Wiwinda, Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
135
EKSISTENSI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (PLS) Wiwinda
Abstraction: Education can be done by everyone everywhere and every time. Informal education was built to prepare, to improve, and to develop human resources in orer to have knowledge, skills, and attitude to gain chance fron the environment. It can be achieved by optimalizing used of environment and human resources. Kata Kunci: Pendidikan Luar Sekolah A. Pendahuluan Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang dapat di didik dan juga dapat mendidik. Oleh karena itu pendidikan dapat dilakukan oleh semua orang, kapan saja dan dimana saja tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Proses pendidikan ini berlangsung pada proses komunikasi yang dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab. Namun dalam prakteknya, sistem pendidikan konvensional yang diselenggarakan dengan berbagai modifikasinya ternyata semakin mengungkung orang yang dididiknya. Hasilnya justru membuat orang tidak berani untuk berfikir lain diluar kerangka besar yang disetting oleh penguasa. Orang digiring untuk meyakini bahwa berpikir dan bertindak diluar wacana besar adalah berbahaya dan berdosa. Pendidikan dijadikan sebagai proses1 penjinakan akibatnya, keluaran yang dihasilkan dari sistem pendidikan semacam ini adalah manusia yang berpikir dan berkemauan seragam dalam segala hal. Proses
penyelenggaraan
pendidikan
yang
umum
berlaku
telah
mengabaikan prinsip-prinsip kebajikan. Sistem pendidikan benar-benar telah mengabaikan potensi individual/lokal. Yang lebih memprihatinkan lagi bahwa pembangunan sistem pendidikan tidak pernah bertolak dari dunia realitas yang ada. Akibatnya, orang yang dididik dalam sistem ini akan semakin jauh dan kian terasing dengan realitasnya. Pendidikan formal yang sudah terpaket sedemikian rupa tidak memberi peluang kepada peserta didik untuk berpartisipasi dalam menyusun kurikulum yang disajikan. Pendidikan juga terus mengalami
Wiwinda, Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
136
penyempitan pengertian. Assumsi yang muncul dibenak mesyarakat umum tentang pendidikan adalah gambaran bangunan permanen sebuah sekolah, siswa berbaju seragam yang duduk rapi berhadapan dengan seorang guru dalam kelas, dan selembar ijazah sebagai hasil dari proses pendidikan sekian tahun. Pendidikan menjadi komoditas yang sangat elitis dan mahal. Pendidikan hanya bisa dilakukan pada suatu tempat dan waktu tertentu, serta dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Akibatnya, mereka yang dilahirkan dan terpuruk di kantong-kantong kemiskinan kian tersingkir posisinya. Berangkat dari keprihatinan yang telah diuraikan diatas, maka menjadi mutlak untuk melakukan tindakan konkrit untuk mengembalikan gagasan pendidikan pada hakikat yang sesungguhnya. Pendidikan yang beranjak dari penggalian potensi diri manusia, yang tidak lagi dibatasi matra ruang dan waktu. Pendidikan yang bisa dilakukan kapan dan dimana saja, serta dilakukan oleh dan untuk siapa saja: suatu sistem pendidikan yang mampu menumbuhkembangkan nilai-nilai kebajikan pari purna bagi semua elemen yang terlibat didalamnya baik penyelenggara maupun masyarakat. Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS). PLS atau lebih spesifik Pendidikan nonformal lahir bukan karena banyaknya anak-anak yng tidak dapat mengakses sekolah.Katakanlah semua anak usia sekolah tertampung di sekolah, mereka yang sedang atau yang sudah menamatkan sekolah akan tetap memerlukannya karena perubahan sosial,budaya dan teknologi sangat cepat dan apa yang diperoleh di sekolah tak dapat membantu memecahkan masalah,sehingga mereka memerlukan kecakapan-kecakapan baru yang harus dipenuhi agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut. Frederick Harbison memberikan argumentasi mengapa pendidikan nonformal harus ditekankan pada penanganan prang-orang marginal dan harus mendapat perhatian dalam kebijakan pembangunan dengan alasan sebagai berikut:
Wiwinda, Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
137
1. Sekolah bagaimanapun juga tidak akan dapat menjangkau seluruh anak usia sekolah, disamping sekolah itu mahal,dan pertumbuhan penduduk yang tinggi,maka pendidikan nonformal dapat menjadi alternative karena lebih murah dan lebih terjangkau. 2. Karena banyaknya anak usia sekolah yang tidak menikmati sekolah maka dampaknya adalah semakin besarnya jumlah orang dewasa yang tidak berpendidikan.Jika tujuan pembanguan adalah membuat setiap individu sebagai mahluk belajar maka pendidikan nonformal akan dapat mengatasinya. 3. Sekolah berorientasi pada penghargaan formal berupa ijazah ,gelar dan kemudian mempunyai hak-hak istimewa untuk memperoleh status, kekuasaan, ,kekayaan bagi segelintir orang dan telah menimbulkan distorsi karena menghalani mereka yang tidak memiliki penghargaan tadi ,meskipun mereka kompeten bahkan ada yang sangat kompeten , maka pendidikan nonformal yang achievement oriented atau berientasi pada kemampuan berkarya selayaknya mendapat tempat yang layak dalam kebijakan pendidikan. 4. Pendidikan nonformal yang hetrogen dan tidak terorganisisr secara terpusat mempunyai kesempatan yang besar untuk berinovasi. 5. Tanpa pendidkian nonformal, manfaat sekolah tidak akan disadari secara penuh karena pendidikan adalah kehidupan dan proses hidup yang berkelanjutan.Ketrampilan dan pengetahuan yang diperoleh di sekolah tidak akan berkembang tanpa stimulasi,ekstensi dan pengayaan yang diperoleh sesudah seseorang selesai sekolah.Ketiga hal tersebut diperpleh melalui kegiatan pendidikan nonformal.Pendek kata kelanjutan skill dan pengetahuan manusis sepanjang hayatnya harus dilakukan dan melalui pendidikan nonformal sustainability atau keberlajutan tersebut akan dapat dilakukan..(Harbison,1999:6)
Wiwinda, Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
138
B. Konsep Pendidikan Luar Sekolah Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi kursus/lembaga pendidikan ketrampilan dan satuan pendidikan yang sejenis. Pendidikan luar sekolah (Out of school education) adalah pendidikan yang dirancang untuk membelajarkan warga belajar agar mempunyai jenis keterampilan dan atau pengetahuan serta pengalaman yang dilaksanakan di luar jalur pendidikan formal (persekolahan). Pendidikan luar sekolah adalah usaha sadar yang diarahkan untuk menyiapkanr meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia, agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap dan daya saing untuk merebut peluang yang tumbuh dan berkembang. dengan mengoptimalkan penggunaan sumbersumber yang ada di lingkungannya. Pendidikan luar sekolah bertugas untuk menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kebisaan yang siap menghadapi perubahan sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat yang dihasilkan oleh manusia-manusia terdidik juga. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan luar sekolah adalah suatu proses pendidikan masyarakat yang lebih rumit daripada pendidikan sekolah, walaupun kedua sistem ini dapat dan harus saling mendukung, saling mengisi. Pendidikan luar sekolah dapat dikatakan sebagai proses memanusiakan manusia untuk meningkatkan kualitas berpikir, moral dan mental sehingga mampu memahami, mengungkapkan, membebaskan. dan menyesuaikan dirinya terhadap realitas yang melingkupinya. Pola pikir ini mewarnai pendekatan pendidikan luar sekolah yang ada di dalam masyarakat. Dalam kerangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas dan berorientasi masa depan yang akan menjadi pilar utama pembangunan di
Wiwinda, Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
139
berbagai sektor, pendidikan luar sekolah dapat memegang peranan yang sangat strategis. Pendidikan luar sekolah baik yang dilaksanakan pemerintah maupun yang dilaksanakan swasta ataupun masyarakat. dalam arti mereka yang tertarik melakukan pendidikan yang berorientasi masa depan melalui pendidikan luar sekolah dapat mengambil peran yang lebih nyata di masyarakat. Empat hal yang menjadi acuan pengembangan pendidikan luar sekolah (1) memperluas pelayanan kesempatan memperoleh pendidikan bagi masyarakat yang tidak dibelajarkan pada jalur pendidikan sekolah, (2) meningkatkan relevansi, keterkaitan dan kesepadanan program-program pendidikan luar sekolah dengan kebutuhan masyarakat, kebutuhan pembangunan. Kebutuhan dunia kerja, pengembangan industri dan ekonomi masyarakat dan pengembangan sumber daya alam; (3) peningkatan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan luar sekolah; serta (4) meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan luar sekolah. Empat hal di atas, apabila dicermati, sebenarnya mengandung arti bahwa pendidikan luar sekolah harus berorientasi ke masa depan. Untuk mewujudkan kebijakan tersebut pelembagaan pendidikan luar sekolah di masyarakat menjadi suatu tuntutan yang mendesak untuk dilakukan. Misi ini dilaksanakan guna membantu percepatan tercapainya individu dan masyarakat yang cerdas, terampil, disiplin, berdaya saing dan gemar membaca. Pemberdayaan menjadi acuan dalam melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang mumpuni. Dengan demikian masyarakat tidak diposisikan sebagai obyek sasaran layanan pendidikan, tetapi diposisikan sebagai subyek yang aktif. Masyarakat dilibatkan dalam merancang, melaksanakan, pendidikan
mengembangkan,
yang
diperlukannya,
melembagakan, sebagai
wujud
membiayai dari
kebutuhan
upaya
untuk
mengaktualisasikan pemberdayaan masyarakat guna menghasilkan masyarakat yang cerdas, terampil dan mandiri sebagai prasyarat masyarakat yang mampu menghadapi masa depan.
Wiwinda, Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
140
C. Peranan, Karakteristik, dan Sasaran Pendidikan Luar Sekolah Pendidikan Luar Sekolah sebagai Subtitute dari pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dapat menggantikan pendidikan jalur sekolah yang karena beberapa hal masyarakat tidak dapat mengikuti pendidikan di jalur persekolahan (formal). Contohnya: Kejar Paket A, B dan C. Pendidikan Luar Sekolah sebagai Supplement pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan untuk menambah pengetahuan, keterampilan yang kurang didapatkan dari pendidikan sekolah. Contohnya: private, les, training. Pendidikan Luar Sekolah sebagai Complement dari pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan untuk melengkapi pengetahuan dan keterampilan yang kurang atau tidak dapat diperoleh didalam pendidikan sekolah. Contohnya: Kursus, try out, pelatihan dan lain-lain. Adapun karakteristik dari PLS meliputi: adanya pengorganisasian, adanya program pendidikan, adanya urutan materi, jangka waktu belajar pendek; berkaitan dengan misi yang mendesak dan praktis, tujuan pendidikan spesifik, bukti memiliki ilmu pengetahuan adalah keterampilan, tidak terikat ketentuan yang ketat, pesertanya bersifat sukarela, biaya pendidikan lebih murah, persyaratan penerimaan peserta lebih mudah. Sasaran dari pendidikan luar sekolah merupakan sistem baru dalam dunia pendidikan yang bentuk dan pelaksanaannya barbeda dengan sistem sekolah yang ada. Pendidikan luar sekolah adalah dimana setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah diluar sekolah dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan atau bimbingan sesuai dengan kebutuhan hidup. Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri. Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil
Wiwinda, Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
141
peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan. D. Jalur pendidikan luar sekolah Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan. Yang termasuk jalur pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik di lembaga pemerintah, nonpemerintah, maupun sektor swasta dan masyarakat. Jenis pendidikan luar sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan, dan pendidikan kejuruan. Pendidikan luar sekolah dapat meliputi kursus-kursus, kelompok belajar seperti Paket A, Paket B, dan Kejar Usaha dan kegiatan lainnya seperti magang. E. Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah Pengakuan masyarakat terhadap pendidikan luar sekolah (PLS), masih belum sama. Bahkan, di kalangan pendidikan sendiri masih banyak yang tidak menganggap pendidikan luar sekolah sebagai kegiatan pendidikan yang turut mencerdaskan anak bangsa. "Pengakuan terhadap PLS masih parsial. Meskipun di beberapa daerah banyak yang sudah mengakui lulusan PLS, namun tidak sedikit yang masih tak acuh," ujar Masyarakat Ekodjatmiko Sukarso. Menurut Ekodjatmiko, penolakan ini di satu sisi sebagai bukti bahwa jajaran pendidikan sendiri belum memberikan
Wiwinda, Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
142
pengakuan, tetapi di sisi lain menjadi pemicu semangat untuk membuktikan diri bahwa lulusan PLS juga bermutu. Dari segi mutu soal ujian, peserta paket A (setara SD), B (setara SLTP), dan C sudah mempergunakan soal dari Pusat Pengujian Depdiknas seperti dilakukan bidang persekolahan. "Selain persoalan klasik, yang sering dipertanyakan orang adalah tentang proses pendidikan yang dilakukan di PLS. Adapun mutu soal ujian sudah sama dengan persekolahan". Masyarakat luas belum sepenuhnya menyadari bahwa pendidikan luar sekolah memiliki fungsi dan peran yang sama dengan pendidikan sekolah. Meski masih termarjinalkan, peran pendidikan luar sekolah dan pemuda juga mampu menyiapkan sumber daya manusia yang cerdas, terampil, dan mandiri. Salah satu kendala pengembangan PLS di berbagai daerah adalah adanya paradigma masyarakat yang masih berorientasi pada pendidikan sekolah semata. Meskipun antara pendidikan sekolah dan PLS saling berkesinambungan dalam membentuk sumber daya manusia yang cerdas dan terampil. Melalui tempat kursus, pesantren, atau lembaga pendidikan luar sekolah lainnya, berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan dapat diserap. Banyak masyarakat yang memaksakan anaknya untuk menempuh pendidikan hanya melalui sekolah formal dengan tujuan mendapatkan ijazah kelulusan dan dapat diterima bekerja di suatu perusahaan. Namun, realitasnya banyak anak yang gagal dalam pendidikannya di sekolah atau berhasil lulus sekolah, tapi tidak diterima bekerja pada suatu perusahaan. Kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, jika dilihat dari kondisi kelayakan minimal sekolah dasar (SD), masih sangat memprihatinkan. Hal ini juga dapat dilihat dari prestasi hasil belajar siswa atau hasil ujian secara nasional yang masih rendah. "Di Indonesia, kondisi kelayakan minimal sekolah dasar yang layak hanya sekitar 41,59 persen. Di samping itu, akses siswa terhadap buku teks untuk bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam masih rendah. Karena itu, masyarakat diharapkan jangan hanya terpaku pada pendidikan sekolah. Realitas lain, secara nasional 60 persen tenaga kerja Indonesia merupakan pekerja yang pendidikan SD-nya tidak tamat. Sebagian besar dari mereka hanya menempati posisi
Wiwinda, Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
143
karyawan atau buruh biasa, sedangkan untuk level atas, sebagian besar dikuasai orang asing. Minimnya kemampuan sumber daya manusia di Indonesia, karena kualitas pengetahuan dan kemampuannya juga rendah. Semua teori memang didapat di bangku sekolah, tapi praktiknya justru akan didapatkan di luar sekolah melalui pendidikan luar sekolah. Meskipun pendidikan luar sekolah sudah diakui eksistensinya melalui rumusan dalam undang-undang dan berbagai kebijakan, tetapi justru pada tataran undang-undang
dan
kebijakan
itu,
pendidikan
nonformal
menghadapi
permasalahan mendasar. Permasalahan itu berupa masih diposisikan sebagai peran "pembantu" bagi pendidikan formal, masih memerlukan proses evaluasi bagi pengakuan kesetaraan antara pendidikan nonformal dan pendidikan formal, dan dibatasi hanya pada aktivitas pendidikan nonformal di dalam lingkup Departemen Pendidikan Nasional. Salah satu contoh aktual, semenjak tingkat kelulusan ujian nasional cenderung menurun, adalah kebijakan diperbolehkannya para siswa SMP dan SMA/SMK yang tidak lulus ujian nasional dapat mengikuti ujian kesetaraan Paket B dan Paket C. (Prof. Dr. Yoyon Suryono, MS). Lebih lanjut dikatakan, Pendidikan luar sekolah memiliki banyak sasaran warga belajar yang tidak dapat ditangani oleh sekolah secara tunggal seperti rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dilihat menurut Indeks Pembangunan Manusia, banyaknya warga masyarakat miskin dan buta huruf, pengangguran terdidik, anak balita dan anak usia sekolah yang belum terlayani oleh sekolah di samping banyaknya anak putus sekolah pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Di sini pendidikan luar sekolah menghadapi permasalahan yang berupa keragaman sasaran dan sebaran sasaran secara geografis yang begitu luas. Misi utama pendidikan luar sekolah harus memiliki keberpihakan kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan (antara lain terjadi karena proses kemiskinan struktural) dan lingkungan yang semakin rusak, sehingga dengan demikian segenap aktivitas pendidikan luar sekolah selalu didasarkan pada upaya pengembangan SDM (individu dan masyarakatnya) dan pelestarian sumber daya
Wiwinda, Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
144
alam yang dimiliki berbasis pada kebutuhan riil individu dan masyarakat yang terpinggirkan itu, bukan kepentingan proyek. F. Dilema yang Dihadapi Eksistensi dunia pendidikan luar sekolah belakangan waktu dilematis. Pasalnya, lembaga pendidikan ini acap kali dikonotasikan sebagai wadah pendidikan para remaja putusan sekolah formal. Lain halnya dengan minimnya political will dan dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam pembinaannya, mengakibatkan kondisinya yang mampu menciptakan life skill para keluarannya masih sering tidak dapat ditampung di berbagai perusahaan. Kata Sembiring, political will dari pihak eksekutif dan legislatif dinilai masih belum optimal dalam memberi perhatian pengembangan lembaga itu. Padahal, dihadapkan pada kompleksnya situasi pendidikan belakangan waktu, sebenarnya, lembaga pendidikan non formal yang kini banyak muncul dapat dijadikan sebagai alternatif solusi permasalahan di dunia pendidikan. Hal itu didasari, lembaga PLS memiliki sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah. serta, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan, terlebih lagi fleksibelitas waktu yang dibutuhkan, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Padahal, ujarnya persentase lulusan pendidikan formal yang ada masih banyak yang tidak sanggup melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sementara era globalisasi terus membutuhkan peningkatan kualitas generasi yang trampil dan siap pakai. “Berbagai tempat yang menerima lowongan pekerjaan sekarang memiliki standart dalam menerima calon pekerja yang trampil dan berwawasan luas. Sedangkan, di Sumut tidak sedikit jumlah keluaran pendidikan formal terpaksa kandas melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, disebabkan beberpa faktor, salah satunya masalah pendanaan,” terangnya. Pemerintah, lanjutnya, masih separuh hati dalam membina lembaga PLS yang merupakan jalur alternatif penyedia tenaga kerja yang trampil, termasuk dalam
Wiwinda, Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
145
memberi kemudahan pengurusan ijin pendirian lembaga PLS. “Mental birokrasi masih perlu dikritisi dalam hal memberi perhatian yang lebih serius,” paparnya. Memang diakui, standart kurikulum PLS khususnya pendidikan nonfromal masih perlu terus ditingkatkan, terlebih lagi dalam hal standart tenaga pendidik dan lembaga nonformal yang sejatinya mampu menelurkan tenaga-tenaga terampil. “Tahun 2008, pihak Badan Standart Nasional Pendidikan Non formal (BSN-PNF) di Jakarta akan mengeluarkan dan terus mengkaji ataupun menganalisa muatan kurikulum PNF yang ideal untuk penerapan dan pedomannya di berbagai lembaga PNF yang ada. Dilain hal, bagi lembaga dan tenaga PNF, juga pihak Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) juga akan mengeluarkan standart mutu sebagai ukuran pendirian lembaga PNF se-Indonesia,” (Sembiring). Lembaga pendidikan formal yang di bawah koordinasi dengan pihak Diklusemas dan dinas tenaga kerja masing-masing daerah, sejatinya kedepan dapat lebih
sinergis
dalam
menyediakana
tenaga-tenaga
yang
terampil
dan
menyalurkannya ke berbagai institusi pencari kerja. G. Tantangan yang Dihadapi Pendidikan luar sekolah baik sebagai complement, suplement, maupun sebagai replacement pendidikan formal diharapkan berfungsi mengatasi berbagai kesenjangan yang ada di masyarakat. Hunter (1994) mengidentifikasi sembilan kesenjangan yang dapat diatasi melalui pendidikan nonformal yakni: 1. Kesenjangan pekerjaan(the job gap) yaitu adanya ketidak sesuaian antara pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja atau keytrampilan kerja yang dibutuhkan. 2. Kesenjangan efisiensi (the efficiency gap)yaitu kurangnya pemanfaatan secara tepat sumber daya manusia dan sumber financial. 3. Kesenjangan permintaan dan penyediaan (the demand and supply gap)yaitu meningkatnya permintaan pendidikan dan konsekwensi rendahnya mutu pendidikan. 4. Kesenjangan populsi (population gap) yaitu gagalnya sekolah untuk mengatasi pertumbuhan penduduk usia sekolah.
Wiwinda, Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
146
5. Kesnjangan bayaran sebagai pendapatan(the wage gap) yatu tingginya bayaran di sector perkotaan mengakibatkan migrasi dari desa ke kota. 6. Kesenjangan persamaan hak( the equity gap) yaitu ketidak mampuan sekolah memberikan kesempatan kepada semua orang ; hanya bagi orang orang yang punya kemampuan untuk membiayai yang semakin tinggi tingkatan pendidikannya semakin tinggi pula ongkosnya. 7. Kesenjangan beradaptasi (the adaptability gap) yaitu kekakuan atau ketidak luwesan sekolah yang menyebabkan sulitnya mereka merespon kebutuhan sosial dan ekonomi. 8. Kesenjangan evaluasi (evaluation gap) Kesenjangan ini timbul karena sulitnya menilai kinerja individu dalam pekerjaan karena ketrampilan pekerja lebih cepat dari supervisornya. 9. Kesenjangan harapan(expectation gap) yang terlihat dari adanya migrasi dari desa ke kota dan mengejar pendidikan guna mencari kerja yang seringkali tidak tersedia. H. Kesimpulan Pendidikan luar sekolah sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional, dapat berperan melaksanakan kebijakan pemerataan pelayanan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan luar sekolah yang watak dasarnya adalah populis bukan elitis dapat mampu memberikan kemudahan kepada individu dan masyarakat untuk belajar dan mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, dan melanjutkan pendidikan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan luar sekolah penting untuk mengembangkan keberpihakan kepada masyarakat yang tidak mampu dengan tetap memperhatikan pentingnya kualitas
pendidikan
yang
bisa
menjawab
tuntutan
perkembangan
ilmu
pengetahuan, teknologi, dan perubahan masyarakat. Seperti yang diuangkapkan Prof. Saleh Marzuki,
mengingat betapa
pentingnya peran pendidikan nonformal dalam pembagunan sumberdaya manusia dan meningkatkan pendidikan kaum marginal serta memelihara dan meningkatkan martabat orang-orang dewasa yang mengalami ketertinggalan disegala bidang maka
Wiwinda, Eksistensi Pendidikan Luar Sekolah
147
sudah selayaknya pendidikan nonformal tidak dipandang sebagai residu pendidikan sekolah. Pandangan ini kurang tepat dan berimplikasi pada anggapan penting tidaknya pendidikan nonformal yang kemudian selalu dinomor duakan setelah sekolah,yang seharusnya mempunyai kedudukan yang sama.Implikasi lebih lanjut adalah perhatian dan kebijakan menomor duakan yang berdampak pada alokasi anggaran.Itulah sebabnya diperlukan rumusan baru tentang pendidikan nonformal yang berdampak pada kebijakan Departemen Pendidikan Nasional.
Penulis : Wiwinda, M.Ag adalah Dosen tetap pada jurusan tarbiyah STAIN Bengkulu
DAFTAR PUSTAKA Hanter John,M.et.al.(1994) Program Studies in Non Formal Education (Economics of Non Formal Education ) East Lancing: Michigan State University, Harbison Frederick,(1999) H.Human Resources and Nonformal EducationinNew Strategies for Educational Developmen ,Lexington:Lexington Books Dc.Heath and Company. Jansen,P (1997) Pedagogik Sosial.Malang :Lembaga Pengembangan Masyarakat Malang. Marzuki,
Saleh.
2004.
Pendidikan
Non
Formal
Bukan
Residu.
http://bppnfi4.web.id/attachments/172_Pendidikan%20Nonformal%20bukan %20residu.pdfcc Tight,M.(1996)
Key
Concepts
in
Adult
Education
Training,Londeon:Routledge. http://bangimam.blog.dada.net/post/1207061553/LANDASAN-HUKUMHOMESCHOOLING.html
and