yakni organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Menurut Harry Hikmat (dalam http://isearch.babylon.com/ Analisis Kebijakan pengembangan panti sosial, Harry Hikmat), tugas dan tanggungjawab panti sosial mencakup empat kategori, meliputi: (1) Bertugas untuk mencegah timbulnya permasalahan sosial penyandang masalah dengan melakukan deteksi dan pencegahan sedini mungkin ; (2) Bertugas melakukan rehabilitasi sosial untuk memulihkan rasa
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
117
percaya diri, dan tanggungjawab terhadap diri dan keluarganya; dan meningkatkan kemampuan kerja fisik dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mendukung kemandiriannya di masyarakat;(3) Bertugas untuk mengembalikan PMKS ke masyarakat melalui penyiapan sosial, penyiapan masyarakat agar mengerti dan mau menerima kehadiran kembali mereka, dan membantu penyaluran mereka ke pelbagai sektor kerja dan usaha produktif ; dan (4) Bertugas melakukan pengembangan individu dan keluarga, seperti mendorong peningkatan taraf kesejahteraan pribadinya; meningkatkan rasa tanggungjawab sosial untuk berpartisipasi aktif di tengah masyarakat; mendorong partisipasi masyarakat untuk menciptakan iklim yang mendukung pemulihan; dan memfasilitas dukungan psiko-sosial dari keluarganya. Sedangkan fungsi utamanya, antara lain sebagai: tempat penyebaran layanan; pengembangan kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi tempat di bawahnya (dalam sistem rujukan/referral system) dan tempat pelatihan keterampilan. Panti Sosial sebagai lembaga pelayanan kesejahteraan sosial, dalam melaksanakan kegiatannya terikat dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan Panti Sosial dalam praktek pekerjaan sosial, sebagaimana Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 50/HUK/2004), yaitu : (1) Mengacu kepada rambu-rambu hukum yang berlaku ; (2) Memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan ; (3) Menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat ; (4) Menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan sosial yang bersifat pencegahan, perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengem-bangan; (5) Menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang berkesinambungan ; (6) Menyediakan pelayanan kesejah-teraan
118
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
sosial berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya ; (7) Memberikan kesem-patan kepada klien untuk berpartisipasi secara aktif dalam usaha-usaha pertolongan yang diberikan ; (8) Memper-tanggungjawabkan pelaksanaan pelayanan kesejahteraan sosial kepada pemerintah atau masyarakat. Proses rehabilitasi sosial di Panti Sosial dilaksanakan berdasarkan profesi pekerjaan sosial. Menurut Siporin (1975) yang dikutip oleh Fahrudin (2002) dan Sukoco (1997), ada lima tahap pelayanan sosial, yaitu: (1) engagement, intake dan contract, (2) asesmen, (3) perencanaan, (4) intervensi, (5) evaluasi dan terminasi. Berdasarkan Kepmenpan Nomor : Kep/03/M.PAN/1/2004 tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan angka Kreditnya diuraikan bahwa pelayanan sosial di dalam panti dilakukan melalui proses: (1) Pendekatan awal, (2) Asesmen, (3) Perencanaan intervensi, (4) Intervensi, (5) Evaluasi dan terminasi, (6) Bimbingan lanjut. Sedangkan tahapan (proses) pelaksanaan Rehabilitasi sosial Orang Dengan Kecacatan Tubuh Dalam Panti sesuai pedoman (2010) meliputi: (1) pendekatan awal; (2) penerimaan; (3) penelaahan dan pengungkapan masalah; (4) Rencana penempatan dalam program; (5) bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan; (6) resosialisasi; dan (7) pembinaan lanjut. Pembinaan lanjut merupakan proses akhir yang dilakukan setelah klien kembali ke keluarga/masyarakat. Pembinaan lanjut ini cukup penting sebagai usaha untuk melihat perkembangan klien pasca rehabilitasi sosial. Pembinaan lanjut ini dilakukan dengan cara melakukan kunjungan rumah (home visit) atau kunjungan ke tempat kerja dan sekaligus memberikan bantuan pengembangan usaha/ bimbingan peningkatan keterampilan eks klien. Berdasarkan prinsip-prinsip pekerjaan sosial, maka bimbingan lanjut dianggap perlu untuk dilakukan. Adapun tahapan dari bimbingan lanjut adalah sebagai berikut: 1. Menyusun rancangan kegiatan bimbingan dan pembinaan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
119
lanjut terhadap eks kesejahteraan sosial.
penerima
program
pelayanan
2. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial melalui bimbingan dan penyuluhan sosial. 3. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial melalui bimbingan dan pendampingan secara individual. 4. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial melalui koordinasi dengan pihak terkait. 5. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial dengan menggali dan mengaitkan dengan sistem sumber yang tersedia. 6. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial dengan menggali dan mengaitkan dengan memberikan bantuan pengembangan usaha. 7. Memantau perkembangan eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial dalam masyarakat. 8. Mengidetifikasi hambatan pelaksanaan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial. 9. Memberikan supervisi dalam pelaksanaan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap pekerja sosial di bawahnya. Pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan (RSODK) menjelaskan akan tugas dan fungsi PSBD dalam melakukan pembinaan lanjut. Sementara ini dijumpai permasalahan pelaksanaan pembinaan lanjut di berbagai panti sosial, antara lain:
120
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
1. Pembinaan lanjut dipahami hanya sekedar kegiatan monitoring, yang dilakukan dengan mengunjungi eks klien baik ke keluarganya maupun ke tempat kerja. 2. Mobilitas eks klien panti sosial cukup tinggi, tempat tinggal eks klien sering berpindah-pindah hingga ke luar daerah sehingga menyulitkan petugas panti sosial dalam melakukan pembinaan lanjut 3. Jangkauan pelayanan panti sosial yang cukup luas, tidak sebanding dengan kondisi SDM dan anggaran yang ada. 4. Belum berfungsinya lembaga pengirim untuk melaksanakan pembinaan lanjut pasca pelayanan panti sosial. Studi tentang pembinaan lanjut (After Care Services) di Panti Sosial Bina Daksa dimaksudkan untuk memperoleh gambaran faktual tentang: 1. Proses rehabilitasi sosial yang dilakukan oleh PSBD 2. Kebijakan, program dan kegiatan PSBD dalam pembinaan lanjut 3. Pemahaman petugas panti sosial terhadap pembinaan lanjut, dan pelaksanaan pembinaan lanjut yang dilakukan oleh petugas panti sosial 4. Hasil yang dicapai dari kegiatan pembinaan lanjut. (termasuk peran keluarga eks klien, masyarakat, dan jejaring kerja/stake holder) Hasil studi diharapkan sebagai bahan pertimbangan Kementerian Sosial dalam merumuskan kebijakan terhadap peningkatan pelayanan sosial PSBD terkait dengan kegiatan pembinaan lanjut.Studi ini menggunakan metode evaluasi dalam pendekatan kualitatif. Lokasi terpilih adalah di PSBD Budi perkasa Palembang dan PSBD Wirajaya Makassar. Informan studi meliputi kepala PSBD, seksi-seksi/sub Bag Tata Usaha, pekerja sosial fungsional dan instruktur. Untuk memperoleh gambaran kondisi
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
121
eks klien dari hasil pembinaan lanjut, ini akan dilakukan studi terhadap 5 eks klien di setiap PSBD. Kasus-kasus yang menjadi fokus penelitian ini pada rancangan awalnya dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut: 1. Eks klien yang telah memperoleh pelayanan/rehabilitasi sosial di panti sosial antara tahun 2009-2010 2. Lokasi tempat tinggal eks klien terdapat di 2 lokasi yang berbeda (kabupaten atau kota 3. Sumber data tentang kondisi eks klien diperoleh dari eks klien dan/atau keluarganya, pekerja sosial panti sosial, tokoh masyarakat dan unit lainnya yang berperan dalam pembinaan eks klien. Dalam pelaksanannya, pemilihan informan mengalami berbagai kendala, antara lain:
eks
klien
1. Meskipun informan eks klien ditentukan di 2 kota/kabupaten ternyata mereka tersebar di pelosok desa yang tidak terjangkau oleh kendaraan roda 4 atau roda 2 2. Masa rehabilitasi sosial di PSBD 2 tahun, sehingga hanya 20% yang dinyatakan selesai, yang penyebarannya hingga di luar provinsi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, focus group discussion, observasi dan studi dokumentasi terhadap berbagai dokumen terkait dengan studi. B. Gambaran Umum Panti Sosial 1. Kelembagaan Pendirian PSBD didasarkan Keputusan Menteri Sosial RI nomor 106/HUK/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial di lingkungan Departemen Sosial, dan merupakan Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kamenterian Sosial yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
122
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
kepada Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, dan secara fungsional dibina oleh Direktur Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat (sekarang Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan/RSODK). PSBD mempunyai tugas memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat kuratif, rehabilitative, promotif dalam bentuk bimbingan pengetahuan dasar pendidikan, fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan, resosialisasi, bimbingan lanjut bagi para penyandang cacat tubuh agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan, pemberian informasi dan rujukan (pasal 2 Kepmensos nomor 106/HUK/2009). PSBD dipimpin oleh seorang kepala dengan dibantu oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Seksi Program dan Advokasi Sosial, Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial dan kelompok jabatan fungsional serta koordinator Instalasi Produksi. 2. Sumber Daya Manusia Jumlah tenaga PSBD Budi Perkasa Palembang 75 orang sedangkan PSBD Wirajaya 69 orang, dengan tingkat pendidikan sbb: Tabel 10. Jumlah Tenaga Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
No. 1.
SD
2. 3. 4. 5. 6.
SLTP SLTA D3/Sarjana Muda S1 S2 Jumlah
PSBD Budi Perkasa 4 orang 3 orang 28 orang 3 orang 16 orang 2 orang 56 orang
PSBD Wirajaya
Jumlah
5 orang
9 orang
2 orang 10 orang 11 orang 35 orang 3 orang 69 orang
5 orang 38 orang 14 orang 51 orang 5 orang 122 orang
Sumber: PSBD Budi Perkasa dan PSBD Wirajaya, 2012
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
123
Selain memiliki pegawai tetap (PNS), PSBD Budi Perkasa juga memiliki 21 orang tenaga honor/kontrak yang meliputi tenaga instruktur keterampilan, operator computer, sopir, pramubakti, satpam dan juru masak. Sedangkan PSBD Wirajaya juga memiliki 25 orang tenaga honor dan kontrak meliputi: dokter umum, dokter orthopedic, instruktur, sopir, satpam, petugas dapur dan kebersihan. Pekerja sosial merupakan unsur pokok yang harus dimiliki oleh setiap lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan pelayanan langsung kepada klien. Data PSBD Budi Perkasa Palembang menunjukkan jumlah pekerja sosial sebanyak 8 orang, sedangkan di PSBD Wirajaya terdapat terdapat 15 orang pekerja sosial, 3 orang diantaranya akan memasuki masa pensiun sehingga yang aktif tinggal 12 orang dengan tingkat pendidikan yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 11. Jumlah Pekerja Sosial Berdasarkan Tingkat Pendidikan No. 1. 2. 3. 4.
Tingkat Pendidikan PSBD Budi Perkasa PSBD Wirajaya SLTA 3 orang 3 orang D3/Sarmud 1 orang S1 3 orang 8 orang S2 2 orang Jumlah 8 orang 12 orang
Jumlah 6 orang 1 orang 11 orang 2 orang 20 orang
Sumber: PSBD Budi Perkasa dan PSBD Wirajaya
Pekerja sosial di kedua PSBD ini terbanyak adalah golongan III dan IV. Mereka terpaksa melaksanakan pekerjaan sebagai pekerja sosial pelaksana, mengakibatkan mengalami kesulitan saat membuat laporan. Sebagian besar pekerja sosial di PSBD Wirajaya juga diperbantukan di seksi PAS, seksi Rehabilitasi sosial, Tata Usaha dan instruktur keterampilan 3. Sarana dan Prasarana PSBD Budi Perkasa dan PSBD Wirajaya mempunyai lahan yang cukup luas dan sarana prasarana yang cukup lengkap. Luas
124
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
tanah PSBD Budi Perkasa Pelembang 47.230 m2, sedangkan fasilitas/bangunan meliputi bangunan kantor, gedung/ruang: keterampilan, ruang teori, asesmen, instalasi produksi, pekerja sosial, bengkel prothese, asrama putera dan puteri, wisma tamu, koperasi, ruang data, studio music, dapur umum, dapur umum dan pos satpam. Selain itu terdapat 2 unit kendaraan roda 6, 6 unit kendaraan roda 4 dan 5 unit kendaraan roda 2, sedangkan sarana air bersih diperoleh dari PDAM dan 19 buah sumur gali. Sarana dan prasarana yang dimiliki PSBD Wirajaya meliputi sarana jalan, sarana bangunan (kantor, bengkel, aula, keterampilan, olah raga, poliklinik, perpustakaan, wisma tamu, asrama, poliklinik, masjid, workshop, dapur/ruang makan dan pos satpam), sarana mobilitas (kendaraan roda 4 dan 2) dan sarana kegiatan pelayanan. Kondisi bangunan relatif cukup baik, namun sarana dan bahan keterampilan pada umumnya masih menggunakan manual dan produk lama, seperti keterampilan otomotif/montir yang masih menggunakan motor lama dan menggunakan peralatan manual, yang kurang sesuai dengan kondisi pasar. 4. Sumber Dana Alokasi dana untuk terlaksaanya program pelayanan dan rehabilitasi sosial orang dengan kecacatan di PSBD berasal dari APBN Kementerian Sosial yang teralokasikan didalam DIPA setiap tahunnya. Secara umum anggaran ini terdiri dari a. SBK (Satuan Biaya Khusus) yakni anggaran pelayanan langsung sejak klien masuk panti hingga terminasi b. Non SBK meliputi anggaran untuk pendekatan awal, monitoring dan evaluasi, sosialisasi, pameran dan kegiatan perencanaan c. Belanja modal yakni anggaran untuk pembelian aset dan biaya renovasi
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
125
d. Belanja mengikat yang digunakan untuk belanja pegawai dan pemeliharaan rutin kantor Kebijakan pemerintah tentang pemotongan tahun 2012 sebesar 10% berpengaruh pada kegiatan operasional panti yang harus disesuaikan dengan skala prioritas. Bila dilihat dari total anggaran, persentase anggaran untuk kegiatan proses rehabilitasi sosial di PSBD Wirajaya di tahun 2011 dan 2012 sebesar + 33 %, sedangkan persentase anggaran untuk pembinaan lanjut hanya sebesar 0,04% (tahun 2011) dan 0,05 % (tahun 2012) dari total anggaran proses rehabilitasi sosial. Anggaran pembinaan lanjut yang tidak sampai 1 % mengakibatkan kegiatan ini hanya bisa dilakukan oleh 3 orang petugas dengan jangkauan wilayah terbatas. 5. Kondisi klien Wilayah kerja PSBD Budi Perkasa Palembang meliputi provinsi Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung. Daya tampung klien sebanyak 120 orang dan masa pelayanan 1 s.d. 2 tahun yang disesuaikan dengan kemampuan klien. Sedangkan kapasitas tampung PSBD Wirajaya maksimum 210 orang. Klien berasal dari kawasan timur Indonesia meliputi: Sulawesi, Maluku, Irian Jaya (Papua), Nusa Tenggara Tenggara dan sebagian Kalimantan atau terdiri dari 15 provinsi, 28 kota dan 170 kabupaten. Masa rehabilitasi sosial klien bervariasi antara 6 bulan s.d. 2 tahun yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman terhadap berbagai bimbingan di PSBD. Tingkat pendidikan klien yang sebagian besar tidak sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD berpengaruh pada proses rehabilitasi sosial klien di PSBD
126
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
C. Proses Rehabilitasi Sosial 1. Pendekatan Awal Kegiatan ini meliputi konsultasi, motivasi dan seleksi calon, dilakukan oleh PSBD dengan mendatangi instansi sosial kabupaten/kota dalam usaha menginformasikan program rehabilitasi sosial PSBD. Beberapa permasalahan terkait dengan kegiatan ini antara lain: a. Belum semua instansi sosial memiliki data akurat tentang penyandang disabilitas b. Sosialisasi tentang program rehabilitasi sosial dari Instansi sosial kepada masyarakat juga masih kurang. c. Banyak lokasi terpencil yang tidak terjangkau oleh kendaraan umum, biaya dan waktu mengakibatkan tidak semua daerah terjangkau oleh kegiatan pendekatan awal. d. Faktor budaya dan bahasa; tidak semua orang tua/ keluarga calon klien memahami bahasa Indonesia e. Beberapa permasalahan terkait pendekatan awal ini antara lain: ada keluarga yang menganggap proses rehabilitasi sosial 2 tahun terlalu lama, minta modal usaha, orang tua/keluarga tidak mengijinkan atau sebaliknya calon klien yang tidak mau f. Sistem administrasi keuangan cukup menjadi beban petugas dalam melaksanakan tugasnya 2. Penerimaan Pemanggilan calon klien yang memenuhi persyaratan melalui Instansi sosial setempat. Registrasi merupakan kegiataan penerimaan setelah klien diterima di PSBD. Beberapa permasalahan terkait dengan kegiatan ini antara lain: a. PSBD hanya menyediakan anggaran pemanggilan dan pemulangan klien
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
untuk
biaya
127
b. Bila tidak memenuhi persyaratan meskipun sudah datang, PSBD akan mengembalikan calon klien ke daerah asal terutama yang memiliki penyakit kronis seperti kusta yang belum dinyatakan sembuh oleh dokter dan penyakit menular lainnya. c. PSBD kadang-kadang mengalami kesulitan untuk mendatangkan calon klien kurang mampu dan berasal dari daerah-daerah terpencil. Sebagian besar Instansi sosial setempat juga tidak mempunyai dana talangan untuk biaya pengiriman calon klien. d. Banyak keluarga calon klien yang harus mencari biaya dulu untuk sampai ke PSBD. Hal ini mengakibatkan pengiriman calon klien sering terlambat, sehingga berpengaruh pada proses rehabilitasi sosial di PSBD e. Sesuai dengan kapasitas daya tampung, bila jumlah klien sudah terpenuhi ada sejumlah klien yang berstatus daftar tunggu 3. Pengungkapan dan Pemahaman Masalah (Asesmen) Asesmen ini dilaksanakan oleh pekerja sosial panti yang telah menerima diklat dari JICA yang bekerjasama dengan Balai Vokasional Cibinong. Asesmen ini meliputi: pemeriksaan aspek fisik, mental psikologis, pengetesan daya motorik sesuai tingkat pendidikannya, pemeriksaan dan wawancara aspek sosial (ADL), pemeriksaan dan pengetesan aspek vokasional. Beberapa permasalahan terkait dengan kegiatan asesmen, antara lain a. Hingga saat ini di setiap PSBD baru memiliki 2 asesor, karena tidak semua pekerja sosial bisa melaksanakan asesmen. Regenerasi masih menjadi hambatan karena hingga saat ini belum ada program diklat, baik diklat yang terkait dengan penyegaran petugas asesor yang sudah ada maupun diklat calon asesor.
128
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
b. Idealnya asesmen dilaksanakan selama dua bulan, namun saat ini hanya dilakukan 2 minggu, karena alasan efisiensi. Hal ini disikapi dengan tidak menggunakan semua alat untuk digunakan asesmen. Sementara ada PSBD yang menganggap waktu yang hanya 2 minggu masih kurang efektif. c. Idealnya asesmen dilakukan di dalam ruangan yang nyaman, kedap suara dan waktu yang tepat, namun belum dilakukan karena belum ada ruangan yang memenuhi syarat. Alat-alat asesmen juga banyak yang rusak dan belum diperbarui. 4. Rencana Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Rencana pelayanan dan Rehabilitasi sosial disesuaikan dengan hasil asesmen. Secara umum sebagian besar klien PSBD berasal dari keluarga ekonomi yang kurang mampu dengan latar belakang pendidikan dan tingkat kecerdasan terbatas, berasal dari desa-desa dan paling tinggi hanya lulus SD. Diantara mereka ada yang sama sekali belum pernah pergi ke kota. Klien yang belum mampu baca tulis harus mengikuti program paket A selama 6 bulan. Sedangkan klien yang dianggap telah mampu baca tulis bisa langsung mengikuti program rehabilitasi sosial 5. Pelaksanaan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Pelayanan dan rehabilitasi sosial klien meliputi: pelayanan makan, sandang dan asrama, pemeliharaan kesehatan, bimbingan fisik, bimbingan penggunaan alat bantu, bimbingan mental, agama, sosial dan keterampilan. Permasalahan terkait dengan kegiatan ini antara lain a. Teori dan praktek diberikan secara klasikal, sedangkan materi disesuaikan dengan kemampuan klien. Tingkat pendidikan dan masuknya klien yang berbeda-beda cukup menyulitkan instruktur dalam memberikan materi. Kondisi
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
129
fisik (kecacatan), mental dan temperamen serta budaya/ adat kebiasaan yang dibawa dari daerah asal menjadikan para instruktur harus sabar dan ekstra hati-hati dalam menyampaikan materinya b. Terbatasnya sarana dan bahan praktek, yang belum sepenuhnya mengikuti perkembangan jaman. c. Jumlah instruktur yang tidak sebanding dengan jumlah klien. Menurut instruktur di dalam kelas paling tidak ada 3 kelompok yakni: anak yang baru datang, anak yang lama, dan anak yang memerlukan bimbingan khusus. 6. Praktek Belajar Kerja (PBK), PBK merupakan kegiatan pengembangan keterampilan melalui magang kerja di tempat-tempat usaha yang menjadi mitra PSBD. Melalui PBK diharapkan klien juga bersosialisasi dengan dunia usaha, sekaligus belajar bagaimana mengelola usaha dan melayani pelanggannya. PSBD tidak menempatkan kegiatan PBK di perusahaanperusahaan besar, karena berdasarkan pengalaman, klien hanya melaksanakan pekerjaan sebagai petugas kebersihan, mencuci mobil dan pekerjaan lain yang tidak sesuai dengan keterampilan yang diperoleh di PSBD. Magang di perusahaan industri kecil/industri rumah justru lebih bermanfaat, karena klien diberikan pembinaan yang sesuai dengan keterampilan yang diperoleh di PSBD. Magang dilaksanakan selama 1 bulan. Beberapa kendala dalam kegiatan PBK antara lain: a. Waktu yang hanya 1 bulan dirasakan masih kurang. Namun perpanjangan waktu akan mempengaruhi proses rehabilitasi sosial. b. Penyesuaian diri dengan lingkungan PBK perlu proses, klien tidak langsung diberi kepercayaan untuk melaksanakan pekerjaan yang beresiko.
130
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
c. Bahan dan peralatan di perusahan/tempat usaha yang tidak sesuai dengan yang ada di PSBD, akibatnya klien menjadi canggung, kurang berani untuk menggunakan alat-alat yang belum pernah dikenalnya. Ada perusahaan yang menerima positif, selesai PBK klien langsung dipanggil untuk bekerja di perusahaannya. Tawaran ini belum sepenuhnya ditanggapi positif oleh klien, karena ada klien yang ingin kembali ke kampungnya. 7. Penyaluran, Bimbingan Lanjut dan Terminasi Kegiatan ini meliputi pemberian modal/paket kerja dan penempatan kerja/penyaluran yakni pengembalian klien ke daerah asal/instansi pengirim. Penempatan kerja merupakan kegitan panti dalam usaha membantu klien memasuki dunia kerja di perusahaan sesuai dengan keterampilan yang diperoleh panti. Kendala yang dihadapi dalam penyaluran klien antara lain: a. Instansi sosial kabupaten/kota belum memfasilitasi penyaluran kerja dan bantuan modal kerja b. Instansi pemerintah/swasta masih belum sepenuhnya peduli terhadap penyandang disabilitas Bimbingan Lanjut, yang dilakukan setelah klien kembali ke keluarga/masyarakat, sedangkan terminasi merupakan penghentian pelayanan bila klien dinyatakan layak untuk dihentikan pelayanan. D. Pembinaan Lanjut 1. Kebijakan Teknis Pembinaan Lanjut Secara umum pelaksanaan pembinaan lanjut mengacu pada pedoman Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan Tubuh Dalam Panti yang diterbitkan oleh Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan (RSODK) Ditjen Resos Kementerian Sosial RI tahun 2010. Pedoman ini menjelaskan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
131
tentang tahap pembinaan lanjut yang meliputi: (1) Bimbingan peningkatan kehidupan bermasyarakat dan berperan serta dalam pembangunan; (2) Bantuan pengembangan usaha/ bimbingan peningkatan keterampilan; dan (3) bimbingan pemantapan/peningkatan usaha. Secara teknis PSBD Wirajaya juga menyusun Teknis Kegiatan Bimbingan Lanjut. Petunjuk teknis ini mengatur tentang sasaran, pelaksana, indikator keberhasilan dan tahap pelaksanaan yang meliputi: pembentukan panitia, penentuan daerah, pengajuan proposal, dana dan teknis pelaksanaan. Petunjuk teknis ini masih sederhana karena belum memuat pengertian tentang bimbingan lanjut, seksi yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan bimbingan lanjut apakah seksi PAS atau Seksi Resos, siapa saja yang melaksanakan binjut apakah semua pejabat struktural dan fungsional terlibat, kegiatannya/ tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh pelaksana lapangan dan cara pelaksanannya. Meskipun demikian petunjuk teknis ini bisa dimanfaatkan sebagai pedoman petugas dalam melaksanakan pembinaan lanjut. Sedangkan di PSBD Budi Perkasa Palembang tidak secara khusus membuat pedoman sendiri, namun pelaksanaannya disesuaikan dengan anggaran yang ada. Hal ini terlihat pada kegiatan pembinaan lanjut yang dilaksanakan oleh PSBD Budi Perkasa Palembang tahun 2012 yang mengalami penyesuaian sebagai akibat kebijakan pemotongan anggaran sebesar 10 %. Kegiatan pembinaan lanjut yang direncanakan dilaksanakan di 10 lokasi terpaksa dilakukan hanya di 6 lokasi yakni 1 lokasi di ibukota provinsi Sumatera Selatan dan 5 kabupaten/kota lainnya di provinsi yang sama. 2 Pemahaman tentang Pembinaaan Lanjut Menurut pemahaman PSBD Budi Perkasa inti dari pembinaan lanjut adalah kegiatan monitoring yang ditujukan untuk melihat perkembangan klien pasca rehabilitasi sosial panti. 132
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Kegiatan ini dilakukan dengan cara melakukan kunjungan rumah (home visit) dan kunjungan ke perusahaan/ tempat kerja yang dilakukan oleh pekerja sosial, instruktur atau seksi rehabilitasi sosial panti, melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Kunjungan pertama ditujukan untuk melihat perkembangan klien pasca rehabilitasi sosial panti. Melalui kegiatan ini diharapkan teridentifikasinya permasalahan dan kebutuhan eks klien b. Kunjungan ke dua ditujukan untuk menindaklanjuti permasalahan dan kebutuhan klien. Petugas menghubungkan antara kebutuhan eks klien dengan system sumber yang tersedia. c. Kunjungan ke tiga yakni memberikan bantuan pengembangan usaha. Instruktur berperan aktif dalam usaha membantu eks klien mengembangkan usahanya sesuai dengan keterampilan yang diperoleh dari panti. d. Kunjungan ke empat yakni monitoring yang dilakukan oleh pekerja sosial Kegiatan ini disesuaikan dengan kondisi eks klien, Bagi eks klien yang masih memerlukan pembinaan, idealnya pembinaan lanjut dilakukan sebanyak 4 kali untuk setiap eks klien. Pembinaan lanjut oleh sementara staf PSBD Wirajaya juga dipahami dengan sebutan bimbingan lanjut. Pedoman Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan Tubuh Dalam Panti (2010) digunakan istilah pembinaan lanjut. Kegiatan ini meliputi: (1) bimbingan peningkatan kehidupan bermasyarakat dan berperan serta dalam pembangunan; (2) bantuan pengambangan usaha/bimbingan peningkatan keterampilan; dan (3) bimbingan pemantapan/ peningkatan usaha. Sementara dalam Profil PSBD Wirajaya Makassar (2011) digunakan istilah bimbingan lanjut yang meliputi
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
133
kegiatan bimbingan dan pemantapan kerja/usaha bagi klien yang dilaksanakan setelah klien dikembalikan ke daerahnya. Melalui kegiatan FGD (Focus Group Discussion) yang pesertanya pejabat structural dan fungsional PSBD Wirajaya menyebut dengan istilah bimbingan lanjut. Bimbingan lanjut ini dipahami sebagai kegiatan monitoring untuk melihat perkembangan eks klien, meliputi: pemberian motivasi, konsultasi tentang proposal yang telah dibuat, mengidentifikasi permasalahan eks klien dan menghubungkan antara kebutuhan/permasalahan klien dengan sistem sumber. 3 Pelaksanaan Pembinaan Lanjut. Penanggung jawab kegiatan pembinaan lanjut di PSBD adalah Kepala seksi Rehabilitasi Sosial, yang dalam pelaksanaannya melibatkan sebagian pekerja sosial fungsional dan instruktur. Alat yang digunakan adalah instrument (daftar isian) bimbingan lanjut, yang harus diisi oleh petugas/pekerja sosial. Pelaksanaannya mengacu pada pedoman dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Secara umum PSBD hanya mampu melaksanakan pembinaan lanjut dengan sasaran klien dan lokasi yang terbatas, dan tidak sebanding dengan luasnya jangkauan wilayah kerja. PSBD Budi Perkasa menetapkan sasaran pembinaan lanjut terhadap eks klien 5 tahun terakhir, namun pelaksanaannya disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Kebijakan pemotongan anggaran sebesar 10% di tahun 2012 ini juga berpengaruh pada kegiatan pembinaan lanjut, seperti di PSBD Wirajaya yang dirancang untuk 10 orang petugas, menjadi 3 orang. Sedangkan di PSBD Budi Perkasa hanya dapat dilakukan di provinsi Sumetera Selatan saja. Pelaksanaan pembinaan lanjut dilakukan selama 3 hari pp, setiap petugas diberikan transport, biaya penginapan dan uang harian.
134
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Pelaksanaan pembinaan lanjut diawali dengan identifikasi daftar nama dan lokasi tempat tinggal eks klien yang berada di wilayah tersebut. Sasaran pembinaan lanjut adalah semua eks klien yang berada di wilayah tersebut. Petugas yang melaksanakan kegiatan ini bisa juga sekaligus melaksanakan pendekatan awal, dan terminasi. a. Sesuai dengan anggaran yang tersedia dan kebijakan pemotongan 10 persen berdampak pada kegiatan pembinaan lanjut. b. Hambatan pembinaan lanjut antara lain: tempat tinggal klien yang cukup jauh dari transportasi umum, medan yang cukup berat dan tempat tinggal klien yang tidak menetap. c. Setiap petugas yang melaksanakan pembinaan lanjut diwajibkan membuat laporan. Melalui laporan ini dapat diketahui perkembangan klien setelah kembali ke keluarganya dan ada catatan yang perlu ditindaklanjuti. Keterbatasan anggaran panti mengakibatkan belum semua harapan dan keinginan klien bisa segera dipenuhi. Beberapa permasalahan terkait dengan pembinaan lanjut antara lain: a. Kurangnya pembinaan lanjut mengakibatkan PSBD sulit memantau perkembangan anak, sehingga tidak dapat diketahui apakah tujuan PSBD dapat dicapai? Berapa prosentase eks klien yang berhasil ? b. Kondisi sosial ekonomi orang tua klien yang sebagian besar berasal dari daerah-daerah terpencil, dan rendahnya tingkat pendidikan sebagian besar klien berpengaruh pada keberfungsian sosial klien di tengah-tengah keluarga dan lingkungan masyarakat, sehingga dikhwatirkan tujuan rehabilitasi sosial tidak tercapai c. Tidak
semua
instansi
sosial
dapat
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
memantau
135
perkembangan klien pasca rehabilitasi sosial panti, karena keterbatasan SDM dan dana. d. Petugas berusaha menjangkau eks klien meskipun lokasi tempat tinggalnya cukup jauh, terpencil dan tidak terjangkau oleh kendaraan umum atau dengan ojeg dengan dana terbatas. Petugas sering tidak bisa bertemu dengan eks klien karena pindah ke tempat lain yang tidak diketahui alamatnya. 4. Hasil Pembinaan lanjut PSBD Budi perkasa selama tahun 2010 pembinaan lanjut hanya dapat menjangkau 66 orang di 4 provinsi, dan tahun 2011 menjangkau 37 orang klien di 5 provinsi. Hal ini tidak sebanding dengan luasnya jangkauan wilayah kerja yang meliputi Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung. Hingga tahun 2011 PSBD belum melaksanakan pembinaan lanjut eks klien yang tinggal di Bengkulu, Lampung dan Kepulauan Riau. Hasil pembinaan lanjut yang dilaksanakan di PSBD Wirajaya Makassar tahun 2009 s.d. 2011 adalah sebagai berikut: a. Tahun 2009 dilaksanakan di provinsi NTB dan Sulsel (7 kabupaten/kota), melibatkan 3 petugas, menjangkau 25 eks klien b. Tahun 2010 dilaksanakan di provinsi NTB, Sulut dan Gorontalo (7 kabupaten/kota), melibatkan 3 petugas, menjangkau 35 eks klien c. Tahun 2011 dilaksanakan di provinsi Sultra dan Sulsel (3 kabupaten), melibatkan 3 petugas, menjangkau 26 eks klien Sesuai indikator keberhasilan sebagaimana pedoman (2010), hasil pembinaan lanjut berdasarkan studi kasus terhadap eks klien PSBD Budi Perkasa Palembang dan PSBD Wirajaya
136
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Makassar diperoleh gambaran sebagai berikut: a. Eks klien yang berhasil membuka usaha mandiri: 1) Kasus DP; wanita, cacat folio kaki kanan sehingga harus menggunakan tongkat, mengikuti keterampilan bordir dan menjahit selama 1 tahun di PSBD Budi Perkasa. DP mempunyai semangat tinggi, tidak mudah putus asa dan pantang menyerah. Suami DP juga penyandang disabilitas (amputasi kaki kiri) yang juga sama-sama alumni PSBD Budi Perkasa. Setelah menikah mereka membuka usaha penjahitan dan bordir dengan menyewa sebuah kios sebesar Rp. 5.000.000,-/tahun. Semangat pantang menyerah dibuktikan saat DP mengajukan proposal untuk mendapatkan bantuan peralatan/perlengkapan penjahitan ke Instansi Sosial setempat. Setelah dirasakan lambatnya tanggapan instansi ini, DP mengajukan permohonan bantuan ke Walikota Prabumulih yang kemudian memberikan bantuan mesin over deg senilai Rp. 5.000.000,- Meskipun penghasilannya baru Rp. 1.000.000,-/bulan, namun DP optimis usahanya memiliki masa depan yang cukup baik 2) Kasus Srf; wanita, merupakan satu angkatan dengan DP, dengan mengambil jurusan computer. Pendidikan SMA menjadikan Srf cukup mudah menerima materi yang diberikan oleh instruktur. Pasca rehabilitasi sosial Srf merintis usaha rental computer, penjualan pulsa dan asesoris HP serta penjualan barang kelontong bersama suaminya (penyandang disabilitas/teman seangkatan) yang membuka service HP. Sebagai modal awal Srf memanfaatkan seperangkat computer yang dilengkapi dengan printer serta sebuah disket bantuan PSBD Budi Perkasa Palembang. Orang tua Srf sangat mendukung kegiatan anaknya dengan menyediakan sebuah kios sebagai tempat usahanya.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
137
b. Eks klien yang tidak kembali ke keluarga: 1) Kasus 6 anak, wanita asal Sulsel, NTB dan NTT mengikuti keterampilan menjahit selama 2 tahun di PSBD Wirajaya. Mereka berasal dari NTB dan NTT sempat kembali ke daerah asal setelah mereka diberikan modal sebuah mesin jahit. Merasa belum memperoleh pengalaman yang cukup, mereka kembali ke Makassar dan bekerja di D’key Modis Makassar. Selain menerima upah, fasilitas tempat tinggal dan makan, mereka diajarkan keterampilan membordir dan membuat payet (motekmotek). Perusahaan juga memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilannya sehingga kelak bisa membuka usaha sendiri. Saat ini mereka merasa sudah ada perubahan, yang sebelumnya merasa rendah diri, malu, kurang percaya diri, tidak mau bergaul, menyendiri dan tidak pernah keluar rumah, namun saat ini mereka lebih percaya diri. 2) Kasus ES; perempuan, tamat SMA dengan jenis kecacatan tangan kiri tidak berfungsi sejak lahir, mengikuti program rehabilitasi sosial computer selama 1 tahun di PSBD Budi Perkasa. Prestasinya cukup baik, dan mendapat prioritas untuk mengikuti program lanjutan di Balai Besar Vokasional Cibinong selama 1 tahun. Kemudian bekerja sebagai kasir di sebuah salon di daerah Ciputat selama 2 tahun. Selama 2 tahun bekerja, gaji sebesar Rp. 600.000,-/bulan habis untuk biaya kontrak, makan dan kebutuhan lainnya. Kemudiaan orang tuanya memanggil untuk kembali pulang. Saat ini diajak temannya untuk membantu di counter HP, dan bekerja di sebuah Salon di Kota Palembang. ES cukup betah bekerja di salon, karena semua pegawai merupakan penyandang disabilitas tubuh binaan Loka Bina Karya (LBK) Dinas Sosial Kota Palembang. Ia cukup mandiri dan
138
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
mempunyai kepercayaan diri yang kuat, harapannya dapat membuka salon sendiri. 3) Kasus Ad, laki-laki usia 19 tahun, tamat SMP, cacat pada tulang punggung sebagai akibat kecelakaan, mengikuti keterampilan otomotif di PSBD Wirajaya Makassar 2 tahun. Pasca rehabilitasi sosial di PSBD, Ad bekerja pada bengkel motor milik Cina di Makassar dan hingga sudah berjalan 7 bulan dengan upah Rp. 600.000,-/bulan dan fasilitas makan. Ad mengakui pasca rehabilitasi sosial menerima bantuan modal kerja 1 set peralatan kerja, namun saat ini belum dapat dimanfaatkan, karena belum mempunyai tempat untuk usaha sendiri. Ad berharap akan peningkatan pengetahuan/ pengalaman sambil mengumpulkan modal, pada saatnya nanti akan kembali ke daerah asalnya untuk membuka bengkel sendiri dengan memanfaatkan modal kerja yang diperoleh dari PSBD 4) Kasus MA, laki-laki, mengikuti program rehabilitasi sosial di PSBD selama 2 tahun dengan mengambil jurusan elektronika. Sebelum memasuki kejuruan keterampilan, MA mengikuti program kesetaraan pendidikan (setara paket B). Hal ini dilakukan mengingat tingkat pendidikan MA hanya SD, sehingga masih memerlukan tambahan pengetahuan/ pendidikan untuk bisa mengikuti keterampilan elektronika. Melalui temannya, MA bisa bekerja di sebuah penjualan computer di Kabupaten Maros dengan pekerjaan utamanya adalah service computer. 5) Kasus Shr, laki-laki, cacat polio sejak lahir, mengikuti program rehabilitasi sosial di PSBD Wirajaya selama 2 tahun dengan mengambil keterampilan menjahit. Saat ini Shr bersama-sama penyandang disabilitas lainnya bekerja di Sandi Taylor yang pemiliknya juga merupakan alumni PSBD Wirajaya. Shr merasa masih banyak kekurangan terutama terkait dengan tuntutan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
139
konsumen yang menghendaki berbagai model baju dan celana. Sandi Taylor juga memberikan kesempatan kepada setiap anak agar bisa bekerja sesuai dengan kemampuannya. Bila sudah merasa mampu diberi kesempatan untuk mengembangkan usahanya di tempat lain. Shr juga berharap dalam waktu 2 sampai 3 tahun bisa mengumpulkan modal untuk menambah peralatan lain, dan akan kembali ke kampungnya untuk membuka usaha sendiri dengan memanfaatkan mesin jahit yang diberikan panti. 6) Kasus Nsh; perempuan, mengikuti keterampilan jahit selama 2 tahun. Nsh baru 2 bulan ini bekerja di penjahit Marlina, bersama dengan 2 penyandang cacat lainnya. Pemilik dan pekerjanya merupakan penyandang disabilitas tubuh dari PSBD Wirajaya Makassar. Masih dalam proses belajar, Nsh menerima upah sebesar Rp. 10.000,-/potong, dan dalam sehari memperoleh upah sekuitar Rp. 50.000,-, dan mendapat fasilitas makan dan tempat tinggal. Kondisi demikian menambah kepercayaan diri Nsh, karena bisa ia bisa bekerja dan menghasilkan uang. Setelah memperoleh pengalaman/pengetahuan dan modal yang cukup, Nsh akan kembali ke daerahnya untuk membuka usaha penjahitan sendiri. c. Kasus klien yang belum berhasil 1) Kasus EM, wanita, penyandang disabilitas (tidak mempunyai telapak kaki kanan) sejak lahir, mengikuti keterampilan menjahit di PSBD Budi Perkasa selama 1 tahun dan telah menikah. Tingkat pendidikan EM sampai kelas IV SD dan orang tuanya bekerja sebagai buruh. Pasca rehabilitasi sosial sifat pemalu dan rendah diri masih cukup nampak pada EM, meskipun menurut orang tuanya sudah jauh lebih baik dibanding sebelum masuk panti. EM tidak memperoleh bantuan mesin jahit dari panti.
140
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Orang tuanya pun juga tidak mampu membelikan mesin jahit. EM mendapat bantuan pinjaman mesin jahit dari keluarganya, yang dimanfaatkan untuk menerima jahitan dari warga sekitar. Usaha ini nampak tidak berkembang karena disamping kondisi lingkungan, juga kemampuan klien dalam bidang penjahitan masih terbatas. Warga masih menganggap EM hanya mampu menambal dan memperbaiki pakaian yang rusak, meskipun sebenarnya klien juga mampu memotong dan menjahit pakaian sebagaimana yang telah dipelajarinya di PSBD 2) Kasus AA, laki-laki, merupakan penyandang disabilitas (kedua kakinya polio melitis, sebelah kanan ringan, sebelah kiri berat), sehingga harus menggunakan dua tongkat saat berjalan. AA mengikuti keterampilan elektronika dan mendapatkan bantuan peralatan kerja seperti solder dan mata, toolset, multitester, rol timah, sedotan timah dan rak untuk tempat peralatan dari PSBD Budi Perkasa. Menurut petugas panti, selama mengikuti kegiatan klien tidak mempunyai prestasi menonjol. Latar belakang pendidikan yang hanya tamat SMP dan kehidupan sehariharinya yang lebih banyak mengamen di jalan sebelum masuk panti, menjadikan klien agak sulit menyesuaikan diri dengan kehidupan panti. Saat ini AA membuka service elektronika dengan memanfaatkan rumah milik kakaknya sebagai bengkel kerja. Usaha ini belum sepenuhnya berhasil karena sarana dan prasarana kerja masih terbatas dan mayoritas konsumen berasal dari golongan ekonomi lemah. 5. Analisis Pada awal pelayanan di PSBD para penyandang disabilitas tubuh yang menjadi sasaran studi mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas jika dibandingkan dengan orang yang normal karena secara fisik mereka mempunyai
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
141
kelemahan dalam tubuhnya. Kondisi ini menyebabkan mereka mengalami rasa rendah diri, sehingga mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan di panti. Namun pasca rehabilitasi sosial kondisi yang ditemui pada saat ini menunjukkan perilaku yang cukup signifikan dengan proses rehabilitasi sosial yang diberikan. Perubahan ini dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan PSBD yang memberikan pengaruh positif pada mereka. Perubahan dirasakan dan diakui oleh eks klien dan keluarga antara lain lebih percaya diri yang sebelumnya merasa rendah diri, malu, kurang percaya diri, tidak mau bergaul, menyendiri dan tidak pernah keluar rumah. Hal ini didukung oleh 2 orang informan keluarga eks klien yang menyatakan adanya perubahan positif setelah menerima program rehabilitasi sosial. Pada aspek keterampilan, 2 orang eks klien juga telah membuka usaha sendiri dengan mengembangkan keterampilan yang diperoleh di PSBD. Demikian pula dengan eks klien yang bekerja pada orang lain juga bisa mengembangkan keterampilannya di perusahaan tempat mereka bekerja. Mereka memperoleh upah, makan dan fasilitas tempat tinggal. Aspek kemandirian memang belum terlihat, karena masih menimba ilmu dan pengalaman serta pengumpualan modal, yang nantinya akan dikembangkan ke daerah asal atau kampung halaman. Menurut mereka dalam jangka waktu 2 – 3 tahun setelah memperoleh pengalaman akan membuka usaha sendiri di daerahnya. Pihak pengusaha juga memberikan dorongan dan motivasi agar bisa mengembangkan usahanya di daerah asal, setelah pengetahuan dan pengalamannya dirasakan cukup. Perubahan positif eks klien memberikan gambaran tentang keberhasilan PSBD dalam memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial. Tumbuhnya kepercayaan dan harga diri
142
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
penyandang disabilitas merupakan modal awal menuju kemandirian. Hal ini sesuai dengan tujuan penanganan masalah sosial orang dengan penyandang disabilitas tubuh di dalam panti yakni memulihkan kepercayaan dan harga diri agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara lancar dalam kehidupan bermasyarakat untuk menuju kemandirian. Pulihnya kepercayaan diri ini dialami semua eks klien yang menjadi sasaran studi, meskipun pada kasus-kasus tertentu mereka masih sulit mengembangkan kemampuannya karena kondisi keluarga dan lingkungannya. Menurut Heru Sukoco (1991), keberfungsian sosial mencakup kemampuan memenuhi kebutuhan, kemampuan melaksanakan peranan sosial, dan kemampuan memecahkan masalah. Keberfungsian eks klien ditunjukkan eks klien DP yang berhasil melaksanakan fungsi sosialnya di tengahtengah keluarga dan masyarakat. DP bersama suaminya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui usaha yang dirintisnya. Bahkan DP juga menjadi ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) yang dulu bernama Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI) Kota Prabumulih. yang memiliki agenda memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas di daerahnya. Sedangkan eks klien Srf, melalui dukungan orang tuanya mampu memenuhi kebutuhannya dengan membuka usaha sendiri. Pasca rehabilitasi sosial eks klien diberikan toolkit sebagai modal kerja dan dikembalikan ke daerah melalui instansi Sosial kabupaten/kota. Sebagian diantara mereka ada yang kembali ke kota sebagaimana kasus-kasus eks klien yang masih bekerja pada orang lain, dengan berbagai alasan antara lain: (1) masih membutuhkan pengalaman dan modal kerja untuk membuka usaha, (2) sulit memperoleh pekerjaan di daerahnya, (3) modal usaha (toolkit) belum bisa digunakan karena tidak lengkap, (4) sudah lapor dan minta bantuan untuk membuka usaha ke
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
143
instansi sosial kabupaten/kota namun tidak ada tanggapan. Hal ini membuktikan lingkungan sangat berpengaruh pada eksistensi klien di keluarga dan masyarakat. Demikian pula dengan kasus-kasus anak yang belum berhasil sebagaimana dialami EM dan AA menunjukkan bahwa kondisi keluarga, lingkungan masyarakat dan kondisi mental klien berpengaruh pada keberfungsian klien di keluarga dan masyarakat. Kondisi tersebut menggambarkan kurang siapnya keluarga dalam menerima klien pasca rehabilitasi sosial. Pelayanan dan rehabilitasi sosial dalam panti selama ini masih berfokus hanya pada klien, belum menyentuh keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari sistem klien. Studi terhadap eks klien yang tidak kembali ke keluarga dan klien yang belum berhasil diperoleh gambaran bahwa sumber permasalahan berada di dalam keluarga. Sepanjang keluarga tidak disentuh baik oleh PSBD maupun oleh unit/instansi lain, maka akan menjadi hambatan keberfungsian eks klien di tengah-tengah keluartga dan masyarakat. Sementara PSBD belum bisa berbuat banyak karena keterbatasan anggaran, SDM, dan pedoman pelayanan itu sendiri yang secara eksplisit tidak mencantumkan peran keluarga dan masyarakat dalam proses pelayanan dan rehabilitassi sosial. Kurangnya dukungan masyarakat dalam memberikan kesempatan pada klien untuk memanfaatkan keterampilan yang diperoleh dari panti sosial, termasuk minimnya pengakuan terhadap kemampuan yang mereka miliki, melengkapi permasalahan yang dihadapi eks klien. Idealnya pelayanan dalam panti lebih mengedepankan peran keluarga dan masyarakat. Sementara kondisi sosial ekonomi keluarga menjadi latar belakang klien, apabila tidak disentuh, dapat dipastikan tujuan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang menyangkut keberfungsian sosial klien di tengah-tengah keluarga dan masyarakat tidak akan
144
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
tercapai. Peran pemerintah daerah (Instansi sosial kabupaten/ kota) juga masih sebatas memberikan rekomendasi/surat pengantar saat klien masuk panti dan belum terlibat sepenuhnya dalam pembinaan lanjut pasca rehabilitasi sosial. E. Penutup 1. Kesimpulan a. Kondisi PSBD sebagai input dari proses pelayanan dan rehabilitasi sosial, secara umum kondisi SDM PSBD baik dilihat dari jumlah maupun tingkat pendidikannya relatif dapat mendukung proses rehabilitasi sosial. Namun terdapat kesenjangan pekerja sosial fungsional dimana jumlah pekerja sosial tingkat ahli (pangkat tinggi) lebih banyak dibanding dengan tingkat terampil mereka (pelaksana). Sementara jumlah instruktur juga masih belum sebanding dengan jumlah klien. b. Sarana dan prasarana PSBD cukup memadai, hanya sarana asesmen dan sarana keterampilan (alat dan bahan praktek) yang kurang memadai. c. Alokasi dana untuk setiap tahapan rehabilitasi sosial belum proposional, mengakibatkan beberapa kegiatan tidak optimal seperti pendekatan awal, sosialisasi dan pembinaan lanjut. d. Sebagian besar klien berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah dan tingkat pendidikan yang juga rendah berpengaruh pada proses rehabilitasi sosial di PSBD. e. Proses rehabilitasi sosial sejak pendekatan awal hingga terminasi telah dilakukan, meskipun tahap pendekatan awal, bimbingan sosial, resosialisasi dan pembinaan lanjut masih ditemukan berbagai masalah seperti; alokasi dana yang belum proposional, lokasi tempat tinggal yang sulit
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
145
terjangkau kendaraan umum, dan peran instansi sosial yang belum optimal. f. Pembinaan lanjut dipahami sebagai kegiatan monitoring untuk melihat perkembangan klien pasca rehabilitasi sosial panti, dilakukan melalui kunjungan rumah (home visit) dan kunjungan ke perusahaan/ tempat kerja oleh pekerja sosial, instruktur atau seksi rehabilitasi sosial panti. g. Sasaran pembinaan lanjut adalah eks klien yang berada di wilayah kerja PSBD yang disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Petugas yang melaksanakan kegiatan ini sekaligus melaksanakan pendekatan awal, dan terminasi. Meskipun berbagai keterbatasan, pembinaan lanjut dapat dilaksanakan sesuai dengan anggaran yang tersedia. h. Hasil yang dicapai berdasarkan studi kasus terhadap 16 eks klien: 1) Pasca rehabilitasi sosial rehabilitasi sosial sebanyak 11 eks klien yang telah kembali ke daerah asalnya, terpaksa kembali ke kota karena kondisi lingkungan yang kurang mendukung eksistensi mereka. Sebagai upaya menambah pengetahuan dan pengalaman, mereka telah bekerja pada perusahaan/perorangan sesuai dengan keterampilannya. 2) Eks klien juga menunjukkan perilaku yang cukup signifikan dengan proses rehabilitasi sosial yang diberikan. Perubahan ini dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan PSBD yang memberikan pengaruh positif pada mereka. 3) Aspek keterampilan, sebagian besar telah bekerja sesuai dengan keterampilan yang diperoleh baik membuka usaha sendiri maupun bekerja pada orang lain. Mereka yang bekerja pada orang lain bersifat sementara dalam upaya menambah pengetahuan dan
146
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pengalaman, untuk selanjutnya akan membuka usaha sendiri di kampungnya. 4) Sebanyak 2 orang belum berhasil, karena kondisi mental, rendahnya tingkat pendidikan, kondisi keluarga dan lingkungan dimana klien tinggal berpengaruh pada keberfungsian klien 2. Rekomendasi a. Pekerja sosial dan instruktur merupakan tenaga pokok dalam kegiatan rehabilitasi sosial. PSBD masih memerlukan tenaga peksos dan instruktur karena terdapat kesenjangan jabatan pekerja sosial tingkat ahli lebih banyak dibandingkan dengan pekerja sosial tingkat trampil sebagai pelaksana. Sementara melihat beban kerja para instruktur yang harus memberikan pelayanan terhadap klien yang mempunyai latar belakang pendidikan, kondisi mental dan masuknya yang berbeda-beda, juga masih diperlukan tenaga instruktur. Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial Nomor 50/HUK/2004 tentang Standardisasi Panti Sosial, untuk Pekerja Sosial dan instruktur yang bertugas di PSBD adalah 1:5. PSBD perlu mengembangkan jejaring kerja dengan berbagai institusi/lembaga seperti: 1) BLK (Balai Latihan Kerja) milik Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam usaha pengembangan keterampilan baik yang menyangkut kurikulum dan instruktur keterampilan 2) Dunia usaha dalam kegiatan PBK (Praktek Belajar Kerja) dan membantu penyaluran kerja klien 3) Instansi sosial kabupaten/kota dalam rangka pendekatan awal, sosialisasi, penyaluran kerja dan pembinaan lanjut pasca rehabilitasi sosial panti b. Proses rehabilitasi sosial terkait dengan pendekatan awal, sosialisasi dan pembinaan lanjut perlu berkoordinasi
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
147
intensif dengan Instansi Sosial setempat. Dukungan anggaran secara proporsional juga perlu dilakukan sehingga kegiatan bisa dilakukan dengan optimal. c. Keberhasilan rehabilitasi sosial PSBD selain ditentukan oleh kondisi klien, juga ditentukan oleh kondisi keluarga dan lingkungan sosialnya. Eks klien yang kembali ke kota membuktikan lingkungan berpengaruh pada keberfungsian mereka di tengah-tengah keluarganya. Sesuai dengan perubahan paradigma yang mengedepankan peran dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat dibanding dengan paradigma lama yang fokus pada pelayanan berbasis institusi/ panti sosial, maka PSBD perlu melibatkan keluarga dalam proses rehabilitasi sosial dan menyiapkan keluarga dan masyarakat sebelum klien dikembalikan ke keluarganya. Dukungan anggaran secara proporsional diperlukan untuk kegiatan ini d. Menyusun petunjuk teknis khususnya kegiatan yang terkait dengan pendekatan awal, dan pembinaan lanjut yang didalamnya memuat antara lain: 1) jenis kegiatan 2) pendahuluan/dasar pemikiran yang memuat; latar belakang, permasalahan, tujuan, sasaran dan pengertian/definisi operasional 3) Pelaksanaan kegiatan yang berisi antara lain: Prinsip-prinsip kegiatan/pelayanan, proses kegiatan, penanggung jawab, pelaksana kegiatan, uraian kegiatan, dan indicator kegiatan 4) Pelaporan: berisi antara lain jenis laporan dan otline laporan termasuk foto-foto kegiatan, 5) Penutup. Prinsip-prinsip pekerjaan sosial harus menjadi landasan pokok dalam kegiatan tersebut. Petunjuk
148
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
teknis ini dilengkapi dengan instrument (form-form) sesuai dengan keperluan. e. Pembinaan lanjut dapat dilakukan dengan cara melakukan kunjungan rumah (home visit) dan kunjungan ke perusahaan/tempat kerja yang dilakukan oleh pekerja sosial, instruktur atau seksi rehabilitasi sosial panti, melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1) Kunjungan pertama ditujukan untuk melihat perkembangan klien pasca rehabilitasi sosial panti. Hasil yang diharapkan melalui kegiatan ini adalah teridentifikasinya permasalahan dan kebutuhan eks klien panti 2) Kunjungan ke dua ditujukan untuk menindaklanjuti permasalahan dan kebutuhan klien. Petugas menghubungkan antara kebutuhan eks klien dengan sistem sumber yang tersedia, diantaranya Instansi sosial kabupaten/kota dalam usaha membantu permasalahan eks klien. Apabila memungkinkan, kegiatan ini bisa dilakukan pada kunjungan pertama 3) Kunjungan ke tiga yakni memberikan bantuan pengembangan usaha. Dalam kegiatan ini instruktur berperan aktif dalam usaha membantu eks klien mengembangkan usahanya sesuai dengan keterampilan yang diperoleh dari panti. Bantuan pengembangan usaha diberikan bila eks klien sudah ada usaha 4) Kunjungan ke empat yakni monitoring yang dilakukan oleh pekerja sosial, dan bila tujuan rehabilitasi sosial tercapai, maka langsung bisa dilakukan terminasi.
Pembinaan lanjut dapat dilakukan secara berulangulang (kontinue) hingga indikator keberhasilan bisa
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
149
tercapai, dan hal ini sangat tergantung pada kondisi klien f. PSBD juga perlu menyusun modul kegiatan bimbinganbimbingan yang diberikan kepada klien seperti: bimbingan sosial, bimbingan mental dan bimbingan lain sesuai dengan kebutuhan. g. Dalam usaha merealisasikan Undang-Undang No. 11 tahun 2011 tentang kesejahteraan sosial pasal 24, maka instansi sosial di daerah perlu berperan aktif dalam melaksanakan pembinaan lanjut. Pemerintah pusat melalui PSBD telah berusaha memberikan rehabilitasi sosial terhadap penyandang disabilitas tubuh yang berada di daerah. Pasca rehabilitasi sosial klien diserahkan kembali ke keluarganya melalui instansi sosial daerah. Instansi sosial daerah perlu memantau perkembangan eks klien dan memberikan bantuan pengembangan usaha agar mereka bisa berkembang dan berfungsi sosialnya secara wajar di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut dukungan anggaran melalui APBD setempat mutlak diperlukan.
150
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Bagian 6 PELAKSANAAN PELAYANAAN DAN REHABILITASI SOSIAL PADA PANTI SOSIAL BINA RUNGU WICARA (PSBRW); (Sinergi Petugas Pelaksana Pelayanan Menuju Keberhasilan Kemandirian Eks Klien) Moh. Syawie
A. Pendahuluan Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat dalam resolusi PBB No. 61/106 tanggal 13 Desember 2006, Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, telah memberikan amanat untuk memperhatikan aspek pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, ketenagakerjaan, dan aksesibilitas. Pengukuhan eksisstensi orang dengan kecacatan sesuai perangkat hukum yang ada tersebut perlu mendapat dukungan dari semua pihak termasuk orang dengan kecacatan itu sendiri (Pedoman Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan (ODK) Rungu Wicara Dalam Panti, 2010). Orang dengan kecacatan rungu wicara sebagai bagian dari masyarakat Indonesia berhak mendapatkan pemenuhan hak-hak dasarnya dalam bidang kesejahteraan sosial. Melalui program pembangunan kesejahteraan sosial, diharapkan tidak seorang pun orang dengan kecacatan rungu wicara sebagai warga Negara, tertinggal dan tidak terjangkau dalam proses pembangunan. Dengan demikian kesamaan kesempatan orang dengan kecacatan, khususnya orang dengan kecacatan rungu wicara pada seluruh aspek kehidupan harus diwujudkan. Undang-Undang Kesejahteraan Sosial No.11 Tahun 2009, menyatakan bahwa penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial harus terarah, terpadu, dan berkelanjutan baik yang dilakukan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
151
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial dalam lembaga maupun di masyarakat. Tujuan akhir pelayanan sosial di lembaga pelayanan adalah keberfungsian sosial klien. Untuk mencapai keberfungsian sosial tersebut proses pelayanan yang diberikan dilakukan dalam sistem panti maupun non panti. Pelayanan sistem panti merupakan alternatif terakhir apabila fungsi dan peran keluarga ataupun masyarakat tidak mampu memberikan pelayanan dan pemenuhan kebutuhan anggotanya. Panti sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteran sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan penyandang masalah kesejahteraan ke arah kehidupan normatif secara fisik, mental dan sosial (Balatbangsos, 2004). Oleh sebab itu pelayanan melalui sistem panti pada hakekatnya ditujukan untuk upayaupaya yang bersifat pencegahan, penyembuhan, rehabilitasi, dan pengembangan potensi klien. Panti Sosial mempunyai fungsi utama sebagai tempat penyebaran layanan; pengembangan kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi tempat di bawahnya (dalam sistem rujukan/referral system) dan tempat pelatihan keterampilan. Sedangkan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lain yang sejenis adalah: (1) memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan; menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat; (2) menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan yang bersifat pencegahan, perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengembangan; (3) menyelenggarakan fungsi pelayanan
152
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang berkesinambungan; (4) menyediakan pelayanan berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya; dan (5) memberikan kesempatan kepada klien untuk berpatisipasi secara aktif dalam usaha-usaha pertolongan yang diberikan. (Balatbangsos, 2004). Proses pelayanan panti sosial meliputi (1) tahap pendekatan awal; (2) asesmen; (3) perencanaan program pelayanan; (4) pelaksanaan pelayanan; dan (5) pasca pelayanan. Tahap pasca pelayanan terdiri dari penghentian pelayanan, rujukan, pemulangan dan penyaluran dan pembinaan lanjut. Pada tahap akhir pelayanan adalah pembinaan lanjut yang merupakan rangkaian dari proses rehabilitasi sosial atau pemulihan, yang ditujukan agar eks klien dapat beradaptasi dan juga berperan serta di dalam lingkungan keluarga, kelompok, lingkungan kerja, dan masyarakat. Pembinaan lanjut dapat diberikan dalam berbagai macam bentuk, tergantung pada kebutuhan masing-masing eks klien. Program pembinaan lanjut merupakan bagian yang integral dalam rangkaian proses pelayanan sosial dan tidak dapat dianggap sebagai modalitas treatment yang berdiri sendiri. Hal ini berkaitan dengan pemahaman umum bahwa setelah klien menjalani program rehabilitasi primer di panti rehabilitasi, mereka masih memerlukan perawatan atau bimbingan lanjutan agar proses reintegrasi ke masyarakat dapat berlangsung lancar. Pada kenyataannya treatment tidak berhenti di dalam panti rehabilitasi melainkan terus berlanjut sampai klien kembali ke masyarakat, mampu mengembangkan gaya hidup yang sehat dan menjadi manusia yang produktif (BNN,2008) Pada beberapa negara pembinaan lanjut dilakukan oleh lembaga lain bukan oleh lembaga yang memberikan pelayanan itu. Sebagai contoh di Amerika Serikat pembinaan lanjut
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
153
dilaksanakan oleh lembaga yang khusus melaksanakan aftercare program antara lain Aftercare Research Program (ARP) dari University California Los Angeles (UCLA), The Centre for Delinquency and Crime Policy Studies (CDCPS) California State University Sacramento, Loudoun Aftercare Program (LAP) Virginia, Millbury Aftercare Program, Gulfstream Park Aftercare Program, Bakersfield Homeless Centre, dan masih banyak lagi. Di Malaysia, pembinaan lanjut dilaksanakan oleh Jabatan Kebajikan Masyarakat (di Indonesia semacam Dinas Sosial). Pembinaan lanjut merupakan tugas dari lembaga pelayanan lain yang merupakan lembaga khusus untuk program pembinaan lanjut (aftercare program). Pembinaan lanjut adalah penciptaan jejaring dukungan dalam masyarakat dan dalam bidang kesejahteraan sosial dalam rangka membangun sumbersumber untuk klien. (http://www.odysseyhouse.com.au/our_ services/aftercare_ program/). Berbeda dengan kenyataan diatas, di Indonesia pembinaan lanjut dilaksanakan oleh panti itu sendiri. Pembinaan lanjut merupakan tahapan terakhir dari proses pelayanan sosial dan merupakan rangkaian dari proses rehabilitasi sosial atau pemulihan, yang ditujukan agar eks klien dapat beradaptasi dan berperan aktif dalam keluarga dan masyarakat. Oleh sebab itu pembinaan lanjut di panti cenderung kurang fokus dan pelaksanaan mengalami berbagai kendala. Adapun kendala yang dimaksud diantaranya data sebaran eks klien yang cukup beragam, anggaran yang kurang memadai, pemahaman tentang pembinaan lanjut, kurang jelasnya lembaga pengirim saat eks klien diterima dipanti. Pernyataan ini didukung juga oleh hasil penelitian yang dilakukan di Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) pada tahun 2009, menunjukkan pembinaan lanjut pada sebagian besar PSBR diilaksanakan terbatas pada eks siswa yang terjangkau oleh anggaran, atau dilakukan terbatas bersamaan dengan dilaksanakan sosialisasi program PSBR di daerah.
154
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Untuk memperoleh gambaran utuh tentang pelaksanaan pembinaan lanjut ini, selain melihat juga bagaimana kondisi panti dan proses rehabilitasi sosial yang dilakukan, maka perlu dilakukan kajian berupa studi dokumentasi, wawancara dengan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang pembinaan lanjut di panti sosial (PSBRW Efata Kupang dan PSBWR Melati Bambu Apus) . Langkah berikutnya adalah perlu dilakukan penelitian evaluasi mengenai pelaksanaan pembinaan lanjut (aftercare). Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian sebagai berikut. Bagaimana kondisi panti sosial, proses pelyanan rehabiitasi sosialnya, dan bagaimana implementasi kegiatan pembinaan lanjut yang dilakukan. Apa faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pembinaan lanjut. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang kondisi panti, proses kegiatan rehabilitasi sosial, data implementasi pelaksanaan pembinaan lajut. Selain untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan lanjut. Ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini, antara lain: 1. Panti Sosial adalah lembaga kesejahteraan sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan para penyandang masalah kesejahteraan sosial ke arah kehidupan normative, baik secara fisik, mental maupun sosial (Pedoman Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan (ODK) Rungu Wicara Dalam Panti, 2010). Orang Dengan Kecacatan (ODK) adalah orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
155
Orang dengan Kecacatan Rungu Wicara adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kalianan atau ganggungan pada lat pendengaran dan bicara, sehingga tidak dapat melakukan komunikasi secara wajar. Panti Sosial Bina Rungu Wicara adalah Panti Rehabilitasi Sosial orang dengan kecacatan rungu wicara yang mempunyai tugas memberikan pelayanan rehabilitasi sosial yang meliputi pembinaan fisik, mental, sosial, pelatihan keterampilan dan resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi orang dengan kecacatan rungu wicara agar mampu beroeran aktif dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Evaluasi Program Evaluasi program adalah serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang, yang bertujuan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan selanjutnya. Evaluasi adalah suatu upaya untuk mengukur hasil atau dampak suatu aktivitas, program, atau proyek dengan cara membandingkan dengan tujuan yg telah ditetapkan, dan bagaimana cara pencapaiannya (Mulyono, 2009). Menurut Rossi dan Freeman yang dikutip oleh Weinbach (2005), evaluasi dan penelitian evaluasi adalah aplikasi sistematis dari prosedurpenelitian sosialdalam menilaikonsepdan desain,implementasi,dan manfaatprogram intervensisosial. Selain itu, masih menurut pendapat Rossi dan Freeman, penelitian evaluasi adalah cara yang sistematis yang digunakan sebagai metode dalam penelitian untuk membuat penilaian tentang efektivitas dan semuanya yang pantas/tepat, bernilai, atau nilai dari suatu bentuk praktik pekerjaan sosial.
156
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Menurut Suharsimi Arikunto (2004 : 1) evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan. Suatu evaluasi program mempunyai beberapa tujuan, diantaranya : (1) untuk mengkaji keberhasilan akhir dari program, (2) untuk mengkaji lebih dalam bagaimana program yang sedang dilaksanakan, (3) untuk memperoleh informasi yang diperlukan dalam perencanaan program dan pembangunan (Rubin dan Babbie, 2008). Dari beberapa pernyataan mengenai evaluasi, maka dapat disimpulkan bahwa evaluasi program merupakan kegiatan yang membandingkan antara hasil implementasi dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Dari evaluasi kemudian akan tersedia informasi mengenai sejauh mana suatu program telah dicapai sehingga bisa diketahui bila terdapat selisih antara standar yang telah ditetapkan dengan hasil yang bisa dicapai. Program evaluasi dapat diklalisifikasikan dalam model evaluasi formatif ataupun evaluasi sumatif (Rubin dan Babbie, 2008). Penelitian ini menetapkan menggunakan model evaluasi sumatif. Evaluasi sumatif lebih fokus kepada untuk mengkaji keberhasilan akhir dari program dan untuk memutuskan apakah harus dilanjutkan, diperbaiki atau dipilih sebagai pilihan pertama diantara pilihan alternatif. Tergantung pada apakah program ini berhasil, harus diperbaiki, ataukah program ini tidak dapat dipertahankan (Rubin dan Babbie,2008). Sejalan dengan pernyataan diatas, Wirawan (2011) juga menyatakan evaluasi sumatif dibuat untuk menilai kegunaan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
157
suatu objek. Evaluasi sumatif digunakan untuk menilai suatu program akan diteruskan, diperbaiki atau dihentikan saja. Evaluasi ini juga untuk mengukur kinerja akhir objek evaluasi. Indikator-indikator yang diukur antara lain: a. Hasil dan pengaruh layanan atau intervensi program (pembinaan lanjut). b. Mengukur persepsi eks klien,keluarga, masyarakat, jejaring kerja, stake holder mengenai layanan dan intervensi program (pembinaan lanjut). c. Menentukan sukses keseluruhan pelaksanaaan program (pembinaan lanjut) d. Menentukan apakah tujuan umum dan tujuan khusus program (pembinaan lanjut) telah tercapai e. Menentukan apakah eks klien,keluarga, masyarakat, jejaring kerja, stake holder mendapatkan manfaat dari program (pembinaan lanjut) f. Menentukan komponen yang paling efektif dalam program (pembinaan lanjut) g. Menentukan keluaran (output) yang tidak diantisipasi dari program (pembinaan lanjut) 3. Pembinaan Lanjut (after care) Tahap akhir dari proses pelayanan dalam merencanakan strategi memelihara perubahan yang telah dicapai haruslah tepat. Eks klien perlu mendapat perhatian karena eks klien yang telah mencapai kemajuan selama proses pertolongan sangat mungkin mundur kembali pada keadaan seperti sediakala. Perencanaan untuk melakukan pembinaan lanjut (after care) tidak hanya memungkinkan menilai kelangsungan hasil, tetapi juga membantu proses terminasi dengan menunjukkan perhatian pekerja sosial maupun pihak lembaga pada eks klien secara kontinyu (Fahrudin, 2002).
158
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Proses pelayanan sosial berakhir ketika terminasi berlangsung. Namun karena tanggungjawab terhadap klien, seringkali dilanjutkan dengan pelayanan lanjutan (after care). Pembinaan lanjut yang dilaksanakan selama ini adalah interpretasi dari prinsip-prinsip pekerjaan sosial. Pembinaan lanjut tidak boleh lepas dari prinsip-prinsip yang digunakan dalam memandu aktivitas praktik pekerjaan sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Sheafor dan Horejsi (2003), diantaranya yaitu : a. Seorang pekerja sosial harus dapat memaksimalkan pemberdayaan kliennya b. Seorang pekerja sosial harus terus menerus melakukan evaluasi terhadap kemajuan dari perubahan yang dicapai klien c. Seorang pekerja sosial harus bertanggungjawab kepada lembaga, masyarakat dan profesi pekerjaan sosial. B. Proses Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial Pada dasarnya tujuan program rehabilitasi sosial rungu wicara pada Panti Sosial Bina Rungu Wicara (PSBRW) adalah terbina dan terentasnya orang dengan kecacatan rungu wicara agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam tatanan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan dan studi literatur terlihat, bahwa proses pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi sosial dilakasanakan dengan beberapa tahapan, yaitu pendekatan awal, penerimaan, penelaahan dan pengungkapan masalah, bimbingan sosial dan bimbingan keterampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut (Tahapan PSBRW Melati, Pedoman Pelayanan 2010). Bentuk pelayanan tersebut, yaitu: 1. Tahap rehabilitasi, tujuannya adalah untuk memulihkan rasa harga diri, kecintaan kerja dan sekaligus memulihkan kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan fungsi sosial. Adapun
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
159
kegiatannya berupa: 1). Tahap pendekatan awal, merupakan tahap memperoleh gambaran tentang permasalahan penyandang disabilitas, sekaligus pemberian motivasi dan seleksi, 2). Tahap Penerimaan, merupakan tahap registrasi bagi calon klien, guna mendapatkan data obyektif dan menyeluruh tentang permasalahan, tingkat kecacatan, minat bakat agar dapat menentukan jenis pelayanan yang dibutuhkan. 3) Tahap Bimbingan Sosial dan Keterampilan, merupakan tahapan pemberian bimbingan rehabiltasi yang berupa: a) Bimbingan fisik dan mental, dalam bentuk bimbingan agama, bahasa isyarat/SIBI, budi pekerti, Pancasila, kecerdasan dan olahraga/ out bond. b) Bimbingan sosial dalam bentuk pramuka, dinamika kelompok, kesenian/nyanyian isyarat, rekreasi, kerja bakti lingkungan dan koperasi. c). bimbingan keterampilan yang meliputi menjahit putra dan putri, salon/tatarias, kerajinan tangan, pengelasan, pertukangan kayu, computer, tata boga dan percetakan digital. 2. Tahap Resosialisasi, merupakan tahap persiapan klien untuk dapat berintegrasi dengan lingkungan sosial masyarakat. Pelaksanaan kegiatan ini berupa bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat, praktek belajar kerja/PBK, usaha ekonmis produktif/UEP, usaha kerja/wiraswasta, instalasi produktif/IP dan penyaluran. Adapun fasilitas peralatan bimbingan yang tersedia untuk mendukung pelayanan adalah: 1. Peralatan keterampilan untuk sembilan jenis keterampilan 2. Peralatan bina wicara (speech therapy) 3. Peralatan tes pendengaran (audiometer) 4. Peralatan Assesment Vokasional 5. Peralatan sarana olehraga Sedangkan untuk PSBRW Efata sedikit berbeda tahapannya sungguhpun secara substansi tidak menjadi masalah. Adapun
160
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
tahapan yang dilakukan PSBRW Efata berdasarkan Standar Pelayanan (2010) adalah meliputi tahapan pendekatan awal, penerimaan, akomodasi, asesemen, perumusan rencana pelayanan, pelayanan kesehatan dan terapi wicara, bimbingan rehabilitasi sosial, resosialisasi, bimbingan lanjut dan advokasi sosial. 1. Pendekatan awal merupakan serangkaian kegiatan pra pelayanan yang terdiri dari: orientasi, konsultasi, sosialisasi program, identifikasi, motivasi dan seleksi yang dilaksanakan di tengah masyarakat melalui koordinasi dan kerjasama dengan institusi sosial setempat serta pihak terkait lainnya, dengan tujuan rekruitmen calon kelayan dan penumbuhan dukungan dan partisipasi keluarga dan masyarakat dalam proses rehabilitasi sosial tuna rungu wicara. Penanggung jawab pelaksanaan orientasi, konsultasi dan sosialisasi program adalah seksi rehabilitasi sosial. Materi sosialisasi program setidaknya meliputi tugas pokok dan fungsi Panti Sosial Bina Rungu Wicara, permasalahan sosial penyandang rungu wicara, kebutuhan-kebutuhan pelayanan dan system sumber usaha kesejahteraan sosial di bidang rehabilitasi sosial. 2. Penerimaan merupakan serangkaian kegiatan pelayanan terdiri dari pemanggilan, klarifikasi data awal, registrasi calon kelayan dan penandatanganan surat pernyataan yang dilaksanakan oleh petugas dalam rangka penentuan kelayan definitif dan menyepakati hak dan kewajiban selama mengikuti pelayanan dan rehabilitasi sosial. Pemanggilan/penjemputan dilakukan oleh seksi rehabilitasi sosial, dan klarifikasi data dilakukan oleh petugas dari unsuk struktural, fungsional dan profesi. 3. Akomodasi adalah serangkaian kegiatan dan fasilitas yang diberikan kepada seluruh kelayan dengan memperhatikan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
161
kondisi masing-masing yang berupa penempatan kelayan dan pemberian fasilitas di asrama, pemenuhan kebutuhan makanan sehari-hari, pemenuhan kebutuhan sandang atau seragam bimbingan, pemenuhan kebutuhan kebersihan diri dan pemeliharaan kesehatan serta pemenuhan pendampingan penyesuaian diri bagi kelayan baru. 4. Asesemen adalah serangkaian kegiatan yang terencana yang terdiri dari kajian awal tentang kelayan, kleuarga, masyarakat dan sistem sumber serta temu bahas kasus hasil aseseman sebagai langkah awal untuk mengungkapkan dan memahami kondisi obyektif, pada aspek fisik, mental, sosial, vokasional dan dinamika problematika kelayan, guna memprediksi tingkat kesiapan sasaran program dan kebutuhan pelayanan rehabilitasi sosial dengan pendekatan pekerja sosial dan multidispliner. Penanggung jawab pelaksanaan asesemen adalah seksi Rehabilitasi Sosial 5. Perumusan Rencana Pelayanan adalah serangkaian kegiatan yang terncana melaui temu bahas kasus untuk menentukan jenis pelayanan, system sumber yang didayagunakan baik untuk pelayanan pokok maupun penunjang guna pemenuhan kebutuhan serta mengkomunikan program pelayanan kepada pihak kelayan dan keluarga yang dilaksanakan oleh PSBRW melalui pertemuan konsultasi atau informasi tertulis (Standar Pelayan PSBRW Efata Kupang, 2010). Penanggung jawab pelaksanaan perumusan rencana pelayanan adalah seksi Rehabilitasi Sosial. 6. Pelayanan Kesehatan dan terapi wicara, adalah serangkaian kegiatan yang mencakup pemeliharaan jasmani, psikososial dan upaya kesehatan yang bersifat pencegahan, penyembuhan, pemulihan serta peningkatan yang meliputi: pelayanan kesehatan dan psikososial yang
162
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
bersifat komplementer kepada setiap kelayan dan atau yang mengalami hambatan fungsi sehingga memiliki daya kerja yang tinggi (work ability) dalam mengikuti pelayanan dan rehabilitasi sosial. Penanggung jawab pelayanan kesehatan dan terapi wicara adalah Dokter umum, Dokter spesialis dan perawat serta terapis. 7. Bimbingan Rehabilitasi Sosial, merupakan batasan menyusun SIBI (bahasa isyarat), Speech Terapi (terapi wicara) dan Komtal (SSTK). Penanggung jawab pelaksanaan SSTK adalah seksi Rehabilitasi Sosial. Pelaksana bimbingan SSTK adalah pembimbing yang telah mengikuti pelatihan SSTK. 8. Resosialisasi adalah suatu kegiatan bimbingan pasca pelayanan dan rehabilitasi sosial yang melibatkan keluarga, masyarakat dan institusi sosial dalam rangka mempersiapkan kelayan untuk hidup sesuai dengan nilainilai dan norma yang berlaku. 9. Bimbingan Lanjut adalah suatu kegiatan pengembangan kemampuan sosial dan kinerja serta peningkatan peran keluarga, masyarakat dan institusi sosial untuk menetapkan kemandirian kelayan pasca pelayanan danrehabilitasi sosial. 10. Advokasi Sosial adalah kegiatan perlindungan dan pembelaan terhadap penerima pelayanan dalam bentuk penyadaran hak dan kewajiban, pembelaan dan pemenuhan hak-hak untuk pelayanan sesuai standar melalui penetapan kebijakan lembaga dan pelayanan yang responsive terhadap kepntingan kelayan,keluarga dan masyarakat. Penanggung jawab pelaksanaan advokasi sosial adalah seksi Program dan advokasi sosial. Pelayanan advokasi sosial diberikan seluruh tahapan pelayanan dan rehabilitasi sosial. Sasaran palayanan advokasi sosial adalah penyandang tuna rungu wicara, keluarga,
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
163
masyarakat dan system sumber. (Standar Pelayanan PSBRW Efata Kupang, 2010). C. Gambaran Umum Panti Sosial 1. PSBRW Melati Bambu Apus Jakarta a. Fasiltas Bangunan PSBRW Melati Bambu Apus memiliki Tanah seluas 9.740 m², yang digunakan untuk bangunan kantor, asrama klien (6 lokal), ruang bimbingan fisik dan mental, ruang instalasi produksi (IP) ruang Speech therapy individu, ruang Keterampilan (8 lokal), ruang perpustakaan, ruang data dan rapat, kube Anggrek, aula/ruang serbaguna, ruang Belajar (3 lokal), ruang makan, ruang poliklinik, mushalla, ruang koperasi, rumah dinas pimpinan, rumah dinas petugas (6 unit), wisma tamu, dan pos satuan pengamanan b. Fasilitas Klien meliputi: tempat tinggal Klien/Asrama, pakaian seragam, permakanan, dan pelayanan kesehatan. c. SDM; terdiri dari kepala Panti (Eselon III), pejabat Struktural (Eselon IV) 3 orang, pejabat Fungsional (7 orang), staf (31 orang) dan tenaga honor (8 orang) 2. PSBRW Efata Kupang a. Gedung dan bangunan PSBRW Efata Kupang memiliki tanah seluas 50.460 m², yang digunakan untuk banguan kantor, gedung pendidikan (4 unit), asrama (7 unit), wisma, aula, gedung laboratorium, gedung perpustakaan, bengkel, gedung kecerdasan, dapur, poliklinik, jaringan air, pos jaga, garasi, show room, ruang data, lapangan volly, selasar, 1 rumah dinas tipe C dan 9 rumah dinas tipe E. b. Alat transportasi Untuk operasional panti, PSBRW Efata dilengkapi dengan
164
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
kendaraan roda enam, empat dan dua. c. Perlengkapan dan peralatan kantor; meliputi mesin potong rumput, mesin jahit, mesin las listrik, computer, laptop, printer, AC split, AC Window, faximile, genset, tempat tidur kayu, tempat tidur besi, mesin foto copy dan kipas angin. d. SDM; sebanyak 35 orang PNS dan 11 orang tenaga kontrak/honor. Pegawai yang berstatus PNS terdiri dari eselon III, eselon IV (3 orang), korpel/korlak (1 orang), pelaksana (14 orang) dan fungsional 3 orang. Sedangkan pegawai kontrak/honor terdiri dari: satpam, petugas dapur, kebersihan, tukang kebun dan pengemudi. D. Pembinaan Lanjut Kebijakan Pembinaan Lanjut Dasar kebijakan kegiatan pembinaan lanjut antara lain: 1. Undang-undang No 4 Tahun 1974 tentang Penyandang Cacat 2. Peraturan Pemerintah nomor 43 Tahun 1998 tentang upayauapaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi Penyandang cacat. 3. Peraturan Menteri Sosial Nomor 106/HUK/2009 tentang organisasi dan Tata Kerja Panti-Panti Sosial di lingkungan Kementerian Sosial 4. Berdasarkan uraian tugas Seksi Rehabilitasi Sosial PSBRW Efata Naibonat Kupang. Pemahaman Petugas Adapun pemahaman petugas panti (pandangan Pekerja Sosial dan Sie Resos) perihal pembinaan lanjut, antara lain: untuk mengetahui bagaimana perkembangan anak setelah disalurkan. Untuk mengetahui apakah peralatan yang diberikan digunakan sebaimana mestinya, kalau tidak dipergunakan, perlu diketahui apa sebabnya ?.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
165
Dari hasil pengamatan lapangan perihal pembinaan lanjut yang dilakukan diwilayah DKI, terungkap bahwa pembinaan lanjut dilaksanakan setelah proses pelayanan/rehabilitasi sosial selesai, sedangkan untuk monitoring dilakukan sebelum penerima pelayanan/eks klien selesai dalam proses rehabilitasi sosial/ disalurkan atau klien dalam proses magang. Sedangkan di PSBRW Kupang monitoring merupakan serangkaian kegiatan untk memantau secara terus menerus tentang pelaksanaan program rehabilitasi sosial mulai dari pendekatan awal sampai bimbingan lanjut dan terminasi dengan tujuan bila terdapat hambatan dapat diketahui sedini mungkin untuk segera dilakukan analisa dan perbaikan agar pencapai target tiap-tiap tahapan rehabilitasi dapat lebih optimal (Standar Pelayanan PSBRW Efata, 2010). Penanggung jawab pelaksanaan monitoring kegiatan pelayanan secara keseluruhan adalah Seksi Program dan Advokasi Sosial. Waktu penyelesaian kegiatan monitoring selama tiga bulan pada tiap triwulan, yaitu triwulan pertama Januari samapai dengan Maret. Triwulan kedua April sampai Juni, triwulan tiga Juli sampai dengan September, dan triwula empat Oktober sampai dengan Desember. Pelaksanaan Pembinaan Lajut Pelayanan rehabilitasi sosial dan keterampilan penyandang cacat rungu wicara merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara terarah, sistimatis dan terorganisir yang didalamnya mencakup Tahapan Kegiatan sesuai Peraturan Menteri Sosial No. 106/HUK/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Panti-Panti Sosial di lingkungan Kementerian Sosial, dengan tujuan utama adalah menciptakan penyandang cacat tuna rungu wicara yang produktif, mandiri dan tercapainya keberfungsian sosial.
166
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Kegiatan pembinaan lanjut dilaksanakan melalui (1) kunjungan rumah memberikan bimbingan motivasi kepada eks klien rungu wicara dan keluarganya. (2), melalui kunjungan di tempat kerja agar dapat memantabkan kerjanya.(3), melalui konsultasi berkala baik kepada eks klien maupun kepaada keluarganya mengetahui perkembangan usahanya (kalau mereka membuka usaha sendiri) dan kondisi kehidupannya setelah selesai dari panti, dan (4) menghubungi langsung eks klien dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Dari hasil kegiatan tersebut terungkap bahwa jenis pekerjaan eks klien cukup bervariasi. Oleh karenanya PSBRW Efata (Kupang) melakukan kegiatan pengembangan kemampuan sosial dan kinerja serta peningkatan peran keluarga, masyarakat dan institusi sosial untuk memantapkan kemandirian kelayan pasca pelayanan dan rehabilitasi sosial. Pembinanan lanjut PSBRW Efata Naibonat dilaksanakan setahun dua kali. Untuk tahun 2011 dilakukan bulan Agustus dan September. Tahap I bulan Agustus 2011 meliputi wilayah Dataran Timor (Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Kab.TTS, TTU, Bab. Belu, Rote Ndao dan Alor). Adapun bimbingan lanjut tahun 2010, dilakukan tiga tahap yaitu tahap pertama bulan Maret, tahap kedua bulan Juli dan tahap ketiga pada bulan Oktober 2010. Dengan persebaran wilayah diantaranya Kabupaten Kupang, Kab. Nagekeo, Kab. Flores Timur, Kabupaten Ende, dan Kabupaten Sumba Timur. Untuk menjangkau eks klien PSBRW Naibonat peneliti hanya mengunjungu mereka yang bertempat tinggal di dua Kabupaten, yaitu Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, karena anggaran yang terbatas. Untuk alumni PSBRW Naibonat Kupang kunjungan dilakukan di Kabupaten Kupang (Desa Oeniko,Kecamatan Amabi Oefeto
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
167
Timur) dan Kabupaten Timur tengah Selatan (TTS), di desa Tufano, Kecamatan Koalui. Eks klien yang dikunjungi lima orang dengan keterampilan menjahit dan bengkel motor (tambal ban dan servis kecil). Menurut informasi dari eks klien tersebut pendapatan mereka sekitar Rp. 300 ribu sampai Rp 400 ribu, dan mereka berusaha di lingkungan rumah sendiri. Untuk eks klien PSBRW Melati, yang berada di wilayah Bekasi (PT Hanum Collection), Pusat Industri Kecil (PIK) Cakung (Perusahaan Garment PT Rocomoro) dan sekitar Jl Bambu Kuning Jakarta Timur (Penjahit Pak Wawan), dan pabrik roti Kick Riski. Adapun untuk wilayah DKI bisa ditemui tujuh anak eks klien. Untuk wilayah DKI kebanyakan bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut di atas, dengan penghasilan rata-rata 700 ribuan sampai satu juta bila lembur. Dinamika Kondisi Eks Klien di PSBRW Melati Bambu Apus 1. M A, adalah alumni PSBRW tahun 2011. Belum menikah. Pekerjaan sekarang menjahit, di Penjahit Pak Iwan beralamat di Jl. Bambu Kuning Bambu Apus, Jakrta Timur. Berusia 21 tahun. Menurut ayahnya, anaknya rajin, bekerja sesuai dengan jenis keterampilan yang diperoleh di PSBRW Melati. MA berasal dari Balaraja Banten. Penghasilan rata-rata perbulan sekitar Rp. 400 ribu sampai Rp 500 ribuan. MA bertempat tinggal sementara bersama Pak Iwan pemilik usaha dimana MA bekerja. Selain MA di tempat Pak Iwan ada juga penerima pelayanan dari panti yang sedang magang. 2. Jn, Perempuan, berusia 25 tahun. Bertempat tinggal di Jl Citayem 4 Depok. Bekerja di perusahaan roti Ricky Kick. Belum nikah. Sekilas Jn anak yang gesit, sudah bekerja sekitar dua tahun. Dengan penghasilan sekitar Rp 500 ribuan perbulan. Dari peninjauan lapangan terungkap lebih jelas bahwa pengertian pembinaan lanjut dimaknai sebagai kegiatan yang dilakukan apabila penerima pelayanan sudah selasai
168
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
dari pelayanan/rehabilitasi sosial yang dilakukan oleh panti (berakhirnya masa pelayanan/terminasi). Sedangkan monitoring adalah kegiatan yang dilakukan oleh petugas panti selamam penerima pelayanan daam proses rehabilitasi sosial (proses pelayanan). Misalnya kasus MA, karena sebagai pekerja di penjahit Pak Iwan merupakan kegiatan pembinaan lanjut, sedangkan dua temannya MA (masih magang/praktek belajar kerja) yang ada di penjahit Pak Iwan masih dalam proses pelayanan. Menurut informasi monitoring evaluasi dilakukan biasanya seminggu sekali. Dengan maksud untuk mengetahui apa yang dilakukan anak-anak penerima pelayanan selama di tempat kerja/perusahaan. Sedangkan pembinaan lanjut biasanya dilakukan lima kali pertahun, dan juga tergantung kondisi dan anggaran. Pembinaan lanjut dilakukan untuk mengetahui kondisi di tempat kerja/perusahan, serta untuk mengetahui informasi dari perusahaan perihal perilaku anak. Ada kesan kuat kuat kebersamaan diantara mereka cukup kuat (karena merasa senasib dan lebih mudah berkomunikasi sesama mereka. 3. Puteri As, Usia 22 tahun, belum menikah. Pendidikan SMA Paket C tahun 2010. Tanggal masuk panti 1 September 2008, keluar dari panti tahun 2011. Sekarang bekerja di PT. Hanum Colection. Komplek Pemda Bekasi Blok C 15 No. 5 Jati Asih Bekasi, Jawa Barat. Jenis usaha menjahit pakaian wanita dan laki-laki. Puteri tinggal menumpang dengan pemilik butik. Pendapatan rata-rata menurutnya informasinya sekitar Rp. 500 ribu. Sepintas Puteri cukup gesit dan katanya cukup rajin. Pekerjaan yang ditekuni sesuai dengan keterampilan yang didapat dari panti yaitu menjahit. 4. KK, Usia 20 tahun. Pendidikan SMP Paket B. Tanggal masuk 9 Mei 2008, keluar panti 19 September 2011. Belum menikah, pekerjaan sekarang menjahit. Berdasarkan informasinya
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
169
penghasilan rata-rata sekitar Rp. 400 ribu. Pekerjaan tersebut sesuai dengan keterampilan yang didapat dari panti. Bertempat tinggal menumpang di tempat Kokom bekerja. Dalam keluarga Kokom ada lima orang anggota keluarga. 5. AS, berusia 19 tahun, alumni PSBRW tahun 2012. Pendidikan SMP LB. Beralamat asal dari Jl. Blok Perulen Barat Rt 02/06 Desa Balai Rantai, Kecamatan Palimanan, Cirebon, Jawa Barat. Belum kawin, sekarang bekerja sebagai karyawan di PT. Roco Moro, sekarang bertempat tinggal mengontrak dekat tempat kerja. Menurut penuturannya berpenghasilan rata-rata sekitar Rp. 700 ribuan, kalau lembur bisa dapat sampai sekitar satu jutaan rupiah, dan pengeluaran sekitar Rp. 500 ribuan. Di Roco Moro bekerja sebagai penjahit pakaian wanita dan pria. 6. YPS, berusia 17 tahun, maasuk panti pada 16 Juni 2009, keluar panti pada 17 Februari 2012. Belum menikah. Pendidikan SD LB. Saat ini bekerja sebagai karyawati di PT. Rocomoro (Garment). Berasal dari Jl. Pendidikan II Rt 001/06 No. 41 Kel. Cijantung Jakarta Timur. Sekarang kost dengan temen-temen dekat dengan temapat kerjanya. Berdasarkan informasinya pendapatannya sekitar Rp. 700 ribuan. Kalau ada lembur bisa mendapat sampai sekitar satu juatan rupauah. Pekerjaan yang dilakaukan sesuai dengan jenis keterampilan yang didapat dari panti, yaitu menjahit. Di Rocomoro YPS menjahit pakaian wanita dan pria. Dan Yeni merasa senang dengan pekerjaannya, karena sudah mendapat gaji dan bisa membeli kebutuhan sehari-hari. Dinamika Eks Klien di PSBRW Efata Naibonat 1. ADB, Perempuan, usia 24 tahun, keluar dari PSBRW tahun 2009. Pekerjaan menjahit. Belum menikah. Pekerjaan yang digeluti sekarang sesuai dengan keterampilan yang diperoleh pada waktu di PSBRW Efata. Bertempat tinggal diB pendapatan rata-rata per bulan dari
170
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pekerjaannya sekitar Rp 400 ribuan. Pada Natalan biasanya pendapatannya berlebih karena banyak ordernya. Memang alf terkesan komunikatif dan cukup kreatif dan ramah, serta terkesan mudah bersosialisasi dengan kondisi lingkungan. 2. Sb, salah satu alumni dari PSBRW lulusan angkatan tahun 2008. Dengan keterampilan bidang perbengkelan motor. Kesibukan yang dilakukan saat ini diantaranya usaha tambal ban. Menurutnya pendapatan yang diperoleh perbulan rata-rata sekitar Rp 500 ribuan. Sb mengharapakan adanya bantuan Travo untuk mendukung pekerjaan diantaranya untuk bisa mengelas. 3. OR, Ol demikian panggilannya, usianya 15 tahun, se orang anak laki-laki. Keterampilan yang diambil waktu di panti adalah keterampilan menjahit. Bertempat tinggal di desa Oeniko, Kecamatan Amabi Oefeto Timur Kabupaten Kupang. Tinggal bersama orang tuanya. Onli merupakan anak keempat. Jumlah keluarga ada 6 orang. Ceritera dari orang tuanya Ol tidak sekolah (SLB), sungguhpun ada minat untuk belajar. Sekarang sudah mengenal huruf kata ibunya. Boleh dikatakan Ol belum maksimal memanfaatkan keterampilan yang di dapat selama dip anti. Berdasarkan informasi factor usia waktu masuk di panti masih sekitar 10 tahun, sehingga mempengaruhi daya tangkap dalam melaksanakan usaha jahit menjahit. Keterampilan yang bisa dikerjakan baru mengecilkan baju yang longgar, dan memotong celana yang kepanjangan, menurut kedua orang tuanya. Keinganan untuk belajar masih ada. Misalnya ia ingin kembali ke panti untuk lebih meningkatkan ketarmpilan menjahit, minimal melihat secara dekat bagaimana bisa menjahit dengan baik, tidak usah menjadi penerima pelayanan lagi, mengingat berdasarkan aturan tidak memungkinkan untuk kedua kalinya. 4. YEN, berumur 27 tahun, belum kawin. Eks klien di PSBRW
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
171
Efata, dengan keterampilan pertukangan kayu. Bertempat tinggal di desa Oenova Kecamatan Amabi Oefeto Timur Kab. Kupang. Masih tinggal bersama orang tua. Jumlah keluarga YEN ada tujuh orang termasuk orang tuanya. YEN sudah memiliki usaha sendiri, yaitu usaha meubel. Kisah tentang YEN menurut orang tuanya relative sudah terampil, dan sering dipanggil untuk memperbaiki rumah di sekitar tempat tinggalnya. Juga pernah dipanggil oleh Puskesmas untuk perbaikan jendela puskes dsb. Menurut ceritera orang tuanya, bapak BN dan ibunya YN, dengan semangat mengungkapkan bahwa YEN sedang menjalin cinta kasih dengan alumni PSBRW Efata bernama ET, berusia 25 tahun, bertempat tinggal di desa Oekam, Kec. Amanuban Timur, Kab. TTS. ET tinggal bersama orang tuanya. ET memiliki keterampilan menjahit, sesuai dengan jenis keterampilan waktu berada di panti. Sekarang dia memiliki usaha menjahit. Sayangnya, menurut orangtua YEN, “orangtua ET belum merestui hubungan anaknya tersebut. Kisahnya sepasang penerima pelayanan sudah berhubungan cukup lama dan pernah lari bersama demi cintanya yang sudah cukup mendalam”. Kedua orang tua YEN sudah pernah berkunjung ke rumah orang tua ET yang belum juga merestuinya. Bahkan berdasarkan pengalaman. apabila alumni antara penerima pelayanan menjalin hubungan keluarga ada indikasi usahanya akan lebih mudah berkembang di bidang yang digeluti pada masa di panti. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembinaan lanjut Faktor penghambat; - Untuk PSBRW Naibonat Kupang, faktor penghambat utama adalah jauhnya lokasi dan sebaran asal eks klien dan kondisi geografis, sebaran lokasi seperti tersebut di atas. Faktor
172
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pendukung adalah kerjasama yang baik diantara petugas pembinaan lanjut dan toleransi yang cukup tinggi diantara mereka. - Untuk PSBRW Melati DKI relatif tidak ada faktor penghambat dibandingkan dengan wilayah di Naibonat Kupang. Faktor pendukung adalah adanya kerja sama yang baik dan kompak diantara petugas pembinaan lanjut pada setiap panti. E. Analisis Persepsi Instruktur : Sebuah Perspektif 1. Ada kesan semangat penerima pelayanan cukup tinggi. Yang berlatar belakang dapat memahami baca tulis (SDLB/SMPLB) cenderung lebih antosias, sungguhpun tidak selallu, artinya ada yang tidak bisa baca tulis tapi daya tangkapnya cukup bagus. Sebaiknya perbandingan antara Instruktur dengan anak didik 10:1 (satu instruktur 10 anak didik) agar anak-anak lebih fokus (Keterampilan Pertukangan) 2. Ada kesan anak didik pria lebih semangat dalam mengikuti keterampilan tata rias. Ada variasi dalam penyerapan pengetahuan keterampilan ketatariasan. 3. Untuk keterampilan menjahit putri, anak didik juga memiliki variasi daya tangkap. Yang daya tangkapnya baik/cerdas misalnya bisa membuat pola dasar dengan baik. Ada anak yang dalam teori bagus tapi dalam praktek kurang demikian sebaliknya. Modal utama yang penting adalah paham dulu. 4. Untuk tata boga, ada kecenderungan anak didik di bidang tat rias lambat menerima pelajaran (cepat lupa). Untuk mengatasi hal ini harus sering diulang-ulang, jadi dituntut kesabaran. 5. Dalam perspektif psikologis, yang dilihat lebih ke arah aspek kepribadian. Ada kesan sebagian anak didik dalam keluarga merasa diabaikan, kurang memperoleh kasih sayang yang penuh. Hal ini terlihat dari hasil tes kepribadian (dilihat dari segi
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
173
psikologis). Hal tersebut menyebabkan, anak menjadi minder, dan yang lebih parah bisa terjadi trauma. Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan waktu (cukup relatif bisa tiga hari, seminggu, sebulan dst). Dengan demikian sebaiknya berhati-hati dalam menghadapi anak penyandang rungu wicara. Persepsi Keberhasilan Pelayanan (PSBRW Efata Naibonat) Berdasarkan informasi bahwa PSBRW setiap tahunnya menyalurkan anak sekitar 25-30 anak. Adapun anak yang mendapatkan pembinaan lanjut tergantung anggaran yang tersedia, dan mengadakan kontak dengan Dinas Sosial setempat. Dalam pembinaan lanjut 25-30 anak yang disalurkan, ada tujuh orang (28 persen) yang bisa bekerja dengan baik dan bisa mandiri, sudah boleh dikatakan berhasil, demikian persepsi dari petugas pelayanan panti. Selain ini, indikator yang mudah dapat dilihat, antara lain: mampu baca tulis dan menguasai keterampilan (jasa) yang dipilih selama berada di panti. Kendala yang dihadapi panti antara lain adalah anak asuh sebagaian besar (95 persen) buta huruf. Ada kecenderungan dalam hal ini lewat assement memegang peranan penting, karena untuk melihat konsistensi keahlian mengerjakan alat tes (dalam prosesnya melambat atau lebih cepat). Sehubungan dengan kondisi tersebut, menurut pandangan petugas panti, sebaiknya perlu pengadaan sarana Pendidik bidang Tuna Rungu Wicara yang profesional dari akedemisi, dengan maksud untuk pendidikan dasar klien agar lebih cepat memahami proses pelayanan yang lain. Pekerja sosial sebaiknya juga perlu ditambah dari yang sudah ada (lima Pekerja sosial dan satu Penyuluh), sehingga proporsional satu pekerja sosial menangani sepuluh anak didik. Sementara untuk Pekerja Sosial sebaiknya perlu memahami perundang-undangan dan peraturan-
174
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
peraturan yang berkaitan dengan “cacat rungu wicara”, sebagai modal melaksanakan advokasi. Menurut informasi dari bagian keperawatan, sebagian besar latar belakang kecacatan klien di panti adalah cacat dari lahir dan karena sakit akibat ketidaktahuan orang tuanya tentang konsep sakit/pengobatan serta kesulitan akses dalam menjangkau lokasi tempat kesehatan (Puskesmas atau Postu). Persepsi Dinas Sosial Provinsi Dalam Koordinasi Perihal koordinasi dengan Dinas Sosial Provinsi boleh dikatakan cukup baik. Misalnya terdapat program kerjasama dalam pendataan penyandang rungu wicara. Bila ada program bantuan keterampilan juga kelayan eks panti diberi dengan disesuaikan dengan basic keterampilan dan diarahkan fokus keterampilan tersebut. Yang di bina di NTT tanggung jawab Dinas Sosial, demikian menurut Bu Eva (Kasie Resos Dinas Sosial Provinsi NTT). Memang Dinas Sosial biasanya menangani klien luar panti. Untuk mendapatkan stimulan dari Dinas dimungkinkan bila eks klien dari panti bisa menunjukkan serifikat dari panti yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut, memang diperlukan “pedoman Pembinaan lanjut” , juga perlu pendampingan dari orang di luar panti. Dengan demikian dapat diketahui secara tepat perihal pemantauan klien. Perlu forum yang simple bagi pendamping dalam proses pembinaan lanjut, dan perlu juga sharing budget dari Kabupaten untuk melaksanakan tugas tersebut. Perlu komitmen antar bidang di Dinas Sosial Provinsi. Artinya ada kerja sama yang yang efektif antara bidang rehabilitasi dan bidang pemberdayaan (agar eks klien lebih teratasi masalah sosialnya secara berkelanjutan).
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
175
F. Penutup 1. Kesimpulan a. Ada kesan kuat kedua panti tersebut telah melaksanakan proses pelayanan rehabilitasi sosial sampai dengan pembinaan lanjut kepada penyandang cacat rungu wicara sesuai prosedur pedoman yang mereka buat dan disepakati bersama (berdasarkan Standar Pelayanan PSBRW Efata Kupang 2010 dan Pedoman Pelaksanaan Rehabilitasi Sosial Orang dengan Kecacatan Rungu Wicara PSBRW Melati Tahun 2010). b. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat dalam resolusi PBB No. 61/106 tanggal 13 Desember 2006, Undangundang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, ada kesan kuat PSBRW Efata Naibonat dan PSBRW Melati Bambu Apus telah melaksanakan amanat untuk memberikan dan memperhatikan pelayanan kepada klien dalam aspek pendidikan (keterampilan), kesehatan, perlindungan sosial, ketenagakerjaan, dan aksesibilitas sesuai dengan kebijakan kedua panti tersebut. 2. Rekomendasi a. Kendala yang dihadapi panti antara lain untuk PSBRW Efata Naibonat adalah penerima pelayanan/anak didik sebagaian besar buta huruf. Ada kecenderungan dalam hal ini lewat assement memegang peranan penting, mengapa karena untuk melihat konsistensi keahlian mengerjakan alat tes (dalam prosesnya melambat atau lebih cepat). Sehubungan dengan kondisi yang demikian, menurut pandangan petugas pelayanan PSBRW Efata sebaiknya perlu pengadaan Pendidik bidang Tuna Rungu Wicara yang professional dari akedemisi, dengan maksud untuk
176
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pendidikan dasar klien agar lebih cepat memahami proses pelayanan yang lain. b. Dalam rangka optimalisasi pelayanan dalam panti, ada pendapat bahwa Pekerja Sosial sebaiknya juga perlu ditambah dari yang sudah ada (lima Pekerja Sosial dan satu Pengasuh), sehingga proporsional satu Pekerja Sosial menangani sepuluh ada didik. Sebaiknya Pekerja Sosial perlu memahami perundang-undangan dan peraturanperaturan yang berkaitan dengan cacat rungu wicara, sebagai modal melaksanakan advokasi. c. Perlu ditambah tenaga psikolog agar penyelesaian aspek psikologis lebih optimal dan pengadaan ruang tersendiri untuk konsultasi. Saat ini baru ada satu psikolog untuk menangani 125 klien, idealnya ada tiga psikolog.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
177
178
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Bagian 7 EFEKTIVITAS PELAYANAN SOSIAL MELALUI PANTI REHABILITASI SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS NETRA (PSBN) Mulia Astuti
A. Pendahuluan Penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial (Undang-Undang Kesejahteraan Sosial No.11 Tahun 2009). Melalui upaya tersebut diharapkan tidak seorangpun warga negara termasuk penyandang disabilitas tertinggal dan tidak terjangkau dalam proses pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-haknya. Penyandang disabilitas netra sebagai individu pada hakekatnya mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Untuk mengembang kan potensi tersebut Kementerian Sosial RI telah melaksanakan rehabilitasi sosial baik melalui sistem panti maupun luar panti. Panti Sosial Bina Netra (PSBN) sebagai unit pelaksana teknis melaksanakan berbagai kegiatan untuk mempersiapkan para penyandang disabilitas netra agar memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk dapat hidup secara wajar sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Dalam melaksanakan fungsinya Panti Sosial Bina Netra dilengkapi dengan berbagai fasilitas, baik yang berupa sarana dan prasarana fisik, alat-alat keterampilan kerja, tenaga pelaksana maupun petunjuk teknis pelaksanaannya.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
179
Dalam melaksanakan kegiatannya panti sosial terikat dengan prinsip-prinsip yang terdapat di dalam praktek pekerjaan sosial. Beberapa prinsip yang menjadi dasar penyelenggaraan panti sosial dan atau lembaga kesejahteraan sosial lain yang sejenis (Balatbangsos, 2004) adalah: “memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan; menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat; menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan yang bersifat pencegahan, perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengembangan; menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang berkesinambungan; menyediakan pelayanan berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya; dan memberikan kesempatan kepada klien untuk berpatisipasi secara aktif dalam usaha-usaha pertolongan yang diberikan”. Saat ini terdapat empat panti sosial bina netra (PSBN) yang dikelola oleh Kementerian Sosial RI di Indonesia. Tabel 12. Populasi Panti Sosial Bina Netra UPT Kementerian Sosial RI. No 1. 2. 3. 4.
Jenis Panti Sosial PSBNTumou Tou PSBN Tan Miyat PSBN Wiyata Guna PSBN Mahatmiya
Lokasi Manado, Sulawesi Utara Bekasi, Jawa Barat Bandung, Jawa Barat Bali
Sumber: Direktorat Rehabilitasi Sosial ODK 2012
Fungsi utama panti sosial, antara lain sebagai pusat rehabilitasi; pengembangan kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi di bawahnya (dalam sistem rujukan/ referral system) dan tempat pelatihan keterampilan.
180
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Pada umumnya proses rehabilitasi sosial melalui panti sosial meliputi (1) tahap pendekatan awal; (2) asesmen; (3) perencanaan kegiatan rehabilitasi; (4) pelaksanaan; (5) resosialisasi, (6) pemulangan dan penyaluran, (7) pembinaan lanjut, dan (8) terminasi. Pembinaan lanjut merupakan tahapan terakhir dari proses rehabilitasi sosial di panti sosial. Dalam implementasinya pelaksanaan rehabilitasi sosial penyandang disabilitas melalui panti sosial belum maksimal karena masih terdapat berbagai kendala (Hasil Penelitian di Panti Sosial Bina Grahita 2010) antara lain: (a) dalam proses penerimaan terutama dalam pengisian formulir, (b) dalam proses asesmen yaitu rencana intervensi yang tidak sesuai dengan kondisi klien sebenarnya, (c) dalam proses resosialisasi yaitu belum siapnya sebagian orang tua menerima anak setelah direhabilitasi sosial di panti, belum adanya dukungan masyarakat termasuk dunia usaha. Disamping itu hasil penelitian lain yang dilakukan di Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) pada tahun 2009, menunjukkan bimbingan lanjut pada sebagian besar PSBR dilaksanakan terbatas pada eks siswa yang terjangkau oleh anggaran, atau dilakukan terbatas bersamaan dengan dilaksanakan sosialisasi program PSBR di daerah. Guna memperoleh gambaran yang utuh tentang efektivitas rehabilitasi sosial penyandang disabilitas netra melalui panti sosial bina netra, maka pada tahun tahun 2012 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial melakukan penelitian evaluative pada dua panti sosial bina netra dibawah Kementrian Sosial RI, yang dilakukan pada dua lokasi yaitu pada PSBN Tumou Tou Manado dan Tan Miyat Bekasi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui;(1) kondisi panti yang merupakan input dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial, (2) proses rehabilitasi sosial mulai dari pendekatan awal sampai dengan terminasi; dan (3) hasil yang dicapai (output dan outcome), (4) Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
181
Diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat bagi (1) Kementerian sosial khususnya Direktorat Rehabilitasi Sosial (2) Bagi PSBN, dan (3) Instansi Sosial kabupaten/kota dalam rangka pengembangan kebijakan, program dan kegiatan rehabilitasi sosial melalui panti sosial. Penelitian ini menggunakan metode penelitian evaluative dengan pendekatan kualitatif. Pemilihan Lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu menentukan dua dari empat panti sosial bina netra (PSBN) yaitu PSBN Tumou Tou Manado mewakili luar Jawa dan PSBN Tan Miyat Bekasi mewakili Jawa. Pemilihan informan juga purposive yaitu menentukan peserta diskusi kelompok terarah (FGD). Adapun Informannya adalah sebagai berikut: (a) Kabid/Kasi Rehabilitasi Sosial di Dinas/Instansi Sosial provinsi, (b) Kabid/Kasi Rehabilitasi Sosial di dinas/instansi sosial kabupaten/kota, (c) kepala panti sosial, (d) kepala seksi/ teknis panti, (e) pekerja sosial panti, (f) eks klien panti sosial, (g) keluarga, anggota masyarakat, dan jejaring kerja. Dan untuk eks klien pemilihan informan dilakukan secara snowball, dimana peneliti menentukan informan, jika kurang tepat dicari lagi informan berdasarkan petunjuk klien pertama. Dari kedua panti diambil 10 eks klien, masing-masing panti 5 orang. Teknik Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yaitu: (a) wawancara perorangan dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai panduan (interview guide) untuk memperoleh data dan informasi dari eks klien dan petugas panti. (b) Focus Group Discussin (FGD) atau wawancara kelompok di setiap panti sosial untuk menghimpun berbagai permasalahan yang dihadapi panti sosial dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial antara lain dengan kepala panti, Dinas/instansi sosial kabupaten/kota/ provinsi dan unsurunsur fungsional yang terlibat dalam pelaksanaan pembinaan lanjut. (c) Studi dokumentasi terhadap berbagai dokumen yang dimiliki panti sosial yang relevan dengan tujuan penelitian
182
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Data yang telah terkumpul disusun, direduksi, disajikan, dilakukan penafsiran dan menyimpulkan. Analisis data mencakup penelusuran kesenjangan antara kondisi yang diharapkan menurut kebijakan dan konseptual dengan kondisi yang ada, membandingkan data eks klien panti sosial dengan tujuan yang diharapkan. Khusus untuk proses pembinaan lanjut akan diulas secara khusus, berhubung kegiatan ini adalah salah satu faktor penentu tingkat keberhasilan. Kerangka Konsep Evaluasi Menurut Rossi dan Freeman yang dikutip oleh Weinbach (2005), evaluasi dan penelitian evaluasi adalah aplikasi sistematis dari prosedur penelitian sosial dalam menilai konsep dan desain, implementasi, dan manfaat program intervensi sosial. Selain itu, masih menurut pendapat Rossi dan Freeman, penelitian evaluasi adalah cara yang sistematis yang digunakan sebagai metode dalam penelitian untuk membuat penilaian tentang efektivitas dan semuanya yang pantas/tepat, bernilai, atau nilai dari suatu bentuk praktek pekerjaan sosial. Menurut Suharsimi Arikunto (2004 : 1) evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan. Rehabilitasi Sosial Rehabilitasi Sosial adalah kegiatan pelayanan sosial secara utuh dan terpadu melalui pendekatan fisik, mental dan sosial,
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
183
agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal dalam hidup bermasyarakat. Sedangkan fungsi sosial adalah kemampuan dan peran seseorang untuk berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat secara wajar. Rehabilitasi Sosial bertujuan: 1. Memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga, maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya 2. Memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan fungsi sosial secara wajar Kegiatan yang dilakukan dalam Rehabilitasi Sosial 1. Pencegahan, artinya mencegah timbulnya masalah peyandang disabilitas,baik masalah datang dari dirinya sendiri, maupun masalah yang datang dari lingkungannya. 2. Rehabilitasi; diberikan melalui bimbingan sosial pembinaan mental, serta bimbingan keterampilan.
dan
3. Resosialisasi; adalah segala upaya bertujuan untuk menyiapkan penyandang disabilitas agar mampu berintegrasi dalam kehidupan masyarakat 4. Pembinaan Tindak lanjut; diberikan agar keberhasilan klien dalam proses rehabilitasi dan telah disalurkan dapat lebih dimantapkan Berdasarkan Kepmenpan Nomor: Kep/03/M.PAN/1/2004 tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan angka Kreditnya diuraikan bahwa pelayanan sosial di dalam panti dilakukan melalui proses: (1) Pendekatan awal, (2) Asesmen, (3) Perencanaan intervensi, (4) Intervensi, (5) Evaluasi dan terminasi, (6) Bimbingan lanjut Keputusan Menteri Sosial RI nomor 50/HUK/2004 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Nomor 193/Menkes-Kesos/III/2000 tentang Standardisasi
184
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Panti Sosial menyebutkan bahwa standar khusus dalam pelayanan panti sosial meliputi: 1. Tahap pendekatan awal: meliputi sosialisasi program, penjaringan/pengjangkauan calon klien, seleksi calon klien, penerimaan dan registrasi serta konferensi kasus 2. Tahap pengungkapan dan pemahaman masalah (asesment); analisis kondisi klien, keluarga, lingkungan, karakteristik masalah, sebab dan implikasi masalah, kapasitas mengatasi masalah dan sumber daya, serta konfersnsi kasus 3. Tahap perencanaan program pelayanan; penetapan tujuan pelayanan, penetapan jenis pelayanan dan sumber daya yang digunakan 4. Tahap pelaksanaan pelayanan; diberikan sesuai dengan kebutuhan, karakteristik dan permasalahan klien, sebagai berikut: a). Bimbingan fisik dan kesehatan; b.) B i m b i n g a n mental dan psikososial; c). Bimbingan sosial; d). Bimbingan pelatihan keterampilan; e). Bimbingan pendidikan; f). Bimbingan individu; g). Bimbingan kelompok; h). Penyiapan lingkungan sosial; i). Tahap pasca pelayanan; j). Penghentian pelayanan; k). Rujukan; l). Pemulangan dan penyaluran; m). Pembinaan lanjut Tahap pembinaan lanjut dalam praktek pekerjaan sosial adalah cukup penting dalam pencapaian keberhasilan pelayanan. Pembinaan lanjut merupakan bagian dari manajemen kasus. Menurut Maguire dan Lambert (2002), manajemen kasus digunakan untuk mengelola, mengkoordinasi, dan memandu klien melalui serangkaian langkah-langkah tertentu di lapangan. Langkah tersebut termasuk antara lain asesmen awal yang mendefinisikan masalah dan kekuatan, perencanaan, penghubungan dan pengkoordinasian, pemantauan dan perubahan yang mendukung, dan pada akhirnya meringkas serta menyelesaikan melalui terminasi dan dilanjut dengan tahap pembinaan lanjut.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
185
Proses pelayanan sosial berakhir ketika terminasi berlangsung. Namun karena tanggungjawab terhadap klien seringkali dilanjutkan dengan pelayanan lanjutan (after care). Pembinaan lanjut tidak boleh lepas dari prinsip-prinsip yang digunakan dalam memandu aktivitas praktek pekerjaan sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Sheafor dan Horejsi (2003), antara lain yaitu : 1. Seorang pekerja sosial pemberdayaan kliennya
harus
dapat
memaksimalkan
2. Seorang pekerja sosial harus terus menerus melakukan evaluasi terhadap kemajuan dari perubahan yang dicapai klien 3. Seorang pekerja sosial harus bertanggungjawab kepada lembaga, masyarakat dan profesi pekerjaan sosial Menurut Woodside dan McClam (2003), keberlanjutan pelayanan memiliki dua pengertian: 1. Keberlanjutan berarti bahwa pelayanan yang diberikan pada klien tidak terputus dari tahap awal sampai terminasi dan keberlanjutannya. 2. Keberlanjutan layanan berarti penyediaan layanan secara komprehensif. Didalamnya termasuk intervensi dengan dukungan dari lingkungan, memelihara hubungan dengan keluarga klien dan pihak-pihak lain dan jejaring sosial yang menghubungkan dengan layanan-layanan yang tersedia di lingkungannya. Berdasarkan prinsip-prinsip pekerjaan sosial, maka bimbingan lanjut dianggap perlu untuk dilakukan. Adapun tahapan dari bimbingan lanjut adalah sebagai berikut: 1. Menyusun rancangan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial. 2. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut
186
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial melalui bimbingan dan penyuluhan sosial. 3. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial melalui bimbingan dan pendampingan secara individual. 4. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial melalui koordinasi dengan pihak terkait. 5. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial dengan menggali dan mengaitkan dengan sistem sumber yang tersedia. 6. Melaksanakan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial dengan menggali dan mengaitkan dengan memberikan bantuan pengembangan usaha. 7. Memantau perkembangan eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial dalam masyarakat. 8. Mengidentifikasi hambatan pelaksanaan kegiatan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap eks penerima program pelayanan kesejahteraan sosial. 9. Memberikan supervisi dalam pelaksanaan bimbingan dan pembinaan lanjut terhadap pekerja sosial di bawahnya. B. Hasil Penelitian Dan Pembahasan Hasil penelitian di kedua PSBN ini meliputi gambaran umum panti sosial yang merupakan input program, proses rehabilitasi sosial mulai dari pendekatan awal sampai dengan terminasi, hasil yang dicapai yang merupakan keluaran (output), manfaat (outcome) dan dampaknya (impact), serta faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
187
1. Gambaran Umum Panti Sosial Pada bagian ini membahas tentang sejarah panti, sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasarana, sumber dana, kebijakan dan calon klien pada PSBN. a. Sejarah Panti PSBN Tumou Tou Manado Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Tumou Tou Manado merupakan unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Kementerian Sosial RI yang melaksanakan program rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas netra, agar mereka mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya serta mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Sejak berdiri tahun 1971 sampai sekarang PSBN Tumou Tou telah merehabilitasi lebih dari 511 orang penyandang disabilitas netra yang tersebar di provinsi wilayah timur Indonesia dengan berbagai jenis pekerjaan seperti pegawai negeri sipil (PNS), pengajar, pendeta, ustadz, wiraswasta, panti pijat dan lain-lain. PSBN Tan Miyat Bekasi Panti Sosial Bina Netra Tan Miyat merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Kementerian Sosial RI memberikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi penyandang disabilitas netra untuk meningkatkan kemampuan fisik, mental dan sosial agar menjadi warga masyarakat yang produktif. Panti ini didirikan atas ide Prof. Sumantri Praptokusumo yang diresmikan oleh Bapak Moeljadi Djoyomartono dengan nama Pilot Proyek Asuhan Keluarga Anak-Anak Penyandang Disabilitas Netra "Wisma Tan Miyat" yang berarti "Rumah Tanpa Sinar", maka berdirilah Panti Rehabilitasi Penyandang Disabilitas Netra "Wisma Tan Miyat" yang diresmikan oleh Menteri Kesejahteraan Sosial pada tanggal 20 Desember 1959, berlokasi di Jl.R.SFatmawati Jakarta Selatan.
188
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Pada tahun 1961 diadakan kerjasama dengan Depdiknas didirikan Sekolah Luar Biasa (SLB)/A Tan Miyat dalam rangka untuk mencerdaskan anak-anak penyandang disabilitas netra. Pada tahun 1992 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial RI No. 47/HUK/ 1992 Panti Rehabilitasi Penderita Cacat Netra (PRPCN) Wisma Tan Miyat dipindahkan ke Jl. H.Moelyadi Djoyomartono No.19 Bekasi Timur. Kemudian pada Tahun 1995 diadakan perubahan nama panti berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial RI No.22/HUK/1995 menjadi Panti Sosial Bina Netra (PSBN) "Tan Miyat" Bekasi. b. Sumber Daya Manusia (SDM) Sumber daya manusia pada panti sosial bina netra (PSBN) Tumou Tou Manado berjumlah 27 orang yang terdiri dari pejabat struktural, pejabat fungsional serta staf, dengan kapasitas tampung panti 70 orang. Sedangkan SDM pada PSBN Tan Miyat Bekasi berjumlah 49 orang dengan kapasitas tampung panti 120 orang. Disamping itu juga ada tenaga kontrak dan honor sebanyak 17 orang di PSBN Tumou Tou Manado dan 15 orang untuk PSBN Tan Miyat Bekasi. Jika dilihat dari kecukupan jumlahnya maupun kualitasnya, pada kedua PSBN, berdasarkan status kepegawaian, jumlah, dan rasionya dengan klien dapat dilihat dari tabel berikut: Tabel 13. Jumlah SDM Menurut Status Kepegawaian No 1 2 3
Status Kepegawaian Pegawai Negeri Sipil Pegawai Kontrak Pegawai Honor Jumlah
Tumou Tou F % 27 61.4 13 29.5 4 9.1 44 100.0
F 49 15 64
Tan Miyat % 76.6 23.4 100.0
Sumber: Informasi dari PSBN Tumou Tou Manado dan PSBN Tan Miyat Bekasi 2012
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
189
Status kepegawaian di PSBN Tumou Tou Manado lebih banyak persentase tenaga kontrak dan honorernya atau sebaliknya lebih sedikit persentase PNS nya dibandingkan PSBN Tan Miyat Bekasi. Hal ini disebabkan jumlah PNS yang ada di Tumou Tou sangat kurang jumlahnya terutama pekerja sosial fungsional. Hal Ini menjadi suatu permasalahan tersendiri, dalam memberikan rehabilitasi. Menurut informan hal ini disebabkan sistem perekrutan pegawai yang ada di panti belum stabil. Pegawai panti bukan berasal dari warga setempat, meski sistem regional sudah diberlakukan, Jika mereka telah habis wajib kerjanya atau tidak betah bekerja di panti maka mereka dengan mudah akan pindah ke bagian lain. Untuk mengatasi masalah tersebut, dalam pembahasan hasil penelitian di Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Utara menyarankan dalam perekrutan pegawai memperhatikan sarjana sosial yang berasal dari daerah setempat. Selanjutnya, kualitas SDM dilihat dari latar belakang pendidikannya Tabel 14. Jumlah SDM Menurut Tingkat Pendidikan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tingkat Pendidikan SD SMP SLTA Non Kessos SLTA Jurusan Kessos Sarjana Muda/DIII S1Non Kessos S1 Kessos Paska Sarjana (S2) Jumlah
Tumou Tou F % 3 11.1 5 18.5 4 14.8 4 14.8 8 29.6 3 11.1 27 100.0
Tan Miyat % 3 6.1 5 10.2 10 20.4 3 6.1 7 14.3 6 12.2 11 22.5 4 8.2 49 100.0
F
Sumber: Informasi dari PSBN Tumou Tou Manado dan PSBN Tan Miyat Bekasi 2012
Kualitas SDM di kedua panti sebenarnya sudah cukup memadai, karena sebagian besar adalah D III ke atas.
190
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Demikian pula bidang keilmuannya sudah sesuai dengan yang dibutuhkan. Dari hasil wawancara kelompok (FGD) dan perorangan dengan petugas panti diperoleh informasi bahwa : SDM di PSBN Tumou Tou bila dilihat dari jumlahnya dan kualitasnya masih dirasakan kurang. Seperti jumlah pekerja sosial hanya 2 orang untuk kapasitas panti 70 orang, sedangkan yang dibutuhkan 13 orang. Demikian pula tenaga pembimbing keterampilan (instruktur) hanya 8 orang, instruktur keterampilan khusus seperti kerajinan tangan tidak ada dan tenaga administrasi (manajemen), khususnya tenaga akuntan juga tidak ada. Dalam melaksanakan tugas rehabilitasi sosial sehari-hari petugas yang ada merangkap pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh tenaga professional di bidangnya seperti psikolog, disamping itu mendatangkannya dari luar misalnya untuk pelatih musik. SDM di PSBN Tan Miyat tenaga yang ada lebih banyak dibandingkan dengan PSBN Tumou Tou terutama tenaga fungsional pekerja sosial, sehingga tidak tidak terjadi perangkapan pekerjaan. Bila dilihat dari rationya. antara petugas dengan klien untuk PSBN Tumou Tou lebih kecil yaitu 1: 10, dan di PSBN Tanmiat lebih kurang 1 : 6. Oleh sebab itu PSBN Tumou Tou masih memerlukan tambahan petugas terutama pekerja sosial Sarana Dan Prasarana Secara umum sarana dan prasarana sudah memadai, namun dari hasil FGD masih ada yang dirasakan kurang yaitu ruang asesmen belum tersedia secara khusus baik di Tumou Tou maupun di Tan Miyat masih bergabung dengan ruangan lainnya. Disamping itu di Tan Miyat alat peraga dirasakan kurang dan yang ada sudah relatif berusia tua.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
191
d. Sumber Dana Semua sumber dana pada kedua panti berasal dari APBN, namun dalam alokasi kegiatan tidak sama, demikian satuan anggaran yang digunakan juga tidak sama. Pada panti Tumou Tou kegiatan-kegiatan yang dilakukan di luar panti seperti pendekatan awal, bimbingan lanjut dan terminasi dalam suatu proses rehabilitasi sosial dikelompokkan dalam satuan biaya umum (SBU), hanya kegiatan-kegiatan di dalam panti saja yang termasuk satuan biaya khusus (SBK). Sedangkan pada PSBN Tan Miyat seluruh kegiatan rehabilitasi sosial melalui panti dikelompokkan kedalam SBK. Bila dilihat dari pengalokasian pada setiap kegiatan proses rehabilitasi, seperti bimbingan sosial, resosialisasi dan bimbingan lanjut porsinya sangat kecil. e. Kebijakan PSBN Tumou Tou Manado Kebijakan yang dijadikan acuan dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi sosial pada PSBN Tumou Tou Manado adalah; a) Pedoman Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan Netra Dalam Panti yang dikeluarkan Menteri Sosial RI cq Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan Tahun 2010 sudah dimiliki, namun dalam pelaksanaan belum seluruhnya diterapkan karena keterbatasan dana dan tenaga, b) Pedoman Penilaian Jabatan Pekerja Sosial Tahun 2004, juga digunakan oleh pekerja sosial sebagai acuan dalam melaksanakan tugas sehari-hari terutama dalam menyusun instrument dalam pelaksaan rehabilitasi sosial. Permasalahannya menurut peserta FGD adalah 1) Nomenklatur penyandang cacat yang sering berubahubah seperti Permensos RI belum sempat disosialisasikan sudah berubah menjadi ODK dan selanjutnya berubah lagi menjadi penyandang disabilitas, sehingga membuat
192
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
masyarakat menjadi bingung. 2) Perda tentang ODK belum ada, sehingga banyak terjadi pelanggaran hak-hak penyandang disabilitas seperti dalam memperoleh pekerjaan, quota 1 % belum dipenuhi, masih terjadi diskriminasi. Contoh kasus penyandang disabilitas netra kesulitan dalam membuat buku tabungan karena menggunakan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan. 3) Akibat belum adanya Perda tentang penyandang disabilitas, dinas sosial kabupaten/kota ataupun provinsi kesulitan dalam mengalokasikan dana untuk mendukung kegiatan pendataan khususnya untuk penyandang disabilitas netra, sehingga PSBN kesulitan memperoleh informasi tentang calon klien. PSBN Tan Miyat Bekasi Pada PSBN Tan Miyat Bekasi, pedoman yang dijadikan acuan dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi sosial sama dengan PSBN Tumou Tou yaitu pedoman yang dikeluarkan oleh Kemanterian Sosial, tetapi PSBN Tanmiat telah menyusun sendiri “Standarisasi Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Netra Panti Sosial Bina Netra Tan Miyat Bekasi” (2010) dan “Modul Bimbingan Psikososial Bagi Penyandang Cacat Netra Panti Sosial Bina Cacat Netra Tan Miyat Bekasi (2010). Selain itu, juga menggunakan Pedoman Penilaian Jabatan Pekerja Sosial Tahun sebagai acuan dalam melaksanakan tugas sehari-hari terutama dalam menyusun instrumen dalam pelaksaan rehabilitasi sosial. f. Calon Klien Kriteria penerimaan calon klien adalah: 1) Usia ; 9 s/d 35 tahun, 2) Tidak menderita cacat ganda
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
193
3) Surat pernyataan persetujuan orang tua/wali 4) Surat pengantar dari desa/kelurahan diketahui Dinas Sosial kabupaten/kota setempat 5) Surat keterangan dokter (tidak memiliki penyakit menular), seharusnya juga tentang derajat kecacatan. Kriteria b sampai dengan e pada umumnya sama yaitu persyaratan yang harus dilengkapi calon klien dan tidak menjadi masalah. 6) Belum menikah, pada kriteria ini seolah-olah ada diskriminasi bagi yang sudah menikah pada hal mereka membutuhkan. Disarankan bisa juga yang sudah menikah dengan persyaratan ada persetujuan istri/suami Dari hasil penelitian diperoleh informasi tentang usia klien yang ada dikedua panti adalah sebagaimana tabel berikut. Tabel 15. Jumlah klien menurut kelompok umur No.
Kelompok Umur
Tumou Tou F
Tan Miyat %
F
%
1
9 – 14
2
2.86
29
24.17
2
15 -25
49
70.00
66
55.00
3
26 -30
14
2.00
16
13.33
4
31 -34/35
5
7.14
9
7.50
70
100.0
120
100
Jumlah
Sumber: Hasil FGD di PSBN Tumou Tou dan Tan Miyat
Dari hasil FGD diketahui kriteria umur pada kenyataannya di lapangan ada yang di atas 35 tahun, tetapi masih potensial untuk dididik dan dilatih di PSBN, dimana menurut sebagian informan hal tersebut perlu mendapat perhatian. Disamping itu batas bawah, anak usia 9-14 tahun belum layak untuk memperoleh keterampilan di panti karena masih memerlukan bimbingan orang tua. Pendidikan formal disabilitas anak seharusnya menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk
194
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pemenuhan hak pendidikan (sekolah inklusive). Sehubungan itu disarankan klien di PSBN berusia 15 sampai dengan 40 tahun. Berbeda dengan PSBN Tan Miyat Bekasi, usia yang diterima lebih muda lagi yaitu mulai dari 7 tahun, Karena panti juga menyediakan fasilitas sekolah formal dan asrama bagi yang masih bersekolah. Hal ini juga merupakan pembahasan yang cukup menarik terkait dengan fungsi panti sosial 2. Proses Rehabilitasi Sosial a. Pendekatan Awal Berdasarkan pedoman rehabilitasi sosial ODK netra dalam panti, tahap pendekatan awal meliputi: orientasi dan konsultasi, identifikasi, pemberian motivasi dan seleksi. Dalam pelaksanaannya pada kedua panti seluruh kegiatan termasuk penerimaan dilakukan dengan cara satu kali kunjungan lapangan selama 1-3 hari oleh petugas panti yang ditunjuk oleh kepala panti (Tumou Tou) dan pekerja sosial dan seksi rehabilitasi sosial (Tan Miyat). Permasalahannya adalah kurangnya dukungan dari dinas sosial daerah asal dalam penyiapan data base tentang penyandang disabilitas netra, dan partisipasi masyarakat (PSM, TKSK) juga masih terbatas. Disamping adanya keterbatasan dana, alokasi dana di PSBN juga tidak proporsional, dan tidak mempertimbangkan jarak, dimana lokasi yang jauh dan dekat alokasi dananya disamakan b. Penerimaan Pada tahap penerimaan, formulir yang telah diisi pada saat pendekatan awal diseleksi oleh seksi PAS kemudian dilakukan penjemputan oleh petugas panti atau diantar orang tua/Dinas Sosial kabupaten/kota. Permasalahannya yaitu 1) kadangkadang orang tua tidak mengijinkan dan, anak berubah pikiran akhirnya tidak mau dibawa ke panti, 2) banyak dinas sosial
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
195
tidak memakai surat pengantar, surat keterangan dokter, dan tidak ada surat pemerintah setempat (Tumou Tou). Sementara di PSBN Tan Miyat pemanggilan, registrasi dan kesepakatan layanan dilakukan oleh Sie Rehsos dan Pekerja Sosial, Pengasramaan oleh Kasubag TU dan Orientasi oleh Pekerja Sosial. Permasalahan yang dikemukakan adalah dananya sangat terbatas serta sarana dan prasarana kurang memadai. Bila diamati proses penerimaan di PSBN Tan Miyat lebih professional dibandingkan dengan di PSBNTumou Tou karena kegiatan yang dilakukan sesuai dengan pedoman rehabilitasi sosial ODK Netra dalam panti. Hal ini ditunjang oleh jumlah dan kualitas tenaga pelaksana khususnya jumlah Pekerja sosial lebih memadai. c. Penelaahan dan Pengungkapan Masalah (Assesmen) Kegiatan ini bertujuan untuk memahami kondisi obyektif permasalahan klien, tingkat kecacatan, minat dan bakat guna menetapkan program rehabilitasi. Pada tahap ini PSBN Tumou Tou melakukan diagnosa psikologis, asesmen, wawancara dengan instrument, konseling, pengisian bio data klien, keluarga. vokasional, penentuan jenis keterampilan yang sesuai dengan minat dan bakat calon klien. Kegiatan ini dilakukan oleh Pekerja Sosial dan staf yang ada di panti. Permasalahan selama ini memanfaatkan ruang yang ada/merangkap sebagai ruang keterampilan. Belum tersedia ruang khusus untuk konseling dan anggaran yang sangat minim . Sementara di PSBN Tan Miyat kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah asesmen fungsional, klinis, vokasional, problematik, dan psikolog. Dilaksanakan pada bulan Maret s/d Mei oleh tim Asesmen panti yang terdiri dari Peksos, Psikolog dan tenaga medis selama 3 hari di PSBN. Permasalahannya
196
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
adalah ruangan asesmen yang kurang memenuhi persyaratan, atau tidak punya ruang khusus, hanya disekat saja, Dari uaraian di atas diketahui bahwa kedua panti sudah melaksanakan kegiatan itu sesuai pedoman, namun keduanya mempunyai masalah yang sama yaitu belum tersedianya ruangan asesmen secara khusus. d. Pelaksanaan Bimbingan Pada pedoman rehabilitaasi sosial PSBN ada tiga jenis bimbingan yang harus diberikan pada panti yaitu: pertama, bimbingan fisik dan mental bertujuan membina ketaqwaan terhadap Tuhan YME dan terwujudnya kemauan dan kemampuan klien agar dapat memulihkan harga diri, kepercayaan diri, kestabilan emosi sehingga tercipta kematangan pribadi. Kedua, bimbingan sosial yang bertujuan membina kesadaran dan tanggung jawab sosial, serta meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungkungan sosialnya. Ketiga, bimbingan usaha dan keterampilan kerja bertujuan agar ODK Netra memiliki keterampilan kerja dan usaha untuk menjamin masa depannya. Dalam pelaksanaan bimbingan dimasing-masing PSBN adalah sebagai berikut. Bimbingan di PSBN Tumou Tou Pelaksanaan bimbingan dilakukan tiga tahap kegiatan yaitu persiapan (kesehatan, OM/ADL), bimbigan dasar (kecerdasan, brile), dan bimbingan kejuruan (anatomi, fisiologi, teori & praktek pijat). Pada setiap tahap dilakukan bimbingan fisik, mental, sosial dan kepramukaan. Tempat bimbingan di kelas dan di luar kelas. Waktu masing - masing bimbingan keterampilan, minimal 1 tahun, secara keseluruhan maksimal 5 tahun. Kendala yang dialami yaitu 1) tingkat pendidikan klien berbeda yang dapat mengganggu pelaksanaan keterampilan. 2) Tingkat kecerdasan yang berbeda-beda ( ada yg pintar sekali dan ada
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
197
yang bodoh sekali), 3) instruktur kadang - kadang melakukan tugas dinas luar dan tidak ada yg menggantikan, 4) keluarga sering kali tidak datang tepat waktu untuk menjemput Bimbingan di PSBN Tan Miyat Bimbingan fisik, mental dan sosial, dilakukan secara individulal dan kelompok oleh Peksos, Staf Rehsos, Psikolog, Dokter dan guru agama salama 1 s/d 2 tahun di dalam dan di luar panti. Bimbingan kecerdasan melalui sekolah formal 9 th SD dan SMP bagi anak usia 7 s/d 15 tahun, oleh guru Dikbud, Peksos dan staf Rehsos. Biaya pendidikan oleh Dikbud pengasramaan, seragam dan kebutuhan siswa menggunakan dana PSBN. Bimbingan keterampilan, dilaksanakan selama 1 s/d 2 thn oleh pembimbing keterampilan terlatih. Jenis keterampilan yang diajarkan bersifat komprehensif yaitu sport massage, segmen massage, Anma, shiatsu, reflexsi, cosmetic massage, dan zona terapi. Bimbingan Hidup Sehari-hari, atau dikenal dengan ADL, dilaksanakan 1 s/d 2 tahun oleh Peksos dilakukan secara individual maupun kelompok. Bimbingan Orientasi Dilaksanakan selama 3 bulan sebelum masuk ke program vokasional dalam bentuk pengenalan baca tulis braille, etika dan lingkungan PSBN. Kendala dalam melaksanakan tugas sehari-hari 1) kurangnya dukungan dari pihak keluarga dan masyarakat, 2) kurangnya ruang praktek dan teori massage, 3) kurang alat peraga untuk praktek anatomi, 4) petunjuk teknis rehabilitasi belum pada kedua PSBN. Dalam pelaksanaannya pada kedua panti mempunyai gaya sendiri-sendiri, namun tujuannya sama. Tapi bila diamati modul di PSBN Tan Miyat lebih terarah. Hal ini di dukung oleh tenaga baik jumlah maupun kwalitas yang memadai, petujuk teknis dan standar yang dimiliki PSBN Tan Miyat.
198
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
e. Resosialisasi Menurut pedoman rehabilitasi sosial, resosialisasi adalah suatu kegiatan untuk mempersiapkan klien agar dapat berintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap ini yaitu: Pertama, bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat, bertujuan menumbuhkan kemampuan ODK netra dalam berintegrasi dimasyarakat dan menumbuhkan kemauan masyarakat untuk menerima kehadiran ODK netra dalam keluarga dan lingkungan sosialnya. Kedua, bimbingan sosial hidup bermasyarakat, bertujuan agar ODK netra mampu menyesuaikan diri dan melakukan kegiatan hidup bermasyarakat. Ketiga, pembinaan bantuan stimulans usaha ekonomis produktif, bertujuan agar klien dapat berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan memperoleh permodalan dan peralatan usaha kerja. Keempat, bimbingan usaha/kerja produktif, bertujuan agar klien mampu menerapkan keterampilan/usaha/kerja serta memanfaatkan stimulan dalam pelaksanaan usha kerja. Kelima, penyaluran, bertujuan agar klien mampu mendapatkan lapangan usaha/ kerja sesuai dengan keterampilan yang dimiliki dan perangkat kerja yang ada. Dalam pelaksanaannya pada kedua panti dapat dilihat pada uraian berikut. Pelaksanaan di PSBN Tumou Tou Pada tahap ini seharusnya dilakukan bimbingan kesiapan keluarga dan masyarakat tetapi tidak dilaksanakan oleh kabupaten/kota/panti dan bimbingan kerja serta usaha, dilaksanakan melalui kegiatan PBK selama 3 bulan. Pemberian bantuan modal, hanya untuk beberapa siswa yang berprestasi. Bimbingan hidup bermasyarakat, dilaksanakan secara praktis tanpa modul/juknis. Kemudian penyaluran kerja, belum bekerjasama dengan pihak-pihak terkait. Sebagian besar dibantu oleh para alumni yang telah berhasil.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
199
Kendala dalam melaksanakan kegiatan ini antara lain 1) kegiatan ini belum dilaksanakan sesuai pedoman, 2) pelaksanaannya belum melibatkan instansi sosial kabupaten/ kota dan dunia usaha. Pelaksanaan di PSBN Tan Miyat Kegiatan yang dilakukan pada tahap resosialisasi yaitu 1) Penjajagan tempat usaha, dilakukan oleh Peksos dan Sie Rehsos pada bulan Juni s/d Juli di lingkungan masyarakat selama 2 hari; 2) Pembekalan hidup bermasyarakat, dilakukan oleh Sie Rehsos dan Peksos: 3) Pembekalan pengelolaan usaha, dilakukan oleh Sie Rehsos, Peksos dan Nara Sumber pada bulan Juni selama 2 hari di PSBN. Nara sumber biasanya diundang alumni yang berhasil; 4) Menyusun rencana aksi usaha, dilaksanakan oleh Peksos, Sie Rehsos bersama calon tempat usaha, penyandang disabilitas di PSBN dan di lingkungan masyarakat selama 10 hari; 5) Penyaluran dan bimbingan lanjut, dilaksanakan oleh Peksos dan Sie Rehsos di tempat penyandang disabilitas berusaha selama 2 hari. Bimbingan lanjut dilakukan 6 bulan setelah penyaluran dalam bentuk monitoring dan evaluasi baik kunjungan langsung maupun melalui telp. Jika ada masalah baru dilakukan advokasi. Kendala yang dirasakan pada tahap ini antara lain kurangnya dukungan dari pihak terkait ( Pemda setempat dan lingkungan masyarakat ) dan dana kurang memadai . Bila dilihat pelaksanaan pada kedua panti, langkah-langkah yang dilakukan PSBN Tan Miyat lebih mendekati buku pedoman. Namun di kedua masih mengalami kendala yang sama yaitu pengalokasian dana yang masih minim untuk kegiatan ini.
200
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
f. Bimbingan Lanjut Menurut buku pedoman bimbingan lanjut adalah bimbingan peningkatan kehidupan bermasyarakat dan berperan serta dalam kegiatan pembangunan, tujuannya agar ODK netra mampu berintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan berperan serta dalam kegiatan pembangunan Pelaksanaan di PSBN Tumou Tou Pada tahap ini dilakukan kegiatan peningkatan pemantapan kerja, pemantapan stabilitas pelayanan rehabilitasi sosial, dan kunjungan petugas dalam rangka motivasi, konsultasi dengan menggunakan instrumen monitoring dan evaluasi. Pelaksanaan di PSBN Tan Miyat Pada PSBN Tan Miyat , kegiatan bimbingan lanjut merupakan bagian dari tahapan resosialisasi. Bimbingan lanjut yang dilakukan adalah berupa monitoring dan evaluasi dalam rangka pemutusan hubungan Bila dilihat dari pelaksanaan pada kedua panti, bimbingan lanjut belum dilaksanakan secara maksimal sesuai pedoman. Kegiatan pada buku pedoman juga belum dirumuskan sesuai konsep yang dikemukakan oleh Seafor & Horejsi (2003) dan Wrodside Mc Clam (2003). Sehubungan dengan itu buku pedoman yang ada perlu dikaji lagi, karena secara konseptual kegiatan ini adalah penting dan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilah rehabilitasi. g. Terminasi Terminasi dilakukan setelah klien memenuhi persyaratan yaitu telah mantap sumber penghidupannya, berkemampuan dan berkemauan melaksanakan fungsi sosialnya serta mampu berperan serta dalam pembangunan. Di PSBN Tumou Tou pemutusan hubungan kerja dilakukan setahun setelah bimbingan lanjut..
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
201
Di PSBN Tan Miyat, Pada tahapan ini melakukan penilaian terhadap eks klien. di rumah/tempat tinggalnya selama 2 hari. Aspek yang dinilai antara lain perilaku positif, kelancaran usaha dan dukungan masyarakat lingkungan. Setahun setelah penyaluran, ketiga aspek tersebut di atas sudah baik semuanya maka dilakukan pemutusan hubungan oleh Pekerja sosial secara formal dengan PSBN. Tempatnya bisa di Panti dan bisa di masyarakat 3. Hasil Yang Dicapai Hasil yang dicapai dapat dilihat dari pencapaian tujuan program rehabilitasi melalui panti sosial atau manfaat yang dirasakan. Dari program rehabilitasi yang telah dilakukan di dalam panti maupun melalui kegiatan bimbingan lanjut setelah mereka ke luar dari panti ada beberapa pihak yang merasakan manfaatnya yaitu penyandang disabilitas, keluarga dan masyarakat di lingkungannya serta panti sosial bina netra. a. Penyandang Disabilitas Keberhasilan klien dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain; bisa baca tulis braille, mampu melaksanakan ADL/OM, dapat melakukan sport massage, shiatsu, refleksi, cosmetik massage dan keterampilan lainnya seperti : musik, dan kerajinan tangan. Kemudian dapat bekerja dan berpenghasilan. Penghasilan mampu menghidupi diri dan keluarganya. Mampu bersosialisasi dalam masyarakat dan turut aktif dalam kegiatan masyarakat. Manfaat yang dirasakan oleh eks klien dapat dilihat dari 10 informan yang dijadikan kasus dalam penelitian ini yaitu lima masing-masing PSBN.
202
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Tabel 16. Kasus di PSBN Tumou Tou No.
Tingkat Keberhasilan
Identitas
Keterangan
1
Z-2008, laki-laki Kota Kotamubagu
Berhasil
Bekerja buka panti pijat sendiri, banyak pasiennya, menjadi ketua pertuni, men hidupi keluarga,dan dapat menabung.
2.
TT-2008, laki-laki Kota Manado
Berhasil
Bekerja, punya ta bungan, belum beke luaga, membantu orang tua dan sau dara di kampung
3.
AR-2010, laki-laki Kota Manado
Berhasil
Bekerja pada panti pijat milik tunet, penghasilan cukup menghidupi istri, be lum punya tabungan.
4.
KP-2007, Perempuan Kota Kotamubagu
Kurang berhasil
Bekerja, tetapi kalah bersaing dengan pijat tradisional, kurang dukungan pemda (izin dan pajak) menikah, punya bayi.
5.
SS-2007, Perempuan Kota Kotamubagu
Kurang berhasil
Tidak bekerja, kare na orangtua over pro tektif, belum meni kah (tidak disetujui orantua)
Sumber: Hasil asesmen
Tabel 17. Kasus di PSBN Tan Miyat No.
Identitas
Tingkat keberhasilan
Keterangan
1.
R-2009, laki- laki, SMP, Kota Bekasi
Berhasil
Menikah dengan sesama tunet, suami istri bekerja, bisa meng hidupi keluarga, dan bisa menabung
2.
SS-2010, perempuan DII, Kota bekasi
Berhasil
Menikah, suami istri bekerja, peng hasilan cukup meng hidupi keluarga, menabung utk kon trak rumah
3.
Yn-2010, 37 th, laki- Berhasil laki, Kota Bekasi
Menikah, suami istri bekerja, peng hasilan cukup menghidupi keluarga, menabung
4.
LS-2011, perempuan, 33 th, SMA, Kota Bekasi
Berhasil
Menikah, suami istri bekerja, cukup menghidupi kelu arga, menabung utk kontrak rumah
5.
Ir-2011
Cukup berhasil
Bujangan, bekerja, cukup menghidupi diri sendiri
Sumber: Hasil asesmen
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
203
Dari sepuluh kasus di atas tujuh diantaranya berhasil, satu cukup berhasil, dan dua kurang berhasil. Tingkat keberhasilan eks klien dapat dapat dikelompokkan dalam empat kategori yaitu: Sangat berhasil : Mampu melaksanakan mobilitas, kegiatan sehari-hari menguasi keterampilan, bekerja sesuai keterampilan yang diperoleh, penghasilan cukup untuk diri sendiri dan keluarga dan dapat menabung, bisa berintegrasi dengan lingkungan sosial, pemerintah, masyarakat (LKS,TKSK dan dunia usaha) mendukung kegiatan penyandang disabilitas dalam hal melibatkannya dalam kegiatan kemasyarakatan, membantu dalam melancarkan usaha Penyandang disabilitas Berhasil: Mampu melaksanakan mobilitas, kegiatan sehari-hari menguasi keterampilan, bekerja sesuai keterampilan yang diperoleh, penghasilan cukup untuk diri sendiri dan keluarga dan dapat menabung. Cukup Berhasil : Mampu melaksanakan mobilitas, kegiatan sehari-hari menguasi keterampilan, bekerja sesuai keterampilan yang diperoleh, penghasilan cukup untuk diri sendiri bekerja sesuai keterampilan yang diperoleh, penghasilan cukup untuk diri sendiri. Kurang berhasil : Mampu melaksanakan mobilitas, kegiatan menguasi keterampilan, tetapi tidak bekerja.
sehari-hari
b. Perubahan Persepsi Keluarga dan Masyarakat/Lingkungan 1) Keluarga tidak terlalu melindungi penyandang disabilitas netra.
204
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
2) Masyarakat menghargai dan berkurangnya stigma terhadap penyandang disabilitas netra kearah positif. Mengetahui dan dapat memanfaatkan keterampilan penyandang disabilitas netra. 3) Dunia Usaha dapat menerima penyandang disabilitas netra sebagai tenaga kerja pada perusahaannya. Dari informasi hasil penelitian diketahui bahwa adanya kepercayaan keluarga dan rasa kagum masyarakat terhadap eks klien yang bisa mobilitas sendiri di ruang publik, mampu mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci dan menyetrika, membersihkan rumah, memasak dan lainnya, sehingga hilangnya stigma bahwa tuna netra hidupnya tergantung dengan orang lain. Namun demikian Dunia usaha belum banyak memanfaatkan tenaga kerja penyandang disabilitas netra di perusahaannya. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan antara lain dukungan keluarga atau orang tua, pemda setempat (izin), dunia usaha dan lamanya bekerja. C. Penutup 1. Kesimpulan a. Kondisi panti yang merupakan input dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial, 1) Jumlah pegawai masih dirasakan kurang terutama pekerja sosial khususnya pada PSBN Tumou Tou. 2) Sarana dan prasarana panti sudah memadai, kecuali ruang asesmen yang perlu tersendiri. Alat peraga yang sudah tua yang perlu diperbaharui dan ditambah. 3) Terbatasnya dana yang tersedia yaitu tidak semua kegiatan terdanai mempengaruhi hasil yang dicapai. Pengalokasian dana dalam tahapan kegiatan belum E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
205
proporsional, demikian pula satuan anggaran kegiatan di luar panti dikelompokkan dalam satuan biaya umum (SBU), kegiatan di dalam panti pada satuan biaya khusus (SBK) dan/atau seluruh kegiatan dikelompokkan kedalam SBK. 4) Kebijakan yang ada yaitu Pedoman dan standard rehabilitasi belum seluruhnya diimplementasikan dalam input, proses rehabilitasi dan hasil yang dicapai (out put dan outcome). Belum adanya Perda yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas di daerah. Pedoman yang ada khususnya pembinaan lanjut belum seluruhnya sesuai dengan prisip-prinsip pekerjaan sosial 5) Kriteria calon klien seperti batasan umur , dan status perkawinan perlu dikaji lagi. b. Proses rehabilitasi sosial mulai dari pendekatan awal sampai dengan terminasi 1) Seluruh tahapan dalam proses rehabilitasi sosial pada umumnya sudah dilaksanakan, namun masih ada beberapa kegiatan yang belum maksimal pelaksanaannya seperti pendekatan awal, bimbingan sosial, resosialisasi dan pembinaan lanjut. 2) Peran-peran yang seharusnya dilakukan dinas sosial kab/kota dan provinsi, lembaga kesejahteraan sosial terkait dan tenaga kesejahteraan sosial belum sepenuhnya dilakukan kurangnya sinkronisasi dan koordinasi antara panti dan daerah. Disamping itu tidak adanya alokasi dana APBD untuk menunjang kegiatan pendekatan awal dan pembinaan lanjut 3) Dalam melaksanakan bimbingan sosial dan resosialisasi belum ada modul atau petunjuk pelaksanaannya.
206
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
c. Hasil yang dicapai 1) Penyandang Disabilitas Pada umumnya terjadi perubahan pengetahuan dan keterampilan, PD sudah bisa melaksakan kegiatan sehari-hari secara mandiri, sudah bisa mobilitas di arena publik, sudah bekerja, dan berpenghasilan. Namun masih ada beberapa hambatan bagi PD untuk melaksanakan fungsi sosialnya baik yang berasal dari keluarga, pemerintah daerah dan pengusaha. 2) Keluarga dan masyarakat Adanya perubahan presepsi keluarga dan masyarakat terhadap penyandang disabilitas yang tadinya sangat melindungi dan mengkhawatirkan jika bepergian di ruang publik, sekarang mereka sudah percaya bahwa PD bisa bekerja dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sendiri, namun masih ada keluarga yang masih terlalu melindungi. Demikian pula dengan pemerintah daerah dan dunia usaha masih ada yang belum mendukung kegiatan ini 2. Rekomendasi Bagi PSBN a. Perlu memaksimalkan peran pegawai dan keberfungsian sarana yang tersedia, terutama dalam bimbingan sosial, resosialisasi dan pembinaan lanjut b. Secara bertahap merencanakan penambahan jumlah pegawai, sarana serta perlengkapan rehabilitasi sosial c. Meningkatkan simtem pencatatan, pendokumentasian dan pelaporan kegiatan-kegiatan rehabitasi sosial d. Membuat petunjuk teknis atau modul khususnya untuk kegiatan bimbingan sosial dan resosialisasi dan pembinaan lanjut
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
207
Bagi Instansi Sosial Kabupaten/Kota Dan Provinsi a. Menyediakan data base tentang penyandang disabilitas b. Melaksanakan penyuluhan sosial atau sosialisasi program-program rehabilitasi sosial yang dapat diakses penyandang disabilitas c. Ikut berperan dan mengajak partisipan masyarakat untuk berperan dalam kegiatan pendekatan awal, resosialisasi, binjut dan penyaluran eks klien panti ke lapangan , dengan menganggarkan melalui dana APBD untuk kegiatan tersebut Bagi DPRD Kabupaten/Kota Dan Provinsi a. Membuat Perda tentang Penyandang Disabilitas, agar hak-hak mereka terpenuhi misalnya penerapan kuota 1% b. Menyetujui anggaran untuk kegiatan pemenuhan hak penyandang disabilitas Bagi Kementerian Sosial c/q Drektorat Rehabibilitasi Sosial ODK a. Untuk menghindari kekurangan pegawai pada panti sosial perlu memperbaiki sistem perekrutan pegawai khususnya bagi panti sosial yang berada di luar jawa, dengan melakukan perekrutan melalui provinsi setempat b. Mengalokasikan anggaran bagi setiap tahapan kegiatan secara proporsional c. Mensosialisasikan peraturan perundang-undangan tentang penyandang disabilitas yang baru seperti UndangUndang No.19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Hak-Hak Penyandang Disabilitas d. Menyempurnakan Pedoman Rehabilitasi Sosial bagi Penyandang Disabilitas Netra melalui Panti Sosial.
208
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Bagian 8 PANTI SOSIAL BINA LARAS (PSBL) PHALA MARTHA, SUKABUMI: PENANGANAN ORANG DENGAN KECACATAN MENTAL EKS PSIKOTIK Agus Budi Purwanto Soeprapto Hadi
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permasalahan kesejahteraan sosial Orang Dengan Kecacatan (ODK) mental eks psikotik kini semakin berkembang dan kompleks. Kondisi ini perlu disikapi secara profesional melalui penelaahan mendalam, sistematis dan berkelanjutan. Panti Sosial Bina Laras (PSBL) sebagai fasilitas rehabilitasi sosial berbasis panti, merupakan satu alternatif penanganan dengan memberikan pelayanan melalui berbagai program yang berorientasi pada pemenuhan hak dasar dan pemberian kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan menuju keberfungsian sosial penyandang masalah. Upaya yang dilakukan merupakan respon Pemerintah/Kementerian Sosial dalam penanganan masalah eks psikotik. Pelayanan sosial dengan pendekatan pekerjaan sosial yang dilakukan melalui berbagai tahapan menuntut profesionalisme dan ketekunan pelaksana primer pelayanan. A. Pendahuluan Permasalahan sosial yang dihadapi masyarakat yang dipicu oleh berbagai faktor baik ekonomi, politik, budaya, sosial dan lain sebagainya nampak semakin meningkat. Tekanan ekonomi, politik maupun budaya yang tidak diimbangi kesiapan sikap, mental masyarakat untuk menerima kenyataan akan berdampak pada kondisi sosial psikologis masyarakat. Akhirnya tidak sedikit yang bersangkutan hingga mengalami kecacatan mental/psikotik.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
209
Pesatnya kemajuan teknologi informasi di era global seperti saat ini juga berdampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Disisi lain dengan berbagai macam perbedaan kondisi masyarakat, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan yang terjadi di lingkungannya, sehingga timbul perasaan cemas, stres, depresi dan lain-lain. Akibat dari hal tersebut gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global, namun banyak orang yang tidak menyadari jika mereka mungkin mengalami masalah kesehatan jiwa, karena masalah kesehatan jiwa bukan hanya gangguan jiwa berat saja. Tekanan hidup yang menghimpit terkait dengan masalah ekonomi, sosial, politik dan permasalahan internal keluarga yang dianggapnya menimbulkan kegelapan masa depan menyebabkan banyak masyarakat menderita sakit jiwa mulai dari yang ringan sampai berat. Gangguan jiwa walaupun tidak langsung menyebabkan kematian, namun akan menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi individu dan beban berat bagi keluarga, baik mental maupun materi karena penderita menjadi kronis dan tidak lagi produktif. M. Arif Budiman dalam Stigmatisasi Gangguan Jiwa mengatakan bahwa berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, prevalensi gangguan jiwa di Indonesia 264 orang per 1000 penduduk terbagi atas psikosis (3/1000), demensia (4/1000), mental (5/1000), emosional usia 15 tahun ke atas (140/1000) dan emosional usia 5-14 tahun (114/1000). Hal yang paling memilukan hati tingginya angka bunuh diri disertai pembunuhan terhadap anak yang mereka kasihi. Kasus yang sudah semakin prevalen ini perlu menjadi perhatian kita, terutama Pemerintah dan kementerian terkait, untuk ditangani secara seksama agar tidak menjadi semakin memburuk. Untuk mengembalikan fungsi penyandang masalah kecacatan mental/psikotik diperlukan pendekatan secara medis maupun sosial. Penanganan secara medis menjadi kewenangan
210
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Kementerian Kesehatan (dalam hal ini Rumah Sakit Jiwa) baik pemerintah maupun swasta dan untuk memulihkan fungsi sosialnya, peran Kementerian Sosial menjadi tumpuan untuk melakukan rehabilitasi. Panti Sosial Bina Laras (PSBL) Phala Martha Sukabumi merupakan salah satu unit teknis Kementerian Sosial yang berfungsi memberikan pelayanan sosial kepada Orang Dengan Kecacatan (ODK) Mental Eks Psikotik, dengan menggunakan pendekatan ganda yaitu memberikan pelayanan kepada klien maupun kepada orang tua/keluarga atau orang yang terkait dengan klien. Dengan berbagai keterbatasan yang ada PSBL Pala Martha sebagai lembaga rehabilitasi sosial senantiasa berupaya untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pelayanan sosial berdasarkan metode, pendekatan dan prinsipprinsip pekerjaan sosial maupun profesi lain yang terkait sejak awal hingga akhir pelayanan. Beberapa kondisi umum panti sosial yang ditemui dari kajian awal (preelemenary research) banyak masalah yang dijumpai dalam pelaksanaan pelayanan terutama pada pembinaan lanjut di berbagai panti sosial, antara lain: a) Pembinaan lanjut dipahami hanya sekedar kegiatan monitoring, yang dilakukan dengan mengunjungi eks klien baik ke keluarganya maupun ke tempat kerja, b) Jangkauan pelayanan panti sosial yang cukup luas, tidak sebanding dengan kondisi SDM dan anggaran yang ada, c) Belum berfungsinya lembaga pengirim untuk melaksanakan pembinaan lanjut pasca pelayanan panti sosial. Permasalahan dimaksud juga dihadapi PSBL “Phala Martha”, dalam pelayanan seperti: pada proses pelayanan belum terpenuhinya sarana prasarana pelayanan, keterbatasan kualitas, kuantitas pelaksana pelayanan, kurangnya kajian model pelayanan yang sesuai kondisi klien. Pelaksanaan Binjut yang belum optimal karena keterbatasan anggaran dan luasnya jangkauan eks klien, kurangnya peran institusi terkait.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
211
Dari berbagai kondisi tersebut Puslitbang Kesos pada TA. 2012 bermaksud melakukan penelitian pelayanan panti sosial terutama melihat pelaksanaan dan hasil pembinaan lanjut. Dari permasalahan umum yang ada, maka pertanyaan pada penelitian ini adalah: a) Bagaimana proses rehabilitasi sosial yang dilaksanakan, b) Bagaimana kebijakan, program dan kegiatan pembinaan lanjut serta pemahaman petugas panti sosial terhadap pembinaan lanjut, d) Bagaimana peran Pekerja Sosial dalam pelayanan, khususnya pada pembinaan lanjut yang dilakukan e) Bagaimana hasil yang dicapai dari kegiatan pembinaan lanjut (termasuk peran keluarga eks klien, masyarakat, dan jejaring kerja/ stake holder) dan f) Faktor-faktor yang berpengaruh (pendukung dan penghambat dalam pembinaan lanjut? Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi tentang: a) tentang proses rehabilitasi sosial yang dilaksanakan; b) tentang kebijakan, program dan kegiatan Pembinaan Lanjut yang dilakukan Pekerja Sosial; c) tentang pemahaman petugas panti dalam hal Pembinaan Lanjut, praktek pelaksanaannya dan hasil yang dicapai; d) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Pembinaan Lanjut. Untuk hal itu, sasaran substansi pada berfokus pada segala sumber/ informasi yang dianggap dapat menjawab tujuan penelitian. Penelitian bersifat evaluatif dengan maksud untuk mendapatkan gambaran faktual pelayanan, lebih fokus pada pembinaan lanjut yang telah dilakukan panti. Terkait hal tersebut, evaluasi pembinaan lanjut dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dan selanjutnya mendiskripsikan, menganalisis data dan informasi yang komprehensif, mendalam tentang berbagai hal yang menyangkut pelaksanaan pembinan lanjut, lebih fokus pada peran Pekerja Sosial di dalamnya. Pengumpulan data dilakukan melalui: a) Wawancara mendalam dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai panduan (interview guide); b) Focus Group Discussion (FGD) dengan unsur 212
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
struktural dan fungsional di panti yang terlibat dalam pelaksanaan Pembinaan Lanjut (Pekerja Sosial, Dokter, Psikolog, Instruktur), c) Observasi terhadap pelaksanaan Binjut yang dilakukan oleh petugas panti dan observasi terhadap kondisi eks klien, dan d) Studi dokumentasi terhadap berbagai dokumen yang dimiliki panti sosial yang relevan dengan tujuan penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Terlebih dahulu data dikelompokkan menurut indikator kegiatan yang terdiri dari indikator inputs, proses, outputs dan outcomes. Pelaksanaan rehabilitasi fungsi sosial bagi para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), sebagaimana para penyandang eks psikotik, pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial melakukannya melalui pelayanan sosial di Panti Sosial. Panti sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteran sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan penyandang masalah kesejahteraan ke arah kehidupan normatif secara fisik, mental dan sosial (Balatbangsos, 2004). Oleh sebab itu pelayanan melalui sistem panti pada hakekatnya merupakan upaya-upaya yang bersifat pencegahan, penyembuhan, rehabilitasi, dan pengembangan potensi klien. Panti mempunyai fungsi utama sebagai tempat penyebaran layanan; pengembangan kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi tempat dibawahnya (dalam sistem rujukan/referral system) dan tempat pelatihan keterampilan. Prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan panti sosial dan atau lembaga pelayanan sosial lain yang sejenis adalah: (1) memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan; menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat; (2) menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan yang bersifat pencegahan,
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
213
perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengembangan; (3) menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang berkesinambungan; (4) menyediakan pelayanan berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya; dan (5) memberikan kesempatan kepada klien untuk berpatisipasi secara aktif dalam usaha-usaha pertolongan yang diberikan. (Balatbangsos, 2004). Adapun proses pelayanan panti sosial meliputi (1) tahap pendekatan awal; (2) assesment; (3) perencanaan program pelayanan; (4) pelaksanaan pelayanan; dan (5) pasca pelayanan. Tahap pasca pelayanan terdiri dari penghentian pelayanan, rujukan, pemulangan/ penyaluran dan pembinaan lanjut. Pembinaan lanjut merupakan tahap akhir pelayanan, dari proses rehabilitasi sosial atau pemulihan, yang ditujukan agar eks klien dapat beradaptasi dan berperan serta di dalam lingkungan keluarga, kelompok, lingkungan kerja, dan masyarakat. Pembinaan lanjut dapat diberikan dalam berbagai macam bentuk, tergantung pada kebutuhan masing-masing eks klien. Program pembinaan lanjut ini merupakan bagian yang integral dalam rangkaian proses pelayanan sosial dan tidak dapat dianggap sebagai modalitas treatment yang berdiri sendiri. Hal ini berkaitan dengan pemahaman umum bahwa setelah klien menjalani program rehabilitasi primer di panti rehabilitasi, mereka masih memerlukan perawatan atau bimbingan lanjutan agar proses reintegrasi ke masyarakat dapat berlangsung lancar. Pada kenyataannya treatment tidak berhenti di dalam panti rehabilitasi melainkan terus berlanjut sampai klien kembali ke masyarakat, mampu mengembangkan gaya hidup yang sehat dan menjadi manusia yang produktif (BNN,2008) Didalam melakukan pelayanan kepada klien selama didalam panti maupun setelah pelayanan, secara fungsional para Pekerja Sosial mempunyai peran sentral, meskipun harus ditunjang
214
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
oleh peran fungsional lainnya seperti: perawat, dokter, psikolog, instruktur keterampilan dan lain-lain. Proses pelayanan sosial berakhir ketika terminasi berlangsung. Namun karena tanggungjawab terhadap klien, seringkali dilanjutkan dengan pelayanan lanjutan (after care). Pembinaan lanjut yang dilaksanakan selama ini adalah interpretasi dari prinsip-prinsip pekerjaan sosial. Pembinaan lanjut tidak boleh lepas dari prinsip-prinsip yang digunakan dalam memandu aktivitas praktik pekerjaan sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Sheafor dan Horejsi (2003), diantaranya yaitu: a) Seorang pekerja sosial harus dapat memaksimalkan pemberdayaan kliennya, b) Seorang pekerja sosial harus terus menerus melakukan evaluasi terhadap kemajuan dari perubahan yang dicapai klien, dan c) Seorang pekerja sosial harus bertanggungjawab kepada lembaga, masyarakat dan profesi pekerjaan sosial. Konsep pelayanan sosial menurut Alfred J. Khan yang dikutip oleh Soetarso (1980), adalah pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh lembaga kesejahteraan sosial disebut dengan pelayanan kesejahteraan sosial. Sedangkan menurut Romanyshyn yang dikutip oleh Fahrudin (2011), pelayanan sosial sebagai usaha untuk mengembalikan, mempertahankan dan meningkatkan keberfungsian sosial individu dan keluarga melalui (1) sumbersumber sosial pendukung, (2) proses-proses untuk meningkatkan kemampuan individu dan keluarga dalam mengatasi stres dan tuntutan kehidupan sosial. Pelayanan sosial dapat ditafsirkan dalam konteks kelembagaan yang terdiri atas program-program yang disediakan berdasarkan kriteria untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar kesehatanpendidikan-kesejahteraan, untuk memudahkan akses pada pelayanan dan lembaga-lembaga umumnya dan untuk membantu mereka yang berada dalam kesulitan (Fahrudin, 2011). Sebagaimana peran dokter dalam sistem pelayanan kesehatan, guru dalam sistem pelayanan pendidikan, maka pekerja sosial
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
215
memiliki peran sentral dalam sistem pelayanan sosial. Sebagai sebuah profesi kemanusiaan, pekerja sosial memiliki seperangkat ilmu-pengetahuan (body of knowledge), keterampilan (body of skills) dan nilai (body of values) yang diperolehnya melalui pendidikan formal dan pengalaman profesional. Ketiga perangkat tersebut membentuk pendekatan pekerjaan sosial dalam membantu kliennya. Mengacu pendapat Edi Suharto (2006), ada empat peran profesi pekerjaan sosial dalam pelayanan sosial, yaitu: a) Meningkatkan kapasitas orang dalam mengatasi masalah yang dihadapinya. Dalam menjalankan peran ini, pekerja sosial mengidentifikasi hambatan-hambatan klien dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pekerja sosial juga menggali kekuatankekuatan yang ada pada diri klien guna mengembangkan solusi dan rencana pertolongan, b) Menggali dan menghubungkan sumber-sumber yang tersedia di sekitar klien. Beberapa tugas pekerja sosial yang terkait dengan peran ini antara lain: (1) membantu klien menjangkau sumber-sumber yang diperlukannya; (2) mengembangkan program pelayanan sosial yang mampu memberikan manfaat optimal bagai klien; (3) meningkatkan komunikasi diantara para petugas kemanusiaan; dan (4) mengatasi hambatan-hambatan dalam proses pelayanan sosial bagi klien. c) Meningkatkan jaringan pelayanan sosial. Tujuan utama dari peran ini adalah untuk menjamin bahwa sistem kesejahteraan sosial berjalan secara manusiawi, sensitif terhadap kebutuhan warga setempat dan efektif dalam memberikan pelayanan sosial terhadap masyarakat dan d) Mempromosikan keadilan sosial melalui pengembangan kebijakan sosial. Dalam menjalankan peran ini, pekerja sosial mengidentifikasi isu-isu sosial dan implikasinya bagi kehidupan masyarakat. Kemudian, pekerja sosial membuat naskah kebijakan (policy paper) yang memuat rekomendasirekomendasi bagi pengembangan kebijakan-kebijakan baru maupun perbaikan atau pergantian kebijakan-kebijakan lama
216
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
yang tidak berjalan efektif. Selain itu, dalam melaksanakan peran ini, pekerja sosial juga bisa menterjemahkan kebijakan-kebijakan publik kedalam program dan pelayanan sosial yang dibutuhkan klien. B. Gambaran Umum Panti Sosial Panti Sosial Bina Laras (PSBL) Pala Martha Sukabumi, berdiri sejak tahun 1945. Keberadaan panti ini berawal sebagai tempat penampungan korban perang kemerdekaan, selanjutnya berkembang menjadi tempat penampungan berbagai masalah kesejahteraan sosial. Sebagaimana Keputusan Menteri Sosial RI Nomor: 59/HUK/2003 Panti Sosial Bina Laras (PSBL) Pala Martha Sukabumi merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Kementerian Sosial yang khusus menangani permasalahan sosial Orang Dengan Kecacatan (ODK) Mental eks Psikotik. PSBL Pala Martha saat ini memiliki daya tampung untuk memberikan pelayanan kepada klien/Penerima Manfaat mencapai 160 orang eks psikotik. Secara operasional untuk mendukung proses pelayanan, berdasarkan rekapitulasi data pegawai PSBL Pala Martha tahun 2011 saat ini panti memiliki Sumber Daya Manusia sejumlah 49 orang, dengan komposisi pejabat struktural: 4 orang (8,16%); fungsional pekerja sosial: 21 orang (42,84%); Arsiparis: 1 orang (2,04%) dan staf: 23 orang (46,92%). Untuk Pekerja Sosial saat penelitian ini dilakukan jumlahnya tinggal 16 orang yang melayani klien eks psikotik. Ditinjau dari latar belakang pendidikan pegawai meliputi: Pasca Sarjana: 1 orang (2,04%); Sarjana: 15 orang (30,6%); Diploma III: 4 orang (8,16%); SLA: 21 orang (42,84%); SLP: 4 orang (8,16%) dan SD: 4 orang (8,16%) Tenaga-tenaga ahli/profesional yang tidak dimiliki panti, seperti: Dokter, Psikiater, perawat masih harus dilakukan kerjasama dengan institusi lain. Dokter (1 orang) dari RSUD Sekarwangi, Sukabumi; Psikiater (Tim) dari RSJ Grogol dan RS Marzuki Mahdi
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
217
Bogor dan Perawat (4 orang) merupakan tenaga honorer. Untuk menunjang kelancaran operasional panti, didukung tenaga kontrak kerja sebanyak 43 orang. Ditinjau dari jumlah pegawai, khususnya Pekerja Sosial yang jumlahnya tinggal 16 orang dan mempunyai peran langsung dalam pelayanan kepada klien jika dibandingkan dengan jumlah klien yang dilayani mencapai 160 orang/tahun, berarti 1 orang Peksos harus menangani 10 orang klien (1 : 10). Jika idealnya penanganan klien 1 : 5, maka jumlah Pekerja Sosial masih perlu adanya penambahan. Sarana prasarana untuk menunjang pelaksanaan pelayanan kepada klien tersedia berbagai ruangan yang terdiri dari: R. Perkantoran; R. Keterampilan; R. Kesehatan/Klinik; R. Motivasi/ Belajar; R. Isolasi; R. Aula; R. Asrama; Rumah Dinas; Wisma Petugas; R. Pertemuan/Diskusi/CC; Lapangan Olah Raga R. Dapur;, Sarana Kesenian dll, pada areal lahan panti yang luasnya kurang lebih mencapai 6 Ha ( 3 Ha lokasi PSBL dan 3 Ha lokasi RPS). Sarana keterampilan yang ada meliputi: keterampilan jahitmenjahit, masak-memasak, pertukangan/cetak batako, seni musik, pertanian dll. C. Proses Rehabilitasi Sosial Secara garis besar palayanan yang dilakukan oleh PSBL Phala Martha kepada klien eks psikotik merupakan suatu proses dimana setiap tahapan proses harus dilakukan dan saling berkaitan. Tahapan proses pelayanan meliputi : Pendekatan Awal, Penerimaan, Asesment, Pembinaan dan Bimbingan, Resosialisasi, Pembinaan Lanjut, Evaluasi dan Terminasi. 1. Pendekatan Awal Pendekatan awal merupakan tahapan kegiatan yang mengawali keseluruhan kegiatan/proses rehabilitasi sosial, untuk mempersiapkan kegiatan rehabilitasi sosial. Pelaksana
218
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pada tahap ini adalah seksi Program dan Advokasi Sosial (PAS), seksi Rehabilitasi Sosial (Rehabsos) dan Pekerja Sosial. Kegiatan ini dilakukan sebelum calon klien masuk panti, sampai pada penempatan calon klien di asrama dengan mekanisme yang telah ditentukan. Secara kronologis urutan kegiatan pada tahap Pendekatan Awal meliputi kegiatan: orientasi dan konsultasi, identifikasi, motivasi dan seleksi. Orientasi dan konsultasi adalah kegiatan pengenalan program pelayanan rehabilitasi sosial eks psikotik PSBL Pala Martha dan penyampaian informasi tentang penerimaan/ pendaftaran calon klien kepada berbagai pihak untuk mendapatkan dukungan dan bantuan serta partisipasinya dalam mendapatkan calon klien penderita eks psikotik. Kegiatan ini diawali pihak panti mengirimkan surat pemberitahuan kepada Dinas Sosial Kabupaten/Kota dan instansi terkait tentang dibukanya pendaftaran dan penerimaan calon klien penderita eks psikotik untuk diberikan pelayanan rehabilitasi. Pekerja Sosial melakukan penyuluhan sosial langsung kepada masyarakat terutama pada wilayah atau kantong-kantong dimana populasi penderita eks psikotik cukup banyak. Persyaratan yang harus dipenuhi calon klien meliputi: surat keterangan/rujukan dari psikiater atau dokter RSJ, tidak cacat ganda (fisik dan mental) dan berpenyakit menular, rekomendasi Dinas Sosial setempat calon klien, masih berusia 17 - 45 tahun. Identifikasi calon klien yang dilakukan oleh Pekerja Sosial panti untuk memperoleh data dan informasi detail tentang latar belakang permasalahan klien, potensi dan sumber pelayanan yang ada di lingkungannya dengan menggunakan formulir (baku) yang telah dipersiapkan oleh pihak panti.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
219
Dalam pelaksanaannya tidak semua data dan informasi dimaksud dapat diperoleh secara lengkap, karena tidak semua klien diantar oleh orang tuanya sendiri sehingga mereka tidak tahu persis tentang latar belakang permasalahan dan hal-hal lain yang diperlukan. Kondisi demikian yang menghambat petugas (Pekerja Sosial) dalam mendiagnosa kondisi calon klien. Motivasi yang dilakukan secara profesional oleh Pekerja Sosial panti kepada klien diharapkan dapat menumbuhkan keinginan/kemauan, minat, pengertian dan pemahamannya untuk mengikuti progran rehabilitasi sosial dengan kesadaran sendiri dan bertanggung jawab. Selain itu Pekerja Sosial panti juga memberikan penguatan kepada calon klien dan keluarganya, memberikan penjelasan dan informasi tentang kondisi panti, hak-hak dan kewajiban klien selama di dalam panti, tata tertib dan aturan-aturan yang harus ditaati klien. Seleksi klien dilakukan untuk menetapkan calon klien yang benar-benar memenuhi persyaratan yang ditentukan. Selain itu seleksi juga didasarkan pada realita, dimana kapasitas panti sangat terbatas (maksimal 160 orang) sementara populasi penderita eks psikotik jumlahnya semakin meningkat dan animo untuk mengikuti program pelayanan rehabilitasi sosial di dalam panti cukup besar. Seleksi terhadap calon klien dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu di dalam panti atau petugas sosial panti jemput bola dengan mendatangi tempat tinggal calon klien. Mengacu data-data calon klien yang terkumpul, lalu Pekerja Sosial melakukan case conference (CC) hasil seleksi untuk membuat rekomendasi kepada pimpinan panti dalam menentukan diterima atau tidaknya calon klien yang telah diseleksi.
220
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
2. Penerimaan. Dari hasil seleksi, pimpinan panti menetapkan calon klien yang layak dan memenuhi persyaratan untuk diterima sebagai klien definitif di PSBL Phala Martha. Bagi calon klien yang diterima selanjutnya dilakukan kegiatan registrasi, penempatan dalam program rehabsos dan orientasi. Registrasi dilakukan untuk pencatatan ke dalam buku induk register, dan pengisian beberapa formulir yang telah disiapkan untuk melengkapi data-data klien dan data wali atau penanggungjawab klien. Kegiatan selanjutnya adalah pembuatan surat perjanjian kontrak antara pihak panti yang dalam hal ini diwakili seksi Rehabsos dengan pihak klien dan keluarganya dan disyahkan pimpinan panti. Isi surat perjanjian tersebut pada intinya adalah bahwa pelayanan rehabilitasi sosial yang diberikan oleh PSBL Phala Martha maksimal selama 2 (dua) tahun. Selama klien menjalani proses rehabilitasi sosial di PSBL Phala Martha, orangtua atau wali penanggungjawab tetap bertanggung jawab dan turut berpartisipasi dalam proses rehabilitasi sosial klien dengan kewajiban menjenguknya selama pelayanan. Selanjutnya klien ditempatkan dalam asrama untuk segera memulai dan mendapatkan pelayanan rehabilitasi sosial. Beberapa kasus pernah terjadi saat pengasramaan, meskipun dalam persyaratan secara medis telah sembuh dari gangguan psikotik yang dinyatakan surat keterangan dari rumah sakit jiwa terpenuhi, namun dalam kenyataannya banyak klien yang diterima masih mengalami gangguan psikotis yang cukup serius, ditandai dengan mengamuk, berontak. Terhadap klien demikian terpaksa terlebih dahulu ditempatkan pada ruang isolasi dan setelah kondisi emosionalnya stabil baru dipindahkan ke ruang asrama bersama klien lainnya. Klien yang mengalami gangguan kestabilan emosinya, maka mereka mengalami kesulitan dan gangguan penyesuaian
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
221
dirinya dengan lingkungannya. Oleh karenanya pekerja sosial panti selaku orang tua pengganti secara intensif melakukan bimbingan orientasi untuk pengenalan lingkungannya, memperkenalkan dengan sesama klien, pengenalan aturan dan tata tertib yang berlaku serta larangan yang tidak boleh dilanggar, pengenalan simbol-simbol misalnya mendengar bunyi bel waktunya harus bangun tidur, waktunya harus tidur dan tidak berkeliaran, bunyi adzan waktunya sholat, bunyi musik di lapangan harus berkumpul untuk olah raga bersama dan lain sebagainya. Lambat laun klien mulai memahami dan merasa tenang/nyaman, sehingga mau dan bisa melakukan kegiatan yang harus diikuti. Secara umum perlu dipahami bahwa mekanisme penerimaan klien di PSBL Pala Martha berbeda dengan panti sosial lainnya yang waktu pelayanannya bersifat reguler. Penerimaan dapat terjadi setiap saat selama kapasitas panti masih memadai dan berakhir pelayanan dalam panti setelah habisnya masa layanan 2 tahun. Menurut catatan bahwa setiap bulan daftar calon klien yang ingin/perlu mendapatkan pelayanan mencapai 10 – 15 orang penderita eks psikotik. 3. Asesmen Assesmen dilakukan oleh Pekerja Sosial, Psikolog dan petugas lainnya dalam rangka mengungkap, menelaah, memahami, menganalisis dan menilai masalah klien. Assesment Problematik, dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai latar belakang permasalahan klien terkait dengan bakat, minat, kemampuan dan harapannya. Hasilnya sebagai bahan pertimbangan untuk menempatkan klien dalam program kegiatan yang tersedia, perencanaan masa depan klien, pemecahan masalah klien dan pengembangannya. Assesment Vokasional, untuk menentukan dan menempatkan klien dalam program latihan keterampilan yang tersedia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. 222
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Dari catatan hasil asesmen setiap klien, Pekerja Sosial berupaya untuk dapat memberikan alternatif pendekatan pelayanan yang tepat. 4. Pembinaan dan Bimbingan Untuk memulihkan kondisi klien agar mau dan mampu melakukan peran dan fungsi sosialnya, pelibatan klien secara aktif merupakan hal yang sangat penting. Untuk itu bimbingan kepada klien meliputi: bimbingan sosial, bimbingan mental (psikologis dan spiritual), bimbingan fisik, bimbingan dan latihan keterampilan. Bimbingan Sosial dilakukan secara pribadi melalui (konseling), secara kelompok (terapi kelompok/dinamika kelompok) dan bimbingan sosial kepada masyarakat melui penyuluhan sosial Untuk melakukan bimbingan sosial ini setiap Pekerja Sosial bertanggungjawab terhadap antara 8 - 10 orang klien. Setiap hari/pagi Peksos melakukan kontak dengan klien binaannya untuk melihat dan mengingatkan berbagai hal seperti: mandi, merapikan ruangan, minum obat dan menampung cerita maupun keluhan klien. Bimbingan kesenian (musik, menyanyi) dilakukan 1 – 2 kali per minggu. Kegiatan ini dilaksanakan di Ruang Aula dan diikuti dengan senang hati oleh semua klien dengan menyanyi dan berjoget. Menurut Pekerja Sosial dan pelaksana lainnya, kegiatan ini dapat menurunkan emosional klien dan meningkat kreativitasnya Bimbingan Mental (psikologis dan spiritual/agama), untuk menumbuhkan, meningkatkan kemampuan klien dalam mengatasi tantangan hidup dan permasalahan yang dihadapinya, dengan cara yang tidak melanggar norma sosial, norma agama melalui penanaman budi pekerti, ibadah dan menumbuhkan pandangan hidup yang positif untuk mengurangi gejal-gejala gangguan psikis.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
223
Bagi klien yang beragama Islam diajarkan untuk sembahyang berjamaah setiap hari di mushola, belajar baca tulis Al Qur’an. Bagi yang beragama Kristen dilakukan dengan mendatangkan Pendeta atau membawa klien beribadah ke gereja terdekat. Bimbingan Psikis dan Fisik, dilakukan untuk menjaga kesehatan psikis dan fisik, kesegaran jasmani, kebersihan dan penyampaian pengetahuan tentang kesehatan. Pemeriksaan/konsultasi medik psikiatri dilakukan sebulan sekali oleh Psikiater dari RS. M. Mahdi Bogor dan pemeriksaan fisik kesehatan dilakukan oleh Dokter RSUD seminggu sekali dan perawatan harian dilakukan setiap hari oleh Perawat di Poliklinik panti. Untuk kebugaran tubuh dilakukan olahraga senam (SKJ) bersama minimal 3 kali seminggu di pagi hari dan juga melakukan olah raga sesuai pilihan masing-masing klien. Selain itu juga diberikan instruksi untuk bangun pagi jam.05.00, merapikan kembali tempat tidur, membersihkan ruangan bersama-sama dan mandi pagi yang dilakukan secara rutin di bawah pengawasan Peksos panti sebagai orang tua pengganti di masing-masing barak/asrama). Bimbingan dan Pelatihan keterampilan, dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan klien dari berbagai jenis keterampilan kerja dan usaha, yang diharapkan dapat menunjang kehidupannya sepulangnya dari panti. Jenis keterampilan yang diikuti oleh klien didasarkan pada hasil assesmen yang telah dilakukan sebelumnya, namun tentunya disesuaikan dengan jenis keterampilan yang tersedia di panti. Adapun jenis keterampilan yang diberikan/diselenggarakan antara lain: keterampilan menjahit, kerajinan tangan (bordir/ menyulam, dan membuat kesed), memasak, pembuatan batako, pertanian/tanaman hias dan perikanan.
224
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Pelatihan keterampilan ditangani oleh instruktur dari setiap jenis keterampilan bersama Pekerja Sosial dan dilakukan di ruang/kelas keterampilan. Kegiatan ini sangat dirasakan manfaatnya bagi klien (khususnya bagi PM yang kondisinya telah stabil) untuk pengembangan dirinya. Dari setiap jenis keterampilan diikuti oleh antara 20 - 30 orang klien. 5. Resosialisasi dan Penyaluran Setelah selama 2 tahun klien menerima pelayanan sosial dalam panti, klien harus dikembalikan kepada orang tua atau keluarga untuk hidup normal dilingkungan masyarakat layaknya warga masyarakat lainnya. Dalam rangka reunifikasi dan reintegrasi klien diperlukan persiapan untuk klien, keluarga (orang tua atau wali/penanggungjawab), warga masyarakat dilingkungan tempat tinggal klien, organisasi sosial/LSM dan dunia usaha. Bimbingan Resosialisasi berupa bimbingan pemantapan kepada klien, konseling keluarga dan pemberian keterampilan keluarga (parenting skill), penyuluhan sosial di lingkungan tempat tinggal klien. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka persiapan pemulangan klien yang telah selesai menjalani proses rehabilitasi sosial dan menunjukkan kemajuan atau perkembangan yang baik dan bagi klien yang sudah dua tahun menjalani proses rehabilisi sosial di PSBL Phala Martha. Bimbingan pemantapan kepada klien berupa bimbingan sosial hidup bermasyarakat. Kegiatan dilakukan secara individu meupun kelompok untuk menumbuhkembangkan kesadaran klien, agar mengetahui, memahami, dan menghayati normanorma yang berlaku di masyarakat dimana klien bertempat tinggal. Konseling keluarga dilakukan untuk mendapat dukungan dan kesiapan dari pihak keluarga, dengan kembalinya klien. Dengan kondisi klien eks psikotik yang labil, sensitif dan emosional, sehingga untuk menjaga keseimbangan/kestabilan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
225
emosionalnya mereka harus selalu minum penenang (sangat tergantung pada obat-obatan), dan tidak boleh terlambat minum obat. Mengingat kondisi itu peran keluarga sangat penting, harus memberikan perhatian dan pengawasan serta memperlakukannya dengan kasih sayang supaya klien tetap percaya diri, mendapat perlakuan yang wajar, tidak merasa tersisihkan dalam keluarga dan tidak merasa menjadi beban keluarga. Mereka harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kapasitas dirinya, merasa mampu mengatasi permasalahan dirinya dan tidak bergantung kepada orang lain. Parenting skill kepada keluarga merupakan upaya untuk lebih mendekatkan klien dengan lingkungan keluarganya. Sebelum klien dipulangkan, orang tua/wali penanggungjawab didatangkan ke panti dan diberi kesempatan bermalam dan tidur bersama dengan klien selama 2 - 3 malam. Pada kesempatan demikian Pekerja Sosial mengamati bagaimana sikap,perilaku klien dan keluarganya berkomunikasi. Lingkungan warga masyarakat di sekitar tempat tinggal klien juga dipersiapkan melalui penyuluhan oleh Pekerja Sosial panti. Pekerja Sosial mendatangi lingkungan tempat tinggal klien untuk menjelaskan tentang kondisi perkembangan klien selama pelayanan dan memotivasi warga sekitar agar dapat memberikan respon positif terhadap kembalinya eks klien ke tengah-tengah mereka. Waktu, pelayanan sosial selama 2 tahun kepada eks psikotik didalam panti bukanlah waktu yang singkat, namun demikian pada saat berakhirnya masa pelayanan dan klien harus disalurkan/dikembalikan kepada orang tua/keluarga, pada umumnya pihak keluarga masih merasa keberatan dan terus meminta kepada pihak panti agar klien tetap berada/dilayani didalam panti. Hal demikian dikarenakan berbagai faktor keluarga baik kondisi ekonomi, psikologis keluarga maupun lingkungan terhadap penyandang eks psikotik, kurangnya
226
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pengetahuan keluarga dalam merawat dan mendampingi eks psikotik dan lain sebagainya. Penyaluran: Untuk mengembangkan diri eks klien dari pengetahuan maupun keterampilan yang diperoleh didalam panti selama 2 tahun tersebut, berdasarkan hasil evaluasi kelayakan/ kemampuan eks klien bagi yang memenuhi standar, pihak panti (Pekerja Sosial) akan membantu menyalurkan yang bersangkutan ke dunia usaha/dunia kerja yang sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Setelah persiapan/pembekalan kepada keluarga maupun lingkungan masyarakat selesai dilakukan, selanjutnya tepat dengan habisnya masa kontrak pelayanan klien diserahterimakan kepada pihak keluarga untuk dibawa pulang dan bergabung dengan keluarga. Saat penyerahan klien dirumahnya, Pekerja Sosial melakukan seremonial kecil mengundang pengurus RT setempat, tokoh masyarakat untuk menjadi saksi. Untuk menghadirkan petugas instansi Dinas Sosial setempat masih dihadapkan berbagai kendala seperti kesibukan dinas, rumah keluarga klien jauh dari kantor Dinas. D. Pembinaan Lanjut Dan Peran Pekerja Sosial Pembinaan Lanjut pada dasarnya merupakan upaya lanjutan atau proses peningkatan dan pemantapan aktualisasi kualitas kemampuan fisik, mental, sosial dan vokasional eks klien setelah mendapatkan pelayanan dalam panti. 1. Mekanisme Pembinaan Lanjut Kebijakan pelaksanaan dalam pembinaan lanjut dilakukan beberapa kegiatan antara lain: a) bimbingan peningkatan kualitas hidup bermasyarakat, b) pengembangan usaha kerja dan c) bimbingan pemantapan/peningkatan usaha kerja. Setelah semua itu berlangsung barulah dilakukan terminasi.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
227
Secara teknis pelaksanaan pembinaan lanjut (binjut) adalah menjadi tanggungjawab Seksi Rehabilitasi Sosial (Rehabsos) dan sebagai pelaksana di lapangan adalah para Pekerja Sosial. Pembinaan Lanjut mulai dilaksanakan minimal setelah 6 bulan eks klien dikembalikan kepada keluarganya dan berlangsung selama dua tahun. Oleh berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya, Pembinaan Lanjut dipahami sebagai berikut: a. Pembinaan Lanjut adalah pembinaan lanjutan yang harus dilakukan oleh pihak panti terhadap eks klien PSBL Phala Martha yang telah dipulangkan kembali kepada keluarganya. b. Pembinaan lanjut dilakukan setelah tahap terminasi pertama dimana klien selesai menjalani proses rehabilitasi sosial di dalam panti dan dipulangkan kepada keluarganya (minimal enam bulan setelah klien dipulangkan kepada keluarganya) hingga pada tahap terminasi akhir yaitu pemutusan hubungan, dimana eks klien sudah tidak lagi menjadi tanggung jawab PSBL Phala Martha. c. Kegiatan yang dilakukan petugas atau Pekerja Sosial, pada saat home visit dalam rangka pembinaan lanjut kepada eks klien, antara lain : 1) Melihat atau memonitor secara langsung keadaan eks klien tentang kondisi kesehatan, aktivitas yang dilakukan sehari-hari, komunikasi dengan orang tua, keluarga dan lingkungan. 2) Memberikan bimbingan dan motivasi kepada eks klien agar dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar, belajar dan memantapkan kemandirian, dan yang terpenting agar eks klien tetap menjaga kesehatan supaya tidak mengalami kekambuhan ulang, untuk itu di ingatkan kembali agar tetap minum obat-obatan
228
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
yang dianjurkan serta melakukan konsultasi dengan dokter psikiater. 3) Memberikan bimbingan kepada orang tua atau wali penanggungjawab tentang gangguan jiwa yang dialami oleh eks klien, agar memperlakukan eks klien dengan baik, selalu mengingatkan apabila mereka lalai minum obat karena harus mengkonsumsi obat (yang dianjurkan) sepanjang hidupnya. 4) Membimbing eks klien dan orang tuanya atau wali penanggungjawab membuat proposal untuk mendapatkan stimulan usaha ekonomis produktif (UEP) dari PSBL Phala Martha. 5) Selain itu binjut dipahami sebagai upaya untuk tetap menjalin hubungan dan komunikasi antara eks klien dengan pihak PSBL Phala Martha. 2. Realisasi Pelaksanaan Binjut Dalam melaksanakan pembinaan lanjut, berdasarkan surat tugas dari lembaga (pimpinan panti), Pekerja Sosial melakukan kunjungan rumah (home visit) kepada eks klien dan keluarganya. Dukungan untuk melakukan home visit dalam rangka pembinaan lanjut terhadap eks klien yang berdomisili di luar Kabupaten Sukabumi, kepada petugas diberikan uang transpot dan uang saku. Untuk mendapatkan gambaran kondisi perkembangan eks klien Pekerja Sosial mengacu pada instrumen yang berisi daftar pertanyaan yang ditujukan kepada eks klien dan keluarganya, tentang berbagai hal terkait dengan perkembangan eks klien baik fisik maupun sosial, sikap perilaku baik didalam keluarga maupun lingkungan. Dalam rangka menggali informasi tersebut Pekerja Sosial melakukan dialog dengan eks klien, keluarga maupun warga masyarakat yang ada disekitar rumah
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
229
eks klien tersebut. Dari informasi yang diperoleh tersebut dapat diketahui bagaimana perkembangan kondisi eks klien menyangkut kondisi kesehatan fisik maupun fungsi sosialnya di masyarakat. Pada kesempatan kunjungan ini (home visit) Pekerja Sosial kepada keluarga yang kondisi eks klien telah menunjukkan perkembangan positif juga menjelaskan tentang kesiapannya untuk mengajukan/menerima bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Usaha Ekonomi Produktif diberikan kepada eks klien secara selektif berdasarkan laporan hasil home visit dan proposal yang diajukan oleh eks klien dan keluarga atau penanggungjawabnya. Proposal yang disetujui selanjutnya diberikan bantuan UEP dalam bentuk barang dagangan (barang kelontong, sembako dll.) atau berupa peralatan (perkakas kerja). Pembinaan lanjutan didalam lingkungan keluarga dan masyarakat bagi eks klien pada dasarnya bukanlah sematamata menjadi tanggungjawab Pekerja Sosial (panti sosial) yang telah memberikan pelayanan, namun menjadi tanggungjawab bersama antara pihak panti, keluarga, masyarakat maupun jejaring kerja panti (dalam hal ini lembaga pengirim, Dinas Sosial setempat dimana eks klien berasal). Namun demikian kenyataan di lapangan selama ini dirasakan bahwa peran keluarga, aparat pemerintah setempat (Dinas Sosial setempat, aparat desa, lembaga pengirim) dalam pembinaan kepada eks klien belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Kendala yang dihadapi: - Bagi pihak keluarga mengakui tidak bisa memberikan perhatian khusus kepada eks klien karena masing-masing anggota keluarga harus beraktivitas mencukupi kebutuhan hidup;
230
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
- bagi aparat desa setempat menyatakan tidak memiliki bekal kemampuan untuk melakukan pembinaan; - bagi Dinas Sosial setempat tidak memiliki anggaran dan petugas yang memadai untuk melakukan pembinaan lanjut. Dengan kondisi demikian pembinaan lanjut seolah-olah hanya dilakukan oleh petugas/Pekerja Sosial PSBL Pala Martha meskipun dengan segala keterbatasan baik anggaran maupun waktu/hari pembinaan. Sementara peran instansi terkait seperti: Dinas Sosial setempat (asal eks klien), Dinas Tenaga Kerja, lembaga pengirim, aparat pemerintah setempat, dalam pembinaan lanjut belum menunjukkan peran positif sebagaimana yang diharapkan. Dari berbagai informasi tentang kondisi tersebut dikarenakan beberapa kendala, seperti: - bagi beberapa instansi terkait mengatakan bahwa tidak adanya alokasi anggaran untuk melakukan pembinaan lanjutan bagi penyandang masalah yang telah ditangani oleh instansi lain (dalam hal ini Kementerian Sosial), - kurangnya komunikasi dalam pelaksanaan pelayanan - banyaknya tugas dari instansi sendiri. 3. Hasil yang Dicapai Hasil yang dicapai dalam pelayanan panti lazimnya dilihat dari bagaimana kondisi perkembangan eks klien setelah mereka berada dan berinteraksi dengan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Hal ini tentunya oleh pihak panti hanya dapat diketahui dari pelaksanaan pembinaan lanjut. Untuk menggambarkan hasil yang dicapai PSBL Pala Martha dari pelayanan sosial yang dilakukan dalam pembinaan lanjut, mengacu pada data dan informasi yang diperoleh dari
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
231
berbagai sumber baik pelaksana pelayanan (pekerja sosial), sasaran pelayanan dalam hal ini eks klien dan keluarganya, masyarakat setempat maupun instansi terkait. Dari kondisi kehidupan sosial eks klien yang telah mendapatkan pembinaan lanjut dari Pekerja Sosial panti dan menjadi sampel sasaran pada penelitian ini terlihat hasil perkembangan sebagai berikut: -
Komunikasi eks klien dengan keluarga maupun masyarakat sekitar pada umumnya terjalin komunikasi yang wajar, namun perhatian untuk menjaga stabilitas emosional, keteraturan minum obat, merawat diri, menciptakan aktivitas dan mendampingi eks klien, diakui oleh orang tua/keluarga masih kurang. Hal tersebut karena kesibukan aktivitas masing-masing keluarga untuk kebutuhan seharihari. Dengan demikian eks klien dirumah sering terputus kontak keluarga dan akhirnya masih sering berbicara/ bergumam sendiri.
-
Kontrol/konsultasi medis secara periodik ke Puskesmas sebagaimana dianjurkan oleh Pekerja Sosial, pada umumnya masih jarang dilakukan. Ketersediaan obat lanjutan (generasi lama atau baru) juga menjadi kendala bagi orang tua/keluarga karena kondisi ekonomi.
- Bagi eks klien yang telah mendapatkan bantuan UEP, oleh keluarga umumnya diwujudkan dalam bentuk usaha toko/berjualan. Dari UEP tersebut beberapa eks klien beraktivitas untuk menjaganya, meskipun tetap dibantu/ diawasi oleh orang tua/anggota keluarga lainnya. Dengan aktivitas tersebut eks klien dapat berkomunikasi dengan pembeli (warga masyarakat sekitarnya). - Keinginan eks klien untuk bertemu dengan Pekerja Sosial dan teman-temannya yang masih di dalam panti sangat besar (wujud keresahan) dengan dalih kangen/rindu.
232
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
- Beberapa keluarga telah mewujudkan hal itu dengan akhirnya mengantarkan untuk bersilaturahmi ke PSBL Pala Martha. Menurut keluarga, hasil yang nampak sepulang dari panti kondisi eks klien menjadi ceria dan beraktivitas wajar, namun beberapa bulan keresahan itu muncul kembali. - Peran institusi terkait dalam hal ini Dinas Sosial setempat, aparat pemerintah setempat belum melakukan tindakan apapun pada fase pembinaan lanjut kepada eks klien maupun keluarganya. - Ditinjau dari segi kuantitas klien yang disalurkan kembali ke keluarga setelah selesai mengikuti rehabilitasi berkisar antara 70 - 80 orang klien per tahun. -
Sejumlah eks klien dengan segala keterbatasan panti, yang terjangkau pelayanan pembinaan lanjut berkisar antara 15 - 20 orang eks klien per tahun.
Dari beberapa eks klien yang telah mendapat pembinaan lanjut, sebagai gambaran hasil yang dicapai dari rehabilitasi sosial PSBL Phala Martha dicontohkan satu kisah eks klien bernama Ip (nama samara) 1) Identitas Nama
: Ipe, Perempuan, Usia 35 tahun. Belum menikah Pendidikan tamat SMA
Masuk panti
: Agustus 2008; Keluar dari panti : Agustus 2010, pernah bekerja di PT. Sanyo. Anak pertama dari 4 bersaudara dan tinggal bersama kedua orang tuanya kandung.
Alamat
: TB, Dpk.
2) Kondisi Klien Sebelum Masuk PSBL Phala Martha Ipe adalah anak pertama dari pasangan Bpk. Z dengan Ibu W. Ayah adalah pensiunan PNS, sedangkan Ibu adalah ibu rumah
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
233
tangga dan buka warung sembako kecil-kecilan di rumahnya. Dari wawancara dengan kedua orangtua Ip di rumahnya, pada hari Sabtu, tanggal 26 Mei 2012, diperoleh data dan informasi sebagai berikut : Awalnya Ipe adalah anak yang pintar/cerdas, tamat di SMA dia mendapatkan PMDK dari UGM Yogyakarta. Namun sayangnya Ipe tidak bisa memanfaatkan kesempatan tersebut karena orang tuanya merasa tidak sanggup untuk membiayai. Mulai saat itu, Ipe menunjukkan gejala gangguan psikotik, ditandai dengan terjadinya perubahan sikap dan perilakunya seharihari, misalnya Ipe yang selalu ceria dan ngomongnya banyak menjadi Ipe murung, tertutup dan sering marah tanpa sebab yang jelas (uring-uringan). Setelah tamat SMA Ipe bersama teman-temannya sempat melamar kerja dan diterima di pabrik S. Cmgs, Dpk sebagai tenaga harian tetap. Menurut penuturan dari temantemannya di pabrik ia termasuk karyawan yang berprestasi. Gagal impiannya untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi Ipe melampiaskan obsesinya ditempat kerjanya. Menurut adik dan teman kerjanya, Ipe sangat disegani oleh sesama karyawan lainnya karena semangat kerja dan hasil kerjanya sungguh luar biasa. Selain itu dengan santun ia berani membela dan memperjuangkan hak-hak karyawan terhadap pimpinannya. Pada suatu ketika pabrik mengadakan seleksi bagi karyawan yang telah memiliki masa kerja tertentu dan penilaian baik dari atasan langsung (berprestasi), dan persyaratan lainnya, untuk peningkatan status kepegawaian menjadi pegawai bulanan tetap. Namun pada waktu itu Ipe belum/tidak termasuk yang dipanggil untuk menjalani seleksi. Lalu Ip protes kepada atasannya, mengapa ia tidak dipanggil untuk menjalani seleksi? Sementara dia termasuk karyawan yang diberi perdikat terbaik. Rupanya Ipe mendapatkan jawaban yang tidak bisa memuaskan dirinya, lalu dia marah-marah.
234
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Kemarahannya membuat dirinya lepas kontrol, dan mulai saat itulah Ipe mengalami depresi dan shock berat. Kondisi kejiwaan Ipe semakin mencemaskan orang tuanya. Segala upaya ditempuh untuk mengembalikan kepercayaan dirinya, namun tidak berhasil bahkan semakin parah. Oleh psikiater Ipe, dinyatakan mengalami gangguan psikotik dan harus dirawat di RS Jiwa. Hampir satu tahun Ipe keluar masuk RS Jiwa tetapi tidak ada kemajuan yang berarti. Kemudian atas anjuran kenalan orang tuanya Ipe dibawa ke PSBL Pala Martha. 3) Kondisi Klien Dalam Panti Pada bulan Agustus 2008 dalam keadaan tidak berdaya Ipe diantar oleh orang tua dan adik-adiknya ke PSBL Phala Martha. Setelah melalui proses pendaftaran dan semua persyaratan yang diperlukan terpenuhi, Ipe diterima di PSBL Phala Martha untuk menjalani proses rehabilitasi sosial. Untuk menenangkan kondisi kejiwaannya sementara waktu Ipe ditempatkan di ruang isolasi. Sekitar dua minggu kemudian, kondisi Ipe menunjukkan kemajuan. Dia mau diajak bicara dan kata-kata yang pertama kali keluar dari mulut Ipe yang selalu diingat oleh informan peksos panti adalah,”aku ini dimana, aku mau diapakan“. Setelah diberi pemahaman dimana dia sebenarnya, kenapa ia disini dan lain sebagainya, akhirnya mengerti dan komunikasi berjalan lancar, kemudian dipindahkan ke asrama putri untuk mendapatkan pelayanan selanjutnya. Ipe menjalani tahapan orientasi sampai memahami situasi dan kondisi panti, ia merasa aman dan tenang ibarat seperti rumah sendiri, turut menjaga dan memelihara kebersihan asrama dan lingkungan sekitarnya, saling mengenal dan akrab dengan sesama penghuni asrama. Dapat melakukan atau mengurus dirinya sendiri dengan baik, memahami simbol-
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
235
simbol dan aturan tata-tertib yang berlaku. Di dalam tahapan ini Ipe perlu waktu sekitar enam bulan, dan Ip termasuk kategori cepat dibandingkan klien-klien lainnya, yang sudah hampir dua tahun belum menunjukkan perubahan sikap dan perilakunya. Sesuai minatnya Ipe tertarik pada latihan keterampilan membuat makanan olahan (membuat kue dan masakan lainnya) dan mengikuti latihan keterampilan menjahit dan bordir. Masing-masig kegiatan berlangsung selama 6 bulan. Ip bisa mengikuti latihan keterampilan tanpa mengalami kesulitan. Hubungan dengan sesama klien, para instruktur dan pekerja sosial dapat terjalin secara harmonis dan normatif. Disamping mengikuti latihan keterampilan, Ip juga wajib mengikuti kegiatan bimbingan mental dan sosial, bimbingan kerokhanian (agama), olah raga, kesenian. Ipe bisa menjalani semua kegiatan yang telah diprogramkan. Menjalankan ibadah sholat tanpa disuruh. Terlebih setelah statusnya memasuki tahapan resosialisasi, hari-harinya lebih banyak bersama dengan peksos untuk berkonsultasi menjelang kepulangannya. Ipe mengalami situasi dilematis pada saat menjelang kepulangannya. Dia cemas, karena selama dua tahun seolah-olah ia mengasingkan diri dari keluarga dan lingkungannya. Apa yang harus ia lakukan nanti setelah kembali ke rumah, dan bagaimana menghadapi orang-orang dilingkungannya. Itulah situasi yang dirasakan Ip waktu itu, sebagaimana penuturan peksos panti. Keberhasilan Ip dalam menjalani program rehabsos di panti tidak terlepas dari peran dan dukungan keluarganya (orang tua dan saudarasaudaranya), yang selalu datang mengunjungi. Kunjungan mereka berdampak pada pemulihan kepercayaan diri Ipe, dia merasa diperhatikan dan disayangi oleh keluarganya. Ini terlihat jika keluarganya datang, Ipe nampak berseri-seri dan ingin cepat-cepat ikut pulang ke rumah.
236
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
4) Kondisi Eks Klien Di Rumah/Keluarga hingga penelitian ini dilakukan Berdasarkan wawancara langsung dengan eks klien (Ipe) dan kedua orang tuanya, serta hasil observasi langsung terhadap situasi dan kondisi keluarga dan lingkungan sekitarnya, selanjutnya dapat disampaikan sebagai berikut. a) Kondisi fisik eks klien Berdasarkan pengamatan peneliti, secara fisik keadaannya sangat baik, tampak sehat, tubuhnya berisi (tidak kurus dan tidak terlalu gemuk) dan kulitnya bersih dengan wajah ceria. Dari wawancara dengan eks klien dan kedua orang tuanya, dikatakan bahwa aktifitas Ipe lebih banyak didalam lingkungan rumah, yaitu membersihkan rumah dan sekitarnya, menyapu lantai dan mengepel, menyapu halaman, membantu memasak, mencuci pakaian sendiri, dan membantu menjaga warung. Kebetulan juga Ipe telah mendapat bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dari PSBL Phala Martha dalam bentuk dagangan sembako sesuai dengan proposal yang diajukan. b) Kondisi mental dan sosial eks klien Menurut orang tua Ipe, secara mental dan sosialnya memang belum pulih kembali. Masih pendiam, dan orang tua belum tega untuk pergi sendiri. Komunikasi dengan tetangga yang datang berbelanja cukup baik. Sengaja diberi kesempatan oleh ibunya untuk melayani pembeli sendirian agar Ipe dapat lebih banyak bergaul dengan tetangga tetangga dan cepat dapat mandiri. Menurut ibunya, sebagai orang tua memang mengakui bahwa melihat kondisi anaknya ia sangat mengkhawatirkan jika Ipah pergi sendirian keluar rumah. Bahkan para tetangganya pun berlaku demikian. Jika Ipe keluar agak
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
237
jauh dari rumah ada yang datang memberitahu dan bilang : Ibu itu Ipah ada di sana mau kemana. Mereka juga mengkhawatirkan kalau Ipe kabur. Orang tuanya menyadari perlakuannya terhadap Ipe, kenapa tidak memberi kesempatan agar Ipe untuk bergerak bebas, kenapa terlalu membatasi ruang gerak Ipe. sehingga sampai saat ini kondisi mental dan sosial Ipe belum mengalami pemulihan seperti sedia kala. c) Kondisi keluarga dan lingkungan Komunikasi seluruh anggota keluarga dengan eks klien (Ipe) sangat harmonis dan menyayangi, karena merasa bersalah tidak bisa memenuhi keinginan anaknya untuk melanjutkan kuliah. Orang tua eks klien trauma dengan kejadian yang dialami oleh Ipe, sehingga mereka sangat berhati-hati dalam menjaga eks klien, agar masalah yang menimpa eks klien tidak terulang kembali. Namun kenyataannya kasih sayang yang ditunjukkan kepada eks klien nampaknya berlebihan, sehingga hal itu justru membuat sifat ketergantungan eks klien terhadap keluarganya. Kurang memberi kesempatan eks klien untuk mandiri. Hingga saat ini pun menurut pengakuan kedua orang tuanya SK pensiunnya masih digadaikan di bank BRI untuk biaya memperbaiki rumah. Dan jika melihat kondisi rumahnya pada saat ini nampak bahwa rumah tersebut belum lama di rehabilitasi. Dinding bangunan berupa tembok, plapon terbuat dari triplek dan kerangka atap dari kayu dan bambu, sedangkan atapnya dari genteng. Penerangan rumah dari listrik dan sumber air yang dipergunakan sehari-hari diambil dari sumur gali. Lokasi rumah berada sekita 100 meter dari jalan utama, masuk gang yang bisa dilewati oleh sepeda motor.
238
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Masyarakat lingkungannya sangat memahami kondisi Ipe dan mereka sangat menyayangi, menerima apa adanya bahkan terkesan prihatin dengan kondisi Ipe berbeda dengan saat di sekolah. 4. Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Binjut. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pembinaan lanjut antara lain: a. Faktor Pendukung 1) Motivasi diri yang tinggi dari petugas (terutama para Pekerja Sosial) untuk bertemu dan mengetahui perkembangan eks klien yang pernah dilayaninya. 2) Penerimaan yang hangat/kekeluargaan dari orang tua/keluarga eks klien kepada petugas panti pada setiap saat kunjungan. Kondisi demikian karena orang tua/keluarga eks klien sangat mengharapkan adanya pembinaan terus menerus kepada eks klien. Bagi petugas hal demikian dapat menghilangkan keengganannya dalam melakukan pembinaan lanjutan kepada eks klien. 3) Kerjasama yang cukup baik dengan instansi terkait dalam proses pelayanan khususnya pihak rumah sakit (dokter) dan masyarakat sekitar panti. b. Faktor Penghambat 1) Masih adanya stigma keluarga/masyarakat bahwa penyandang psikotik merupakan aib keluarga, sehingga tidak terciptanya keterbukaan dan rasa nyaman keluarga dalam merawatnya. 2) Keterbatasan anggaran untuk melaksanakan pembinaan lanjut, sehingga target kunjungan baik dari segi waktu maupun jumlah eks klien yang harus dikunjungi tidak terjangkau.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
239
3) Rendahnya kepedulian keluarga khususnya pada masa pasca pelayanan (setelah eks klien dikembalikan kepada orang tua). Hal ini menyangkut menciptakan komunikasi yang kontinyu, kedisiplinan minum obat, membiasakan hidup teratur dan lain-lain sebagaimana yang dilakukan selama pelayanan. 4) Banyaknya keluarga/orang tua eks klien yang mengedepankan biaya daripada upaya dalam rangka pemulihan eks klien. Artinya orang tua lebih memilih mengeluarkan biaya kepada pihak lain untuk perawatan anaknya daripada anaknya kembali berada dirumah. E. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan data dan informasi serta hasil observasi yang dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal yang terkait dengan mekanisme pelayanan maupun dinamika peran pekerja sosial dalam pelayanan sosial yang dilaksanakan oleh PSBL Pala Martha sebagi berikut: - Pelaksanaan pelayanan sosial kepada orang dengan kecacatan mental eks psikotik di PSBL Pala Martha tidak bersifat reguler sebagaimana panti sosial lainnya. Penerimaan klien dilakukan setiap saat menyesuaikan kapasitas panti sesuai jadwal pengakhiran pelayanan klien sebelumnya, dengan tetap melaui tahapan dan persyaratan pokok bagi klien yang akan dilayani sesuai standar pelayanan. - Banyaknya populasi penyandang eks psikotik dan keterbatasan daya tampung PSBL disikapi dengan pengembangan model pelayanan eks psikotik yang mengutamakan peran masyarakat berbasis keluarga
240
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
melalui layanan home care, layanan day care dan pembentukan tim reaksi cepat (TRC). Dengan demikian menuntut peran Pekerja Sosial lebih intens didalamnya, sementara jumlah Peksos yang ada saat ini telah memiliki beban binaan klien dalam panti saja mencapai 1 berbanding 10. -
Program yang diberikan dalam panti meliputi: bimbingan sosial, bimbingan fisik, bimbingan mental dan bimbingan keterampilan yang diberikan selama 2 (dua) tahun.
- Kendala yang dihadapi dalam pelayanan dapat teratasi meskipun harus menyesuaikan dengan segala keterbatasan pelayanan yang ada. Persiapan bimbingan terhadap klien menjelang dikembalikan kepada orang tua/keluarga dan masyarakat telah dilakukan, namun demikian pada umumnya orang tua/keluarga masih berat untuk menerima kembali klien dan menginginkan masih tetap mendapatkan pelayanan dalam panti. -
Pekerja Sosial sebagai pelaksanan primer dalam pelayanan berperan optimal dalam setiap tahapan.
Setelah 6 (enam) bulan eks klien berada dalam keluarga dan lingkungan masyarakat, pihak panti (dalam hal ini Pekerja Sosial) masih mempunyai kewajiban untuk melakukan monitoring dan pembinaan lanjut kepada eks klien. Peran Pekerja Sosial dalam pembinaan lanjut sangat intens melakukan dialog dengan eks klien maupun orang tua/ keluarga mengenai kondisi dan perkembangan yang terjadi, baik dilakukan melalui komunikasi telepon maupun kunjungan langsung ke tempat tinggal eks klien. Pekerja Sosial terus memberikan motivasi kepada keduanya agar terus mengikuti anjuran terkait dengan kedisiplinan terhadap pengobatan, komunikasi dalam keluarga dan kemungkinan kemampuan eks klien untuk mengembangkan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
241
usaha ekonomis sesuai keterampilannya melalui pemberian bantuan usaha/UEP. - Pemberian bantuan UEP kepada eks klien umumnya diwujudkan dalam usaha toko bahan kelontong, namun pengelolaannya masih ditangani orang tua eks klien. - Keterbatasan anggaran berdampak pada waktu dan frekuensi kehadiran petugas dalam pembinaan lanjut menjadikan pelaksanaan pembinaan kurang menyentuh kebutuhan setiap eks klien. - Peran serta Dinas terkait dalam hal ini Dinas Sosial belum memiliki program pembinaan lanjut untuk eks klien psikotik, termasuk Dinas Kesehatan (Puskesmas) belum mendukung ketersediaan obat yang harus dikonsumsi eks klien. 2. Rekomendasi Dari berbagai kondisi yang ada selama proses pelayanan dalam panti maupun pelayanan setelah eks klien kembali ke keluarga dan lingkungan masyarakat, diajukan rekomendasi sebagai berikut: a. Dalam rangka optimalisasi hasil pelayanan diperlukan peningkatan kuantitas maupun kualitas Pekerja Sosial yang ada, mengingat selama ini rasio beban tugas masih cukup tinggi, mencapai 1 berbanding10. Usulan penambahan Peksos ke Biro Kepegawaian, Kemensos perlu terus dilakukan. Peningkatan kualitas Peksos dalam pelayanan dilakukan melalui Tugas Belajar maupun penyelenggaraan diklat perlu diberikan bagi petugas PSBL . b. Alokasi anggaran khususnya pada fase pembinaan lanjut perlu mendapatkan porsi yang cukup, untuk peningkatan intensitas waktu dan frekuensi kehadiran petugas melakukan pembinaan kepada eks klien, keluarga dan masyarakat.
242
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
c. Koordinasi dan kerjasama dengan berbagai pihak dalam pelayanan eks psikotik perlu ditingkatkan melalui dialog, pertemuan-pertemuan periodik, penyampaian informasi pada saat rapat dinas instansi/SKPD kabupaten/kota.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
243
244
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Bagian 9 PEMBINAAN LANJUT PADA PANTI SOSIAL KARYA WANITA (PSKW) MULYA JAYA PASAR REBO, JAKARTA TIMUR Setyo Sumarno
A. Pendahuluan Tuna susila sebagai penyakit masyarakat, selalu muncul dan merupakan masalah sosial yang sulit untuk ditangani. Dikatakan masalah sosial karena didalam tindakannnya terdapat penyimpangan-penyimpangan perilaku yang tidak sesuai dengan norma agama, adat istiadat, selain keberadaannya meresahkan warga masyarakat Sulitnya menangani masalah tuna susila ini disebabkan berbagai faktor seperti : faktor ekonomi, sosial, moral, budaya bahkan faktor psikologis. Kartini Kartono dalam Patologi Sosial menyebutkan bahwa penyebab terjadinya tindak tuna susila antara lain; 1) adanya dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks diluar ikatan pekawinan; 2) komersialisasi dari seks; 3) merosotnya norma-norma susila dan agama; 4) kebudayaan eksploitasi; 5) faktor ekonomi. Sedangkan akibat yang ditimbulkan dari tindak tuna susila yaitu; 1) penyebarluasan penyakit kelamin; 2) merusak sendi-sendi kehidupan keluarga; 3) memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan; 4) merusak sendi-sendi moral, susila, hukum, agama; 5) adanya eksploitasi manusia oleh manusia lainnya. Walaupun permasalahan tersebut sulit ditangani, namun pemerintah dan masyarakat tetap berupaya untuk menangani masalah tersebut melalui sistem panti maupun non panti. Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Mulya Jaya yang melakukan pelayanan rehabilitasi eks tuna susila, setiap tahun panti ini merehabilitasi klien sebanyak 220 orang terbagi dalam dua
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
245
angkatan. Angkatan pertama, bulan Januari dan angkatan kedua bulan Juli. Sedangkan untuk penyaluran, angkatan pertama jatuh pada bulan Juni dan angkatan kedua jatuh pada bulan Desember. Dalam pelaksanaannya dilakukan beberapa tahapan, mulai dari: pendekatan awal; penerimaan; assesmen; bimbingan fisik, mental, sosial, dan keterampilan kerja; resosialiasi; penyaluran; pembinaan lanjut; dan diakhiri dengan kegiatan terminasi. Diharapkan melalui pelayanan tersebut dapat pulihnya kondisi fisik, mental, psikis, sosial klien serta berfungsinya kembali mereka dalam kehidupan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Dari beberapa tahapan pelayanan yang dilakukan panti, tahapan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok pelayanan yaitu tahap pelayanan di dalam panti dan tahap pelayanan setelah keluar dari panti. Tahap pelayanan di dalam panti meliputi, pendekatan awal dan penerimaan sampai pada tahap resosialisasi, sedangkan penyaluran, pembinaan lanjut sampai kegiatan terminasi masuk dalam pelayanan di luar panti. Pelayanan di dalam panti merupakan kegiatan yang dilakukan untuk membekali klien dengan berbagai pengetahuan, keterampilan,dan pembinaan mental spiritual, sedangkan pelayanan setelah keluar dari panti adalah pembinaan lanjut dalam mewujudkan kesiapan diri eks klien dengan lingkungan keluarga, masyarakat maupun lingkungan usaha/pekerjaan. Pembinaan juga dilakukan kepada keluarga atau lingkungan masyarakat agar mereka dapat menerima eks klien layaknya anggota masyarakat lainnya dan diharapkan juga dapat memberikan dorongan kepada eks klien dalam rangka pemulihan dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Secara umum tahap pembinaan lanjut yang dilakukan panti nampaknya hanya untuk mengetahui bagaimana kondisi klien setelah disalurkan, apakah eks klien sudah mendapatkan pekerjaan atau bagaimana usaha yang dilakukan terkait dengan toolkit yang diberikan, itupun tidak seluruh eks klien mendapatkan pembinaan lanjut terkait dengan terbatasnya anggaran yang
246
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
tersedia. Kondisi seperti ini sudah berlangsung cukup lama dan belum ada solusi yang berarti, karena masih ada dua sisi pandang yang berbeda. Bila dilihat dari tahapan yang ada, maka pembinaan lanjut sepenuhnya menjadi tanggung jawab panti, karena tahapan tersebut merupakan satu kesatuan pelayanan rehabilitasi sosial, disisi lain pembinaan lanjut sudah diluar kewenangan panti, kalaupun ada itu menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan tanggung jawab pemerintah daerah. Dari berbagai kondisi tersebut Puslitbang Kesos Kementerian Sosial melakukan penelitian Pada Panti Sosial: Studi kasus pembinaan lanjut (after care services) Pasca Rehabilitasi sosial di panti sosial. Pertanyaan pada penelitian ini adalah, bagaimana pembinaan lanjut yang dilakukan PSKW Mulya Jaya. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data dan informasi tentang: 1) proses pelayanan dan rehabilitasi yang dilakukan panti; 2) pemahaman panti terhadap binjut; 3) pelaksanaan pembinaan lanjut; 4) hasil yang dicapai dalam pembinaan lanjut, dan 5) faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembinaan lanjut. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial dalam penyusunan kebijakan pelayanan sosial lanjutan bagi klien yang telah menjalani rehabilitasi, dan sebagai pedoman dalam pengembangan kegiatan pembinaan lanjut pada eks klien panti sosial. Untuk memberikan pemahaman terhadap penelitian ini, beberapa konsep sebagai kerangka dasar pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut : Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi (Suharsini Arikunto, 2004).
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
247
Selanjutnya Mulyono menyebutkan evaluasi adalah suatu upaya untuk mengukur hasil atau dampak suatu aktivitas, program atau proyek dengan cara membandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan bagaimana cara pencapaiannya (Mulyono, 2009). Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan evaluasi merupakan upaya atau kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi guna membandingkan antara hasil implementasi dengan kriteria dan standart yang telah ditetapkan untuk melihat suatu keberhasilan program. Pembinaan Lanjut merupakan serangkaian kegiatan yang diarahkan kepada eks klien, keluarga dan masyarakat guna lebih dapat memantapkan, meningkatkan dan mengembangkan kemandirian eks klien dalam kehidupan serta penghidupan yang layak (Departemen Sosial RI; 2007). Pembinaan lanjut dilaksanakan setelah tahap penyaluran dalam proses pelayanan rehabilitasi sosial di dalam panti. Tuna Susila diartikan sebagai suatu tindakan seseorang yang melakukan perbuatan seks dengan lain jenis secara berulangulang tanpa ikatan perkawinan dengan mendapatkan imbalan. Menurut buku Standart Pelayanan Minimal dan Rehabilitasi Sosial pengertian tuna susila adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis secara berganti-ganti pasangan di luar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa (Departemen Sosial RI; 2007). Kemudian Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 23/HUK/1996, mengartikan tuna susila sebagai seseorang wanita, pria dan wanita pria (waria) yang melakukan hubungan seksual diluar pernikahan dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan jasa. Sedangkan dalam buku istilah kesejahteraan sosial, tuna susila merupakan perbuatan melakukan hubungan seksual diluar nikah dengan tujuan mendapatkan imbalan. Selain itu dalam buku putih rehablitasi sosial tuna susila (1996) disebutkan, bahwa wanita tuna susila adalah wanita yang melakukan hubungan seks dengan
248
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian diluar perkawinan yang sah dengan mendapat uang, materi atau jasa. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tuna susila adalah perbuatan seks tanpa ikatan perkawinan yang dilakukan dengan lawan jenis secara berulang-ulang dan bergantian dengan mendapatkan imbalan. Dengan demikian, maka motif dari tindak tuna susila tersebut tersebut adalah menjadikan perbuatan tersebut sebagai mata pencaharian yang dapat menghasilkan materi, uang dan jasa. Pelayanan Sosial adalah sistem terorganisasi dari pelayananpelayanan dan lembaga-lembaga sosial yang dimaksudkan untuk membantu perorangan dan kelompok-kelompok untuk mencapai standar kehidupan dan kesehatan yang memuaskan, serta hubungan–hubungan sosial dan pribadi yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kemampuan sepenuhnya dan meningkatkan kesejahteraan mereka serasi dengan kebutuhankebutuhan keluarga dan masyarakat (Walter A. Fredlander; 1967). R.M. Titmus membagi pelayanan sosial dalam dua konsep yaitu: 1) konsep ini sama dengan model kesejahteraan sosial yang bersifat Residual, yaitu suatu model yang berfungsi sebagai sarana kontrol sosial dan untuk mempertahankan hukum serta ketertiban. Konsep pelayanan sosial ini berhubungan dengan pemecahan masalah sosial dan patologi sosial; dengan upaya untuk membantu penyesuaian dan rehabilitasi perorangan dan keluarga-keluarga terhadap nilai-nilai dan norma-norma masyarakat. 2) konsep ini sama dengan model kesejahteraan yang bersifat Institusional Redestributif. Konsep pelayanan sosial ini sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu di dalam masyarakat tanpa memperhatikan pertimbangan nilai tentang perorangan maupun keluarga-keluarga, tanpa memperhatikan apakah mereka mengalami masalah sosial atau tidak (Soetarso; 1980).
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
249
Dengan demikian pelayanan sosial dapat didefinisikan sebagai suatu fungsi yang terorganisasi, merupakan sekumpulan kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk memberikan kemampuan kepada perorangan, keluarga-keluarga, kelompok-kelompok dan kesatuan-kesatuan masyarakat untuk mengatasi masalah sosial yang diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang selalu mengalami perubahan. Pokok pikiran yang terkandung dalam definisi tersebut adalah; 1) adanya sekumpulan kegiatan yang terorganisasi; dan 2) kemampuan orang secara individu atau kolektif dalam mengatasi masalah. Rehabilitasi Sosial adalah serangkaian kegiatan pemberian pelayanan sosial secara terencana dan profesional untuk; 1) memecahkan masalah klien dari lingkungan sosialnya; 2) memulihkan rasa percaya diri klien; dan 3) meningkatkan status dan perasaan sosial klien serta lingkungannya (Departemen Sosial RI; 2007). Penelitian ini bersifat diskriptif kualitatif untuk menggambarkan secara umum proses pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi dan lebih fokus pada kegiatan pembinaan lanjut yang dilakukan PSKW Mulya Jaya. Lokasi penelitian adalah di Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya Jakarta Timur. Panti ini merupakan unit pelaksana teknis di bidang pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna susila, dibawah penanganan langsung pada Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Kementerian Sosial RI. Sumber data diperoleh dari Kepala Panti, Seksi PAS, Seksi Rehabilitasi, Pekerja Sosial, dan eks klien. Untuk memperoleh gambaran tentang kondisi eks klien dari hasil pembinaan lanjut di PSKW Mulya Jaya, dilakukan studi terhadap 10 orang eks klien yang telah memperoleh pelayanan/rehabilitasi sosial di panti sosial antara 2009 - 2011. Pengumpulan data dilakukan melalui Wawancara mendalam, Focus Group Discussion, Observasi, terhadap pembinaan lanjut yang dilakukan oleh petugas panti dan observasi terhadap kondisi anak pasca pelayanan, serta dokumentasi,
250
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
yang relevan dengan tujuan penelitian. Data dan informasi yang diperoleh dari lapangan akan dianalis secara deskriptif kualitatif, meliputi reduksi data, penyajian, penafsiran dan menyimpulkan. Analisis data mencakup penelusuran kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang ada, yakni membandingkan data eks-penerima manfaat panti sosial dengan kebijakan, program, kegiatan dan pelaksanaan rehabilitasi sosial serta dan pembinaan lanjut yang dilakukan oleh PSKW Mulya Jaya B. Gambaran Umum Panti Sosial 1. Kelembagaan PSKW Mulya Jaya didirikan pada tahun 1959 yang berstatus sebagai Pilot Proyek Pusat Pendidikan Wanita Departemen Sosial. Pada tanggal 20 Desember 1960 panti ini dibuka oleh Menteri Sosial RI ketika dijabat H. Moelyadi Djojomartono dengan nama Mulya Jaya berdasarkan motto "Wanita Mulya Negara Jaya". Pada tahun 1963 panti tersebut diresmikan menjadi Panti Pendidikan Wanita (PPW) Mulya Jaya dengan SK Menteri Sosial RI Nomor.HUK/4-1-9/2005, tanggal 1 Juni 1963. Tahun 1969 panti tersebut disempurnakan menjadi Panti Pendidikan Pengajaran Kegunaan Wanita (P3KW). Tahun 1979 berdasarkan SK Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/Kep./XI/1979 tanggal 1 Nopember 1979 disempurnakan lagi menjadi Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila (PRWTS) Mulya Jaya. Perkembangan selanjutnya dengan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 14/HUK/1994, pada tanggal 23 April 1994 ditetapkan menjadi Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya (PSKW). Kemudian pada tahun 1995 dengan SK Menteri Sosial RI Nomor 22/HUK/1995, tanggal 24 April 1995 ditetapkan lagi menjadi Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
251
Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya merupakan unit pelaksana teknis di bidang pelayanan dan rehabilitasi sosial tuna susila, dibawah penanganan langsung pada Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Kementerian Sosial RI. Tujuan dari PSKW Mulya Jaya, yaitu memulihkan kondisi fisik, mental, psikis, sosial, sikap dan perilaku wanita tuna susila agar mereka mampu melaksanakan fungsi sosial secara wajar dalam kehidupan keluarga maupun dalam masyarakat. Sedangkan sasaran dari pelayanan dan rehabilitasi sosial adalah wanita tuna susila dan korban trafficking. Tugas pokok dari PSKW Mulya Jaya adalah memberikan pelayanan, perawatan dan rahabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk pembinaan/bimbingan fisik, mental, sosial, merubah sikap dan tingkah laku serta pelatihan dan keterampilan, resosialisasi dan pembinaan lanjut bagi para wanita tuna susila, agar mampu melaksanakan fungsi sosialnya, mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat, serta rujukan regional, pengkajian dan pengembangan standar pelayanan, pemberi informasi, serta koordimasi dan kerjasama dengan instansi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. 2. Sumber Daya Manusia Dalam menyelenggarakan pelayanan dan rehabilitasi sosial, PSKW Mulya Jaya didukung dengan sumber daya manusia berjumlah 50 pegawai. Sumber daya tersebut terdiri dari, pejabat struktural, pejabat fungsional, pembimbing keterampilan, dan tenaga lainnya. Latar belakang pendidikan pegawai cukup bervariasi, mulai dari SD hingga S2 dengan rincian sebagai berikut: S2 (1 orang), S1 (20 orang), SLTA (17 orang), D3 (6 orang), S2 (3 orang), dan SLTP, SD (masingmasing 2 orang). Dari komposisi latar belakang pendidikan tersebut, nampak bahwa SDM yang ada di PSKW Mulya Jaya
252
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
cukup memadai. Khusus pendidikan S2 dimiliki oleh kepala panti dan pekerja sosial. Komposisi tenaga dilihat dari masing-masing bidang, jumlah tenaga terbanyak pada bidang TU (16 orang), Pekerja Sosial 14 orang, Seksi Rehsos 11 orang dan Seksi PAS 8 orang. Berdasarkan golongan, pegawai yang sudah menempati golongan IV (6 orang), golongan III (31 orang) dan selebihnya golongan II. Untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan, PSKW Mulya Jaya juga didukung tenaga fungsional arsiparis, penyuluh sosial, dan terutama pekerja sosial. Saat ini, jumlah tenaga fungsional arsiparis dan penyuluh sosial masing-masing 1 orang. Sedangkan jumlah pekerja sosial sebanyak 12 orang. Jika dilihat banyaknya klien yang harus ditangani selama satu angkatan selama 6 bulan sebanyak 110 orang, maka jumlah pekerja sosial yang ada saat ini belumlah memadai. Dimana satu orang pekerja sosial harus menangani 10 orang klien dalam satu angkatan. 3. Sarana Prasarana Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas, panti memiliki fasilitas yang cukup memadai. Sarana dan prasarana yang dimiliki Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya, sampai dengan tahun 2011 terdiri dari : a. Sarana dan Prasarana PSKW Mulya Jaya menempati luas seluruhnya 19.700 M2. Pemanfaatan lahan tersebut untuk gedung perkantoran yang terdiri dari: ruang kerja/kantor, ruang rapat, aula/ ruang serbaguna, ruang seleksi, ruang konsultasi, dan ruang data. Sedangkan untuk kepentingan proses keterampilan, disediakan gedung pendidikan antara lain untuk ruang keterampilan tata rias dan olah pangan, ruang keterampilan menjahit manual, ruang menjahit High
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
253
Speed dan bordir, serta ruang untuk pendidikan. b. Untuk klien PSKW Mulya Jaya disediakan fasilitas berupa asrama, wisma, kamar, ruang makan dan dapur, serta poliklinik dan ruang perawatan. Beberapa fasilitas penunjang berupa lapangan tenis, lapangan olah raga, taman, lahan pertanian, dan sarana ibadah berupa masjid dan mushola. 4. Pendanaan Sumber dana kegiatan PSKW Mulya Jaya dari APBN Kementerian Sosial, adapun pendanaan dari APBN, 2 tahun terakhir adalah sebagai berikut: tahun 2011 besar anggaran Rp 7,8 Milyar, tetapi tahun 2012 sedikit menurun hanya RP 7,6 Milyar. Kemudian pengembangan kerjasama dan jaringan kemitraan juga dilakukan, terutama berupa pelatihan dan kegiatan praktek kerja (magang) yang dilakukan melalui kerjasama dengan beberapa perusahaan. 5. Kondisi Klien (2009 - 2011) Sebelum dijabarkan tentang kondisi klien tahun 2009 – 2011, terlebih dahulu diuraikan tentang kapasitas tampung di PSKW Mulya Jaya. Dalam satu tahun, PSKW Mulya Jaya merehabilitasi klien sebanyak 220 orang, dibagi dalam 2 angkatan, yaitu angkatan pertama (Januari - Juni); angkatan kedua (Juli Desember). Kriteria klien yang mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di PSKW Mulya Jaya adalah perempuan berusia antara 21 - 25 tahun. Dilihat dari tingkat pendidikan, ternyata sebagian besar adalah tidak tamat SD 26 orang, 20 orang tamat SD, 21 orang tamat SLTP bahkan sebanyak 12 orang buta huruf, tetapi terdapat pula yang tamat SLTP sebanyak 21 orang. Demikian halnya pada klien tahap ke 2, dimana pendidikan tamat SD menduduki presentasi tinggi, dibandingkan pendidikan lainnya. Demikian pula antara tidak tamat SLTP (14 orang)
254
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
dengan yang tamat SLTP (16 orang) agak seimbang, sementara lulusan SLTA, jumlahnya hampir sama antara 12-15 orang. Status perkawinan mereka, dari jumlah klien 110 orang yang direhabilitasi, hampir sebagian berstatus janda (antara 44-60 orang), disusul belum pernah nikah antara 28-38 orang dan bersuami atau status nikah antara 22-28 orang. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa, mereka terjun melakukan tindak prostitusi tidak pandang status mereka janda, masih bujang atau sudah bersuami, yang penting untuk membantu memenuhi kebutuhan dalam hidupnya jalan yang paling mudah untuk mendapatkan uang adalah dengan melacurkan diri. Faktor ekonomi merupakan alasan utama klien yang masuk ke PSKW Mulya Jaya. Hal ini terkait dengan rendahnya tingkat pendidikan dan status perkawinan klien wanita tuna susila yang berada di PSKW Mulya Jaya. Selain disebabkan berbagai persoalan seperti, dijerumuskan, sakit hati, tidak punya pekerjaan, dan masih banyak faktor penyebab lainnya. Namun pada umumnya mereka melakukan hal tersebut bersumber pada himpitan ekonomi. Selanjutnya untuk bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2009 usia klien yang di rehabilitasi dipanti lebih bervariasi, seperti pada angkatan I tahun 2009, usia klien yang direhabilitasi termasuk dalam kategori usia produktif, yaitu berkisar antara 16 tahun sampai dengan 35 tahun, walaupun yang lainnya juga ada tetapi jumlahnya sedikit. sementara, jumlah klien yang banyak berkisar usia 21 - 25 tahun sebanyak 35 orang, menyusul 26 – 30 tahun 29 orang dan 16 - 20 tahun 26 orang. Menariknya, diantara 110 orang klien yang direhabilitasi terdapat dua orang yang umurnya masih belia yaitu 14 tahun dan 15 tahun. Mereka berasal dari berbagai wilayah Propinsi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, lampung, Bengkulu,
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
255
Palembang, NTB, Bangka Belitung dan Sulawesi Tengah atau Palu. Beberapa wilayah tersebut, jumlah terbanyak berasal dari Propinsi Jawa Barat yaitu; Bekasi, Bogor, Indramayu, Cianjur, Sukabumi, dan Karawang dlsb, sementara dari Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta dan Palembang jumlahnya hanya sedikit. Mencermati kondisi klien pada penerimaan antara tahun 2009 s.d 2011, secara keseluruhan bila dilihat dari kelompok umur, tingkat pendidikan maupun status perkawinan terlihat bahwa klien yang direhabilitasi di PSKW Mulya Jaya, rata-rata berusia dibawah 35 tahun. Kemudian dilihat dari tingkat pendidikan umumnya lulus SD, bahkan terdapat pula klien yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali atau buta huruf. Demikian pula dilihat dari status perkawinan, jumlah yang paling dominan dengan status janda, bila dibandingkan dengan yang sudah menikah atau yang masih bujang. Kebanyakan mereka berasal dari wilayah Jawa Barat, seperti yang telah diuraikan di atas, sedangkan klien yang berasal dari wilayah luar Jawa jumlahnya tidak terlalu banyak. Dengan kondisi yang demikian orang akan mudah terpengaruh dengan hal-hal yang negatif entah itu bujukan teman, karena tututan kebutuhan yang harus segera dipenuhi makan ataupun karena tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya. Hal tersebut juga tidak jauh berbeda dengan status menikah, ataupun yang masih bujang. Faktor ekonomi merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam melakukan tindak prostitusi. C. Proses Rehabilitasi Sosial Proses pelayanan dan rehabilitasi sosial kegiatan yang dilaksanakan melalui tujuh tahapan kegiatan yaitu: pendekatan awal dan penerimaan klien, assesmen, bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan, resosialisasi, penyaluran, terminasi, bimbingan lanjut dan evaluasi. Jangka waktu kegiatan untuk pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi wanita tuna susila
256
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
dilakukan selama 6 bulan, dengan materi pembinaan fisik mental sosial dan keterampilan. Jenis keterampilan yang diberikan antara lain: keterampilan tata rias pengantin, keterampilan tata rias rambut, keterampilan menjahit High Speed, keterampilan menjahit bordir, keterampilan olah pangan dan kuliner dan keterampilan Komputer. Selanjutnya dilakukan praktek belajar kerja (PBK) atau dengan istilah lain “magang” di perusahaan yang merupakan mitra kerja PSKW Mulya Jaya. Tahapan kegiatan meliputi 1. Pendekatan awal Pendekatan awal yang dilakukan panti selama ini dengan mengadakan pertemuan atau pendekatan ke pihak-pihak terkait dalam rangka mendapatkan dukungan. Pendekatan awal dilakukan pekerja sosial bekerjasama dengan kepala seksi program dan advokasi sosial melaksanakan koordinasi dengan Dinsos, Trantib dan pihak lainnya dalam rangka mendatangkan calon klien, serta memberikan informasi mengenai program penanganan PMKS (WTS) guna meningkatkan peran aktif dari berbagai instansi setempat dalam pelaksanaan program panti. Calon klien yang dikirim ke panti, hasil razia yang dilakukan oleh Dinas Sosial, Trantib, Koramil dan aparat keamanan lainnya, kemudian ditampung sementara di panti Kedoya untuk diinvetarisir dan diberi penyuluhan seperlunya. Dari penampungan sementara tersebut kemudian dikirim ke Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya untuk mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial. 2. Penerimaan Beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap penerimaan adalah: a. registrasi untuk mengetahui identitas klien dan permasalahan yang dihadapi klien yang selanjutnya dituangkan ke dalam formulir registrasi oleh Pekerja sosial.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
257
b. Pengungkapan dan penelaahan masalah, untuk menggali, mengelompokkan dan pengolahan data yang akan digunakan untuk menyusun studi kasus. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang bakat, minat, potensi yang dimiliki, kemampuan, kelemahan dan harapan serta rencananya untuk masa depan klien. Dengan mengetahui latar belakang klien, informasi ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya pemecahan masalah serta upaya-upaya lain untuk mengembangkan kemampuan klien. c. Penempatan dalam program pelayanan rehabilitasi dilakukan untuk menempatkan klien kedalam program bimbingan keterampilan kerja sehingga dapat menentukan jenis program pelayanan yang tepat untuk klien. Pada tahap penerimaan ini dilakukan case conference awal untuk menyeleksi calon klien yang memenuhi syarat dan yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan. Bagi calon klien yang memenuhi syarat, oleh seksi rehabilitasi sosial dan pekerja sosial dilakukan assesmen. Bagi calon klien yang tidak memenuhi syarat oleh seksi PAS dan Pekerja Sosial dikembalikan pihak keluarga atau dirujuk ke panti lainnya. 3. Assesmen Pengungkapan dan pemahaman masalah dilakukan untuk mendapatkan data lengkap klien baik menyangkut latar belakang klien, permasalahan yang dihadapi, bakat, minat, potensi, keinginan serta rencana klien untuk memperbaiki kondisi hidupnya dimasa mendatang. Untuk memperoleh informasi seperti ini, Pekerja Sosial mengadakan wawancara dengan individu atau kelompok. Dari data yang berhasil dikumpulkan, kemudian diadakan seleksi antara data yang relevan dan tidak relevan dengan masalah yang dihadapi klien.
258
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Langkah selanjutnya adalah menyusun data dan menganalisa hasil wawancara dalam file klien. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan sementara bidang keterampilan yang sesuai atau terapi yang tepat. Kelengkapan keterangan Pekerja Sosial mengadakan home visit untuk mengetahui kondisi keluarga serta lingkungan tempat tinggal klien. 4. Bimbingan Fisik, Mental, Sosial dan Keterampilan Kerja a. Bimbingan fisik, merupakan kegiatan berupa latihan jasmani dengan tujuan untuk memelihara dan mengembangkan kondisi fisik. Bimbingan fisik yang diberikan kepada klien berupa: bimbingan kedisplinan, senam kebugaran latihanlatihan jasmani, olah raga (volley, tenis meja, bulu tangkis, futsal), dan penyampaian pengetahuan kepada klien dalam rangka menjaga, merawat, meningkatkan kesehatan dan ketahanan fisik mereka agar kondisinya dapat mendukung kemampuannya. b. Bimbingan mental, adalah bimbingan yang diberikan kepada klien meliputi, agama, budi pekerti agar perilaku klien sehari-hari sesuai dengan ajaran agama yang dianut dan norma sosial yang berlaku. Kegiatan ini diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan ibadah, baca tulis Al-Qur'an, etika pergaulan, nasehat penanaman budi pekerti yang baik dan sikap hidup yang normatif, dibimbing oleh seorang ustad. Sedangkan kedisplinan dalam mentaati tata tertib yang berlaku dipanti pembinaanya dilakukan dari Polri dan Koramil. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan iman dan taqwa kepada tuhan, menumbuhkan, membangkitkan dan mengembangkan kemauan klien agar mempunyai pengetahuan tentang kesehatan mental dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun tugas-tugas yang dihadapinya
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
259
c. Bimbingan sosial adalah serangkaian kegiatan bimbingan kearah tatanan kerukunan dan kebersamaan hidup bermasyarakat, sehingga diharapkan dapat menimbulkan kesadaran dan bertanggung jawab sosial baik lingkungan keluarga maupun masyarakat. Materi yang diberikan dalam bimbingan sosial meliputi, dinamika kelompok, terapi kelompok, penyuluhan konseling dan group session. Kegiatan ini bertujuan agar para klien dapat mengenal nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat. d. Bimbingan keterampilan kerja, kegiatan yang diberikan klien berupa kursus atau latihan-latihan keterampilan, baik bersifat teori maupun praktek yang disesuaikan dengan kemampuan kemampuan yang ada pada diri klien dengan tujuan agar klien dapat memiliki keterampilan yang dapat dijadikan bekal hidupnya di masa mendatang. Jenis latihan yang diberikan kepada klien meliputi, menjahit manual, high speed, bordir, olah pangan atau tata boga, tata rias penganten dan tata rias rambut. 5. Tahap Resosialisasi Resosialisasi dilakukan untuk membaurkan kembali eks klien kedalam lingkungan sosialnya, baik pribadi, anggota keluarga, maupun anggota masyarakat dengan memberikan motivasi kepada keluarga atau masyarakat, magang kerja dan penjajagan lapangan pekerjaan. Kegiatan yang dilakukan dalam resosialisasi meliputi: a. Bimbingan kesiapan dan peran serta masyarakat dengan: 1) Mempersiapkan klien agar dapat berintegrasi penuh dalam kehidupan bermasyarakat secara normatif melalui pemantapan keterampilan.
260
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
2) Mempersiapkan masyarakat daerah asal lingkungan masyarakat di lokasi penempatan kerja eks klien mereka dapat menerima, mengajak serta untuk terciptanya kemauan dan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk dapat menerima kembali mereka untuk berperan aktif dan berintegrasi dalam kegiatan masyarakat. b. Bimbingan sosial masyarakat adalah serangkaian kegiatan bimbingan yang diarahkan agar dapat mengetahui, memahami, menghayati terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat, sehingga dapat menghindar dari kegiatan yang meningkatkan kemauan dan kemampuan para eks klien untuk dapat melaksanakan tata kehidupan masyarakat secara normatif. c. Bimbingan bantuan stimulan usaha produktif, berupa pengadaan bantuan atau peralatan bahan modal kerja baik sekelompok klien maupun perseorangan guna dijadikan bekal hidup mandiri sesuai dengan jenis mata pencahariannya. Kegiatan ini bertujuan agar para eks klien dapat berusaha/bekerjasama secara layak dan manusiawi untuk menciptakan lahan bermata pencaharian guna mendapatkan penghasilan untuk membiayai hidup diri dan keluarganya. d. Bimbingan usaha kerja/Bimbingan kemandirian adalah serangkaian kegiatan bimbingan yang diarahkan agar klien memiliki pengetahuan dasar tentang kewirausahaan, pemasaran dan beberapa jenis referensi lapangan kerja yang mempekerjakan tenaga wanita sehingga memiliki motivasi diri untuk menekuni lapangan kerja. Bimbingan ini diberikan berdasarkan evaluasi selama klien berada di panti yang merupakan pemantapan klien sebelum disalurkan.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
261
6. Tahap Penyaluran Pada tahap penyaluran terdapat empat pilihan untuk klien, yaitu kembali ke pihak keluarga, menikah, rujuk dengan suami bagi yang sudah menikah, dan bekerja. Bagi yang ingin bekerja, panti menempatkan klien pada sektor usaha atau pekerjaan produktif sesuai dengan jenis keterampilan kerja yang telah diikuti. Kegiatan penyaluran disertai pemberian bantuan stimulan usaha produktif sebagai modal hidup bermasyarakat. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan mata pencaharian yang layak sebagai sumber penghasilan keluarga dalam memperbaiki kualitas hidupnya. Kendala yang selama ini dihadapi dalam penyaluran adalah pada waktu pemulangan eks klien ketempat tujuan, belum sampai ditempat yang dituju para germo atau mucikari atau orang yang mengkaryakan mereka (klien) sudah terlebih dahulu menjemput yang mengaku dirinya sebagai keluarga atau familinya. Mereka tahu kapan waktu penyaluran dilakukan sehingga mereka mengikuti pelepasan eks klien dari tangan petugas panti. 7. Tahap Bimbingan Lanjut dan Terminasi Tahap ini dilaksanakan pada klien yang telah memperoleh pelayanan rehabilitasi sosial dan reasosialisasi pada tahun anggaran sebelumnya. Bimbingan lanjut merupakan upaya untuk lebih memantapkan kemandirian bekas klien terutama mereka yang karena berbagai sebab masih tetap memerlukan bimbingan peningkatan/pemasaran dan sebagainya maupun petunjuk yang bermaksud memperkuat kondisinya di masyarakat. Bimbingan ini terdiri dari: a. Bimbingan peningakatan kehidupan masyarakat dan berperan serta dalam pembangunan. Kegiatan ini bertujuan untuk memantapkan integrasi eks klien dalam kehidupan bermasyarakat agar mereka mampu berperan serta dalam kegiatan-kegiatan bermasyarakat di lingkungan dimana mereka menjadi warganya. 262
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
b. Bimbingan pengembangan usaha kerja dan Bimbingan pemantapan usaha kerja terdiri dari 3 kegiatan antara lain: 1) Bimbingan pengembangan usaha kerja, kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan evaluasi. Tujuannya adalah dimantapkannya dan dikembangkannya usaha/kerja secara berkelompok, serta meningkatkan kemampuan mereka dalam hal pengelompokan usahanya sekaligus dalam rangka terintegrasi dengan masyarakat lingkungannya. 2) Bimbingan pemantapan usaha kerja, bimbingan ini dimaksudkan sebagai bimbingan pemantapan berusaha dan pemantapan integrasinya dalam masyarakat. Kegiatan ini bertujuan untuk memantapkan dan mengembangkan usaha/kerja secara lebih berdaya guna dan berhasil guna sehingga eks klien dapat lebih memahami lapangan usaha/kerja dan mampu berpartisipasi dalam pembangunan. 3) Bantuan Pengembangan Kelompok Usaha Bersama (BPKUB) Di dalam pelaksanaan tahapan bimbingan lanjut salah satu alternatif upaya pengembangan berdasarkan evaluasi diperlukan Bantuan Pengembangan Kelompok Usaha Bersama (BPKUB) bagi eks klien yang memenuhi persyaratan dan potensial untuk usaha kelompok. Kegiatan ini bertujuan agar para klien dapat mengembangkan usahanya lebih berhasil dan dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup secara layak. Terminasi merupakan suatu tahap akhir dari proses pelayanan dan rehabilitasi, kegiatan ini dilakukan dalam rangka pemutusan hubungan antara lembaga dengan klien, karena klien sudah dianggap mampu untuk berusaha/berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhannya.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
263
D. Pembinaan Lanjut 1. Kebijakan Teknis Bimbingaan lanjut merupakan serangkaian kegiatan yang diarahkan kepada eks klien, keluarga dan masyarakat guna lebih dapat memantapkan, meningkatkan dan mengembangkan kemandirian eks klien dalam kehidupan serta penghidupan yang layak sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Pada tahapan bimbingan lanjut tidak hanya melihat kondisi eks klien setelah disalurkan ke masyarakat, sudah bekerja atau belum, punya usaha atau tidak, tetapi lebih jauh lagi mengarah pada serangkaian kegiatan yang menyangkut penyesuaian diri klien dengan keluarga ataupun masyarakat, aktivitas apa saja yang dilakukan, bimbingan keterampilan, bimbingan usaha yang kesemuanya untuk membimbing eks klien kearah kemandirian. Di dalam pembinaan lanjut terdapat tiga kegiatan yaitu, bimbingan peningkatan kehidupan bermasyarakat dan peran serta dalam pembangunan, bantuan pengembangan usaha atau bimbingan peningkatan keterampilan, dan bimbingan pemantapan kemandirian dan peningkatan usaha kerja. Dalam kegiatan pembinaan lanjut tidak semua eks klien yang telah disalurkan dilakukan pembinaan lanjut. Eks klien yang disalurkan semuanya diberi toolkit sesuai dengan bidang keterampilan yang diikuti selama dipanti. Pembinaan lanjut dilakukan setelah 2-3 bulan dari proses penyaluran dan hanya dilakukan satu tahun satu kali. Eks klien yang mendapatkan pembinaan lanjut berkisar 10 % dari total klien yang direhabilitasi selama satu tahun (220 orang) karena keterbatasan anggaran. Pembinaan lanjut dilakukan bersamaan dengan pemberian stimulan sebesar Rp 800.000,per eks klien. Dengan suntikan dana stimulan ini diharapkan eks klien dapat mengembangkan usahanya untuk kemandirian
264
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
mereka dimasa yang akan datang. Kondisi seperti inilah yang kadangkala membuat kecemburuan diantara eks klien yang mendapatkan stimulan dan yang tidak mendapatkan stimulan. Setelah mereka keluar dari panti biasanya mereka jaringan/ kelompok alumni untuk saling memberikan informasi, baik informasi masalah pekerjaan atau masalah-masalah lainnya Sedangkan kriteria keberhasilan eks klien: kemandirian, keaktifan siswa saat mengikuti pelayanan di panti, mampu membantu perekonomian keluarga dengan pendapatan yang halal. 2. Pemahaman Tentang Pembinaan Lanjut Pemahaman pembinaan lanjut masih beraneka ragam, menurut petugas panti lebih difahami sebagai monitoring dan evaluasi terhadap eks klien dengan mengisi form yang sudah baku sebagai alat untuk melihat kondisi eks klien setelah keluar dari panti. Instrumen pembinaan lanjut/after care berisikan tentang pertanyaan seputar kondisi eks klien dan aktivitas yang dilakukan setelah selesai mengikuti rehabilitasi dari panti seperti, kondisi sosial ekonomi, perkembangan mental sosial, perkembangan keterampilan, perkembangan keterampilan dan toolkit, hambatan atau kegagalan yang dialami serta harapan yang diinginkan eks klien. Sebagian petugas memahami pembinaan lanjut sebagai kunjungan ke rumah eks klien dengan memberikan stimulan, sehingga apabila mereka dalam melaksanakan pembinaan lanjut tidak membawa stimulan, maka petugas tersebut merasa tidak enak. Dengan demikian pembinaan lanjut seperti ini lebih dipahami sebagai penyampaian stimulan kepada eks klien untuk dikembangkan, karena di dalam pembinaan terkandung muatan bahwa eks klien tersebut sudah mengalami perubahan sehingga layak untuk mendapatkan stimulan dari panti.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
265
Indikator keberhasilan pembinaan lanjut yang diukur dalam pembinaan lanjut meliputi : perubahan sikap dan perilaku, diterima dilingkungan keluarga/masyarakat, tidak kembali jadi WTS, tempat tinggal menetap, menikah, kembali kepada keluarga, rajin melaksanakan ibadah, ada usaha (buka warung, bekerja dll). 3. Pelaksanaan Pembinaan Lanjut Penanggungjawab dalam pembinaan lanjut adalah seksi rehabilitasi dan dilaksanakan bersama-sama dengan seksi PAS dan pekerja sosial. Menurut petugas panti PSKW Mulya jaya, pembinaan lanjut yang selama ini dilakukan melalui dua cara yaitu, melalui (1) kontak telepon dan (2) mendatangi rumah eks klien. Pembinaan lanjut melalui telepon dilakukan dalam rangka untuk mengetahui kondisi sementara eks klien dan memastikan bahwa alamat tinggal mereka jelas, mudah dijangkau sehingga apabila diadakan kunjungan rumah mudah untuk dicari, dan kesediaan untuk menerima kedatangan petugas dari panti. Cara kedua adalah mengadakan kunjungan kerumah eks klien yang telah disalurkan ketengah-tengah masyarakat. Dalam kunjungan tersebut petugas menanyakan kondisi klien dengan panduan yang sudah disiapkan yang memuat pertanyaan sebagai berikut : a. Kondisi sosial ekonomi Di dalam kegiatan bimbingan lanjut, kondisi sosial ekonomi yang ditanyakan petugas meliputi, kegiatan yang dilakukan sehari-hari, usaha yang dilakukan selama ini, penghasilan rata-rata setiap hari, pekerjaan suami dan penghasilannya, cukup tidaknya penghasilan tersebut untuk memenuhi kebutuhan dalam keluarga, status tempat tinggal dan kondisi bangunan, alat transportasi yang dimiliki, makanan pokok sehari-hari hingga sarana hiburan yang dimiliki
266
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
b. Perkembangan mental sosial Untuk mengetahui perkembangan mental sosial eks klien, informasi yang digali meliputi pelaksanaan ibadah dalam keseharian, hubungan dengan anggota keluarga, tetangga atau masyarakat sekitarnya, keterlibatan dalam kegiatan di masyarakat (gotong royong, kerja bakti dll), keiukutsertaan dalam organisasi sosial yang ada di masyarakat, status kependudukan, stekma masyarakat terhadap eks klien dan sikap eks klien apabila diajak lagi terjun ke dunia prostitusi. c. Perkembangan keterampilan dan toolkit Dalam rangka mengetahui perkembangan keterampilan dan toolkit yang diterima eks klien, pertanyaan yang diajukan seputar masalah kemanfaatan bimbingan (sosial fisik, mental dan keterampilan) yang diberikan pada waktu di dalam panti, waktu pelayanan yang diberikan selama enam bulan menurut eks klien terlalu lama/tidak, perkembangan keterampilan yang diterima pada waktu dipanti, hubungan pekerjaan dengan keterampilan yang diperoleh dari panti, pemanfaatan toolkit, cukup tidaknya bantuan yang diterima dan cocok tidaknya bantuan dengan keterampilan yang diperoleh dari panti. 4. Hasil Pembinaan Lanjut Keberhasilan pembinaan lanjut yang dilakukan oleh panti, perlu partisipasi dari pihak-pihak terkait dalam upaya melakukan perubahan sikap dan perilaku eks klien setelah kembali hidup di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Partisipasi dalam bentuk dorongan atau motivasi dari pihak terkait diperoleh dari : a. Keluarga Keluarga terutama suami dan anak-anak sangat mendukung proses penyesuaian diri dengan lingkungan keluarga,
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
267
karena persoalan yang dialami eks klien tidak lepas dari persoalan ekonomi didalam keluarga. Hal ini terlihat dari hubungan diantara anggota keluarga cukup baik dan harmonis, mereka saling bisa menerima keadaan. Bahkan dari pihak keluarga mendorong eks klien membuka usaha dengan dukungan anak dan suami. Disamping itu eks klien dan keluarga juga sangat terbuka dengan petugas panti, maupun Dinas Sosial. Hal lain adalah pada waktu peneliti mau kunjungan ke rumah eks klien mereka dihubungi terlebih dahulu dan mereka menunggu di pinggir jalan agar mudah mencari tempat tinggalnya. Dari beberapa tempat eks klien yang dikunjungi nampak seluruhnya dapat menerima keadaan eks klien apa adanya. b. Masyarakat Masyarakat disekitar tempat tinggal eks klien tidak mempermasalahkan tentang persoalan yang dialami eks klien sebelumnya. Mereka saling tegur sapa layaknya anggota masyarakat pada umumnya. Bahkan pada waktu kunjungan kerumah eks klien, terlihat hubungan yang cukup baik antara eks klien dengan anggota masyarakat sekitarnya, sehingga tidak nampak dari masyarakat untuk mengucilkan atau mempergunjingkan keadaan eks klien. c. Jejaring kerja/stake holder (Dinas Sosial, Satpol PP, Polsek) Seksi PAS melakukan sosialisasi kepada Dinas Sosial, Satpol PP dan Polsek dalam rangka kerjasama untuk mendapatkan dukungan dalam mendapatkan klien. Sosialisasi dimaksudkan untuk memberitahu kepada ketiga elemen tersebut bahwa PSKW Mulya Jaya telah siap untuk menerima kiriman klien guna mendapatkan rehabilitasi sosial dari panti. Aparat desa/kelurahan (RT,RW,Kepala Desa) membantu dalam sosialisasi, penjangkauan, memantau kondisi eks klien setelah kembali pada keluarga. 268
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
d. Dunia Usaha Menyiapkan tempat untuk PBK: menyiapkan tempat untuk bekerja eks klien dan memberi informasi kesempatan kerja kepada pihak panti. Dalam rangka pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada Wanita Tuna Susila, PSKW Mulya Jaya Jakarta, memiliki Jaringan Kerjasama yang cukup luas mendukung kegiatan bimbingan, meliputi: 1) Dinas sosial, Dinas ketenteraman & ketertiban/ Satpol PP dalam pengiriman calon kelayan/siswa dan menindaklanjuti hasil razia yang dilaksanakan. 2) International Organizaton of Migration (IOM) dalam penanganan lanjutan dan memberikan perlindungan terhadap terhadap korban trafficking/penjualan perempuan yang dilacurkan. 3) Rumah Sakit POLRI Kramat Jati dalam hal rujukan dan penanganan medis korban trafficking perempuan. 4) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam bantuan tenaga medis atau dokter spesialis kulit dan kelamin untuk pemeriksaan danpengolahan PMS penerima pelayanan di panti. 5) Lembaga Pendidikan Keterampilan Wanita dan Yayasan Tri Dewi dalam bantuan tenaga instruktur keterampilan untuk meningkatkan mutu pelatihan keterampilan (vocational). 6) Aparat keamanan setempat (Polsek dan Koramil Pasar Rebo), dalam mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan. 7) Organisasi Wanita Aisyiyah, Organisasi Wanita Islam, Yayasan Al Azhar, KUA, Pendeta dari Gereja, dalam pembinaan/ bimbingan mental agama. 8) Universitas Indonesia, Jurusan Kesejahteraan Sosial dan Jurusan Psikologi, dalam membantu mengungkap dan menangani permasalahan kelayan/ siswa. 9) Universitas Negeri Jakarta, dalam hal pembinaan fisik, berupa
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
269
tenaga instruktur olahraga. 10) Panti Sosial Asuhan Anak Balita Tunas Bangsa Cipayung Jakarta, dalam rujukan/penitipan anak balita kelayan/siswa yang sedang dibina. 5. Faktor yang berpengaruh Faktor Pendukung dalam pelaksanaan pembinaan lanjut meliputi: a. Semangat dan motivasi petugas panti dalam melaksanakan bimbingan lanjut. b. Hubungan yang baik antara petugas binjut dengan eks klien sehingga hubungan cukup akrab dan tidak membuat jarak antara petugas dengan eks klien. c. Kerjasama antara panti dengan Dinas Sosial, aparat setempat, Satpol PP, dunia usaha, keluarga dan jejaring kerja lainnya. d. Data yang lengkap mengenai eks klien. e. Sarana dan prasarana yang cukup memadai. Faktor Penghambat: a. Tempat tinggal eks klien yang berjauhan dan telah pindah alamat tanpa memberitahukan pihak panti, akan mempersulit pihak panti dalam pengumpulan melihat perkembangan eks klien. b. Terbatasnya anggaran untuk pembinaan lanjut, sehingga tidak dapat menjangkau secara maksimal eks klien dalam pembinaan lanjut, c. Terdapat beberapa Dinas Sosial yang kurang mendukung kegiatan, d. Pemahaman pembinaan lanjut yang masih beragam, e. Belum tersedianya representatif.
270
panduan
pembinaan
lanjut
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
yang
E. Kasus Dan Analisis Untuk menggambarkan kondisi eks klien yang telah menjalani pembinaan lanjut, berikut diuraikan beberapa contoh kondisi eks klien. Kasus I 1. Identitas Responden AB tinggal di Kampung Pcl, Bekasi Selatan lahir pada tanggal 27 April 1974, pendidikan terakhir SD. Pekerjaan suami sebagai pemotong ayam dan dikarunia anak bernama SL dan sudah menikah dikarunia anak satu orang. AB tinggal bersama suami, anak, menantu dan cucu di rumah kontrakan. Pekerjaan yang dilakukan ditempat kontrakan tidak ada, hanya mereka melakukan pekerjaan menjahit apabila ada order, itupun dikerjakan di Garut (kampung halamannya).Dengan demikian pendapatan tergantung dari ada tidaknya order. Selama ini mesin jahit yang diberikan oleh panti di operasionalkan adiknya di Garut. Pekerjaan yang dilakukan AB sesuai dengan keterampilan yang diperoleh dari panti. Pada waktu dipanti AB memilih keterampilan High Speed. AB pernah masuk panti dua kali dalam kasus yang sama dan terakhir masuk panti pada bulan Januari 2010 dan selesai pada bulan Juni 2010. Sebelum masuk panti AB pada waktu itu sedang keluar rumah di daerah Poncol, tiba-tiba ada razia dari trantib dan ditangkaplah mereka kemudian dikirim ke PSKW Mulya Jaya. 2. Kondisi Tempat Tinggal AB tinggal dirumah kontrakan (rumah petak) dengan beaya per bulan Rp 400.000,-. Kondisi rumah yang ditempati permanen dengan tata ruang terbagi kedalam tiga bagian, yaitu ruang depan merupakan ruang tamu, ruang tengah untuk kamar tidur dan ruang belakang untuk dapur dan kamar mandi dengan penerangan listrik. Perabotan yang dimiliki meliputi lemari, tikar, meja dan dan TV yang dipajang di ruang tamu. Rumah
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
271
tersebut dihuni oleh 5 orang terdiri dari suami istri, anak, menantu dan cucu. Dari anggota keluarga yang menempati rumah tersebut merekalah yang mengalami masalah. 3. Diskripsi Pekerjaan Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka mengandalkan hidupnya dari pendapatan suami yang bekerja sebagai pemotong ayam dengan pendapatan perharinya Rp 100.000,(sebulan Rp 1.000.000,-). Namun kadang kalanya bila sedang pulang ke kampung halamannya (Garut) mereka menerima jahitan dari warga sekitarnya untuk tambahan kebutuhan hidupnya. Pendapatan gabungan (suami,istri) dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, untuk membayar kontrakan setiap bulan dan dimanfaatkan untuk mengangsur kreditan motor. Dengan demikian bila ditanyakan tentang keterampilan yang di terima dipanti sesuai dengan pekerjaan jelas sesuai namun kemanfaatan dari toolkit tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. 4. Diskripsi Kondisi Psikologis Perubahan yang terjadi pada diri eks klien adalah bahwa klien telah meninggalkan prostitusi dan hidup dalam keluarga dengan tenteram, saling tegur sapa diantara anggota keluarga, bahkan dilingkungan tempat tinggal mereka juga akrab dengan masyarakat sekitarnya. Dalam aktivitas sehari-hari nampak seperti layaknya keluarga lainnya, bahkan untuk kegiatan keagamaan, kemasyarakatan dia selalu ikut membaur dengan anggota masyarakat lainnya. Kegiatan usaha nampaknya hanya untuk sambilan karena kepala keluarga telah dapat memenuhi kebutuhan di dalam keluarganya Kasus II 1. Identitas Responden R, usia 37 tahun, pendidikan kelas 2 SD, pekerjaan membuat kue dan sekarang tinggal di Cik, gg A, Kel, Jaka Mulya, Bekasi
272
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Selatan (numpang dengan orang tua). Mereka menikah dengan seorang pedagang sayur dan mempunyai 2 orang anak. Anak pertama sudah menikah dan anak kedua masih sekolah kelas V SD. 2. Kondisi tempat Tinggal Eks klien tinggal bersama orang tuanya di perkampungan. Walaupun mereka sudah berkeluarga dan mempunyai anak, namun mereka lebih baik tinggal bersama orang tuanya, karena belum mampu untuk mempunyai rumah sendiri, sekaligus sambil menemani orang tuanya yang hidup sendirian. Kondisi rumah yang ditempati semi permanen, sebagian dari tembok tetapi sebagian lagi dari bilik. Di dalam tata ruang rumah terdapat kamar tidur, ruang tamu, kamar mandi dan dapur dengan penerangan listrik. Rumah tersebut dihuni 5 orang termasuk orang tuanya 3. Diskripsi Pekerjaan Dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, eks klien mengandalkan pendapatan dari suami sebagai pedagang sayur ditambah dengan eks klien dari jualan kue. Pendapatan rata-rata perbulan dari kedua sumber tersebut berkisar Rp 1.000.000,-. Bila diperhitungkan dengan pengeluaran jelas tidak cukup, karena untuk membayar listrik, sekolah anak dan cicilan motor saja sudah banyak, ditambah dengan untuk makan sehari-hari. Tetapi yang namanya rejeki ada saja untuk menutup kebutuuhan dalam hidupnya. Eks klien disamping jualan kue mereka juga sebagai pembantu rumah tangga di satu keluarga dekat rumahnya 4. Diskripsi Kondisi Psikologis Perubahan yang nampak pada diri eks klien adalah sekarang sudah tidak melakukan prostitusi. Dalam keseharian eks klien hidup tenang bersama sang suami. Mereka saling menghargai, saling menerima, saling bahu membahu di dalam segala
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
273
kehidupannya. Untuk relasi dengan tetangga dan masyarakat sekitarnya juga tidak ada masalah, bahkan kue hasil buatannya dititipkan ke warung-warung disekitarnya. Pergaulan dengan masyarakat sekitarnya cukup bagus layaknya masyarakat lainnya, mereka saling tegur sapa sehingga tidak terlihat adanya stigma stigma pada dirinya akibat dari perbuatan pada masa lalu. Kegiatan pengajian juga sering diikuti oleh eks klien. Kasus III 1. Identitas Responden K adalah seorang janda, karena bercerai dengan suaminya. usia mereka 38 tahun dengan pendidikan terakhir kelas 3 SD. Mereka berasal dari S, kemudian pindah ke Jakarta untuk mengadu nasib. Komariah tinggal dirumah kontrakan bersama dua anaknya di Jln.B II, Kel Bin, Kecamatan Bekasi Barat 2. Kondisi tempat Tinggal Tempat tinggal K cukup sederhana, dengan tata ruang kamar tamu, kamar tidur dan dapur bersebelahan dengan kamar mandi. Rumah yang ditempati K adalah rumah kontrakan dengan beaya per bulan Rp 350.000,- Walaupun kondisinya cukup sederhana namun rumah tersebut kelihatan bersih. Didalam rumah terdapat perabotan rumah tangga terdiri dari bifet, lemari, kursi dan perabotan lainnya. Sarana hiburan yang dimiliki adalah TV dan radio. Penerangan yang digunakan untuk setiap harinya memakai listrik. Dirumah inilah K tinggal bersama kedua anaknya, adik dan ibunya, dan menjajakan dagangannya berupa, makanan dan minuman 3. Diskripsi Pekerjaan Usaha yang dilakukan K untuk menopang hidupnya dengan berjualan minuman dan makanan. Hasil usaha tersebut dapat memenuhi kebutuhan K shari-hari, arena dalam sebulan K dapat mengantongi uang berkisar Rp 1.000.000,- s/d Rp 1.500.000,-.
274
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Adiknya yang sudah bekerja juga membantunya, tetapi tidak seberapa, karena dalam satu bulan hanya Rp 100.000,- . sedangkan pengeluaran untuk makan Rp 600.000,-/bulan dan kontrakan Rp 350.000,-/bulan. Dengan pendapatan tersebut nampaknya K masih dapat menyisihkan hasil usahanya untuk ditabung. Bila dikaitkan dengan keterampilan yang diperoleh dari panti, pekerjaan tersebut memang tidak sesuai, tetapi yang penting usaha tersebut dapat menghidupi keluarganya. 4. Diskripsi Kondisi Psikologis Perubahan yang terjadi pada dirinya adalah mereka tidak lagi terjun ke dunia prostitusi. Mereka dapat kumpul dengan anak, adik maupun orang tuanya dengan tenteram. Mereka mau usaha untuk memenuhi kebutuhan di dalam keluarganya, bahkan hubungan mereka cukup akrab walau sudah cerai dengan suami. Tanggung jawab terhadap keluarga juga cukup dibanggakan, karena jumlah tanggungan mereka tidak hanya anak, tetapi adik dan orang tua. Hubungan dengan tetangga dan masyarakat sekitarnya cukup akrab dan mereka saling berkunjung layaknya orang bertetangga. K juga sering terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan, termasuk acara masakmasak, sesuai dengan keterampilan yang diperoleh dari panti yaitu olahan pangan, sehingga dalam masak memasak sudah tidak asing bagi dirinya. Analisis Setelah mendapatkan program pelayanan dan rehabilitasi dari Panti Sosial Karya Wanita Mulya Jaya, eks klien telah mengalami perubahan dari kondisi sebelumnya. Perubahan tersebut terlihat dari, eks klien sudah kembali ke keluarga dengan hidup rukun, tidak melakukan tindak prostitusi, ada usaha atau bekerja, bahkan hasil pengamatan peneliti, mereka sudah dapat hidup bermasyarakat, bersosialisasi dan hidup membaur dengan masyarakat. Tidak terlihat pada dirinya bahwa mereka pernah
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
275
menjadi wanita tuna susila dan sebaliknya masyarakat dapat menerima eks klien sebagai layaknya anggota masyarakat pada umumnya. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh semangat dan motivasi petugas panti dalam melaksanakan pembinaan lanjut dan juga jalinan kerjasama/pembinaan yang baik antara petugas pembinaan lanjut dengan eks klien sehingga hubungan cukup akrab dan tidak membuat jarak antara petugas dengan eks klien. Terdapat beberapa indikator keberhasilan panti dalam memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada eks klien diantaranya: adanya perubahan sikap dan perilaku, diterima dilingkungan keluarga/masyarakat, tempat tinggal menetap, tidak kembali jadi WTS, menikah, rajin melaksanakan ibadah, ada usaha (buka warung, bekerja dll), mendapat stimulan Rp 800.000,-. Terkait dengan indikator keberhasilan tersebut, apabila salah satu indicator (tidak kembali jadi WTS) apakah itu belum dikatakan berhasil?. Menurut peneliti apabila eks wanita tuna susila tersebut sudah tidak menjalankan tindak tuna susila lagi, maka sudah dapat dikatakan berhasil. Hal ini sejalan dengan salah satu misi yang ada panti, yang menyebutkan bahwa eks klien dikatakan berhasil apabila sudah beralih profesi atau tidak menjadi wanita tuna susila lagi. Pembinaan lanjut merupakan rangkaian proses pelayanan dan rehabilitasi sosial di Panti Sosial dan sangat menentukan kemandirian eks klien di masyarakat. Untuk mencapai keberhasilan (kemandirian eks klien) secara maksimal, tugas tersebut tidak dapat dilakukan sendiri. Untuk itu program pembinaan lanjut ini harusnya mendapatkan perhatian baik dari segi anggaran, pelaksanaan, ataupun komitmen bersama dengan lembaga lain dalam keberlanjutan program dimaksud. Setiap tahun panti melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial sebanyak 220 orang terbagi kedalam dua angkatan, namun di dalam pelaksanaan pembinaan lanjut hanya 10 persen dari jumlah klien yang direhabiltasi. Hal ini disadari bahwa faktor
276
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
penyebabnya antara lain, terbatasnya anggaran yang tersedia, jumlah tenaga yang terbatas, ataupun jangkauan tempat tinggal yang cukup jauh. Bila pembinaan lanjut akan dilakukan panti secara menyeluruh, maka setiap klien seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama yaitu mendapatkan pembinaan lanjut beserta stimulan yang diberikan kepada setiap eks klien. Dalam pelaksanaan program pembinaan lanjut tidak mengikuti perkembangan baru dan hanya didasarkan pada keputusan Direktur Jenderal Pelayanan dan rehabilitasi Sosial. Padahal permasalahan sosial dalam perkembangannya sudah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian halnya dengan proses pelayanan yang ada saat ini juga tidak didasarkan pada kajian/penelitian sehingga tidak dapat diketahui keberhasilan dari pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilakukan panti. G. Penutup Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulan beberapa hal sebagai berikut: 1. Petugas panti telah melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial melalui beberapa tahapan, mulai pendekatan awal sampai pada tahap terminasi. 2. Pemahaman petugas tentang pembinaan lanjut masih ada kerancuan. Petugas masih menggabungkan kegiatan pembinaan lanjut dengan kegiatan monitoring dan evaluasi secara bersamaan, padahal dari segi pengertian maupun sasaran serta hasil yang diinginkan antara monitoring dan evaluasi dengan pembinaan lanjut tidak sama. 3. Panduan yang digunakan dalam pembinaan lanjut dengan mengisi form yang telah dipersiapkan petugas, dan isinya
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
277
belum mencerminkan isi dari pada pembinaan lanjut, karena lebih berorientasi pada pertanyaan monitoring dan evaluasi. 4. Dalam kegiatan rehabilitasi dan pembinaan lanjut terdapat faktor-faktor yang berpengaruh. Faktor pendukung yang dapat dimanfaatkan dalam pembinaan lanjut : dukungan dari jejaring kerja, keluarga, stake holder, maupun masyarakat, sedangkan faktor yang dapat menghambat pelaksanaan kegiatan adalah anggaran yang terbatas, tempat tinggal eks klien yang berjauhan dan telah pindah alamat tanpa memberitahukan pihak panti, pemahaman tentang pembinaan lanjut yang masih rancu dan masih tumpang tindih dengan monitoring dan evaluasi. 5. Hasil pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan Panti Sosial karya Wanita Mulya Jaya sangat dirasakan manfaatnya, baik oleh klien sendiri ataupun keluarga setelah mereka keluar dari panti. Manfaat yang dirasakan bahwa pelayanan diberikan dapat merubah dirinya kearah kehidupan yang baik seperti memiliki keterampilan,mempunyai usaha, dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat, hubungan dengan petugas cukup akrab bahkan apabila diperbolehkan ada eks klien yang menginginkan masuk panti lagi untuk mendapatkan tambahan keterampilan yang lain dari panti. Rekomendasi : Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian ini, beberapa aspek yang perlu menjadi bahan rekomendasi untuk dilaksanakan oleh berbagai pihak, yaitu: 1. Perlu adanya buku panduan pelaksanaan pembinaan lanjut sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan binjut, sehingga pemahaman tentang pembinaan lanjut tidak bervariasi/berbeda-beda antara petugas satu dengan petugas lainnya.
278
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
2. Dalam pedoman pembinaan lanjut materi yang terkandung di dalamnya meliputi : petugas pelaksana pembinaan lanjut, waktu pelaksanaan pembinaan lanjut, frekwensi pembinaan lanjut, Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pembinaan lanjut, materi untuk pembinaan lanjut, dan kriteria eks klien yang memenuhi syarat untuk dilakukan pembinaan lanjut. 3. Anggaran untuk pembinaan lanjut perlu tambah, sehingga quota terhadap pelaksanaan pembinaan lanjut dapat ditingkatkan. 4. Koordinasi dengan pemerintah daerah perlu ditingkatkan dan menjadi komitmen bersama dalam menangani masalah klien mulai dari awal hingga akhir kegiatan.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
279
280
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Bagian 10 PELAYANAN DAN REHABILITASI SOSIAL TERHADAP GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI PANTI SOSIAL BINA KARYA (PSBK) PANGUDI LUHUR : Studi Kasus Pembinaan Lanjut Ruaida Murni
A. Pendahuluan Gelandangan dan pengemis (Gepeng) merupakan fenomena sosial di kota-kota besar, karena sulitnya kehidupan di pedesaan sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk dan tanah garapan yang semakin hari semakin berkurang. Sementara masyarakat desa pada umumnya adalah para petani, yang sebagian besar merupakan petani penggarap dan miskin. Mereka terpaksa mencari tempat penghidupan lain yang diharapkan dapat memberikan harapan masa depan yang lebih baik, dengan pergi merantau ke kota. Daya tarik perkembangan pembangunan fisik, sosial dan ekonomi di kota-kota yang cukup pesat, menimbulkan arus perpindahan penduduk dari perdesaan ke daerah perkotaan. Arus penduduk ini lebih lagi bertambah parah dengan adanya daya dorong yakni pembangunan di perdesaan masih ketinggalan. Urbanisasi ini mengakibatkan berbagai masalah sosial, ekonomi, budaya, seperti meningkatnya kepadatan penduduk di daerah perkotaan yang dapat menimbulkan benturan nilainilai sosial, karena sebagian besar urbanisan merupakan warga miskin, tidak mempunyai keterampilan, pendidikan terbatas sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan pola kehidupan perkotaan. Akibat ketidak-mampuan dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan di kota-kota besar terutama di sektor
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
281
formal, maka mereka menerima pekerjaan apapun dengan upah berapapun, hanya sekedar untuk mempertahankan hidupnya. Akibatnya mereka terpaksa tinggal di kolong jembatan, pinggiran rel kereta api, bantaran sungai bahkan di kaki lima pertokoan dan sebagainya, karena tidak mampu menyediakan tempat tinggal bagi keluarganya. Data Pusdatin Kesos menunjukkan bahwa adanya pertambahan jumlah penyandang masalah sosial gelandangan dan pengemis dari tahun 1987 sampai tahun 2002. Pada tahun 1987/1988 sebanyak 55.201 orang, tahun 1993/1994 berjumlah 76.184 orang, tahun 2000 bejumlah 49.271 orang dan tahun 2002 jumlah gelandangan mencapai 57.669 orang dan pada tahun 2010 jumlah gelandangan mencapai 25.662 jiwa dan pengemis 75.478 jiwa. Tahun 2011 jumlah gelandangan turun menjadi 18.599 jiwa, sementara jumlah pengemis meningkat manjadi 78.262 jiwa. Fenomena urbanisasi menurut Soekamto (1990:79), dapat di tinjau dari dua faktor penyebab, yaitu adanya faktor pendorong penduduk desa pergi meninggalkan daerah asalnya dengan berbagai alasan, dan faktor kota yang menarik penduduk desa untuk menetap di daerah perkotaan. Arus urbanisasi yang tidak terkontrol ini menimbulkan masalah, karena kebanyakan dari kaum urbanisasi tersebut kurang memiliki bekal pendidikan, pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk dapat bersaing mencari pekerjaan di kota. Kebijakan pemerintah dalam penanganan masalah gelandangan dan pengemis telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Kemudian Keputusan Presiden RI No. 40 /1983 tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Serta Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 30/ HUK/96 tentang Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis di Dalam Panti. Melalui usaha ini para gelandangan dan pengemis mendapat pembinaan dan pendidikan untuk memulihkan
282
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
mereka agar dapat berfungsi secara sosial dan ekonomi. Wujud usaha yang bersifat rehabilitatif adalah dengan ditentukannya metode pelayanan yang dikenal dengan sistem dalam panti yang sebelumnya dikenal dengan sistem Lingkungan Pondok Sosial (Liposos), sesuai dengan Kep. Mensos dan yang telah dilakukan oleh Kementerian Sosial RI. Panti Sosial Bina Karya (PSBK) merupakan lembaga kesatuan kerja yang memberikan sarana dan prasarana untuk pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang masalah sosial gelandangan dan pengemis berdasarkan profesi pekerjaan sosial (Kep Mensos RI No. 22/HUK/1995). Pelayanan sosial yang dimaksud menurut Romansyshyn yang dikutif oleh Fahrudin (2011) adalah sebagai usaha untuk mengembalikan, mempertahankan dan meningkatkan keberfungsian sosial individu dan keluarga melalui (1) sumbersumber sosial pendukung, (2) proses-proses untuk meningkatkan kemampuan individu dan keluarga dalam mengatasi stres dan tuntunan kehidupan sosial. Pelayanan sosial merupakan suatu bentuk aktivitas yang bertujuan untuk membantu individu, kelompok, ataupun kesatuan masyarakat agar mereka mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, yang pada akhirnya mereka diharapkan dapat memecahkan permasalahan yang ada melalui tindakan-tindakan kerjasama ataupun melalui pemanfaatan sumber-sumber yang ada di masyarakat untuk memperbaiki kondisi kehidupannya. Panti Sosial Bina Karya (PSBK) Pangudi Luhur Bekasi sebagai lembaga pelayanan rehabilitasi sosial gelandangan dan pengemis, melaksanakan kegiatannya untuk membantu menyelesaikan permasalahan gelandangan dan pengemis. Informasi awal menunjukkan bahwa ketika PSBK melakukan tahapan pelayan dan rehabilitasi, diketahui/tercatat beberapa klien yang sebelumnya telah pernah mengikuti rehabilitasi di panti sejenis di wilayah lain. Hal ini terkait dengan belum mampunya eks klien di panti bersangkutan untuk mandiri sesuai dengan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
283
tujuan rehabilitasi. Hal tersebut tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pada eks klien atau warga binas sosial (WBS) PSBK yang lain. Diduga hal ini terjadi karena lemahnya proses pelayanan dan rehabilitasi yang dilakukan oleh PSBK, serta pelaksanaan pembinaan lanjut terhadap eks WBS. Berdasarkan hal tersebut Puslitbang Kessos perlu mengkaji proses pelayanan dan rehabilitasi serta pembinaan lanjut yang dilaksanakan oleh PSBK Pangudi Luhur. Studi ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi tentang 1) proses pelayanan dan rehabilitasi yang dilaksanakan PSBK; 2) pemahaman petugas panti terhadap pembinaan lanjut dan bagaimana pelaksanaannya; 3) hasil pembinaan lanjut yang dilaksanakan panti;dan 3) faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan pembinaan lanjut. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Direktorat Pelayanan Tuna Sosial dalam penyusunan kebijakan dalam pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi terhadap gelandangan dan pengemis serta pembinaan lanjut yang dilaksanakan oleh PSBK. Penelitian ini menggunakan metode evaluasi dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang relevan untuk meneliti fenomena yang terjadi dalam suatu masyarakat, karena pengamatan diarahkan pada latar belakang dan individu secara holistik dan memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan, bukan berdasarkan pada variabel atau hipotesis, sebagaimana pendapat Lexy J Moleong (2004) yang mengatakan bahwa, tradisi tertentu dalam ilmu sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya. Jadi alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagaimana instrumen kunci. Untuk mendapatkan data yang akurat maka pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan daftar
284
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pertanyaan terhadap eks warga binaan sosial, focus group discussion (FGD) dengan pekerja sosial, pejabat struktural, unsur yang terlibat dalam rehabilitasi dan pelaksanaan pembinaan lanjut dan Dinas Sosial. Kemudian observasi terhadap kondisi eks WBS dan pelaksanaan pembinaan lanjut, serta studi dokumentasi. Analisa data dilakukan secara deskriptif kualitatif, meliputi reduksi data, penyajian, penafsiran dan menyimpulkan. B. Gambaran Umum Panti Sosial 1. Kelembagaan Panti Sosial Bina Karya Pangudi Luhur (PSBKPL) berdiri berdasarkan SK Mensos RI Nomor 14 HUK/1994, tgl 23 April 1994, tentang Penamaan UPT pusat/panti/sasana di lingkungan Departemen Sosial RI, yang sebelumnya bernama Panti Rehabilitasi Gelandangan dan Pengemis dan Orang Terlantar (PRPGOT). Kemudian berdasarkan SK menteri Sosial Nomor 59/HUK/2009 tgl 23 juli 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial di lingkungan Departemen Sosial RI, maka struktur organisasi PSBK terdiri dari 1 (satu) orang kepala, 1 (satu) Subbag Tata Usaha dan 2 (dua) seksi yaitu Seksi Program dan Advokasi, Seksi Rehabilitasi Sosial dan kelompok jabatan fungsional. Masing-masing seksi bertanggung jawab langsung kepada pimpinan panti. Tujuan pelayanan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan PSBK, adalah untuk memulihkan fungsi sosial gelandangan dan pengemis, antara lain dapat dilihat dari gelandangan dan pengemis mampu merubah cara hidup dan cara mencari penghasilannya sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat; gelandangan dan pengemis dapat dijangkau dan mau mengikuti program pelayanan dan rehabilitasi sosial; gelandangan dan pengemis mampu menjalankan fungsi dan peran sosialnya di masyarakat secara wajar (Dit. Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, Ditjen. Yanrehsos, 2007).
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
285
2. Sumber Daya Manusia (SDM) Jumlah pegawai PSBKPL, 75 orang, terdiri dari pegawai negeri sipil 56 orang (76 %), dan tenaga honorer 19 orang (24 %), dengan tingkat pendidikan S2 1 orang, S1/D4 sebanyak 13 orang, D3 sebanyak 9 orang, SLTA 3 orang, SLTP 1 orang dan SD 1 orang. Sedangkan menurut jabatannya terdapat 4 orang pejabat struktural, 15 orang fungsional pekerja sosial, penyuluh sosial, arsiparis, psikolog, dokter umum, dokter gigi masing-masing 1 orang, 2 orang perawat, 10 orang instruktur, 4 orang Satpam, 6 orang tukang bangunan, 2 orang tukang kebun, 1 orang supir dan 7 orang cleaning service dan staf pendukung lainnya. Perbandingan antara pekerja sosial dengan WBS masih belum sesuai dengan kebutuhan pelayanan, yaitu 1 berbanding 14 sampai 15, idealnya 1 berbanding 9 sampai 10 (standarisai pelayanan dan rehabilitasi sosial PSBK). Menurut Kepala PSBK: “saat ini pegawai baru sudah diarahkan untuk menjadi pekerja sosial, sehingga jumlah yang dibutuhkan dapat terpenuhi.” Jumlah peksos perempuan lebih banyak dari peksos laki-laki, sementara kebutuhan peksos laki-laki lebih banyak, karena terkait permasalahan-permasalahan yang sering terjadi seperti perkelahian antar WBS, pelaksanaan piket malam hari dan penaggulangan banjir ketika musim hujan yang membutuhkan pegawai laki-laki. Tingkat pendidikan pekerja sosial, terbanyak adalah setingkat SMA 12 orang, (2 orang diantaranya adalah SMPS), D3 (sosial) 1 orang dan sarjana sosial 3 orang. Hanya sebagian kecil saja yang sudah mengikuti pendidikan/pelatihan yang berkaitan dengan pelayanan yang berbasiskan kesejahteraan sosial. Sebagian besar telah memiliki sertifikat pekerja sosial fungsional sesuai dengan jenjang fungsionalnya. Menurut pekerja sosial, “sertifikasi ini belum memuat kebutuhan pelayanan yang dilaksanakan
286
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pekerja sosial, karena sertifikasi hanya menetapkan bahwa peksos yang bersangkutan adalah fungsional pekerja sosial pada tingkat yang ditetapkan. Sedangkan pada pelayanan dan rehabilitasi yang dilakukan membutuhkan keahlian sesuai dengan permasalahan yang ditangani, seperti pekerja sosial anak, pekerja sosial remaja, pekerja sosial Lanjut Usia dsb”. Selain pekerja sosial, tenaga lain yang dibutuhkan oleh PSBKPL adalah instruktur keterampilan. Sebagian instruktur yang terdapat di PSBKPL, tidak memiliki sertifikat yang terkait dengan ilmu keterampilan yang diberikan kepada WBS. Meskipun demikian mereka telah mendapatkan ilmu keterampilan langsung dari lembaga praktek keterampilan, atau belajar sendiri secara otodidak. Menurut Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial, “para instruktur cukup menguasai dan mahir dalam jenis keterampilan yang diberikan kepada WBS. Mereka juga bukan termasuk tenaga honor panti”. 3. Sarana Dan Prasarana. PSBK Pangudi Luhur memiliki lahan seluas 51.616 M², terdiri dari 44.412 M² untuk bangunan (pondok WBS dan sarana pendukung pondok dll), bangunan kantor 4.204 M² dan 3.000 M² untuk lahan percobaan pertanian. Ruang kantor yang dimiliki adalah ruang kepala panti, ruang Tata Usaha, ruang bendahara, ruang seksi Program dan Advokasi Sosial, ruang seksi Rehabilitasi Sosial, ruang pekerja sosial 2 unit, ruang psikologi, ruang bendahara, ruang dokter gigi. Selain itu PSBKPL juga memiliki ruang untuk menunjang kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan, seperti ruang rapat, ruang tamu pekerja sosial, ruang tamu Taman Penitipan Anak, ruang tamu kelas, ruang tamu poliklinik, ruang koperasi. Selain ruangan yang dimiliki, PSBKPL juga didukung oleh berbagai jenis sarana peralatan kantor yang cukup lengkap, baik sarana kerja maupun sarana transportasi, namun diakui masih dalam jumlah yang terbatas terutama computer dan sarana
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
287
transportasi. PSBKPL hanya memiliki 3 kendaraan roda empat dan 2 kendaraan roda dua sehingga masih belum memadai untuk operasional kegiatan PSBKPL. Sarana pelayanan dan rehabilitasi; PSBKPL memiliki 31 asrama/pondok untuk tempat tinggal WBS, masing masing pondok terdiri dari 5 pintu/rumah, masing-masing pintu/ rumah terdiri dari dua kamar tidur, satu ruang tamu dan 1 ruang dapur (sebagian tidak memiliki ruang dapur). Satu pintu dihuni oleh satu keluarga (ibu, bapak, anak usia sekolah) sedangkan keluarga yang memiliki anak remaja bergabung dengan remaja lain dalam satu rumah/pintu. Untuk bimbingan keterampilan PSBKPL memiliki 9 unit ruang keterampilan, ruang pendidikan, ruang TPA, aula, sarana kesenian, dua unit ruang rehabilitasi dan satu unit Mushalla. Panti ini juga dilengkapi dengan sarana olahraga, sarana kesenian dan satu unit Guest House. Kemudian untuk pelayanan kesehatan,terdapat poliklinik dan ruang rawat inap, sedangkan untuk perumahan pegawai terdapat rumah dinas 1 unit tipe C, 14 unit tipe D dan 19 unit tipe E. 4. Gambaran Warga Binaan Sosial (WBS) Pada umumnya WBS berasal dari DKI Jakarta, Bekasi, Bogor, Bandung, Karawang, Lebak Banten, Tangerang, Malang, Cianjur, Garut, Sukabumi, lampung, Banyumas, Kendal, Kebumen, Jombang, Situbondo, Magelang, Jember, Banjarnegara, Sulawesi dan Kalimantan. Jumlah WBS perangkatan (6 bulan) adalah 300 orang yang terdiri dari balita, anak usia sekolah, remaja dan orang tua serta lanjut usia yang masih produktif. Mereka ada yang datang dengan status keluarga (istri, suami, anak) maupun sendiri (bujang/gadis, janda/duda). Tingkat pendidikan WBS yang dewasa bervariasi mulai dari SD sampai tingkat SMA bahkan ada yang tidak tamat SD dan
288
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
tidak pernah sekolah. Sebagian besar WBS di PSBK berasal dari keluarga atau masyarakat yang rawan menjadi gelandangan dan pengemis sedangkan gelandangan dan pengemis murni hanya beberapa keluarga saja. Menurut pekerja sosial hal ini dilakukan untuk mengantisipasi bertambah banyaknya jumlah gelandangan dan pengemis dijalanan, sementara gelandangan dan pengemis murni juga dilakukan agar mereka tidak lagi hidup sebagai gelandangan dan pengemis. Untuk mendapatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial di PSBKPL, calon WBS perorangan maupun keluarga harus memenuhi persyaratan yang ada yaitu, tidak memiliki penyakit menular/kronis; tidak cacat fisik/mental; tidak sedang berurusan dengan penegak hukum; bersedia mengikuti program pelayanan panti; usia produktif (secara fisik dan mental mampu dilatih). Sebelum masuk panti kegiatan WBS adalah pengamen, pedagang asong, pemulung, minta-minta dan tidak ada kegiatan apa-apa. Setelah masuk panti, WBS memilih sendiri jenis keterampilan yang akan diikuti sedangkan bimbingan sosial lainnya harus diikuti oleh semua WBS. PenempatanWBS dalam pelayanan dan rehabilitai berdasarkan pertimbangan asesmen dan jenis keterampilan yang tersedia di panti. Jenis keterampilan yang diikuti WBS adalah petukangan kayu, petukangan las, montir motor, olah pangan, sablon, tata rias, montir mobil, tahu tempe, dan pertanian Untuk meningkatkan keterampilan membaca dan menulis bagi WBS yang belum mampu tulis baca, diberikan paket A, yang bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Bekasi. Jumlah WBS yang mengikuti paket A pada tahun 2009 sebanyak 45 orang, 2010 sebanyak 61 orang dan tahun 2011 sebanyak 29 orang. Sedangkan bagi WBS yang memiliki anak balita, juga tersedia TPA Bina Insani.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
289
C. Proses Rehabilitasi Sosial 1. Pendekatan awal. Pendekatan awal dilakukan melalui sosialisasi program, orientasi dan konsultasi, identifikasi masalah, motivasi dan seleksi penerimaan. Kegiatan ini diawali dengan melakukan kontak dengan Dinas Sosial Tk. II melalui surat pemberitahuan tentang penerimaan warga binaan sosial di PSBKPL. Pada tahap ini PSBK mensosialisasikan program PSBKPL kepada Dinas Sosial setempat sekaligus melakukan konsultasi tentang wilayah-wilayah yang menjadi kantong calon WBS. Peserta sosialisasi terdiri dari tokoh masyarakat, petugas dari kecamatan. Pada tingkat Kelurahan dan ke lokasilokasi dimana calon WBS berada sosialisasi dilakukan oleh Dinas Sosial. Pada saat yang sama pekerja sosial melakukan identifikasi terhadap calon WBS serta potensi lingkungan yang mendukung WBS ketika kembali dari panti. Beberapa kendala dalam kegiatan ini antara lain: a. Beberapa tahun terahir ini sosialisasi hanya sampai tingkat Dinas Sosial saja, sehingga pekerja sosial tidak bisa memotivasi secara langsung kepada calon WBS. b. Surat yang dikirim ke Dinas Sosial, sering tidak sampai, karena nomenklatur Dinas Sosial bergabung dengan instansi lain, sehingga informasi tentang pelaksanaan sosialisasi tidak sampai ke petugas. c. Sosialisasi yang dilakukan oleh petugas panti atau petugas lainnya tidak secara langsung sampai ke jenjang calon WBS, sehingga terjadi kesalah pahaman terhadap program yang akan dilaksanakan di PSBKPL. Calon WBS mengira adanya uang saku, atau akan jaminan pekerjaan setelah selesai mengikuti kegiatan di panti. Hal ini menimbulkan masalah setelah berada di panti. Mereka tidak mau
290
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
mengikuti kegiatan panti, minta keluar atau secara diamdiam keluar dari panti (kabur) 2. Penerimaan. Pada tahap penerimaan dilakukan registrasi dan penempatan dalam program rehabilitasi. Registrasi merupakan seleksi yang kedua yang dilakukan oleh pekerja sosial dan psikolog, untuk memastikan calon memenuhi syarat untuk diterima sebagai WBS. Pada kesempatan ini pekerja sosial dan psikolog berusaha menggali informasi dari WBS dengan cara wawancara yang berkaitan dengan penempatan dalam kegiatan keterampilan yang akan diberikan. Hasil wawancara akan dijadikan data dasar untuk penempatan dalam program rehabilitasi sosial sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki masing-masing WBS dan tingkat pendidikan, serta disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh PSBK. Beberapa permasalahan terkait dengan penerimaan antara lain: a. Seringnya WBS memaksakan untuk mengikuti jenis keterampilan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, sehingga sering terjadi penumpukan WBS dalam salah satu jenis keterampilan yang tidak mengharuskan kemampuan dimaksud, seperti olah pangan, tahu tempe dan pengolahan susu kedelai. b. Petugas sering dihadapkan pada dilematis pada calon WBS yang datang sendiri dalam kondisi mengidap penyakit tertentu yang tidak memenuhi persyaratan namun membutuhkan bantuan. Menghadapai hal ini petugas mempertimbangkan latar belakang calon WBS, jika gelandangan dan pengemis murni tetap diterima sebagai WBS, dengan resiko pengobatan secara intensif ke Puskesmas.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
291
3. Asesmen Assesmen atau pengungkapan dan pemahaman masalah dapat dilakukan sepanjang WBS menerima bimbingan dan rehabilitai sosial di PSBKPL. Asesmen yang dilakukan pada awal penerimaan untuk menelusuri, menggali data WBS, faktor-faktor penyebab masalahnya, tanggapannya serta kekuatan-kekuatannya dalam rangka membantu dirinya sendiri. Kemudian dikaji, dianalisa dan diolah oleh pekerja sosial dan psikolog, untuk membantu upaya rehabilitasi sosial dan resosialisasi bagi WBS. Selanjutkan berdasarkan hasil registrasi dan asesmen, maka dilakukan penempatan dalam program dan pondok. WBS yang berasal dari satu daerah, tidak ditempakan dalam satu pondok. Asesmen juga dilakukan apabila WBS bermasalah di panti, baik masalah dalam keluarganya, maupun dengan tetangga sesama WBS. Assesmen dilakukan oleh pekerja sosial, sedangkan penyelesaian masalah dilakukan oleh pembimbing pondok, namun jika melalui pembimbing belum terselesaikan, maka akan diadakan Case Conference atau pembahasan kasus, yang melibatkan pekerja sosial, struktural, psikolog, pembimbing agama dan medis. Untuk mengupayakan penyelesaian masalah WBS, tidak jarang dilakukan home visit, untuk mengetahui lebih jauh kondisi keluarga sebelum masuk ke panti. Kendala yang dihadapi dalam asesmen: a. belum ada instrumen yang baku untuk melakukan asesmen b. petugas asesmen/asesmentor belum memiliki ilmu asesmen yang memadai sehingga hasil asesmen kadang kala tidak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi WBS. 4. Pelaksanaan Bimbingan dan Rehabilitasi Sosial. Pelayanan dan rehabilitasi terhadap gelandangan dan pengemis di PSBKPL mencakup :
292
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
a. Bimbingan sosial Bimbingan yang ditujukan kearah tatanan kerukunan dan kebersamaan hidup bermasyarakat, sehingga diharapkan dapat menimbulkan kesadaran dan tanggung jawab sosial baik di lingkungan keluarga maupun dilingkungan masyarakat. Bimbingan sosial dilakukan melalui teori dan praktek hidup berteman, berrelasi dan bersosialisasi; hidup bermasyarakat, bergotong royong, bertanggung jawab dan bertoleran; hidup tertib dan berprilaku sesuai aturan dan tata nilai yang berlaku di masyarakat; hidup selalu optimis, bekerja keras dan percaya diri; bimbingan pengetahuan dasar; kesehatan, keluarga berencana; kewirausahaan dan keteraturan bermasyarakat dan taat hukum. Teori bimbingan sosial dilakukan secara klasikal, WBS dikelompokkan berdasarkan latar belakang pendidikan (SD, SMP, SMA). Kemudian diskusi kelompok dan dinamika kelompok, serta terapi komuniti yang dilakukan melalui pertemuan pagi, bimbingan kelompok, curahan hati/ pengalaman hidup. b. Bimbingan fisik dan kesehatan Bimbingan fisik dan kesehatan merupakan bimbingan atau tuntunan untuk pengenalan dan praktek cara-cara hidup sehat secara teratur dan disiplin agar kondisi badan/ fisik selalu dalam keadaan sehat. Pelayanan dan kegiatan yang mendukung bimbingan fisik dan kesehatan melalui pelayanan menu makanan yang diberikan dalam bentuk natura yang diberikan dalam 5 hari sekali. Bahan makanan yang diberikan per WBS adalah beras 2,5 kg, ikan/daging/ sarden/ayam (diberikan bergantian), telur, teh, gula, kopi, minyak goreng, indomi, garam, gas 3 kg dan lain lain yang diperlukan. Kemudian bimbingan fisik berupa olah raga, PBB, outbound, kebersihan ketertiban dan keindahan (K3) dan SKJ. Selain itu bimbingan kesehatan juga dilakukan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
293
dengan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan di poliklinik milik panti, bimbingan hidup sehat, kesehatan reproduksi, penyuluhan HIV/AIDS dan pelayanan Keluarga Berencana. Sedangkan khusus untuk ibu hamil diadakan pemeriksaan kehamilan dan imunisasi. Bagi anak balita selain pemeriksanaan kesehatan secara rutin, juga diberikan imunisasi sesuai kebutuhan anak balita serta pemberian vitamin A. WBS yang sakit yang tidak bisa diobati di poliklinik panti, maka akan dirujuk ke rumah sakit Umum Bekasi, atau ke rumah sakit terdekat yang telah diadakan kerjasama seperti Klinik, Rumah Bersalin/ Bidan dll. Dalam pemeriksanaan kesehatan, kadangkala terdeteksi penyakit yang berat yang diderita oleh WBS yang tidak terdeteksi saat penerimaam WBS, seperti HIV/AIDS dan narkoba. WBS seperti ini dirujuk ke panti lain yang sesuai dengan permasalahannya untuk penanganan lebih lanjut. Bimbingan fisik dan kesehatan dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang telah disusun dan dibimbing oleh pekerja sosial bekerja sama dengan Polres Bekasi, Puskesmas/ kesehatan dan RSUD. c. Bimbingan Mental Spiritual Bimbingan mental spiritual ditujukan untuk memahami diri sendiri dan orang lain melalui bimbingan keagamaan, etika/ budi pekerti dan disiplin diri. Bimbingan spiritual dilakukan melalui ceramah agama 2 kali/minggu, pengajian 1x seminggu, belajar membaca Al Qur’an 1x seminggu. Bimbingan mental diberikan oleh pekerja sosial yang dianggap mampu dalam bimbingan agama. Sementara ceramah agama selain diberikan oleh petugas panti, juga bekerja sama dengan Dep. Agama dan Pasantren.
294
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
d. Bimbingan keterampilan kerja Bimbingan keterampilan kerja ditujukan agar WBS terampil dibidangnya sehingga memungkinkan mereka mampu memperoleh pendapatan yang layak sebagai hasil pendayagunaan keterampilan kerja yang dimiliki. Masingmasing jenis keterampilan di bimbing oleh seorang instruktur yang didampingi oleh seorang pekerja sosial. Pekerja sosial dalam bimbingan keterampilan ini bertugas untuk memantau dan memberi dorongan kepada WBS agar setiap bimbingan dilakukan dengan tekun. Keterampilan yang diberikan sesuai dengan minat dan bakat WBS yang mencakup pertukangan kayu, pertukangan las, olahan pangan, sablon, tata rias, montir mobil, montir motor, tahu/tempe, menjahit, budi daya perikanan dan pertanian. Menurut instruktur “ruang yang digunakan untuk bimbingan keterampilan terasa sempit, sehingga membatasi ruang gerak WBS. Peralatan dan bahan keterampilan juga tidak mengikuti perkembangan pasar”. 5. Resosialisasi Resosialisasi dilakukan satu bulan atau dua bulan sebelum terminasi atau pemulangan WBS. Kegiatan ini dilakukan ke lembaga pengirim/Dinas Sosial untuk memberitahukan pemulangan WBS yang dikirim oleh lembaga/Dinas Sosial setempat, karena telah selesainya pelayanan dan rehabilitasi yang dilakukan PSBKPL. Kegiatan ini dilakukan oleh pekerja sosial bekerjasama dengan Dinas Sosial. Kendala yang dihadapi petugas/pekerja sosial dalam kegiatan ini, antara lain: a. Seringnya terjadi mutasi pejabat daerah, sehingga pemahaman tentang kegiatan PSBKPL masih kurang. Pekerja sosial terpaksa melakukan sosialisasi program agar mereka memahami kegiatan PSBKPL
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
295
b. Waktu yang diberikan untuk resosialisasi hanya 3 hari untuk lokasi jauh dan 1 hari lokasi dekat cukup menyulitkan petugas dalam mengatur waktu terutama terkait dengan tingkat kesibukan pejabat daerah. Resosialisasi WBS dilakukan melalui kegiatan Praktek Belajar Kerja (PBK) selama 1 bulan. Bagi WBS yang dianggap belum menguasai atau belum mampu, maka tidak diikutkan dalam PBK, bahkan bagi WBS yang sudah mampupun tidak semua dapat diikut sertakan dalam PBK karena anggaran yang tersedia terbatas. PBK dilakukan melalui kerja sama dengan dunia usaha sesuai dengan jenis keterampilan WBS. Beberapa jenis keterampilan tertentu, seperti olah pangan, PBK dilakukan dengan mengolah makanan di panti, kemudian menjualnya sendiri ke masyarakat sekitar. Pada akhir pelayanan dan rehabilitasi sosial sebelum pemulangan, WBS diberikan paket kerja sesuai dengan jenis keterampilan. Paket ini merupakan bantuan stimulan usaha produktif berupa bahan dan peralatan kerja untuk melaksanakan praktek keterampilan yang sudah diberikan, bertujuan agar mereka memiliki mata pencaharian dan berpenghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seharihari. Pemberian paket ada yang berkelompok dan ada juga yang perorangan. 6. Penyaluran Penyaluran WBS diwujudkan dalam bentuk pengembalian ke masyarakat, menyalurkan ke tempat kerja, dan menyalurkan sebagai peserta transmigrasi. Penyaluran dilakukan setelah selesai masa bimbingan dan rehabilitasi. Menurut Pekerja sosial, secara khusus penyaluran ke tempat kerja pada saat ini belum sepenuhnya dilakukan, oleh karena kepercayaan dunia usaha terhadap eks WBS masih rendah. Dunia usaha pernah mempekerjakan eks WBS namun banyak keluhan
296
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
yang dihadapinya seperti keterampilannya yang masih kurang, sikap terhadap pekerjaan juga masih kurang, masih malas-malasan, setelah beberapa bulan bekerja sering meninggalkan pekerjaan tanpa pamit dan membawa beberapa peralatan kerja. Menurut pekerja sosial sikap eks WBS masih sulit dikendalikan ketika sudah kembali ke masyarakat. Kepercayaan yang sudah diberikan oleh pemilik usaha sering disalahgunakan dengan membawa barang-barang dari tempat usahanya, sehingga berimbas ke eks WBS yang lain yang benar-benar mau memanfaatkan keterampilan yang dimiliki dan benar-benar mau merubah hidupnya. Sementara untuk mencari sendiri pekerjaan dengan modal keterampilan yang dimiliki dari hasil bimbingan dari PSBK, eks WBS merasa kesulitan, walaupun sudah menunjukkan sertifikat yang diberikan oleh PSBK. Menurt Eks WBS sertifikat yang didapat dari PSBK belum sepenuhnya diakui. Penyaluran juga dilakukan dengan mengikutkan WBS dalam program transmigrasi ke daerah Kalimantan Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara. Proses untuk mengikuti program ini cukup rumit, calon transmigran harus mengikuti persyaratan sesuai ketentuan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, seperti persyaratan KTP dan dokumen pendukung lainnya. Pengurusan KTP dan dokumen pendukung ini membutuhkan biaya administrasi yang cukup besar, karena WBS bukan berasal dari warga setempat. 7. Kegiatan Penunjang: a. Pernikahan masal, ditujukan bagi WBS yang belum memiliki buku nikah/akta nikah. b. Khitanan masal untuk anak dari keluarga WBS c. Widya wisata yang dilakukan setiap angkatan/ setiap 6 bulan sekali.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
297
d. Mengikuit Bazaar/pameran, untuk mensosialisasikan kepada masyarakat tentang visi misi dan program-program pelayanan dan rehabilitasi serta hasil-hasil shelter workshop dan produksi hasil WBS. e. Kegiatan Tim Reaksi Cepat (TRC). Membantu penanganan permasalahan sosial secara cepat, tepat dan terukur, terutama permasalahan gelandangan dan pengemis dan orang terlantar yang belum tertangani oleh dinas atau instansi terkait, sedangkan permasalahan sosial di luar gelandangan dan pengemis hanya sebatas mediator ke lembaga kesejahteraan sosial lainnya f. Bhakti Sosial; dilakukan bersama dengan masyarakat sekitar, kegiatan yang dilakukan antaranya adalah membersihkan lingkungan perumahan sebagai upaya menjaga dan mengantisipasi banjir yang setiap musim hujan PSBK Pangudi Luhur mengalami kebanjiran 8. Rencana Program Kegiatan Tahun 2013 a. Pemberian Jaminan hidup kepada eks WBS sebesar Rp. 1.500.000,- per keluarga untuk jangka waktu 3 bulan pertama setelah terminasi. b. Pelayanan Home care bagi Gelandangan dan Pengemis yang tidak masuk panti c. Memberikan bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) kepada 30 orang/keluarga eks WBS d. Shelter work shop sebagai lanjutan dari instalasi produksi guna memantapkan kemandirian eks WBS. e. Famili group suport; keterlibatan keluarga (tokoh masyarakat) dalam kegiatan rehabilitasi sosial PSBK
298
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
D. Pembinaan Lanjut 1. Kebijakan. Dalam melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi terhadap gelandangan dan pengemis, PSBKPL menggunakan panduan Standarisasi Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis tahun 2007, yang disusun oleh Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Tuna Sosial. Sampai saat ini PSBKPL belum memiliki acuan atau panduan lain untuk melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi terhadap gelandangan dan pengemis, baik yang disusun oleh instansi lain maupun yang disusun oleh PSBKPL sendiri. PSBKPL memiliki instrumen yang disusun oleh pekerja sosial dan seksi Rehabilitasi sosial sehingga diperkirakan dapat memenuhi tujuan pembinaan lanjut yang dimaksud panti. 2. Pemahaman dan Pelaksanaan Pembinaan Lanjut. Pembinaan lanjut merupakan rangkaian kegiatan bimbingan, yang berada dibawah koordinasi seksi Rehabiliasi Sosial PSBKPL. Adanya kekurang pahaman antara pengertian pembinaan lanjut dan monitoring evaluasi yang dilakukan oleh PSBKPL, mengakibatkan pelaksanaan pembinaan lanjut dan monev sering dilakukan secara bersamaan di lokasi yang sama. Perbedaannya hanya saja lama waktu, pembinaan lanjut dilakukan 4 hari, sedangkan monitoring dan evaluasi dilakukan selama 3 hari. Bila mengacu kepada buku panduan, pembinaan lanjut dan evaluasi memiliki pengertian yang cukup jelas, yaitu merupakan rangkaian kegiatan bimbingan yang diarahkan kepada eks WBS dan masyarakat, guna lebih dapat memantapkan, meningkatkan dan mengembangkan kemandirian klien dalam kehidupan serta penghidupan yang layak. Evaluasi untuk memastikan apakah proses pelayanan dan rehabilitasi berlangsung sesuai rencana yang telah ditetapkan sehingga dapat dilakukan pengahiran pelayanan.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
299
Sedangkan Pembinaan lanjut yang diartikan oleh PSBKPL untuk mengetahui kondisi eks WBS setelah dipulangkan ke masyarakat/keluarga. Terutama pemanfaatan paket yang diberikan, pekerjaan, kondisi ekonomi, tempat tinggal dll, yang dilaksanakan tiga bulan setelah pemulangan WBS ke masyarakat. Pembinaan lanjut dilakukan oleh pekerja sosial dan Seksi Rehabilitasi sosial, PSBKPL belum memiliki panduan khusus tentang pelaksanaan pembinaan lanjut. Karena keterbatasan anggaran, sehingga pembinaan lanjut dilakukan hanya kepada kurang dari 1% eks WBS dan hanya pada wilayah yang terbanyak eks WBS nya. Menurut Pekerja sosial, ada ketidak nyamanan terhadap eks WBS ketika melakukan pembinaan lanjut, karena pekerja sosial tidak melakukan tindakan apapun yang terkait dengan kondisi eks WBS, peksos hanya melakukan wawancara dan observasi terhadap eks WBS. Mengacu pada buku Standard Pelayanan Minimal Gelandangan dan pengemis, pada tahap pembinaan lanjut ada tiga kegiatan yang harus dilakukan terhadap eks WBS, tetapi ketiga kegiatan tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh petugas pembinaan lanjut. Seyogyanya kegiatan tersebut harus dilakukan sebagai pembinaan lanjutan terhadap eks WBS, seperti adanya tambahan modal usaha untuk pengembangan usaha yang dilakukan oleh eks WBS, sehingga apa yang diharapkan dari hasil pembinaan dan rehabilitasi yang dilaksanakan di PSBK dapat terwujud, sesuai dengan kegiatan pada tahap pembinaan lanjut yaitu diberikan modal pengembangan usaha bagi eks WBS, yang merupakan lanjutan dari pemberian toolkit pada saat terminasi untuk melakukan usaha mandiri sehingga usahanya lebih berkembang. Pembinaan lanjut dilaksanakan selama 4 hari, baik di wilayah luar Jawa (Kalimantan, Gorontalo) maupun wilayah Jawa. Menurut pekerja sosial, bagi WBS yang mengikuti
300
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
transmigrasi (Kalimantan dan Gorontalo) biasanya selalu dilakukan pembinaan lanjut. Wilayah transmigrasi merupakan wilayah dengan transportasi yang cukup sulit, karena harus menggunakan transportasi udara, darat bahkan sungai, sehingga membutuhkan dana transportasi local untuk menjangkau lokasi eks WBS. Selama ini pekerja sosial yang melakukan pembinaan lanjut sering kesulitan dengan biaya transportasi yang ada, sementara belum ada kerjasama yang intensif dengan instansi sosial setempat maupun instansi terkait lainnya dalam pelaksanaan pembinaan lanjut. Instansi sosial menganggap bahwa kegiatan tersebut sepenuhnya merupakan kegiatan PSBKPL yang tidak perlu adanya keterlibatan instansi lain. Alasan lain instansi terkait tidak memiliki anggaran untuk ikut melaksanakan pembinaan lanjut. Bila kerjasama telah terjalin sejak awal dapat mengurangi beban kerja PSBKPL dan meminimalisir kemungkinan permasalahan yang dihadapi di lapangan, dan keberhasilan eks WBS dalam meningkatkan tarap hidupnya akan lebih berhasil. WBS merupakan warga setempat, yang seharusnya instansi terkait setempat (lembaga pengirim) ikut bertanggung jawab melakukan pembinaan lanjut terhadap perkembangan kesejahteraan eks WBS, bahkan ikut serta memberikan modal pengembangan usaha eks WBS. Menurut salah satu Instansi sosial, mereka tidak tahu apakah warga binaan sosial PSBKPL yang berasal dari daerahnya sudah selesai mengikuti rehabilitasi atau belum, demikian juga dengan kegiatan rehabilitasi yang sudah dilakukan oleh PSBKPL. Terbatasnya anggaran mengakibatkan pelaksanaan resosialisasi masih terfokus pada daerah yang terbanyak mengirim warga binaan sosial saja, sehingga informasi tentang kegiatan PSBKPL ada yang tidak diterima oleh instansi sosial pengirim WBS.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
301
3. Hasil Pembinaan Lanjut Laporan hasil pembinaan lanjut yang disusun oleh seksi Rehabilitasi Sosial belum sepenuhnya memuat hasil wawancara/instrumen yang dapat dijadikan sebagai acuan perbaikan pelayanan dan rehabilitasi di PSBKPL. Hasil pembinaan lanjut belum ditindak lanjuti, walaupun eks WBS sedang bermasalah. Terbatasnya anggaran mengakibatkan tindak lanjut hasil pembinaan lanjut tidak dapat diwujudkan, terutama untuk pengembangan usaha eks WBS. Pekerja sosial sebagai pelaksana pembinaan lanjut seyogyanya ikut membuat laporan hasil pembinaan lanjut, karena yang mengetahui kondisi eks WBS adalah pekerja sosial yang melaksanakan pembinaan lanjut. Pekerja sosial diharapkan mampu menganalisa permasalahan yang ada dan menindaklanjuti hasilnya melalui usulan baik ke pimpinan PSBKPL maupun oleh Dit Resos Tuna Sosial. Hasil pembinaan lanjut ini juga menunjukkan sebagian eks WBS menjual toolkit yang diberikan, karena terdesak oleh kebutuhan, dan tidak bisa dimanfaatkan karena keterampilan yang dimiliki belum cukup untuk menjalankan usaha. Proses rehabilitasi yang cukup singkat dan rendahnya tingkat pendidikan WBS mengakibatkan WBS belum mampu menyerap semua bimbingan (teori dan praktek) meski diberikan selama 6 bulan lamanya. Namun ada diantaranya WBS yang mampu mengembangkan keterampilan yang diterima di PSBKPL, dengan membuat usaha sendiri atau bekerja dengan orang lain. Artinya masih ada keinginan dan kemampuan eks WBS untuk merubah pola hidupnya menjadi anggota masyarakat dan mampu menjalankan fungsi dan peran sosialnya di masyarakat secara wajar, dengan mencari penghasilanya sesuai dengan normanorma yang berlaku di masyarakat.
302
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
4. Faktor Pendukung Dan Penghambat Pelaksanaan Pembinaan lanjut a. Penghambat. 1) Terbatasnya anggaran, mengakibatkan pembinaan lanjut setiap tahunnya hanya dilaksanakan satu kali hanya pada lokasi yang terdekat dan terbanyak eks WBSnya, dan waktu yang relatif singkat. Hal ini mengakibatkan sebagian besar perkembangan eks WBS tidak diketahui. PSBK tidak bisa mengetahui keberhasilan secara maksimal dari pelaksanaan bimbingan dan rehabilitasi yang dilaksanakan. Lokasi pembinaan lanjut tidak selalu pada lokasi yang dekat, pekerja sosial terpaksa menambah esktra perjalanan. Komponen transport local dalam anggaran juga tidak ada, petugas harus menyewa kendaraan untuk menjangkau lokasi, terutama pada daerah transmigrasi. 2) Peran serta instansi terkait/instansi pengirim belum ada, sementara petugas juga belum memiliki data awal mengenai keberadaan eks WBS, karena sering pindah alamat. 3) Tidak adanya bantuan lanjutan untuk pengembangan usaha, mengakibatkan eks WBS tidak dapat mengembangkan usahanya secara maksimal. b. Pendukung 1) Meskipun pembinaan lanjut dapat dilaksanakan hanya di satu lokasi /tahun, dapat diketahui gambaran kondisi sebagian kecil eks WBS. 2) Koordinasi yang baik antara pekerja sosial dan seksi Resos dalam mempersiapkan dan melaksanakan pembinaan lanjut meskipun berbagai kendala yang dihadapi.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
303
3) PSBKPL telah memiliki instrumen sebagai alat yang digunakan dalam pelaksanaan pembinaan lanjut. E. Gambaran Dan Analisis Kasus Eks WBS 1. Gambaran Informan Eks WBS Informan eks WBS yang menjadi sasaran penelitian adalah berjumlah 13 orang berusia dari 19 s.d 43 tahun, berasal dari Tangerang, Magelang, Ciamis, DKI Jakarta (pasar senen, stasiun kereta Cikini). Jenis kegiatan sebelum masuk panti adalah ngamen, pemulung, buruh tani, serabutan di pasar dan tidak bekerja/gelandangan. Sebanyak 11 orang informan sudah berumah tangga dan memiliki anak 1-5 orang. Sebagian informan masuk PSBK berstatus bujang perempuan (gadis/ janda), bujang laki atau duda. Pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah, yaitu dari tidak pernah sekolah sampai tingkat SMA. Motivasi informan masuk PSBKPL cukup beragam, ada yang ingin belajar keterampilan, masalah keluarga, dari pada tidur di stasiun kereta, kemudian atas suruhan petugas/dinsos/panti, dijanjikan pekerjaan dan keterampilan. Selama di PSBKPL informan mengikuti semua kegiatan yang dilaksanakan, seperti bimbingan sosial, bimbingan keterampilan yang merupakan salah satu modal yang dapat dikembangkan untuk mendapatkan penghasilan. Jenis keterampilan yang diikuti adalah olah pangan/membuat bermacam jenis kueh, tahu tempe dan susu kedelai, montir motor, salon, sablon. Sebanyak 8 (delapan) orang informan eks WBS sudah bekerja, walaupun tidak sesuai dengan jenis keterampilan yang diikuti. Hal ini terjadi selain kesulitan mendapat pekerjaan di tempat-tempat usaha, juga belum mampu mandiri dilihat dari penguasaan keterampilan, dan ragu-ragu untuk memulai usaha. Hal ini terkait dengan waktu yang digunakan untuk
304
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
melakukan rehabilitasi hanya 6 bulan dan secara efektif diperkirakan 4 sampai 5 bulan, karena waktu 1 bulan dilakukan untuk melengkapi administrasi, sehingga terlalu cepat untuk dikembalikan ke masyarakat. Hal ini terbukti dari kondisi dua orang eks WBS yang mengikuti program rehabilitasi selama dua periode, artinya ada perpanjangan waktu pelayanan dan rehabilitasi karena merasa belum mampu menerapkan keterampilan yang diberikan di panti. Walaupun sebenarnya tujuan utama pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi oleh panti bukan pelaksanaan keterampilan, akan tetapi dengan perubahan sikap dan perilaku WBS. Keterampilan hanya sebagai alat mencari nafkah sesuai dengan norma-norma masyarakat untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Menurut pekerja sosial, ketidak mampuan WBS bukan hanya terkait waktu yang hanya 6 bulan di panti, tetapi juga berkaitan dengan kondisi WBS yang kurang menyadari manfaat pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diberikan di panti. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku mereka yang sering malasmalasan ketika mengikuti bimbingan keterampilan. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh rendahnya pendidikan, tidak memiliki keterampilan, pasrah pada nasibnya, pemahaman/ pengalaman agama yang rendah, budaya (“ketika di luar panti banyak yang memberi sehingga ada harapan akan terus diberi dan memiliki uang walaupun tidak bekerja”) dan adanya stigma masyarakat. WBS sebatas hanya mengikuti saja kegiatan yang ada, sehingga setelah keluar belum mampu berbuat sesuatu untuk diri dan keluarganya, akhirnya kembali lagi menjadi gelandangan dan pengemis. Padahal konsep yang dikembangkan di panti adalah perubahan sikap dan berperilaku serta hidup mandiri sesuai norma-norma kehidupan di masyarakat. Pekerjaan eks WBS yang sudah bekerja adalah membuka bengkel motor dan tambal ban (1 orang), showroom motor yang
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
305
ditempatkan di bagian bengkel motor (1 orang), depot isi ulang air minum (1 orang), pabrik sparepart (1 orang), jual nasi uduk, terima cuci setrika pakaian (1 oang), jualan gorengan dan es (2 orang ), masuk yayasan tenaga kerja (1 orang) dan kembali menekuni kegiatan semula yaitu sebagai pedagang asongan (2orang). Salah satunya sebagai pedagang asongan (rokok, kacang goreng, permen, tisu dll), sekaligus sebagai pengamen, hal ini terpaksa dilakukan nya ketika dagangannya sepi dari pembeli. Kegiatan sebagai pedagang asongan ini, merupakan kegiatan yang semula ia tekuni sebelum masuk ke PSBK. Penghasilan eks WBS dari pekerjaan yang ditekuni antara Rp.30.000 - Rp.50.000/hari. Tempat tinggal informan sebagian besar ngontrak, satu orang tinggal di tempat kerja, dan 3 (tiga) orang bersama orang tua. Mereka merasa kondisi tempat tinggal saat ini jauh lebih baik jika dibandingkan sebelum mengikuti rehabilitasi, karena sebelumnya ada yang tinggal di bawah jembatan sekitar Matraman, stasiun kereta Cikni, pasar Senen. Sebagian tinggal di kampung halaman dengan kondisi rumah kontrak/ sewa atau menempati rumah keluarga. Sedangkan informan yang belum bekerja masih tinggal dengan orang tua. 2. Kasus Informan Eks Warga Binaan Sosial (WBS). Sesuai dengan tujuan pelayanan dan rehabilitasi gelandangan dan pengemis yaitu memulihkan fungsi sosial gelandangan dan pengemis, diantaranya dapat dilihat dari kemampuan mereka merubah cara hidup dan cara mencari penghasilan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, dan mampu menjalankan fungsi dan peran sosialnya di masyarakat secara wajar. Berikut ini kondisi eks WBS yang sudah bekerja dan yang belum bekerja. a. Eks WBS yang sudah Bekerja Informan eks WBS yang sudah bekerja sejumlah delapan
306
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
orang, dua orang diantaranya yang bekerja sesuai dengan jenis keterampilan yang diikuti di panti yaitu bengkel motor. Namun demikian sesuai atau tidak sesuai jenis pekerjaan yang ditekuni eks WBS dengan jenis keterampilan yang diikuti di panti, bukanlah merupakan faktor utama dalam mendapatkan pekerjaan, yang terpenting adalah eks WBS mampu berusaha mencari nafkah dengan cara tidak mengemis di jalanan. Hal ini merupakan salah satu keberhasilan dari PSBKPL dalam melakukan pelayanan dan rehabilitasi terhadap gelandangan dan pengemis. Menurut eks WBS, penghasilan yang didapat masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penghasilan yang diperoleh sebesar Rp.30.000-Rp.50.000/ hari dimanfaatkan untuk mengontrak rumah sederhana dan kebutuhan sehari-hari. Informan sangat bersyukur dengan kondisi ekonomi saat ini, karena mereka mendapatkan penghasilan setiap hari walaupun sedikit. Mereka mengatakan, “dari pada harus pulang kampung tidak ada pekerjaan tetap yang dapat dijadikan sumber penghasilan”. Berdasarkan ungkapan tersebut dapat dikatakan, bahwa kondisi ekonominya saat ini sudah jauh lebih baik, dan kehidupannya lebih tenang dibanding sebelum masuk PSBKPL. Satu hal yang dapat diperhatikan bahwa, keberhasilan eks WBS pada satu sisi dengan memiliki pekerjaan dan mendapatkan penghasilan, namun disisi lain, sebagian dari mereka tidak mau pulang ke kampung halamannya. Mereka sudah merasa nyaman dan berpenghasilan di kota besar, sementara di kampung tidak memiliki sumber penghasilan serta tidak punya lahan. Mereka banyak tinggal di kota sehingga menjadi permasalahan bagi pemerintah daerah setempat.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
307
Pada tahap sosialisasi dan resosialisai, potensi di daerah perlu digali dan dimanfaatkan untuk mengembangkan potensi WBS ketika sudah kembali ke masyarakat. Kerjasama dengan Dinas Sosial setempat untuk memfasilitasi eks WBS dalam mengembangkan potensinya di daerah asal, sesuai dengan keterampilan yang dimiliki perlu dilakukan. Dinas Sosial perlu menyediakan tempat usaha atau membantu WBS dengan menghubungkan sumber yang relevan. Pada tingkat pusat di Kementerian Sosial koordinasi dan kerjasama antar unit kerja terkait juga perlu dilakukan, seperti Dit Pemberdayaan Keluarga, Dit. Pelayanan Anak serta integrasi dengan sektor lain. Melalui koordinasi dan kerjasama ini diharapkan dapat menuntaskan PMKS termasuk gelandangan dan pengemis. Melalui Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial diharapkan dapat dilakukan kerjasama dan koordinasi lintas unit dalam upaya preventif, rehabilitatif dan pembinaan lanjut pasca rehabilitasi sosial. Keberhasilan PSBK bukan dilihat dari kesesuaian pekerjaan dengan jenis keterampilan yang diberikan di panti, tetapi perubahan pola hidup dan bekerja sesuai dengan normanorma yang berlaku di masyarakat. Berdasarkan studi ini terlihat bahwa sebagian besar informan eks WBS telah bekerja sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, dan tidak lagi menggelandang dan mengemis. b. Eks Warga Binaan Sosial Yang Belum Bekerja. Informan Eks WBS yang belum bekerja sebanyak 3 (tiga) orang, jenis keterampilan yang diambil adalah sablon, olah pangan dan bengkel motor. Salah satu informan masih tinggal dengan orang tua dan belum menikah, dua orang lainnya sudah menikah dan tinggal bersama keluarga di rumah kontrakan. Mereka merasa belum menguasai keterampilan yang diberikan di panti, sehingga belum berani untuk membuka usaha sendiri. Keterampilan 308
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
montir yang didapat dari PSBKPL, masih harus dipelajari lebih lanjut atau sebenarnya masih harus mengikuti pelayanan rehabilitasi. Informan lain merasa masih kebingungan dalam mempraktekkan keterampilan yang sudah diperoleh di panti, karena paket yang diberikan tidak lengkap untuk melaksanakan atau mempraktekkan keterampilan. Hingga saat ini mereka belum memperoleh pekerjaan karena sangat sulit, meskipun telah berusaha. Alasan lain peralatan/toolkit yang diberikan juga belum bisa dimanfaatkan untuk membuka usaha karena tidak lengkap. Paket/toolkit sampai saat ini masih tersimpan, dengan harapan PSBKPL akan memberikan bantuan saat ada kunjungan dari panti, sehingga dapat dimanfaatkan untuk usaha. Informan yang lain belum berfikir untuk melanjutkan keterampilan yang sudah diperoleh di panti dan paket/toolkit yang diterima juga sudah dijual, karena terdesak kebutuhan sehari-hari. Uraian tersebut, menunjukkan pentingnya peran pembinaan lanjut terutama bagi eks WBS yang mampu mengembangkan kemampuannya. Pada kasus-kasus ini pembinaan WBS disertai tambahan modal baik untuk mengembangkan usahanya maupun untuk melengkapi toolkit yang diberikan diperlukan. c. Eks WBS yang Menekuni Kegiatan Semula. Rehabilitasi yang telah dilaksanakan terhadap gelandangan dan pengemis ternyata belum sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan eks WBS, sebagai mana dialami 2 informan eks WBS. Sebelum masuk PSBK, mereka mencari nafkah dengan cara mengamen dan sebagai pemulung. Sulitnya mencari pekerjaan dan terbatasnya kemampuan untuk mengembangkan keterampilan yang diperoleh dari PSBK, mengakibatkan mereka kembali menekuni pekerjaan semula. Salah
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
309
seorang dari informan ini mengaku sudah pernah mencoba untuk berjualan jajanan anak-anak (snek dan minuman), dengan modal hasil menjual toolkit yang diberikan dari panti. Namun belum dapat dikembangkan sebagai pekerjaan utama, karena penghasilannya masih sangat kecil. Modal utama yang seharusnya berkembang, namun habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Akibatnya tidak bisa lagi melanjutkan usahanya karena kehabisan modal, sehingga kembali mengamen. Meskipun hingga saat ini masih ngamen, namun masih berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, serta berharap adanya dukungan dari panti untuk memulai usaha sendiri. Kondisi ini membuktikan pentingnya pembinaan lanjut untuk memaksimalkan hasil pelayanan dan rehabilitasi yang dilakukan PSBKPL dan/atau oleh instansi terkait/ Dinas Sosial/Lembaga pengirim. Eks WBS yang tidak lagi kembali ke daerah asalnya, maka panti berperan penuh dalam pembinaan lanjut. F. Penutup 1. Kesimpulan. a. SDM panti khususnya pekerja sosial, belum sesuai dengan rasio kebutuhan (1:10), sementara perbanding antara pekerja sosial dengan WBS selama ini 1 berbanding 14 sampai 15. b. Belum ada instrumen yang baku untuk melakukan asesmen, petugas asesmen/asesmentor juga belum memiliki ilmu asesmen yang memadai sehingga hasil asesmen kadang kala tidak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi WBS. Termasuk jenis keterampilan yang diberikan belum sesuai dengan kebutuhan pasar, ruangan keterampilan masih dirasakan sempit, dan belum ada ruang kedap
310
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
suara untuk bimbingan sosial, mengakibatkan kurang optimalnya pemberian bimbingan keterampilan. c. Kegiatan pembinaan lanjut disamakan dengan monitoring evaluasi oleh petugas panti dan pelaksanaannya kadang kala pada waktu yang bersamaan. Pembinaan lanjut hanya dilakukan terhadap kurang dari 1 % dari jumlah eks WBS, dan belum ada tindak lanjut, meski eks WBS sedang menghadapi masalah. Pelaksanaan pembinaan lanjut tidak didukung dengan dana dan waktu yang cukup, dan belum ada keterlibatan instansi pengirim. d. Secara ekonomi semua informan eks WBS masih belum sepenuhnya mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari (dikatakan masih pas-pasan), namun demikian sudah memiliki penghasilan tetap, pendapatan secara harian yang cukup untuk kehidupan dalam katagori sangat sederhana (istilah yang dipakai yang penting makan walaupun tanpa lauk pauk) e. Adanya stigma masyarakat dan dunia usaha membuat eks WBS kesulitan mendapat pekerjaan dari dunia usaha, sertifikat yang diberikan panti belum mampu merubah stigma tersebut. f. Bagi eks WBS yang sudah menguasai keterampilan yang diberikan, belum bisa membuka usaha sendiri, karena masih membutuhkan modal cukup besar dibandingkan dengan modal yang diberikan panti, seperti lahan/sewa lahan, peralatan yang lebih lengkap, materi dll. 2. Rekomendasi a. Perekrutan SDM untuk ditempatkan di PSBKPL sebagai calon pekerja sosial fungsional oleh Biro Organisasi dan Kepegawaian, untuk memenuhi kebutuhan akan pekerja sosial. Mengikutsertakan pekerja sosial dalam pendidikan dan latihan yang berfungsi sebagai pekerja sosial menurut
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
311
permasalahan dan jenjang usia PMKS, seperti pekerja sosial anak, peksos remaja, peksos orang tua/lansia dll, sehingga masing-masing peksos fokus untuk menangai permasalahan yang ada pada jenjang usia tersebut. Untuk memaksimalkan kemampuan pekerja sosial dalam melaksanakan rehabilitasi sosial khususnya dalam pelaksanaan asesmen terhadap Gelandangan dan pengemis, maka perlu mengikutsertakan peksos dalam diklat khusus tentang pelaksanaan asesmen, sehingga selain pelaksanaan asesmen dapat dilakukan oleh peksos sesuai dengan kaidahnya, peksos juga dapat membuat instrumen asesmen yang baku. b. PSBKPL perlu menyusun panduan teknis pelaksanaan pembinaan lanjut dengan menyesuaikan dengan kondisi panti dan WBS, sehingga pelaksanaan pembinaan lanjut dapat dilaksankan secara maksimal. Kemudian anggaran pembinaan lanjut perlu disesuaikan dengan kondisi eks WBS, sehingga pelaksanaan pembinaan lanjut bisa dilaksanakan lebih maksimal. c. PSBKPL perlu memaksimalkan peran peksos dalam pelaksanaan pembinaan lanjut, selain pelaksanaan di lapangan, juga dalam penyusunan laporan lengkap dengan analisa permasalahan eks WBS, sehingga hasil pembinaan lanjut dapat ditindak lanjuti sesuai permasalahan yang dihadapi eks WBS. d. Walaupun tujuan PSBKPL bukan keterampilan, tetapi untuk lebih menunjukkan keberhasilan pelayanan dan rehabilitasi panti dan meningkatkan kesejahteraan sosial WBS, maka untuk jenis keterampilan tertentu perlu adanya perpanjangan wktu, sehingga WBS benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya dengan memiliki keterampilan yang mampu dikembangkan oleh eks WBS.
312
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
e. Untuk memaksimalkan hasil pelayanan dan rehabilitasi terhadap gelandangan dan pengemis, maka perlu kerjasama penanganan permasalahan WBS baik antar unit kerja dilingkungan Kementerian Sosial seperti dengan Dit. Pemberdayaan Keluarga, Dit. Pelayanan Sosial Anak, Dit. Banjamsos, untuk secara bersama melakukan pelayanan dan pemberdayaan terhadap WBS dan eks WBS yang telah mengikuti rehabilitasi di PSBKPL, sehingga permasalahan yang dihadapi eks WBS secara tuntas dapat ditanggulangi dan pada ahirnya terlepas dari kemiskinan yang menyebabkan mereka menjadi gelandangan dan pengemis. Kemudian integrasi antar Kementerian lain seperti dengan Kementerian koperasi, Perindustrian, Kesehatan dan BPPT juga akan lebih menjadikan eks WBS lebih eksis dalam meningkatkan taraf hidupnya. Kerjasama antar sektor dalam menganggulangi permasalahan kesejahteraan sosial dan dilakukan secara bersamaan akan lebih membuahkan hasil yang diharapkan. Untuk hal ini bukan saja PSBK sebagai unit pelaksana teknis yang harus menjalankan program kerjasama, akan tetapi lebih luas kerjasama dilakukan oleh Dit. Yanresos Tuna Sosial yang membawahi PSBKPL yang berperan untuk melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi bagi Gelandangan dan pengemis, melalui kerjasama ini.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
313
314
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Bagian 11 EVALUASI PELAKSANAAN REHABILITASI SOSIAL PANTI SOSIAL PAMARDI PUTRA (PSPP) GALIH PAKUAN BOGOR.
(Konsentrasi Pembinaan Lanjut) Sri Gati Setiti A. Pendahuluan Panti Sosial merupakan salah satu model atau system pelayanan kesejahteraan sosial berbasis lembaga (institutional based) yang dikembangkan di Indonesia, selain Model atau system yang berbasis keluarga (family based) dan berbasis masyarakat (community based). Berbagai system pelayanan tersebut diselenggarakan oleh pemerintah pusat,daerah dan masyarakat. Didalam system panti sosial itu pelayanan kesejahteraan sosial diberikan kepada penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dalam waktu tertentu, untuk memenuhi kebutuhan sosial dasar klien/klien/residen dan memberikan bimbingan fisik, mental, sosial , spiritual. Panti sosial adalah lembaga pelayanan kesejahteran sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memberdayakan penyandang masalah kesejahteraan soaial kearah kehidupan normatif secara fisik, mental dan sosial (Balatbangsos, 2004). Pelayanan melalui sistem panti pada hakikatnya merupakan upaya-upaya yang bersifat pencegahan, penyembuhan, rehabilitasi, dan pengembangan potensi klien. Panti mempunyai fungsi utama sebagai tempat penyebaran layanan; pengembangan kesempatan kerja; pusat informasi kesejahteraan sosial; tempat rujukan bagi pelayanan rehabilitasi dari lembaga rehabilitasi tempat di bawahnya (dalam sistem rujukan/referral system) dan tempat pelatihan keterampilan. Sedangkan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan panti sosial dan atau lembaga pelayanan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
315
sosial lain yang sejenis adalah: (1) memberikan kesempatan yang sama kepada mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pelayanan; menghargai dan memberi perhatian kepada setiap klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga sebagai anggota masyarakat; (2) menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan yang bersifat pencegahan, perlindungan, pelayanan dan rehabilitasi serta pengembangan; (3) menyelenggarakan fungsi pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara terpadu antara profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang berkesinambungan; (4) menyediakan pelayanan berdasarkan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya; dan (5) memberikan kesempatan kepada klien untuk berpatisipasi secara aktif dalam usaha-usaha pertolongan yang diberikan. (Balatbangsos, 2004). Korban penyalah guna napza sebagai individu, pada hakekatnya mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Dalam upaya mengembangkan potensi tersebut, Kementerian Sosial telah melaksanakan rehabilitasi sosial baik melalui sistem panti maupun luar panti. Salah satu pelayanan dalam panti dilaksanakan oleh Panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) Galih Pakuan Bogor. PSPP Galih Pakuan sebagai unit pelaksana teknis melaksanakan berbagai kegiatan untuk mempersiapkan para eks korban penyalahguna napza agar memiliki berbagai pengetahuan dan keterampilan serta dapat hidup secara wajar sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Pelaksanaan rehabilitasi sosial melalui panti sosial dari beberapa hasil penelitian diketahui masih mengalami berbagai kendala seperti: Dalam pelaksanaan pembinaan lanjut tidak semua eks klien bisa dilakukan pembinaan, karena keterbatasan dana, tenaga dan lokasi yang jauh. Program pembinaan lanjut ini merupakan bagian yang integral dalam rangkaian proses pelayanan sosial dan tidak dapat dianggap sebagai modalitas treatment yang berdiri sendiri. Hal ini berkaitan dengan pemahaman umum bahwa setelah klien
316
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
menjalani program rehabilitasi primer di panti rehabilitasi, mereka masih memerlukan perawatan atau bimbingan lanjutan agar proses reintegrasi ke masyarakat dapat berlangsung lancar. Pada kenyataannya treatment tidak berhenti di dalam panti rehabilitasi melainkan terus berlanjut sampai klien kembali ke masyarakat, agar mampu mengembangkan gaya hidup yang sehat dan menjadi manusia yang produktif (BNN,2008). Rendahnya dukungan dari lembaga terkait, keluarga maupun masyarakat dalam program pembinaan lanjut, sering kali mejadi kendala pada kemajuan dan pemulihan eks klien dalam proses pembinaan lanjut. Berdasarkan data dan informasi tersebut di atas, maka perlu dilakukan kajian/studi penelitian tentang pembinaan lanjut (after care) di panti sosial, khususnya panti Sosial Pamardi Putra (PSPP) Galih Pakuan secara utuh. Permasalahan napza secara umum disebut sebagai Crime ordonary/kejahatan yang luar biasa. Dikatakan demikian karena penyebarannya menjangkau diseluruh dunia, dananya tak terbatas, korbannya terutama generasi muda, dampaknya sangat luas. Di Indonesia korbanya tidak kurang dari 5000 orang, setiap hari yang meninggal 50 orang. Namun dalam pelaksanaan pelayanannya di panti menemui beberapa kendala. 1. Hasil kajian awal diketahui: a). Pelaksanaan pembinaan lanjut dimaknai sebagai monitoring dengan kunjungan kepada klien dan keluarganya. b). Kambuhnya kembali para eks klien kedalam kelompok dan kembali sebagai pemakai. c). Luasnya jangkauan dan makin meningkatnya pemakai dengan kompleksnya permasalahan yang tidak sebanding dengan SDM, sarana dan anggaran yang tersedia. Belum maksimalnya peran lembaga pengirim terkait dalam melaksanakan pembinaan lanjut. 2. Permasalahan dalam pelaksanaan napza di Panti. a. Kondisi tenaga, secara kualitas maupun kuantitas masih kurang memadai.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
317
b. Keterbatasan dana, sarana, beberapa kegiatan penting dihapuskan atau disederhanakan (termasuk pembinaan lanjut). c. Pelayanan rehabilitasi sosial di PSPP dilakukan melalui tahapan khusus, namun tidak seluruh tahapan dapat dilakukan, seperti pelayanan non keterampilan. Penelitian ini bertujuan: 1. Teridentifikasinya pemahaman petugas dan pelaksanaan tentang pembinaan lanjut. 2. Teridentifikasinya kebijakan pembinaan lanjut. 3. Teridentifikasinya pelaksanaan pembinaan lanjut oleh petugas panti. 4. Teridentifikasinya hasil yang dicapai dalam pelaksanaan pembinaan lanjut. 5. Teridentifikasinya faktor pendukung dan penghambat yang turut mempengaruhi pembinaan lanjut. Kerangka konsep Evaluasi adalah suatu upaya untuk membandingkan kinerja program yang nyata dengan beberapa standart tentang kinerja program yang diharapkan terjadi dan mengambil kesimpulan tentang efektivitas dan nilai sebuah program. Tujuan evaluasi adalah untuk memastikan bahwa kebijakan dan programnya telah memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu sangat penting untuk menganalisa program, menentukan akibatnya yaitu mengukur keberhasilan dan kegagalan dalam mencapai tujuan program (wholey et al,1970.p.11). Michael Scriven (1967) menjelaskan bahwa Evaluasi formatif dilakukan ketika kebijakan program atau proyek mulai dilaksanakan. Menurut Scriven, evaluasi formatif merupakan Loop balikan dalam memperbaiki produk. The program evaluation standart (1994) mendifinisikan evaluasi formatif sebagai evaluasi yang
318
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
didisain untuk memperbaiki suatu obyek, terutama ketika obyek tersebut sedang dikembangkan. Wohrthen dan Sanders (1979) evaluasi adalah mencari sesuatu yang berharga (worth). Sesuatu yang berharga tersebut dapat berupa informasi tentang suatu program, produksi serta alternatif prosedur tertentu. Seseorang yang telah mengerjakan sesuatu hal , pasti akan menilai apakah yang dilakukan tersebut telah sesuai degan keinginan semua. Evaluasi adalah suatu upaya untuk mengukur hasil atau dampak suatu aktivitas, program, atau proyek dengan cara membandingkan dengan tujuan yg telah ditetapkan, dan bagaimana cara pencapaiannya (Mulyono 2009). Sumber lain Stufflebeam dalam worrthen dan Sanders( 1779:129) evaluasi adalah : proses of process of delineating, of taining obtaining and profiding useful information for judgieng decition alternatifes. Dalam evaluasi ada beberapa unsur yang terdapat dalam evaluasi yaitu: adanya sebuah proses perolehan, penggambaran, penyediaan informasi yang berguna dan alternatif keputusan. Profesi Pekerjaan Sosial merupakan profesi pertolongan yang memiliki beberapa prinsip pertolongan yang dibagi dalam beberapa tahap yang lentur untuk klien yang beraneka ragam, dengan penyelesaian yang bervariasi. Berdasarkan Kepmenpan No: Kep/03.PAN/2004 tentang jabatan fungsional pekerja sosial dan angka kredit diuraikan bahwa pelayanan sosial dalam panti dilakukan melalui proses: 1). Pendekatan awal. 2). Asesmen, 3). Rencana intervensi, 4). Intervensi, 5). Evaluasi dan terminasi , 6). Pembinaan lanjut. Tahap pembinaan lanjut sebagai tahap akhir proses pelayanan yang telah dicapai, memerlukan perhatian yang serius, karena masih ada eks klien yang kambuh kembali (relaps). Perencanaan pembinaan lanjut memegang peran penting dalam mencapai keberhasilan klien, tetapi juga membantu proses terminasi dengan menunjukkan perhatian pekerja sosial mapun pihak lembaga secara kontinu. (Fahrudin, 2002).
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
319
Peran Pekerja Sosial dalam pelayanan sosial antara lain: Konsep pelayanan sosial menurut Alferd Khan yang dikutip Sutarso (1980), adalah pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh lembaga kesejahteraan sosial tersebut dengan “Pelayanan Kesejahteraan Sosial”. Sumber lain Romanyshyn yang dikutip oleh Fahrudin (2011), pelayanan sosial sebagai upaya mengembalikan, mempertahankan dan meningkatkan keberfungsian sosial individu dan keluarga melalui: (1) sumber-sumber sosial pendukung (2). Proses-proses untuk meningkatkan individu dan keluarga dalam mengatasi stres dan tuntutan kehidupan sosial. Mengacu kepada beberapa sumber tersebut, Evaluasi program adalah serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang realisasi dan implementasi suatu kebijakan, berlangsung dalam suatu proses yang berkesinambungan dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang, yang bertujuan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil suatu keputusan selanjutnya. Penelitian evaluasi ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dinilai sebagai pendekatan yang relevan untuk meneliti fenomena dalam suatu masyarakat, karena pengamatan diarahkan kepada latar belakang individu, secara holistik dan memandang sebagai bagian dari suatu keutuhan sebagaimana dikemukakan Lexy Mauleong (2004). Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Pamardi Putra Galih Pakuan di Ciseeng, Bogor, Jawa Barat, terutama program pembinaan lanjut. Sumber data diperoleh dari: Pejabat pembuat kebijakan pusat, pejabat Dinas Sosial propinsi /Kabopaten/kota, Pekerja sosial, eks klien, keluarga, tokoh masyarakat. Tehnik pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam, FGD, studi dokumentasi dan observasi. Analisis data secara diskriptif kualitatif, mencakup penelusuran kesenjangan antara kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang ada antara eks klien dengan kebijakan, program, kegiatan dan pelaksanaan pembinaan lanjut.
320
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Berdasarkan beberapa permasalahan tersebut, maka yang menjadi pertanyaan penelitian adalah : 1. Bagaimana proses rehabilitasi sosial yang dilaksanakan oleh panti PSPP ? 2. Bagaimana kebijakan, program dan kegiatan pembinaan lanjut dilaksanakan ? 3. Bagaimana pemahaman petugas tentang pembinaan lanjut dan bagaimana pelaksanaan pembinaan lanjut? 4. Bagaimana hasil yang dicapai ? 5. Apakah faktor pedukung dan penghambatnya.? Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan kepada : 1. Kementerian Sosial khususnya kepada Direktorat rehabilitasi sosial dalam : a. Penyusunan kebijakan pelayanan lanjutan bagi klien yang telah menjalani rehabilitasi dalam panti sosial. b. Pedoman bagi pengembangan kegiatan pembinaan eks klien Panti Sosial. 2. Puslitbang Kesos untuk penelitian lanjutan B. Gambaran Umum Panti Sosial Panti ini memiliki tugas pokok melaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventiv, kuratif, rehabilitatif, promotif, dalam bentuk: Bimbingan Fisik, Mental, Sosial dan Pelatihan Keterampilan, resosialisasi serta bimbingan lanjut bagi korban penyalahgunaan napza agar mandiri dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Sumber Daya Manusia di PSPP Galih pakuan, dilihat dari statusnya, pejabat fungsional 41.78 %, struktural 1,46 % dan tenaga kontrak 48,78 %. Berdasarkan jenis kelaminnya, mayoritas SDM panti: laki - laki 27 orang dan perempuan 14 orang. Selain
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
321
itu, didukung tenaga kontrak 21 orang dan 5 orang tenaga bantuan profesional. Gambaran latar belakang pendidikan yang dimiliki SDM panti, sarjana (46,34%). SLTA dan D3 masingmasing(19.51%), tenaga professional S2 (14,63 %) Latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki, belum cukup memadai dalam mengemban tugas pelayanan di panti. Pelayanan bagi penyalahguna narkoba memerlukan keahlian/pelatihan khusus, yang masih terbatas. Ada (14, 63 %) yang belum pernah mendapat pelatihan, (17,08 %) satu kali pelatihan. Jumlah terbanyak (21,96 %) pelatihan dua kali. Bagi pejabat Panti, dilihat dari usianya, hampir sepertiga pegawai berusia diatas 45 tahun, tercatat 19,5% berusia diatas 51 tahun. Diantaranya pekerja sosial berpengalaman dan berdedikasi tinggi, namun kader penggantinya belum disiapkan. Hal tersebut dikeluhkan pekerja sosial saat diskusi, bahwa selain jumlah pekerja sosial kurang, “pekerja sosial yang dikirim kepanti bukan pekerja sosial pilihan, tetapi tenaga sisa”. Dilihat dari tenaga spesifikasi pekerja sosial, ada 17 tenaga berlatar belakang pekerja sosial, sayangnya hanya 7 orang yang sarjana. Selebihnya DIII dan SLTA yang belum pernah mengikuti pelatihan profesi pekerjaan sosial. Secara ideal pelayanan panti narkoba, membutuhkan 1 orang pekerja sosial setiap 5 klien. kenyataannya 1 pekerja sosial menangani 13 klien. Bila dilihat dari lamanya bekerja dipanti, ternyata lebih dari separoh telah bekerja lebih dari 15 tahun. Ada 18 pegawai yang bekerja lebih dari 10 tahun. Selanjutnya 6 orang yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun. Kondisi tersebut akan membawa dampak kurang baik secara keseluruhan. Pada satu sisi ada yang jenuh., namun ada juga yang sangat menikmati fasilitas yang diberikan panti, dimana mereka akan menolak keras ketika akan dipindahkan.
322
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Sarana dan Prasarana 1. PSPP memiliki tanah 71.540 m2. Bangunan Utama 19.251 m2, terdiri dari 68 unit. Dikelilingi pagar tembok 5.130 m, jalan kompleks 5.250 m2. Dilengkapi sarana air bersih 20 unit. Sarana olah raga: lapangan sepak bola 2 unit, bola voli 1 unit, bulu tangkis 1 unit, basket 3 unit, kolam terapi 1 unit. Jaringan internet, HT 15 unit. Gedung data dan informasi, 39 jaringan dan telephon 3 jaringan. Kendaraan operasional mobil 3 unit, motor 2 unit, dengan kondisi tua. 2. Ruangan kantor dan peralatan. Ruang kantor dan peralatan kondisinya cukup baik. Beberapa rumah karyawan bocor dan kurang terawat. Kamar tidur siswa perlu perbaikan, termasuk perbaikan saluran air. Pagar beberapa tempat bolong dan ambruk. Ruang pelayanan cukup representative. Penting mendapat perhatian: ruang keterampilan, ruang belajar jumlah lampu maupun penyinaran sangat terbatas. Peralatan keterampilan jumlahnya kurang, motor dan mobil juga sudah ketinggalan jaman. C. Profil Anak/Kondisi Klien. PSPP memiliki daya tampung 180 klien, dengan menerapkan system on-off, oleh karena itu jumlah mereka fluktuatif. Dilihat dari jenis pelayanan yang diikuti, tahun 2009, klien yang dilayani di program reentry hanya 15 %, tahun 2010 relatif cukup banyak, ada 36 % dan tahun 2011 hanya 11,65 %. Berbeda dengan pelayanan di Primary, tahun 2009 berjumlah 85 %, tahun 2010 ada 64 % dan tahun 2012 berjumlah 89,69 %. sesuai daya tampungnya. Latar belakang pendidikan klien Tahun 2009, SLTP 29 %, tahun 2010 tercatat 42 %. Lulusan SLTA tahun 2009 ada 60 %, tahun 2010 tercatat 31 %. Perguruan tinggi tahun 2009 hanya 3%. Dilihat dari usianya umumnya berada diantara usia 18 s/d 21 tahun. Jenis napza yang digunakan, ternyata cukup bervariasi, antara ganja, putau, sabu, obat maupun miras. Namun bila diteliti
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
323
secara seksama, jumlah tertinggi adalah pemakai miras. Tahun 2009, pemakai miras 63,8 %, tahun 2010 dan tahun 2011 tercatat 5, 11%. Keterampilan yang diikuti, ternyata ada yang tidak mendapat keterampilan (non keterampilan), terutama mereka yang dilayani di primary. Jumlah mereka cukup banyak, tahun 2009 tercatat 40 orang (22,22 %). Tahun 2010 tercatat (27,77%), tahun 2011 ada (32,22 %) tidak mendapat keterampilan. Menurut pekerja sosial (R) menjelaskan bahwa “sebenarnya mereka sangat mengharap mendapat keterampilan. Sebagaimana teman-teman mereka”. Dilihat dari tahapan pelayanan, mulai intake sampai pembinaan lanjut, tidak semua klien dapat mengikuti pelayanan sampai selesai. Tahun 2009 tercatat 26 orang (14,4 %) Drop Out (DO)/putus pelayanan. Tahun 2010 DO 50 orang (27,77 %), tahun 2011 ada 53 orang (29,4%) DO. Alasannya kabur/ tidak betah dan hanya sedikit yang “diambil” orang tuanya. Keberhasilan pelayanan dipanti juga ditentukan partisipasi orang tua dalam memberikan dukungan kepada panti khususnya kepada anak. Dukungan kuat didominir oleh orang tua keluarga menengah ) pada anak yanga dilayani di primary, dalam satu bulan dikunjungi lebih dari satu kali. Hal ini memberi manfaat kepada anak, orang tua maupun panti. Berbeda dengan anak di re-entry kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu, sehingga sampai selesai pelayanan tidak pernah mendapat kunjungan keluarga. D. Proses Rehabilitasi Proses rehabilitasi sosial disebut juga pelayanan profesional. Mengacu kepada Standar Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Korban Napza Dalam Panti. Kegiatan dilakukan melalui tahapan pelayanan secara berurutan, mulai pendekatan awal, penerimaan, asessment, bimbingan fisik, mental, sosial dan latihan keterampilan, resosialisasi/reintegrasi dan diakhiri dengan penyaluran dan pembinaan lanjut.
324
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
1. Pendekatan awal /intake proses Adalah kegiatan yang mengawali keseluruhan proses rehabilitasi sosial, yang dilakukan dengan penyampaian informasi program rehabilitasi sosial kepada masyarakat, instansi terkait, organisasi sosial guna memperoleh dukungan dan data awal calon dengan persyaratan sesuai dengan ketentuan. Perekrutan dilakukan melalui: 1). Sosialisasi program ke Dinas Sosial, desa, masyarakat. 2). Memberikan motivasi kepada calon agar bergabung 3).Seleksi dan menentukan calon. “Pelaksanaaan dilakukan dengan menjaring klien dari satu daerah ke daerah lain. Selama 3 hari ditargetkan menjaring lebih dari 10 klien” Imbuh petugas panti. Proses Intake dilakukan dengan cara; pengamatan, diskusi dengan instansi terkait, wawancara oleh pekerja sosial. Hasilnya diharapkan memperoleh data tentang: latar belakang keluarga, kondisi lingkungan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, penyalah gunaan, riwayat pendataan dan lainnya. Tugas ini dilakukan oleh sie PAS bekerja sama dengan Pekerja sosial. a. Orientasi dan konsultasi. Orientasi; dilakukan sebagai upaya pengenalan lebih jauh tentang klien. Konsultasi, untuk memberikan informasi tentang penerimaan calon klien di PSPP, agar mendapat dukungan partisipasi aktif dari berbagai fihak serta terjalin kerjasama dengan instansi tekait. Identifikasi; dilakukan agar calon memperoleh sumber potensial yang mendukung program. Identifikasi juga untuk menjaring informasi kondisi awal,meliputi: identitas diri, asal suku, asal rujukan, seajarah pemakaian napza, keterlibatan bidang lain, perilaku criminal, keinginana untuk putus obat, kesiapan calon, resiko karena obat, gejala2 psikis dan fisik, upaya2 yang dilakukan, gambaran tentang keluarga, riwayat pendidikan dan pekerjaan, kegiatan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
325
keagamaan dan keuangan. Kegiatan dilakukan oleh SIE PAS bekerjasama dengan lembaga terkait, masyarakat dan keluarga. b. Motivasi dan seleksi kegiatan. Pemberian Motivasi dilakukan melalui penyuluhan sosial kepada calon tentang pelayanan rehabilitasi sosial di Panti. Melalui kegiatan ini diharapkan tumbuh pengertian, minat dan pemahamanan calon untuk ikut pelatihan dengan penuh tanggung jawab. “Kendalanya kadang Dinas Sosial tidak menyiapkan calon (walau pendekatan melalui surat dilakukan). Nama calon yang tidak sesuai dengan yang tertulis. Anak ingin mengikuti pelatihan, tetapi orang tua tidak mengizinkan atau sebaliknya. Persepsi masyarakat PSPP panti keterampilan bukan panti rehabilitasi. Kendalanya respon masyarakat rendah karena kurangnya informasi yang sampai ke masyarakat. Orang tua terlalu kawatir/ sayang anak, sehingga anak tidak dilepas/diambil saat pelatihan. Seleksi; sebagai upaya memilih calon, agar mendapatkan calon yang mempunyai kesadaran, tanggung jawab dan mengikuti program sampai selesai. Berbagai permasalahan diatas berdampak pada sulitnya memenuhi kuota sesuai kriteria. Berangkat dari kondisi inilah maka proses seleksi juga tidak selalu mulus, lolosnya anak bukan eks pengguna juga terjadi. Sebagaimana pernyataan anak yang lolos yang masuk ke panti untuk mendapatkan keterampilan. 2. Penerimaan Penerimaan sebagai kegiatan menetapkan penentuan klien yang memenuhi syarat yang ditetapkan panti berdasar data obyektif meliputi: Pengurusan administrasi, pengisian formulir, penentuan persyaratan masuk panti dan pencatatan
326
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
data klien dalam buku registrasi. Calon residen yang datang masuk panti biasanya: didampingi orang tua, dikirim RSKO setelah detoksifikasi, dikirim dinas/ terkait setelah pendekatan awal oleh petugas. 3. Asesmen (pengungkapan dan pemahaman masalah). Asesmen ini bertujuan agar penempatan jurusan pelatihan sesuai dengan minat, bakat yang mencakup penelusuran latar belakang klien, diagnose permasalahan, menentukan langkahlangkah rehabilitasi, dukungan pelatihan yang diperlukan dan penempatkan klien dalam rehabilitasi. Berikutnya Penyusunan Rencana Intervensi, yang disusun berdasar asesmen dan pembahasan temu kasus (cese conference). Melalui cara ini diharapkan akan menemukan jenis pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi obyektif klien, juga pengelompokan kebutuhan bimbingan. Kegiatan di dilakukan oleh tim asesmen. Kegiatan terkendala oleh: Latar belakang pendidikan dan kebutuhan klien yang bervariasi. Tugas rangkap tenaga sebagai solusi keterbatasan SDM. 4. Bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan Tahapan ini disebut sebagai tahap pemecahan masalah. Klien mulai menerima program pelayanan. Bimbingan fisik meliputi: perawatan kesehatan, olah raga dan pengentasan gizi. Bimbingan sosial dengan: bermain, rekreasi, pemanfaatan waktu luang, bimbingan kelompok dan motivasi klien. Bimbingan mental berupa: bimbingan agama, budi pekerti, Bimbingan keterampilan meliputi: keterampilan kerja dan usaha. a. Bimbingan fisik & kesehatan, kepulihan fisik dan menjaga pola hidup sehat. b. Bimbingan mental spiritual; untuk mengembangkan dan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
327
meningkatkan perilaku sesuai dengan norma dan nilainilai agama yang berlaku dimasyarakat. c. Bimbingan sosial, individu, untuk menumbuhkan dan meningkatkan kapasitas sosial dan psikososial klien untuk mencapai kepulihan. Melalui konseling individu, terapi psikososial, role play dan simulasi. Bimbingan kelompok, sebagai media menumbuhkan dan meningkatkan kapasitas psikososial. d. Bimbingan pelatihan keterampilan, bertujuan mengembalikan kehidupan klien agar memiliki dan meningkatkan keterampilan sebagai bekal menyelesaikan tugas-tugas kehidupan sehari-hari (personal skill) Dana, sarana, tenaga professional: (psikolog, psikiater, para medis, guru agama, instruktur, dokter) masih menjadi kendala. Dalam pelaksanaan kegiatan masih banyak yang perlu ditingkatkan seperti: (FSG, NA, SNA, parenting skill). Kenyataannya: Banyaknya klien yang tidak mendapat keterampilan (22,22 % tahun 2009, 27,77% tahun 2010, 32,22 % tahun 2011). Hal ini memberi gambaran bahwa pelayanan belum dapat dilakukan secara maksimal. 5. Resosialisasi /reintegrasi sosial. Kegiatan ini bertujuan untuk menyiapkan eks klien, keluarga dan lingkungan sosial dimana mereka tinggal. Dilakukan untuk menumbuhkan kemauan dan kemampuan eks klien berintegrasi ditengah kehidupan keluarga dan masyarakat agar tidak terjadi pemberian stigma, sekaligus sebagai upaya mencegah relapse. Kegiatannya berupa: family meeting dan community meeting dengan tokoh. Belum semua jenis dan sasaran kegiatan dilakukan maksimal. Seperti Penjajagan PBK, pengantaran dan pelaksanaan PBK, supervisi, bimbingan seting PBK. Kegiatan yang ditiadakan: narcotic anonymous dan Saturday Night Activity. Ini berdampak
328
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pada rasa suntuk, jenuh, bosan, akhirnya mendorong keinginan untuk kabur. 6. Penyaluran/terminasi dan pembinaan lanjut. Program ini sebagai upaya mengakhiri pelayanan profesional kepada klien yang telah mengikuti rehabilitasi. Dilakukan pemulangan klien kepada orang tua/wali, disalurkan ke sekolah, perusahaan untuk penempatan kerja. Penyampaian kepulihan klien kemajuan dan kondisi terakhir serta alasan terminasi, setelah itu diberikan pembinaan lanjut. Kegiatannya: Identifikasi keberhasilan, pertemuan eks klien, home visit keluarga dan pengantaran oleh petugas/ keluarga. Kendalanya keterbatasan uang transport untuk keluarga, pengakhiran dan terminasi tahap satu/pemulangan klien dari panti. Koordinasi dengan instansi terkait sangat terbatas. Keluarga belum siap menerima anaknya kembali. E. Pembinaan Lanjut Tujuan yang ingin dicapai dalam pembinaan lanjut, untuk memantapkan kesembuhan dan kepulihan eks klien, membina dan menciptakan lingkungan/masyarakat agar bebas napza. Bimbingan lanjut seharusnya dilakukan secara berkala kepada eks klien, agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Pembinaan lanjut juga ditujukan kepada lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lain-lain agar dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kebaikan eks klien (pedoman pembinaan lanjut, 2005) Namun kenyataanya pembinaan lanjut dilakukan secara terbatas. Hasil FGD karyawan maupun diskusi hasil penelitian sementara, terungkap bahwa kebijakan pembinaan lanjut belum ada acuannya, belum ada aturan baku dan ketegasan sikap dalam pelayanan dan pembinaan lanjut. Hal ini menujukkan pelaksanaan pembinaan lanjut belum maksimal.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
329
Pemahamanan petugas panti tentang pembinaan lanjut, dimaknai sebagai pemberian bimbingan kapada eks klien yang sudah keluar dari panti. 1. Proses pelaksanaan pembinaan lanjut. Pembinaan lanjut seharusnya dilakukan kepada keluarga, sekolah, tempat kerja atau klien melakukan aktivitas positif. Pada kenyataanya sasaran pembinaan lanjut masih terbatas pada eks klien dan keluarga. Dilakukan dengan cara home visit, surat menyurat dan telepon. Kegiatannya berupa pendataan eks klien dan mengisi instrumen. Pelaksana pembinaan lanjut oleh sie PAS dan rehabilitasi sosial. Selanjutnya bila dilihat dari jumlah yang dipembinaan lanjut. Tahun 2008, hanya mampu menjangkau 40 orang (22,2% dari jumlah klien). Kegiatan pembinaan lanjut hanya dilakukan pada empat wilayah yang berlokasi dekat dengan panti: di Bogor dibina 4 orang, Cianjur 5 orang, Kuningan 7 orang, terbanyak di Bandung 25 orang. Tahun 2010 pembinaan lanjut yang tercatat 58 eks klien (32,2%), meliputi enam wilayah, Indramayu 15 orang, Cirebon 12 orang , Cianjur 9 orang , Depok 5 orang dan Bandung 8 orang. 2. Hasil pembinaan lanjut. Keberhasilan pembinaan lanjut dapat dilihat dari kemampuan eks klien untuk tidak menggunakan napza kembali (relaps) dan melaksanakan fungsi sosialnya yaitu mampu memecahkan masalah, memenuhi kebutuhan, melaksanakan peran secara wajar dan normatif. Hasil pembinaan lanjut Tahun 2008, ternyata tidak terlalu menggembirakan. Eks klien yang bekerja hanya dicapai oleh 20 orang (50%), selebihnya belum bekerja. Dilihat dari kemampuan tidak menggunakan napza, ditunjukkan dengan eks klien yang relaps yaitu hanya 3,5 %. Sementara hasil pembinaan lanjut tahun 2010 pada 56 orang, menunjukkan
330
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
eks klien yang sudah bekerja 19 orang (32,8 %), lainnya masih menganggur, ada 4 orang (6,8%) kembali kesekolah. Hal yang menggembirakan semua eks klien tersebut tidak menggunakan napza lagi. Keberhasilan panti dalam melakukan pembinaan lanjut juga ditentukan oleh factor pendukung/penghambat. Faktor pendukung ; a. Panti memiliki tenaga pekerja sosial yang tangguh dan berdedikasi walau jumlahnya terbatas. Mereka memiliki jaringan dan hubungan intensif dengan eks klien diseluruh lokasi. b. Panti memiliki tenaga budys, pendamping, penyuluh dan relawan yang siap membantu membri pelayanan. Faktor penghambat a. Kebijakan pembinaan lanjut belum ada kesepakatan antara pelaksanaan dan acuan yang dipakai. Belum ada aturan baku dan ketegasan sikap petugas dalam melaksanakan tugas maupun pembinaan lanjut b. Sebaran lokasi eks klien cukup luas, sementaa SDM, dana, sarana dan kerja sama dengan instasi terkait masih terbatas. c. Klien berusaha menghilangkan jejak karena stigma, kejaran bandar, pengedar dan pemakai. d. Beberapa kegiatan CC, FSG tak melibatkan keluarga karena faktor akomodasi. Keluarga masih sulit/belum siap menerima eks klien pasca rehabilitasi. F. Gambaran Kasus Beberapa kasus dibawah ini hanyalah sebagian dari sepuluh kasus yang didalami. Hal ini dilakukan karena keterbatasan ruang, oleh karena itu hanya ditampilkan yang dinilai cukup bervariasi.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
331
Kasus 1, RR. RR, L, 28 th, dikenal dalam keluarga ia anak manis, tertib, rajin dan tekun beribadah. Ayahnya pejabat salah satu Bank di Medan, seorang pendeta yang disegani. Ia tumbuh sebagai remaja terdidik. Lulus Sarjana, bekerja di Bank. Kariernya cemerlang. Keadaan berubah total ketika ibundanya meninggal mendadak. Beberapa hari ia mengurung diri. Tak ada yang berani dekat kecuali ayahnya membawakan makanan sambil bertanya beberapa patah kata. RR sangat terpukul, murung, marah, berontak, sampai depresi. Berapa hari tak masuk kantor. Membuang suntuk, ia keluar kamar mencari udara segar. Dalam sekejap RR didekati temannya sambil bertanya “suntuk ya?,” sambil menawarkan obat penghilang suntuk. “nih coba penghilang suntuk”. Dicobanya satu ampul, tidak kerasa, dua ampul, ngak krasa sampai tiga ampul, terus berlanjut sampai lima ampul. Sejak saat itu ia ketagihan, sekali menggunakan perlu biaya Rp 500.000,- Celakanya, efek mengkonsumsi napza terus meningkat. Setiap hari ia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 3.500.000,- sampai tabungan terkuras habis. Kebutuhan semakin mendesak, kemudian, ia menilep uang nasabah sebesar Rp 20 juta. Dan sempat berperkara, namun keluarganya buru-buru menutup kasusnya. Hal itu, ia ulang kembali sampai akhirnya ia dipecat. Saat menganggur kebutuhan akan naza tetap ada, maka ia mulai mencuri uang orang tuanya, menjual barang-barang orang tuanya sampai habis. Ayahnya tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan perilaku RR menggunakan napza semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhannya akan napza, kemudian ia mulai mencuri, nyambret, nodong, bahkan sempat merampok, sampai akhirnya tertangkap dan dihukum satu setengah tahun. Orang tuanya merasa tidak tega, melalui berbagai cara untuk meringankan hukumannya dan berhasil hanya dihukum selama 7 bulan. Setelah keluar dari penjara ia belum jera, kemudian melakukan tindak kriminal lagi, sampai ditangkap dan kembali masuk penjara (LP di kaki gunung Sibolangit). Hal itu ia lakukan berulang kali, sampai akhirnya
332
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
RR mengikuti RBM, dimana ia mendapat perawatan dan terapi, selama beberapa bulan namun tidak berhasil. Kemudian beralih kepelayanan medis dan psikhiater, juga tidak berhasil, dan RR tetap menggunakan shabu. Selama empat tahun ia Keluar masuk perawatan, sampai akhirnya mengalami gangguan jiwa (paranoid). Upaya Orang tuanya untuk kesembuhan RR terus dilakukan, dengan membatasi penggunaan napza, namun berujung pada pemberontakakn RR, berantem dengan orang tua, bahkan sampai melempar dan menghancurkan benda-benda di sekitarnya. Akhirnya keluarga mengirim RR ke PSPP Galih Pakuan Bogor, dan saat dikirim ke panti, ia memberontak, sambil mengancam “lihat nanti, tiga bulan lagi saya pakai narkoba“. Kenyataannya sejak RR masuk PSPP keadaan berubah sama sekali. Pelayanan pekerjaan sosial dengan metode Teraphy Community (TC) mampu merubah perilaku RR. Dimana Ia menemukan suasana kekeluargaan, terdapat saling menghargai meski ia ditempa dan diuji dengan berbagai perlakuan. Ia mulai aktif bergabung dengan lingkungan panti, menjalankan semua tahap pelayanan mulai dari tahap younger member, middle, Peer sampai Older, kemudian group terapi dan family support group dijalankan klien dengan lancar. Tuturnya “hanya dipanti ini saya menemukan diri kembali, kekeluargaan ini yang tidak saya temukan ditempat lain”. Proses pemulihan selama di panti sempat membuat dirinya sakau, sampai badannya menggigil panas dingin. Namun, dengan adanya pendekatan kekeluargaan di PSPP membuat RN mampu menghadapinya, dan dapat melanjutkan proses pemulihan kembali. Mendengar kemajuan RR, Orang tuanya cukup senang, dan beberapa kali datang mengikuti Family sassion juga drop girl. Setahun RR mendapat pelayanan dipanti, sampai ia selesai menjalankan pelayanan, kemudian ia memilih untuk tinggal di desa berdekatan dengan lingkungan panti. “Saya tak akan kuat melawan lingkungan narkoba dan saya memilih tenang hidup didesa yang jauh dari keramaian”. Imbuh RR.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
333
Buruknya lingkungan asal, kuatnya penetrasi pengedar menjadi pendorong untuk tidak kembali kerumah orang tuanya. RR memutuskan tinggal di desa, hidup berumah tangga dengan gadis desa dan saat ini sedang hamil 5 bulan. Saat ini, mereka tinggal di rumah bambu tua dipinggir sawah dimana dikelilingi sanak saudara istrinya. Saat ini ia memiliki usaha ternak ikan, yang dinilai cukup behasil karena telah membantu memenuhi kebutuhan hidup bersama istrinya. Disamping itu ia mulai berbaur dalam kegiatan kemasyarakatan. Perubahan yang dialami cukup signifikan, dimana awalnya ia suka paranoid, terhadap lingkungan sekitarnya, seperti benda didepannya disangka polisi, selalu marah-marah, berontak, mengamuk bila tidak menemukan napza. Tidak pernah menegur orang, sering bengong, tidur dan malas-malasan. Sekarang ia dapat hidup wajar, ramah, terbuka, banyak bercerita tentang berbagai pengalaman. Hubungan harmonis dan saling tolong dengan keluarga, lingkungan, pekerja sosial dan alumni (sebagai peer educator). Hubungannya dengan sesama alumni cukup erat, saling membantu jika ada alumni yang relaps, saling mendukung, menguatkan satu sama lain agar tidak relaps dan dapat menjalankan kehidupan dengan normal. Kasus, 2 AA AA, L, 28 tahun, lulus sarjana muda, tinggal di Bogor. Santun dan rendah hati, sedikit bicaranya dan lembut suaranya. Gambaran semakin kuat ketika memaparkan hubungan mesranya dengan bundanya. AA sangat disayang dan dimanja, permintaannya selalu dikabulkan. Keadaan ini dimanfaatkan oleh orang-orang disekitarnya. Bersama kelompok teman-temannya ia mulai mencoba napza, dan lama kelamaan menjadi pengguna berat berbagai jenis napza. Untuk memenuhi kebutuhan akan napza, ia mulai mencuri uang orang tuanya, menjual perabotan namun hal itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya, selanjutnya ia mulai menerima tawaran sebagai kurir, akhirnya menjadi pengedar bahkan bandar narkoba. Semua jenis napza
334
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pernah dicobanya, bahkan berganti-ganti jarum suntik pernah dilakukannya, dimana risiko terjangkit HIV mengintai. Kondisi AA semakin kacau, keluarga mulai kewalahan dengan perilakunya, berbagai jenis pelayanan telah diupayakan namun tidak ada yang berhasil mengurangi kecanduannya terhadap narkoba. Akhirnya ia dirujuk ke PSPP Galih Pakuan. Ia mampu menjalankan terapi yang diberikan PSPP, dengan baik dan disiplin tinggi, sampai akhirnya ia dapat berperan sebagai budy, Saat ini ia diperbantukan di PSPP, untuk menolong klien lainnya dan hampir tiap hari ia bekerja tanpa kenal waktu dan lelah agar dapat menyelamatkan nyawa klien lainnya. Pengabdiannya yang tulus dan berbekal pengalaman sebagai memakai, wawasan yang luas tentang napza membuat ia dipercaya sebagai pear educator, untuk memberikan penyuluhan diberbagai komunitas, termasuk melakukan kegiatan bersama lembaga terkait (kepolisian, rumah sakit, lembaga sosial). Setelah keluar dair panti ia menikah dan tinggal bersama mertuanya. Untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari ia hanya mengandalkan dari penghasilan dan kebaikan salah seorang pekerja sosial. Ia mengakui, bahwa nilai-nilai hidup yang positif diperoleh dari panti. “Jangan sia-siakan waktu dengan kegiatan konyol yang merugikan diri, tetapi diisi dengan kerja dan nilai-nilai positif”., demikian AA ungkapkan. Ia berharap peran dan pengorbanan AA terhadap panti dengan berbekal pengalamannya, dapat ditingkatkan statusnya menjadi tenaga honorer panti. Kondisi ini penting dilakukan untuk menjaga kondisinya tetap stabil, dan sebagai imbalan terhadap tenaganya sebagai peer edukator, dengan memenuhi kebutuhan hidup maupun untuk kondisi kesehatan dirinya. Kasus, 3, EA. Lelaki 33 tahun,lulus SMP. Masuk PSPP tahun 2008. Petualangan dengan ganja dan miras dilakukan saat nongkrong rame-rame. membeli ganja dan miras dengan cara patungan di warung dekatnya. Berawal dari coba-coba dan ikut-ikutan, sampai
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
335
akhirnya sering mabuk. Frekwensi pemakaiannya, dari seminggu 1x, menjadi 2 x, 3x bahkan setiap saat ada kesempatan untuk berkumpul. Sejak itu hidupnya tidak teratur. EA yang dulunya santun dan pendiam berubah menjadi sering uring-uringan, berperilaku tidak tentu arah, dan mabuk mabukan. Keadaan berubah ketika diketahui oleh pamannya (alumni panti). Setelah berembuk dengan keluarga, kemudian EA diantar ke panti, dan menjalani pelayanan selama setahun, mengikuti berbagai pelatihan dan keterampilan motor serta las listrik. Saat di dalam panti, ia merasakan lelah luar biasa, berpetualangan dengan napza, namun kini ia tobat dan sudah meninggalkan penggunaan napza. Selesai menjalani pelayanan dalam panti, kemudian ia dikirim ke shelter work shop selama 3 bulan untuk memantapkan keterampilannya. Saat Praktek belajar kerja, di salah satu bengkel motor, kemampuannya kerja dinilai cukup baik akhirnya ia dapat diterima sebagai karyawan di bengkel tsb. Setelah bekerja selama 2 tahun dan uang terkumpul, kemudian ia memutuskan untuk membeli alat-alat melengkapi toolkit yang dimiliki. Sejak itu ia mulai membuka usaha sendiri sebagai montir panggilan, dan beranganangan ingin membuka bengkel. Keinginannya direspon Ayahnya kemudian dibuat bengkel darurat, di lahan yang khusus dibeli oleh orang tuanya. Sekarang sudah memiliki rumah permanen seluas 100 m lengkap dengan bengkel dan parkir seluas 100 m. Sejalan dengan pesatnya usaha servis motor, kemudian berkembang dengan menjual spare part. Saat ini memiliki asisten 2 orang (masih kerabat), dibantu 1 tenaga lainnya. Bahkan tempatnya telah menjadi tempat magang siswa PSPP sebanyak 3 orang. Penghasilan bersih pada hari biasa Rp300.000,-sehari. Bila ramai mencapai Rp 500,000. Mereka bekerja keras dan hanya berhenti ketika pulang kampung /lebaran. Pekerja sosial sering kali hadir dan komunikasi dengan dirinya seiring dengan hadirnya siswa magang. Hasil usahanya digunakan untuk membangun bengkel, sampai kondisi usahanya permanen
336
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Faktor yang mendukung keberhasilan EA, yaitu lingkungan tenang dan aman dari narkoba, keluarga menerima EA kembali dengan senang dan penuh semangat, keterampilan yang diperoleh mampu menjadi modal kerja Faktor penghambat: keberthasilan hidup dan usahanya sering menjadi “kecemburuan” masyarakat sekitarnya. Pelajaran yang paling berharga dia peroleh adalah pendidikan hidup, disiplin, santun, mandiri, jujur, kerja keras, bertanggung jawab dan rajin ibadah, yang ia gunakan dalam bekerja dan hidup bersama masyarakat Kasus, 4, N. Lelaki, 19 tahun, lulus SMP tinggal di Cirebon. Keluar dari panti tahun 2011. Rumahnya sederhana berada dilingkungan perkampungan. Mengenal cimeng, bermula dari penasaran dan coba-coba, gara-gara diledek teman-temannya kalau tidak menggunakan benda haram itu bukan laki-laki, bukan pemberani, sampai akhirnya beberapa kali Ia ditemukan teller oleh keluarganya. Saat menyendiri, hati kecilnya merasakan hidupnya kacau, dan beerkeinginan untuk hidup normal. Diakui oleh dirinya bahwa ia anak jalanan, sering buat gara-gara, mengganggu orang yang lewat, menantang, berantem, berpetualangan dengan bergantiganti perempuan, sering mengamuk, membuat keributan menjadi perilakunya sehari-hari. Semua ini mencontoh dari ayahnya yang juga seorang pecandu “Main, madat, madon, maling dan mabuk (molimo)”. Ingatannya masih menempel dikepalanya, dimana saat NN kecil sering kali mendapat kekerasan bahkan sempat hendak dicekik, oleh ayahnya saat ngamuk. Dan akan berhenti ketika ibunya mulai berteriak-teriak. Petualangan NN dengan napza berhenti ketika dilaporkan ke pamong desa dan petugas panti. NN termotifasi untuk mengikuti pelayanan dalam panti dari sesama teman nyimeng. Kemudian beramai-ramai masuk menjadi penghuni PSPP. Berbagai pelatihan dan keterampilan ia ikuti selama setahun, termasuk teman-teman
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
337
gengnya mengikuti kegiatan keterampilan dengan pilihan pada keterampilan montir motor dan las listrik. Usai kegiatan dipanti ia masuk Shelter Workshop selama 3 bulan. Mereka berencana kembali sekolah, sambil membuka bengkel bersama temantemannya pada hari sabtu minggu. Setelah mengikutipelayanan di panti, NN mulai sadar, mampu menghargai waktu, dan mengisinya dengan kegiatan bermanfaat. Ia mulai mengerti nilainilai positif tentang hidup, disiplin, kerja keras, jujur dll. Hubungan dengan pengurus panti berlangsung melalui telepon, termasuk komunikasi intensif dengan alumni lewat SMS, dimana mereka terus memberi semangat. Menurut dirinya, bahwa anak-anak seperti NN masih labil, perlu pendampingan dan pembinaan lanjut secara intensif agar dapat mempertahankan kepulihannya, sehingga dirinya bisa dijadikan pear educator, di sekolah-sekolah maupun dilingkungan. Kasus 5. S. Klien Re-entry. L, 22 tahun, lulus SMK, anak ke 1 dari 2 bersaudara, bekerja sebagai buruh bengkel dan tinggal di tempat bekerja (bengkel). Sejak SMP, orang tuanya sering bertengkar dihadapan anak sampai akhirnya bercerai. Penyakit ibu semakin parah bahkan sampai terganggu jiwanya. Kemudian S diasuh oleh “bibi” (adik ibu) sementara ayah menikah kembali, memiliki anak yang saat ini tinggal bersama S. Saat S kelas 2 SMA, S mulai mengenal cimeng dan miras, terutama saat berkumpul dengan teman-temannya yang dilakukan setiap hari minggu, Kebiasaan tersebut menurutnya bisa mengurangi kebingungan dan kegelisahan yang dihadapi. Saat lulus SMA, S mulai menyadari akan kelanjutan sekolah dan bingung apa yang akan dilakukan, kemudian S mengetahui dari temannya (alumni panti) bahwa panti bisa merubah kebiasaan dirinya sekaligus memberikan pelatihan keterampilan. Hal tersebut memberi motivasi dirinya untuk mengikuti program pelayanan di PSPP untuk memperbaiki diri sekaligus mandapat keterampilan. Tahun 2009, S bersama 338
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
temannya mendaftar diri ke PSPP, dan mengikuti program pelayanan mulai dari bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan otomotif. Praktek Kegiatan Belajar (PKB) dilakukan di Bengkel Yamaha, milik salah satu eks residen selama 2 bulan, Setelah selesai dari PSPP, S mengikuti workshop bidang motor. Setelah selesai S mendapatkan panggilan untuk bekerja di bengkel tempat S magang. Menurut pegawai bengkel bahwa performance S saat magang dan caranya bekerja, cukup bagus dan dapat diandalkan sebagai pegawai (bagian mekanik) motor. Kesibukannya bekerja membuat dirinya jarang bergaul ‘nongkrong’ kembali dengan teman-teman di lingkungan rumahnya. Pergaulannya sebatas dengan teman sesama pegawai bengkel. Penghasilan sebesar Rp. 800.000,- digunakan untuk makan pagi dan malam serta sebagian dikirim untuk keluarganya. Perubahan perilaku yang paling banyak dialami adalah S mulai menghargai orang lain, lebih peduli, dan percaya diri, tidak cuek, tidak egois, memperhatikan keluarga dan tidak bergaul dengan teman-teman yang lalu. Jika menghadapi masalah, maka ia akan mencari solusinya dan tidak melamun namun dibawa ke pikiran positif. Keberhasilan menghadapi masalah harus dikembalikaan kepada kemampuan dirinya sendiri dan keluarga, kalau tidak ada yang membantu maka S akan mencari teman yang tepat. Dalam hal ini peran peer edukator dan pembimbing atau pekerja sosial. Selama ini pendampingan Pekerja sosial hanya dilakukan di dalam panti, seharusnya juga dilakukan pendampingan secara intensif setelah anak keluar dari panti. Sementara pendampingan di luar panti, hanya dilakukan 1 minggu atau sebulan sekali, dengan mengontrol atau melihat caranya bekerja tanpa bertanya tentang kondisi S selama bekerja, Saran untuk pengembangan pelayanan: kegiatan pada malam hari lebih diperhatikan atau ditingkatkan, kegiatan sharing atau curhat secara individu lebih sering dilakukan, karena selama ini hanya dilakukan secara kelompok, karena tidak semua anak bisa bercerita (curhat) dalam kelompok
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
339
Kasus 6, Klien re-entry, Q, Lelaki, 24 tahun, lulus Paket C, anak ke 1 dari 3 bersaudara, buruh jasa furniture (finishing). Saat ini S tinggal dengan ayah dan ibu tiri serta ke 2 adik tiri adakalanya S tinggal bersama ibu kandung, berhubung sedang bekerja dengan ayahnya maka saat ini tinggal di rumah ayahnya. Kondisi rumahnya setengah tembok, milik sendiri, berlantai ubin meski bagian belakang rumahnya masih berdinding bilik, dengan penerangan listrik. Sejak kelas 2 SMA, S, berada di jalan (jarang pulang ke rumah),sampai 4 tahun lamanya. Kehidupan S selama dijalan, “kalo malam jadi siang” biasanya kegiatan pada malam hari kumpul-kumpul dengan komunitas motor sambil minum-minuman keras, atau melakukan balapan motor (track) yang dilakukan di jalan Pemda, mencuci mobil dengan steam, menjadi tukang pungli pada supir truck yang lewat malam hari. Namun kegiatan komunitas motornya namun S tidak pernah mencoba menggunakan obat-obatan atau melakukan tindak kekerasan sebagaimana dilakukan geng motor. Kebiasaan hidup dijalanan diawali sejak ayah dan ibunya bercerai, Selama hidup dijalanan, keluarganya (ayah.ibu maupun nenek) tidak pernah mencarinya, karena pasti S akan pulang kerumah, meski hanya sebentar. Sementara ini S tinggal di rumah sahabatnya yang menjadi anggota komunitas motor. Setelah 4 tahun menjalani kehidupan seperti demikian, seiring dengan meningkatnya usia, S mulai timbul rasa jenuh, “tidak mau gitu terus”, kemudian atas informasi dari teman (alumni) PSPP, Ia mengikuti pelayanan di PSPP (tahun 2008), mendaftar sendiri ke panti untuk memperoleh pelayanan, serta menjalankan prosedur pendaftaran. Saat itu ayahnya tidak setuju S masuk panti, karena ketidak tahuannya, namun akhirnya dapat menerima Selama di PSPP, S mengikuti pelayanan mulai dari fisik, mental sosial dan keterampilan. Kegiatan yang paling disukai adalah kegiatan morning meeting serta bimbingan sosial lainnya, karena hatinya menjadi tenang. Sementara keterampilan yang diikuti adalah otomotif (bengkel motor).
340
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Setelah keluar dari panti, terjadi perubahan perilaku dimana S menjadi mandiri, mampu membantu (ekonomi) orang tua, mendapatkan ilmu bersosialisasi sehingga bisa gaul, dapat mempertahankan relasi dengan lawan jenis cukup lama, memperoleh cara-cara mengatasi masalah, mudah memaafkan atas kesalahan orang lain dan berani meminta maaf terlebih dahulu, mampu berkomunikasi dengan Ayah dan Ibu, termasuk mendapatkan nilai-nilai kehidupan yang harus ditingkatkan dan meminimalis nilai-nilai kehidupan yang diperoleh di jalan. S sempat mengikuti workshop untuk lebih mendalami keterampilan, Setelah selesai workshop, S dibekali dengan tool kit bengkel motor, serta stimulan sebesar 5 juta rupiah untuk membuka usaha bengkel motor, termasuk biaya untuk kontrak tempat sebesar 1.5 juta rupiah ke kerabatnya, S sempat membuka bengkel di tempat kontrakan, dan bengkelnya cukup laku, dengan tarif tergantung pada kemampuan konsumen. Saat membuka usaha bengkel masih saja ada yang mengecilkan kemampuannya, berkomentar tentang dirinya, sebagai bekas anak badung (nakal) atau orang yang suka sindir-sindir tentang dirinya, namun hal tersebut tidak ditanggapi S. Bahkan ada diantaranya konsumen yang lebih menyalahkan dirinya, bukan pada kondisi barangnya. Sebutan bekas orang badung, membuat dirinya menyesal akan perilakunya akan tetapi ia mampu menghadapinya dengan tenang: sebagaimana diungkapkan S ”biar saja orang mau bilang apa!, Cuek kalau dipikirkan terus tidak ada gunanya jadi diterima saja, Kalau menghadapi masalah S selalu tahan dan dibawa tidur, tidak diselesaikan dengan minum-minum lagi. Usaha bengkel hanya bertahan selama setahun, karena lokasinya di lembur (desa) serba hese (susah), rek neken bisi teu kabayar” (kalau dipaksa bayar nanti justru tidak bayar), imbuhnya. Dan penghasilannya tidak mennetu sehingga tidak mampu membayar uang kontrakan. Meski usaha bengkel telah berhenti tetapi masih banyak yang memotivasi dirinya untuk membuka
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
341
bengkel kembali bahkan masih ada konsumen yang meminta jasa dirinya. Saat memulai usaha membuka bengkel, petugas atau Pekerja sosial panti tidak memonitor lagi kondisi S, mereka hanya lewat ke bengkelnya padahal S menginginkan ada perbincangan dengan petugas, terkait masalah usaha bengkelnya. Kemudian S mulai menganggur dan jarang bergaul serta keluar rumah, Sempat melamar kerja di bengkel sampai 3 kali namun selalu ditolak karena tidak ada lowongan, “ada kesan bahwa penolakan tersebut dari latar belakang badung, seperti tidak ada gunanya, tapi terimalah memang kaya begini !” Ia pernah bekerja sebagai buruh bangunan dan sekarang sedang bekerja membantu ayahnya dalam finishing furnitur, dengan upah Rp. 45.000,- perhari. Saran: pada panti : 1. adanya pemantauan secara intensif, terutama untuk curhat ke Pekerja sosial, supaya bisa mempertahankan kemampuan dan keterampilan yang sudah diperoleh; memberikan pendampingan saat hendak membuka usaha maupun bekerja. 2. Meningkatkan kemamampuan/keterampilan agar mampu berani bersaing dengan usaha lain yang sejenis. 3. Membentuk Bentuk usaha dengan cara dikelompokkan (Kube), agar usahanya dapat menghasilkan optimal.ulihan masih perlu perjuangan keras. Setelah tujuh bulan di panti, ia mengalami sakau, badannya seperti ditimpa beton sekarung, gigi mengerenyit, badan G. Penutup 1. Kesimpulan a. Proses pelayanan rehabilitasi PSPP Galih Pakuan masih menemui banyak kendala. Panduan yang ada tidak selalu menjadi pedoman/acuhan dalam melaksanakan
342
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
kegiatan. Belum semua kegiatan teranggarkan, beberapa kegiatan disederhanakan/ditiadakan. Peralatan praktek kurang memadai dan sudah usang. Tenaga pekerja sosial masih kurang, Penempatan SDM tidak sesuai tusi, jenuh, pelayanan kurang maksimal. b. Sebagian klien Tidak mendapat keterampilan. Pelatihan pelayanan adiksi bagi pekerja sosial terbatas. Sumber permasalahan klien napza bersifat sosial psikologis. Perlu tenaga akhli (counsellor adiksi, Psikolog, Psychiater, Pekerja sosial profesional). Demikian juga fasilitas pada shelter work shop masih terbatas. c. Belum ada standar evaluasi kemajuan klien sampai pengakhiran pelayanan (Pre-terminasi). Klien re-entry hanya berdasarkan time limit 1 tahun, sementara perubahan perilaku perlu kuntinum. Metode TC, sangat bermanfaat bagi perubahan perilaku (eks) klien. Selain dipengaruhi oleh kesadaran diri, orang tua dan lingkungan serta peran Pendamping. d. Proses pembinaan lanjut pada klien Primery dan re-entry, belum mempersiapkan setting plan pasca rehabilitasi. Pemberian stimulan bagi eks klien belum mendapatkan pendampingan lanjutan. Persiapan lingkungan dan keluarga bagi klien pasca rehabilitasi, masih terbatas, keluarga belum siap menerima. e. Pelaksanaan pembinaan lanjut (after care) pada klien primary tidak dapat dibatasi waktu: perubahan perilaku klien primary bersifat individual, perlu dampingan berkelanjutan 2. Rekomendasi a. Perlu kesepakatan, konsistensi dan sosialisasi berkelanjutan tentang berbagai pedoman sebagai acuan baku dalam pelayanan dan pembinaan lanjut.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
343
b. Pendanaan yang memadai agar secara bertahap melakukan pembenahan sarana/prasarana dengan aman & memadai. Agar semua kegiatan dapat diselenggarkan dengan maksimal. c. Secara bertahap, melakukan penambahan pegawai, rotasi, penempatan sesuai tusi, peningkatan kwalitas pelatihan bagi Pekerja sosial. Memaksimalkan peran pegawai dengan menetapkan tatip, reward punishman (sosialisasi berkesinambungan). d. Perlu menambah Shelter Workshop sesuai keterampilan & jumlah klien, terutama dilokasi yang banyak penyalahguna napza. Perlu pendampingan pada tahap pembinaan lanjut e. Meningkatkan sistem pencatatan, pendokumentasian dan pelaporan kegiatan-kegiatan rehabilitasi sosial dan pembinaan lanjut. f. Membuat petunjuk teknis atau modul khususnya untuk bimbingan pembinaan lanjut.
344
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Bagian 12 IMPLIKASI KEBIJAKAN Nurdin Widodo Alit Kurniasari
Keberhasilan pelayanan dalam panti dapat diketahui dari keberfungsian sosial eks klien dalam kehidupan masyarakat. Pembinaan lanjut sebagai bagian integral dari proses pelayanan rehabilitasi dalam panti, perlu mendapat perhatian yang sama dengan aspek pelayanan lainnya. Peran pembinaan lanjut menjadi penting, karena mengantarkan eks klien memasuki kehidupan di masyarakat. Temuan penelitian dari berbagai panti sosial (UPT Kemsos) seperti di PSAA, PSBR, PSMP, PSKW, PSBK, PSBD, PSBN, PSBRW, PSBL, PSPP khususnya pada pembinaan lanjut (after care services) memberi gambaran tentang proses pelayanan yang diperoleh eks klien selama dalam panti sosial, termasuk gambaran kondisi masing-masing kelembagaan. Idealnya, Panti-panti sosial dibawah pembinaan Kementerian Sosial tersebut, menjadi lembaga percontohan bagi panti sosial milik masyarakat. Dengan catatan bahwa pelayanan dalam panti menjadi altenatif terakhir setelah keluarga dan masyarakat tidak mampu memberikan pelayanan bagi penyandang masalah tersebut. Sebagaimana terjadi perubahan pelayanan dengan paradigma baru dari pendekatan pelayanan berbasis institusi (institusional base) ke pelayanan berbasis keluarga (family base) dan masyarakat (Community base), menjadi landasan dalam sistem pelayanan kesejahteraan sosial. Dalam hal ini keluarga dan masyarakat semakin dituntut untuk berperan dan terlibat aktif dalam mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial di masyarakat, tanpa menurunkan peran pemerintah daerah maupun pusat. Berdasarkan temuan dan rekomendasi yang diperoleh dari penelitian di berbagai panti sosial dimaksud, maka penting dibuat suatu rujukan yang berimplikasi pada kebijakan agar pelayanan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
345
sosial dalam panti menjadi optimal dan mampu menjawab berbagai permasalahan yang ditemukan. A. Rehabilitasi Sosial Melalui Sistem Panti Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 1 (ayat 2) mengamatkan bahwa: “penyelenggarakaan kesejahteraan sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial, guna memenuhi kebutuhan dasar bagi setiap warga negara yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial”. Terdapat berbagai pendekatan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) diantaranya berbasis keluarga (family base), masyarakat (community base) dan institusi (institusional base). Pendekatan institusi dilakukan melalui sistem panti (institutional based) yang saat ini jumlah dan jenisnya tumbuh dan berkembang di Indonesia, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Dalam implementasinya memiliki permasalahan cukup kompleks, dimana beban anggaran yang harus dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh, termasuk tidak menurunkan jumlah PMKS. Rehabilitasi memiliki tujuan sebagaimana amanat dalam UU 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial; “memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar yang dilaksanakan secara persuasif, motivatif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial”. The National Council On Rehabilitation (1942), merumuskan: “rehabilitasi sosial adalah perbaikan atau pemulihan menuju penyempurnaan ketidakberfungsian fisik, mental, sosial dan ekonomi sesuai kapasitas potensi mereka”.
346
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Sedangkan menurut LE.Hinsie & Canbell (dalam Zaenudin, 1994) rehabilitasi adalah: “segala tindakan fisik, penyesuaian psikologis dan penyesuaian diri secara maksimal untuk mempersiapkan klien secara fisik, mental, sosial dan vokasional bagi kehidupan sesuai dengan kemampuan. Dimana pada prosesnya diarahkan untuk: (1) Mencapai perbaikan penyesuaian klien sebesar-besarnya, (2) Kesempatan vokasional sehingga dapat bekerja dengan kapasitas maksimal, (3) Penyesuaian diri dalam lingkungan perorangan dan sosial secara memuaskan sehingga dapat berfungsi sebagai anggota masyarakat”. Dalam kode etik rehabilitasi sosial (menurut Sri Widati : 2012) telah ditetapkan bahwa kewajiban tenaga rehabilitasi meliputi; “(1) Individu dan keluarga yang direhabilitasi, (b) Masyarakat atau pihak yang berkepentingan dalam proses rehabilitasi, (c) Teman sejawat antar profesi, (d) Tanggung jawab profesional dan (e) Keterbukaan pribadi”. Menurut Harry Hikmat (dalam Analisis Kebijakan Pengembangan Panti Sosial), tugas dan tanggungjawab panti sosial mencakup empat kategori. 1. Panti bertugas untuk mencegah timbulnya permasalahan sosial penyandang masalah dengan melakukan deteksi dan pencegahan sedini mungkin 2. Panti bertugas melakukan rehabilitasi sosial untuk memulihkan rasa percaya diri, dan tanggungjawab terhadap diri dan keluarganya; dan meningkatkan kemampuan kerja fisik dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mendukung kemandiriannya di masyarakat. 3. Panti bertugas untuk mengembalikan PMKS ke masyarakat melalui penyiapan sosial; penyiapan masyarakat agar mengerti dan mau menerima kehadiran kembali mereka; dan membantu penyaluran mereka ke pelbagai sektor kerja dan usaha produktif.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
347
4. Panti bertugas melakukan pengembangan individu dan keluarga, seperti mendorong peningkatan taraf kesejahteraan pribadinya; meningkatkan rasa tanggungjawab sosial untuk berpartisipasi aktif di tengah masyarakat; mendorong partisipasi masyarakat untuk menciptakan iklim yang mendukung pemulihan; dan memfasilitas dukungan psikososial dari keluarganya. Rehabilitasi sosial melalui panti sosial telah dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu (1) pendekatan awal, (2) asesmen, (3) perencanaan program pelayanan, (4) pelaksanaan pelayanan dan rehabilitasi sosial, serta (5) pasca pelayanan dan rehabilitasi sosial. Disamping itu Kementerian Sosial telah menyusun standarisasi pelayanan panti sosial melalui Keputusan Menteri Sosial No. 50/HUK/2004 tentang Standardisasi Panti Sosial, sebagai acuan dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial, namun belum dihayati dan difasilitasi secara memadai Profesionalisasi pelayanan dan rehabilitasi sosial melalui sistem panti dapat memulihkan dan meningkatkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial. Rehabilitasi sosial melalui sistem panti sosial ini memiliki kelebihan terutama terkait dengan kelengkapan sarana dan prasarana, SDM, dukungan anggaran dan program pelayanan lebih fokus, serta profesionalisasi penanganan. Meski dibalik itu terdapat beberapa kendala yang dihadapi sehingga pelayanan menjadi kurang optimal. Sebagaimana hasil temuan penelitan menunjukkan bahwa keluarga menjadi tempat asal klien sama sekali tidak mendapat intervensi, sehingga hasilnya menjadi kurang berimbang. Termasuk, tidak adanya keterlibatan institusi sosial yang memberi rekomendasi klien untuk memperoleh pelayanan dalam panti. Dengan demikian pelayanan dalam panti hanya berfokus pada klien, bukan pada sistem klien. Akibatnya keluarga dan masyarakat lingkungan eks klien belum mampu mendukung perubahan yang terjadi pada eks klien pasca rehabilitasi sosial.
348
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Panti belum melaksanakan intervensi terhadap keluarga dan masyarakat dari setiap langkah pelayanan, mulai dari pendekatan awal, resosialisasi, dan pembinaan lanjut sesuai dengan prinsipprinsip-prinsip pekerjaan sosial. Sasarannya tidak hanya penyandang masalah kesejahteraan sosial, tetapi juga keluarga, masyarakat baik itu pemerintah daerah, dunia usaha, maupun Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) dan Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) pemerhati masalah sosial. B. Peran Keluarga Dan Masyarakat Dalam Rehabilitasi Sosial Kondisi klien pasca pelayanan dan rehabilitasi sebagai output dan sumber timbulnya permasalahan berasal dari klien dan sistem yang mempengaruhinya, yaitu keluarga serta lingkungan sosialnya. Dalam sistem klien, pelayanan dalam panti tidak hanya ditujukan pada klien sebagai fokus pelayanan, melainkan keterlibatan keluarga dan masyarakat sejak anak menerima pelayanan dalam panti sama pentingnya dengan perlakuan pada klien. Berdasarkan temuan hasil penelitian, diperoleh gambaran bahwa keluarga dan masyarakat belum menjadi bagian pelayanan dalam panti. 1. Kondisi klien pasca rehabilitasi sosial; Ditemukan klien, pasca rehabilitasi sosial dalam panti tidak kembali ke daerah asal, bahkan tidak kerumahnya melainkan tinggal di tempat ibadah (Masjid), ada klien yang masih menginginkan tinggal di panti sehingga menjadi beban panti. Selain itu, masih ada klien tidak diterima oleh keluarga, tidak betah berlama-lama di rumah, karena merasa menjadi beban keluarga. Kondisi tersebut menggambarkan keluarga tidak dipersiapkan menerima klien pasca rehabilitasi sosial, karena selama ini sistem layanan dalam panti hanya fokus pada klien, belum
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
349
menyentuh keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari sistem klien. Padahal sebenarnya sumber timbulnya permasalahan berada di dalam keluarga, sementara keluarga tidak dilakukan intervensi, maka pelayanan klien selama dalam panti hasilnya kurang optimal. Sepanjang keluarga klien tidak dilibatkan dalam proses pelayanan dan rehabilitasi sosial, maka permasalahan tersebut akan selalu muncul. Alasan tidak diikutsertakannya keluarga dalam proses pelayanan dalam panti, karena dalam pedoman panti tidak secara eksplisit mencantumkan peran keluarga dalam proses pelayanan. Hal ini berimplikasi pada perencanaan program layanan dan anggaran termasuk pada penyediaan SDM yang profesional. 2. Kondisi masyarakat belum sepenuhnya menerima eks klien kembali ke lingkungannya, seperti sulitnya mengakses pada perolehan pekerjaan meski telah dibekali dengan keterampilan dan toolkit sesuai jenis keterampilan. Kondisi ini menjadi hambatan klien dalam keberfungsian sosialnya di tengah keluarga dan masyarakat. Kurangnya dukungan masyarakat berupa kesempatan pada klien untuk memanfaatkan keterampilan yang diperoleh dari panti sosial, termasuk minimnya pengakuan akan kemampuan yang mereka miliki, melengkapi permasalahan yang dihadapi eks klien bahkan menimbulkan penyandang masalah “baru” pasca rehabilitasi sosial. Seperti pada kasus pengandang cacat, yang terpaksa memanfaatkan kecacatannya untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari, bekerja sebagai pengamen. Idealnya prose pelayanan klien dalam panti melibatkan peran keluarga dan masyarakat. Panti melakukan review terhadap perkembangan klien dan keluarga, sehingga informasi tentang perkembangan klien dan hasil yang telah diperoleh eks klien selama proses rehabilitasi pada panti sosial selalu diketahui keluarga. Termasuk kegiatan sosialisasi, advokasi, koordinasi
350
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
dan aksesibilitas dari pihak panti sosial, terhadap sistem sumber yang tersedia di lingkungan klien. 3. Peran pemerintah daerah sebagai instansi yang merujuk klien memperoleh pelayanan dalam panti pada pendekatan awal, menjadi salah satu penyebab eks klien tidak mendapat pembinaan lanjutan dari instansi pengirim. Tidak adanya data base PMKS, dan sistem jejaring dalam penanganan PMKS, yang dapat berperan melakukan pembinaan lanjut bagi eks klien, dan kurangnya keterlibatan Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKS) melengkapi kendala kurang optimalnya hasil capaian klien pasca pelayanan dalam panti. Peran keluarga dan masyarakat menjadi penting, mengingat pemenuhan hak-hak dan akses kebutuhan seseorang tidak bisa dipenuhi dan harus dilakukan oleh panti sosial. Pemenuhan akan kasus sayang melalui pengasuhan orang tua/keluarga tidak bisa digantikan dengan pengasuhan dari orang tua asuh di dalam panti. Kenyataan hubungan diantara keduanya bersifat formaliitas, ikatan emosional yang terjadi sebatas hubungan klien dengan petugas, dan hubungan tersebut “putus” sejalan dengan selesainya klien menerima layanan. Belum lagi praktek nilai-nilai dan norma-norma dalam keluarga dan masyarakat juga belum menjamin klien memperolehnya dari panti sosial. Disamping itu masih adanya keluarga yang lepas atau sengaja melepaskan diri dari tanggung jawab sebagai orang tua, dengan menyerahkan klien ke panti sosial, tanpa diikuti dengan komunikasi bahkan berakhir dengan tidak menerima keberadaan klien sebagai bagian dari anggota keluarga. Masalah tersebut nampak pada klien dari Panti Sosial Bina Laras, dengan kasus psikotik, dan kasus penggunaan napza, maupun klien panti soaial asuhan anak. Dalam paradigma baru upaya penanganan klien tidak harus dipenuhi oleh pemerintah dan negara melalui panti sosial tetapi juga dilakukan oleh keluarga dan masyarakat. Dukungan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
351
keluarga sangat diperlukan atas keberhasilan rehabilitasi anak/keluarganya. Seperti yang dikemukakan oleh Power, Dell Orto, dan Gibbons (1988), “…bahwa keluarga dapat menjadi sumber bantuan utama bagi rehabilitasi atau proses penyesuaian seorang individu, atau juga dapat menjadi batu sandungan yang signifikan menuju pencapaian tujuan treatment”. Keluarga dan orang terdekat lainnya mempengaruhi cara individu merespon masalahnya, dan pada gilirannya, keluarga dipengaruhi oleh masalah (seperti kecacatan) yang terjadi pada seorang anggota keluarga. Keluarga yang tidak dilibatkan dalam proses rehabilitasi akan lebih sulit memberikan dukungan terhadap upaya rehabilitasi. Karena itu, dalam merehabilitasi perlu mengikutsertakan orang tua/ keluarga agar lebih memahami masalah anaknya dan dapat memberi perlakuan yang sebaiknya kepada anak agar tidak selalu tergantung pada orang lain. Dukungan masyarakat juga sangat diperlukan dalam proses rehabilitasi sosial, hal ini sesuai dengan prinsip dasar rehabilitasi sosial yang dikemukakan oleh Szymanski: 2005 dalam Sri Widati : 2012 antara lain: “(1) Masyarakat seyogyanya bertanggung jawab, melalui semua lembaga publik dan swasta yang memungkinkan, untuk memberikan layanan dan kesempatan kepada penyandang cacat. (2) Program rehabilitasi harus dilaksanakan dengan keterpaduan antar disiplin dan antar lembaga, (3) Rehabilitasi merupakan proses berkelanjutan selama masih dibutuhkan. (4) Lembaga-lembaga swadaya masyarakat merupakan mitra yang penting dalam upaya rehabilitasi.(5) Penyandang cacat seyogyanya diajak untuk berperan sebagai koperencana, co-evaluator, dan sebagai konsultan bagi penyandang cacat lainnya, termasuk bagi professional” Sementara kondisi sosial ekonomi keluarga menjadi latar belakang klien berpengaruh pada eksistensi klien. Apabila keluarga tidak menjadi sasaran intervensi panti,
352
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
dapat dipastikan tujuan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang menyangkut keberfungsian sosial klien di tengahtengah keluarga dan masyarakat tidak akan tercapai. Peran pemerintah daerah (Instansi sosial kabupaten/kota) juga masih sebatas memberikan rekomendasi/surat pengantar saat klien masuk panti dan belum terlibat sepenuhnya pada saat pasca rehabilitasi sosial (kegiatan bimbingan lanjut). Keluarga dan masyarakat juga perlu dibekali ilmu dan cara melaksanakan rehabilitasi, terutama yang berkaitan dengan kegiatan praktis keseharian klien di keluarganya. Ilmu dan cara melaksanakan rehabilitasi dapat dilakukan oleh ahli rehabilitasi dan pekerja sosial dalam hal: a. Cara memberikan rehabilitasi di rumah sesuai dengan permasalahan klien (seperti pada jenis kecacatan, kenakalan, kelayakan pemenuhan kebutuhan hidup dll) b. Cara mengatasi kesulitan yang timbul dalam pelaksanaan rehabilitasi di rumah c. Cara memecahkan masalah secara bersama, perlu diadakan konsultasi dan dialog antara pekerja sosial dengan orang tua. Dengan demikian kebijakan rehabilitasi sosial melalui panti perlu dianalisis kembali dengan mengkomparasikan antara konsep-konsep rehabilitasi sosial secara teoritik dengan pedoman pelaksanaan rehabilitasi sosial, serta implementasi di lapangan. Sebagai upaya melakukan pengembangan individu dan keluarga. Panti Sosial bertugas dan bertanggung jawab mendorong partisipasi masyarakat untuk menciptakan iklim yang mendukung pemulihan; dan memfasilitas dukungan psiko-sosial dari keluarganya. Rehabilitasi sosial melalui panti dapat memulihkan dan meningkatkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial. Pemulihan dan peningkatan kemampuan dapat berkembang bilamana keluarga dan masyarakat dipersiapkan sesuai prinsip-prinsip pekerjaan sosial. Keberfungsian keluarga
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
353
dan masyarakat merupakan konsekuensi logis dalam proses rehabilitasi sosial agar tercipta pelayanan komprehensif dan keberlanjutan. Upaya mewujudkan hal ini Panti Sosial perlu dukungan SDM dan dana secara proporsional, terutama untuk kegiatan pendekatan awal, sosialisasi dan pembinaan lanjut. C. Alternatif Model Rehabilitasi Sosial Pelayanan dan Rehabilitasi sosial melalui sistem panti merupakan alternatif terakhir apabila keluarga tidak dapat menjalankankan fungsi dan perannya untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Panti-panti sosial telah berusaha memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial sesuai dengan kemampuan yang ada. Namun hasil yang telah dicapai dirasakan masih belum optimal karena perkembangan jumlah dan sebaran permasalahan sosial jauh lebih cepat bila dibanding dengan daya jangkau, kapasitas dan kemampuan panti sosial. Bahkan ada panti sosial yang terpaksa menerapkan daftar tunggu karena memiliki daya tampung yang terbatas. Berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh panti-panti sosial menuntut peran keluarga dan berbagai kalangan yang ada di masyarakat serta kemitraan dengan petugas panti untuk melakukan pelayanan alternatif. Lingkup keluarga bisa orang tua kandung atau kerabat, sedangkan lingkup masyarakat adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, adat, Karang Taruna maupun elemen masyarakat lainnya. Beberapa alternatif model; rehabilitasi sosial yang dapat dikembangkan oleh panti sosial antara lain: 1. Pelayanan dalam keluarga (home care services) Petugas/pekerja sosial panti sosial mendatangi rumah PMKS dan memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial sesuai dengan permasalahan dan kebutuhannya. Orang tua atau keluarganya juga bisa menjadi sasaran intervensi dan sekaligus
354
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
bertanggung jawab serta berperan aktif dalam proses rehabilitasi sosial. Prinsip pelayanan ini adalah keluarga berperan utama dalam proses pelayanan dan rehabilitasi sosial terhadap PMKS. Alternatif model ini memerlukan kesiapan SDM dan dana yang “cukup”. Uji coba model alternative ini perlu dilakukan sebagai upaya memperoleh tingkat efektivitas dan efisiensinya 2. Penjangkauan Rehabilitasi sosial bertujuan untuk memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya, dan memulihkan kembali kemauan dan kemampuan agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Panti-panti sosial memiliki keterbatasan dalam memberikan rehabilitasi sosial bagi PMKS. Tersebarnya lokasi tempat tinggal mereka, menuntut peningkatan peran panti sosial melakukan penjangkauan (out treach). Berbagai keterbatasan ini menuntut pengembangan model rehabilitasi sosial yang selama ini lebih banyak dilakukan dalam panti dengan model rehabilitasi sosial yang dilakukan di dalam keluarga dan masyarakat sekitar Panti melalui kegiatan penjangkauan. Hal ini memerlukan inovasi untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar kesadaran kesetiakawanan sosial meningkat, sesuai dengan permasalahan dan potensi daerah setempat, sehingga tercapai peningkatan taraf kesejahteraan PMKS. Rehabilitasi sosial merupakan hak dasar bagi PMKS, melalui penjangkauan ini dapat memperluas jangkauan rehabilitasi sosial yang ada di masyarakat sekaligus mengoptimalkan fungsi panti sosial untuk memberikan rehabilitasi sosial kepada PMKS di masyarakat. Dalam kegiatan ini klien tidak harus meninggalkan keluarganya, sehingga diharapkan terjadi peningkatan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
355
keberfungsian sosial PMKS, keluarga dan masyarakat. Sasaran penjangkauan adalah PMKS yang jauh dan sulit terjangkau oleh panti sosial, atau mereka yang berada di dalam masyarakat namun tidak menghendaki atau bersedia mengikuti rehabilitasi sosial dalam panti. (seperti kasus pengguna napza, penyandang cacat netra, fisik, mental, rungu wicara) karena berbagai alasan. Pelaksana penjangkauan merupakan tim yang melibatkan berbagai tenaga profesi, dinas terkait dan unsur-unsur masyarakat yang dapat mendukung pelaksanaan penjangkauan seperti: fungsional (pekerja sosial) panti sosial, LSM peduli PMKS sejenis,dan tenaga profesional/ahli misalnya psikolog, dokter, rohaniwan, pendidik dan tenaga profesi lainnya serta unsurunsur/tokoh masyarakat setempat sesuai kebutuhan. Panti sosial merupakan koordinator, didukung oleh pejabat struktural dan instansi sosial provinsi/kabupaten/kota Tujuan yang akan dicapai dari penjangkauan: a. tersedianya data base PMKS, b. diketahuinya peta PMKS, c. terlaksananya rehabilitasi sosial berbasis masyarakat. Keterlibatan keluarga-keluarga PMKS akan berdampak pada timbulnya motivasi dan kesadaran secara kolektif dari masyarakat, untuk : d. mengubah perilaku masyarakat menjadi pendukung terhadap keberadaan klien di masyarakat, e. meningkatkan kesejahteraan sosial bagi PMKS dengan memanfaatkan potensi dan sumber-sumber yang ada di masyarakat, f. mentransfer pemahaman dan pengetahuan kepada masyarakat tentang PMKS dan kegiatan upaya rehabilitasi sosial bagi PMKS.
356
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
DAFTAR PUSTAKA Alison, M. (1994). Pedagang jalanan dan Pelacur. Jakarta: LP3EK. Arkan, A. (2006). Strategi Penanggulangan Kenakalan Anak-Anak Remaja Usia Sekolah. Astuti, M. (2010). Penelitian Pola Asuh dalam Keluarga. jakarta: P3KS Press. Astuti, M. (2010). Penelitian Tentang Rehabilitasi Sosial di PSBG. Jakarta: P3KS Press. Bagong, S. a. (2011). Pekerjaan Anak di Sektor Berbahaya. Surabaya: Lutfhansa Mediatama. Campbell, H. R. (1970). Psychiatry Dictionary 14 ed. London: Oxford University Press. Cart, M. G. (2005). Child Walfare for teh Twenty First Century. Columbia: Columbia University Press. Fahrudin, A. (2002). Kerja Sosial dan Isu-Isu Terpilih. Sabah: Universitas Malaysia. Fahrudin, A. (2011). Kesejahteraan Sosial, sebuah Pengantar. Jakarta: P3KS Press. Gunarsa, S. G. (1980). Psikologi Remaja. Jakarta: BPK Guning Mulia. Harry, H. (2012). membangun Kebijakan Sosial, Perumusan, Mekanisme dan Faktor yang Mempengaruhi. Hepworth, D. R. (2001). Direct Social Practice, Theory and Skill 6 ed. Pacific Grove: CA Brooks Cole Publishing. Hermawati, I. (2001). Metode dan Tehnik Pekerjaan Sosial. Yogjakarta: Adicita Karya Nusa. Hurlock, E. B. (1973). Adolescent Development. Tokyo: Mc. Graw Hill Kogakusha Ltd. Iskandar, J. (2005). Dinamika Kelompok Organisasi dan Komunikasi Sosial. Bandung: Puspaga. Kartono, K. (2010). Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajagrafindo. Khaerudin. (2003). Ilmu Pendidikan Islam. Makassar: Berkah Utami.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
357
Lambert, M. D. (2001). Clinical Social Work Beyond Generalist Practice with Individuals, Groups and Families. London: Brook/Cole. Maleong, J. L. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Martin, F. (2011). Improving Child Protection Responses in Indonesia; Leraning from the Protection Home for Children. Jakarta: Save the Children. Mulyono. (2009). Retrieved Maret 2012, from http://Penelitian Evaluasi-Kebijakan. Rubin, R. W. (2005). Evaluating Social Work Services and Programs. Boston: Pearson. Rubin, R. W. (2008). Research Method in Social Work 6th editition. california: Brooks Cole. Santrock, J. W. (2003). Adolescence, Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga. Sheafor, S. (2003). Introduction to Social Work Practice. New York: Mac Millan. Siporin, M. (1975). Introduction to Social Work Practice. New York: Mac Millan. Soekanto, S. (1991). Sosiologi Keluarga Tentang Ikheal Keluarga Remaja dan Anak. Jakarta: Rineke Cipta. Soemarjan, S. (1997, September 2). Kemiskinan Pandangan Sosiologi. Sosiologi Indonesia . Soetarso. (1980). Praktek Pekerjaan Sosial dalam Pembangunan Masyarakat. Bandung: Kopma STKS. Stein, T. J. (1981). Social Work Practice in Child Welfare. New Jersey: Prentice Hall University of Illionis. Suharto, E. (2006). Pembangunan Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial Spektrum Pemikiran. Bandung: LSP Press. Sukoco, D. H. (1991). Profesi Pekerja Sosial dan Proses Pertolongan. Bandung: STKS. Troung, T. D. (1992). Seks, Uang dan Kekuasaan, Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
358
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Weinbach, R. W. (2005). Evaluating Social Work Services and Programs. Boston: Pearson. Widodo, N. (2011). Evaluasi Program Perlindungan Anak melalui RPSA. Jakarta: P3KS Press. Widodo, N. (2009). Studi Pelayanan Sosial Remaja Putus Sekolah Terlantar melalui PSBR. Jakarta: P3KS Press. Wirawan. (2011). Evaluasi Teori, Model, Standars Aplikasi dan Profesi. Jakarta: Rajawali. Woodside, M. D. (2003). Generalist Case Management; A Method of Human Service Delivery. Pacific Groove CA: Brooks Cole. Undang Undang No. 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak Undang Undang No. 11 tahun 2004, tentang Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, (1983). Kepmensos No. 40/HUK/1983 tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis Departemen Sosial, (2001). Intervensi Psikososial, Direktorat Kesejahteraan Anak, Keluarga dan Lanjut Usia Departemen Sosial, (2001). Model Pelayanan Rehabilitasi Terpadu Bagi Korban Penyalahguna Napza Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Napza. Departemen Sosial, (2003). Pedoman re-entry pada metode Therapeutic Community dalam Pelayanan Rehabilitasi Korban Penyalahgunaan Napza. Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Napza. Departemen Sosial, (2003). Pedoman Re-Entry Pada Metode Therapeutic Community Dalam Pelayanan Rehab Korban Penyalah Gunaan Napza. Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Napza. Departemen Sosial, (2004). Kepmensos No. 50/HUK/2004 tentang Standarisasi Panti Sosial, Balitbangkesos Departemen Sosial, (2005). Modul Resosialisasi dan Pembinaan Lanjut, Bagi eks Penyalahguna Napza, Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Napza.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
359
Departemen Sosial, (2006). Pedoman Peranan Pekerja sosial Dalam Rehabilitasi Sosial Koban Penyalahgunaan Napza. Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Napza. Departemen Sosial. (2007). Pedoman Rehabilitasi Sosial Luar Panti Bagi Penyalahguna Napza, Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Napza. Departemen Sosial, (2007). Panduan Pembentukan Kelompok Bantu Diri (Self Help Group) Bagi Pecandu Napza Berdasarkan Prinsip 12 langkah, Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Napza. Departemen Sosial, (2007). Standarisasi Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Korban Napza Dalam Panti, Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza. Departemen Sosial RI, (2007). Pedoman Penyelenggaraan Panti Sosial Karya Wanita (PSKW), Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Susila. Departemen Sosial - Unicef-Save Children, (2007). Seseorang yang Berguna, Kualitas Pengasuhan di Panti Sosial Asuhan Anak di Indonesia. Kementerian Sosial, (2009). Permensos No 106/HUK/2009 tentang Sertifikasi bagi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial. Kementerian Sosial.(2009), Panduan Praktis Pelaksanaan Shelter Workshop eks Resident Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza, Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Napza. Kementerian Sosial, (2009). Pedoman Assesmen Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahguna Napza. Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza. Kementerian Sosial, (2009). Rencana Strategis (RENSTRA) 2010-2014. Dirjen Yanrehsos Departemen Sosial. Kementerian Sosial, (2010). Standar Pelayanan PSBRW Efata Kupang, Panti Sosial Bina Rungu Wicara (PSBRW) Efata Kupang, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial.
360
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Kementerian Sosial RI, (2010). Pedoman Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan (ODK) Rungu Wicara Dalam Panti, Direktorat Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan. Kementerian Sosial RI. (2010). Pedoman Pelaksanaan rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan Rungu Wicara, Panti Sosial Bina Rungu Wicara MELATI, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial. Kementerian Sosial. Pedoman, (2010). Lembaga Informasi dan Konsultasi, Narkotika Psikotropika Dan Zat Adiktif Lainnya. Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaaan Napza. Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza. Kementerian Sosial, (2010). Pedoman Penjangkauan dan Pendampingan Korban Penyalahgunaan Napza. Direktorat Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza, Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza. Kementerian Sosial, (2010). Pedoman Shelter Workshop Bagi Alumni Panti Sosial Rehabilitasi Sosial Galih Pakuan, Solusi Bagi Penyalahguna Napza, Kementerian Sosial, (2010. Pedoman Keterampilan Vocasional bagi Korban Penyalahgunaan Napza. Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Napza. Kementerian Sosial (2011). Standar Nasional Pengasuhan Anak Di LKSA, Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak. Kementerian Sosial, (2012). Petunjuk Operasional Kegiatan PSBL Phala Martha, Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial Eks Psikotik.
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
361
EDITOR DAN PENULIS
Fentini Nugroho, lahir di Palembang, 27 Nopember 1960, pendidikan Ph.D dari Department of Social Work and Social Policy, Curtin University, Australia (Disertasi tentang Community Development for Poverty Alleviation) 2005, MA, Department of Social Work, University of Kent, England, 1989 dan Dra. Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP-UI), 1985. Penghargaan: Sertifikasi Dosen, Kementerian Pendidikan Nasional RI, Ketua Program Studi Berprestasi Peringkat I Universitas Indonesia, 2009, 10 Terbaik Ketua Program Studi Berprestasi Tingkat Nasional 2009, Beasiswa World Bank untuk menempuh Program Master di University of Kent, Canterbury, Inggris, 1987-1989, Tanda Kehormatan dari Presiden RI Satyalancana Karya Satya 20 tahun, 2008 dan Piagam Tanda Kehormatan dari Presiden RI Satyalancana Karya Satya 10 tahun, 2003. Pengalaman: Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2012-present, Member of Education, International Project and Language Comittees. International Association of Schools of Social Work. 2012-present, Ketua Dewan Pakar. Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan Sosial Indonesia 2012-present, Comittee Member. Asian Pasific Association for Social Work Education 2012-2014, Dewan Pakar, Konsorsium Pekerjaan Sosial Indonesia 2011- present, Ketua. Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan Sosial Indonesia 2010-present, Ketua Prog. Pascasarjana Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP-UI 2007-present, ketua Jurusan Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP - UI,1998 - 2001 dan Dosen Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP-UI.
362
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Alit Kurniasari, Magister Profesional Pengembangan Masyarakat IPB (2004), Sarjana Psikologi Perkembangan Unpad Bandung, (1984); Saat ini menjabat sebagai Peneliti Madya di Puslitbang Kesos. Penelitian yang pernah dilakukan: meliputi Anak Jalanan; Studi Penanganan Anak Berkonflik Hukum; Profil Pendamping ABH; Permasalahan dan Kebutuhan Pengungsi Wanita dan Anak Korban Konflik; Penelitian Kualitas Pengasuhan dan Pelayanan Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) di Indonesia. (Save Children-Depsos), Pengembangan Komunitas Peduli Anak; Pelayanan Sosial bagi eks TB Paru; Penelitian prevalensi penyalahguna obat/napza padsa remaja di kota besar. Sikap Masyarakat Terhadap Trafficking Anak; Tulisan yang pernah dimuat di Jurnal Litbang Kessos meliputi: Pelayanan Sosial bagi Eks Penyandang Penyakit TBC Berbasis Masyarakat (2002); Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga (2006); Partisipasi Organisasi Sosial Lokal dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial (2006); Studi Penanganan Anak Berkonflik Hukum. Pernah menjadi staf pengajar di STKS Bandung, dari tahun 1986 - 1995, pada mata kuliah Psikologi Anak, Psikologi Abnormal dan Psikologi Sosial. Tahun 1996 - 2003 mengajar di program D2 Pendidikan Guru TK di Yayasan Islamic Tangerang; Sejak Tahun 2010 menjadi Technical Asistance di Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita (PKSAB). Di Dit Anak Kemensos. Husmiati, lahir di Makassar pada tanggal 9 Oktober 1967. Tahun 2010 menamatkan kuliah program pasca sarjana (S3-Social Work) di University Sains Malaysia. Tahun 2003 tamat kuliah pasca sarjana (S2Social Work) di Universiti Sains Malaysia. Pada tahun 1991 menamatkan kuliah sarjana (S1-Pekerjaan Sosial) di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. Bermula tahun 1993 menjadi PNS dilingkungan Kementerian Sosial RI. Sejak Januari 2012, penulis bergabung di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (Puslitbangkesos Kemensos RI) sebagai peneliti dengan bidang kepakaran Pekerjaan
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
363
Sosial Klinis. Penulis pernah terlibat dalam penelitian tentang anak, kelompok usaha bersama (KUBE), dan kinerja pekerja sosial.
Indah Huruswati, Peneliti Madya (IV/b) pada Puslitbang Kesos, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesos, Kementerian Sosial. Pengalaman penelitian pada Panti-panti Sosial Kementerian Sosial, sejak tahun 1988. Hasilnya dituangkan dalam bentuk laporan penelitian dan tulisan dalam Jurnal Ilmiah di Puslitbang Kesos di antaranya tentang Survey Akreditasi Panti Sosial (2002), Profil Panti Sosial Asuhan Anak (2000), Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak melalui Panti Sosial Petirahan Anak (1996), Evaluasi Tempat Penitipan Anak dalam rangka Penataan dan Standarisasi Pelayanan Kesejahteraan Anak (1995), Evaluasi Program Penyantunan dan Pengentasan Anak Terlantar melalui Sistem dalam Panti (1994) dan Profil Panti Penyantunan Anak (1988).
Nurdin Widodo, lahir di Ngawi, 3 januari 1958, memperoleh gelar Magister Ilmu Kesejahteraan Sosial di STISIP Widuri Jakarta. Saat ini menjabat sebagai Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI. Disamping itu, sebagai Ketua Redaktur Jurnal Sociokonsepsia Puslitbang Kesos, sekretaris tim penilai jabatan fungsional Litkayasa Kementerian Sosial RI dan sekretaris P3KS Press. Penelitian yang telah dilakukan dan dipublikasikan meliputi topik-topik yang berkaitan dengan Pelayanan Anak Terlantar Putus Sekolah Melalui Panti Sosial Bina Remaja, Hubungan Antar Kelompok Pribumi dan Etnis Cina di Jakarta, Peran Lembaga Sosial dalam Penanganan Pengungsi, Pemberdayaan Pranata Sosial, Pelayanan Kesejahteraan Sosial Tenaga Kerja di Sektor Industri, Pengungsi Wanita dan Anak Korban Konflik dan Kerusuhan Sosial, Potensi Sosial Dalam Pelaksanaan Ketahanan Sosial Masyarakat di Kota Kendari, Pengembangan Uji Coba Model Pemberdayaan Remaja
364
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Melalui Karang Taruna, Permasalahan Sosial Pengungsi Korban Poso dan Upaya Penanggulangannya, Konflik Serta Modal Kedamaian Sosial dalam Konsepsi Lintas Kalangan Masyarakat di Tanah Air (kerjasama dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Penelitian Uji Coba Model Penanganan Anak Terlantar Berbasis Kekerabatan, Penelitian Pengaruh Subsidi Panti Terhadap Kelangsungan Penyelenggaraan Pelayanan Sosial Dalam Panti, Penelitian TKI di malaysia, Pengembangan Program Pendampingan Sosial Bagi Calon Pekerja Migran (TKI) dan Keluarganya di Daerah Asal, Evaluasi Pelayanan Sosial Remaja Putus Sekolah Terlantar melalui panti Sosial Bina Remaja dan Studi Kebijakan Pengembangan Sakti Peksos di Panti Sosial Masyarakat, Evaluasi program Perlindungan Anak melalui RPSA dan Studi Pemberdayaan Fakir Miskin di Desa Barada, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Moch Syawie, lahir di Pekalongan 10 Mei 1955, pendidikan S2 Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Program Studi Sosiologi. Karier sebagai Pegawai Negeri Sipil diawali dengan tugas di Kanwil Depsos Provinsi Lampung, 1986-1987 Petugas Sosial Kecamatan (PSK) di Kecamatan Padangratu Lampung Tengah (1984-1986), Balai Besar Penelitian Pengembangan dan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Yogyakarta (1988-1994), Peneliti pada Pusat Penelitian Kesos Badan Litbang Kementerian. Sosial Jakarta, dan Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial, Kementerian Sosial RI. Saat ini sebagai Peneliti Madya di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Jakarta. Disamping sebagai peneliti, penulis juga pernah sebagai anggota Redaksi Jurnal Ketahanan Sosial Masyarakat (2004 - 2010), dan sekretaris TP2I (2009-2011). Saat ini penulis sebagai anggota Tim Penilai Peneliti Instani (TP2I) Kementerian. Sosial (20122014), dan menjadi editor beberapa penelitian. Pernah mengajar di STIE IBII Jakarta, STIE Trisakti Jakarta (1998- 2001), dan dosen Luar Biasa Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta (1995 sampai sekarang-2012. Aktif menulis pada jurnal ilmiah (JURNAL, INFORMASI,
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
365
dan TANSOSMAS, JURNAL Ekonomi Trisakti). Penelitian yang pernah diklakukan dan diterbitkan antara lain: Penelitian yang sudah dilakukan; Masyarakat Berketahanan Sosial Perspektif Multikultural, Struktur-Struktur Mediasi Dalam Masyarakat Berketahanan Sosial, Pemetaan Pranata Sosial Pada Komunitas Lokal, Jaringan Ketahanan Sosial Masyarakat, Model Pengembangan dan Penguatan Ketahanan Sosial Mayarakat; Masalah Kebutuhan Dan Sumber Daya Di Daerah Teringgal. Penulis aktif mengikuti seminar dan pelatihan yang berkaitan dengan metode penelitian dan pengembangan ketahanan sosial masyarakat, dan membantu kegiatan di unit operasional di lingkungan kementerian social RI, baik dalam penyusunan pedoman maupun menjadi nara sumber
Mulia Astuti, lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat (1954). Pendidikan terakhir Pasca Sarjana (S2) Program Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia (1997). Mengawali karir sebagai pegawai negeri sipil Departemen Sosial RI (1978) dengan pendidikan Sarjana Muda Pekerjaan Sosial dari STKS Bandung, ditempatkan di Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial. Mulai menjadi peneliti (1987). Pada tahun 1982-1984 melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung (S1) sebagai tugas belajar. Pernah ditempatkan pada jabatan struktural sebagai Kepala Bidang Program pada Pusat Penelitian Kesejahteraan Sosial (2000), Kepala Bidang Pemberdayaan Pranata Sosial (2001) dan Kepala Bidang Kerjasama dan Publikasi (2006) pada Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat. Kemudian di mutasi ke Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial sebagai Kepala Sub Direktorat Pelayanan Sosial Anak Terlantar (2007), terakhir Kasubdit Kelembagaan, Perlindungan dan Advokasi Sosial (2009) pada Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat. Pernah mengikuti “Asean Training-Overview of Sosial Services (1991) di Singapura dan pernah mengajar pada Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) untuk jurusan Kesejahteraan Sosial (1989-1994). Pada tahun 2010 kembali 366
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
pindah ke Puslibang Kesejahteraan sebagai peneliti madya. Sejak tahun 1987 sampai sekarang aktif mengikuti kegiatan penelitian dan menulis buku baik kelompok maupun perorangan, kegiatan seminar dan menulis artikel yang dimuat pada Jurnal Kesejahteraan Sosial maupun majalah ilmiah lainnya.
Agus Budi Purwanto, lahir di lereng Gunung Lawu Magetan, 25 Agustus 1959. Peneliti Muda pada Puslitbang Kesos, Kementerian Sosial; Pendidikan Sarjana 1 (S1) Jurusan Pembangunan Masyarakat IKIP Jkt, tahun 1986. Pelatihan yang pernah diikuti: Pelatihan Pengolahan Data menggunakan Program SPSS, Badan Pusat Statistik, Jakarta, tahun 1998, Pengolahan Data pada Penelitian yang diselenggarakan oleh Badan Litbang Kesejahteraan Sosial, Pelatihan Metodologi Penelitian Kualitatif – kerjasama Badan Litbang Kesos, Depsos dengan Laboratorium Kesejahteraan Sosial, FISIP UI, Depok, tahun 1993 dan Pelatihan Peningkatan Kemampuan Tenaga Peneliti, kerjasama Badan Litbang Kesos, Depsos dengan Laboratorium Sosiologi, FISIP UI, Depok, tahun 1992. Pengalaman Penelitian dan dipublikasikan 5 tahun terakhir: Masalah, Kebutuhan dan Sumber Daya Daerah Tertinggal: Studi Kasus di Kabupaten Mimika, Papua, tahun 2011, Masalah, Kebutuhan dan Sumber Daya Daerah Perbatasan: Studi Kasus 5 Kabupaten di Kalimantan, tahun 2009, 2010, Profil Pendamping Dalam Perlindungan Anak Berkonflik Dengan Hukum, tahun 2009, Pemberdayaan Masyarakat Melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial, tahun 2010, dan Studi Pemberdayaan Fakir Miskin di Desa Barada, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, tahun 2011
Soeprapto Hadi, lahir di Yogyakarta, 17 Agustus 1949, menamatkan pendidikan Sarjana Muda pada STKS Bandung pada tahun 1979/1980 dan pendidikan S1 pada STIA-LAN Jakarta tahun
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
367
1989. Bekerja pada Kementerian Sosial sejak tahun 1970 pada BPPS Yogyakarta. Saat ini bertugas pada Puslitbang Kesos Badiklit Kesos, dan menduduki jabatan fungsional peneliti sebagai Peneliti Madya.
Setyo Sumarno, lahir di Solo, 8 Juni 1957. Menamatkan program Sarjana Pekerjaan Sosial dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung tahun 1983 dan Magister Kesejahteraan Sosial dari STISIP Widuri 2010. Saat ini menjabat Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI. Pernah mengikuti beberapa kegiatan penelitian, meliputi topik-topik berkaitan dengan: Penelitian Anak Jalanan, Lanjut Usia, Kenakalan Remaja, Masyarakat Terasing, Paca, Napza, Karang Taruna, Eks Kusta, Masalah Tenaga Kerja di Sektor Industri, Akreditasi Panti Sosial, Penanganan Anak Terlantar Berbasis Kekerabatan, Penanganan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan, Wanita Rawan Sosial Ekonomi, Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat di Pinggiran Hutan, Penyandang Cacat Berat, Penelitian Multi Layanan Penyandang cacat, Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pembentukan Lembaga Kesejahteraan Sosial, Penyerapan Tenaga Kerja Penyandang Cacat dalam Pasar Kerja, Rehabilitasi Sosial Wanita Tuna Susila, Pengembangan Lembaga Kesejahteraan Sosial untuk Mengatasi Kemiskinan dan mengikuti berbagai kegiatan seminar ataupun diklat lainnya. Pengalaman lainnya adalah bekerjasama dengan Safe the Children UK, Sustainable Integrated Rural Development (SIRD) -ASEAN-New Zealand dan beberapa lembaga lain dalam berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan sosial. Saat ini masih aktif di Tim Redaksi majalah Sosiokonsepsia Puslitbang Kesos, Tim Penilai Peneliti Instansi (TP2I) Kementerian Sosial dan sebagai Direktur Pelaksana P3KS Press.
368
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
Ruaida Murni, Lahir di Takengon tanggal 17 Juli 1962, menyelesaikan S1 di Universitas Negeri Jambi. Saat ini menjabat sebagai Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI. Dan sebagai anggota tim penilai jabatan fungsional Litkayasa Kementerian Sosial RI. Penelitian yang telah dilaksanakan antara lain Peranan Pelayanan dan Bantuan Sosial Proyek Atma Brata CCF Terhadap Kesejahteraan Sosial Keluarga Miskin di Kecamatan Cilincing; Pengembangan Metode dan Teknik Penyuluhan dan Bimbingan Sosial Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan; Kebutuhan Pelayanan Kesejahteraan Sosial di Kawasan Industri; Metode dan Teknik Pelayanan Anak Pada Kelompok Bermaian dan Taman Penitipan Anak; Permasalahan Sosial Migran Perkotaan di Propinsi Riau; Penelitian Kemandirian Penerima Pelayanan Panti Sosial Asuhan Anak dan Panti Sosial Bina Netra; Model Rehabilitasi Sosial Penyalahguna NAFZA di Beberapa Institusi Swasta; Pengembangan Uji Coba Model Pemberdayaan Remaja Melalui Karang Taruna; Akreditasi Panti; Uji Coba Model Pengentasan Anak Terlantar Melalui Kekerabatan; Pergeseran Pola Relasi Gen di Yogyder Ex TKW; Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam; dan Uji Coba Model Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam. Sri Gati Setiti, Lahir di : Surakarta, 23 Nopember 1947. Memperoleh gelar Sarjana Muda Antropologi UGM, Sarjana Antropologi UNHAS, Magister Kesejahteraan sosial di STISIP Widuri Jakarta.Aktifitas & Karya tulis : Anggota PPI (Panitya Pembina Ilmiah) Depsos. Anggota Tim Penilai Jabatan Fungsional Peneliti di Depsos. Dewan redaksi di Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Dewan juri Lomba Menulis Karya Tulis Masalah Sosial Tingkat Nasional. Menduduki jabatan rangkap Peneliti dan Kasubid Metodologi Pelayanan Sosial Puslitbang Depsos. Dosen tidak tetap pada Universitas Mohamadiayah Jakarta Th 1984-1987. Dosen tidak
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
369
tetap di Universitas Satya Negara Th 1985-2000. Konsultan penelitian Potensi Penyandang Cacat Di BPRCBD Cibinong Th 2008.Aktif dalam pelayanan anak yatim di yayasan Ruhama. Aktif mendampingi wanita dengan HIV / AIDS di Yayasan Pelita Ilmu Jakarta. Aktif di LPPM Kosgoro. Aktif di LK3. Penelitian yang pernah dilakukan meliputi: Masalah Narkoba di sekolah, Penyuluhan sebagai Gerak Dasar, Peran LK3 Pada kesejahteraan sosial keluarga, Penanganan masalah penyandang Cacat, Masalah kesejahteraan sosial di daerah Kumuh, Karang Taruna, Peranan Wanita, Anak Jalanan, Tanggung Jawab dunia Usaha, Profesionalismen Pengelolaan Orsos, Dampak Sosial Industri, Peran GNOTA pada Kasejahteraan anak, Pola rekonsiliasi Masyarakat Etnis di Daerah Konflik, Pemberdayaan Lanjut Usia, Pemberdayaan Migran, dan Masalah TKI, Masalah anak nakal, masalah Trafiking dan Asistensi pemberdayaan keluarga, Dampak sosial KUBE dan Pemberdayaan keluarga miskin disekitar industri pertambangan. Pemberdayaan wanita kepala rumah tangga miskin di Taruang -taruang Pasaman Sumatra Barat. Aktif menulis di Majalah, koran, Jurnal ilmiah dan Informasi Puslitbang Kesos. Email: Gati _ Setiti @ Yahoo.com
370
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
INDEKS
A advokasi sosial, 64, 67, 68, 69, 106, 123, 161, 163, 166, 219, 257, 287, 364, after care Service, b, v, viii, 5, 7, 10, 13, 53, 117, 121, 247, 318, 345 anak nakal, vii, 6, 10, 53, 55, 60, 63, 67, 77, 78, 367, anak yang berkonflik dengan hukum, 77 asesmen, 2, 3, 19, 46, 56, 67, 88, 99, 100, 119, 125, 128, 145, 153, 181, 184, 185, 191, 196, 197, 203, 205, 218, 222, 23, 289, 292, 310, 312, 319, 327, 348 asesor, 128 ADL, 128, 197, 198, 202 APBD, 150, 206, 208
B BLK, 147 body of knowledge, 216 body of skills, 216 body of values, 216
C case conference, 220, 258, 292, community based, 315
D displaced children , 53 disabilitas, 10, 117, 127, 131, 137,
138, 139, 140, 141, 143, 150, 160, 179, 181, 184, 188, 189, 192, 193, 194, 195, 200, 202, 204, 206, 207, 208 day care, 71, 72, 241,
E Ekstrakurikuler, 106
F famili group suport, 298 focus group discussion, 8, 122, 134, 212, 250, 285 family based, 315 fenomena sosial, 281
G guest house, 288 gelandangan, ix, 7, 11, 281, 282, 283, 284, 285, 289, 291. 293, 298, 299, 300, 304, 3055, 306, 307, 308, 312, 313
H high Speed, 254, 257, 260, 271 home visit, 25, 31, 32, 33, 45, 49, 119, 133, 145, 149, 228, 229, 230, 259, 292. 329, 230 home care, 241, 298, 354
I Identifikasi, 23, 62, 64, 65, 67, 99,
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
371
135, 161, 195, 219, 290. 326, 329 Instruktur, 21, 24, 26, 27, 50, 51, 98, 101, 105, 106, 112, 124, 129, 130, 133, 134, 137, 146, 147, 149. 173, 191, 198, 113, 115,225, 236, 269, 270, 286, 287, 295, 328, Input, 145, 181, 187, 188, 193, 205, 206, Impact, 187 institutional based, 315, 346
J JICA, 128
K kenakalan remaja, 54, 57, 58, 363 kriminal, 54, 55, 75, 333 kolaboratif, 114 keberfungsian sosial, 58, 88, 104, 105, 135, 143, 144, 152, 166, 209, 215, 283, 340, 353, 355 konsultasi, 25, 45, 65, 66, 67, 68, 97, 127, 134, 161, 162, 167, 177, 195, 201, 219, 224, 229, 232, 253, 290, 325, 326, 353 konseling, 25, 65, 196, 223, 225, 260, 328 kualitatif, 7, 9, 16, 60, 62, 121, 182, 183, 212, 213, 250, 251, 284, 285, 320, 321, 366
M Massage, 198, 202
372
Motivasi, 25, 39, 43, 63, 67, 70, 93, 95, 107, 109, 111, 127, 134, 142, 160, 161, 167, 195, 201, 218, 219, 220, 228, 239, 260, 261, 267, 270, 276, 290, 304, 325, 326, 328, 339, 356
O Observasi, 9, 16, 62, 64, 122, 213, 237, 240, 250, 285, 300 Orientasi, 24, 67, 96, 101, 161, 195, 196, 198, 219, 221, 222, 235, 290, 325 Output, 158, 181, 187, 349 out treach, 355 outcome, 181, 187, 206 otodidak, 287 over deg, 137
P pembinaan Lanjut, iii, iv, vii, viii, ix, x, 2, 3, 4, 5, 7,, 8, 9, 10, 11, 13, 15, 16, 17, 18, 22, 29, 30, 31, 32, 33, 43, 45, 46, 47, 48, 49, 51, 53, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 664, 67, 68, 69, 70, 71, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 88, 89, 117, 119, 120, 121, 122, 126, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 153, 154, 155, 156, 158, 159, 165, 166, 167, 169, 172, 173, 175, 176, 181, 182, 185, 206, 211, 227, 228, 233, 239, 245, 248, 251, 264, 266, 270, 271, 276, 279, 281, 284, 299, 300, 303, 310, 316, 319,
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
321, 325, 329, 330, 344, 345, 354 Panti Sosial Asuhan Anak, vii, 5, 8, 10, 13, 19, 270, 361, 362, 368 Panti Sosial Marsudi Putra, 6, 8, 10, 53, 64 Panti Sosial Bina Remaja, vii, 2, 5, 8, 10, 85, 88, 89, 92, 96, 97, 154, 181, 361, 362, Panti Sosial Bina Netra, 6, 8, 179, 180, 181, 182, 188, 189, 193, 202, 368 Praktek Belajar Kerja, 31, 65, 103, 130, 147, 160, 169, 257, 296, 336 Psikologis, 13, 29, 44, 45, 47, 72, 85, 128, 173, 174, 177, 196, 209, 223, 226, 245, 272, 274, 275, 343, 347 Psikolog, 21, 177, 191, 196, 198, 213, 215, 222, 286, 291, 292, 328, 343, 356 PAS, 31, 61 , 63, 64, 67, 68, 69, 106, 108, 109, 124, 132, 195, 219, 250, 253, 258, 266, 268, 311, 325, 326, 330 Primary, 324, 344, personal skill, 328 psikotik, ix, 6, 10, 209, 210, 211, 213, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 225, 226, 227, 234, 235, 239, 240, 242, 243, 351, PM, 81, 82, 83, 225,
R rehabilitasi sosial, iii, vii, viii, ix, x, 1, 2,
5, 6, 7, 8, 9, 10, 20, 24, 53, 55, 56, 58, 60, 61, 63, 66, 67, 69, 75, 76, 78, 91, 96, 98, 101, 105, 106, 117, 120, 123, 124, 125, 126, 127, 129, 131, 133, 135, 139, 142, 145, 146, 148, 151, 153, 154, 159, 163, 165, 167, 169, 175, 179, 181, 182, 187, 191, 194, 196, 201, 205, 206, 209, 212, 218, 219, 221, 228, 235, 247, 250, 252, 257, 262, 267, 276, 282, 285, 287, 291, 293, 296, 298, 300, 302, 305, 308, 312, 315, 321, 322, 325, 330, 344, 346, 347, 348, 349, 350, 352, 354, 355, 356, resosialisasi, 62, 64, 67, 68, 96, 119, 123, 145, 156, 159, 160, 161, 163, 181, 184, 192, 199, 206, 207, 208, 218, 225, 236, 246, 252, 256, 260, 292, 296, 301, 322, 325, 329, 349, referral system, 1, 55, 118, 152, 180, 213, 215 reentry, 324
S SBK, 99, 125, 192, 206, speech therapy, 160, 164, sosialisasi, 2, 23, 25, 38, 71, 79, 89, 92, 93, 98, 125, 127, 145, 147, 154, 161, 181, 185, 208, 268, 269, 290, 296, 308, 325, 344, 350, 354 sector formal, 282, sertifikasi, 287, 360
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
373
shelter work shop, 298, 336, 343, stake holder, 57, 61, 71, 79, 121, 158, 212, 268, 278
T Terminasi, 3, 17, 19, 28, 29, 32, 45, 59, 60, 69, 77, 79, 106, 108, 116, 119, 125, 131, 135, 145, 146, 149, 158, 159, 166, 169, 181, 184, 185, 186, 187, 192, 201, 206, 218, 227, 228, 246, 256, 262, 277, 295, 298, 300, 319, 320, 329, 343, Treatment, 56, 75, 107, 153, 214, 317, 352, Toolkit, 94, 103, 106, 107, 110, 111, 113, 143, 146, 164, 165, 167, 267, 272, 300, 302, 309, 310, 336, 350
374
U Usaha Ekonomis Produktif, 70, 81, 82, 115, 199, 229 up-dating, 98 urbanisasi, 35, 47, 281, 282
V Vokasional, 59, 67, 128, 138, 160, 162, 196, 198, 222, 227, 347
W work ability, 163, WBS, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 297, 298, 299, 300, 301, 302, 303, 304, 305, 306, 307, 308, 309, 310, 311, 312, 313
E VALUASI P ELAKSAN AAN REH ABILITASI SO SIAL PADA PANTI SOSIAL
E VA L U A S I PE LAKSAN AAN REH ABI LITASI SO SI AL PAD A PANTI SOSIAL
375